Anda di halaman 1dari 63

PROPOSAL

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS INKUIRI TERHADAP


KEMAMPUAN BERFIKIR KRITIS DAN KEPERCAYAAN DIRI SISWA PADA
MATERI SIFAT KOLIGATIF LARUTAN

OLEH :
NABIH AHMAD KAMAL
18728251037

Tesis ini ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan


untuk mendapatkan gelar magister pendidikan

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pembelajaran adalah suatu aktivitas yang bermakna yakni pembebasan untuk
mengaktualisasi seluruh potensi kemanusiaan, bukan sebaliknya. Pertanyaannya
bagaimana menemukan cara terbaik menciptakan pembelajaran bermakna? Proses belajar
merupakan proses perubahan seseorang yang dapat dinilai hasilnya dari perubahan yang
dilakukan. Dalam proses belajar yang baik dibutuhkan suatu strategi pembelajaran yang
tepat sehingga proses belajar dapat dikatakan berhasil dengan baik (Sanjaya, W 2008).
Materi pelajaran tidak selamanya dapat diajarkan dengan menggunakan model
pembelajaran yang sama, sehingga seorang guru harus bisa menguasai berbagai model
pembelajaran yang kemudian disesuaikan dengan materi ajar. Oleh karena itu diperlukan
suatu model pembelajaran yang dapat membuat siswa aktif sehingga dapat meningkatkan
hasil belajar bahasa Indonesia siswa (Muslimin, 2010).
Berdasarkan observasi awal peneliti, guru-guru SMA/MA di Kota Yogyakarta
mayoritas masih menggunakan model pembelajaran konvensional, hal tersebut membuat
siswa masih pasif dalam proses pembelajaran dengan hasil belajar yang masih tergolong
rendah, melihat hal itu peneliti mencoba untuk menerapkan model pembelajaran inkuiri
untuk melihat peningkatan hasil belajar siswa. Model inquiry didefinisikan sebagai suatu
rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa
untuk mencari dan menyelidiki masalah secara sistematis, kritis, logis, dan analisis
sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuan mereka dengan rasa percaya diri
(Rusman, 2012).
Model pembelajaran Inkuiri memungkinkan para peserta didik menemukan sendiri
informasi-informasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan belajarnya. Model ini
melibatkan peserta didik dalam proses-proses mental untuk penemuan suatu konsep
berdasarkan informasi-informasi yang diberikan guru. Model Inkuiri merupakan model
pembelajaran yang berupaya menanamkan dasar-dasar berpikir ilmiah pada diri siswa,
sehingga dalam proses pembelajaran ini siswa lebih banyak belajar sendiri,
mengembangkan kreatifitas dalam memecahkan masalah (Ratri, Martini, Nugroho, 2013).
Siswa benar-benar ditempatkan sebagai subjek yang belajar.Peranan guru dalam
pembelajaran dengan metode Inkuiri adalah sebagai pembimbing dan fasilitator.Tugas guru
adalah memilih masalah yang perlu disampaikan kepada kelas untuk dipecahkan.
Hasil dari belajar tidak hanya sekedar perubahan tingkah laku namun juga
perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai sikap. Dalam
pembelajaran siswa membutuhkan suatu sikap ilmiah atau keterampilan untuk
mengembangkan potensi yang dimilikinya. Salah satunya keterampilan metakognitif.
Menurut Metcalfe (1996) Keterampilan metakognisi atau keterampilan berpikir tingkat
tinggi adalah pengetahuan tingkat tinggi yang digunakan untuk memonitor dan mengatur
proses-proses pengetahuan seperti penalaran, pemahaman mengatasi masalah, belajar dan
sebagainya.
Memiliki kemampuan berfikir dapat membantu mengembangkan kemampuan
berpikir peserta didik yang juga memegang peranan penting agar pembelajaran dapat
berhasil. semakin sering peserta didik sadar akan proses berpikir saat mereka belajar, maka
mereka akan semakin dapat mengontrol tujuan, kepribadian, serta perhatiannya sendiri
(Pierce, 2003). Hal ini juga sejalan apa yang ada dalam kurikulum 2013 keterampilan
metakognitif sangat dituntut untuk di miliki oleh siswa. Pada kompetensi inti ranah
pengetahuan, hal yang harus dipenuhi oleh siswa adalah mengenai metakognisi (berpikir
tingkat tinggi).
Dalam pembelajaran tidak hanya aspek kognitif dan psikomotor yang diutamakan
akan tetapi aspek afektif menjadi hal yang tidak kalah pentingnya. Salah satu aspek afektif
dalam pembelajaran adalah percaya diri.
Percaya diri/Self-efficacy merupakan keyakinan seseorang terhadap kemampuannya
untuk mengatur dan menyelesaikan tugas-tugas yang mempengaruhi kehidupannya
(Bandura, 1994: 72). Self-efficacy juga dapat diartikan sebagai evaluasi seseorang
mengenai kemampuan atau kompetensi diri dalam melakukan suatu tugas, mencapai
tujuan, atau mengatasi suatu masalah (Suciati, 2009:2). Keyakinan terhadap kemampuan
diri ini dapat mempengaruhi perasaan, cara berpikir, motivasi dan tingkah laku sosial
seseorang. Semakin kuat self-efficacy yang dimiliki seseorang, maka akan semakin tinggi
prestasi dan kemampuan individu yang dapat dicapainya.
Rasa percaya diri sangat mempengaruhi hasil belajar siswa di sekolah. Kepercayaan
diri pada dasarnya merupakan keyakinan dalam diri seseorang untuk dapat menanggapi
segala sesuatu dengan baik sesuai dengan kemampuan diri yang dimiliki. Siswa yang
memiliki sikap percaya diri dan memiliki penilaian positif tentang dirinya cenderung
menampilkan prestasi yang baik secara terus menerus. Sikap percaya diri, yakin akan
berhasil, perlu ditanamkan kepada siswa untuk mendorong mereka agar berusaha dengan
maksimal guna mencapai keberhasilan yang optimal.
Hasil wawancara dengan guru kimia di sekolah SMA/MA Yogyakarta mengatakan
bahwa pembelajaran kimia di kelas dirasa masih sulit bagi siswa karena materi kimia yang
bersifat abstrak. Metode yang digunakan pun juga masih terbatas pada metode ceramah dan
diskusi antar guru-siswa. Kemampuan berfikir kritis siswa menjadi belum terlihat pada saat
proses pembelajaran. Siswa menjadi pasif, tidak memiliki kesempatan mengungkapkan ide,
maupun peserta didik kurang kreatif dalam mengembangkan potensi yang dimiliki. Untuk
beberapa materi yang kontekstual, maka metode ini kurang cocok untuk diterapkan. Oleh
karena itu, masalah tersebut perlu di atasi dengan melakukan perubahan. Mengubah
pembelajaran menjadi terpusat pada siswa (Student Centered Learning).
Salah satu materi yang dianggap sulit oleh peserta didik adalah sifat koligatif
larutan. Sifat koligatif larutan merupakan salah satu materi kimia yang bersifat abstrak.
Proses pembelajran konvensional yang berpusat pada guru membuat peserta didik hanya
sekedar menghafal rumus agar bisa lulus dari materi tersebut. Apabila hal ini terus berlanjut
maka dikhawatirkan kemampuan berfikir kritis siswa menjadi kurang berkembang.
Berdasarkan masalah di atas, perlu adanya perbaikan pada proses pembelajaran
melalui model pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan
self-efficacy dan hasil belajar siswa. Salah satu model yang dapat meningkatkan self-
efficacy siswa yaitu model pembelajaran berbasis inkuiri. Gormally (2009: 8),
mengemukakan bahwa model pembelajaran berbasis inkuiri dapat meningkatkan self-
efficacy siswa secara signifikan dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Prayogi
(2018) melalui penelitianya menyatakan bahwa pembelajaran berbasis inkuiri dapat
membuat peningkatan yang positif pada pencapaian mahasiswa calon guru dalam
pembelajaran kimia dan peningkatan pembelajaran serta kepercayaan terhadap kemampuan
siswa. Hal ini menunjukan bahwa secara keseluruhan siswa nyaman ketika belajar dengan
model pembelajaran berbasis inkuiri. Ali (2011) melalui penelitiannya menyatakan bahwa
hasil dari penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis inkuiri meningkatkan
Kemampuan unjuk kerja dan prestasi Belajar IPA pada Siswa Kelas VII B SMP Negeri 5
Probolinggo. Christina (2016) melalui penelitiannya menyatakan bahwa Berdasarkan hasil
penelitian, adaptasi dari pembelajran berbasis inkuiri dapat meningkatkan kemampuan
mengajar dari para calon guru. Bilgin (2009) melalui penelitiannya menyatakan bahwa
pemahaman siswa terhadap materi asam basa dapat meningkat apabila siswa melakukan
pembelajaran dengan menggunakan metode pembelajran berbasis inkuiri dibandingkan
dengan metode konvensional.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Siswa mengalami kesulitan dalam memahami pembelajaran kimia yang abstrak. Salah
satunya materi sifat koligatif larutan.
2. Pemilihan metode atau strategi pembelajaran yang kurang efektif dalam
mengaplikasikan materi.
3. Kurangnya kemampuan berfikir kritis dan rasa percaya diri siswa dalam mengemukakan
pendapat ataupun ide pada proses pembelajaran.
C. PEMBATASAN MASALAH
1. Model Pembelajaran yang digunakan adalah model pembelajaran berbasis inkuiri/
inquiry based learning.
2. Materi pembelajaran kimia yang diajarkan adalah sifat koligatif larutan.
3. Pengaruh model pembelajaran berbasis inkuiri/inquiry based learning terhadap
kemampuan berfikir kritis dan kepercayaan diri.
D. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana keterlaksanaan model pembelajaran berbasis inkuiri/ inquiry based
learning pada proses pembelajaran materi sifat koligatif larutan.
2. Adakah pengaruh keterlaksanaan model pembelajaran berbasis inkuiri/ inquiry based
learning pada proses pembelajaran materi sifat koligatif larutan.
3. Bagaimana pengaruh keterlaksanaan model pembelajaran berbasis inkuiri/ inquiry
based learning pada proses pembelajaran materi sifat koligatif larutan.
E. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui keterlaksanaan model pembelajaran berbasis inkuiri/inquiry based
learning pada proses pembelajaran materi sifat koligatif larutan.
2. Mengetahui pengaruh keterlaksanaan model pembelajaran berbasis inkuiri/inquiry
based learning terhadap kemampuan berfikir kritis dan kepercayaan diri siswa.
F. MANFAAT PENELITIAN
Bagi Peneliti
1. Memberikan sumbangan konsep belajar efektif dan menyenangkan dengan model
pembelajaran berbasis inkuiri/inquiry based learning proses pembelajaran materi
sifat koligatif larutan.
2. Memberikan pengetahuan tentang keefektifan keterlaksanaan model pembelajaran
berbasis inkuiri/inquiry based learning terhadap kemampuan berfikir kritis dan
kepercayaan diri siswa
Bagi siswa
1. Mengenalkan dan melatih siswa belajar kimia dengan suasana baru menggunakan
model pembelajaran berbasis inkuiri/inquiry based learning.
2. Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan berfikir kritis dan kepercayaan diri
siswa menggunakan model pembelajaran berbasis inkuiri/inquiry based learning.
Bagi Guru
1. Menambah pengalaman guru dalam mengajar dengan menggunakan model
pembelajaran berbasis inkuiri/inquiry based learning.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. KAJIAN TEORI
1. Kemampuan berfikir kritis
a. Pengertian berfikir kritis
Berpikir merupakan sebuah aktivitas yang selalu dilakukan oleh setiap manusia,
bahkan ketika sedang tertidur. Bagi otak, berpikir dan menyelesaikan masalah adalah
pekerjaan yang paling penting, bahkan dengan kemampuan yang tidak terbatas.
Berpikir merupakan salah satu kemampuan paling utama dan menjadi ciri khas yang
membedakan antara manusia dengan hewan.
Apabila berpikir merupakan bagian dari kegiatan yang selalu dilakukan otak
manusia untuk mengorganisasi informasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu, maka
berpikir kritis merupakan bagian dari kegiatan berpikir yang juga dilakukan otak.
Menurut Santrock (2011: 359), pemikiran kritis adalah pemikiran reflektif dan
produktif, serta melibatkan evaluasi bukti. Jensen (2011: 195) berpendapat bahwa
berpikir kritis berarti proses mental yang efektif dan handal, digunakan dalam mengejar
pengetahuan yang relevan dan benar tentang dunia. Cece Wijaya (2010: 72) juga
mengungkapkan gagasannya mengenai kemampuan berpikir kritis, yaitu kegiatan
menganalisis ide atau gagasan ke arah yang lebih spesifik, membedakannya secara
tajam, memilih, mengidentifikasi, mengkaji dan mengembangkannya ke arah yang
lebih sempurna.
Menurut Sardiman (1996: 45), berpikir merupakan aktivitas mental untuk dapat
merumuskan pengertian, mensintesis, dan menarik kesimpulan. Ngalim Purwanto
(2007: 43) berpendapat bahwa berpikir adalah satu keaktifan pribadi manusia yang
mengakibatkan penemuan terarah kepada suatu tujuan. Manusia berpikir untuk
menemukan pemahaman/pengertian yang dikehendakinya. Santrock (2011: 357) juga
mengemukakan pendapatnya bahwa berpikir adalah memanipulasi atau mengelola dan
mentransformasi informasi dalam memori. Berpikir sering dilakukan untuk membentuk
konsep, bernalar dan bepikir secara kritis, membuat keputusan, berpikir kreatif, dan
memecahkan masalah.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, maka dapat diambil kesimpulan
terkait pengertian kemampuan berpikir kritis yaitu sebuah kemampuan yang dimiliki
setiap manusia untuk dapat menganalisis ide atau gagasan ke arah yang lebih spesifik
untuk mengejar pengetahuan yang relevan tentang dunia dengan melibatkan evaluasi
bukti. Kemampuan berpikir kritis tersebut sangat diperlukan untuk menganalisis suatu
permasalahan hingga pada tahap pencarian solusi untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut.
Orang-orang yang memiliki kemampuan berpikir kritis tidak hanya mengenal
sebuah jawaban saja. Mereka akan berusaha untuk mengembangkan kemungkinan-
kemungkinan jawaban lain berdasarkan analisis dan informasi yang telah diperoleh dari
suatu permasalahan. Berpikir kritis juga berarti melakukan proses penalaran terhadap
suatu masalah sampai pada tahap kompleks tentang “mengapa” dan “bagaimana”
proses pemecahannya.
b. Tujuan berfikir kritis
Kemampuan berpikir kritis dapat mendorong siswa untuk bisa memunculkan ide-
ide atau pemikiran baru mengenai permasalahan tentang dunia. Siswa akan dilatih
untuk menyeleksi berbagai pendapat, sehingga dapat membedakan antara pendapat
yang relevan dan tidak relevan, antara pendapat yang benar dan tidak benar. Proses
mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa dapat membantu siswa untuk
membuat kesimpulan dengan mempertimbangkan data dan fakta yang terjadi di
lapangan.
Menurut Sapriya (2013: 87), tujuan berpikir kritis adalah untuk menguji suatu
pendapat atau ide, termasuk di dalamnya melakukan pertimbangan atau pemikiran yang
didasarkan pada pendapat yang diajukan. Pertimbangan-pertimbangan tersebut
biasanya didukung oleh kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan.
c. Mengembangkan kemampuan berfikir kritis
Jensen (2011: 199) dalam bukunya yang berjudul “pembelajaran berbasis otak”,
berpendapat bahwa pemikiran intelejen tidak hanya dapat diajarkan, melainkan juga
bagian fundamental dari paket keterampilan esensial yang diperlukan bagi kesuksesan
dalam dunia. Fokus primernya terletak pada kreativitas, keterampilan hidup, dan
pemecahan masalah membuat pengajaran tentang pemikiran menjadi sangat berarti dan
produktif bagi siswa.
Berikut ini beberapa keterampilan yang harus ditekankan pada level pengembangan
abstraksi dalam mengajarkan pemecahan masalah dan berpikir kritis menurut Jensen
(2011: 199-200):
“1) Mengumpulkan informasi dan memanfaatkan sumber daya; 2)
Mengembangkan fleksibilitas dalam bentuk dan gaya; 3) Meramalkan;
4) Mengajukan pertanyaan bermutu tinggi; 5) Mempertimbangkan
bukti sebelum menarik kesimpulan; 6) Menggunakan metafor dan
model; 7) Menganalisis dan meramalkan informasi; 8)
Mengkonseptualisasikan strategi (misalnya pemetaan pikiran,
mendaftarkan pro dan kontra, membuat bagan); 9) Bertransaksi secara
produktif dengan ambiguitas, perbedaan, dan kebaruan; 10)
Menghasilkan kemungkinan dan probabilitas (misalnya
brainstroming, formula, survei, sebab dan akibat); 11)
Mengembangkan keterampilan debat dan diskusi; 12)
Mengidentifikasi kesalahan, kesenjangan, dan ketidak-logisan; 13)
Memeriksa pendekatan alternatif (misalnya, pergeseran bingkai
rujukan, pemikiran luar kotak); 14) Mengembangkan strategi
pengujian-hipotesis; 15) Menganalisis risiko; 16) Mengembangkan
objektivitas; 17) Mendeteksi generalisasi dan pola (misalnya,
mengidentifikasi dan mengorganisasikan informasi, menterjemahkan
informasi, melintasi aplikasi); 18) Mengurutkan peristiwa.”
d. Ciri-ciri berpikir kritis
Kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu kemampuan yang sangat
diperlukan dalam pemecahan masalah. Terdapat ciri-ciri tertentu yang dapat diamati
untuk mengetahui bagaiamana tingkat kemampuan berpikir kritis seseorang. Berikut ini
ciri-ciri berpikir kritis menurut Cece Wijaya (2010: 72-73):
‟1) Mengenal secara rinci bagian-bagian dari keseluruhan; 2) Pandai
mendeteksi permasalahan; 3) Mampu membedakan ide yang relevan
dengan yang tidak relevan; 4) Mampu membedakan fakta dengan diksi
atau pendapat; 5) Mampu mengidentifikasi perbedaan-perbedaan atau
kesenjangan-kesenjangan informasi; 6) Dapat membedakan
argumentasi logis dan tidak logis; 7) Mampu mengembangkan kriteria
atau standar penilaian data; 8) Suka mengumpulkan data untuk
pembuktian faktual; 9) Dapat membedakan diantara kritik
membangun dan merusak; 10) Mampu mengidentifikasi pandangan
perspektif yang bersifat ganda yang berkaitan dengan data; 11) Mampu
mengetes asumsi dengan cerrmat; 12) Mampu mengkaji ide yang
bertentangan dengan peristiwa dalam lingkungan; 13) Mampu
mengidentifikasi atribut-atribut manusia, tempat dan benda, seperti
dalam sifat, bentuk, wujud, dan lain-lain; 14) Mampu mendaftar segala
akibat yang mungkin terjadi atau alternatif pemecahan terhadap
masalah, ide, dan situasi; 15) Mampu membuat hubungan yang
berurutan antara satu masalah dengan masalah lainnya; 16) Mampu
menarik kesimpulan generalisasi dari data yang telah tersedia dengan
data yang diperoleh dari lapangan; 17) Mampu menggambarkan
konklusi dengan cermat dari data yang tersedia; 18) Mampu membuat
prediksi dari informasi yang tersedia; 19) Dapat membedakan konklusi
yang salah dan tepat terhadap informasi yang diterimanya; 20) Mampu
menarik kesimpulan dari data yang telah ada dan terseleksi; ...”
2. Model Inquiry Based Learning
a. Pengertian Model Inquiry Based Learning
Model inkuiri merupakan proses pembelajaran yang dibangun atas pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan siswa. Para siswa didorong untuk berkolaborasi memecahkan
masalah, dan bukannya sekedar menerima instruksi langsung dari gurunya. Tugas guru
dalam lingkungan belajar berbasis pertanyaan ini bukanlah untuk menyediakan
pengetahuan, namun membantu siswa menjalani proses menemukan sendiri
pengetahuan yang mereka cari. Guru berfungsi sebagai fasilitator dan bukan sumber
jawaban.
Inquiry Based Learning didasari atas pemikiran John Dewey, seorang pakar
pendidikan Amerika, yang mengatakan bahwa pembelajaran, perkembangan, dan
pertumbuhan seorang manusia akan optimal saat mereka dihadapkan dengan masalah
nyata dan substantif untuk dipecahkan. Ia percaya bahwa kurikulum dan instruksi
seharusnya didasarkan pada tugas dan aktivitas berbasis komunitas yang integratif dan
melibatkan para pembelajar dalam tindakan-tindakan sosial pragmatis yang membawa
manfaat nyata pada dunia. Inkuiri mengasumsi bahwa sekolah berperan sebaik mungkin
untuk mempermudah pengembangan diri sendiri (self - development). Oleh karena itu,
inkuiri bersifat berpusat pada siswa, menentukan supaya para siswa ikut serta secara
aktif dalam pembelajarannya. Inkuiri melibatkan unsur search surprise, dan sifat ini
menjadikannya bersifat sangat memotivasi siswa. Tidak ada kumpulan pengetahuan
dan kecakapan yang harus dipelajari oleh semua. Proses pembelajaran dipandang
sebagai hasil yang penting seperti produknya, misalnya apa yang dipelajari.
Sedangkan guru dalam model Inquiry Based Learning berperan sebagai fasilitator
yang memberikan tantangan kepada para siswa dengan membantu mereka
mengidentifikasi pertanyaan dan masalah, serta membimbing inkuiri yang dilakukan.
Dengan demikian, pendekatan inkuiri memandang siswa sebagai pemikir yang aktif
mencari, memeriksa, memproses data dari lingkunganya menuju beragam tujuan yang
paling cocok dengan karakteristik-karakteristik mentalnya.
Menurut khoirul Anam (2015, 7) mengemukakan bahwa :
“ Secara bahasa, Inkuiri berasal dari kata inquiry yang merupakan kata,
dalam bahasa inggris yang berarti; penyelidikan/meminta keterangan;
terjemahan bebas untuk konsep ini adalah “ siswa diminta untuk
mencari dan menemukan sendiri’’. Dalam konteks penggunaan inkuiri
sebagai metode belajar mengajar, siswa ditempatkan sebagai subjek
pembelajaran, yang berarti bahwa siswa memiliki andil besar dalam
menentukan suasana dan model pembelajaran. Dalam metode ini,
setiap peserta didik didorong untuk terlibat aktif dalam proses belajar
mengajar, salah satunya dengan secara aktif mengajukan pertanyaan
yang baik terhadap setiap materi yang disampaikan dan pertanyaan
tersebut tidak harus selalu dijawab oleh guru, karena semua peserta
didik memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan jawaban
atas pertanyaan yang diajukan ”.

