Anda di halaman 1dari 26

TUGAS INDIVIDU

MATA KULIAH FILSAFAT ILMU FARMASI

PEMIKIRAN DAN AGAMA

OLEH :
WHYLLIES AGUNG AJIE BUANA
N012181021

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam Pandangan Thomas Hobbes (1588-1679), manusia adalah


serigala bagi manusia lain (homo homini lupus). Pandangan tokoh filsafat
analitis tersebut seakan-akan menvonis seluruh manusia sebagai rival
bagi lainnya, sehingga permusuhan, persengketaan, pertumpahan darah
dan lain-lain di antara mereka merupakan sebuah keniscayaan, seraya
mengeliminasi kecenderungan untuk bekerjasama sebagai perangai
natural mereka.
Secara general, dalam diri manusia terdapat dua sifat berlawanan.
Keduanya ibarat dua sisi uang logam yang bertolak punggung: pertama,
kebaikan sebagai sifat positif manusia, dan kedua, kejahatan sebagai sifat
negatif serta antagonis kebaikan. Keduanya senantiasa bergejolak saling
berkompetisi demi menguasai lainnya.
Pertarungan di antara keduanya akan sangat mudah dimenangkan
oleh kejahatan, dibawah kendali nafsu, karena selain didominasi oleh
kenikmatan, kejahatan pun sangat mudah dilakukan. Lain halnya dengan
kebaikan, selain harus melewati pelbagai rintangan sehingga sulit untuk
dilakukan, di bawah kendali hati nurani, hasilnya pun sulit didapat dan
tidak selalu memuaskan.
Kemenangan kejahatan atas kebaikan dalam diri manusia lambat
laun akan melahirkan ketidak teraturan di dalam kehidupan mereka,
sehingga ketidak harmonisan di antara mereka pun tak terelakkan. Tuhan
dengan segala kebijaksanaan-Nya, membuat peraturan-peraturan dan
menurunkannya dengan perantara para utusan sebagai pedoman hidup
yang wajib dipatuhi serta diimplementasikan di dalam kehidupan sehari-
hari.
Namun sangat disayangkan, agama yang merupakan titah suci
Tuhan tidak lagi menebarkan ruh orisinilnya guna kemaslahatan hidup
manusia. Ini disebabkan oleh intervensi manusia, dengan segala
kekurangan dan interest-nya, atas teks-teks keagamaan, seakan-akan
agama hanyalah milik kalangan tertentu, agama pun diseret kemana saja
sesuai selera hati sehingga klaim-klaim kebenaran penafsiran bak pedang
terhunus yang siap siaga memenggal keyakinan pihak lain yang
bersebrangan.
Berbagai aliran pemikiran memiliki interpretasi berbeda satu sama
lain. Namun sebagian umat Islam hingga kini masih saja mensakralkan
profanitas beragam interpreatsi tersebut, seolah-olah menjelma sebagai
‘suara Tuhan’ yang ‘haram’ diotak-atik, alih-alih didekonstruksi lantas
direkonstruksi. Ulasan berikut ini merupakan ilustrasi singkat nan umum
mengenai disparitas agama (ad-dîn) dan pemikiran keagamaan (al-fikr ad-
dînî) serta hal yang terkait lainnya, yang merupakan salah satu faktor
penyebab kelumpuhan sekaligus titik tolak pembaharuan pemikiran
keagamaan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Agama
Demi kemaslahatan manusia, Tuhan dengan segala
kebijaksanaan-Nya membuat peraturan-peraturan dan menurunkannya
melalui para utusan agung guna menyampaikan sekaligus
menjelaskannya kepada manusia. Berbagai peraturan tersebut disebut
juga dengan agama. Secara etimologi, agama terdiri dari dua kata bahasa
sansekerta, yaitu ‘a’ yang berarti ‘tidak’ dan ‘gama’ yang berarti ‘kacau’.
Dengan demikian, agama berarti ‘tidak kacau’.
Secara terminologi, agama adalah penerimaan atas tata aturan dari
kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia itu sendiri.
Pendapat lain mendefinisikannya sebagai peraturan Ilahi yang
membimbing kepada kebenaran dalam kepercayaan dan kepada
kebajikan dalam etika dan interaksi. Namun definisi kedua bersifat ekslusif
untuk agama-agama ‘langit’ saja, dengan sampul kata petunjuk Ilahi
sebagai hirarki tertinggi epistemologinya. Berbeda dengan definisi
pertama yang secara eksplisit tidak menyinggung ‘petunjuk Ilahi’.
Meski dikotomi antara agama ‘langit’ dan agama ‘bumi’ hingga detik
ini terus bergulir dan belum menemukan titik temu dari para sarjana, tapi
dari dua definisi di atas bisa ditarik benang merah, bahwa signifikansi
eksistensi agama adalah membimbing sekaligus mengikat manusia demi
terwujudnya kesejahteraan mereka di dunia serta kehidupan berikutnya.

