Oleh:
1.1 Pendahuluan
Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini adalah
penyakit menular yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 6 Tahun 1962
tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini adalah penyakit yang mudah
menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga menimbulkan wabah
(Setiati et al., 2014). Demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan
yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Manifestasi klinis demam tifoid
tergantung dari virulensi dan daya tahan tubuh. Adapun manifestasi klinisnya
yaitu demam lebih dari tujuh hari yang merupakan suatu gejala yang paling
menonjol. Demam ini bisa diikuti oleh gejala tidak khas lainnya seperti diare,
anoreksia, atau batuk. Pada keadaan yang parah bisa disertai dengan gangguan
kesadaran. Komplikasi yang bisa terjadi adalah perforasi usus, perdarahan
usus, dan koma. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya Salmonella dalam
darah melalui kultur. Penularan penyakit demam tifoid adalah melalui air dan
makanan. Kuman Salmonella dapat bertahan lama dalam makanan. Vektor
berupa serangga juga berperan dalam penularan penyakit (Widoyono, 2005).
Penatalaksanaan terapi demam tifoid yaitu dengan tirah baring, terapi cairan,
terapi simtomatik, terapi pencegahan dan terapi antibiotik. Terapi antibiotik
yang diberikan pada pasien yaitu antibiotik kloramfenikol, cotrimoksazole,
golongan penisilin, golongan kuinolon dan golongan sefalosforin. Salah satu
antibiotik dari golongan sefalosforin adalah antibiotik ceftriakson.
Fluroquinolones yaitu Ciprofloxacin, direkomendasikan sebagai terapi lini
pertama untuk anak-anak dan orang dewasa yang terinfeksi dengan resistensi
yang sensitif serta multi-obat, S. Typhi dan paratyphi. Ceftriakson merupakan
antibiotik beta-lactamase dengan spektrum luas, memiliki waktu paruh yang
panjang sehingga dapat diberikan 1-2 kali sehari. Sefalosporin generasi ketiga,
yaitu Ceftriakson, juga bermanfaat tetapi penggunaannya dicadangkan untuk
kasus-kasus rumit. Resistansi multi-obat (resistensi terhadap kloramfenikol,
ampisilin, trimoxazole) secara berurutan meningkat dari 34% pada tahun 1999
menjadi 66% pada tahun 2005. Dalam sebuah penelitian prospektif di India
Utara, terjadi perkembangan bertahap resistensi terhadap fluoroquinolones
selama 7 tahun terakhir. Tidak ada resistensi yang diamati terhadap
fluoroquinolones pada tahun 1999, sedangkan pada tahun 2005, resistensi 4,4%
diamati terhadap sparfloxacin, resistensi 8,8% terhadap ofloxacin, dan
resistensi yang tinggi, 13%, terhadap ciprofloxacin. Mengingat resistensi obat
di masyarakat, dapat dipertanyakan bahwa salah satu dari obat ini memiliki
perbedaan dalam kemanjuran dalam hal sensitivitas dan pola resistensi dan
kekambuhan.
2.1. Definisi
Penyakit demam tifoid merupakan infeksi akut pada usus
halus dengan gejala demam lebih dari satu minggu,
mengakibatkan gangguan pencernaan dan dapat menurunkan
tingkat kesadaran (Rahmatillah et al.,2015). Demam tifoid adalah
suatu penyakit infeksi sistemik yang bersifat akut. Penyakit ini
disebabkan oleh Salmonella typhi. Gejala klinis dari demam tifoid
yaitu demam berkepanjangan, bakterimia, serta invasi bakteri
sekaligus multiplikasi ke dalam sel-sel fagosit mononuklear dari
hati, limpa, kelanjar limfe, usus dan peyer’s patch (Soedarmo et
al., 2008).
2.2 .Patogenesis
Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia bersama
dengan makanan atau minuman yang tercemar oleh kuman
Salmonella typhi. Kemudian sebagian dimusnahkan di lambung
dan sebagian lagi masuk ke dalam usus halus kemudian
berkembang biak. Jika respon imunitas humoral mukosa (IgA)
usus kurang baik maka kuman tersebut akan menembus sel-sel
epitel dan selanjutnya menuju lamina propia. Di lamina propia
kuman akan terus berkembang biak dan ditangkap oleh sel-sel
fagosit terutama makrofag kemudian masuk melalui aliran limfe
sehingga dapat menimbulkan bakterimia primer kemudian
dibawa ke peyer’s patches ileum distal dan ke kelenjar getah
bening mesenterika (Widodo, 2006).
