Anda di halaman 1dari 41

1

SKENARIO 3
JARI TABUH
Seorang laki-laki berusia 40 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit
dengan keluhan sesak nafas sejak 2 hari yang lalu. Pasien bekerja sebagai buruh di
pabrik kapur sejak 10 tahun. Pada pemerikaan fisik pasien tampak sesak, tekanan
darah 120/80mmHg, nadi 80x/menit, nafas 24x/menit, suhu 36,70C. Pada
ekstremitas didapatkan jari tabuh, pada auskultasi dada terdengar ronkhi dianterior
dan posterior. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan ground glass plak
fibrokalsifikasi dan penebalan garis pleura. Dokter segera menangani dan
memberikan saran kepada pabrik untuk dilakukan evaluasi lingkungan kerja.

STEP 1
1. Jari Tabuh : kelainan bentuk dan jari dan kuku tangan/kaki, yang biasanya
bentuknya membulat. Penambahan jaringan ikat yag terjadi pada jaringan
lunak.
2. Ronkhi : suara abnormal paru-paru pada suara saat ekspirasi.
3. Grund glass : area yang mengalami peningkatan, densitas di dasar bronkhial.

STEP 2
1. Bagaimana mekanisme sesak nafas, jari tabuh, ronkhi, ground glass serta
hubungan dengan pekerjaan?.
2. Bagaimana kondisi pasien dhubungkan dengan pekerjaan pasien?.
3. Bagaimana penegakkan diagosis pada kasus?.
4. Bagaimana pencegahan dan tatalaksana pada kasus?.
5. Bagaimana komplikasi pada kasus tersebut?.

STEP 3
1. Pabrik kapur → teinhalasi → ke alveolar → makrofag → sesak nafas dan jari
tabuh.
Asbes → terinhalasi → makrofag mati → dinding alveolus → jaringan parut
→ pernafasan terganggu.
Jari tabuh → pembuluh darah perifer menurun → sianosis.
2

Jari tabuh → hipoksemia, gangguan saraf, genetik, PDGF meningkat, sianosis


lama.

2. Disebabkan oleh partikel gas → pneumokoniosis.


Asbes (pada kapur, semen) → asbestosis.
Silika → silikosis.
Batu bara → pneumokoniosis batu bara.
Timah → staniosis.
Debu organik (kapas) → bisinosis.

3. Anamnesis : pekerjaan, lingkungan, lama waktu terpapar, batuk tak produktif,


sesak nafas, nyeri dada, mengi. Ada kriteria mayor dan minor.
Pemeriksaan fisik : rhonki.
Pemeriksaan penunjang : sputum, foto thorax, bronkoskopi.

4. Simtomatik : bronkodilator, mukolitik, drainase, aspirin/antibiotik.


Pencegahan : APD, prmer, sekunder, tersier, penggantian material.
5. Ca paru, Tuberkulosis, PPOK.

STEP 4
1. Pertikel → terinhalasi → fagositosis → makrofag → lisis dan sitokin : fibrosis
dan radang → gagal penukaran O2 → sesak nafas.
Ground glass → partikel menumpuk.
Jari tabuh → kekurangan O2 dan jaringan ikat.
Jari tabuh → tak ada celah tidak normal.
Bradikinin, 5-dihidrotriptamia → vasodilator.
Gangguan saraf → gangguan pada organ tersebut.
Fibronektin : untuk proliferasi pada paru → ground glass.

2. Asbestosis → sesak nafas, mengi, nyeri dada, batuk, jari tabuh.


Pemeriksaan penunjang : gambaran parenkim paru yang kasar, penurunan
kapasitas vital, gambaran radioopak kecil, linier, iregular dibasal paru.
3

Silikosis → sesak nafas, mudah lela, penurunan berat badan, demam, nyeri
pleuritik, batuk.
Pemeriksaan penunjang : gambaran opasitas bulat dan kecil, pola nodul dan
jarigan parut.

3. Anamnesis : tempat tinggal, pekerjaan, sesak nafa, terus


menerus/hilang timbul, batuk kering (asbestosis).
Kriteria mayor → internal waktu.
Kriteria minor → pemeriksaan penunjang, restriktif gas menurun, ronkhi.
Pemeriksaan penunjang : gambaran radiopak, foto thorak → terdapat ground
glass, MRI → Plak dan penebalan pleura.

4. Primer : substitusi, modifikasi, APD, isolasi.


Sekunder : deteksi dini.
Tersier : pengobatan, menghindari pajanan.
Promotif : kerja < 8 jam.
Preventif : ventilasi, batas ambang debu.

5. Ca paru.
Remodelling → pertumbuhan sel → tumor.
4

MIND MAP

MACAM-MACAM
FAKTOR RESIKO
PENYAKIT

OCCUPTIONAL
LUNG DISEASE

PENEGAKKAN DIAGNOSIS PATOFISIOLOGI

STEP 5
1. Macam-macam penyakit paru akibat kerja (dilihat dari anamnesis hingga
pemeriksaan penunjang)
2. Patofisiologi penyakit paru akibat kerja dihubungkan dengan etiologi dan
faktor resiko.
3. Penatalaksanaan dan pencegahan penyakit paru akibat kerja.

STEP 6
BELAJAR MANDIRI

STEP 7
1. Macam-macam penyakit paru akibat kerja
A. Bagasossis
a. Pengertian
Bagasossis adalah penyakit paru pada petani atau pekerja pabrik
tebu atau pabrik kertas yang mendapat paparan sisa atau debu batang
tebu (bagasse). Yang berperan terhadap timbulnya penyakit ini adalah
5

Thermophilic actinomycetes sacchari yang hidup subur pada alas


batang tebu. Bagassosis termasuk ke dalam penyakit pneumonitis
hipersensitif akibat inhalasi debu organis yang menimbulkan reaksi
sensitisasi pada tubuh yang terpapar. Pneumonitis hipersensitif /
hypersensitivity pneumonitis (HP), atau alveolitis alergik ekstrinsik
merupakan sekelompok penyakit paru yang dimediasi oleh proses
imunologi akibat paparan berulang dari antigen yang terdispersi saat
inhalasi utamanya oleh partikel organik atau bahan kimia bermolekul
rendah yang selanjutnya memprovokasi reaksi hipersensitivitas dengan
inflamasi granulomatus di bronkiolus distalis dan alveoli pada subyek
yang peka. Penyakit ini merupakan akibat dari interaksi antara antigen
eksternal dengan sistem imun pejamu.HP merupakan penyakit alergi
sehingga peran faktor paparan merupakan hal yang paling penting.
Faktor risiko lingkungan, termasuk konsentrasi antigen, lamanya
paparan, ukuran partikel, frekuensi (atau kekerapan) paparan, kelarutan
partikel, pemakaian perlindungan pernafasan akan mempengaruhi
prevalensi, beratnya, kelatenan dan perjalanan penyakit. 1
Faktor-faktor paparan tersebut sangat jelas digambarkan pada
bagassosis. Terjadinya bagassosis sangat erat dengan konsentrasi
mikroorganisme di udara, atau pada daerah dengan curah hujan tinggi
sehingga memungkinkan proliferasi mikroorganisme. Berbagai faktor
mempengaruhi interaksi mendasar antara stimulus antigen dan respon
imunpejamu. Penderita yang sudah tersensitisasi antigen, manifestasi
klinik timbul setelah terpresipitasi oleh adanya tambahan inflamasi
paru non-spesifik, ini jelas terlihat pada penderita yang telah terpapar
lama dan sering sudah bertahun-tahun dimana penderita dalam
keadaan keseimbangan dengan antigen dengan tanpa gejala. 1
b. Etiologi
Etiologi Secara umum, untuk terjadinya sensitivitas dan penyakit
ini, pemaparan terhadap alergen harus terjadi secara terus menerus dan
sering.Penyakit akut bisa terjadi dalam waktu 4-6 jam setelah
pemaparan, yaitu pada saat penderita keluar dari daerah tempat
6

ditemukannya alergen. Penyakit kronik disertai perubahan pada foto


rontgen dada bisa terjadi pada pemaparan jangka panjang. Penyakit
kronik bisa menyebabkan terjadinya fibrosis paru (pembentukan
jaringan parut pada paru). Gangguan saluran pernafasan akibat inhalasi
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain: 1
- Faktor antigen itu sendiri
Yaitu ukuran partikelnya, daya larut, konsentrasi, sifat
kimiawi, lama perjalanan dan faktor individu berupa mekanisme
pertahanan selain itu faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya
gangguan paru dapat berupa jenis debu, ukuran partikel,
konsentrasi partikel, lama pajanan, dan kerentanan
individu.Tingkat kelarutan debu pada air, kalau debu larut dalam
air, bahan dalam debu larut dan masuk pembuluh darah kapiler
alveoli. Bila debu tidak mudah larut tetapi ukurannya kecil maka
partikel-partikel tersebut dapat masuk ke dinding alveoli.
Konsentrasi debu, makin tinggi konsentrasinya makin besar
kemungkinan menimbulkan keracunan. Jenis debu dalam hal ini
ada dua (2) macam yaitu organik (tebu/ kulit tebu), dan debu
anorganik (yang berasal dari mesin penggilingan tebu). 1
- Masa kerja
Masa kerja menunjukkan suatu masa berlangsungnya
kegiatan seseorang dalam waktu tertentu. Seseorang yang bekerja
di lingkungan industri yang menghasilkan debu akan memiliki
resiko gangguan kesehatan. Makin lama seseorang bekerja pada
tempat yang mengandung debu akan makin tinggi resiko terkena
gangguan kesehatan, terutama gangguan saluran pernafasan. Debu
yang terhirup dalam konsentrasi dan jangka waktu yang cukup
lama akan membahayakan. Akibat penghirupan debu, yang
langsung akan kita rasakan adalah sesak, bersin, dan batuk karena
adanya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan debu untuk
beberapa tahun pada kadar yang rendah tetapi di atas batas limit
paparan menunjukkan efek toksik yang jelas. 1
7