B. Sejarah dan Pemikiran Agama di Barat Era Klasik


Carl G. Gustavson mengidentifikasi enam (6) kekuatan sejarah,
yaitu: (1) ekonomi, (2) agama, (3) institusi politik, (4) tehnologi, (5)
ideology, dan (6) militer. Sejarah sendiri baru ditulis pada jaman Yunani
dalam bentuk puisi karya Homer tentang cerita-cerita lama kehancuran
Troya pada 1200 SM. Tulisan sejarah dalam bentuk prosa muncul
kemudian di Ionia pada abad ke-6 SM. Herodotus, dijuluki sebagai Bapak
Sejarah (484-425 SM), Thucydides (456-396 SM), dan Polybius (198-117
SM) merupakan penulis sejarah kuno yang tersohor dari Yunani.
Sedangkan penulis sejarah dari Romawi yang terkenal adalah Julius
Caesar (100-44 SM), Gaius Sallustius Crispus (86-34), Titus Livius (59
SM-17 M), dan Publius Cornelius Tacitus (55-120 M).
Agama sebagai salah satu faktor dan kekuatan sejarah, tidak
mudah diberi definisi, karena agama mengambil berbagai bentuk sesuai
dengan latarbelakang pengalaman transenden manusia yang bervariasi.
Meskipun tidak terdapat definisi yang universal, namun dapat disimpulkan
bahwa sepanjang gerak sejarah, manusia memiliki catatan tentang hal-hal
"suci", dan agama termasuk di dalamnya. Yang "suci" tersebut pada
mulanya adalah roh-roh dalam keyakinan masyarakat primitif dan
berkembang menjadi dewa-dewa yang dianggap jauh lebih berkuasa
daripada roh-roh. Perkembangan ini terjadi pada masyarakat politeisme
(menyembah banyak versi Tuhan), seperti Mesir dan Yunani kuno.
Menurut sebuah teori yang dipopulerkan oleh Wilhem Schmidt
dalam The Origin of The Idea of God, bahwa telah ada suatu monoteisme
(menyembah satu Tuhan) primitif sebelum manusia menyembah banyak
Tuhan. Pada awalnya diakui hanya ada satu Tuhan Tertinggi yang selalu
dipuji-puji dalam ritual-ritual. Tetapi Tuhan itu ternyata "tak terjamah" oleh
ekspresi kemanusiaan. Diasumsikan bahwa Tuhan Tertinggi itu terlalu
jauh dan mulia. Sehingga berikutnya, Ia digantikan oleh ruh yang lebih
rendah dan Tuhan-tuhan yang lebih mudah dijangkau. Tuhan tertinggi
digantikan oleh tuhan-tuhan kuil pagan yang "lebih menarik".
Agama di dunia awal mula tercatat muncul kira-kira 4500 tahun
yang lalu melalui kepercayaan Hinduisme di Asia Selatan dan diteruskan
oleh kepercayaan tradisional Hebrew pada kira-kira 3500 tahun yang lalu
di Mesopotamia Asia dan kepercayaan-kepercayaan di kawasan gurun
purba Mediterania di Barat. Dari tahun 3500 hingga 800 SM disebut era
purba agama dunia (The Ancient Period of The World Religions). Setelah
itu, sejarah kepercayaan tentang keselamatan dan pembebasan dibagi
menjadi lima era:
1. The Axial Age (800-400 SM): Upanishads disusun, Thales filosof Barat
pertama mengembangkan ide-ide kosmosnya, kemunculan Zoroaster
di Persia, Siddharta Gautama dengan Budhisme, Mahavira dengan
Jainisme, K'ung Fu Tzu dengan Confucianisme, dan Sokrates dengan
pemikiran baru filsafat Barat.
2. Middle Periode (400-100 SM): zaman Plato, Aristoteles, tradisi Cina,
dan ajaran Tao Te Ching disusun.
3. Global Axial Age (100 SM-800 M): masa Bhagavad Ghita disusun,
agama Kristen berkembang, dan Islam tumbuh-kembang.
4. Period of Development (800-1300 M): masa pertumbuhan dan
perkembangan gerakan sufi dan filsafat Islam, Moses Maimonides
pembaharu Yahudi menulis The Guide for The Perplexed, dan
kehadiran Thomas Aquinas sebagai teolog Kristen terhebat yang
berhaluan Aristotelian par excellent.
Pembagian babakan sejarah agama yang akan dibahas dalam
makalah ini tidak mengikuti model pembagian Joseph Ruzo di atas.
Babakan sejarah agama dalam makalah ini mengikuti pola babakan yang
lazim pada fase kesejarahan filsafat di Barat. Hal ini mengingat terutama
Barat, saat ini relatif lebih dikenal karena prestasi-prestasi kegiatan
filsafatnya yang mengemuka.
1. Pra Hellenistik
Sejarah Yunani yang banyak dikisahkan adalah sejarah Yunani
sekitar abad 6 SM. Sebab, saat itulah puncak kejayaan peradaban dan
kebudayaan Yunani pra-Hellenisme. Kala itu Yunani terbagi menjadi dua
negara: Sparta dan Athena. Sparta merupakan negara dengan nilai-nilai
agraris. Tokoh pemimpinnya yang terkenal adalah Lycurgus (600 SM).
Sedangkan Athena adalah negara dengan nilai-nilai maritime.
Penguasanya yang terkenal adalah Pisistratus (560 SM), Cleisthenes (508
SM), dan Pericles (461).
Diketahui bahwa sebelum mengenal dewa-dewa, bangsa Yunani
kuno memuja dan menyembah daya-daya alam, roh nenek moyang dan
pimpinan tertinggi dari anggota keturunan mereka. Kemudian, mereka
melakukan pemujaan terhadap para dewa yang dipusatkan di gunung
Olympia, sebagaimana diceritakan Homerus dan Hesiodes dalam syair-
syair mereka. Hampir semua aktivitas kebudayaan Yunani kuno
berhubungan dengan semangat keagamaan. Seni, arsitektur, dan sastra
memiliki nilai keagamaan. Bahkan teather dan olahraga olimpiade
merupakan upacara keagamaan untuk menghormati Zeus. Kehidupan
politik juga meleburkan diri secara intim dengan agama. Para pembesar
dan aristokrat Yunani kuno meraih dan mempertahankan kekuasan
melalui klaim-klaim kekuatan dan keistimewaan dari para dewa. Dipercaya
bahwa beberapa individu istimewa di era mitis ini dapat bertemu muka
dengan dewa-dewi mereka lewat mimpi.
Keberadaan kehidupan beragama dan keberadaan para dewa
Yunani, seperti Zeus, Apollo, Ares, Aphrodite, Athena, Demeter, Hermes,
Thetis, dan Poseidon terlacak dari catatan Homerus (penulis besar sastra
Yunani yang berasal dari Asia Kecil). Para dewa-dewi tersebut dihormati
dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan yang berbeda-beda. Salah
satu dewa favorit masyarakat Yunani kuno adalah Apollo yang konon
bertahta di suatu kuil khusus di Delphi yang terletak di lereng curam
gunung Parnassus di pusat wilayah Yunani. Apollo menjadi tempat
rujukan masyarakat Yunani. Maklumatnya yang dikenal dengan Sabda
Delphi (Delphic Oracle) merupakan sabda yang terkenal dan sangat
didengar oleh siapapun di Yunani. Kuil Delphi Apollo menjadi pusat nomer
satu simbol kebersatuan kebudayaan Yunani kuno (panhellenic center)
selain gunung Olympia (di sebelah barat Pelopennesus) dan kota kecil
Eleusis.
Tradisi berpikir yang kemudian berkembang di Yunani disebabkan
di Yunani sebelumnya tidak pernah ada agama yang didasarkan pada
kitab suci. Keadaan tersebut jelas berbeda dengan Mesir, Persia, dan
India. Pada masa Yunani kuno, filsafat secara umum sangat dominan,
meski harus diakui bahwa agama masih kelihatan memainkan peran. Hal
