Anda di halaman 1dari 17

2.

1 Kegiatan Pelayanan Farmasi Klinik


Kegiatan farmasi klinik yaitu memberikan saran professional pada saat peresepan dan
setelah peresepan. Kegiatan farmasi klinik sebelum peresepan meliputi setiap kegiatan yang
mempengaruhi kebijakan peresepan seperti :
 penyusunan formularium rumah sakit
 mendukung informasi dalam menetapkan kebijakan peresepan rumah sakit
 evaluasi obat
Kegiatan farmasi klinik selama peresapan contohnya adalah
 memberikan saran profesional kepada dokter atau tenaga kesehatan lainnya terkait
dengan terapi pada saat peresepan sedang dilakukan.
Sedangkan kegiatan farmasi klinik sesudah peresepan yaitu
 setiap kegiatan yang berfokus kepada pengoreksian dan penyempurnaan peresepan,
seperti monitoring DRPs, monitoring efek obat, outcome research dan Drug Use
Evaluation (DUE).
Sumber Pustaka :
Aslam M dkk, 2003, Clinical Pharmacy : Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan
Pilihan Pasien
Ikawati Z, 2010, Pelayanan Farmasi Kinik pada Era Genomik: Sebuah Tantangan
danPeluang, Disampaikan pada Pengukuhan Guru Besar

2.2 Wawancara Riwayat Pengobatan


Wawancara riwayat pengobatan merupakan langkah atau tahap dalam mengenal pasien
dan bertujuan mendapatkan informasi mengenai berbagai aspek penggunaan obat pasien
sehingga dapat membantu pengobatan secara keseluruhan.
Informasi tersebut dapat digunakan untuk :
 Membandingkan profil pengobatan sekarang dan sebelumnya
 Memverifikasi riwayat pengobatan yang diperoleh dan memberikan informasi tambahan
jika perlu
 Mendokumentasikan adanya alergi dan Adverse Drugs Reaction
 Skrining interaksi obat
 Menilai kepatuhan pasien
 Menilai rasionalitas obat yang diresepkan
 Menilai kejadian penyalahgunaan obat
Data-data yang perlu diperoleh adalah :
 Informasi demografi pasien : umur, berat badan, tinggi badan, alamat, pendidikan,
pekerjaan.
 Informasi diet pasien
 Kebiasaan sosial ; merokok, alkohol
 Pengobatan yang sedang diperoleh.
 Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya.
 Pengobatan tanpa resep yang pernah diperoleh sebelumnya.
 Pengobatan alternatif sekarang ataupun pernah diterima.
 Alergi
 Adverse drugs Reaction
 Kepatuhan pasien (Kundarto, 2011).
2.2.1 Keterampilan Dasar dalam Mewawancarai Pasien
Salah satu saat kritis pada pengkajian pasien oleh farmasis adalah ketika
mengajukan pertanyaan kepada pasien. Untuk memperoleh informasi yang berguna,
farmasis harus menggunakan keterampilan yang tepat dalam mewawancarai pasien.
a. Lingkungan
Sebelum farmasis berbicara kepada pasien atau mendapatkan data pengkajian
pasien (misalnya: tekanan darah), lingkungan di mana interaksi berlangsung harus
dipersiapkan. Interaksi dapat terjadi pada berbagai situasi dan kondisi (setting) yang
bervariasi, misalnya farmasi komunitas, ruang periksa di rumah sakit, atau kamar
pemeriksaan di klinik. Namun, karakteristik lingkungan dasar haruslah konsisten dari
satu situasi ke situasi yang lain untuk membantu menjamin interaksi farmasis dan
pasien yang lancar dan produktif. Karakteristik lingkungan yang sesuai meliputi:
 Suhu ruangan yang nyaman.
 Pencahayaan ruang yang memadai bagi farmasis dan pasien untuk dapat melihat
satu sama lain dengan jelas dan semua materi tertulis yang mungkin digunakan.
 Lingkungan yang tenang, karena suara bising dari satu atau beberapa sumber akan
mengalihkan perhatian pasien maupun farmasis dan dapat menyebabkan kesalahan
menafsirkan informasi pasien yang penting. Tempat yang bersih dan terorganisir,
karena benda-benda yang mengalihkan perhatian dan barang lain yang berantakan
tidak menciptakan atmosfer profesional.