- Umur
Umur merupakan salah satu karateristik yang mempunyai
resiko tinggi terhadap gangguan paru terutama yang berumur 40
tahun keatas, dimana kualitas paru dapat memburuk dengan cepat.
Faktor umur berperan penting dengan kejadian penyakit dan
gangguan kesehatan. Hal ini merupakan konsekuensi adanya
hubungan faktor umur dengan : potensi kemungkinan untuk
terpapar terhadap suatu sumber infeksi, tingkat imunitas kekebalan
tubuh, aktivitas fisiologis berbagai jaringan yang mempengaruhi
perjalanan penyakit seseorang. Bermacam-macam perubahan
biologis berlangsung seiring dengan bertambahnya usia dan ini
akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam bekerja. 1
-
Alat pelindung diri
Alat pelindung diri adalah perlengkapan yang dipakai untuk
melindungi pekerja terhadap bahaya yang dapat mengganggu
kesehatan yang ada di lingkungan kerja. Alat yang dipakai disini
untuk melindungi sistem pernapasan dari partikel-partikel
berbahaya yang ada di udara yang dapat membahayakan kesehatan.
Perlindungan terhadap sistem pernapasan sangat diperlukan
terutama bila tercemar partikel-partikel berbahaya, baik yang
berbentuk gas, aerosol, cairan, ataupun kimiawi. Alat yang dipakai
adalah masker, baik yang terbuat dari kain atau kertas wo. 1
-
Riwayat merokok
Riwayat merokok merupakan faktor pencetus timbulnya
gangguan pernapasan, karena asap rokok yang terhisap dalam
saluran nafas akan mengganggu lapisan mukosa saluran napas.
Dengan demikian akan menyebabkan munculnya gangguan dalam
saluran napas. Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur
jalan nafas. Perubahan struktur jalan nafas besar berupa hipertrofi
dan hiperplasia kelenjar mukus. Sedangkan perubahan struktur
jalan nafas kecil bervariasi dari inflamasi ringan sampai
penyempitan dan obstruksi jalan nafas karena proses inflamasi,
8

hiperplasia sel goblet dan penumpukan sekret intraluminar.


Perubahan struktur karena merokok biasanya di hubungkan dengan
perubahan/kerusakan fungsi. Perokok berat dikatakan apabila
menghabiskan rata-rata dua bungkus rokok sehari, memiliki resiko
memperpendek usia harapan hidupnya 0,9 tahun lebih cepat
ketimbang perokok yang menghabiskan 20 batang rokok sehari. 1
-
Riwayat penyakit
Riwayat penyakit merupakan faktor yang dianggap juga
sebagai pencetus timbulnya gangguan pernapasan, karena penyakit
yang di derita seseorang akan mempengaruhi kondisi kesehatan
dalam lingkungan kerja. Apabila seseorang pernah atau sementara
menderita penyakit sistem pernafasan, maka akan meningkatkan
resiko timbulnya penyakit sistem pernapasan jika terpapar debu.1
c. Patogenesis
Patogenesis dari bagassosis bergantung kepada intensitas,
frekuensi dan durasi terhadap paparan antigen dan respon tubuh
pejamu terhadap antigen. Cell-mediated immune responses dan
humoral tampaknya berperan dalam pathogenesis penyakit ini. Reaksi
yang paling dini (akut) ditandai denganpeningkatan lekosit
polimorfonuklear (PMN) di dalam alveoli dan saluran nafas kecil. Lesi
dini ini diikuti oleh masuknya sel-sel mononuklear ke dalam paru dan
membentuk granuloma-granulama yang merupakan hasil dari reaksi
hipersensitivitas tipe lambat yang klasik (T cell mediated) terhadap
inhalasi berulang antigen. 1
d. Gambaran Klinis
Gambaran klinis bagassosis diklasifikasi kedalam 3 bentuk yaitu
akut, subakut, dan kronik. Pada bentuk akut, gejala muncul 4-8 jam
sesudah paparan pada individu yang sensitive, yaitu timbul gejala
seperti infeksi paru akut : batuk, sesa napas tanpa mengi, demam,
menggigil, berkeringat, malaise, mual dan sakit kepala. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan takikardia, takipnea, sianosis, ronki basah
di basal kedua paru. Gejala tersebut umumnya menetap selama 12-18
9

jam dan menghilang secara spontan bila paparan terhenti. Pada


penyakit yang ringan gambaran foto toraks masih normal. Pada
penyakit yang berat bisa ditemukan dua bentuk gambaran radiologis.
Bentuk pertama : tampak gambaran nodul-nodul kecil terpencar di
kedua lapangan paru dan agak kurang pada bagian apek dan basal.
Nodul-nodul tersebut ukurannya bervariasi dari satu sampai beberapa
millimeter, dengan batas tidak tegas. Bentuk kedua tampak bayangan
berawan di interstitial kedua paru. Bila paparan telah terhenti kelainan
foto toraks dapat kembali normal dalam beberapa minggu.Pada pasien
periode akut yang tanpa gejala biasanya mempunyai faal paru normal.
Umumnya sesudah terjadi paparan bagi pasien yang sensitive akan
terjadi perubahan faal paru pada 8-12 jam kemudian. 1
Perubahan yang terjadi adalah nilai KVP dan VEP1 menurun, arus
puncak ekspirasi (APE) paru menurun, rasio ventilasi/perfusi
terganggu, kapasitas difusi menurun dan hipoksemia. Pada bentuk
subakut/intermiten, penderita secara bertahap mengalami batuk,
dispneu, anoreksi, dan penurunan berat badan yang berlangsung
beberapa hari sampai berminggu-minggu, serta adanya riwayat
serangan yang berulang sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan sama seperti pada bentuk akut tetapi kurang berat dan
berlangsung lebih lama. Pada bentuk kronik, penderita biasanya jarang
menyampaikan adanya serangan episode akut, gejala yang muncul
berupa batuk, dispneu progresif, fatique, dan penurunan berat badan.
Biasanya fatique dan penurunan berat badan merupakan hal yang
prominen pada bentuk kronik. Penghentian dari paparan memberikan
hasil perbaikan klinis yang sedikit. Pada pemeriksaan fisik penderita
tampakkurus, takipneu, distress respirasi, ronkhi inspirasi pada bagian
paru bawah. Pada beberapa pasien menyerupai bronchitis kronis dan
bila paparan terus berlangsung akan mendatangkan kondisi penyakit
menjadi irreversible (fibrosis paru). 1
10

B. Kanker Paru
a. Pengertian
Kanker paru adalah pertumbuhan sel kanker yang tidak terkendali
dalam jaringan paru yang dapat disebabkan oleh sejumlah karsinogen.
Menurut World Health Organization (WHO), kanker paru merupakan
penyebab kematian utama dalam kelompok kanker. Kanker paru
memerlukan penanganan yang tepat. 1
b. Etiologi
Penyebab Kanker Paru Penyebab pasti kanker paru belum
diketahui, tetapi paparan zat yang bersifat karsinogen merupakan
faktor penyebab utama. 1
c. Jenis Kanker Paru
Terdapat dua jenis kanker paru, yaitu:
- Small Cell Lung Cancer (SCLC)
SCLC adalah jenis kanker paru yang tumbuh lebih cepat
daripada jenis kanker NSCLC, akan tetapi pertumbuhan SCLC
lebih dapat terkendali dengan kemoterapi. Sekitar 20% kasus
kanker paru adalah SCLC, atau sekitar 30.000 pasien setiap
tahunnya terdiagnosis penyakit tersebut. 1
- Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC) Sekitar 75%-80% kasus
kanker paru adalah NSCLC. Terdapat 3 tipe NSCLC, yaitu: 1
o Adenokarsinoma
Adenokarsinoma adalah jenis dari NSCLC yang paling
umum dari kanker paru dan lebih banyak muncul pada wanita.
Kanker tipe ini berkembang dari sel-sel yang memproduksi
lendir pada permukaan saluran udara. 1
o Karsinoma skuamosa
Jenis ini paling umum dari kanker paru serta paling
banyak terjadi pada pria dan orang tua. Karsinoma skuamosa
berkembang dalam sel yang mengisi saluran udara, dan kanker
ini tumbuh relatif lambat. 1
11

o Karsinoma sel besar


Pertama kali muncul biasanya di saluran pernapasan
yang lebih kecil dan dapat menyebar dengan cepat. Tipe ini
sering disebut juga karsinoma tidak berdiferensiasi karena
bentuk sel kanker ini bundar besar. 1
d. Tahapan Klasifikasi Stadium Kanker Paru
Menurut Global Bioscience (2013) tahapan kanker paru adalah
sebagai berikut:1
- Tahap Perkembangan SCLC
o Tahap terbatas merupakan tahapan kanker yang hanya
ditemukan pada satu bagian paru-paru saja dan pada jaringan di
sekitarnya.
o Tahap ekstensif merupakan tahapan kanker yang ditemukan
pada jaringan dada di luar paru-paru ataupun ditemukan pada
organ-organ tubuh yang jauh. 1
- Tahap Perkembangan NSCLC
o Tahap tersembunyi merupakan tahap ditemukannya sel kanker
pada dahak (sputum) pasien di dalam sampel air saat
bronkoskopi, tetapi tidak terlihat adanya tumor di paru-paru.
o Stadium 0 merupakan tahap ditemukannya sel-sel kanker hanya
pada lapisan terdalam paru-paru dan tidak bersifat invasif.
o Stadium I merupakan tahap kanker yang hanya ditemukan pada
paruparu dan belum menyebar ke kelenjar getah bening
sekitarnya.
o Stadium II merupakan tahap kanker yang ditemukan pada paru-
paru dan kelenjar getah bening di dekatnya.
o Stadium III merupakan tahap kanker yang telah menyebar ke
daerah di sekitarnya, seperti dinding dada, diafragma,
pembuluh besar atau kelenjar getah bening di sisi yang sama
atau pun sisi berlawanan dari tumor tersebut.
o Stadium IV merupakan tahap kanker yang ditemukan lebih dari
satu lobus paru. Sel-sel kanker telah menyebar juga ke organ
12