ini terjadi pada tahap permulaan, yaitu pada masa Thales (640-545 SM),
yang menyatakan bahwa esensi segala sesuatu adalah air, belum murni
bersifat rasional. Argumen Thales masih dipengaruhi kepercayaan pada
mitos Yunani. Demikian juga Pythagoras (572-500 SM) belum murni
rasional. Ordonya yang mengharamkan makan biji kacang menunjukkan
bahwa ia masih dipengaruhi mitos. Jadi, dapat dikatakan bahwa agama
alam bangsa Yunani masih dipengaruhi misteri yang membujuk
pengikutnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa agama bangsa Yunani
berdiri di atas serangkaian mitos. Para filosof pra-Socrates berusaha
membebaskan diri dari belenggu mitos dan agama asalnya.
Para filosof mengalihkan obyek pemikiran manusia dari alam mitis
ke arah pemikiran tentang manusia sendiri. Filosof-filosof ini disebut
dengan kaum sophis yang dipelopori oleh Protagoras (485-420 SM).
Menurutnya, segala fenomena menjadi relatif bagi subyektifitas manusia.
Ia mengklaim manusia sebagai ukuran kebenaran dengan istilah "homo
mensura". Kaum sophis berpendapat bahwa manusialah yang menjadi
ukuran kebenaran. Tidak ada kebenaran yang berlaku secara universal,
kebenaran hanya berlaku secara individual. Tidak adanya ukuran
kebenaran yang bersifat umum berdampak negatif, yaitu terciptanya
kekacauan tentang kebenaran, semua teori pengetahuan diragukan, serta
kepercayaan dan doktrin agama diabaikan.
Kaum sophis mendapat imbangannya dalam diri seorang alim yang
merupakan guru teladan sepanjang jaman (the greatest teacher of all
time) yang bernama Socrates (470-399 SM). Ia tidak menerima
kepercayaan yang diabdikan pada sejumlah berhala, sebab baginya
Tuhan adalah tunggal. Menurutnya, kebenaran umum itu ada, yaitu
kebenaran yang diterima setiap orang. Pemikiran tersebut dilanjutkan oleh
Plato (429-348 SM). Bagi Plato, kebenaran umum itu memang ada;
namanya adalah ide. Idealisme metafisiknya, Tuhan adalah realitas yang
tertinggi dan paling sempurna. Tuhan tidak mencipta sesuatu dari yang
tidak ada, tetapi dari sesuatu yang disebut "Dzat Primordial" yang
berisikan seluruh unsur asli alam. Plato memiliki kekecewaan pada
upacara-upacara kuno dan mitos-mitos agama yang menurutnya
merendahkan dan tidak layak.
Aristoteles (384-322 SM) tampil dengan pemahamannya yang
tajam tentang hakikat dan arti penting agama dan mitologi. Dia
mengemukakan bahwa orang-orang yang terlibat dalam berbagai misteri
agama (penganut agama) tidak perlu mempelajari fakta apapun kecuali
mengalami emosi dan disposisi tertentu. Gagasan Aristoteles tentang
Tuhan berpengaruh besar terhadap monoteisme selanjutnya, khususnya
terhadap orang Kristen di dunia Barat. Meskipun sesungguhnya konsep
Tuhan model tokoh-tokoh Yunani seperti Aristoteles dan Plotinus sangat
berbeda dengan konsep Tuhan dalam pandangan agama samawi.
Karena, Tuhan Aristoteles dan Plotinus tak berwaktu dan tak bergeming;
Dia tidak menaruh perhatian terhadap kejadian-kejadian duniawi, tidak
mewahyukan dirinya dalam sejarah, tidak pernah menciptakan alam, dan
tidak akan mengadili di Hari Kiamat.
Aliran Neo-Platonisme muncul dirintis oleh Plotinus (205-70 SM).
Doktrin pokok Plotinus adalah tiga realitas, yaitu jiwa (soul), akal (nous),
dan Yang baik (The Good). Hubungan ketiga unsur tersebut dikenal
dengan Plotinus Trinity. Menurut Plotinus, Tuhan bukan untuk dipahami,
tetapi untuk dirasakan. Tujuan berfilsafat (tujuan hidup secara umum)
adalah bersatu dengan Tuhan. Rasa inilah satu-satunya yang dituntun
kitab suci. Filsafat rasional dan sains tidak penting, bahkan salah seorang
murid Plotinus, Simplicus, menutup sama sekali ruang gerak filsafat
rasional.
2. Masa Hellenistik
Masa kepercayaan kepada dewa ala Yunani kuno mulai bergeser
ketika terjadi kemunduran akibat pertempuran besar antara Athena yang
mengandalkan kekuatan laut dan Sparta dengan kekuatan angkatan
daratnya. Alexander muda muncul dari Macedonia menjadi sosok
penguasa hebat melebihi penguasa Yunani manapun. Alexander
merupakan murid Aristoles yang juga mengagumi Homer dan Pindar. Ia
berkuasa selama waktu antara 336-323 SM dengan wilayah kekuasaan
yang luas membentang antara Macedonia, Mesir, Persia, dan wilayah
Afghan. Tetapi kekuasaan besar Alexander harus berakhir saat ia mati di
usia yang muda, 33 tahun.
Kematian Alexander merupakan awal dari epos baru yang disebut
Hellenistik (Hellenisme). Istilah ini pecahan kata dari Hellas (negeri
Yunani). Hellenistik adalah era baru peradaban Barat pasca kekuasaan
Alexander yang berlangsung antara 323 SM hingga penaklukan Romawi
di Mediterania timur pada abad 2 dan 1 SM. Wilayah kebudayaan
Hellenistik tidak tunggal melainkan terbagi menjadi tiga kawasan yang
dipimpin oleh mantan-mantan jenderal Alexander: Macedonia di bawah
pimpinan tuan-tuan Yunani-Eropa, Mesir di bawah kendali Ptolemies yang
berpusat di Alexandria (Iskandariah), dan Syria yang dikontrol oleh
Seleucus dengan pusat kekuasaan di Antioch.
Istilah Hellenisme dinilai pertama kali diperkenalkan oleh ahli
sejarah dari Jerman, J.G. Droysen. Ia menyebut istilah Hellenismus
sebagai sebutan untuk masa peralihan antara Yunani kuno dan dunia
Kristen. Masa-masa hellenisme ini membawa berbagai perubahan besar
dalam banyak bidang, seperti bahasa dan pemikira filsafat Yunani yang
banyak diserap dengan berbagai cara di kawasan Laut Tengah, Syria, dan
Mesir. Pada masa ini, agama Yahudi melalui sosok filosof Philo (30 SM-50
M) telah menampilkan dirinya bersanding secara ramah dengan filsafat
Yunani. Dengan kecakapannya, Philo merekonstruksi nilai-nilai Yahudi
sedemikian rupa sehingga cocok untuk disesuaikan dengan filsafat
Hellenisme. Jadi, nilai Yahudi di ranah Barat sudah lebih dahulu eksis
daripada Kristen.
3. Pasca Hellenistik (Judeo-Cristiano)
Masa Hellenistik berakhir seiring kekuatan dan kekuasaan Romawi
menggantikan kebudayaan Yunani kuno. Romawi sendiri membangun
karir sebagai negeri yang independen sudah sejak 500 SM. Mereka juga
mendapatkan pengaruh budaya Yunani sehingga peradaban mereka
disebut Greco-Roman. Bahkan saat Romawi menegaskan kekuasaannya
di Afrika Utara dan Timur Tengah di abad 1 SM, mereka menenggelamkan
diri dalam kebudayaan Yunani, menggabungkan dewa-dewa Romawi
dengan dewa Yunani, dan mengadopsi filsafat Yunani dengan antusias.
Sistem politik Romawi yang berbentuk republik berakhir pada pertengahan
abad 1 SM dan diganti dengan system kerajaan (empire).
Di saat yang sama, kehadiran Yahudi di tengah gairah Romawi