Sumantri (1999, 164) menyatakan bahwa metode inkuiri adalah cara penyajian
pelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan informasi
dengan atau tanpa bantuan guru. Model inkuiri berupaya menanamkan dasar-dasar
berpikir ilmiah pada diri siswa, dan menempatkan siswa dalam suatu peran yang
menuntut inisiatif besar dalam menemukan hal-hal penting untuk dirinya sendiri.
Menurut (Gulo 2002 dalam Trianto 2014, 78) berpendapat bahwa :
“ Inkuiri berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan
secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan
menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analisis, sehingga mereka
dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.
Sasaran utama kegiatan pembelajaran inkuiri yaitu (a) keterlibatan
siswa secara maksimal dalam proses kegiatan belajar; (b) keterarahan
kegiatan secara logis dan sistematis pada tujuan pembelajaran; dan (c)
mengembangkan sikap percaya pada diri siswa tentang apa yang
ditemukan dalam proses inkuiri ”.

Menurut Carin and Sund dalam Ahmadi (2005, 108) berpendapat bahwa :
Metode inkuiri didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan belajar
yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk
mencari dan menyelidiki masalah secara sistematis, kritis, logis, dan
analisis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuan mereka
dengan rasa percaya diri.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat kita simpulkan bahwa inkuiri
berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh
kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis,
analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh
pada keterlibatan siswa secara maksimal dalam kegiatan belajar, mengembangkan
sikap percaya diri pada siswa tentang apa yang ditemukan dalam proses inkuiri.
b. Karakteristik Model Inquiry Based Learning
Karakteristik model Inquiry Based Learning menurut Gulo (2002, 95) adalah
sebagai berikut: a. driving question or problem, b. interdisciplinary focus, c. authentic
Investigation, d. production of artifacts and exhibits, e. collaboration Inquiry Based
Learning mengorganisasikan pengajaran seputar penemuan dan pemecahan masalah
yang penting secara sosial dan bermakna secara personal bagi peserta didik. Masalah
yang diinvestigasi dipilih karena solusinya menuntut peserta didik untuk menggali
banyak subjek. Investigasi autentik yang berusaha menemukan solusi riil untuk masalah
riil. Peserta didik harus menganalisis dan menetapkan masalahnya, mengembangkan
hipotesis dan membuat prediksi, mengumpulkan dan menganalisis informasi,
melaksanakan eksperimen, membuat referensi, dan menarik kesimpulan.
Hasil investigasi berbentuk produk berupa pemahaman dengan mengkonstruksi hal
yang dapat menjelaskan atau merepresentasikan solusi mereka. Produk itu bisa
berbentuk debat bohong-bohongan, bisa berbentuk laporan, model fisik, video, atau
program komputer yang nanti akan dideskripsikan, dirancang oleh peserta didik untuk
mendemonstrasikan kepada orang lain apa yang telah mereka pelajari dan memberikan
alternatif yang menyegarkan untuk makalah wajib atau ujian tradisional. Kolaborasi
atau kerja sama memberikan motivasi untuk keterlibatan secara berkelanjutan dalam
tugas-tugas kompleks dan meningkatkan kesempatan untuk berdialog bersama, dan
untuk mengembangkan berbagai keterampilan sosial.
Sifat-sifat atau karakteristik yang ingin dimunculkan dari para siswa dalam
lingkungan IBL ini, menurut Neil Postman dan Charles Weingartner (2001: 9) adalah:
a. Percaya diri terhadap kemampuan belajarnya.
b. Senang saat berusaha memecahkan masalah.
c. Percaya pada penilaian sendiri dan tidak sekedar bergantung pada penilaian
orang lain maupun lingkungan.
d. Tidak takut menjadi salah.
e. Tidak ragu dalam menjawab.
f. Fleksibilitas pandangan.
g. Menghargai fakta dan mampu membedakan antara fakta dan opini.
h. Tidak merasa perlu mendapat jawaban final untuk semua pertanyaan dan
lebih merasa nyaman saat tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan sulit
daripada sekedar menerima jawaban yang terlalu disederhanakan.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat kita simpulkan bahwa karakteristik
model Inquiry Based Learning adalah dapat menemukan dan memecahkan masalah dengan
rasa percaya diri.
c. Prinsip-Prinsip Inquiry Based Learning
Sagala (2009, 69) menyatakan bahwa prinsip pembelajaran yang digunakan
mengalami perubahan pendekatan cara lama menjadi cara baru, karena pendekatan
tersebut mengedepankan kajian psikologi. Pendekatan ini mengacu pada kondisi dan
situasi peserta didik dalam menjalani proses pembelajaran, pendekatan inkuiri
mengedepankan kajian psikologi dan beracuan pada kondisi dan situasi peserta didik
dalam menjalani proses pembelajaran. Seiring dengan perkembangan zaman,
pendekatan pembelajaran kini telah banyak mengalami perubahan.
Dalam hal ini Sagala (2009, 69) mengidentifikasi beberapa prinsip dalam
pendekatan dari cara lama ke cara yang baru sebagai berikut:
a. Penerapan prinsip-prinsip belajar mengajar yang lugas dan terencana.
b. Mengacu pada aspek-aspek perkembangan sesuai tingkat peserta didik.
c. Dalam proses pembelajaran menghormati individu peserta didik.
d. Memperhatikan kondisi objektif individu bertitik tolak pada perkembangan
pribadi peserta didik.
e. Menggunakan metode dan teknik mengajar yang sesuai dengan materi
pelajaran.Memaparkan konsep masalah dengan penuh disiplin.
f. Menggunakan pengukuran dan evaluasi belajar yang standar untuk
mengukur kemampuan belajar.
g. Penggunaan alat-alat audio visual dengan memanfaatkan fasilitas maupun
perlengkapan yang tersedia secara optimal.
Menurut Sanjaya (2010, 99) penggunaan inkuiri harus memperhatikan bebrapa
prinsip-prinsip, yaitu diantaranya:
a. Berorientasi pada pengembangan intelektual
Tujuan utama dari strategi inkuiri adalah pengembangan kemamapuan
berpikir. Strategi pembelajaran ini selain berorientasi pada hasil belajar juga
beroreintasi pada proses belajar. Kriteria keberhasilan dari proses
pembelajaran dengan menggunakan strategi inkuiri bukan ditentukan sejauh
mana siswa dapat menguasai materi pelajaran, namun sejauh mana siswa
beraktivitas mencari dan menemukan.
b. Prinsip Interaksi
Proses pembelajaran pada dasarnya adalah proses interaksi, baik interaksi
antara siswa maupun interaksi siswa dengan guru bahkan antara siswa dengan
lingkungan. Pembelajaran sebagai proses interaksi berarti menempatkan guru
bukan sebagai sumber belajar, tetapi sebagai pengatur lingkungan atau
pengatur interaksi itu sendiri.
c. Prinsip Bertanya
Peran guru dalam menggunakan model inkuiri adalah guru sebagai penanya.
Sebab kemampuan siswa untuk menjawab setiap pertanyaan pada dasarnya
sudah merupakan sebagian dari proses berpikir.
d. Prinsip Belajar untuk Berpikir
Belajar bukan hanya mengingat sejumlah fakta, namun belajar adalah proses
berpikir (learning how to think) yakni proses mengembangkan potensi seluruh
otak, baik otak kiri maupun otak kanan. Pembelajaran berpikir adalah
pemanfaatan dan penggunaan otak secara maksimal.
e. Prinsip Keterbukaan
Belajar adalah suatu proses mencoba kemungkinan, segala sesuatu mungkin
saja terjadi. Oleh karena itu anak-anak perlu diberikan kebebasan untuk
mencoba sesuai dengan perkembangan kemampuan logika dan nalar.
Pembelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang menyediakan
berbagai kemungkinan sebagai hipotesis yang harus dibuktikan kebenarannya.
Tugas guru adalah menyediakan ruang untuk memberikan kesempatan kepada
siswa mengembangkan hipotesis dan secara terbuka membuktikan kebenaran
hipotesis yang diajukan.
Dari pendapat para ahli di atas, dapat kita simpulkan bahwa prinsip dalam Inquiry
Based Learning adalah mengacu pada aspek perkembangan siswa, mengembangkan
kemampuan berpikir, bertanya berinteraksi, dan mencoba segala kemungkinan yang
ada dengan memanfaatkan beragam cara.
d. Langkah-Langkah Model Inquiry Based Learning
Langkah-langkah dengan model inkuiri sebagai berikut :
a. Mengajak siswa membayangkan seakan-akan dalam kondisi yang
sebenarnya.
b. Mengidentifikasi komponen-komponen yang berada di sekeliling kondisi
tersebut.
c. Merumuskan permasalahan dan membuat hipotesis pada kondisi tersebut.
d. Memperoleh data dari kondisi tersebut dengan membuat pertanyaan dan
jawabannya “ya” atau “tidak”.
e. Membuat kesimpulan dari data-data yang diperoleh.
Secara umum, langkah-langkah model inkuiri based learning dalam sebagai berikut:
a. Orientasi
Langkah orientasi adalah langkah untuk membina suasana atau iklim
pembelajaran yang responsif. Pada langkah ini guru mengkondisikan agar siswa
siap melaksanakan proses pembelajaran. Guru merangsang dan mengajak siswa
untuk berpikir memecahkan masalah. Langkah orientasi merupakan langkah
yang sangat penting. Keberhasilan strategi ini sangat tergantung pada kemauan
siswa untuk beraktivitas menggunakan kemampuannya dalam memecahkan
masalah, tanpa kemauan dan kemampuan maka proses pembelajaran tidak akan
berjalan dengan lancar.
b. Merumuskan Masalah
Merumuskan masalah merupakan langkah membawa siswa pada suatu
persoalan yang mengandung teka-teki. Persoalan yang disajikan adalah
persoalan yang menantang siswa untuk berpikir memecahkan teka-teki itu.
Dikatakan teka-teki dalam rumusan masalah yang ingin dikaji disebabkan
masalah itu tentu ada jawabannya, dan siswa didorong untuk mencari jawaban
yang tepat. Proses mencari jawaban itulah yang sangat penting dalam strategi
inkuiri, oleh sebab itu melalui proses tersebut siswa akan memperoleh
pengalaman yang sangat berharga sebagai upaya mengembangkan mental
melalui proses berpikir.
c. Merumuskan Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu permasalahan yang sedang
dikaji. Sebagai jawaban sementara, hipotesis perlu diuji kebenarannya.
Perkiraan sebagai hipotesis bukan sembarang perkiraan, tetapi harus memiliki
landasan berpikir yang kokoh, sehingga hipotesis yang dimunculkan itu bersifat
rasional dan logis. Kemampuan berpikir logis itu sendiri akan sangat
dipengaruhi oleh kedalaman wawasan yang dimiliki serta keluasan pengalaman.
Dengan demikian, setiap individu yang kurang mempunyai wawasan akan sulit
mengembangkan hipotesis yang rasional dan logis.
d. Mengumpulkan data
Mengumpulkan data adalah aktifitas menjaring informasi yang dibutuhkan
untuk menguji hipotesis yang diajukan. Dalam pembelajaran inkuiri,
mengumpulkan data merupakan proses mental yang sangat penting dalam
pengembangan intelektual. Proses pengumpulan data bukan hanya memerlukan
motivasi yang kuat dalam belajar, akan tetapi juga membutuhkan ketekunan dan
kemampuan menggunakan potensi berpikirnya.
e. Menguji hipotesis
Menguji hipotesis adalah menentukan jawaban yang dianggap diterima sesuai
dengan data atau informasi yang diperoleh berdasarkan pengumpulan data.
Menguji hipotesis juga berarti mengembangkan kemampuan berpikir rasional.
Artinya, kebenaran jawaban yang diberikan bukan hanya berdasarkan
argumentasi, akan tetapi harus didukung oleh data yang ditemukan dan dapat
dipertanggungjawabkan.
f. Merumuskan kesimpulan
Merumuskan kesimpulan adalah proses mendeskripsikan temuan yang
diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Untuk mencapai kesimpulan
yang akurat sebaiknya guru mampu menunjukkan pada siswa data mana yang
relevan.
Gulo (2005) menyatakan bahwa inquiry tidak hanya mengembangkan kemampuan
dan intelektual tetapi seluruh potensi yang ada termasuk pengembangan emosional dan
keterampilan inquiry merupakan suatu proses yang bermula dari merumuskan masalah,
merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data dan membuat
kesimpulan.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat kita simpulkan langkah-langkah dari
model Inquiry Based Learning adalah :
a. Stimulation : Guru mulai dengan bertanya mengajukan persoalan atau
menyuruh peserta didik membaca atau mendengarkan uraian yang memuat
permasalahan.
b. Problem statement : peserta didik diberi kesempatan mengidentifikasi berbagai
permasalahan, sebanyak mungkin memilihnya yang dipandang paling menarik
dan fleksibel untuk dipecahkan. Permasalahan yang dipilih ini selanjutnya
harus dirumuskan dalam pertanyaan atau hipotesis (pernyataan sebagai
jawaban sementara atas pertanyaan tersebut)
c. Data collection : untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya
hipotesis itu peserta didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan berbagai
informasi yang relevan, dengan jelas membaca literatur, mengamati objeknya,
mewawancarai orang sumber, mencoba (uji coba) sendiri dan sebagainya.
d. Data processing : semua informasi (hasil bacaan wawancara, observasi, dan