tubuh lainnya, misalnya ke otak, kelenjar adrenalin, hati, dan


tulang. 1
e. Manifestasi Klinis
- Anamnesis
Gejala Kanker Paru yaitu gambaran penyakit kanker paru
terdiri dari keluhan subjektif dan gejala objektif. Keluhan utama
dapat berupa batuk-batuk atau tanpa dahak, batuk darah, sesak
napas, suara serak, sakit dada, sulit menelan, dan terdapat benjolan
di pangkal leher. Gejala atau keluhan akibat metastasis di luar paru,
seperti kelainan yang timbul karena kompresi hebat di otak,
pembesaran hepar, dan berat badan berkurang juga merupakan ciri
dari adanya kanker paru. 1
- Pemeriksaan Fisik
Pada pasien kanker paru dapat ditemukan demam, kelainan
suara pernafasan pada paru, pembesaran pada kelenjar getah
bening, pembesaran hepar, pembengkakan pada wajah, tangan,
kaki, atau pergelangan kaki, nyeri pada tulang, kelemahan otot
regional atau umum, perubahan kulit seperti rash, daerah kulit
menghitam, atau bibir dan kuku membiru, pemeriksaan fisik
lainnya yang mengindikasikan tumor primer ke organ lain. 1
- Pemeriksaan Penunjang
Kanker paru dapat terdeteksi dengan melakukan beberapa
cara, yaitu: biopsy dengan pemeriksaan mikroskopik menggunakan
contoh jaringan tubuh. Computed tomography (CT) atau
pemeriksaan radiologi dengan menggunakan X-ray dapat
digunakan untuk menghasilkan citra bagian tubuh tertentu,
sedangkan magnetic resonance imaging (MRI) digunakan untuk
pemeriksaan tanpa X-ray namun menggunakan medan magnet dan
frekuensi radio. Umumnya deteksi kanker paru dilakukan melalui
pemeriksaan radiologi atau CT. Deteksi dini kanker paru yang
diperoleh dari hasil CT adalah proyeksi radiografi dari paru. Paru-
13

paru yang tidak sehat akan terdapat nodul di paru-paru pada citra
foto paru. 1
o Foto toraks
Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral, kelainan dapat
dilihat bila massa tumor berukuran >1 cm. Tanda yang
mendukung keganasan adalah tepi yang ireguler, disertai
indentasi pleura, tumor satelit, dan lain-lain. 1
o CT scan toraks
CT scan toraks (Computerized Tomographic Scans) dapat
mendeteksi tumor yang berukuran lebih kecil yang belum dapat
dilihat dengan foto toraks, dapat menentukan ukuran, bentuk,
dan lokasi yang tepat dari tumor oleh karena 3 dimensi. CT
scan toraks juga dapat mendeteksi pembesaran kelenjar getah
bening regional. Tanda-tanda proses keganasan tergambar
dengan baik, bahkan bila terdapat penekanan terhadap bronkus,
tumor intrabronkial, atelektasis, efusi pleura yang tidak massif
dan telah terjadi invasi ke mediastinum dan dinding dada meski
tanpa gejala. Demikian juga ketelitiannya mendeteksi
kemungkinan metastasis intrapulmoner. Pemeriksaan CT scan
toraks sebaiknya diminta hingga suprarenal untuk dapat
mendeteksi ada/tidak adanya pembesaran KGB adrenal. 1
o MRI (Magnetic Resonance Imaging Scans)
MRI tidak rutin digunakan untuk penjajakan pasien kanker
paru. Pada keadaan khusus, MRI dapat digunakan untuk
mendeteksi area yang sulit diinterpretasikan pada CT scan
toraks seperti diafragma atau bagian apeks paru (untuk
mengevaluasi keterlibatan pleksus brakial atau invasi ke
vertebra). 1
14

C. Coal Workers Pneumokoniosis


a. Pengertian
Pneumokoniosis adalah CWP (Coal Workers Pneumokoniosis).
CWP adalah pneumokoniosis yang disebabkan oleh inhalasi partikel
karbon dari batu bara (coal), graphite atau carbon black (karbon
hitam). Kelainan ini terjadi pada pekerja tambang batu bara,
penambang graphite dan pekerja pabrik graphite sintetik dan pabrik
karbon hitam.2
Saluran pernapasan merupakan bagian yang paling tersering
mengalami penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh gas maupun
partikel yang ada di udara. Deposisi material inhalan tergantung pada
kelarutan dalam air untuk bahan gas dan ukuran partikel untuk bahan
padat, dimana gas yang larut dalam air dan partikel dengan diameter
lebih dari 10 mg/ml mengalami deposisi di saluran napas bagian atas,
sedangkan gas yang tidak terlarut dan partikel yang lebih kecil dapat
memasuki saluran napas lebih bawah. 2
b. Manifestasi klinis
Pneumokoniosis penambang batubara simpleks dapat berkembang
menjadi kompleks dalam waktu 1 tahun. Pneumokoniosis penambang
batubara kompleks biasanya disertai dengan gejala. Gejala yang timbul
dapat berupa gejala respirasi seperti batuk berdahak yang cenderung
menetap. Batuk pada CWP kompleks yang progresif dapat disertai
dengan dahak berwarna kehitaman. Hal ini biasanya diakibatkan oleh
komplikasi infeksi yang terjadi pada penderita. Gejala pernapasan
lainnya seperti sesak napas terutama saat melakukan aktifitas dan nyeri
dada. Gejala non respirasi yang mungkin terjadi adalah terdapat
bengkak di kaki dan tungkai yang merupakan komplikasi lanjut.2
c. Penegakan diagnosis
- Anamnesis
Untuk menegakkan diagnosis dari penyakit ini diperlukan
anamnesis yang cermat terhadap:
o Keluhan yang dirasakan oleh penderita.
15

o Riwayat pekerjaan seperti lama bekerja, penempatan tugas, dan


lingkungan.
o Kebiasaan penderita seperti menggunakan alat pelindung diri
(APD) dan kebiasaan merokok. 2
- Pemeriksaan penunjang
o Pada pemeriksaan spirometri ditemukan penurunan nilai fungsi
paru yang berarti. Tindakan preventif pada saat ini adalah
untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih parah.
o Pemeriksaan radiologi (CT Scan dan foto thoraks), Adapun
gambaran radiologinya dapat dijadikan acuan dalam
menunjukan derajat keparahan penyakit ini. ILO membagi
derajat keparahan berdasarkan gambaran radiologi
perselubungan halus, perselubungan kasar dan tingkat
kerapatan. 2

Gambar 1.1 Gambaran radiologi paru – paru penderita coal worker pneumoconiosis2
16

D. Silikosis
a. Pengertian
Silikosis dikenal juga dengan istilah miner's phthisis, grinder's
asthma, potter's rot, merupakan bentuk penyakit paru akibat pekerjaan
yang disebabkan karena menghirup debu silika secara kronik dan
ditandai dengan adanya inflamasi dan pembentukan jaringan parut dari
lesi nodular pada lobus paru bagian atas. Silikosis merupakan salah
satu jenis dari pneumoconiosis.1
b. Klasifikasi
Terdapat tiga jenis silikosis, yaitu:
- Silikosis kronik
Silikosis kronis merupakan bentuk silikosis yang paling
umum terjadi. Silikosis kronis terjadi akibat paparan sejumlah kecil
debu silika dalam jangka panjang (lebih dari 10 tahun). Nodul-
nodul peradangan kronis dan jaringan parut akibat silika terbentuk
di paru-paru dan kelenjar getah bening dada. 3
- Silikosis akselerata
Silikosis akselerata terjadi setelah terpapar oleh sejumlah
silika yang lebih banyak selama waktu yang lebih pendek (5-15
tahun). Peradangan, pembentukan jaringan parut dan gejala-
gejalanya terjadi lebih cepat. Silikosis akselerata berhubungan
dengan berbagai macam gangguan autoimun. 3
- Silikosis akut
Silikosis akut jarang terjadi tetapi bersifat sangat fatal yang
terjadi akibat paparan silikosis dalam jumlah yang sangat besar,
dalam waktu yang lebih pendek terutama partikel debu yang
mengandung konsisteni tinggi quartz. Paru-paru sangat meradang
dan terisi oleh cairan, sehingga timbul sesak nafas yang hebat dan
kadar oksigen darah yang rendah. 3
Pada silikosis simplek dan akselerata bisa terjadi fibrosif
masif progresif. Fibrosis ini terjadi akibat pembentukan jaringan
17