bersanding dengan kebudayaan Yunani ternyata tidak menimbulkan
gejolak. Sebaliknya, Romawi tak jarang lebih membela orang Yahudi
daripada orang Yunani karena Romawi memandang Yahudi sebagai
sekutu penuh di kota-kota Yunani yang masih menyimpan sisa-sisa
permusuhan terhadap Romawi. Orang-orang Yahudi mendapatkan
patronase dari Romawi untuk sebebas-bebasnya menjalankan ibadah
hingga Yudaisme memiliki pengaruh yang kuat. Akibatnya, orang-orang
dari kerajaan Romawi tergoda mencari alternatif agama baru. Gagasan
monoteistik pun merebak dan dewa-dewa tak lama kemudian hanya
tampil sebagai perwujudan dari keilahian yang lebih luas. Orang Romawi
mulai tertarik pada karakter moral Yudaisme.
Namun, keadaan tersebut terganggu oleh rencana sekelompok
orang Yahudi ekstrem di Palestina yang dengan keras menentang
Romawi. Pada tahun 66 M, mereka merancang pemberontakan melawan
Romawi dan di luar dugaan bila mereka mampu menghambat gerak maju
pasukan Romawi selama 4 tahun. Pada tahun 70 M, kaisar baru Romawi
Vespasian dapat menguasai Yerusssalem, meratakan kuil-kuil Yahudi,
dan menumpas orang Yahudi tanpa ampun.
Kedatangan Kristen di Barat menimbulkan konfrontasi dengan arus
kebudayaan Hellenistik. Di mana-mana penentangan ditunjukkan oleh
para penguasa, pemikir, dan filosof Hellenistik. Pendeta-pendeta Kristen
tak berkutik menghadapi para ahli pikir itu. Paulus pengikut utama Yesus
sendiri memang kurang menghargai rasionalisme Yunani dan
menganggapnya sebagai kekonyolan semata.
Hingga muncul kesempatan melalui terkristenkannya beberapa
orang dari kalangan atas dan pemikir Hellenistik. Tampillah pembela-
pembela iman Kristen dari serangan dahsyat filsafat Yunani yang disebut
para apologit. Di antara dari mereka adalah Aristides dari Athena sendiri,
Yustinus Martir dari Palestina, dan Tatianus dari Asur. Yustinus
melakukan pembelaan dengan menyatakan bahwa agama Kristen
bukanlah agama baru, bahkan lebih tua dari filsafat Yunani itu sendiri.
Nabi Musa yang hidup jauh sebelum Plato telah menubuatkan kedatangan
Isa. Padahal menurut Yustinus, Plato sendiri mereguk hikmat dari hikmat
Musa. Kekuasaan kerajaan Romawi kuno sendiri mencapai puncaknya
selama 1-2 abad Era kemunculan Kristen (The Christian Era) yang banyak
membawa pengetahuan mutakhir dunia di bawah proyek Pax Romano;
Perdamaian Romawi (The Roman Peace).
Kemenangan Kristen (dan sekaligus juga Yahudi) di Eropa,
mempunyai pengaruh yang luas. Kebudayaan paganisme Yunani dan
Romawi yang bertumpu pada kekuatan akal dianggap hasil setan dan
harus ditolak. Kebudayaan Kristen yang bertumpu pada agama dan
supernaturalisme harus terlibat menggantikan dua kebudayaan kuno
tersebut. Dalam pandangan Kristen, orang harus memilih antara Tuhan
atau setan. Orang yang terlibat dalam sejarah suci-lah yang akan
dimenangkan oleh Tuhan. Akibatnya, orang-orang yang menghidupkan
filsafat rasional dimusuhi dan dibunuh. Di antara korban kefanatikan
agama Kristen adalah Hypatia (370-415). Pada saat itu, gereja sedang
mengadakan konsolidasi diri dan mencoba untuk mengikis habis
paganisme, dan filsafat dianggap sama dengan paganisme. Tidak lama
kemudian, gereja membakar habis perpustakaan Iskandaria bersama
seluruh isinya. Puncaknya pada tahun 529 M, Kaisar Justianus
mengeluarkan undang-undang yang melarang filsafat. Ia menutup sekolah
filsafat kuno yang menjadi benteng terakhir paganisme intelektual di
Athena yang diajar oleh seorang guru besar bernama Proclus (412-485 M)
murid Plotinus yang paling bersemangat. Inilah masa di mana agama
berhasil memaksa filsafat "istirahat" hingga dua abad kemudian.
Sejak gereja (agama) mendominasi, peranan akal (filsafat) menjadi
sangat kecil. Karena, gereja telah membelokkan kreatifitas akal dan
mengurangi kemampuannya. Pada saat itu, pendidikan diserahkan pada
tokoh-tokoh gereja yang kemudian dikenal dengan "The Scholastics",
sehingga periode ini berikutnya disebut dengan masa-masa skolastik.
Para filosof aliran skolastik menerima doktrin gereja sebagai dasar
pandangan filosofisnya. Mereka berupaya memberikan pembenaran apa
yang telah diterima dari gereja secara rasional.
Di antara pelopor filosof-teolog skolastik yang terkenal adalah
Augustinus (354-430 M). Menurutnya, dibalik keteraturan dan ketertiban
alam semesta ini pasti ada yang mengendalikan, yaitu Tuhan. Kebenaran
mutlak ada pada ajaran agama. Kebenaran berpangkal pada aksioma
bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Allah dari yang tidak ada (creatio
ex nihilo). Kehidupan yang terbaik adalah kehidupan bertapa, dan yang
terpenting adalah cinta pada Tuhan.
4. Abad Pertengahan
Ciri khas prinsip agama pada abad pertengahan ini terletak pada
rumusan filosofis Santo Anselmus (1033-1109), yaitu credo ut intelligam
(saya percaya agar saya paham). Filosofi ini jelas berbeda dengan sifat
filsafat rasional yang lebih mendahulukan pengertian dari pada iman.
Puncak kejayaan masa skolastik dicapai melalui pemikiran Thomas
Aquinas (1225-1274). Ia mendapat gelar "The Angelic Doctor", karena
banyak pikirannya, terutama dalam karya "Summa Theologia" menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari gereja. Menurutnya, pengetahuan
berbeda dengan kepercayaan. Pengetahuan didapat melalui indera dan
diolah akal. Namun, akal tidak mampu mencapai realitas tertinggi yang
ada pada daerah adikodrati. Ini merupakan masalah keagamaan yang
harus diselesaikan dengan kepercayaan. Dalil-dalil akal atau filsafat harus
dikembangkan dalam upaya memperkuat dalil-dali agama dan mengabdi
kepada Tuhan.
Pada tahap akhir masa skolastik terdapat filosof yang berbeda
pandangan dengan Thomas Aquinas, yaitu William Ockham (1285-1349).
Tulisan-tulisannya menyerang kekuasaan gereja dan teologi Kristen.
Karenanya, ia tidak begitu disukai dan kemudian dipenjarakan oleh Paus.
Namun, ia berhasil meloloskan diri dan meminta suaka politik kepada
Kaisar Louis IV, sehingga ia terlibat konflik berkepanjangan dengan gereja
dan negara. William Ockham merasa membela agama dengan
menceraikan ilmu dari teologi. Tuhan harus diterima atas dasar keimanan,
bukan dengan pembuktian, karena kepercayaan teologis tidak dapat
didemonstrasikan. Pada abad pertengahan, perkembangan alam pikiran
di Barat amat terkekang oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran
agama (doktrin gereja). Perkembangan penalaran tidak dilarang, tetapi
harus disesuaikan dan diabdikan untuk kepentingan gereja.