sebagainya) itu diolah diacak diklasifikasikan, ditabulasikan, bahkan kalau
perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan dengan tingkat
kepercayaan tertentu.
e. Verification : berdasarkan hasil olahan dan tafsiran atau informasi yang ada
tersebut(available information), pertanyaan atau hipotesis yang dirumuskan
terlebih dahulu kemudian dicek, atau apakah terjawab atau, dengan kata lain
terbukti atau tidak.
f. Generalization : tahap selanjutnya, berdasarkan hasil verifikasi tadi siswa
belajar menarik generalisasi/ kesimpulan tertentu.
e. Kelebihan dan Kelemahan Inquiri Based Learning
Pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah, peran guru lebih aktif sebagai
pemberi pengetahuan bagi peserta didik, guru dianggap sebagai sumber informasi,
sedangkan peserta didik hanya sebaga subjek yang harus menerima materi pelajaran
yang diberikan oleh guru. Akibatnya peserta didik memiliki banyak pengetahuan tetapi
tidak pernah dilatih untuk menemukan pengetahuan dan konsep sehingga peserta didik
cenderung lebih cepat bosan dalam mengikuti pelajaran, serta cepat lupa dengan materi
pelajaran yang diajarkan.
Masalah demikian dapat diatasi dengan cara menerapkan model Inquiry Based
Learning dalam kegiatan pembelajaran, karena dengan pendekatan ini peserta didik
dilibatkan secara aktif dalam kegiatan. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa model
Inquiry Based Learning mempunyai bankelebihan dibandingkan dengan metode
ceramah. Adapun kelebihan model dengan pendekatan Inquiry Based Learning menurut
Sagala (2009, 69) sebagai berikut:
a. Kelebihan Model Inquiry Based Learning
1. Dapat membentuk dan mengembangkan “self-concept” pada diri peserta
didik, sehingga peserta didik dapat mengerti tentang konsep dasar dan
ide-ide lebih baik.
2. Membantu dalam menggunakan ingatan dan transfer pada situasi proses
belajar yang baru.
3. Mendorong peserta didik berpikir dan bekerja atas inisiatifnya sendiri,
bersikap obyektif, jujur, dan terbuka.
4. Mendorong peserta didik untuk berpikir intuitif dan merumuskan
hipotesisnya sendiri.
5. Memberi kepuasan yang bersifat intrinsik.
6. Situasi proses belajar menjadi merangsang.
7. Dapat mengembangkan bakat atau kecakapan individu.
8. Memberi kebebasan peserta didik untuk belajar sendiri.
9. Peserta didik dapat menghindari dari cara-cara belajar tradisional.
10. Dapat memberikan waktu pada peserta didik secukupnya sehingga
mereka dapat mengasimilasi dan mengakomodasi informasi.
Menurut Azizah (2014, 235) berpendapat bahwa kelebihan pembelajaran inkuiri :
1. Pembelajaran ini merupakan pembelajaran yang menekankan kepada
pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara seimbang,
sehingga pembelajaran melalui pembelajaran ini dianggap jauh lebih
bermakna.
2. Pembelajaran ini dapat memberikan ruang kepada siswa utuk belajar sesuai
dengan gaya belajar mereka.
3. Pembelajaran ini merupakan strategi yang dianggap sesuai dengan
perkembangan psikologi belajar modern yang menganggap belajar adalah
proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman.
4. Keuntungan lain yaitu dapat melayani kebutuhan siswa yang memiliki
kemampuan diatas rata-rata. Artinya, siswa yang memiliki kemampuan
belajar bagus tidak akan terhambat oleh siswa yang lemah dalam belajar.
Berdasarkan kelebihan tersebut di atas, model Inquiry Based Learning merupakan
model pembelajaran yang memotivasi peserta didik untuk lebih aktif dalam mengikuti
pembelajaran, namun selain memiliki kelebihan, model Inquiry Based Learning ini
juga meiliki kekurangan.
b. Kekurangan Model Inquiry Based Learning menurut Sagala (2009, h.69)
sebagai berikut:
1. Diharuskan adanya kesiapan mental pada peserta didik.
2. Perlu adanya proses penyesuaian/adaptasi dari metode tradisional ke
pendekatan ini.
3. Dalam mengimplementasikannya, memerlukan waktu yang panjang
sehingga sering guru sulit menyesuaikan dengan waktu yang telah
ditentukan.
Menurut Azizah (2014, 235)berpendapat bahwa kekurangan pembelajaran inkuiri :
1. Sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan siswa.
2. Sulit dalam merencanakan pembelajaran oleh karena terbentur dengan
kebiasaan siswa dalam belajar.
3. Kadang-kadang dalam mengimplementasikannya, memerlukan waktu yang
panjang sehingga sering guru sulit menyesuaikannya dengan waktu yang
telah ditentukan.
4. Selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan siswa
menguasai materi pelajaran, maka strategi ini tampaknya akan sulit
diimplemetasikan.
Berdasarkan kekurangan tersebut di atas, model Inquiry Based Learning merupakan
model pembelajaran yang membutuhkan kesiapan mental, proses penyesuaian, dan
waktu yang panjang dalam mengimplementasikannya.
3. Self-efficacy
a. Pengertian Self-efficacy
Menurut Bandura self-efficacy adalah persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus
diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu. Self-efficacy berhubungan dengan keyakinan
diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan. Self-efficacy adalah
penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah,
bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Self-efficacy
berbeda dengan aspirasi (cita-cita), karena cita-cita menggambarkan sesuatu yang ideal
yang seharusnya (dapat dicapai), sedang self-efficacy menggambarkan penilaian
kemampuan diri (Alwilsol, 2007).
Self-efficacy merupakan konstruk yang diajukan Bandura yang berdasarkan teori
sosial kognitif. Dalam teorinya, Bandura menyatakan bahwa tindakan manusia
merupakan suatu hubungan yang timbal balik antara individu, lingkungan, dan perilaku
(triadic reciprocal causation). Teori self- efficacy merupakan komponen penting pada
teori kognitif sosial yang umum, di mana dikatakan bahwa perilaku individu,
lingkungan, dan faktor-faktor kognitif (misalnya, pengharapan-pengharapan terhadap
hasil dan self-efficacy) memiliki saling keterkaitan yang tinggi. Bandura mengartikan
self-efficacy sebagai kemampuan pertimbangan yang dimiliki seseorang untuk melak
sanakan pola perilaku tertentu (Bandura, 1986).
Gist (1987) dengan merujuk pendapat Bandura, Adam, Hardy dan Howells,
menyebutkan bahwa self-efficacy timbul dari perubahan bertahap pada kognitif yang
kompleks, sosial, linguistik, dan/atau keahlian fisik melelui pengalaman. Individu-
individu nampak mempertimbangkan, menggabungkan, dan menilai informasi
berkaitan dengan kemampuan mereka kemudian memutuskan berbagai pilihan dan
usaha yang sesuai.
Bandura (2001) mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan manusia pada
kemampuan mereka untuk melatih sejumlah ukuran pengendalian terhadap fungsi diri
mereka dan kejadian-kejadian di lingkunganya, dan ia juga yakin kalau self-efficacy
adalah fondasi keagenan manusia.
Bandura dan Wood (1989) menyatakan bahwa self-efficacy memiliki peran utama
dalam proses pengaturan melalui motivasi individu dan pencapaian kerja yang sudah
ditetapkan. Pertimbangan dalam self-efficacy juga menentukan bagaimana usaha yang
dilakukan orang dalam melaksanakan tugasnya dan berapa lama waktu yang dibutuhkan
untuk menyelesaikan tugas tersebut. Lebih jauh disebutkan bahwa orang dengan
pertimbangan self- efficacy yang kuat mampu menggunakan usaha terbaiknya untuk
mengatasi hambatan, sedangkan orang dengan self-efficacy yang lemah cenderung
untuk mengurangi usahanya atau lari dari hambatan yang ada.
Self-efficacy merupakan kepercayaan terhadap kemampuan seseorang untuk
menjalankan tugas. Orang yang percaya diri dengan kemampuannya cenderung untuk
berhasil, sedangkan orang yang selalu merasa gagal cenderung untuk gagal. Bandura
(1991) mengungkapkan bahwa individu yang memiliki self-efficacy tinggi akan
mencapai suatu kinerja yang lebih baik karena individu ini memiliki motivasi yang kuat,
tujuan yang jelas, emosi yang stabil dan kemampuannya untuk memberikan kinerja atas
aktivitas atau perilaku dengan sukses. Berbeda individu dengan self-efficacy rendah
yang akan cenderung tidak mau berusaha atau lebih menyukai kerjasama dalam situasi
yang sulit dan tingkat kompleksitas tugas yang tinggi.
Menurut Gibson et al., (1997), konsep self-efficacy atau keberhasilan diri
merupakan keyakinan bahwa seseorang dapat berprestasi baik dalam satu situasi
tertentu. Keberhasilan diri mempunyai tiga dimensi yaitu: tingginya tingkat kesulitan
tugas seseorang yang diyakini masih dapat dicapai, keyakinan pada kekuatan, dan
generalisasi yang berarti harapan dari sesuatu yang telah dilakukan.
Peter mempunyai pendapat bahwa Self-efficacy merupakan sikap atau perasaan
yakin atas kemapuan diri sendiri sehingga orang yang bersangkutan tidak terlalu cemas
dalam tindakan-tindakannya, dapat merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang
disukainya dan bertanggung jawab atas perbuatannya, hangat dan sopan dalam
berinteraksi dengan orang lain, dapat menerima dan menghargai orang lain, memiliki
dorongan untuk berprestasi serta mengenal kelebihan dan kekurangannya.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa self-efficacy adalah
keyakinan individu dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang dihadapinya
diberbagai situasi serta mampu menentukan tindakan dalam menyelesaikan tugas atau
masalah tertentu, sehingga individu tersebut mampu mengatasi rintangan dan mencapai
tujuan yang diharapkan.
b. Klasifikasi Self-efficacy
Secara garis besar, self-efficacy terbagi atas dua bentuk yaitu self- efficacy tinggi
dan self-efficacy rendah.
1. Self-efficacy tinggi
Dalam mengerjakan suatu tugas, individu yang memiliki self- efficacy yang
tinggi akan cenderung memilih terlibat langsung. Individu yang memiliki self-
efficacy yang tinggi cenderung mengerjakn tugas tertentu, sekalipun tugas
tersebut adalah tugas yang sulit. Mereka tidak memandang tugas sebagai suatu
ancaman yang harus mereka hindari. Selain itu, mereka mengembangkan minat
instrinsik dan ketertarikan yang mendalam terhadap suatu aktivitas,
mengembangkan tujuan, dan berkomitmen dalam mencapai tujuan tersebut.
Mereka juga meningkatkan usaha mereka dalam mencegah kegagalan yang
mungkin timbul. Mereka yang gagal dalam melaksanakan sesuatu, biasanya
cepat mendapatkan kembali self-efficacy mereka setelah mengalami kegagalan
tersebut.
Individu yang memiliki self-efficacy tinggi menganggap kegagalan sebagai
akibat dari kurangnya usaha yang keras, pengetahuan, dan ketrampilan. Di
dalam melaksanakan berbagai tugas, orang yang mempunyai self-efficacy tinggi
adalah sebagai orang yang berkinerja sangat baik. Mereka yang mempunyai
self-efficacy tinggi dengan senang hati menyongsong tantangan.
Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: mampu menangani masalah yang mereka hadapi secara efektif, yakin
terhadap kesuksesan dalam menghadapi masalah atau rintangan, masalah
dipandang sebagai suatu tantangan yang harus dihadapi bukan untuk dihindari,
gigih dalam usahanya menyelesaikan masalah, percaya pada kemampuan yang
dimilikinya, cepat bangkit dari kegagalan yang dihadapinya, suka mencari
situasi yang baru.
2. Self-efficacy rendah
Individu yang ragu akan kemampuan mereka (self-efficacy yang rendah)
akan menjauhi tugas-tugas yang sulit karena tugas tersebut dipandang sebagai
ancaman bagi mereka. Individu yang seperti ini memiliki aspirasi yang rendah
serta komitmen yang rendah dalam mencapai tujuan yang mereka pilih atau
mereka tetapkan. Ketika menghadapi tugas-tugas yang sulit, mereka sibuk
memikirkan kekurangan- kekurangan diri mereka, gangguan-gangguan yang
mereka hadapi, dan semua hasil yang dapat merugikan mereka. Dalam
mengerjakan suatu tugas, individu yang memiliki self-efficacy rendah
cenderung menghindari tugas tersebut.
Individu yang memiliki self-efficacay yang rendah tidak berfikir tentang
bagaimana cara yang baik dalam menghadapi tugas-tugas yang sulit. Saat
menghadapi tugas yang sulit, mereka juga lamban dalam membenahi atau pun
mendapatkan kembali self-efficacy mereka ketika menghadapi kegagalan.
Didalam melaksanakan berbagai tugas, mereka yang memiliki self-efficacy
rendah mencobapun tidak bisa, tidak peduli betapa baiknya kemampuan mereka
yang sesungguhnya. Rasa percaya diri meningkatkan hasrat untuk berprestasi,
sedangkan keraguan menurunkannya.
Individu yang memiliki self-efficacy yang rendah memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: lamban dalam membenahi atau mendapatkan kembali self-efficacynya
ketika menghadapi kegagalan, tidak yakin bisa menghadapi masalahnya,
menghindari masalah yang sulit (ancaman dipandang sebagai sesuatu yang
harus dihindari), mengurangi usaha dan cepat menyerah ketika menghadapi
masalah, ragu pada kemampuan diri yang dimilikinya, tidak suka mencari
situasi yang baru, aspirasi dan komitmen pada tugas lemah.