Salmonella typhi akan mengikuti aliran darah sampai ke
kandung kemih. Bersama dengan disekresikannya empedu ke
salam saluran cerna, kuman tersebut kembali memasuki saluran
cerna dan akan menginfeksi Peyer’s patches, yaitu jaringan
limfoid yang ada di ileum, lalu kembali memasuki peredaran
darah dan menimbulkan bakterimia sekunder. Pada saat terjadi
bakterimia sekunder lah gejala klinis dari demam tifoid dapat
terlihat (Salyers dan Whitt, 2002).
3) Uji serologi
Uji serologi dapat digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis demam tifoid dengan cara mendeteksi antibodi
spesifik terhadap komponen antigen Salmonella typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri. Beberapa uji serologis yang
dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi uji widal dan
tubex test.
a) Uji Widal
Uji widal dimaksudkan untuk mendeteksi antibodi
terhadap kuman Salmonella typhi. Pada uji widal terjadi
reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella typhi
dan antibodi penderita. Antigen yang digunakan adalah
suspensi biakan Salmonella typhi yang telah dimatikan
dan diolah di laboratorium. Salmonella typhi memiliki 3
macam antigen, yaitu: Antigen O (antigen somatik),
antigen H (antigen flagela) dan antigen Vi (antigen
kapsul). Ketika ketiga macam antigen tersebut ada
diDalam tubuh penderita, maka secara alami tubuh
penderita tersebut akan membentuk 3 macam antibodi
yang biasa disebut aglutinin (Widodo, 2006). Dari ketiga
aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosis, semakin tinggi
titernya maka semakin kuat penegakkan diagnosa
tifoidnya.
b) Pemeriksaan Tubex
Pemeriksaan tubex merupakan metode diagnosis
demam tifoid dengan tingkat sensitifitas dan spesifisitas
yang lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan Widal.
Pemeriksaan tersebut lebih cepat, mudah, sederhana dan
akurat untuk digunakan dalam penegakan diagnosis demam
tifoid (Rahayu, 2013).
c) Pemeriksaan kuman secara molekuler.
Pendeteksian DNA (asam nukleat) gen flagellin
bakteri Salmonella typhi dalam darah dengan teknik
hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara
polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi
antigen Vi yang spesifik untuk Salmonella typhi
merupakan cara paling akurat untuk diagnosis demam
tifoid (Liana, 2015).
Tabel 1 Antibiotik
Antibiotik Dosis Penjelasan
Ciprofloxacin 15 mg/kgBB per 1. Cepat menurunkan
hari suhu
2. Efektif mencegah
relaps dan karier
3. Tidak dianjurkan
untuk anak karena
memiliki efek samping
pada pertumbuhan
tulang
Cefixime 15-20 mg/kgBB per 1. Pemberian secara
hari selama 7-14 per oral
hari 2. Untuk pasien yang
resisten antibiotik
quinolon
1. Sering digunakan
Kloramfenikol dan telah lama
100 mg/kgBB per dikenal efektif
hari selama 14-21 untuk demam tifoid
hari 2. Murah
3. Sensitivitas masih
tinggi
4. Pemberian per oral
atau intravena
Ceftriaxone 75 mg/kgBB per 1. Lama pemberian
hari selama 10-14
hari pendek
2. Dapat digunakan
dengan dosis tunggal
3. Aman untuk anak-anak
4. Pemberian secara
intravena
Amoxicilin 75-100 mg/kgBB Spektrum luas dan aman
selama 14 hari bagi ibu hamil
Kotrimoksazol 8-40mg/kgBB 1. Tidak mahal
selama14 hari 2. Pemberian peroral
Fluoroquinolon 20 mg/kgBB Tidak diberikan pada
selama anak-anak karena dapat
S 7-14 hari mengakibatkangangguan
u pertumbuhan
m
ber : Guidelines for
1) Ciprofloxacin dan ofloxacin
Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin,
dan pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid
yang disebabkan isolat tidak resisten terhadap fluoroquinolone
dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan
demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal carrier kurang
dari 2% (Bhan et al., 2005)
2) Cefixime
Cefixime saat ini sering digunakan sebagai alternatif. Obat
ini diberikan jika ada indikasi penurunan jumlah leukosit hngga
< 2000/μl atau dijumpai adanya resistensi terhadap Salmonella
typhi. Obat ini diberikan secara per oral (Dahlan dan Aminullah,
2007).