C. Sejarah Filsafat Barat Era Klasik


Berbicara tentang filsafat merupakan pembicaraan mengenai
atraksi dan aksi-aksi akal. Berbeda dengan agama yang merupakan
perbincangan tentang abstraksi-abstraksi intuitif yang sering melampaui
premis-premis akal sehingga hubungan kedua perangkat epistem
seringkali di titik-titik ketegangan yang tak terelakkan dan saling
berbantahan.
Era Yunani klasik merupakan masa terpenting yang menandai
kontribusi filsafat terhadap peradaban dunia. Banyak kebudayaan dunia
yang berhutang pada kebudayaan pemikiran Yunani. Nama-nama, seperti
Socrates. Plato, dan Aristoles menancapkan pengaruh pemikirannya
dalam berbagai bidang khasanah kebudayaan yang terwariskan hingga
saat ini. Meskipun sebenarnya banyak nama pemikir klasik Yunani yang
lain yang juga layak disebut-sebut dalam sejarah.
1. Filsafat pra-Sokrates
Jaman tumbuh dan berkembangnya filsafat Yunani dapat dimulai
dari tokoh-tokoh filosuf dari Miletos yang hidup sekitar abad ke -6 s.M.
Diantaranya Anaximandros dan Anaximenes. Kota Miletos menjadi tempat
lahir para folosof dan merupakan kota terpenting dari kedua belas kota
Ionia. Thales, termasuk diantara filosuf dari Miletos yang hidup sekitar
abad -6 SM. mengenai tanggal lahir dan kematiannya tidak ada data yang
pasti, tetapi bukti akan jasa-jasanya nampak dengan keberhasilannya
dalam meramal gerhana matahari yang terjadi tanggal 28 Mei 585. Pada
tahun 494 SM Miletos musnah diserbu Persia. Nama-nama lain masa ini
(selain Thales dari Miletos), yaitu Bias dari Priene, Pittakos dari Maytilene,
Soolon dari Athena, Kleobolos dari Lindos, Khiloon dari Sparta, dan
Preriandros dari Korinthos. Mereka semua disebut "tujuh orang bijak".
Para filosof Miletos (Mazhab Milesian) dikategorikan sebagai fase
kegiatan filsafat pra-Sokrates. Filosof-filosof besar lain era pra-Sokrates
adalah Pythagoras (580-500 SM) yang hidup sejaman dengan
Anaximenes, Xenophanes (570-480 SM) kelahiran Kolofon Asia Kecil,
Herakleitos (540-475 SM) dari Efesus, Parmenides (540-475 SM) dari
Elea, Zeno (lahir 490 SM) murid Parmenides yang juga dari Elea,
Empodokles (492-432 SM) dari Sisilia, Anaxagoras (499-420 SM) dari
Athena, Leukippos (orang yang dianggap pertama kali mengajarkan
tentang atom), Demokritos (460-370 SM).
2. Filsafat Arus Utama (Sokrates, Plato, Aristoteles, dan Para Sophis)
Tokoh-tokoh filsafat arus utama, seperti Sokrates sebenarnya hidup
sejaman dengan beberapa tokoh filsafat pra-Sokrates. Pembagian fase ini
dilakukan untuk menandai ciri-ciri kegiatan filsafat dari para tokoh filsafat
Yunani dengan pusat figur ada pada Sokrates, Plato, dan Aristoteles.
Tokoh-tokoh filsafat pra-Sokrates adalah tokoh pemikir yang kegiatan
filsafatnya tidak mendapatkan pengaruh filsafat Sokrates. Di samping itu,
pembagian ini sebenarnya untuk mempermudah pemetaan pemikiran
filsafat Yunani yang sifatnya lentur.
Seperti halnya agama (melalui jalan transendensi), filsafat
merupakan kegiatan pencarian makna hakiki dari dunia material. Tetapi
filsafat tidak membutuhkan apapun termasuk transendensi kecuali,
BERPIKIR. Dengan kegiatan berpikir yang otonom itulah Sokrates
mempertanyakan banyak hal yang terjadi di tengah-tengah masyarakat
Yunani. Sokrates menyatakan:
“I have never lived an ordinary quiet life. I did not care for the things that
most people care about – making money, having a comfortable home,
high military or civil rank, and all the other activities, political appoinments,
secret societies, party organization, which go on in our city. I thought that I
was really to strict in my principles to survive if I went in for this sort of
thing. Examining both myself and others is really the very best thing that a
man can do, and that life without this sort of examination is not worth
living.”
(Aku tidak bisa tinggal diam. Aku tidak peduli terhadap hal-hal yang
menjadi kepedulian banyak orang, seperti menumpuk uang, memiliki
rumah layak, posisi militer dan kemasyarakatan, pencapaian politik, aturan
kelompok, perayaan perkumpulan, yang berlangusng di kota kita. Aku
berpikir bahwa aku benar-benar seksama dalam prinsip mempertahankan
upaya pemilahan atas sesuatu. Memeriksa diriku sendiri dan hal yang lain
adalah hal terbaik yang dapat dilakukan seorang manusia. Hidup tanpa
upaya pemilahan teruji ini, adalah hidup yang tidak bernilai).
Kritisisme Sokrates ini, mengantarnya menjemput ajal. Socrates,
filsuf kuno Yunani harus mati dengan minum air cemara beracun.
Penguasa (atas rekomendasi para agamawan konservatif) menilainya
tidak menghargai dewa dan meracuni pikiran-pikiran anak muda Yunani
dengan pemikiran-pemikiran yang membahayakan kepercayaan agama
Yunani.
Selain Sokrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM), dan Aristoteles
(384-322 SM), tokoh-tokoh aliran arus utama ini juga didukung oleh tokoh
sophis, seperti Protagoras (480-411 SM), Gorgias (480-380 SM), Hippias
kawan sebaya Sokrates yang berasal dari Elis, Prodikos juga teman
sebaya Sokrates dari pulau Keos, Kritias dari Athena, Antisthenes pelopor
aliran Stoa (Stoik), dan Aristippos pelopor aliran Epicuros. Tentu sosok