c. Tahap perkembangan Self-efficacy
Bandura (1997) menyatakan bahwa self-efficacy berkembang secara teratur. Bayi
mulai mengembangkan self-efficacy sebagai usaha untuk melatih pengaruh lingkungan
fisik dan sosial. Mereka mulai mengerti dan belajar mengenai kemampuan dirinya,
kecakapan fisik, kemampuan sosial, dan kecakapan berbahasa yang hampir secara
konstan digunakan dan ditujukan pada lingkunagan. Awal dari pertumbuhan self-
efficacy dipusatkan pada orangtua kemudian dipengaruhi oleh saudara kandung, teman
sebaya, dan orang dewasa lainya. Self-efficacy pada masa dewasa meliputi penyesuaian
pada masalah perkawinan dan peningkatan karir. Sedangkan self-efficacy pada masa
lanjut usia, sulit terbentuk sebab pada masa ini terjadi penurunan mental dan fisik,
pensiun kerja, dan penarikan diri dari lingkungan sosial.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulakn bahwa tahap perkembangan self-
efficacy dimulai dari masa bayi, kemudian berkembang hingga masa dewasa sampai
pada masa lanjut usia.
d. Dimensi Self-efficacy
Bandura membagi dimensi self-efficacy menjadi tiga dimensi yaitu level,
generality,strength.
1. Dimensi level atau magnitude
Mengacu pada taraf kesulitan tugas yang diyakini individu akan mampu
mengatasinya. Tingkat self-efficacy seseorang berbeda satu sama lain.
Tingkatan kesulitan dari sebuah tugas, apakah sulit atau mudah akan
menentukan self-efficacy. Pada suatu tugas atau aktivitas, jika tidak terdapat
suatu halangan yang berarti untuk diatasi, maka tugas tersebut akan sangat
mudah dilakukan dan semua orang pasti mempunyai self- efficacy yang tinggi
pada permasalahan ini. Sebagai contoh, Bandura (1997) menjelaskan keyakinan
akan kemampuan meloncat pada seorang atlit. Seorang atlit menilai kekuatan
dari keyakinannya bahwa dia mampu melampaui kayu penghalang pada
ketinggian yang berbeda. Seseorang dapat memperbaiki atau meningkatkan self-
efficacy belief dengan mencari kondisi yang mana dapat menambahkan
tantangan dan kesulitan yang lebih tinggi levelnya.
2. Dimensi Generality
Mengacu pada variasi situasi di mana penilaian tentang self- efficacy dapat
diterapkan. Seseorang dapat menilai dirinya memiliki efikasi pada banyak
aktifitas atau pada aktivitas tertentu saja. Dengan semakin banyak self-efficacy
yang dapat diterapkan pada berbagai kondisi, maka semakin tinggi self-efficacy
seseorang.
Individu mungkin akan menilai diri merasa yakin melalui bermacam-macam
aktivitas atau hanya dalam daerah fungsi tertentu. Keadaan umum bervariasai
dalam jumlah dari dimensi yang berbeda-beda, diantaranya tingkat kesamaan
aktivitas, perasaan dimana kemampuan ditunjukkan (tingkah laku, kognitif,
afektif), ciri kualitatif situasi, dan karakteristik individu menuju kepada siapa
perilaku itu ditunjukan.
3. Dimensi Strength
Terkait dengan kekuatan dari self-efficacy seseorang ketika berhadapan
dengan tuntutan tugas atau suatu permasalahan. Self-efficacy yang lemah dapat
dengan mudah ditiadakan dengan pengalaman yang menggelisahkan ketika
menghadapi sebuah tugas. Sebaliknya orang yang memiliki keyakinan yang
kuat akan bertekun pada usahanya meskipun pada tantangan dan rintangan yang
tak terhingga. Dia tidak mudah dilanda kemalangan. Dimensi ini mencakup
pada derajat kemantapan individu terhadap keyakinannya. Kemantapan inilah
yang menentukan ketahanan dan keuletan individu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dimensi self-efficacy itu
meliputi: Taraf kesulitas tugas yang dihadapi individu dan individu yakin
mampu mengatasinya, variasi aktivitas sehingga penilaian tentang self-efficacy
dapat diterapkan, dan kekuatan dari self-efficacy individu ketika menghadapi
suatu permasalahan.
e. Faktor-faktor yang mempengaruhi Self-efficacy
Bandura (1997) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
self-efficacy pada diri individu antara lain:
1. Budaya
Budaya mempengaruhi self-efficacy melalui nilai (values), kepercayaan
(beliefs), dalam proses pengaturan diri (self-regulatory process) yang berfungsi
sebagai sumber penilaian self-efficacy dan juga sebagai konsekuensi dari keyakinan
akan self-efficacy.
2. Gender
Perbedaan gender juga berpengaruh terhadap self-efficacy. Hal ini dapat
dilihat dari penelitian Bandura (1997) yang menyatakan bahwa wanita lebih
efikasinya yang tinggi dalam mengelola peranya. Wanita yang memiliki peran
selain sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai wanita karir akan memiliki self-
efficacy yang tinggi dibandingkan dengan pria yang bekerja.
3. Sifat dari tugas yang dihadapi
Derajat dari kompleksitas dari kesulitan tugas yang dihadapi oleh individu
akan mempengaruhi penilaian individu tersebut terhadap kemampuan dirinya
sendiri. Semakin kompleks tugas yang dihadapi oleh individu maka akan semakin
rendah individu tersebut menilai kemampuanya. Sebaliknya, jika individu
dihadapkan pada tugas yang mudah dan sederhana maka akan semakin tinggi
individu tersebut menilai kemampuanya.
4. Intensif eksternal
Faktor lain yang dapat mempengaruhi self-efficacy individu adalah insentif
yang diperolehnya. Bandura menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat
meningkatkan self-efficacy adalah competent continges incentive, yaitu insentif
yang diberikan orang lain yang merefleksikan keberhasilan seseorang.
5. Status atau peran individu dalam lingkungan
Individu yang memiliki status yang lebih tinggi akan memperoleh derajat
kontrol yang lebih besar sehingga self-efficacy yang dimilikinya juga tinggi.
Sedangkan individu yang memiliki status yang lebih rendah akan memiliki kontrol
yang lebih kecil sehingga self-efficacy yang dimilikinya juga rendah.
6. Informasi tentang kemampuan diri
Individu yang memiliki self-efficacy tinggi, jika ia memperoleh informasi
positif mengenai dirinya, sementara individu akan memiliki self- efficacy yang
rendah, jika ia memperoleh informasi negatif mengenai dirinya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulakn bahwa faktor- faktor
yang mempengaruhi self-efficacy adalah budaya, gender, sifat dari tugas yang
dihadapi, intensif eksternal, status dan peran individu dalam lingkungan, serta
informasi tentang kemampuan dirinya.
7. Sumber Self-efficacy
Bandura (1997) Self-efficacy pribadi didapatkan, dikembangkan, atau diturunkan
melalui suatu atau dari kombinasi dari empat sumber berikut: Mastery experience
(pengalaman-pengalaman tentang penguasaan), Social modeling (permodelan sosial),
Social persuasion (persuasi sosial), Physical and emotional state (kondisi fisik dan
emosi).
1. Mastery Experience/ Performance accomplishment
Pengalaman-pengalaman tentang penguasaan. Sumber berpengaruh bagi
self-efficacy adalah pengalamn-pengalaman tentang penguasaan (mastery
experience), yaitu performa-performa yang sudah dilakukan di masa lalu.
Biasanya kesuksesan kinerja akan membangkitkan ekspektansi ekspektansi
terhadap kemampuan diri untuk memengaruhi hasil yang diharapkan,
sedangkan kegagalan cenderung merendahkanya.
Pernyatan di atas memiliki enam konsekuensi praktis: 1) kesuksesan kinerja
akan membangkitkan self-efficacy dalam menghadapi kesulitan tugas 2) tugas
yang dikerjakan dengan sukses lebih membangkitkan self-efficacy ketimbang
kesuksesan membantu orang lain 3) kegagalan lebih banyak menurunkan self-
efficacy, terutam jika kita sudah sadar sudah mengupayakan yang terbaik dan
sebaliknya kegagalan karena tidak berupaya maksimal tidak begitu menurunkan
self-efficacy 4) kegagalan dibawah kondisi emosi yang tinggi atau tingkatan
stress tinggi self-efficacy-nya tidak selemah daripada kegagalan di bawah
kondisi- kondisi maksimal 5) kegagalan sebelum memperoleh pengalaman-
pengalaman tentang penguasaan lebih merusak self-efficacy-nya dari pada
kegagalan sesudah memperolehnya 6) kegagalan pekerjaan memiliki efek yang
kecil saja bagi self-efficacy khususnya bagi mereka yang memiliki ekspektasi
kesuksesan tinggi.
2. Vicarious Experience
Dengan mengamati orang lain mampu melakukan aktivitas dalam situasi
yang menekan tanpa mengalami akibat yang merugikan dapat menumbuhkan
pengharapan bagi pengamat. Timbul keyakinan bahwa nantinya ia akan berhasil
jika berusaha secara intensif dan tekun. Mereka mensugesti diri bahwa jika
orang lain dapat melakukan, tentu mereka juga dapat berhasil setidaknya dengan
sedikit perbaikan dalam performansi.
Apabila orang lain tidak setara dengan kita, pemodelan sosial hanya
memberikan efek kecil saja bagi self-efficacy Secara umum, efek- efek
pemodelan sosial dalam meningkatkan self-efficacy tidak sekuat perfoma sosial.
Sebaliknya, pemodelan sosial dapat memiliki efek yang kuat jika berkaitan
dengan ketidak percayaaan diri.
3. Verbal Persuasion
Bandura (1997) Self-efficacy dapat juga diraih atau dilemahkan lewat
persuasi sosial. Orang diarahkan, melalui sugesti dan bujukan, untuk percaya
bahwa mereka dapat mengatasi masalah-masalah dimasa datang. Harapan
efficacy yang tumbuh melalui cara ini lemah dan tidak bertahan lama. Dalam
kondisi yang menekan serta kegagalan terus menerus, pengharapan apapun yang
berasal dari sugesti ini akan cepat lenyap jika mengalami pengalaman yang tidak
menyenangkan.
Bandura (1986) berhipotesis bahwa efek sebuah nasehat bagi self- efficacy
berkaitan erat dengan status dan otoritas pemberi nasehat. Status disisni tidak
sama dengan otoritas, contohnya saran seorang psikoterapis bagi pasien fobia
bahwa dia bisa naik tangga yang lebih tinggi atau berjalan ditengah kerumunan
orang banyak lebih membangkitkan self- efficacy daripada dukungan dari
pasangan atau anak-anaknya. Namun jika kemudian psikoterapisnya berusaha
meyakinkan pasien bahwa dia memiliki kemampuan untuk mengubah sedikit
saja sikapnya terhadap pasangan dan anak-anaknya mungkin pasien tidak akan
mengembangkan self-efficacy terhadap saran tersebut.
4. Emotional Arousal
Bandura (1997) Sumber terakhir self-efficacy adalah kondisi fisiologis dan
emosi. Emosi yang kuat biasanya menurunkan tingkat performa. Ketika
mengalami takut yang besar, kecemasan yang kuat dan rasa stress yang tinggi,
manusia memiliki ekspektasi self-efficacy yang rendah.
Dalam situasi yang menekan, kondisi emosional dapat mempengaruhi
pengharapan eficacy. Dalam beberapa hal individu menyandarkan pada keadaan
gejolak fisiologis dalam menilai kecemasan dan kepekaanya terhadap stres.
Gejolak yang berlebihan biasanya akan melumpuhkan performansi. Individu
lebih mengharapkan akan berhasil jika tidak mengalami gejolak ini daripada
jika mereka menderita tekanan, goncangan, dan kegelisahan yang mendalam.
5. Sifat koligatf larutan
a. Pengenalan Larutan Elektrolit Dan Non Elektrolit
Larutan adalah campuran homogen dua zat atau lebih yang saling melarutkan dan
masing-masing zat penyusunnya tidak dapat dibedakan lagi secara fisik. Larutan terdiri
atas zat terlarut dan pelarut. Berdasarkan daya hantar listriknya (daya ionisasinya),
larutan dibedakan dalam dua macam, yaitu larutan elektrolit dan larutan non elektrolit.
Sifat elektrolit dan non elektrolit didasarkan pada keberadaan ion dalam larutan yang
akan mengalirkan arus listrik. Jika dalam larutan terdapat ion, larutan tersebut bersifat
elektrolit. Jika dalam larutan tersebut tidak terdapat ion larutan tersebut bersifat non
elektrolit.
Larutan elektrolit adalah larutan yang dapat menghantarkan arus listrik. Larutan non
elektrolit adalah larutan yang tidak dapat menghantarkan arus listrik. Contoh lain adalah,
bila NaCl dilarutan dalam air akan terurai menjadi ion positif dan ion negatif. Ion positif
yang dihasilkan dinamakan kation dan ion negatif yang dihasilkan dinamakan anion.
Larutan NaCl adalah contoh larutan elektrolit.
Bila gula dilarutkan dalam air, molekul-molekul gula tersebut tidak terurai menjadi
ion tetapi hanya berubah wujud dari padat menjadi larutan.
Dalam kehidupan sehari-hari kita banyak menemukan contoh larutan elektrolit
maupun non elektrolit. Contoh larutan elektrolit: larutan garam dapur, larutan cuka
makan, larutan asam sulfat, larutan tawas, air sungai, air laut. Contoh larutan non
elektrolit adalah larutan gula, larutan urea, larutan alkohol, larutan glukosa.
b. Sifat Koligatif Larutan Elektrolit dan Non Elektrolit
Sifat-Sifat Koligatif Larutan adalah sifat larutan encer yang tidak mudah menguap
dan hanya tergantung pada jumlah partikel zat terlarut, tidak tergantung pada jenis zat
terlarut. Sifat-Sifat Koligatif Larutan Adalah sifat dari larutan yang bergantung pada
jumlah volume pelarut dan bukan pada massa partikel. Sifat koligatif larutan terdiri dari
dua jenis, yaitu sifat koligatif larutan elektrolit dan sifat koligatif larutan non elektrolit.
Apabila suatu pelarut ditambah dengan sedikit zat terlarut