parut dan menyebabkan kerusakan pada struktur paru yang


normal.3
c. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang dapat terjadi pada silikosis akut meliputi
dispnea, mudah lelah, penurunan berat badan, demam, dan nyeri
pleuritik. Perubahan patologik pada silikosis akut meliputi pengisian
rongga alveolar dengan materi eosinofilik-granular, seperti yang terjadi
pada silikosis akselerata. Manifestasi klinis yang terjadi berupa
progresifitas gagal nafas yang cepat sebagai akibat kehilangan fungsi
paru yang normal dan gangguan pertukaran gas. Gejala tambahan yang
ditemukan demam, batuk, penurunan berat badan dan gangguan
pernafasan yang berat. Pada pasien yang asimptomatik membutuhkan
pemeriksaan radiografik untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan
fisik dapat membantu menentukan penyakit lain yang berhubungan,
meliputi emfisema dan/atau cor pulmonale. Lesi noduler sebagian
besar terdapat pada lobus atas yang tampak pada radiografi dinding
dada. 3
Penderita silikosis noduler simpex tidak memiliki masalah
pernafasan, tetapi mereka bisa menderita batuk berdahak karena
saluran pernafasannya mengalami iritasi (bronkitis). Silikosis
akselerata bisa menyebabkan batuk berdahak dan sesak nafas. Mula-
mula sesak nafas hanya terjadi pada saat melakukan aktivitas, tetapi
akhirnya sesak timbul bahkan pada saat beristirahat. Keluhan
pernafasan bisa memburuk dalam waktu 2-5 tahun setelah penderita
berhenti bekerja. Kerusakan di paru-paru bisa mengenai jantung dan
menyebabkan gagal jantung yang bisa berakibat fatal. Jika terpapar
oleh organisme penyebab tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis),
penderita silikosis mempunyai risiko 3 kali lebih besar untuk
menderita tuberculosis. 3
Silikosis kronik biasanya tidak berhubungan dengan infeksi
mikobakterial dan cenderung bersifat ringan. Silikosis kronik dapat
berkembang menjadi progressive massive fibrosis (PMF), dimana
18

merupakan keadaan yang serius dan membahayakan. Silikosis kronik


dapat dibedakan secara radiografik dari penyakit akut melalui
gambaran opasitas lobus bagian atas yang besar yang bersamaan
dengan lesi nodular difus, kecil. Perubahan emfisematus besar dapat
terlihat jelas pada pemeriksaan foto rontgen toraks. Pasien dengan
PMF dapat mengalami hipoksik saat istirahat dan memiliki
kecenderangan mengalami infeksi mikobakterial dan pneumotoraks
spontan yang akhirnya dapat menyebabkan gagal nafas. 3
Selain itu manifestesi klinik silikosis yang lain terdapat dua bentuk,
yaitu 1). Silikosis simpel (simple silicosis) dan 2). Silikosis kumpleks.
Silikosis simpel, biasanya asimtomatik, bila ada sputum/batuk
mungkin karena pengaruh rokok atau debu lain. Kelainannya pada
basal paru. Gejalanya dapat progresif adanya batuk. sesak napas, serta
kelainan faal paru tipe restriktif. Pasien mempunyai risiko tinggi
terjadi infeksi (terutama infeksi tuberkulosis). Mekanisme timbulnya
infeksi tuberkulosis belum jelas. Bila penyakitnya memberat dapat
timbul sesak napas saat aktivitas. Nodul silikosis terjadi terutama di
lobus atas paru dan dapat mengalami kalsifikasi. Silikosis kompleks
merupakan lanjutan dari silikosis simpel, bila penyakit mengalami
progresivitas atau menderita infeksi tuberkulosis atau jamur paru. Pada
keadaan ini noduls silikosis yang sebelumnya terpisah dapat bergabung
menjadi satu (membentuk massa fibrosis yang besar), dapat
menyebabkan distorsi pam. Silikosis kompleks dapat menjadi fibrosis
masif progresif, sering menimbulkan kelainan faal paru tipe campuran
(restriktif dan obstruktif). Reaksi pleura dapat timbul dekat nodul yang
besar tadi. Kelenjar limfe hilus dapat membesar dan kalsifikasi. 1
d. Diagnosis
Diagnosis silikosis ditegakkan adanya riwayat pemaparan silika
yang banyak, biasanya terjadi pada lingkungan kerja. Bersamaan
dengan riwayat pemaparan silika, pemeriksaan radiografi toraks dapat
mengkonfirmasi adanya opasitas nodular. Hal tersebut penting karena
diagnosis banding silikosis yang luas dan adanya penyakit dengan
19

profil penyakit yang serupa, seperti infeksi fungal, tuberkulosis milier,


sarkoidosis, dan fibrosis idiopatik pulmonal. 3
Pada silikosis kronik dan akselerata, pemeriksaan radiogafi toraks
biasanya menggambarkan opasitas nodular pada lapangan paru bagian
atas. Kalsifikasi nodus limfatikus torakalis membentuk pola yang khas,
sering diistilahkan dengan kalsifikasi “eggshell”. Pola eggshel dari
kalsifikasi nodus limfatikus tidak spesifik dan biasanya terlihat pada
sarcoidosis, radiation-treated Hodgkin’s disease, blastomycosis,
scleroderma, amyloidosis, dan histoplasmosis. PMF dikarakteristikkan
dengan masa fibrotik yang besar, yang terjadi bersamaan dengan
perubahan arsitektur paru yang ditandai dengan pergeseran struktur
mediastinal dan hilar ke atas sebagai akibat hilangnya volume. Daerah
paru bagian bawah dapat memberikan gambaran hiperventilasi dan
emfisematous, dan bersamaan dengan bullae multipel. 3
Silikosis akut dapat dibedakan dengan silikosis kronik dari
pemeriksaan rontgen toraks melalui fenomena pengisian alveolar akut,
yang menyebabkan gambaran ground-glass pada lapang paru. Adanya
opasitas linier pada lobus bagian bawah dapat memperkirakan adanya
fibrosis dan pelebaran nodus hilus dapat menetap.3
Temuan patologis dan radiografi toraks tidak selalu berhubungan.
Pemeriksaan rontgen toraks hanya terjadi perubahan minimal bahkan
pada keadaan fibrosis yang luas. Computed tomography resolusi tinggi
dari dinding dada merupakan pilihan studi pencitraan untuk
mengevaluasi nodul, yang juga baik untuk mendeteksi adanya
perubahan emfisematous pulmonal. Computed tomography resolusi
tinggi dapat membantu membedakan lesi confluent dari silikosis
simpel. Modalitas pencitraan pulmonal lainnya seperti magnetic
resonance imaging dan digitized radiography dapat berguna sebagai
tambahan diagnosis dan monitor silicosis. 3
Tes fungsi paru dapat normal pada awal dari silikosis simpel. Pola
restriktif dan/atau obstruktif dapat terjadi pada perkembangan penyakit
yang progresif. Pengurangan volume dari udara yang diekshalasi lebih
20

dari 1 detik, menggambarkan pengurangan kapasitas forced vital,


penurunan kapasitas difusi, kapasitas total paru, dan lung compliance,
yang terjadi pada kasus berat. Parameter aliran dapat berubah karena
adanya obstruksi jalan nafas sebagai akibat fibrosis dan kelainan lebih
lanjut dari arsitektur paru yang mendasarinya. Hal tersebut penting
untuk mengetahui adanya faktor-faktor yang telah ada sebelumnya
(contohnya, rokok tembakau dan infeksi paru) ketika mengevaluasi tes
fungsi paru. Hal tersebut pentung untuk diingat bahwa bronchoalveolar
lavagebiasanya tidak membantu diagnosis silikosis pada pasien yang
terpapar silika dapat memiliki silika dan peningkatan kadar protein
pada lung washing, tanpa memandang derajat kegawatan penyakit atau
keadaan penyakit khusus. 3
Diagnosis yang lain dapat ditegakkan atas dasar: 1). Adanya
riwayat inhalasi debu silika, 2). Adanya gambaran radiologis
abnormal, dan 3). Adanya kelainan faal paru (restriktif, obstruktif atau
campuran). Problem diagnostik adalah bila timbul komplikasi
(timbulnya infeksi pyogenic, jamur atau tuberkulosis) dan pada
keadaan lanjut dapat timbul penyakit kolagen (skleroderna, rematoid
artritis). 1
e. Tatalaksana
Pengobatan definitif tephadap silikosis tidak ada. Bila terdapat
infeksi sekunder berikan terapi yang sesuai. Infeksi piogenik berikan
antibiotik yang sesuai secara empirik. Infeksi jamur paru berikan obat
anti jamur, dan terhadap tuberkulosis paru betikan obat
antituberkulosis dosis dan Iamanya disesuaikan dengan kategorinya. 1
f. Prognosis
Prognosisnya tidak bagus. Lebih-lebih kalau ada infeksi
tuberkulosis (diagnosis sukar dan tentunya berakibat pengobatan tidak
tuntas). Usaha pencegahan penyakit dilakukan dengan menghindari
paparan debu silika dan para pekerja sulit bekerja memakai masker
basah. 1
21

E. Bisinosis
a. Penegakan Diagnosis
Diagnosis bisinosis ditegakkan atas dasar gejala subjektif. Dalam
bentuk dini bisinosis berupadada rasa tertekan dan atau sesak napas
pada hari kerja sesudah hari libur akhir minggu (hari Senin). Gejala
khas yang hanya ditemukan pada bisinosis itu disebut Monday feeling
yang dapat menghilang bilakaryawan meninggalkan lingkungan
tempat kerjanya. Keluhan bisinosis tersebut didugadisebabkan oleh
karena obstruksi saluran napas. Obstruksi yang terjadi setelahkaryawan
terpapar pada hari Senin disebut obstruksi akut. Bila karyawan tidak
disingkirkan dari lingkungan kerjanya yang berdebu, obstruksi akut
yang mula-mula reversibel akan menjadi menetap. Maka obstruksi
saluran napas tersebut sudah ditemukan pada hari Senin sebelum
karyawan terpapar. Obstruksi demikian disebut obstruksi kronik.4
Dalam penegakan diagnosis penyakit paru lingkungan atau
penyakit paru kerja,maka anamnesis tentang riwayat pekerjaan atau
lingkungan merupakan hal yang penting dalam menentukan apakah
suatu problem respirasi ada hubungannya dengan suatu paparan debu
tertentu. 4
- Anamnesis
o Riwayat sekarang. Adanya keluhan : sesak napas, batuk batuk,
batuk berdahak, napas berbunyi (mengi), kesulitan napas.
o Adanya riwayat merokok, jenis rokok, jumlah rokok yang
dikonsumsi rerata tiap hari.
o Problem pernapasan sebelumnya, obat-obatan yang dikonsumsi
o Bagi pekerja apakah ada hari-hari tidak dapat masuk kerja dan
apa alasannya.
o Kapan keluhan-keluhan di atas mulai dan apakah ada hubungan
dengan pekerjaan.
o Riwayat penyakit dahulu apakah sebelumnya menderita : asma,
atopi, penyakit .kardiorespirasi.
22