terpopuler kelas ini (bahkan diantara semua filosof Yunani) adalah Plato
dan Aristoteles. Profil Sokrates sendiri dikenal melalui Plato dan para
pengagumnya, sebab Plato memang tidak meninggalkan sebaris
tulisanpun.
Ketiga tokoh menonjol arus utama di atas tidak digolongkan
sebagai tokoh sophis karena justru mereka mengkritik cara kerja filosof-
filosof bercorak sophis yang dinilai terlampau retoris dan oratif ketika
menyampaikan buah pikiran mereka. Istilah sophis sebenarnya memiliki
arti yang baik, yaitu seorang yang bijaksana, seorang ahli, seorang
cendekia, dan seorang sarjana. Namun, istilah itu menjadi berkonotasi
negatif karena maraknya guru-guru filsafat yang berkeliling dari kota ke
kota lain untuk memainkan peranan penting di tengah masyarakat Yunani
melalui cara-cara penyampaian pidato yang lihai. Sokrates, Plato,
Aristoteles, dan para pengikutnya mengecam filosof-filosof yang
menggunakan kemampuan berargumen secara filosofis untuk maksud-
maksud tertentu (yang bersifat pribadi) yang tidak sah sebagai tindakan
orang-orang sophis.
3. Filsafat Hellenistik (peralihan budaya Yunani-Romawi)
Ketika pada tahun 323 SM Aleksander Agung (Alexander The
Great) meninggal, berkobar huru-hara di Athena menentang Macedonia
(pusat kekuasaan Aleksander). Aristoteles yang sempit bertindak menjadi
tutor intelektual Aleksander dituduh sebagai penghianat. Aristoteles
meninggalkan Athena menuju Khalkes dan beberapa waktu kemudian
meninggal di sana sebagai orang terasingkan.
Meninggalnya Aristoteles adalah defisit besar bagi sejarah
pemikiran Yunani era arus utama. Namun, kira-kira 5 abad kemudian
muncullah sosok yang tak kalah genial dengan Aristoteles. Sosok itu
bernama Plotinus dan menjadi figur filosof era filsafat Hellenisme. Di era
ini, filsafat bukan sekedar persoalan teoritik yang rumit melainkan beralih
menjadi trend seni hidup bagi banyak orang. Banyak aliran yang muncul
pada masa ini yang secara garis besar terbagi menjadi dua : aliran etis
(menekankan pada persoalan-persoalan kebijaksanaan hidup yang
praktis) dan agamis.
Yang termasuk aliran etis adalah aliran Epicuros, Pyrrho dari Elis,
dan Stoa. Sedangkan yang termasuk golongan agamis adalah aliran
filsafat Neo-Pythagoras (salah satu tokohnya adalah Appolonius dari
Tyana yang hidup pada abad 1 SM), Platonis Tengah (tokohnya adalah
Plutarkhos dan Noumenios), Yahudi (tokohnya Philo anggota keluarga
Imam Yahudi dari Iskandariah), dan Neo-Platonis (tokohnya Ammunius
Saccus dari Iskandariah dan muridnya, Plotinus yang pernah berkarir di
militer Romawi).
4. Filsafat pasca Hellenistik
Di era ini filsafat Yunani menjadi alat bagi pemertahanan ajaran
Yahudi-Kristen. Agama telah "berselingkuh" dengan filsafat. Era ini dapat
juga disebut dengan jaman filsafat Patristik (dari asal kata Pater=bapa;
pendeta gereja) atau filsafat Katolik menurut istilah Bertrand Russell. Pada
masa ini, sebenarnya filsafat tidak sepenuhnya diterima sebagai basis
argumen teologi Yahudi-Kristen. Banyak juga yang menolak dan
menyusun sendiri konsep filsafat yang mereka nilai bersumber dari ajaran
Kristen. Tetapi tidak dapat dibantah bahwa penolakan itu semu karena
pengaruh filsafat Yunani terhadap para teolog Yahudi dan Kristen adalah
tak terbantahkan. Tokoh-tokoh filosof pasca Hellenisme ini di antaranya
adalah Irenaeus (202 M), Klemens (150-215 M) dari Iskandariah, Origenes
(185-254 M) juga dari Iskandariah, Tertullianus (160-222 M) dari Karthago
Afrika Utara, dan Aurelius Augustianus (354-430 M) dari Numedia yang
dijuluki "Bapak Filsafat Kristen". yang besar pengaruhnya pada filsafat
abad pertengahan.
Agustinus adalah tokoh besar yang berhasil menguasai pemikiran
Eropa hingga lebih dari 10 abad. Pemikiran filsafat Agustinus
mendapatkan pengaruh dari Neo-Platonisme yang digagas Plotinus.
Setelah masa Agustinus, sekitar abad ke-5 M, filsafat pasca Hellenisme
yang bercorak Patristik mulai merosot hingga abad ke 8 M. Tidak muncul
lagi tokoh-tokoh baru yang memfenomena untuk dibahas. Filsafat di Barat
mulai menggeliat kembali di abad pertengahan berikutnya dan disebut
filsafat Skolastik.
5. Filsafat Abad Pertengahan (Skolastik)
Kegiatan berfilsafat menjadi mandeg karena Romawi dan segenap
elemen kebudayaannya sedang dilanda kekacauan akibat serangan-
serangan asing ke pusat-pusat wilayah Romawi. Baru pada masa Karel
Agung (742-814 M), Romawi dapat mengendalikan situasi sehingga
kegiatan filsafat dan teologis berlangsung kembali. Pada masa ini
kegiatan filsafat sepenuh ditopang oleh keyakinan kukuh pada iman
kristiani. Filsafat era ini tidak lebih dari filsafat budak Kristen. Sebuah
masa yang payah bagi filsafat. Tokoh-tokohya antara lain, yaitu Johannes
Scotus Eriugena (810-870) dari Irlandia, Anselmus (1033-1109 M) dari
Canterbury Inggris, dan Petrus Abaelardus (1079-1142 M) dari Perancis.
Puncak skolastik berada di tangan Albertus (1206-1280 M) dari Jerman
dan Thomas Aquinas (1225-1274 M). Akhir skolastik memudar di
pertengahan kedua abad 13. Kejemuan terhadap sistem filsafat yang ada
melanda generasi kala itu. Dengan berakhirnya era filsafat pertengahan,
lahirlah era baru filsafat modern di Barat.