Maka akan didapat suatu larutan yang mengalami:


1. Penurunan tekanan uap jenuh
2. Kenaikan titik didih
3. Penurunan titik beku
4. Tekanan osmotik
Di dalam suatu larutan banyaknya partikel ditentukan oleh konsentrasi larutan dan
sifat larutan itu sendiri. Jumlah partikel yang ada dalam larutan non elektrolit tidak sama
dengan jumlah partikel yang ada dalam larutan elektrolit, walaupun keduanya
mempunyai konsentrasi yang sama. Hal ini dikarenakan larutan elektrolit dapat terurai
menjadi ion-ionnya, sedangkan larutan non elektrolit tidak dapat terurai menjadi ion-ion.
Dengan demikian sifat koligatif larutan dapat dibedakan atas sifat koligatif larutan non
elektrolit dan sifat koligatif larutan elektrolit.
Banyaknya partikel dalam larutan ditentukan oleh konsentrasi larutan dan sifat
larutan itu sendiri. Namun sebelum itu kita harus mengetahui hal- hal berikut :
1. Molar, yaitu jumlah mol zat terlarut dalam 1 liter larutan
2. Molal,yaitu jumlah mol zat terlarut dalam 1 kg larutan
3. Fraksi mol, yaitu perbandingan mol zat terlarut dengan jumlah mol zat pelarut
dan zat terlarut.
c. Sifat Koligatif Larutan Non elektrolit
Sifat koligatif larutan non elektrolit sangat berbeda dengan Sifat koligatif larutan
elektrolit, disebabkan larutan non elektolit tidak dapat mengurai menjadi ion – ion nya.
Maka Sifat koligatif larutan non elektrolit dapat di hitung dengan menghitung tekanan
uap, titik didih, titik beku, dan tekanan osmosis.
Menurut hukum sifat koligatif, selisih tekanan uap, titik beku, dan titik didih suatu
larutan dengan tekanan uap, titik beku, dan titik didih pelarut murninya, berbanding
langsung dengan konsentrasi molal zat terlarut. Larutan yang bisa memenuhi hukum
sifat koligatif ini disebut larutan ideal. Kebanyakan larutan mendekati ideal hanya jika
sangat encer.
Meskipun sifat koligatif melibatkan larutan, sifat koligatif tidak bergantung pada
interaksi antara molekul pelarut dan zat terlarut, tetapi bergatung pada jumlah zat terlarut
yang larut pada suatu larutan. Sifat koligatif terdiri dari penurunan tekanan uap, kenaikan
titik didih, penurunan titik beku, dan tekanan osmotik.
a. Penurunan Tekanan Uap
Proses penguapan adalah perubahan suatu wujud zat dari cair menjadi gas. Ada
kecenderungan bahwa suatu zat cair akan mengalami penguapan. Kecepatan
penguapan dari setiap zat cair tidak sama, tetapi pada umumnya cairan akan semakin
mudah menguap jika suhunya semakin tinggi.
Penurunan tekanan uap adalah kecenderungan molekul-molekul cairan untuk
melepaskan diri dari molekul-molekul cairan di sekitarnya dan menjadi uap. Jika ke
dalam cairan dimasukkan suatu zat terlarut yang sukar menguap dan membentuk
suatu larutan, maka hanya sebagian pelarut saja yang menguap, karena sebagian
yang lain penguapannya dihalangi oleh zat terlarut.
Banyak sedikitnya uap diatas permukaan cairan diukur berdasarkan tekanan uap
cairan tersebut. Semakin tinggi suhu cairan semakin banyak uap yang berada diatas
permukaan cairan dan berarti tekanan uapnya semakin tinggi. Jumlah uap diatas
permukaan akan mencapai suatu kejenuhan pada tekanan tertentu, sebab bila
tekanan uap sudah jenuh akan terjadi pengembunan, tekanan uap ini disebut tekanan
uap jenuh.
Pada saat zat konvalatil ditambahkan kedalam larutan maka akan terjadi
penurunan tekanan uap. Bila kita memanaskan air (atau zat yang dapat menguap
lainnya) dalam ketel yang tertutup, maka ketika air mendidih tutup ketel dapat
terangkat, mengapa hal ini terjadi? Apa sebenarnya yang menekan tutup ketel
tersebut, air atau uap airnya? Dalam ruang tertutup air akan menguap sampai
ruangan tersebut jenuh,yang disertai dengan pengembunan sehingga terjadi
kesetimbangan air dengan uap air.

Perhatikan gambar berikut:

Kesetimbangan uap jenuh air


Terjadinya uap air ini akan menimbulkan tekanan sehingga menekan ketel.
Ketika air mendidih (suhu 100°C)banyak air yang menguap sehingga tekanan yang
ditimbulkan lebih besar hingga tutup ketel terangkat. Tekanan yang ditimbulkan
oleh uap jenuh air ini disebut tekanan uap jenuh air.
Besarnya tekanan uap jenuh untuk setiap zat tidak sama, bergantung pada jenis
zat dan suhu.Zat yang lebih sukar menguap, misalnya glukosa, garam,gliserol
memiliki uap yang lebih kecil dibanding zat yang lebih mudah menguap, misalnya
eter.Bila suhu dinaikkan, energi kinetik molekul-molekul zat bertambah sehingga
semakin banyak molekul-molekul yang berubah menjadi gas, akibatnya tekanan uap
semakin besar. Perhatikan tekanan uap jenuh air pada berbagai suhu pada,Tabel
berikut:
Tabel. Tekanan Uap Jenuh Air pada Berbagai Suhu

Bila zat yang dilarutkan tidak mudah menguap, maka yang menguap adalah
pelarutnya, sehingga adanya zat terlarut menyebabkan partikel pelarutyang
menguap menjadi berkurang akibatnya terjadi penurunan tekanan uap. Jadi, dengan
adanya zat terlarut menyebabkan penurunan tekanan uap. Dengan kata lain tekanan
uap larutan lebih rendah dibanding tekanan uap pelarut murninya.
Sejak tahun 1887 – 1888 Francois Mario Roult telah mempelajari hubungan
antara tekanan uap dan konsentrasi zat terlarut, dan mendapatkan suatu kesimpulan
bahwa besarnya tekanan uap larutan sebanding dengan fraksi mol pelarut dan
tekanan uap dari pelarut murninya.
Penurunan tekananuap yang terjadi merupakan selisihdari tekanan uap jenuh
pelarut murni(P°) dengan tekanan uap larutan (P).

Tekanan uap larutan ideal dapat dihitung berdasar hukum Raoult. Adapun bunyi
hukum Raoult yang berkaitan denganpenurunan tekanan uap adalah sebagai
berikut:
1. Penurunan tekanan uap jenuh tidak bergantung padajenis zat yang
dilarutkan, tetapi tergantung pada jumlahpartikel zat terlarut.
2. Penurunan tekanan uap jenuh berbanding lurus denganfraksi mol zat yang
dilarutkan.
Hukum Raoult tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
P = Xt . Po
Keterangan:
P = penurunan tekanan uap jenuh pelarut
Xt= fraksi mol zat terlarut
P° = tekanan uap pelarut murni
Karena Xt + Xp = 1, maka: Xt = 1 - Xp, sehingga:
P = Xt . Po
Po - P = (1 - Xp) Po
Po - P = Po - Xp . Po
P = Po - Po - Xp . Po
P = Xp . Po
Keterangan :
∆P = penurunan tekanan uap
XP = fraksi mol pelarut
Xt= fraksi mol terlarut
P° = tekanan uap jenuh pelarut murni
P = tekanan uap larutan
b. Kenaikan Titik Didih Larutan (∆Tb) dan Penurunan Titik Beku Larutan
(∆Tf)
Sifat yang berikutnya adalah kenaikan titik didih dan penurunan titik beku.
Titik didih larutan selalu lebih tinggi dibandingkan titik didih pelarut. hal
sebaliknya berlaku pada titik beku larutan yang lebih rendah dibandingkan
pelarut.
Bila suatu zat cair dinaikkan suhunya, maka semakin banyak zat cair yang
menguap. Pada suhu tertentu jumlah uap diatas permukaan zat cair akan
menimbulkan tekanan uap yang sama dengan tekanan udara luar. Keadaan saat
tekanan uap zat cair diatas permukaan zat cair tersebut sama dengan tekanan
udara disekitarnya disebut mendidih dan suhu ketika tekanan uap diatas
pemukaan cairan sama dengan tekanan uap luar disebut titik didih. Pada saat zat
konvalatil ditambahkan kedalam larutan maka akan terjadi kenaikan titik didih
dari larutan tersebut.
Hubungan tekanan uap jenuh larutan dengan tekanan uap jenuhkomponen-
komponen pada larutan ideal (larutan-larutan encer) dapatdigambarkan sebagai
diagram seperti pada Gambar berikut.
Garis mendidih air digambarkan oleh garis CD, sedangkan garis mendidih
larutan digambarkan oleh garis BG. Titik didih larutan dinyatakan dengan Tb1,
dan titik didih pelarut dinyatakan dengan Tbo. Larutan mendidih pada tekanan 1
atm.

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa titik didih larutan (titik G) lebih
tinggi daripada titik didih air (titik D).Selisih titik didih larutan dengan titik didih
pelarut murni disebut kenaikan titik didih ( ΔTb ).
∆Tb = titik didih larutan – titik didih pelarut
Menurut hukum Raoult, besarnya kenaikan titik didih larutan sebanding
dengan hasil kali dari Molalitas larutan (m) dengan kenaikan titik didih molal
(Kb).
Oleh karena itu, kenaikan titik didih dapat dirumuskan seperti berikut:
𝒈 𝟏𝟎𝟎𝟎
∆Tb = Kb.m danm = 𝑴𝒓 x 𝑷
Maka:
𝒈 𝟏𝟎𝟎𝟎
∆Tb = Kb.𝑴𝒓 x 𝑷

Keterangan:
∆Tb= kenaikan titik didih
Kb = tetapan titik didih molal
m = molalitas larutan
g = massa zat terlarut
Mr = massa molekul relatif zat terlarut
P = massa pelarut
Berdasarkan gambar di atas (gambar 2), dapat dilihat bahwa tekanan uap
larutan lebih rendah daripada tekanan uappelarut murni. Hal ini menyebabkan
titik beku larutan lebih rendah dibandingkan dengan titik beku pelarut murni.
Selisih temperatur titik beku pelarut murni l dengan titik beku larutan disebut
penurunan titik beku (∆Tf).
∆Tf= titik beku pelarut – titik beku larutan
𝒈 𝟏𝟎𝟎𝟎
∆Tf = Kf.m m =𝑴𝒓 x 𝒑

Maka:
𝒈 𝟏𝟎𝟎𝟎
∆Tf = Kf.𝑴𝒓 x 𝒑

Keterangan:
∆Tf= penurunan titik beku
Kf = tetapan titik beku molal
M = molalitas larutan
g = massa zat terlarut
Mr = massa molekul relatif zat terlarut
P = massa pelarut
c. Tekanan Osmotik
Sifat koligatif keempat terutama penting dalam biologi sel, sebab peranannya
penting dalam transfor molekul melalui membran sel. Membran ini disebut
semipermiabel, yang membiarkan molekul kecil lewat tetapi menahan molekul
besar seperti protein dan karbohidrat. Membran semi permiabel dapat memisahkan
molekul pelarut kecil dari molekul zat terlarut yang besar. Peristiwa bergeraknya
partikel (molekul atau ion) melalui dinding semipermeabel disebut osmotik.
Tekanan yang ditimbulkan akibat dari tekanan osmotik disebut tekanan osmotik.
Besar tekanan osmotik diukur dengan alat osmometer, dengan memberikan beban
pada kenaikan permukaan larutan menjadi sejajar pada permukaan sebelumnya.
Osmosis atau tekanan osmotik adalah proses berpindahnya zat cair dari larutan
hipotonis ke larutan hipertonis melalui membran semipermiabel. Osmosis dapat
dihentikan jika diberi tekanan, tekanan yang diberikan inilah yang disebut tekanan
osmotik. Tekanan osmotik dirumuskan:
π = nRT
V
π=MRT

Untuk larutan elektrolit ditemukan penyimpangan oleh Vanit Hoff.