o Paparan bahan-bahan yang pemah diterimanya : kebisingan,


getaran, radiasi, zat-zat kimiawi, asbes dan sebagainya. 4
o Riwayat pekerjaan :
Daftar pekerjaan yang pernah dialami sejak awal
(kronologis).
Aktivitas kerja dan material yang digunakan tiap posisi
(bagian tugas).
Lama dan intensitas paparan bahan pada tiap posisi kerja.
Alat proteksi kerja yang digunakan (respirator, sarong
tangan, baju pelindungkerja dan sebagainya).
Kecukupan ventilasi ruang kerja.
Selain seorang pekerja apakah pekerja-pekerja lain juga
terkena paparan dan berefek pada kesehatannya.
Paparan lain (yang dialami) di luar tempat kerja.
Penyakit yang pemah diderita (kronologis) yang ada
hubungannya dengan paparan bahan di tempat kerja atau
lingkungan. 4
- Pemeriksaan Fisik
Periksa seluruh tubuh, termasuk :
o Paru : suara mengi, ekspirasi diperpanjang, ronki kering, ronki
basah dan ada daerah dada yang retraksi (saat inspirasi)
o Jantung: coronary artery disease, gagal jantung kongestif
o Lainnya, obesitas, keadaan neuromuskuloskeletaljari tabuh. 4
o Pemeriksaan Penunjang
- Foto toraks
Merupakan tes diagnostik yang amat penting terutama
untuk pneumokoniosis. Dalam beberapa keadaan diagnosis
penyakit paru sudah dapat ditegakkan dengan fototoraks dan
riwayat paparan yang tepat (silikosis, coal workers'
pneumonkoniosis ataupun asbestosis dengan kelainan pleural),
meskipun ada penumonkoniosissimtomatis tetapi foto toraks
normal. 4
23

- Computed Tomography (CT) Scanning


Penggunaan tes diagnostik ini sekarang meningakt
utamanya untuk deteksiasbestosis. Hal ini karena hasil deteksi
adanya asbestosis dengna foto torakskonvensional kurang
sensitif, kesalahan sekitar 10-15%. Lebih tepat lagi
hasilnyaapabila menggunakan4
o High-resolution computed tomographic (HRCT) Scanning
Dapat lebih baik dalam mengevaluasi kelainan pada pleura
maupun parenkim paru. 4
o Tes Fungsi Paru
Tes fungsi paru saat istirahat (spirometri, volume paru,
kapasitas difusi),merupakan tes diagnostik yang penting untuk
menentukan status fungsi paru pasiendengan penyakit paru
kerja, terlebih pada proses interstitial. Meskipun hasil tes fungsi
paru tidak spesifik untuk beberapa penyakit paru kerja, tetapi
amat penting untuk evaluasi sesak napas, membedakan adanya
kelainan paru tipe restriktif atau obstruktif dan mengetahui
tingkat gangguan fungsi paru. Selain itu tes fungsi paru untuk
diagnosis adanya kelainan obstruksi saluran napas (adanya
hiperreaktif bronkusdengan tes bronkodilator atau tes provokasi
memakai paparan bahan-bahan yang diambil dari tempat kerja
atau lingkungannya). Tes provokasi untuk menentukan
diagnosa asma kerja mengunakan paparan bahan yang dicurigai
sebagai pemicu serangan merupakan baku emas diagnosis asma
kerja. Uji latih jantung paru dapat dilakukan untuk menilai
gangguan fungsi dan progresivitas penyakit pada pasien dengan
penyakit paru kerja tertentu. Selain itu juga dapat dipakai untuk
menentukan penyebab sesak napas. Apakah dari paru, jantung
atau penyebab lainnya. 4
o Bronkoskopi
Yang dilakukan adalah bronkoskopi dengan transbronkial
biopsi atau lavage bronkoalveolar dapat membantu dalam
24

diagnosis penyakit paru kerja. Biopsitransbronkial untuk


mengambil spesimen untuk diagnosis pneumonitis atau
fibrosisinterstitial, proses granulomatosa interstitial
(sarkoidosis, beriliosis, pneumonitishipersensitif, proses
keganasan dan sebagainya). Bahandari lavase bronkoalveolar
dapat dipakai untuk mendeteksi (jenis) partikel debu penyebab
penyakit paru kerja. 4

F. Berilliosis
a. Pengertian
Suatu keadaan kelainan paru akibat paparan debu berilium. Debu
berilium merupakan debu paling halus dari sejenis metal. Debu timbul
pada tiap pekerjaan membuat membuat campuran berilium dengan
logam (alumunium, nikel, tembaga), pada industri lampu nuklir
(reaktor) dan senjata miliiter.1
Efek debu berilium pada paru ada dua macam, efek akut dan efek
kronis. Efek akut berupa bercak infiltrat paru, bronkopneumoni. Efek
kronis bisa timbul beberapa kerusakan paru (granulom pada septm
alveoli dan timbul nodul halus fibrosis, kerusakan jaringan elastis dan
timbul emfisema paru). 1
b. Manifstasi kliniknya
Ada dua bentuk, yaitu bentuk akut dan bentuk kronis.
- Penyakt beriliosis akut, suatu keadaan toksis, deserelated beryliosis
injury syndrome, umumnya menyerang saluran nafas bagian atas,
dan bila paparanya hebat dapat timbul bronkitis dan pneumonitis
kemikal (bronkopneumonitis kemikal).
- Penyakit beriliosis kronis, timbul 6-18 bulan sesudah paparan
partikel berilium. Gejala awal biasanya asimtomatik. Kemudian
timbul gejala berupa sesak nafas saat aktvitas, batuk-batuk. Bila
penyakt bertambah berat timbul gejala penyakt paru intertisial
meliputi batuk nonproduktif, nyeri dada dan sesak nafas saat
aktivitas. Pada pemeriksaan fisik di temukan ronki kering pada
25

kedua paru bagian bawah. Bila penyakit bertambah progresif akan


timbul gejala kelemahan, cepat lelah, sesak nafas saat istirahat,
anoreksia dan berat badan turun. Pemeriksaan fisik dapat di temui
akrosianosis, jari tabuh dan kor pulmonal kronik. 1
Gambaran radiologis bentuk akut mula-mula paru bersih
kemudian timbul bercak infiltrate pada bentuk kronis tampak
nodul-nodul kecil, bila penyakit lanjut tampak nodul-nodul besar,
gambaran retikularis difus dan tidak tampak adenopati hilus. 1
c. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis beiliosis kronis di tegakkan bila di temukan reaksi
gronulomatosa dan hipersensitivitas terhadap berilium. Untuk itu perlu
biopsi paru dan di periksa Histopatologis. Hipersensitivitas terhadap
berilium di ketahui dengan memeriksa airan levase bronko-alveolar
dan di temukanya jumlah sel makrofag yang bertambah. Juga test
respon proliferatif limfosit darah tepi terhadap berilium bila hasilnya
positif dapat membantu diagnosis beriliosis kronis. 1
Pada bentuk akut pengobtan yang di berikan adalah menyingkirkan
pasien dari paparan berilium, istirahat, terapi oksigen, bantuan
ventilasi mekanik (bila perlu) dan kortikosteroid. Pada bentuk kronis
pengobatanya belum ada yang spesifik. 1

G. Asbestosis
a. Pengertian
Asbes merupakan nama mineral silikat berserat yang secara
alamiah terdapat di alam. Terdapat tiga jenis utama asbes yaitu krisotil
(sering disebut asbes putih), krokidolit (asbes biru) dan amosit (asbes
cokelat). Bentuk asbes lain namun tidak terlalu banyak yaitu aktinolit,
antofilit serta tremolit asbes. Ketika asbes dipengaruhi oleh panas, zat
kimia atau dikombinasikan dengan substansi yang lainnya, maka
warna dan bentuknya dapat berubah. Asbes merupakan komponen
umum yang digunakan dalam berbagai hal misalnya industri, pabrik,
bangunan dan konstruksi. Asbes digunakan untuk memproduksi lebih
26

dari dari 3.000 produk dikarenakan daya tahannya (tahan api) dan
untuk isolasi.1
b. Pengaruh Asbes Terhadap Kesehatan
Semua jenis asbes dapat mengganggu kesehatan, terhirup serat
asbes merupakan risiko kesehatan serius yang dapat menyebabkan
timbulnya mesotelioma, kanker paru dan asbestosis.6 Mesotelioma
merupakan salah satu jenis kanker ganas dimana ditemukan pada
lapisan dada atau perut. Insidensinya meningkat sepanjang
berkembangnya dunia industri sebagai akibat dari paparan yang
berkepanjangan terhadap asbes. Kanker paru terbentuk pada jaringan
paru, biasanya pada lapisan sel saluran nafas. Asbestosis berisiko
untuk terjadinya kanker paru dan keganasan mesotelioma. Terdapat
rentang waktu beberapa tahun di antara paparan pertama serat asbes
dan timbulnya gejala penyakit asbestosis, periode laten mesotelioma
umumnya terjadi antara 35-40 tahun. Masyarakat umumnya tidak
sadar terhadap perubahan seketika pada kesehatan saat terpapar.
Penyakit tersebut sering berakibat fatal sehingga terapi tidak lagi
efektif. 1
c. Faktor Risiko
Material mengandung asbes digunakan secara luas pada proyek
konstruksi bangunan sejak tahun 1980. Risiko terhadap pekerja
meningkat selama proses renovasi dan pengangkatan asbes. Pekerja
yang berisiko terpapar asbes adalah sebagai berikut: 1
- Penambang asbes
- Penggiling asbes
- Ahli mekanik dan pesawat terbang
- Pekerja konstruksi bangunan
- Pekerja yang memperbaiki penyekat yang terbuat dari asbes
- Ahli elektronik
- Pekerja di perkapalan
- Operator mesin uap
- Pekerja di jalan kereta api
27