D. Perbedaan Agama dan Pemikiran Agama


Perlu untuk kita pahami bersama bahwa antara agama dan
pemikiran agama adalah berbeda. Namun banyak dari kalangan kita yang
masih memahami antara agama dan pemikiran agama itu sama, inilah
yang terkadang menyebabkan diantara kita saling menghujat satu sama
lain dan juga saling menuduh sesat. Maka memahami kembali apa itu
agama dan apa itu pemikiran agama dirasa sangat penting sekali, karena
ini akan mampu mengurangi sikap saling menyalahkan dan saling
menyesatkan diantara sesama muslim. Makna “agama” (ad-din) misalnya
saja dalam konteks agama Islam adalah apa yang datang dari Nabi
Muhammad Saw, baik berupa Al-Qur’an, ucapan, atau tindakan yang
berhubungan dengan agama Islam atau penerapannya. Al-Qur’an dan Al-
Hadist merupakan teks (nashsh) keagamaan.
Teks yang memuat selain kehidupan Nabi Muhammad Saw, tidak
dapat berbicara sendiri, tidak dapat menjelaskan tentang dirinya, dan tidak
dapat menjelaskan maknanya dan tidak tidak dapat menetapkan apa-apa
yang ada didalamnya. Dengan itu, Al-Qur’an telah ditafsirkan dengan
hadist, dan keduanya ditafsirkan dari segenap sisi. Dari beberapa hadist
yang sebagian diutamakan dari pada yang lain dan interpretasi para ahli
tafsir termasuk didalamnya perbedaan mahzab, pendapat dan budaya
serta perbedaan pandangan para ahli fiqih dalam masalah-masalah yang
difikirkan kemudian dari itu semua lahirlah pemikiran keagamaan.
Pemikiran keagamaan ini bukanlah merupakan agama, melainkan
pemikiran yang meliputi dan berporos pada agama. Pemikiran keagamaan
secara garis besar tidak mungkin melulu pada agama karena biasanya
pemikiran tersebut dipengaruhi oleh lingkungan yang berbeda, tafsir yang
berbeda, mahzab yang berbeda, kepercayaan-kepercayaan umum dan
donggeng-donggeng rakyat. Dari sisi lain, pemikiran keagamaan seperti
ini, mustahil akan selamanya benar dan suci. Mungkin disatu sisi ia akan
membawa kebenaran dan disisi lain mungkin ia akan membawa pada
kesalahan sebagaimana ia tercampuri oleh tujuan-tujuan, sebagaimana
pendapat seorang manusia.
Pengertian agama (ad-din) dan pemikiran keagamaan (al-fikr ad-
din) secara ringkas adalah Agama merupakan kumpulan dasar-dasar
yang dibawa oleh Nabi atau Rasul, sedangkan pemikiran keagamaan
adalah metode-metode historis untuk memahami dasar-dasar itu dan
penerapannya. Setiap pemahaman atas teks-teks keagamaan dan dan
setiap interpretasi atasnya setelah nabi wafat merupakan pemikiran
keagamaan. Oleh karena itu pemahaman atau interpretasi ini terkadang
cocok dengan inti agama dan terkadang tidak.
Sudah menjadi fakta yang tidak terbantahkan bahwa pemikiran
manusia termasuk di dalamnya pemikiran agama merupakan produk
alamiah dari sejumlah situasi histories dan fakta-fakta social pada
masanya. Dengan hal itu pemikiran agama juga tidak terlepas dari hukum-
hukum yang menentukan gerak pemikiran manusia pada umumnya. Maka
kemudian pemikiran agama seharusnya tidak mendapatkan sakralitas dan
kemutlakan hanya karena objeknya adalah agama. Agama dan pemikiran
agama harus dibedakan karena keduanya memiliki perbedaan yang kuat.
Agama adalah sejumlah teks suci yang secara histories sudah
mapan, sementara pemikiran agama merupakan ijtihad-ijtihad manusia
dalam memahami teks-teks tersebut dan menghasilkan maknanya. Oleh
karena itu wajar apabila ijtihad-ijtihad tersebut berbeda-beda dari masa ke
masa, karena hal itu di pengaruhi oleh lingkungan social, histories dan
geografis yang berbeda di antara mujtahid-mujtahid. Di dalam teks-teks
keagamaan banyak di sebutkan tentang fenomena alam dan
kemanusiaan dalam konteks nikmat-nikmat yang di berikan Allah kepada
manusia, dan pemikiran agama sepanjang sejarah berusaha untuk
menafsirkan teks-teks tersebut. Tafsir-tafsir tersebut senantiasa
merefleksikan taraf perkembangan ilmiah-rasional dari masa, lingkungan
dan pribadi penafsir. Yang patut untuk di perhatikan dari penafsir adalah
mereka tidak berasumsi bahwa penafsirannya itu merupakan ‘Islam’.
Teks keagamaan menyerahkan penafsiran tentang fenomena yang
ada kepada pemikir-pemikir agama karena akal manusia yang selalu
berkembang untuk mengeksplorasi horizon-horison alam dan manusia.
Dengan hal itu, menjadi salah satu penyebab mengapa prestasi-prestasi
ilmiah dan teknologi berhasil di capai oleh cendikiawan muslim. Dan
mereka inilah yang sering di puji oleh pemikiran agama kontemporer dan
di banggakan sebagai perintis metode eksperimental yang mereka berikan
kepada eropa pada permulaan era renaissance.
Terlepas dari itu, bahwa di kalangan umat muslim saat ini masih
banyak yang memahami antara agama dan pemikiran agama adalah
sama. Memang keduanya memiliki relasi yang sangat kuat akan tetapi
keduanya sangat berbeda. Agama merupakan ajaran-ajaran yang
diturunkan Allah secara murni tanpa ada campuran dari pikiran manusia,
sedangkan pemikiran agama adalah pemahaman seseorang manusia
atas ajaran yang diturunkan Allah dalam rangka mencari makna. Dengan
hal itu agama bersifat abadi, sakral dan tidak dapat dibongkar pasang
karena ia berasal dari fikiran Tuhan dan hanya Dialah yang berhak untuk
mengganti ajaran tersebut. Sedangkan pemikiran agama bersifat
sementara, tidak sakral dan dapat dibongkar pasang sesuai dengan
kondisi dan keadaan dimana dia hidup, karena pada dasarnya pemikiran
agama adalah hasil pemahaman seorang mujtahid atas agama itu sendiri.
Untuk lebih mendalami tentang agama dan pemikiran agama tentu
kita harus kembali pada sejarah awal munculnya agama itu sendiri, yang
dalam hal ini adalah agama Islam. Islam tentu tidak bisa dipisahkan
dengan Al-qur’an karena di dalam Al-qur’anlah umat muslim menemukan
ajaran yang itu bersifat perintah maupun larangan. Sedangkan Al-qur’an
itu sendiri adalah ajaran yang bersifat global yang didalamnya terdapat
ayat-ayat yang tidak membutuhkan interpretasi (qath’i) dan ada juga ayat-
ayat yang membutuhkan interpretasi (zhanni).
Pemikiran keagamaan objeknya adalah ayat-ayat zhanni, karena
ayat-ayat zhanni adalah lafadz-lafadz yang memiliki pengertian lebih dari
satu kata dan memungkinkan untuk ditakwilkan. Maka dalam lingkup inilah
yang menjadi bahasan para kaum mujtahid atau pemikir Islam.
Sedangkan ayat-ayat qath’i tidak bisa menjadi wilayah ijtihad, karena ayat-
ayat qath’i merupakan jiwa dari hukum itu sendiri.
Ayat-ayat zhanni inilah yang menjadi embrio awal perbedaan hasil
pemikiran/ijtihad para pemikir Islam. Perbedaan arti terhadap suatu kata
akan menyebabkan hasil ijtihad seorang mujtahid akan berbeda jauh
dengan mujtahid/ pemikir Islam lainnya. Salah satu contoh yang mungkin
sudah banyak kita dengar adalah nikahnya seorang wanita yang masih
gadis apakah sah atau tidak nikahnya tersebut tanpa adanya wali, Imam
Syafi’i dalam masalah ini berpendapat bahwa nikahnya gadis tersebut
tidak sah karena tidak adanya wali, hal ini didasarkan pada hadist yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Turmuzi, Abu Dawud, dan Tabrani dari
Aisyah. Sedangkan Imam Hanafi berbeda dengan pendapatnya Imam
Syafi’i beliau berpendapat bahwa nikahnya gadis tersebut tetap sah
meskipun tidak adanya wali, alasan yang digunakan oleh Hanafi adalah
maksud hadist tersebut anak kecil, budak wanita.
Gambaran diatas merupakan sekelumit perbedaan hasil ijtihad
diantara para mujtahid, tentunya selain itu masih banyak lagi. Perbedaan
arti suatu kata dan perbedaan metode dalam berfikir merupakan beberapa
hal yang menjadikan sebuah ijtihad menjadi sangat berbeda. Tentunya
bagi kita para intelektual-intelektual muda hal-hal tersebut merupakan
sebuah hal yang wajar karena perbedaan pandangan dan persepsi
merupakan rahmat, tergantung bagaimana cara kita mensikapinya. Tak
pantaslah bagi kita saling menyalahkan diantara sesama dikarenakan
pendapat mereka berbeda dengan kita karena pada dasarnya yang
berhak untuk mengatakan benar atau salah adalah Tuhan Yang Maha
Esa dan dialah seadil-adilnya hakim dalam memutuskan sesuatu perkara.*
BAB III
PENUTUP