 Jarak empat sampai lima kaki antara farmasis dan pasien; secara umum jarak yang
lebih dekat dapat menimbulkan kegelisahan dan jarak yang lebih jauh menyiratkan
ketidaktertarikan terhadap pasien.
 Privasi: pasien perlu untuk merasa nyaman berbicara tentang masalah-masalah
kesehatan pribadi dan farmasis perlu untuk dapat memperoleh data pengkajian
pasien secara berhati-hati.
 Posisi duduk yang sama rata atau berdiri pada posisi sejajar mata dan berhadapan
atau membentuk sudut 90 derajat. Semua penghalang harus dipindahkan antara
farmasis dan pasien (misalnya: meja peresepan, pemisah keamanan dari kaca atau
plastik, lemari). Dalam pengaturan di rumah sakit, farmasis harus duduk sejajar
mata dengan pasien untuk interaksi tatap muka. Berdiri di hadapan pasien yang
terbaring di tempat tidur dapat menyiratkan superioritas, mungkin menyebabkan
pasien merasa lebih rendah maupun tidak nyaman.
b. Kalimat Pembuka
Kalimat-kalimat pembuka antara farmasis dan pasien menentukan tahap interaksi.
Pasien sebaiknya dipanggil dengan nama keluarganya (apabila diketahui). Farmasis
harus memperkenalkan dirinya dan menjelaskan alasan perlunya interaksi apabila
pasien belum mengenalnya. Sebagai tambahan, pasien perlu diberi tahu perkiraan
jumlah waktu yang diperlukan untuk interaksi. Sebagai contoh, “ Nyonya Smith, Saya
Dr. Mark Davis, Farmasis. Saya ingin berbicara dengan anda untuk melihat bagaimana
keadaan anda selama terapi. Ini hanya perlu beberapa menit saja.” Karena jenis
interaksi ini mungkin merupakan hal baru bagi beberapa pasien, farmasis harus siap
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan (misalnya:“Mengapa anda perlu
berbicara kepada saya? Farmasis lain tidak melakukan ini.”). Penjelasan singkat
tambahan dalam interaksi biasanya dapat mengatasi setiap kebingungan.
c. Jenis-jenis Pertanyaan
Melanjutkan perkenalan singkat, farmasis harus menanyakan kepada pasien
beragam pertanyaan. Agar dialog antara pasien dan farmasis dapat efektif dan
produktif, perlu digunakan kombinasi pertanyaan terbuka dan pertanyaan tertutup.
Secara umum, pertanyaan-pertanyaan terbuka digunakan pada saat awal, untuk
mengumpulkan informasi umum, dan selanjutnya diikuti dengan pertanyaan-pertanyaan
tertutup, apabila sesuai, untuk mengumpulkan data pasien yang lebih spesifik.
d. Verifikasi Informasi Pasien
Sementara pasien menjawab pertanyaan-pertanyaan farmasis, farmasis harus
menanggapi secara tepat untuk melanjutkan dialog. Seringkali, farmasis juga perlu
untuk memverifikasi detil tertentu mengenai pasien untuk memastikan bahwa dia
mengerti benar apa yang pasien katakan. Beberapa teknik umpan balik dapat berguna
dalam membimbing farmasis dengan kedua proses ini. Teknik-teknik tersebut meliputi:
(i) klarifikasi, (ii) refleksi, (iii) empati, (iv) fasilitasi, (v) keheningan, dan (vi)
ringkasan.
e. Ringkasan
Ringkasan adalah ulasan dari apa yang pasien telah komunikasikan. Pernyataan
ringkasan merupakan verbalisasi dari pemahaman farmasis terhadap informasi pasien,
dan ini dapat digunakan pada setiap waktu selama atau pada akhir wawancara. Hal ini
juga memungkinkan pasien untuk setuju atau tidak setuju dan apabila diperlukan, untuk
memperbaiki interpretasi farmasis. Sebagai contoh, pada bagian akhir ketika pasien
menjelaskan permasalahan pengobatannya, farmasis menanggapi “Baik Harry, yang
anda katakan kepada saya adalah bahwa anda berpikir obat diabetes anda, metformin,
mengakibatkan anda sakit perut dan diare. Anda juga meminum obat tekanan darah,
lisinopril, tetapi tidak meminum obat bebas rutin apapun dan belum mencoba apapun
untuk gejala-gejala saluran cerna anda. Apakah ini benar?”.
f. Komunikasi Nonverbal
Komunikasi yang tepat melibatkan tidak hanya keahlian-keahlian verbal tetapi juga
nonverbal, di mana media pertukaran merupakan sesuatu selain kata-kata yang
diucapkan. Komunikasi nonverbal mencerminkan pemikiran dan perasaan mendalam
seseorang dan secara konstan bekerja, bahkan bila orang itu tidak menyadarinya.