- Kontraktor konstruksi
- Teknisi (pemanasan, ventilasi atau telekomunikasi )
- Pengecat dan dekorator
- Pengawas bangunan
- Pekerja pemeliharaan bangunan1
d. Nilai Ambang Batas
Paparan terhadap asbes harus dicegah sebisa mungkin. Nilai
ambang batas serat asbes yang masih diperkenankan di tempat kerja
adalah tidak melebihi dari 0,1 serat/mL. Pengukuran dan pengontrolan
sebaiknya dinilai ulang ketika monitoring udara mengindikasikan
levelnya melebihi 0,01 serat/mL (10% dari nilai ambang batas) 1
e. Gejala
Efek paparan asbes jangka panjang biasanya tidak tampak hingga
20-30 tahun setelah paparan pertama. Tanda dan gejala asbestosis
yaitu: 1
- Sesak nafas Gejala utama asbestosis adalah sesak nafas, pada
awalnya sesak hanya terjadi saat bekerja, lama kelamaan akan
terjadi ketika pasien beristirahat
- Batuk dan nyeri dada Semakin memburuknya penyakit, pasien
akan mengalami batuk kering yang menetap serta nyeri dada yang
hilang timbul.
- Deformitas jari Pada kasus asbestos yang sudah lanjut, terkadang
menyebabkan deformitas jari yang dinamakan clubbing finger. 1
f. Pemeriksaan dan Diagnosis
Asbestosis terkadang sulit untuk didiagnosa karena gejala dan
tanda yang dimilikinya mirip dengan penyakit saluran nafas lainnya.
Pemeriksaan Penunjang yang digunakan untuk menegakkan diagnosis
yaitu: 1
- Tes pencitraan
o Foto Thorax: Asbestosis tampak sebagai corakan radioopak
yang berlebihan pada jaringan paru. Jika asbestosis terus
berlanjut memberikan gambaran seperti sarang tawon.1
28

o CT-Scan: Umumnya CT-Scan dapat mendeteksi asbestosis


dalam tahap awal, bahkan sebelum gambaran kelainan tersebut
tampak pada foto thorax.1
- Spirometri Tes
Ini digunakan untuk menentukan seberapa baik paru pasien
dapat berfungsi. Tes ini mengukur seberapa banyak udara yang
dapat masuk dan keluar melalui paru, contohnya pasien diminta
untuk meniup sekuat mungkin alat pengukur udara yang disebut
dengan spirometer. Beberapa tes fungsi paru lainnya dapat
mengukur jumlah udara yang ditransfer kedalam aliran darah. 1

2. Patofisiologi penyakit paru akibat kerja


Faktor utama yang berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah
partikel debu dan respons tubuh khususnya saluran napas terhadap partikel
debu tersebut Komposisi kimia, sifat fisis, dosis dan lama pajanan menentukan
dapat atau mudah tidaknya terjadi pneumokoniosis.

Gambar 2 : Patofisiologi penyakit paru akibat kerja3

Patogenesis pneumokoniosis dimulai dari respons makrofag alveolar


terhadap debu yang masuk ke unit respirasi paru. Terjadi fagositosis debu oleh
makrofag dan proses selanjutnya sangat tergantung pada sifat toksisitas
partikel debu. Reaksi jaringan terhadap debu bervariasi menurut aktivitas
29

biologi debu. Jika pajanan terhadap debu anorganik cukup lama maka timbul
reaksi inflamasi awal.
Gambaran utama inflamasi ini adalah pengumpulan sel di saluran napas
bawah. Alveolitis dapat melibatkan bronkiolus bahkan saluran napas besar
karena dapat menimbulkan luka dan fibrosis pada unit alveolar yang secara
klinis tidak diketahui. Sebagian debu seperti debu batubara tampak relatif inert
dan menumpuk dalam jumlah relatif banyak di paru dengan reaksi jaringan
yang minimal. Debu inert akan tetap berada di makrofag sampai terjadi
kematian oleh makrofag karena umurnya, selanjutnya debu akan keluar dan
difagositosis lagi oleh makrofag lainnya, makrofag dengan debu di dalamnya
dapat bermigrasi ke jaringan limfoid atau ke bronkiolus dan dikeluarkan
melalui saluran napas. 1
Pada debu yang bersifat sitoktoksik, partikel debu yang difagositosis
makrofag akan menyebabkan kehancuran makrofag tersebut yang diikuti
dengan fibrositosis. Partikel debu akan merangsang makrofag alveolar untuk
mengeluarkan produk yang merupakan mediator suatu respons peradangan
dan memulai proses proliferasi fibroblast dan deposisi kolagen. Mediator yang
paling banyak berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah Tumor
Necrosis Factor (TNF)-α, Interleukin (IL)-6, IL-8, platelet derived growth
factor dan transforming growth factor (TGF)-β. Sebagian besar mediator
tersebut sangat penting untuk proses fibrogenesis. Mediator makrofag penting
yang bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan. Sitokin telah terbukti
berperan dalam patogenesis pneumokoniosis. Pappas merangkum sitokin yang
dihasilkan oleh makrofag alveolar dalam merespon partikel debu yang masuk
ke paru yang selanjutnya menyebabkan fibrosis pada jaringan interstitial paru.
Sitokin ini terdiri atas faktor fibrogenesis seperti TNF-α, PDGF, IGF-1 dan
fibronektin serta faktor proinflamasi seperti LBT4, IL-8, IL-6, MIP1a.
Disamping proses fagositosis debu oleh makrofag alveolar, yang lebih
penting adalah interstisialisasi partikel debu tersebut. Bila partikel debu telah
difagositosis oleh makrofag dan ditransfer ke sistem mukosilier maka proses
pembersihan debu yang masuk dalam saluran napas dikategorikan berhasil.
Hilangnya integritas epitel akibat mediator inflamasi yang dilepaskan
30

makrofag alveolar merupakan kejadian awal proses fibrogenesis di interstitial


paru. Bila partikel debu telah masuk dalam interstitial maka nasibnya
ditentukan oleh makrofag interstitial, difagositosis untuk kemudian di transfer
ke kelenjar getah bening mediastinum atau terjadi sekresi me diator inflamasi
kronik pada interstitial. Sitokin yang dilepaskan di interstitial seperti PDGF,
TGF, TNF, IL-1 menyebabkan proliferasi fibroblas dan terjadilah
pneumokoniosis. 1

3. Pencegahan dan penatalaksanaan penyakit paru akibat kerja


A. Pencegahan
Berikut ini adalah penerapan pencegahan penyakit pada penyakit
akibat kerja, yakni: 5
a. Pencegahan Primer
- Peningkatan kesehatan (health promotion)
- Penyuluhan kesehatan
- Keselamatan kerja (K3) pendidikan kesehatan
- Meningkatkan gizi yang baik
- Perusahaan yang sehat dan memadai5
b. Perlindungan khusus (specific protection)
- Hygiene perorangan
- Sanitasi lingkungan
- Proteksi terhadap bahaya dan kecelakaan kerja dengan
menggunakan alat pelindung diri (APD) seperti helm, kacamata
kerja, masker, penutup telinga (ear muff dan ear plug) baju tahan
panas, sarung tangan, dan sebagainya
- Substitusi. Mengganti bahan yg berbahaya menjadi bahan yg tidak
berbahaya
- Modifikasi proses produksi untuk mengurangi pajanan sampai
tingkat yang aman
- Metode basah. Melakukan proses produksi dengan cara membasahi
tempat produksi sehingga tida menghasilkan debu dengan kadar yg
tinggi
31

- Mengisolasi proses produksi. Bila bahan yang berbahaya tidak


dapat dihilangkan maka isolasi proses produksi
- Ventilasi keluar. Bila proses isolasi produksi tidak bisa dilakukan,
maka ada kemungkinan untuk mengurangi bahan pajanan dengan
ventilasi keluar5
c. Pencegahan Sekunder
- Diagnosis (deteksi) dini dan pengobatan segera serta pembatasan
titik-titik lemah untuk mencegah terjadinya komplikasi
- Penyuluhan
- Identifikasi zat berbahaya
- Pemerikasaan kesehatan berkala
- Surveilans penyakit karena kerja5
d. Pencegahan Tersier
- Membatasi kemungkinan cacat (disability limitation). Misalnya:
memeriksa dan mengobati tenaga kerja secara komprehensif,
mengobati tenaga kerja secara sempurna dan pendidikan kesehatan
- Pemulihan kesehatan (rehabilitation). Misalnya: rehabilitasi dan
mempekerjakan kembali para pekerja yang menderita cacat.
Sedapat mungkin perusahaan mencoba menempatkan keryawan-
karyawan cacat di jabatan yang sesuai
- Mengistrahatkan pekerja
- Melakukan perpindahan pekerja dari tempat yang terpajan
- Melakukan kontrol berkala untuk evaluasi penyakit5
B. Tatalaksana
a. Bagasossis
Seperti yang telah dijelaskan diatas, prinsip awal dari
penatalaksanaan penyakit Farmer’s lung disease adalah dengan
menghindari paparan debu dari tanaman seperti padi maupun gandum dan
juga penggunaan alat-alat protektif. Selain itu dapat pula dilakukan
perbaikan pada lingkungan kerja, penggunaan alat respirator dapat bekerja
sebagai pembersih udara serta dapat juga digunakan fungisida,
dehumidifikasi, menyemprotkan jerami dengan asam propionat untuk
32

