Anda di halaman 1dari 3

Menggugat Definisi Anak

Oleh Aris Solikhah

Tanggal 23 Juli lalu diperingati sebagai Hari Anak Nasional. Peringatan itu sangat kontras
dengan kondisi anak-anak dewasa ini. Potret buram dunia anak masih terpajang jelas di
dinding-dinding dunia, termasuk di Indonesia. Betapa tidak, data-data yang menguak
kondisi nestapa anak-anak cukup membuat miris.

Saat ini terdapat lebih 3 juta anak yang memiliki pekerjaan berbahaya. Diperkirakan
terdapat 100.000 perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan setiap tahunnya,
kebanyakan sebagai pekerja seks komersial di Indonesia dan luar negeri.

Sekitar 4.000-5.000 anak berada di lembaga pemasyarakatan, lembaga rehabilitasi dan


penjara. Sebanyak 84 persen dari anak-anak yang dihukum ini, ditahan bersama para
penjahat dewasa.

Dari aspek pendidikan, 1,8 juta anak SD berusia 7-12 tahun, dan 4,8 juta anak usia 13-15
tahun tidak bersekolah. Sebanyak 26 juta anak usia SD putus sekolah. Jumlah anak usia di
atas 10 tahun yang tergolong buta huruf saat ini masih berjumlah 16 juta anak.

Bahkan berdasarkan laporan organisasi kesehatan sedunia WHO, konon ada 10 juta anak-
anak per tahun di seluruh dunia meninggal dunia sebelum mencapai usia lima tahun.

Kondisi itu mendorong lahirnya Konvensi Hak Anak Dewan Umum PBB tanggal 20 November
1989. Aktor di belakang konvensi ini tentu saja para pengemban sekularisme-liberal yang
mengklaim sebagai pejuang hak anak.

Pada 1990, perwakilan Indonesia turut menandatangani ratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA)
berisi pengaturan perlindungan anak. Dengan demikian, Indonesia mau tidak mau,
berkewajiban melaksanakan kesepakatan-kesepakatan tindak lanjut dan memenuhi hak-
hak anak sesuai butir-butir konvensi. Sebagai implementasinya, pemerintah kemudian
mensahkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA).

Padahal, subtansi KHA versi PBB itu belum tentu cocok dengan situasi dan nilai-nilai
masyarakat di Indonesia yang mayoritas muslim. Karena itu, kendati sekilas maksud
dikeluarkannya UU PA ini tampak baik, kita perlu mengkritisi beberapa pasal yang justru
berpeluang membahayakan bagi eksistensi anak.

Menjerumuskan

Salah satu pasal yang patut dikritisi adalah pasal 1 UU PA mengenai definisi “anak”.
Disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Standar apa yang
digunakan hingga muncul angka 18 ini? Apakah penelitian ilmiah, nilai-nilai budaya, agama
atau apa? Ini tidak dijelaskan dalam UU PA. Namun bila dirunut asal muasal munculnya UU
PA yang merupakan hasil rativikasi KAH PBB, maka definisi tersebut jelas bersumber pada
nilai-nilai budaya sekularisme yang menafikkan agama sebagai pengatur kehidupan. Karena
itu, definisi ini jelas absurd, bahkan sarat kepentingan.

Hal ini bisa kita buktikan dengan mengkaitkan definisi tersebut dengan pasal-pasal lain
dalam UU PA. Misalnya dengan Pasal 26 ayat 1c UU PA yang berbunyi “orang tua
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia
anak-anak.” Artinya, orang tua berhak melarang anak yang belum berusia 18 tahun untuk
menikah.

Jadi, penetapan anak sebagai mereka yang berumur sebelum 18 tahun sangat terkait
dengan larangan pernikahan usia dini. Dengan jargon menjaga kesehatan reproduksi
remaja, mereka membuat pernyataan bahwa nikah dini membahayakan fisik dan kejiwaan
anak-anak. Sebuah asumsi yang masih layak diperdebatkan.