3) Azithromycin
Azithromycin dan cefixime memiliki angka kesembuhan
klinis lebih dari 90% dengan waktu penurunan demam 5-7 hari,
durasi pemberiannya lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta
fecal carrier terjadi pada kurang dari 4% (Bhan et al., 2005).
4) Kloramfenikol
Banyak penelitian membuktikan bahwa kloramfenikol
masih sensitif terhadap Salmonella typhi (Chowta, 2005). Salah
satu kekurangan dari obat ini adalah tingginya angka relaps dan
karier (Dahlan dan Aminullah, 2007).
5) Ceftriaxone
Antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga ini terbukti
efektif untuk mengobati pasien demam tifoid. Ceftriaxone diberikan
secara parenteral (Muliawan dan Suryawidjaya, 1999).
6) Amoxicilin
Amoxicilin memiliki efek penyembuhan yang setara dengan
kloramfenikol namun waktu penurunan demamnya lebih lambat.
Obat ini berspektrum luas sehingga banyak digunakan untuk
mengobati infeksi
lain, akibatnya kemungkinan resistensi semakin meningkat.
Namun obat ini aman digunakan untuk ibu hamil (Menkes RI,
2006).
7) Cefotaxime
Walaupun di tabel ini tertera cefotaxime untuk terapi
demam tifoid tetapi sayangnya di Indonesia sampai saat ini tidak
terdapat laporan keberhasilan terapi demam tifoid dengan
cefotaxime (Nelwan, 2012).
8) Kotrimoksazol
Obat ini merupakan kombinasi antara trimetroprim dan
sulfametoksazol dengan perbandingan 1:5. Efektivitas obat ini
dilaporkan hampir setara dengan kloramfenikol (Widodo, 2006).
Namun obat ini banyak digunakan untuk infeksi lain sehingga
meningkatkan resiko resistensi (Muliawan dan Suryawidjaya, 1999).
9) Fluorokuinolon
Fluoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki
efektivitas yang baik adalah levofloxacin. Efikasi klinis yang
dijumpai pada studi ini adalah 100% dengan efek samping yang
minimal (Nelwan, 2012).
1. Judul Penelitian
a. Penulisan Judul
Judul pada penelitian ini tidak lebih dari 12 kata. Pada judul tidak terdapat
singkatan. Judul menarik dan memudahkan pembaca untuk mendapatkan
gambaran mengenai isi jurnal.
b. Nama Penulis
Penulisan nama penulis menggunakan gelar dan menggunakan nama
depan sebagai sitasi.
c. Alamat Penelitian
Pada penelitian ini dicantumkan alamat korespondensi.
2. Abstrak
Penulisan abstrak pada penelitian ini sudah terstruktur, yaitu terdiri atas
objective, design, setting, methodology, result dan conclusion. Jumlah kata
yang digunakan sebanyak 250 kata. Pada abstrak dicantumkan kata kunci.
3. Konten
a. Pendahuluan
Demam tifoid telah menjadi penyebab utama tingginya angka kesakitan
dan kematian di dunia. Demam tifoid yang disebabkan oleh Salmonella
thypi jika tidak di tatalaksana dengna baik akan menyebabkan perdarahan
dan perforasi gastrointestinal serta infeksi fokal. Kasus demam tifoid di
Pakistan merupakan insiden penyakit tertinggi ketiga di dunia. Keluhan
paling umum di klinik pediatrik adalah demam tifoid, sehingga menjadi
penyebab kematian anak tertinggi keempat di Pakistan. Kejadian paling
tinggi pada anak-anak dan dewasa muda berusia antara 5-19 tahun.