Kerancuan yang mewabah di kalangan umat beragama dewasa ini


adalah penyamarataan antara agama yang sakral dengan pemikiran
keagamaan yang profan, yang merupakan hasil usaha memahami teks-
teks agama. Sehingga, setiap usaha untuk membenahi atau mengganti
kekurangan metodologi pemikiran sebagai pusaka turun-temurun, divonis
telah merubah agama, syari’ah, bahkan dikafirkan. Tradisi, menyalahkan
dengan berlebihan dan kafir-mengkafirkan, merupakan cerminan umat
yang berpikiran sempit. Ini merupakan penyakit kronis yang sukar
disembuhkan.
Agama, dalam hal ini Islam adalah hal yang diserukan Muhammad
saw, berupa al-Qur`an dan Sunnah. Lugasnya, segala prinsip (mabâdi`)
yang diserukan nabi atau rasul, sementara pemikiran keagamaan adalah
pemikiran yang melingkupi agama dan senantiasa berdialektika
dengannya, atau dalam kata lain: metode historis guna memahami
sekumpulan prinsip di atas berikut prakteknya.
Adanya disparitas antara agama dan pemikiran keagamaan
meniscayakan pembaharuan pemikiran keagamaan sebagai upaya
membengkeli pemikiran umat Islam. Sehingga tantangan sains terhadap
agama bisa dilampaui. Sains adalah upaya manusia memahami alam,
sedangkan pemikiran keagamaan adalah upaya mereka memahami
agama. Karena pemahaman kita tentang kebenaran alam semesta terus
berkembang dan berubah, mengapa pemahaman kita tentang kebenaran
agama tidak mengikuti? Mengapa kita tidak menganggap relevan
perkembangan pemahaman kita tentang alam dan sistem wujud terhadap
pemahaman kita tentang agama?.
Upaya tiada henti merelevansikan pemahaman kita atas agama
merupakan sumbangsih khazanah intelektual Islam sebagai generasi
penerus yang peduli akan kemajuan umat Islam setelah terpuruk sekian
lama, yakni kemandegan pemikiran keagamaan sejak ditutupnya pintu
ijtihad pada abad ke IV hijriah yang turut menambah rentetan kemunduran
umat Islam di pelbagai bidang, salah satunya adalah sains. Tercatat
sederetan nama para pembaharu guna mengejar kemajuan pihak lain,
karena mereka sadar, bahwa rasa puas atas segala kreasi para ulama
klasik dan hanya membubuhi syarh, hâsyiyah,dan taqrîr terhadapnya
tidaklah cukup. Maka perlu adanya kontinuitas kreasi dan inovasi tiada
henti guna merelevansikan teks-teks agama sebagai titah suci Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Tafsir Ibn Katsir, Noble Quran With Tafseer v.4.0. Available in html,
diakses melalui www.islamsprit.com.
2. Harold A. T. dkk. Persoalan-persoalan Filsafat (Diterjemahkan oleh
HM. Rasjidi). Jakarta. Bulan Bintang. 1984.
3. Runzo, J. A Short Introduction Global Philosophy of Religion. Oxford.
One World. 2001.
4. Said, E.W. Orientalisme. Bandung. Pustaka Pelajar. 1994.
5. Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta. Bentang. 2005.
6. Amstrong, K. Sejarah Tuhan. (Diterjemahkan oleh Zaimul AM).
Bandung, Mizan. 2001.
7. Crane Briton. A History of Civilization. New Jersey. Prentice. 1962.
8. Hadiwijono, H. Sari Sejarah Filsafat Barat I. Yogyakarta. Kanisius.
2006.
9. Russell, B. Sejarah Filsafat Barat, (Diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko
dkk). Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2004.
10. Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta. Kanisius. 1987.

Anda mungkin juga menyukai