menekan pertumbuhan Thermophilic actinomycetes, pemberantas jamur


atau layanan pembersih lainnya untuk mengurangi paparan dari antigen10.
Apabila pasien terus mengalami progresi perburukan dari penyakit ini dan
juga adanya paparan yang terus menerus, maka sangat disarankan untuk
menghindari antigen dengan upaya apapun temasuk perubahan pekerjaan
dan perubahan tempat tinggal maupun tempat kerja.1
Obat yang umumnya digunakan adalah kortikosteroid. Obat ini
bekerja sebagai pelega pada serangan akut dan dapat mempercepat
penyembuhan dan perbaikan pada fungsi paru. Penggunaan kortikosteroid
ini diketahui tidak mengubah prognosis. Jenis dan dosis dari penggunaan
kortikosteroid beragam disesuaikan dengan kondisi pasien. Pada dosis
inisial dapat diberikan prednison 0.5-1mg/kgBB/hari selama 1 -2 minggu
untuk hipersensitivitas pneumonitis akut atau 4-8 minggu pada serangan
subakut maupun kronis. Kemudian pengobatan ini dapat dilanjutkan
dengan penurunan dosis secara berkala sekitar 10mg/hari selama 2-6
minggu. Pengobatan jangka panjang harus disesuaikan dengan keadaan
klinis, fungsi pulmoner, dan perbaikan pada hasil radiografi. Dosis
pengendalian umumnya tidak selalu diperlukan, terutama apabila pasien
sudah tidak terpapar antigen sama sekali. Rekurensi farmer’s lung lebih
banyak ditemukan pada kelompok kortikosteroid dibandingkan kelompok
kontrol bila tetap berlanjut mendapat paparan sehingga timbul dugaan
bahwa penggunaan kortikosteroid dapat menekan aspek counter
regulationrespon umum.1
Selain jenis kortikosteroid, beberapa obat yang dapat digunakan
adalah bronkodilator, kortikosteroid inhalasi, cromolyn sodium dan
antihistamin. Obat ini dapat memberikan dampak baik pada pasien dengan
gejala obstrukif yang masih reversibel. Penggunaan antibiotik makrolide
dengan dosis rendah digunakan untuk menurunkan inflamasi, namun
keuntungan dari penggunaannya masih belum terbukti. Penggunaan obat
imunosupresan seperti azatioprine atau cyclosporin terbukti membantu
pada pnegobatan anak-anak namun tidak pada dewasa.1
33

b. Silikosis
Bahwa tidak ada pengobatan khusus untuk silikosis, namun untuk
mencegah agar penyakit silikosis tidak semakin memburuk yaitu dengan cara
menghilangkansumber pemaparan atau dengan menurunkan kadar debu
silika.4
Salah satu terapi yang cocok untuk penderita silikosis adalah terapi
suportif. Terapi ini terdiri dari obat antitusif atau penekan batuk,
bronkodilator, dan oksigen. Jika terjadi infeksi, bisa diberikan antibiotik.
Tindakan prefentif lebih penting dan berarti dibandingkan dengan tindakan
pengobatannya. Penyakit silikosis akan lebih buruk kalau penderita
sebelumnya juga sudah menderita penyakit paru-paru, bronkitis, asma
bronkial dan penyakit saluran pernapasan lainnya. Pengawasan dan
pemeriksaankesehatan secara berkala bagi pekerja akan sangat membantu
dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit-penyakit akibat kerja.
Datakesehatan pekerja sebelum masuk kerja, selama bekerja dan sesudah
bekerja perlu dicatat untuk pemantauan riwayat penyakit pekerja jika sewaktu-
waktu diperlukan. 4
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah:
- Membatasi pemaparan terhadap debu silika.
- Perubah pola hidup denga berhenti merokok.
- Menjalani tes kulit untuk TBC secara rutin setiap tahunnya karena
penderita silikosis memiliki resiko tinggi menderita tuberkulosis (TBC) 4
Silika diduga dapat mempengaruhisistem kekebalan tubuh terhadap
bakteri penyebab TBC. Jika hasilnya positif, maka diberikan obat anti TBC.4

c. Bisinosis
Pengobatan terpenting bagi pasien byssinosis adalah menyingkirkannya
dari lingkungan kerja yang potensial risiko tinggi. Dalam pelaksanaannya
biasanya para pekerja dilakukan putar kerja. Uji faal paru serial perlu
dilakukan untuk mengetahui perubahan faal paru masing-masing pekerja pada
akhir waktu tertentu. Tidak ada obat spesifik untuk byssinosis dan bila ada
tanda-tanda obstruksi bronkus dapat diberikan bronkodilator. 4
34

d. Berilliosis
Pada bentuk akut pengobatan yang diberikan adalah menyingkirkan pasien
dari paparan berilium, istirahat. terapi oksigen, bantuan ventilasi mekanik (bila
perlu) dan kortikosteroid. Pada bentuk kronis pengobatannya belum ada yang
spesifik.
e. Asbestosis
Tatalaksana diberikan secara simtomatis
- Bronkodilator
Bronkodilator, misalnya albuterol inhalan, bekerja cepat, aman,
dan murah. Pasien yang hanya sesekali mengalami gejala asma tidak
memerlukan terapi selain agonis reseptor β2 inhalan yang digunakan
sesuai kebutuhan. Jika gejala mengharuskan terapi "penyelamatan" ini
dilakukan lebih dari dua kali seminggu, jika gejala malam hari terjadi lebih
dari dua kali sebulan, atau jika FEV1 kurang dari 80% dari perkiraan,
diperlukan terapi tambahan. Terapi yang pertama dianjurkan adalah
kortikosteroid inhalan dosis rendah, meskipun terapi dengan antagonis
reseptor leukotrien atau dengan kromolin juga dapat diberikan. Teofilin
kini umumnya dicadangkan bagi pasien yang gejalanya tetap sulit
dikontrol meskipun telah diberikan terapi reguler dengan obat anti-
inflamasi inhalan dan agonis β2 sesuai kebutuhan. Jika penambahan
teofilin gaga! memperbaiki gejala atau jika efek samping menimbulkan
gangguan, perlu dilakukan pemeriksaan kadar plasma teofilin untuk
memastikan bahwa kadar itu berada dalam kisaran terapeutik (10-
20mg/L). Hal penting bagi pasien dengan asma ringan adalah bahwa
meskipun risiko serangan berat yang mengancam nyawa lebih rendah
daripada mereka yang asmanya berat, risiko itu tidak nol. Semua pasien
dengan asma perlu diberi tahu tentang tindakan sederhana untuk serangan
berat yang menakutkan: menghirup empat semprotan albuterol setiap 20
menit selama 1 jam. Jika mereka tidak mengalami perbaikan yang nyata
setelah empat semprotan pertama, mereka perlu menggunakan terapi
tambahan sewaktu pergi ke departemen gawat darurat atau ke level
perawatan yang lebih tinggi6.
35

Bronkodilator
Nama Obat Dosis Sediaan Nama Paten
Adrenalin Dewasa: 1mg/ml/ampul
0,01mg/kgBB/hari SC: 1:1000
<2 th: 0,2ml IV: 1:10ribu
>2 th: 0,5ml Dapat diulang tiap 20
menit s/d 3x
Aminofilin LD IV: 6mg/kgBB 20- Tab 150;200mg, Inj. Dexafil
40menit 240mg/10ml
MD IV: dewasa
0,5mg/kgBB/jam;
anak&dewasa perokok
0,8-0,9mh/kgBB/jam;
geriatri
0,25mg/kgBB/jam;
geriatri perokok
0,4mg/kgBB/jam
Salbutamol 0,1-0,15mg/kgBB/kali (3- Tab 2;4mg, Syr 2mg/5ml Salbuven
4x)
Teofilin Hitung dengan Caps 130;150mg, Syr Amilex
menggunakan dosis 130;150mg/5ml Theobron
aminofilin, 80% teofilin Euphyllin
adalah aminofilin Retard
Terbutalin 0,075mg/kgBB/kali (3- Tab 2,5mg, Syr Bricasma
4x) 1,5mg/ml
Fenoterol 0,1mg/kgBB/kali (4x)
Tabel 1: Daftar bronkodilator6

- Antitusif, Ekspetoran & Mukolitik


Ekspektoran bekerja dengan cara membasahi saluran napas
sehingga mukus (dahak) menjadi lebih cair dan mudah dikeluarkan.
Mekanisme kerjanya diduga berdasarkan stimulasi mukosa lambung dan
selanjutnya secara refleks merangsang sekresi kelenjar saluran pernafasan
lewat nervus vagus, sehingga menurunkan viskositas dan mempermudah
pengeluaran dahak. Obat yang termasuk golongan ini ialah kalium iodida,
ammonium klorida, gliseril guaiakol, ipekak, dan lain-lain. Namun obat
36

batuk jenis ekspektoran yang telah ada saat ini memiliki efek samping
yang tidak diharapkan. Kalium iodida memiliki efek samping kuat berupa
gangguan tiroid dan hiperkaliemia apabila dikonsumsi pada pasien dengan
fungsi ginjal buruk, amonium klorida memiliki efek samping yang terjadi
pada dosis tinggi berupa asidosis (khusus pada anak-anak dan pada pasien
ginjal), gliseril guaiakol dan ipekak memiliki efek samping berupa iritasi
lambung pada dosis tinggi.6