Elemen-elemen komunikasi nonverbal meliputi: (i) jarak, (ii) postur tubuh, (iii) kontak
mata, (iv) ekspresi wajah, dan (v) gerak isyarat. Untuk pertemuan farmasis-pasien yang
berhasil, komunikasi verbal dan nonverbal harus seiring. Hal ini sangat penting dalam
menciptakan relasi dengan pasien.
g. Pernyataan Penutup
Membawa wawancara kepada penutupan yang tepat merupakan bagian penting dari
proses komunikasi. Banyak kali, pasien akan mengevaluasi keseluruhan interaksi
berdasarkan pada pernyataan-pernyataan terakhir; oleh karena itu, farmasis tidak
seharusnya mengakhiri wawancara secara mendadak. Cara efektif untuk menutup
interaksi adalah memberikan ringkasan singkat. Hal ini memungkinkan untuk farmasis
dan pasien mengulas apa yang telah didiskusikan dan menjernihkan setiap informasi
yang salah. Ketika kedua belah pihak telah menentukan bahwa informasi sudah benar,
farmasis dapat menyimpulkan dengan sebuah pertanyaan tertutup sederhana (misalnya:
Apakah anda memiliki pertanyaan?) atau pernyataan tulus (misalnya: “Terima kasih
untuk waktu anda. Jika anda memiliki pertanyaan ketika anda sampai di rumah, silakan
hubungi saya.”). Petunjuk-petunjuk nonverbal (misalnya: mengatur pekerjaan tulis
menulis untuk rekam medis pasien atau berdiri dari kursi) juga dapat berguna ketika
digabungkan dengan ringkasan atau sebuah pertanyaan atau pernyataan penutup
(Tindall dkk, 2003).
h. Kesalahan-Kesalahan Umum dalam Mewawancarai Pasien
Ketika berbicara kepada pasien, mudah sekali untuk jatuh ke dalam teknik-teknik
komunikasi nonproduktif, yang dapat membatasi komunikasi pasien dengan farmasis.
Kesalahan komunikasi ini dapat menurunkan jumlah data yang diperoleh dari pasien
dan menghalangi perkembangan hubungan. Oleh karena sifat alaminya yang
melemahkan, tanggapan-tanggapan berikut harus senantiasa dihindari ketika
mengumpulkan informasi dari pasien: (i) mengganti subyek, (ii) memberi nasihat, (iii)
memberikan penghiburan yang tidak tepat, (iv) menanyakan pertanyaan yang
mengarahkan atau bias, dan (v) menggunakan terminologi profesional (Tietze, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Obat Perut Kembung. http://www.tipsku.info/obat-perut-kembung/. Diakses
20 April 2012
Coulehan JL, Block JR. 2006. The Medical Interview: Mastering Skills for Clinical Practice,
5th ed. Philadelphia: FA Davis
Ikawati, Zullies. 2010. Pelayanan Farmasi Klinik pada Era Genomik: Sebuah Tantangnan
dan Peluang. Farmasi Klinik Fakultas Farmasi UGM
Inditz MES, Artz MB, 1999. Value Added to Health by Pharmacists. Soc Sci Med, 48:647-
60.
Purwanti Angki, Harianto, Supardji S. 2004. Gambaran Pelaksanaan Standar Pelayanan
Farmasi Di Apotek DKI Jakarta Tahun 2003. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. I, No.2.