Penyimpangan ini terjadi karena larutan elektrolit terdisosiasi di dalam air menjadi
ion, sehingga zat terlarut jumlahnya menjadi berlipat. Dari sini dibutuhkan faktor
pengali atau lumrah disebut faktor Vanit Hoff. Dirumuskan sebagai berikut :
Π = tekanan osmotik
M = konsentrasi molar
R = tetapan gas ideal (0,082 L atm K mol )
T = suhu mutlak (K)
Tetapan titik beku molal (Kf)

Pelarut Titik beku (oC) Kf (oC)


Air 0 1,86
Benzena 5,4 5,1
Fenol 39 7,3
Naftalena 80 7
Asam asetat 16,5 3,82
Kamfer 180 40
Nitrobenzena 5,6 6,9
Partikel dalam larutan non elektrolit tidak sama dengan jumlah partikel dalam
larutan elektrolit, walaupun konsentrasi keduanya sama. Hal ini dikarenakan larutan
elektrolit terurai menjadi ion-ionnya, sedangkan larutan non elektrolit tidak terurai
menjadi ion-ion. Dengan demikian sifat koligatif larutan dibedakan atas sifat
koligatif larutan non elektrolit dan sifat koligatif larutan elektrolit.
Dalam sistem analisis, dikenal larutan hipertonik yaitu larutan yang mempunyai
konsentrasi terlarut tinggi, larutan isotonic yaitu dua larutan yang mempunyai
konsentrasi terlarut sama, dan larutan hipotonik yaitu larutan dengan konsentrasi
terlarut rendah. Air kelapa merupakan contoh larutan isotonik alami. Secara ilmiah,
air kelapa muda mempunyai komposisi mineral dan gula yang sempurna sehinggga
memiliki kesetimbangan elektrolit yang nyaris sempurna setara dengan cairan tubuh
manusia. Proses osmosis juga terjadi pada sel hidup di alam.
d. Sifat Koligatif Larutan Elektrolit
Larutan elektrolit memperlihatkan sifat koligatif yang lebih besar dari hasil
perhitungan dengan persamaan untuk sifat koligatif larutan nonelektrolit di atas.
Perbandingan antara sifat koligatif larutan elektrolit yang terlihat dan hasil perhitungan
dengan persamaan untuk sifat koligatif larutan non elektrolit, menurut Van’t
Hoff besarnya selalu tetap dan diberi simbol i (i = tetapan atau faktor Van’t Hoff ).
Dengan demikian dapat dituliskan:
i = sifat koligatif larutan eklektrolit dengan kosentrasi m / sifat koligatif larutan
nonelektrolit dengan kosentrasi m
i = 1 + (n-1) α
jumlah partikel terion
𝛼=
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑟𝑡𝑖𝑘𝑒𝑙 𝑚𝑢𝑙𝑎 − 𝑚𝑢𝑙𝑎

Keterangan:
n = jumlah seluruh ion zat elektrolit (baik yang + maupun -)
α = derajat ionisasi larutan elektrolit (untuk elektrolit kuat α = 1)
Sifat koligatif larutan elektrolit dirumuskan sebagai berikut:
a. ∆P = Xt . Po. i
b. ∆Tf = m Kf . i
c. ∆Tb = m Kb . i
d. π = M . R . T . i
keterangan:
i = 1 + (n-1) α
n = jumlah ion
α = derajat ionisasi
Elektrolit kuat, karakteristiknya adalah sebagai berikut:
1. Menghasilkan banyak ion Molekul netral dalam larutan hanya sedikit/tidak
ada sama sekali
2. Terionisasi sempurna, atau sebagian besar terionisasi sempurna
3. Jika dilakukan uji daya hantar listrik: gelembung gas yang dihasilkan banyak,
lampu menyala
4. Penghantar listrik yang baik
5. Derajat ionisasi = 1, atau mendekati 1
6. Contohnya adalah: asam kuat (HCl, H2SO4, H3PO4, HNO3, HF); basa kuat
(NaOH, Ca(OH)2, Mg(OH)2, LiOH), garam NaCl
Elektrolit lemah, karakteristiknya adalah sebagai berikut:
1. Menghasilkan sedikit ion
2. Molekul netral dalam larutan banyak
3. Terionisasi hanya sebagian kecil
4. Jika dilakukan uji daya hantar listrik: gelembung gas yang dihasilkan sedikit,
lampu tidak menyala
5. Penghantar listrik yang buruk
6. Derajat ionisasi mendekati 0
7. Contohnya adalah: asam lemah (cuka, asam askorbat, asam semut), basa
lemah (Al(OH)3, NH4OH), garam NH4CN)
Sebagai tambahan, larutan non elektrolit memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Tidak menghasilkan ion
2. Semua dalam bentuk molekul netral dalam larutannya
3. Tidak terionisasi Jika dilakukan uji daya hantar listrik: tidak menghasilkan
gelembung, dan lampu tidak menyala
4. Derajat ionisasi = 0 Contohnya adalah larutan gula, larutan alkohol, bensin,
larutan urea.
B. KAJIAN PENELITIAN YANG RELEVAN
Hasil Kajian peneliti terhadap jurnal-jurnal hasil penelitian relevan diperoleh kesimpulan
bahwa belum dilakukan penelitian model peembelajaran berbasis inkuiri/inquiry based
learning dengan kemampuan berfikir kritis dan kepercayaan diri siswa. Beberapa penelitian
yang mendukung penelitian ini, sebagai berikut:
1. Prayogi (2018) melalui penelitianya menyatakan bahwa pembelajaran berbasis
inkuiri dapat membuat peningkatan yang positif pada pencapaian mahasiswa calon
guru dalam pembelajaran kimia dan peningkatan pembelajaran serta kepercayaan
terhadap kemampuan siswa. Hal ini menunjukan bahwa secara keseluruhan siswa
nyaman ketika belajar dengan model pembelajaran berbasis inkuiri.
2. Ali (2011) melalui penelitiannya menyatakan bahwa hasil dari penelitian
menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis inkuiri meningkatkan Kemampuan
unjuk kerja dan prestasi Belajar IPA pada Siswa Kelas VII B SMP Negeri 5
Probolinggo.
3. Christina (2016) melalui penelitiannya menyatakan bahwa Berdasarkan hasil
penelitian, adaptasi dari pembelajran berbasis inkuiri dapat meningkatkan
kemampuan mengajar dari para calon guru.
4. Bilgin (2009) melalui penelitiannya menyatakan bahwa pemahaman siswa terhadap
materi asam basa dapat meningkat apabila siswa melakukan pembelajaran dengan
menggunakan metode pembelajran berbasis inkuiri dibandingkan dengan metode
konvensional.
Dari beberapa kajian jurnal tersebut peneliti ingin mengetahui lebih lanjut tentang
keefektifan dan pengaruh dari model pembelajaran berbasis inkuiri terhadap kemampuan
berfikir kritis dan kepercayaan diri siswa pada materi sifat koligatif larutan.
C. KERANGKA BERPIKIR
Pembelajaran merupakan suatu sistem yang terdiri atas berbagai komponen saling
berhubungan dan mempengaruhi. Komponen tersebut adalah tujuan pembelajaran, materi
pembelajaran, model pembelajaran yang diterapkan, media pembelajaran dan evaluasi
pembelajaran. Tujuan pembelajaran mencangkup tiga ranah yang meliputi ranah kognitif,
psikomotor dan afektif. Jika ketiga ranah tersebut tercapai, maka tujuan dari pembelajaran
dapat dikatakan berhasil yaitu tercapainya hasil belajar yang maksimal. Salah satu ciri
pembelajaran yang efektif adalah menyampaikan materi pembelajaran dengan berbagai
model untuk menarik perhatian dan minat peserta didik dalam belajar, serta dapat
meningkatkan prestasi belajar peserta didik.
Kurikulum 2013 memiliki peranan yang sangat penting dalam terselenggaraanya
pembelajaran yang efektif. Salah satu aspek yang perlu dimiliki oleh peserta didik adalah
kemampuan berfikir kritis. Kemampuan berfikir kritis sebuah kemampuan yang dimiliki
setiap manusia untuk dapat menganalisis ide atau gagasan ke arah yang lebih spesifik untuk
mengejar pengetahuan yang relevan tentang dunia dengan melibatkan evaluasi bukti.
Kemampuan berpikir kritis tersebut sangat diperlukan untuk menganalisis suatu
permasalahan hingga pada tahap pencarian solusi untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut. Hal ini memang sangat diperlukan untuk dalam pembelajaran kimia. Pembelajaran
kimia yang bersifat abstrak sangat sulit untuk dipahami oleh peserta didik.
Peneliti tidak hanya berfokus pada ranah kognisi ataupun psikomotor peserta didik.
Tetapi, ada faktor yang lain dapat mempengaruhi proses pembelajaran peserta didik dikelas.
Salah satunya yaitu faktor internal. Faktor internal yang sering peneliti temui adalah
kepercayaan diri/self efficacy peserta didik. Rasa percaya diri sangat mempengaruhi proses
pembelajaran peserta didik di sekolah. Kepercayaan diri adalah keyakinan individu dalam
menghadapi dan menyelesaikan masalah yang dihadapinya diberbagai situasi serta mampu
menentukan tindakan dalam menyelesaikan tugas atau masalah tertentu, sehingga individu
tersebut mampu mengatasi rintangan dan mencapai tujuan yang diharapkan. Peserta didik
yang memiliki sikap percaya diri dan memiliki penilaian positif tentang dirinya cenderung
menampilkan prestasi yang baik secara terus menerus. Sikap percaya diri, yakin akan
berhasil, perlu ditanamkan kepada peserta didik untuk mendorong mereka agar berusaha
dengan maksimal guna mencapai keberhasilan yang optimal.
Guru yang bertidak sebagai fasilitator harus bisa menentukan strategi pembelajaran
yang tepat dan efisien untuk dapat mencapai tujuan pembelajaran. Model pembelajaran
yang selama ini digunakan didalam kelas masih memiliki kekurangan sehingga tujuan
pembelajaran yang diharapkan tidak bisa tercapai dengan maksimal. Model pembelajaran
yang sesuai dengan tujuan dan tuntutan yang telah dipaparkan di atas adalah model
pembelajaran berbasis inkuiri. Model pembelajaran berbasis inkuiri merupakan proses
pembelajaran yang dibangun atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan siswa. Para siswa
didorong untuk berkolaborasi memecahkan masalah, dan bukannya sekedar menerima
instruksi langsung dari gurunya. Tugas guru dalam lingkungan belajar berbasis pertanyaan
ini bukanlah untuk menyediakan pengetahuan, namun membantu siswa menjalani proses
menemukan sendiri pengetahuan yang mereka cari. Guru berfungsi sebagai fasilitator dan
bukan sumber jawaban.
Inovasi yang akan dilakukan dalam rencana penelitian ini adalah penerapaan
Metode pembelajaran berbasis inkuiri terhadap kemampuan berfikir kritis dan kepercayaan
diri siswa pada materi sifat koligatif larutan.

Kurikulum 2013

Model Pembelajaran berbasis inkuiri

Kemampuan
Kepercayaan diri
berfikir kritis

Materi Sifat koligatif


larutan

Tercapai Tujuan
Pembelajaran

D. HIPOTESIS PENELITIAN DAN/ATAU PERTANYAAN PENELITIAN


Berdasarkan landasaran teori dan kerangka berpikir di atas makan dapa diperoleh
hipotesis penelitian sebagai berikut:
5. Model pembelajaran berbasis inkuiri berpengaruh efektif ditinjau dari kemampuan berfikir
kritis.
6. Model pembelajaran berbasis inkuiri berpengaruh efektif ditinjau dari kepercayaan diri
siswa.
7. Model POGIL berpengaruh efektif ditinjau dari ketercapaian materi pembelajaran
kesetimbangan kimia.
8. Terdapat interaksi antara model pembelajaran pembelajaran berbasis inkuiri terhadap
kemampuan berfikir kritis dan kepercayaan diri siswa.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif. Desain penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian quasi experiment. Penelitian ini bertujuan
untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan kelompok kontrol
disamping kelompok eksperimen, namun pemilahan kedua kelompok tersebut tidak dengan
teknik random.dengan. Dari penelitian quasi ekperiment peneliti menggunakan desain
penelitian two equivalent group posttest only control design. Penelitian ini menggunakan
satu kelas eksperimen yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran berbasis
inkuiri/inquiry based learning dan satu kelas kontrol yang diajar menggunakan model
pembelajaran direct intruction. Setelah diajarkan dengan masing-masing pembelajaran,
peserta didik di kedua kelas diberikan posttest untuk mengukur kemampuan berfikir kritis.
B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
Waktu pelaksanaan dalam penelitian ini yaitu pada semester ganjil tahun 2019/2020
pada materi sifat koligatif larutan. Tempat penelitian dalam penelitian ini adalah kelas XII
di salah satu SMA/MA Kota Yogyakarta.
C. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas XII di salah satu
SMA/MA Kota Yogyakarta yang memiliki karakteristik terakreditasi A, menggunakan
kurikulum 2013 dan fasilitas mendukung lainnya. Sampel penelitian ini adalah peserta
didik dari 2 kelas XII di salah satu SMA/MA Kota Yogyakarta yang masing-masing
berperan sebagai kelas eksperimen dan kontrol. Pemilihan sampel penelitian dilakukan
secara random sampling.
D. VARIABEL PENELITIAN
Variabel independent dalam penelitian ini menggunakan model pembelajaran
berbasis inkuiri/inquiry based learning. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah
kemampuan berfikir kritis dan kepercayaan diri siswa.
E. TEKNIK DAN INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA
1. Teknik Pengumpulan Data
a. Metode Tes
Tes dilakukan di akhir pembelajaran (post test) di kelas kontrol dan
eksperimen dalam bentuk soal esai yang digunakan untuk mengukur
kemampuan berfikir kritis peserta didik pada materi sifat koligatif larutan.
b. Metode Observasi
Lembar observasi digunakan untuk mengetahui kepercayaan diri peserta
didik dan juga untuk mengetahui keterlaksanaan model pembelajaran berbasis
inkuiri/inquiry based learning. Observasi dilakukan selama proses
pembelajaran pada tiap pertemuan di kelas kontrol dan eksperimen. Metode
observasi dipilih karena metode ini lebih jelas gradasinya dalam
menggambarkan sikap peserta didik dan keterlaksanaan pembelajaran.
2. Instrument Pengumpulan Data
Instrumen penelitian yang digunakan berupa 5 butir soal esai untuk mengukur
kemampuan berfiir kritis peserta didik, lembar observasi kepercayaan diri yang
digunakan untuk mengamati kepercayaan diri peserta didik serta lembar observasi
keterlaksanaan model pembelajaran berbasis inkuiri/inquiry based learning untuk
mengetahui sejauh mana keterlaksanaan pembelajaran tersebut.
Selain instrumen penelitian, perangkat pembelajaran juga dipersiapkan untuk
membantu kelancaran proses penelitian. Adapun perangkat pembelajaran yang
disiapkan oleh peneliti adalah :
a. Silabus Pembelajaran
Silabus pembelajaran disusun berdasarkan Standar Kopetensi yang ada pada
Kurikulum 2013.
b. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
RPP disusun bedasarkan pedoman RPP kurikulum 2013 dan didalamnya
memuat pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis inkuiri/inquiry
based learning , sehingga sintaks yang digunakan sesuai dengan sintaks model
pembelajaran berbasis inkuiri/inquiry based learning yang terdapat pada tabel
1.
Tabel 1. Langkah-langkah pembelajaran model pembelajaran berbasis
inkuiri/inquiry based learning
Langkah Kegiatan Pembelajaran
Pokok Guru Siswa
Menjelaskan prosedur IBL Mengikuti prosedur IBL
Menyajikan masalah dengan
Orientasi menghubungkan materi Mengkaji masalah secara
sebelumnya berkelompok
Memberikan bimbingan
Membimbing siswa Membuat desain ekperimen
merumuskan permasalahan dengan alat bahan yang
disediakan sesuai dengan LKPD
Merumuskan
Merumuskan permasalahan
Permasalahan
Mengumpulkan data pengamatan
Memeriksa, menganalisa data
pengamatan
Membimbing siswa menarik
hipotesis
Menarik Menyusun konsep dari hasil
Hipotesis eksplorasi dan menarik hipotesis