ANTITUSIF, EKSPEKTORAN, & MUKOLITIK


Nama Obat Dosis Sediaan Nama Paten
Ambroxol 1,2-1,6mg/kgBB/hari (3x) Tab 30mg, Syr Mucopect
15;30mg/5ml, Drop Epexol
15mg/ml
Bromhexine Dewasa: 8mg (3x) Caps 8mg, Syr Bisolvon
5-10th: 4mg (3x) 4;10mg/5ml
2-3th: 4mg (2x)
1-2th: 1mg (2x)
<1th: 0,5mg (2x)
DMP 1-1,5mg/kgBB/hari (3x) Tab 15mg, Syr Zanidex
10mg/5ml, Drop
7,5mg/ml
Kodein 1mg/kgBB/hari (2x) Tab 10;15;20mg Codipront
Guanifenesin Dewasa: 100mg (3x) Tab 50;100mg Ponocolin Exp.
6-12th: 50mg (3x)
<6th: 25mg (3x)
Noscapin 0,5mg/kgBB/kali (3x) Caps 25;50mg, Syr Longatin
25mg/5ml, Tab Neocodin
10;20mg
Asetilsistein Dewasa: 3 tab/1 tab eff Tab 200mg, Tab eff. Fluimucil
Anak: 1 sachet 600mg, Syr
100mg/sachet
Tabel 2: Daftar obat antitusif, ekspektoran dan mukolitik6
37

- Antibiotik
Tetrasiklin adalah antibiotik bakteriostatik spektrum luas yang
menghambat sintesis protein. Tetrasiklin masuk ke dalam mikroorganisme
sebagian melalui difusi pasif dan sebagian melalui proses transpor aktif
dependen-energi. Organisme yang rentan menimbun obat di dalam selnya.
Setelah berada di dalam sel, tetrasiklin berikatan secara reversibel dengan
subunit 30S ribosom bakteri, menghambat pengikatan aminoasil-tRNA ke
tempat akseptor di kompleks mRNA-risobom. Hal ini mencegah
penambahan asam amino ke peptida yang sedang terbentuk. Tetrasiklin
aktif terhadap banyak bakteri positif gram dan negatif gram, termasuk
anaerob tertentu, riketsia, klamidia, dan mikoplasma. Aktivitas antibakteri
sebagian besar tetrasiklin serupa, kecuali bahwa galur-galur resisten
tetrasiklin mungkin masih rentan terhadap doksisiklin, minosiklin, dan
tigesiklin, dan semuanya bukan substrat yang baik bagi pompa efluks yang
menimbulkan resistensi. Perbedaan efikasi klinis untuk organisme yang
rentan tidak banyak dan terutama disebabkan oleh perbedaan dalam
absorpsi, distribusi, dan ekskresi masing-masing obat.6
Dosis oral untuk tetrasiklin yang cepat diekskresikan, yang ekivalen
dengan tetrasiklin hidroklorida, adalah 0,25-0,5 g empat kali sehari untuk
dewasa dan 20-40 mg/kg/hari untuk anak (usia 8 tahun atau lebih). Untuk
infeksi sistemik yang parah, diindikasikan dosis yang lebih tinggi, paling
tidak selama beberapa hari pertama. Dosis harian adalah 600 mg untuk
demeklosiklin atau metasiklin, 100 mg sekali atau dua kali sehari untuk
doksisiklin, dan 100 mg dua kali sehari untuk minosiklin. Doksisiklin
adalah tetrasiklin oral pilihan karena dapat diberikan dua kali sehari dan
penyerapannya tidak banyak dipengaruhi oleh makanan. Semua tetrasiklin
berikatan dengan logam, dan jangan ada yang diberikan per oral bersama
dengan susu, antasid, atau fero sulfat. Untuk menghindari pengendapan di
gigi atau tulang yang sedang tumbuh, tetrasiklin sebaiknya dihindari pada
wanita hamil dan anak berusia kurang dari 8 tahun.6 Tersedia beberapa
tetrasiklin untuk injeksi intravena dalam dosis 0,1-0,5 g setiap 6-12 jam
(serupa dengan dosis oral), tetapi doksisiklin biasanya dijadikan pilihan,
38

dengan dosis 100 mg setiap 12-24-jam. Penyuntikan intramuskulus tidak


dianjurkan karena nyeri dan peradangan di tempat penyuntikan. Reaksi
hipersensitivitas (demam obat, ruam kulit) terhadap tetrasiklin jarang
terjadi. Sebagian besar efek samping disebabkan oleh toksisitas langsung
obat atau karena perubahan flora mikroba.6

ANTIBIOTIK
Nama Obat Dosis Sediaan Nama Paten
Amoxicillin 20-40mg/kgBB/hari (3x) Caps 250mg, Kaptab Amoxan
500mg, Syr Kalmoxillin
125;250mg/5ml, Inj.
1g/vial
Ampicillin 50-100mg/kgBB/hari (4x) Caps 250mg, Kaptab Sanpicillin
IV: 100- 500mg, Syr Viccilin
200mg/kgBB/hari (4x) 125;250mg/5ml, Inj.
0,5;1g/vial
As. Nalidiksat 55mg/kgBB/hari (4x) Tab 500mg Negram
Urineg
Ceftriaxone 50-80mg/kgBB/hari (1x) Inj. 500mg;1g/vial Broadcef
(IM/IV) Elpicef
Cefixime 3-10mg/kgBB/hari (2x) Caps 50;100mg, Syr Cefspan
100mg/5ml Sporetik
Cefadroxil 25-30mg/kgBB/hari (2x) Caps 250;500mg, Syr Cefat
Dewasa 500mg/kali (2- 125;500mg/5ml
4x)
Cefuroxime 20mg/kgBB/hari (2x) Tab 500mg, Kap Sharox
250;500mg, Inj. Cefor
750mg;1g/vial Rycef
Cefotaxime Anak: 50- Inj. 500mg;1g/vial Clacef
100mg/kgBB/hari (3x) Cefor
BB <50kg: 100- Rycef
200mg/kgBB/hari (3-4x)
IM/IV BB>50kg: 1-2g (3-
4x)
Dewasa: 1g/kali (2x)
39

Cotrimoxazole T: 6-12mg/kgBB/hari (2x) Pedtab 120mg, Tab Sanprima


S: 30-50mg/kgBB/hari 480;960mg, Susp. Bactrim
(2x) 240mg/5ml Bactricid
Chloramphenicol Usia >1bln: 50- Caps 250;500mg, Syr Colsancetin
75mg/kgBB/hari (4x) 125mg/5ml, Inj. 1g/vial
Ceftazidim 30-50mg/kgBB/hari (2x) Inj. 500mg;1;2g/vial Fortum
Ceftum
Erythromycin 30-50mg/kgBB/hari (3- Caps 250;500mg, Syr Erysanbe
4x) 200mg/5ml
Gentamycin Neonatus: 2,5- Inj. 80mg/2ml atau Sagestam
3,5mg/kgBB/kali (2-3x) 40mg/ml Salicin
<5th: 2,5mg/kgBB/kali
(3x)
5-12th: 2-
2,5mg/kgBB/kali (3x)
Kanamycin 10-100mg/kgBB/hari (3x) Inj. 1;2g/vial Kanamycin
Metronidazole 15-30mg/kgBB/hari (3- Tab 250;500mg, Syr Flagyl
4x) 250mg/5ml, Supp. Trichodazole
u/ amubiasis ambil dosis 500mg, Infus
tertinggi 500mg/100ml
abses paru/hepar:
50mg/kgBB/hari (3x)
Thiamphenicol 20-30 mg/kgBB/hari (3- Caps 250;500mg, Syr
4x) 125mg/5ml
Nystatin 50-100ribu IU/kgBB/hari Tab 500ribu IU, Susp. Mycostatin
(3x) 100ribu IU/ml, Candistatin
Supp.vaginal 100ribu IU
Netimycin Neonatus <1mg: 6- Inj. 25;50;100;200mg/ml Netromycin C
7,5mg/kgBB/hari
>1mg: 7,5-
9mg/kgBB/hari (2x)
Penicillin Procaine 50-100ribu IU/kgBB/hari Inj. 3juta unit/vial (IM)
Spiramycin Inisiasi: Tab 250;500mg, Syr Rovamycine
100mg/kgBB/hari (1hari) 125mg/5ml
MD: 50mg/kgBB/hari
Tetracycline 30-50mg/kgBB/hari (4x) Caps 250;500mg Tetrasanbe
Polymyxins 40ribu unit/kgBB/hari
40

Vancomycin Neonatus: Inj. 500mg/vial Vancomycin


15mg/kgBB/hari Abbott
>1bulan: 40mg/kgBB/hari
(3-4x)
Dewasa: 500mg/kali (4x)
atau 1g/kali (2x)
Amikacin 15mg/kgBB/hari (2x)
Tabel 3: Daftar obat antibiotik6

Penatalaksanaan Lanjutan

- Transplantasi Paru
Tidak ada obat untuk CWP, terapi pendukung termasuk
bronkodilator untuk pembatasan aliran udara, antibiotik untuk infeksi
pernafasan, oksigen tambahan untuk mengelola hipoksemia, dan program
berhenti merokok. Mereka yang memiliki bukti radiografi CWP harus
disarankan untuk pindah ke lingkungan kerja yang kurang berdebu, tetapi
hal ini tidak selalu memungkinkan, dan penyakit dapat terus berkembang
bahkan setelah penghentian paparan debu tambang batu bara
Terapi suportif tidak memperlambat perkembangan CWP, dan
transplantasi paru bisa dilakukan pada pasien CWP stadium akhir atau
sudah parah.
41

DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
2. Putri Rinawati. Coal Worker’s Pneumoconiosis. J Majority. 4 (1) hal:49-56;
Januari 2015.
3. Salawati L. Silikosis. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 17 (1) Hal: 20-26; April
2017.
4. Darmanto D. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC. 2014.
5. Salawati L. Penyakit Akibat Kerja dan Pencegahannya. Jurnal Kedokteran
Syiah Kuala. 15 (2) hal: 91-95; Agustus 2015.
6. Katzung B.G., Masters S.B.,Trevor A.J. Farmakologi Dasar & Klinik. Edisi
ke-12. Jakarta: Lange Medical Publication; 2012.

Anda mungkin juga menyukai