Siregar, Charles J.P., Amalia, L., 2003, Farmasi Rumah Sakit : Teori dan
Penerapan,Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tietze KJ. 2004. Communication skills for the pharmacist In: Clinical Skills for
Pharmacists: A Patient-focused Approach, 2nd ed. St. Louis: Mosby-Year Book
Tindall WN, Beardsley RS, Kimberlin CL. 2003. Communication Skills in Pharmacy
Practice: A Practical Guide for Students and Practi tioners, 4th ed. Baltimore: Lea &
Febiger

2.3 Penyusunan Rencana Asuhan Keperawatan


Yang dimaksud dengan pengertian makna rencana keperawatan adalah semua tindakan
yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien beralih dari status kesehatan saat ini
kestatus kesehatan yang di uraikan dalam hasil yang di harapkan. Rencana asuhan
keperawatan tertulis mengatur pertukaran informasi oleh perawat dalam laporan pertukaran
dinas. Rencana perawatan tertulis juga mencakup kebutuhan klien jangka panjang
Merupakan pedoman tertulis untuk perawatan klien. Rencana perawatan terorganisasi
sehingga setiap perawat dapat dengan cepat mengidentifikasi tindakan perawatan yang
diberikan. Rencana asuhan keperawatan yang di rumuskan dengan tepat memfasilitasi
kontinuitas asuhan perawatan dari satu perawat ke perawat lainnya. Sebagai hasil, semua
perawat mempunyai kesempatan untuk memberikan asuhan yang berkualitas tinggi dan
konsisten.
2.3.1 Tujuan Asuhan Keperawatan
A. Tujuan Umum :
1. Sebagai alat komunikasi antara sesama anggota perawat dan antar tim kesehatan
lainnya.
2. Untuk meningkatkan kesinambungan asuhan keperawatan terhadap klien.
3. Mendokumentasikan proses dan kriteria hasil asuhan keperawatan yang akan
dicapai.
B. Tujuan Klinik :
Prioritas diagnosa evaluasi, mengarahkan kriteria hasil dan tujuan keperawatan
intervensi.
1. Menyediakan suatu pedoman dalam penulisan.
2. Mengomunikasikan dengan staf perawat, apa yang diajarkan, apa yang diobservasi
dan apa yang dilaksanakan.
3. Menyediakan kriteria hasil (outcomes) sebagai pengulangan dan evaluasi
keperawatan.
4. Rencana tindakan yang spesifik secara langsung bagi individu, keluarga dan tenaga
kesehatan lainnya untuk melaksanakan tindakan.
C. Tujuan Administratif :
Lebih fokus, tanggung jawab, independen, perbaikan kualitas askep, fokus, arah
dokumentasi, dan alat komunikasi.
1. Mengidentifikasi fokus keperawatan kepada klien atau kelompok.
2. Membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi kesehatan lainnya.
3. Menyediakan suatu kriteria guna pengulangan dan evaluasi keperawatan.
4. Menyediakan kriteria klasifikasi klien.
Tahap perencanaan memberikan kesempatan pada perawat, klien, keluarga dan
orang terdekat untuk merumuskan rencana tindakan yang bertujuan untuk mengatasi
masalah-masalah klien.
2.3.2 Alasan Rencana Perawatan
 Karena berisi informasi/data penting dan jelas.
 Masalah klien dapat diidentifikasi dengan jelas.
 Dapat digunakan sebagai pedoman intervensi keperawatan.
 Sebagai alat komunikasi antar perawat, tim kesehatan dan klien.
 Memudahkan proses keperawatan yang berkelanjutan dalam intervensi dan
evaluasi secara konsisten.
 Sebagai dokumentasi khusus untuk keinginan dan hasil yang diharapkan
klien/pasien.
2.3.3 Tipe-Tipe Rencana Perawatan (RenPra)
 Desain renpra secara “tradisional” : yaitu renpra yang ditulis dan dikembangkan
oleh perawat dan ditujukkan terutama pada pasien-pasien khusus.
 Desain renpra yang “standar“ : yaitu renpra yang ditulis dan dikembangkan oleh
komite keperawatan dan digunakan pada pasien umum → digunakan untuk terapi
dan keperawatan.
2.3.4 Macam-macam Standar Rencana Perawatan (RenPra)
 Renpra yang berdasarkan diagnosis medis dan prosedur.
 Renpra berdasarkan diagnosis keperawatan.
 Renpra dicatat secara komputerisasi.
2.3.5 Komponen Tahap Perencanaan
1. Membuat prioritas urutan diagnosa keperawatan
Pada pengkajian, perawat menemukan berbagai masalah pada klien. Setelah
merumuskan diagnosa keperawatan untuk masalah klien, perawat mulai membuat
urutan diagnosa keperawatan. Urutan diagnosa keperawatan tersebut
memungkinkan perawat, klien dan orang terdekat untuk mengatur masalah -
masalah klien sesuai dengan urutan kepentingan dan urgensinya.
Diagnosa keperawatan diurutkan dengan prioritas tinggi, sedang dan rendah.