Menerapkan konsep yang


Pengumpulan Membimbing siswa dalam
diperoleh untuk melakukan
Data kegiatan pengumpulan data
pengumpulan data
Menguji Membimbing siswa menguji
Melakukan pengujian hipotesis
Hipotesis hipotesis
Menarik Membimbing siswa menarik Menarik dan menyampaikan
Kesimpulan kesimpulan kesimpulan

c. Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD)


LKPD dibuat untuk menuliskan hasil percobaan atau analisis yang dilakukan
peserta didik selama proses pembelajaran. Pembuatan LKPD disesuaikan
dengan langkah model pembelajaran berbasis inkuiri/inquiry based learning.
d. Media pembelajaran
Media pembelajaran yang dibuat berupa presentasi power point dan video
tentang materi sifat koligatif larutan pada pembelajaran kimia.
e. Kisi-kisi soal post test untuk mengukur kemampuan berfikir kritis.
Instrumen berupa soal tes untuk mengukur kemampuan berfikir kritis dibuat
berdasarkan adaptasi MAI menurut Schraw & Denise dengan kisi-kisi yang
terdapat di tabel 2.
Tabel 2. Kisi-kisi angket kemampuan berfikir kritis
Aspek No.Butir
Berpikir Indikator
Kreatif Positif Negatif
Menentukan tujuan yang
akan dicapai dalam
mempelajari atau 1 11,19
menyelesaikan masalah
kimia
Memikirkan berbagai
cara/strategi untuk
Merencanakan mempelajari atau 20 2, 8
menyelesaikan masalah
kimia
Merencanakan waktu yang
akan digunakan untuk
mencapai tujuan mempelajari 7,9 21
atau menyelesaikan masalah
kimia
Meninjau ketercapaian
tujuan mempelajari atau
3, 13 4
menyelesaikan masalah
Memantau
kimia
Memantau waktu yang
12 22
digunakan
Mengecek kembali hasil
kerjaan apakah sesuai dengan 14,10 5
tujuan yang ingin dicapai
Mengevaluasi efektifitas
Mengevaluasi cara/strategi dan 18 15, 17
pengetahuan yang digunakan
Mengevaluasi penggunaan
16 23, 25
waktu
Membuat kesimpulan 6, 26 24
Total 13 13
f. Kisi-kisi lembar observasi kepercayaan diri
Instrumen berupa lembar observasi untuk mengamati kepercayaan diri peserta
didik dibuat berdasarkan adaptasi dari kepercayaan diri yang diadopsi dari
Yeung and Robb (2014) dengan kisi-kisi yang terdapat di tabel 3.
Tabel 3. Kisi-kisi lembar observasi kepercayaan diri
Aspek No.
Kepercayaan Butir Indikator
Diri
Yakin atas 1 Menjawab pertanyaan berdasarkan inisiatif sendiri.
kemampuan diri 2 Menyampaikan hasil diskusi kelompok dengan
sendiri penuh percaya diri
3 Langsung melakukan ketika mendapat perintah
4 Dapat menyelesaikan tugas yang berat/soal yang
sulit
5 Menjawab pertanyaan/permasalahan dengan
percaya diri
6 Merasa tertantang dalam menyelesaikan tugas-
tugas yang sulit
Optimis 7 Tidak putus asa/pantang menyerah
8 Dapat mengerjakan setiap tugas dengan baik
9 Dapat membuat keputusan dengan benar
10 Mengemukakan pendapat dengan lantang
11 Menunjukkan kinerja maksimal dalam
menyelesaikan tugas yang diberikan
12 Pikiran terbuka untuk menerima ide dan saran dari
teman
Mandiri 13 Melakukan perannya dalam tugas kelompok dan
tidak bergantung dengan orang lain
14 Menyelesaikan tugas-tugas/soal-soal yang
diberikan secara mandiri
15 Tidak bergantung kepada teman dalam memahami
konsep/mengolah informasi
16 Dapat berfikir dan bertindak secara kreatif, penuh
inisiatif dan tidak sekedar meniru
Berani 17 Mengajukan pertanyaan pada guru
18 Dapat mengutarakan pendapat tanpa adanya
paksaan/hambatan
19 Memberi tanggapan terhadap pendapat teman yang
berbeda
20 Berani presentasi di depan kelas
Bertanggung 21 Bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugas
Jawab tepat waktu
22 Mempunyai komitmen kuat untuk bekerja dengan
baik
23 Menghindarkan kecurangan dalam pelaksanaan
tugas
24 Melaksanakan tugas dengan baik dan benar
25 Menerima risiko dari tindakan yang dilakukan (siap
menerima sanksi jika tidak mengerjakan tugas)
26 Menegur teman yang tidak memerhatikan
penjelasan guru di depan kelas.
Sikap Positif 27 Mengikuti pembelajaran dengan sungguh-sungguh.
28 Mengerjakan tugas-tugas pekerjaan rumah dengan
tuntas, dan selesai pada waktunya
29 Berpartisipasi aktif dalam pembelajaran
30 Merespon baik saaat pembelajaran berlangsung
31 Menunjukkan kinerja maksimal dalam
menyelesaikan tugas yang diberikan
32 Tidak bercanda atau mengobrol dengan teman saat
pembelajaran berlangsung

F. VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMEN


1. Validitas Instrumen
a. Validitas Butir Soal
Validitas butir soal akan divalidasi teoritis dan empiris. Validasi teoritis
dilakukan oleh dosen yang ahli dibidang tersebut sebagai validator. Selanjutnya
validasi empiris dilakukan dengan menguji coba soal kepada peserta didik yang
dianggap memiliki kemampuan setara dengan sampel yang akan diteliti. Analisis
validitas butir soal dilakukan dengan bantuan program Quest untuk mengetahui
kualitas kesesuaian antara butir soal dengan pembelajaran yang digunakan.
b. Reliabilitas instrumen
Reliabilitas instrumen ditentukan berdasarkan nilai Cronbach’s alpha, Pearson
Reliability dan Item Reliability. Nilai Cronbach’s alpha digunakan untuk mengukur
interaksi antara person dan butir-butir soal secara keseluruhan. Adapun kriterianya
terdapat pada tabel 3.1 (Hair, Celsi, Money, Smoiel & Page, 2016)
Tabel 4. Kriteria Nilai Cronbach’s alpha
Nilai Kriteria
α < 0,6 Buruk
0,6 ≤ α ≤ 0,7 Cukup
0,7 ≤ α ≤ 0,8 Baik
0,8 ≤ α ≤ 0,9 Sangat Baik
α > 0,9 Baik Sekali
Sementara itu, nilai Pearson reliability dan Item Reliability digunakan untuk
mengetahui konsistensi jawaban dari peserta didik dan kualitas butir soal dalam
instrumen. Adapun kriterianya terdapat pada tabel 5.
Tabel 3.2 Kriteria Nilai Pearson reliability dan Item Reliability

Nilai Kriteria
< 0,67 Buruk
0,67 - 0,80 Cukup
0,81 - 0,90 Baik
0,91 - 0,94 Sangat Baik
> 0,94 Baik Sekali

(Fisher, 2007)
2. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Non Tes
Instrumen non tes yang digunakan berupa lembar observasi kepercayaan diri peserta
didik dan keterlaksanaan model pembelajaran berbasis inkuiri/inquiry based learning.
Untuk lembar observasi kepercayaan diri berisi 5 aspek dengan 8 indikator secara
keseluruhan. Lembar observasi ini divalidasi oleh dosen ahli kemudian direvisi.
G. Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis menggunakan analisis univariat dan multivariat dengan
taraf signifikansi 0,05. Uji univariat digunakan untuk mengetahui pengaruh model
pembelajaran pembelajaran berbasis inkuiri/inquiry based learning terhadap masing-masing
variabel dependen yaitu kemampuan berfikir kritis dan keperayaan diri. Sedangkan uji
multivariat digunakan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran pembelajaran berbasis
inkuiri/inquiry based learning terhadap keduanya.
1. Uji Signifikansi Univariat
Uji ini dilakukan untuk menguji hipotesis pertama dan kedua. Rumusan masalah
pertama yaitu adakah pengaruh model pembelajaran pembelajaran berbasis inkuiri/inquiry
based learning terhadap kemampuan berfikir peserta didik. Hipotesis statistik yang dapat
dibuat untuk menjawab rumusan masalah tersebut adalah :
H0 : Tidak ada perbedaan kemampuan metakognisi yang signifikan antara peserta didik
yang mengikuti model pembelajaran pembelajaran berbasis inkuiri/inquiry based
learning dengan peserta didik yang mengikuti pembelajaran direct instruction.
Ha : Ada perbedaan kemampuan metakognisi yang signifikan antara peserta didik yang
mengikuti model pembelajaran pembelajaran berbasis inkuiri/inquiry based learning
dengan peserta didik yang mengikuti pembelajaran direct instruction.
Rumusan masalah kedua yaitu adakah pengaruh model pembelajaran pembelajaran
berbasis inkuiri/inquiry based learning terhadap kepercayaan diri peserta didik kelas XII di
salah satu SMA/MA Kota Yogyakarta . Hipotesis statistik yang dapat dibuat untuk
menjawab rumusan masalah tersebut adalah :
H0 : Tidak Ada perbedaan kepercayaan diri yang signifikan antara peserta didik yang
mengikuti model pembelajaran pembelajaran berbasis inkuiri/inquiry based learning
dengan peserta didik yang mengikuti pembelajaran direct instruction.
Ha : Ada perbedaan kepercayaan diri yang signifikan antara peserta didik yang mengikuti
model pembelajaran pembelajaran berbasis inkuiri/inquiry based learning dengan
peserta didik yang mengikuti pembelajaran direct instruction.
2. Uji Prasyarat
Sebelum melakukan uji multivariat (Multivariate Analysis of Variance) maka ada
beberapa prasyarat yang harus dipenuhi (Stevens, 2002) :
a. Variabel dependen bersifat kontinyu (harus dapat diukur pata tingkat interval atau
rasio).
b. Variabel independen harus terdiri dari dua atau lebih kategori.
c. Ada hubungan linear antara setiap pasangan variabel dependen untuk setiap kelompok
variabel independen. Jika tidak ada hubungan secara linier, maka kekuatan tes
berkurang. Prasyarat ini dapat diuji dengan memplot matriks scatterplot untuk setiap
kelompok variabel.
d. Peneliti harus memiliki independensi pengamatan, atau tidak ada hubungan antara
pengamatan pada setiap kelompok maupun antara kelompok tersebut.
e. Ukuran sampel harus memadai.
f. Tidak ada outlier univariat atau multivariat. Apabila terjadi outlier maka data yang
menyebabkan outlier tersebut dapat dihapus dari analisis (Johnson and Wichern,
2007).
g. Ada normalitas multivariat. Uji normalitas dilakukan menggunakan uji Shapiro-Wilk
dengan rumus :
Hipotesis untuk pengujian ini adalah :
H0 : data berdistribusi normal secara multivariat.
Ha : data tidak berdistribusi normal secara multivariat.
H0 diterima jika nilai p > 0,05 dengan taraf signifikansi 0,05. Jika sebaran data tidak
normal, maka yang dapat dilakukan agar menjadi normal adalah dengan menambah
jumlah data, menghilangkan data yang menyebabkan tidak normal atau
mentransformasi data.
h. Ada homogenitas matriks varians-kovarians (∑). Uji ini menggunakan uji Box M
untuk mengetahui adanya kesamaan metrics varians-kovarians antar grup pada
variabel dependen. Rumus uji Box M adalah:

Hipotesis untuk uji prasyarat ini adalah :


H0 : ∑1 = ∑2 = … = ∑k (matriks varians homogen)
Ha : ∑i ≠ ∑j untuk i ≠ j (matriks varians kovarians tidak homogen)
i. Tidak ada multikolinearitas. Uji ini digunakan untuk mengetahui adanya hubungan
linear antara variabek independen dalam model regresi. Agar prasyarat uji multivariat
terpenuhi, maka harus tidak ada multikolinieritas yaitu nilai Tolerance harus lebih dari
0,1 dan VIF kurang dari 10.

3. Uji Signifikansi Multivariat


Uji ini dilakukan untuk menguji hipotesis ketiga. Rumusan masalah ketiga yaitu
adakah pengaruh model pembelajaran pembelajaran berbasis inkuiri/inquiry based
learning terhadap kemampuan berfikir kritis dan kepercayaan diri peserta didik. Hipotesis
statistik yang dapat dibuat untuk menjawab rumusan masalah tersebut adalah :
H0 : Tidak Ada perbedaan kemampuan berpikir kritis dan sikap ilmiah yang signifikan
antara peserta didik yang mengikuti pembelajarn dengan model model pembelajaran
pembelajaran berbasis inkuiri/inquiry based learning dengan peserta didik yang
mengikuti pembelajaran direct instruction.
Ha : Ada perbedaan kemampuan berpikir kritis dan sikap ilmiah yang signifikan antara
peserta didik yang mengikuti pembelajaran dengan model model pembelajaran
pembelajaran berbasis inkuiri/inquiry based learning dengan peserta didik yang
mengikuti pembelajaran direct instruction.
Pada MANOVA terdapat beberapa uji yang dapat digunakan untuk membuat
keputusan dalam perbedaan antar kelompok. Statistik uji tersebut adalah :
a. Pillai’s Trace merupakan statistik uji yang digunakan apabila tidak terpenuhinya
asumsi homogenitas pada varians-kovarians, memiliki ukuran sampel kecil, dan jika
hasil-hasil dari pengujian bertentangan satu sama lain yaitu jika ada beberapa variabel
dengan rata-rata yang berbeda sedang yang lain tidak. Semakin tinggi nilai statistik
Pillai’s Trace, maka pengaruh terhadap model akan semakin besar.
b. Wilk’s Lambda merupakan statistik uji yang digunakan apabila terdapat lebih dari dua
kelompok variabel independen dan asumsi homogenitas matriks varians-kovarians
dipenuhi. Semakin rendah nilai statistik Wilk’s Lambda, pengaruh terhadap model
semakin besar. Nilai Wilk’s Lambda berkisar antara 0-1.
c. Hotelling’s Trace merupakan statistik uji yang digunakan apabila hanya terdapat dua
kelompok variabel independen. Semakin tinggi nilai statistik Hotelling’s Trace, maka
pengaruh terhadap model semakin besar.
d. Roy’s Largest Root merupakan statistik uji yang hanya digunakan apabila asumsi
homogenitas varians-kovarians dipenuhi. Semakin tinggi nilai statistik Roy’s Largest
Root, maka pengaruh terhadap model semakin besar.
4. Analisis keterlaksanaan pembelajaran
Lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran diberikan nilai sesuai dengan proses
yang terjadi saat proses pembelajaran dan diberikan skor sesuai dengan kriteria yang sudah
ditentukan. Rumus skala persentase untuk menentukan keterlaksanaan pembelajaran adalah
:
Jumlah skor terlaksana
% keterlaksanaan = x 100%
Jumlah skor total
Selanjutnya hasil perhitungan presentase keterlaksanaan pembelajaran dikategorikan
berdasarkan tabel 6.
Tabel 6. Kategori keterlaksanaan model pembelajaran POGIL