Padahal, pelarangan menikah pada usia anak seperti didefinisikan mereka, sejatinya justru
mengebiri hak anak itu sendiri. Sebab, itu berarti tertutup peluang bagi mereka yang
berusia kurang dari 18 tahun untuk menikah, walau dia sudah matang dan siap secara
ekonomi, biologis dan pola pikir. Di sini telah terjadi pelanggaran atas hak seksual anak
tersebut. Di sinilah letak kesalahan pendefinisian “anak” versi UU PA.

Apalagi, seiring semaraknya produk-produk pornografi dan pornoaksi, kematangan biologis


anak saat ini terpacu sangat cepat. Usia puber anak-anak saat ini jauh lebih maju dibanding
anak-anak zaman dahulu. Ketika darah mudanya bergejolak karena rangsangan luar
tersebut, ia membutuhkan pemenuhan dan penyaluran. Lantas jika pernikahan dini
dilarang, ke mana mereka akan menyalurkannya?

Di situlah muncul persoalan. Anak-anak dan remaja akhirnya digiring menuju pintu seks
bebas, karena pintu pernikahan tertutup bagi mereka. Tak ayal, pacaran, seks di luar nikah,
pencabulan dan pemerkosaan di kalangan “anak” di bawah usia 18 tahunpun merajalela
dewasa ini. Ditambah lagi, sengaja atau tidak sinetron-sinetron di layar kaca yang bertema
nikah muda selalu mencitrakan gambaran negatif. Seakan-akan menikah muda itu sangat
buruk.

Memang suatu kenyataan, kematangan biologi anak-anak masa sekarang kebanyakan tak
diimbangi kematangan berpikir dan keberanian menentukan sikap hidup. Tetapi
memberikan solusi pelarangan menikah di bawah usia 18 tahun, bukanlah solusi tepat.

Mustinya, jika memang beritikad baik untuk memenuhi hak anak, upaya mematangkan
anak-anak inilah yang dilakukan. Misalnya dengan merancang program-program agar anak-
anak dan remaja memiliki kematangan dalam berbagai hal secara benar dan bertanggung
jawab.

Anak-anak harus dipahamkan hak dan kewajibannya sejak dini sehingga segera memahami
perannya kelak, baik sebagai seorang individu, ayah, ibu, anggota masyarakat dan negara.
Di sinilah perlunya pondasi agama (baca: Islam) diperlukan. Mengapa harus Islam? Sebagai
agama yang mayoritas dianut penduduk negeri ini, adalah wajar jika nilai-nilai Islam yang
dijadikan sebagai rujukan. Sama halnya dengan Amerika yang menjadikan ideologi
sekularisme-kapitalis sebagai rujukan, dikarenakan mayoritas penduduknya menganut
ideologi tersebut. Sama seperti KHA PBB meluncur yang menjadikan sekularisme sebagai
pijakannya.

Anak dalam Kacamata Islam

Dalam mendefinisikan “anak”, sangat jelas jika mengacu pada ajaran Islam. Dalam agama
Islam definisi anak sangat jelas batasannya. Yakni manusia yang belum mencapai akil
baligh (dewasa). Laki-laki disebut dewasa ditandai dengan mimpi basah, sedangkan
perempuan dengan menstruasi. Jika tanda-tanda puber tersebut sudah tampak, berapapun
usianya maka ia tidak bisa lagi dikategorikan “anak-anak” yang bebas dari pembebanan
kewajiban.

Justru sejak itulah anak-anak memulai kehidupannya sebagai pribadi yang memikul
tanggung jawab. Termasuk ketika ia telah matang dan memilih untuk menyalurkan
kebutuhan bilogisnya dengan pernikahan, maka hal itu tidak boleh dilarang.

Penutup

Dari satu pasal dalam UU PA saja, yakni mengenai definisi anak tadi, sudah memunculkan
persoalan. Belum lagi pasal-pasal lain yang layak dikritisi. Karena itu, patut dipertanyakan
efektivitas UU PA dalam menjamin hak-hak anak. Selama UU PA tidak menjadikan Islam
sebagai pijakan, niscaya upaya pemenuhan hak-hak anak akan jauh panggang dari api.(*)

Aris Solikhah, peminat masalah wanita dan anak-anak, muslimah HTI.

Anda mungkin juga menyukai