Perawat, klien, keluarga dan orang terdekat berfokus pada usaha-usaha mengatasi
masalah klien dengan prioritas tertinggi lebih dulu. Masalah dengan prioritas
tinggi mencerminkan situasi yang mengancam hidup (mis : bersihan jalan nafas ).
Masalah dengan prioritas sedang berhubungan dengan situasi yang tidak gawat
dan situasi yang tidak mengancam hidup klien (mis : higiene individu). Masalah
dengan prioritas rendah tidak berhubungan secara langsung dengan keadaan sakit
atau masalah yang spesifik (mis : masalah kebutuhan sosial klien). Masalah
dengan prioritas tinggi (mis : membuat jalan nafas yang bersih) membutuhkan
perhatian yang cepat sebelum masalah dengan prioritas rendah (mis : memenuhi
kebutuhan sosial klien).
Hirarki kebutuhan dari Abraham Maslow (1968) membantu perawat untuk
memprioritaskan urutan diagnosa keperawatan. Kerangka hirarki ini termasuk
kebutuhan fisiologis dan psikologis. Lima tingkatan dari hirarki tersebut adalah:
 Fisiologis
 Keselamatan dan keamanan
 Mencintai dan memiliki
 Harga diri
 Aktualisasi diri
Kebutuhan fisiologis harus dipenuhi sebelum kebutuhan yang lebih tinggi
seperti aktualisasi diri. Contohnya, orang yang kekurangan makanan akan
mencari makanan lebih dulu sebelum mencari tujuan karirnya.
2. Membuat Kriteria Hasil
Kriteria hasil adalah tujuan dan sasaran yang realistik dan dapat diukur
dimana klien untuk mencapainya kriteria hasil menggambarkan meteran untuk
mengukur hasil akhir askep. Kriteria hasil merupakan tujuan ke arah mana
perawat kesehatan diarahkan dan dasar untuk rencana askep.
Kriteria hasil harus konsisten dengan terapi dari tim multidisiplin. Contohnya
kriteria hasil saling berhubungan dengan hasil yang dibuat oleh ahli gizi, ahli
terapi fisik dan okupasi, dokter, pekerja sosial dan yang lainnya. Kriteria hasil
disusun bersama-sama klien, keluarga, dan orang terdekat. Kegagalan klien dan
keluarga dalam menentukan kriteria hasil dan identifikasi hasil yang realistik
mempengaruhi resolusi masalah.
Tujuan, sasaran, dan hasil yang diharapkan dari klien yang diinginkan adalah
sinonim yang mempunyai arti yang sama sebagai kriteria hasil. Kriteria hasil
mengidentifikasi tahapan yang harus diselesikan klien dalam upaya mencapai
kriteria hasil. Kriteria hasil memberikan arah untuk intervensi keperawatan dan
memberikan pondasi untuk evaluasi askep.
Setiap kriteria hasil membuat kata kerja yang dapat diukur untuk
memudahkan proses evaluasi. Kata kerja yang dapat diukur menunjukkan
tindakan yang dapat dilihat, didengar,dan dirasakan oleh perawat. Kriteria hasil
dituliskan dalam rencana askep. Pada tahap lima, yaitu tahap terakhir dari proses
keperawatan, perawat kembali menuliskan kriteria hasil untuk mengevaluasi
apakah klien telah berhasil mencapai hasil tersebut.
Komponen Pernyataan Kriteria Hasil :
a. Subjek :
Menunjukkan siapa yang mencapai kriteria hasil. Mis: Klien, keluarga, atau o
rang terdekat dan masyarakat.
b. Kata kerja yang dapat diukur :
Menunjukkan tindakan, tingkah laku, dan respon dari klien yang dapat dilihat,
didengar , atau diraba, jadi dapat diukur.
c. Hasil :
Menunjukkan respon fisiologis, psikologis, dan gaya hidup yang diharapkan dari
klien terhadap intervensi. Klien diharapkan berespon dalam tingkah laku yang
spesifik terhadap intervensi keperawatan tertentu.
d. Kriteria :
Mengukur kemajuan klien dalam mencapai hasil. Kriteria menunjukkan
tingkatan kecakapan yang diperlukan untuk menyelesaikan hasil akhir.
e. Target waktu :
Menunjukkan periode waktu tertentu yang diinginkan untuk mencapai kriteria
hasil. Batasan waktu membantu perawat dalam evaluasi. Tahap untuk memastikan
apakah kriteria hasil dicapai dalam periode waktu tersebut.