Skor % Nilai keterlaksanaan Kategori keterlaksanaan


model POGIL model
22,75 – 28 81,25-100 Sangat baik
17,5 - 22,75 62,50-81,25 Baik
12,25 - 17,5 43,75-62,50 Cukup baik
7 - 12,25 25-43,75 Kurang baik
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi belajar mengajar. Bandung : Pustaka
Setia
Ali, T.G.P. 2011. Implementasi Pembelajaran Inkuiri dan Umpan Balik Terhadap Jurnal Belajar
untuk Meningkatkan Kemampuan Unjuk Kerja dan prestasi Belajar IPA pada Siswa Kelas
VII B SMP Negeri 5 Probolinggo. (Tesis). Malang: PPS Universitas Negeri Malang.
Alwisol. (2007). Psikologi kepribadian. UMM Press: Malang
A.M, Sudirman. 1996. interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Anam Khoirul, M.A 2015, Pembelajaran Berbasis Inkuiri Metode dan Aplikasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Azizah, N., Indrawati., dan Harijanto, A., (2014), Penerapan Model Inkuiri Terbimbing Untuk
Meningkatkan Keterampilan Proses Sains Dan Hasil belajar Fisika Siswa Kelas X.C Di
MAN 2 Jember Tahun Ajaran 2013/2014, Jurnal Pendidikan Fisika. 3 (3), 235-241.
Bandura, A. (1994). Self Efficacy. In V. S. Ramachaudran (Ed.), Encyclopedia of human behavior
(Vol. 4, 77-81). New York: Academic Press
Bandura, A. (1997). Self-Efficacy, The Exercise of Control. W.H. Freeman and Company, New
York
Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action: A social cognitive theory.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall
Bandura, A. (2005) . Theories Of Personality, sixt edition. Social Cognitive Theory. The Mc Graw
Hill companies.
Bandura, A, & schunk, D.H. (1989). “ Cultivating competence, Self-efficacy, and intrinstic interest
trough proximal self motivation”. Journal of psychology and social psychology, 41 (3), 586-
598. http//www. Skripsi psikologi.com.
Bandura, A, 1991, Self Efficacy Mechanism in Psychological and Health-Promoting Behavior,
Prentice Hall, New Jersey.
Bandura, A. (1977). Self-efficacy: Toward a Unififying Theory of Behavioral Change.
Psychological Review, Vol. 84, (2).
Bilgin, I. 2009. The effects of guided inquiry instruction incorporating a cooperative learning
approach on university students achievement of acid and base concept and attitude toward
guided unquiry instruction. Scientific Recearch and Essay. Vol.4 (10): 1038-1046.
Cece Wijaya. 2010. Pendidikan Remidial: Sarana Pengembangan Mutu Sumber Daya Manusia.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Christina V.S. and Yovita. 2006. Using a Guided Inquiry and Modeling Instructional Framework
(EIMA) to Support Preservice K-8 Science Teaching. USA: Michigan State University.
Gibson, James. L, dan Donelly. 2000. Organizations Behavior Structure Processes. Tenth Edition,
Irwin. McGraw-Hill.
Gormally, Cara; Brickman, Peggy; Hallar, Brittan; and Armstrong, Norris (2009) "Effects of
Inquiry-based Learning on Students’ Science Literacy Skills and Confidence,"
International Journal for the Scholarship of Teaching and Learning: Vol. 3: No. 2, Article
16. Available at: https://doi.org/10.20429/ijsotl.2009.030216
Gist, M.E. (1987). Self-efficacy: implication for organizational behavior and human resource
management. “ academy of management review, 12: 472-485.
Gulo, W. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Grasindo.
Jensen, Eric. 2011. Pemelajaran Berbasis-Otak. Paradigma Pengajaran Baru. Jakarta: PT Indeks
Metcalfe, J., & Shimamura, A. P. (1996). Metacognition: Knowing about knowing. Cambridge:
MIT Press.
Muslimin, M. (2010). Model Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Ngalim Purwanto. 2007. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Pengertian Self-efficacy http://jeffy-louis.blogspot.com/2011/02/efikasi-diri.html, diakses
pada tanggal 05 Mei 2019, pukul 07:06 wib.
Postman, Neil dan Weingartner, Charles, Mengajar sebagai Aktifitas Subversif, Yogyakarta:
Jendela, 2001.
Pierce. W. 2003. Metacognitions: Study strategies monitoring and motivation. Tersedia pada
http://www. MCCCTR homepage
Prayogi, Saiful & Muhali, Muhali & Verawati, Ni & Asy'ari, Muhammad. (2016).
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN AKTIF BERBASIS INKUIRI UNTUK
MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS MAHASISWA CALON
GURU. 21. 148-153. 10.18269/jpmipa.v21i2.823.
Ralph H, Pettrucci. 1987. Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern jilid 1. Erlangga: Jakarta
Ratri, A., Martini, K dan Nugroho, A. (2013). Pembelajaran Kimia Dengan Metode Inqury
Terbimbing Dilengkapi Kegiatan Laboratorium Real Dan Virtual Pada Pokok Bahasan
Pemisahan Campuran. Jurnal Pendidikan Kimia (JPK), 2 (2), 44-49.
Rusman. (2012). Model–model Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Sanjaya W. (2008). Strategi Pembelajaran, Jakarta: Kencana Prenada.
Sanjaya, Wina. (2010). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta :
Prenada Media Group
Santrock, John W. (2011). Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua. Jakarta: Kencana
Suciati, R. 2009. Belajar dan Pembelajaran 2. Jakarta: Universitas Terbuka
Sumantri, Mulyani, dan Permana Johar. 1998/1999. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Proyek
Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Dirjen Dikti, Depdikbud
Supriya, (2013). Pendidikan IPS. Cetakan ke 2. Bandung: Penerbit Laboraturium PKN UPI Press.
Syaiful Sagala. 2009. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : CV. ALFABETA
Trianto. 2014. Model Pembelajaran Terpadu : Konsep, Strategi, dan Implementasinya dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta. Bumi Aksara.
Lampiran 1.
ANGKET PENILAIAN TERHADAP PEMBELAJARAN KIMIA BERBASIS INKUIRI
A. TUJJUAN
Tujuan penggunaan isntrumen adalah untuk mengetahui repons siswa terhadap
pembelajaran kimia dengan menggunakan pembelajaran kimia berbasis inkuiri
B. PETUNJUK
1. Berilah tanda check (√ ) pada kolom yang sesuai dengan pendapatmu.
2. Kriteria penliaian telah ditentukan sebagai berikut.
TS = Tidak Setuju
KS = Kurang Setuju
R = Ragu-ragu
S = Setuju
SS = Sangat Setuju
C. Penilaian
Penilaian
No Pernyataan
TS KS R S SS
Saya senang mengikuti pembelajaran kimia pada
1
materi sifat koligatif larutan
Saya antusias bila pembelajaran kimia dilakaukan
2
dengan cara bekerja sama dalam kelompok belajar
Saya tidak senang bila pembelajaran kimia bila harus
3 bermain peran sebagai manager, presentator,
recorder, atau reflector dalam kelompok belajar
Saya enggan bila pembelajaran kimia berikutnya
4
harus dengan cara belajar yang seperti ini
5 Saya menilai tampilan LKPD menarik
Saya merasa bosan dengan pernyajian materi dalam
6
LKPD
Menurut saya pembelajaran kimia dengan dikusi
7
kelompok mudah untuk dilakukan
Saya menjadi lebih mudah memahami materi kimia
8
melalui pembelajaran dengan kelompok
Saya merasa kesulitan bila harus berganti peran
9 sebagai manager, presentator, recorder, atau reflector
pada setiap pertemuan
Saya kesulitan mengikuti pelajaran kimia karena guru
10
sedikit menjelaskan
Saya lebih mudah mempelajari materi melalui LKPD
11
yang disediakan
Saya kesulitan memahami bahasa yang digunakan
12
dalam LKPD
Menurut saya pembelajaran kimia dengan diskusi
13
kelompok bermanfaat
Hasil belajar kimia saya dapat meningkat setelah
14
belajar dengan cara seperti ini
Pembelajaran kimia dengan cara berkelompok
15
menjadikan saya pasif selama pembelajaran
Lampiran 2.
ANGKET PENILAIAN KEMAMPUAN BERFIKIR KRITIS
A. TUJJUAN
Tujuan penggunaan isntrumen adalah untuk mengetahui kemampuan berfikir kritis
terhadap pembelajaran kimia.
B. PETUNJUK
1. Berilah tanda check (√ ) pada kolom yang sesuai dengan pendapatmu.
2. Kriteria penliaian telah ditentukan sebagai berikut.
TS = Tidak Setuju
KS = Kurang Setuju
R = Ragu-ragu
S = Setuju
SS = Sangat Setuju
3. Penilaian
Penilaian
No Pernyataan
TS KS R S SS
Saya menentukan tujuan dalam mempelajari suatu
1
materi kimia
Saya langsung mencoba suatu cara/strategi
2 penyelesaian masalah tanpa memikirkan apakah cara
tersebut tepat.
Secara berulang saya memeriksa kebenaran langkah-
3
langkah penyelesaian masalah yang saya gunakan
Saya tidak memantau apakah langkah saya lakukan
4 sesuai dengan tujuan saya dalam mempelajari atau
menyelesaikan masalah kimia
Saya tidak berpikir apakah hasil pekerjaan saya telah
5
sesuai dengan tujuan yang telah saya tentukan
Saya membaut simpulan setelah mengerjakan
6
masalah kimia
Saya mengalokasikan waktu untuk mempelajari atau
7
menyelesaikan masalah kimia
Saya hanya memikirkan satu cara untuk
8
menyelesaikan masalah kimia
Saya menentukan jadwal untuk mencapai tujuan
9
belajar saya dengan sebaik-baiknya
Saya memeriksa kembali setiap langkah-langkah
10
penyelesaian masalah saya apaka sudah tepat.
Saya tidak memperhatikan hal-hal yang diketahui dan
11
ditanyakan pada masalah kimia yang saya selesaikan
Saya memantau ketercukupan waktu untuk mencapai
12
tujuan belajar saya
Saya memeriksa pemahaman saya terhadap materi
13
yang saya pelajari
Saya bertanya pada diri saya aakah saya telah
14
mencapai tujuan belajar saya
Saya tidak memikirkan apakah cara/strategi yang
15 saya gunakan paling mudah untuk menyelesaiakan
masalah kimia
Saya bertanya kepada diri saya sendiri apakah waktu
16 yang saya guankan cukup untuk mencapai tujuan
saya
Saya tidak mengukur seberapa baik pengetahuan
17 yang saya gunakan untuk menyelesaikan masalah
kimia
Saya bertanya kepada diri sendiri, seberapa baik
18 strategi yang saya gunakan daalam mempelajari
materi atau menyelesaikan masalah
Saya tidak menetukan tujuan dalam menyelesaikan
19
masalah kimia
Saya memanfaatkan pengetahuan yang saya miliki
20
untuk menyelesaikan masalah kimia
Saya tidak merencanakan waktu untuk
21
menyelesaikan masalah kimia
Saya tidak memantau penggunaan waktu saya dalam
22
menyelesaikan masalah kimia
Saya tidak membuat kesimpulan tentang bagian mana
23
yang erbkurang atau tidak saya kuasai
Saya tidak menilai apakah waktu yang saya gunakan
24 untuk menyelesaikan masalah sudah sesuai dengan
waktu yang ditentukan
Saya membuat simpulan tentang apa yang saya
25
pelajari ketika belajar
Saya membuat simpulan untuk merencanakan tindak
26
lanjut apa yang harus saya lakukan
Saya tidak peduli seberapalama saya menyelesaikan
27
masalah kimia
Lampiran 3.
LEMBAR OBSERVASI KEPERCAYAAN DIRI SISWA

Petunjuk: Berilah skor pada kolom yang tersedia sesuai sikap percaya diri yang ditampilkan oleh
siswa, dengan kriteria sebagai berikut.
4 = Sangat baik
3 = Baik
2 = Cukup baik
1 = Kurang baik

Aspek No. No. Siswa Total


Indikator
Kepercayaan Diri butir Skor
1 2 3 4 5 6
Menjawab pertanyaan berdasarkan inisiatif
1
sendiri.
Menyampaikan hasil diskusi kelompok
2
dengan penuh percaya diri
Langsung melakukan ketika mendapat
Yakin atas 3
perintah
kemampuan diri
Dapat menyelesaikan tugas yang berat/soal
sendiri 4
yang sulit
Menjawab pertanyaan/permasalahan dengan
5
percaya diri
Merasa tertantang dalam menyelesaikan
6
tugas-tugas yang sulit
7 Tidak putus asa/pantang menyerah
Dapat mengerjakan setiap tugas dengan
8
baik
9 Dapat membuat keputusan dengan benar
Optimis
10 Mengemukakan pendapat dengan lantang
Menunjukkan kinerja maksimal dalam
11
menyelesaikan tugas yang diberikan
Pikiran terbuka untuk menerima ide dan
12
saran dari teman
Melakukan perannya dalam tugas kelompok
13
dan tidak bergantung dengan orang lain
Menyelesaikan tugas-tugas/soal-soal yang
Mandiri 14
diberikan secara mandiri

Tidak bergantung kepada teman dalam


15
memahami konsep/mengolah informasi
Dapat berfikir dan bertindak secara kreatif,
16
penuh inisiatif dan tidak sekedar meniru
17 Mengajukan pertanyaan pada guru
Dapat mengutarakan pendapat tanpa adanya
18
paksaan/hambatan
Berani
Memberi tanggapan terhadap pendapat
19
teman yang berbeda

20 Berani presentasi di depan kelas


Bertanggung jawab dalam menyelesaikan
21
tugas tepat waktu
Mempunyai komitmen kuat untuk bekerja
22
dengan baik
Menghindarkan kecurangan dalam
23
Bertanggung pelaksanaan tugas
Jawab 24 Melaksanakan tugas dengan baik dan benar
Menerima risiko dari tindakan yang
25 dilakukan (siap menerima sanksi jika tidak
mengerjakan tugas)
Menegur teman yang tidak memerhatikan
26
penjelasan guru di depan kelas.
Mengikuti pembelajaran dengan sungguh-
27
sungguh.
Mengerjakan tugas-tugas pekerjaan
28 rumah dengan tuntas, dan selesai pada
waktunya
29 Berpartisipasi aktif dalam pembelajaran
Sikap Positif
Merespon baik saaat pembelajaran
30
berlangsung
Menunjukkan kinerja maksimal dalam
31
menyelesaikan tugas yang diberikan
Tidak bercanda atau mengobrol dengan
32
teman saat pembelajaran berlangsung

Anda mungkin juga menyukai