Fluroquinolones yaitu ciprofloxacin direkomendasikan sebagai lini
pertama untuk anak-anak dan orang dewasa,. Ceftriaxone, juga berguna
tetapi penggunaannya dicadangkan untuk kasus-kasus rumit seperti
resistensi multi-obat (resistensi terhadap kloramfenikol, ampisilin, dan
kotrimoksazol). Mengingat semakin banyak terjadi resistensi obat di
masyarakat terutama pada obat golongan floroquinolon, sehingga tujuan
dari penelitian ini untuk mengetahui perbandingan respon klinis pada
anak dengan demam tifoid yang di tatalakasana dengan ciprofloxacin atau
ceftriaxone.
b. Metode
a) Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada 25 maret 2010 hingga 24 september
2010.
b) Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap anak, Rumah Sakit
Holy Family, Rawalpindi, Pakistan.
c) Desain Penelitian
Desain penelitian ini menggunakan Randomized Controlled
Trials.
d) Sampel
Partisipan dalam penelitian ini adalah 88 anak-anak yang
terdiagnosis demam tifoid yaitu terdiri dari 44 anak mendapatkan
terapi ciprofloxacin dnan 44 anak yang mendapatkan terapi
ceftriaxone. Sampel di pilih menggunakan teknik consecutive
sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Dimana
kriteria inklusinya anak berusia 5-12 tahun baik perempuan atau
laki-laki yang telah terdiagnosis demam tifoid. Criteria eksklusi
yaitu sudah pernah mendapatkan terapi antibiotik oral atau
intravena (golongan sefalosporin generasi ketiga dan kuinolon)
dan tidak mengalami demam dalam jangka waktu penelitian.
e) Prosedur
Semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dibagi
menjadi kelompok A dan B secara acak. Kelompok A diberikan
ciprofloxacin 10mg/kgbb/IV dua kali sehari, sedangkan kelompok
B diberikan ceftriaxon 70mg/kgbb sekali sehari selama 7 hari.
Setelah itu kedua kelompok diamati selama demam (96 jam) lalu
dilakukan investigasi selama dirawat berdasarkan antibody IgM
yang diverifikasi oleh ahli patologi dan dianalisis menggunakan
SPSS (V10).
f) Data Penelitian
Data dianalisis menggunakan SPSS versi 10 dengan uji analisis
statistik Chi-square.
c. Hasil
Analisis univariat dari Variabel-Variabel yang berhubungan dengan
tingkat kepuasan
Gambar 4. Grafik distribusi penggunaan air rebusan dan tidak direbus pada
subjek penelitian
d. Kesimpulan
Ceftriakson lebih efektif sebagai tatalaksana pada anak-anak yang
menderita demam tifoid dengan proporsi anak yang tidak demam dalam
96 jam pemberian terapi lebih besar dibandingkan dengan terapi
ciprofloksasin.
A. ANALISIS VIA
1. Validity
Desain
Desain penelitian ini adalah randomized controlled trial, yaitu suatu
metode penelitian yang menggunakan sampel dimana pasien dibagi
menjadi dua grup yaitu grup kontrol dan grup perlakuan. Pada
penelitian ini, dilakukan untuk membandingkan efektifitas
ciprofloxacin dan ceftriaxone pada anak-anak dalam waktu 96 jam.
Pengumpulan sampel
Penelitian ini dilakukan pada pasien yang dirawat di Departemen
Pediatri, Holy Family Hospital, Rawalpindi pada 25 maret 2010-24
September 2010. Sebanyak 88 pasien yang didiagnosis demam typoid
dilibatkan dalam penelitian ini. 44 pasien diobati dengan ciprofloxacin
dan 44 pasien lainnya diobati dengan ceftriaxon. Kriteria inkluasi
adalah anak-anak yang terdiagnosis demam typoid usia 5-12 tahun
baik jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Sedangkan kriteria
eksklusi adalah anak-anak dengan riwayat penggunaan antibiotik
sefalosporin generasi ketiga dan kuinolon baik secara IV atau oral dan
tidak ada demam pada saat penelitian dilakukan.
2. Importance
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk melihat efektivitas
pengobatan demam typoid menggunakan obat ceftriaxon dan ciprofloxacin
pada anak-anak terhadap demamnya selama 96 jam. Berdasarkan hsil uji
statistic, penellitian ini memiliki hasil p value sebesar 0,000 yang berarti
hasil bermakna secara statstik. Hasil tersebut menyimpulkan bahwa obat
ceftriakson lebih efektif untuk menurunkan demam pada anak dengan
demam tifod dalam 96 jam dibandingkan dnegan ciprofloksasin.
3. Applicability
Apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada pasien di
Indonesia?
Ya, hasil dari uji klinis pada jurnal ini dapat diterapkan di Indonesia
terutama di Rumah Sakit di Bandar Lampung. Karena ketersediaan
obat dan kesamaan karakteristik klinis demam typoid yaitu demam,
sakit kepala persisten, nyeri perut, muntah.
BAB IV
KESIMPULAN