3. Menulis instruksi keperawatan
Instruksi keperawatan merupakan tindakan-tindakan spesifik yang
diimplementasikan oleh perawat untuk membantu klien dalam mencapai kriteria
hasil. Instruksi keperawatan menunjukkan tindakan yang spesifik, dapat diukur,
dapat diamati dan realistik yang dilakukan oleh perawat. Instruksi keperawatan,
tindakan keperawatan, dan intervensi keperawatan merupakan istilah yang dapat
dipertukarkan penggunaannya.
A. Komponen Instruksi Keperawatan :
 Tanggal : Hari, bulan dan tahun ditulis pada rencana askep oleh perawat.
 Kata kerja yang dapat diukur : Merupakan tindakan perawat yang dapat
dilihat, dirasa dan didengar.
 Subjek : Menunjukkan siapa yang menerima tindakan perawatan.
 Hasil : Menunjukkan hasil yang dituju dari tindakan perawat.
 Target waktu : Menunjukkan periode dimana perawat
mengimplementasikan instruksi keperawatan.
 Tanda tangan : Membuktikan kebenaran instruksi keperawatan.
B. Tipe Instruksi Keperawatan:
• Diagnostik
Mengkaji kemajuan klien ke arah pencapaian kriteria hasil dengan
pemantauan aktivitas klien secara langsung. Instruksi diagnostik dapat
digunakan untuk mengumpulkan informasi dalam upaya untuk mengisi
informasi yang kurang.
• Terapeutik
Menunjukkan tindakan oleh perawat yang secara langsung mengurangi,
memperbaiki atau mencegah ekserbasi masalah.
• Penyuluhan
Meningkatkan perawatan diri klien dengan membantu individu untuk
memperoleh tingkah laku baru yang mempermudah resolusi masalah klien.
Instruksi penyuluhan menekankan partisipasi klien untuk bertanggungjawab
terhadap perawatan diri.
• Rujukan
Menekankan peran perawat sebagai koordinator dan manajer dalam
perawatan klien dalam anggota tim perawat kesehatan.
2.3.6 Contoh Rumusan Rencana Asuhan Keperawatan

DIAGNOSA
NO TUJUAN PERENCANAAN
KEPERAWATAN
1. Ajarkan pasien untuk melakukan
mobilisasi
mempertahankan 2. Ajarkan tentang faktor-faktor yang
sirkulasi perifer tetap dapat meningkatkan aliran darah :
normal Tinggikan kaki sedikit lebih rendah
Gangguan perfusi Dengan Kriteria Hasil : dari jantung ( posisi elevasi pada
jaringan - Denyut nadi perifer waktu istirahat ), hindari penyilangkan
berhubungan teraba kuat dan reguler kaki, hindari balutan ketat, hindari
dengan - Warna kulit sekitar penggunaan bantal, di belakang lutut
melemahnya / luka tidak dan sebagainya.
1
menurunnya aliran pucat/sianosis 3. Ajarkan tentang modifikasi faktor-
darah ke daerah - Kulit sekitar luka faktor resiko berupa :
gangren akibat teraba hangat. Hindari diet tinggi kolestrol, teknik
adanya obstruksi - Oedema tidak terjadi relaksasi, menghentikan kebiasaan
pembuluh darah. dan luka tidak merokok, dan penggunaan obat
bertambah parah. vasokontriksi
- Sensorik dan motorik4. Kerja sama dengan tim kesehatan lain
membaik dalam pemberian vasodilator,
pemeriksaan gula darah secara rutin
dan terapi oksigen ( HBO ).

5. Kaji luas dan keadaan luka serta


Tercapainya proses
proses penyembuhan
penyembuhan luka.
6. Rawat luka dengan baik dan benar :
Kriteria Hasil :
Gangguan membersihkan luka secara abseptik
1.Berkurangnya
integritas jaringan menggunakan larutan yang tidak
oedema sekitar luka.
berhubungan iritatif, angkat sisa balutan yang
2 2. pus dan jaringan
dengan adanya menempel pada luka dan nekrotomi
berkurang
gangren pada jaringan yang mati.
3. Adanya jaringan
ekstrimitas 7. Kolaborasi dengan dokter untuk
granulasi.
pemberian insulin, pemeriksaan kultur
4. Bau busuk luka
pus pemeriksaan gula darah pemberian
berkurang.
anti biotik.
Rasa nyeri
hilang/berkurang
Kriteria Hasil :
1.Penderita secara
verbal mengatakan 8. Kaji tingkat, frekuensi, dan reaksi
nyeri berkurang/hilang . nyeri yang dialami pasien.
2. Penderita dapat 9. Jelaskan pada pasien tentang sebab-
melakukan metode atau sebab timbulnya nyeri.
Gangguan rasa
tindakan untuk 10. Ciptakan lingkungan yang tenang.
nyaman ( nyeri )
mengatasi atau 11. Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi.
3 berhubungan
mengurangi nyeri . 12. Atur posisi pasien senyaman mungkin
dengan iskemik
3. Pergerakan penderita sesuai keinginan pasien
jaringan.
bertambah luas. 13. Lakukan massage dan kompres luka
4. Tidak ada keringat dengan BWC saat rawat luka.
dingin, tanda vital 14. Kolaborasi dengan dokter untuk
dalam batas normal.( S pemberian analgesik.
: 36 – 37,5 0C, N: 60 –
80 x /menit, T : 100 –
130 mmHg, RR : 18 –
20 x /menit ).

2.4 Pemantauan Terapi Obat


Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup kegiatan untuk
memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Kegiatan tersebut
mencakup: pengkajian pilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, reaksi obat
yang tidak dikehendaki (ROTD),)dan rekomendasi perubahan atau alternatif terapi.
Pemantauan terapi obat harus dilakukan secara berkesinambungan dan dievaluasi secara
teratur pada periode tertentu agar keberhasilan ataupun kegagalan terapi dapat diketahui.
2.4.1 Seleksi Pasien
Pemantauan terapi obat (PTO) seharusnya dilaksanakan untuk seluruh pasien.
Mengingat terbatasnya jumlah apoteker dibandingkan dengan jumlah pasien, maka
perlu ditentukan prioritas pasien yang akan dipantau. Seleksi dapat dilakukan
berdasarkan :
1. Kondisi Pasien.
 Pasien yang masuk rumah sakit dengan multi penyakit sehingga menerima
polifarmasi.
 Pasien kanker yang menerima terapi sitostatika.
 Pasien dengan gangguan fungsi organ terutama hati dan ginjal.
 Pasien geriatri dan pediatri.
 Pasien hamil dan menyusui.
 Pasien dengan perawatan intensif.
2. Obat
a. Jenis Obat
Pasien yang menerima obat dengan risiko tinggi seperti :
 obat dengan indeks terapi sempit (contoh:digoksin,fenitoin),
 obat yang bersifat nefrotoksik (contoh: gentamisin) dan hepatotoksik
(contoh: OAT),
 sitostatika (contoh: metotreksat),
 antikoagulan (contoh: warfarin, heparin),
 obat yang sering menimbulkan ROTD (contoh:metoklopramid, AINS),
 obat kardiovaskular (contoh: nitrogliserin).
b. Kompleksitas regimen
 Polifarmasi
 Variasi rute pemberian
 Variasi aturan pakai
 Cara pemberian khusus (contoh: inhalasi)
2.4.2 Pengumpulan Data Pasien
Data dasar pasien merupakan komponen penting dalam proses PTO. Data tersebut
dapat diperoleh dari:
 rekam medik,
 profil pengobatan pasien/pencatatan penggunaan obat,
 wawancara dengan pasien, anggota keluarga, dan tenaga kesehatan lain.
2.4.3 Identifikasi Masalah Terkait Obat
Setelah data terkumpul, perlu dilakukan analisis untuk identifikasi adanya masalah
terkait obat. Masalah terkait obat menurut Hepler dan Strand dapat dikategorikan
sebagai berikut :
 Ada indikasi tetapi tidak di terapi
Pasien yang diagnosisnya telah ditegakkan dan membutuhkan terapi obat tetapi
tidak diresepkan. Perlu diperhatikan bahwa tidak semua keluhan/gejala klinik
harus diterapi dengan obat.
 Pemberian obat tanpa indikasi
Pasien mendapatkan obat yang tidak diperlukan.
 Pemilihan obat yang tidak tepat.
Pasien mendapatkan obat yang bukan pilihan terbaik untuk kondisinya (bukan
merupakan pilihan pertama, obat yang tidak cost effective, kontra indikasi
 Dosis terlalu tinggi
 Dosis terlalu rendah
 Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)
 Interaksi obat
 Pasien tidak menggunakan obat karena suatu sebab
Beberapa penyebab pasien tidak menggunakan obat antara lain: masalah ekonomi,
obat tidak tersedia, ketidakpatuhan pasien, kelalaian petugas.
2.4.4 Rekomendasi Terapi
Tujuan utama pemberian terapi obat adalah peningkatan kualitas hidup pasien, yang
dapat dijabarkan sebagai berikut :
 Menyembuhkan penyakit (contoh: infeksi)
 Menghilangkan atau mengurangi gejala klinis pasien (contoh: nyeri)
 Menghambat progresivitas penyakit (contoh: gangguan fungsi ginjal)
 Mencegah kondisi yang tidak diinginkan (contoh: stroke).
2.4.5 Rencana Pemantauan
Setelah ditetapkan pilihan terapi maka selanjutnya perlu dilakukan perencanaan
pemantauan, dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan meminimalkan efek
yang tidak dikehendaki. Apoteker dalam membuat rencana pemantauan perlu
menetapkan langkah-langkah:
1. Menetapkan parameter farmakoterapi
Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih parameter pemantauan,
antara lain:
 Karakteristik obat (contoh: sifat nefrotoksik dari allopurinol, aminoglikosida).
Obat dengan indeks terapi sempit yang harus diukur kadarnya dalam darah
(contoh: digoksin)
 Efikasi terapi dan efek merugikan dari regimen
 Perubahan fisiologik pasien (contoh: penurunan fungsi ginjal pada pasien
geriatri mencapai 40%)
 Efisiensi pemeriksaan laboratorium
- Kepraktisan pemantauan (contoh: pemeriksaan kadar kalium dalam darah
untuk penggunaan furosemide dan digoxin secara bersamaan)
- Ketersediaan (pilih parameter pemeriksaan yang tersedia),
- Biaya pemantauan.
2. Menetapkan sasaran terapi (end point)
Penetapan sasaran akhir didasarkan pada nilai/gambaran normal atau yang
disesuaikan dengan pedoman terapi. Apabila menentukan sasaran terapi yang
diinginkan, apoteker harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
 Faktor khusus pasien seperti umur dan penyakit yang bersamaan diderita
pasien (contoh: perbedaan kadar teofilin pada pasien Penyakit Paru Obstruksi
Kronis/PPOK dan asma)
 Karakteristik obat
Bentuk sediaan, rute pemberian, dan cara pemberian akan mempengaruhi
sasaran terapi yang diinginkan (contoh: perbedaan penurunan kadar gula darah
pada pemberian insulin dan anti diabetes oral).
 Efikasi dan toksisitas
3. Menetapkan frekuensi pemantauan
Frekuensi pemantauan tergantung pada tingkat keparahan penyakit dan risiko
yang berkaitan dengan terapi obat. Sebagai contoh pasien yang menerima obat
kanker harus dipantau lebih sering dan berkala dibanding pasien yang menerima
aspirin. Pasien dengan kondisi relatif stabil tidak memerlukan pemantauan yang
sering. Berbagai faktor yang mempengaruhi frekuensi pemantauan antara lain:
 Kebutuhan khusus dari pasien
Contoh: penggunaan obat nefrotoksik pada pasien gangguan fungsi ginjal.
 Karakteristik obat pasien
Contoh: pasien yang menerima warfarin
 Biaya dan kepraktisan pemantauan
 Permintaan tenaga kesehatan lain
2.4.6 Tindak Lanjut
Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh
apoteker harus dikomunikasikan kepada tenaga kesehatan terkait. Kerjasama dengan
tenaga kesehatan lain diperlukan untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan terapi.
Informasi dari dokter tentang kondisi pasien yang menyeluruh diperlukan untuk
menetapkan target terapi yang optimal. Komunikasi yang efektif dengan tenaga
kesehatan lain harus selalu dilakukan untuk mencegah kemungkinan timbulnya masalah
baru.
Kegagalan terapi dapat disebabkan karena ketidakpatuhan pasien dan kurangnya
informasi obat. Sebagai tindak lanjut pasien harus mendapatkan Komunikasi, Informasi
dan Edukasi (KIE) secara tepat. Informasi yang tepat sebaiknya:
 tidak bertentangan/berbeda dengan informasi dari tenaga kesehatan lain,
 tidak menimbulkan keraguan pasien dalam menggunakan obat,
 dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat,

Anda mungkin juga menyukai