Anda di halaman 1dari 24

TELAAH KRITIS JURNAL UJI KLINIS

“Treatment of Typhoid Fever in Children: Comparison of Efficacy


of Ciprofloxacin with Ceftriaxone”

Oleh:

Dika Pratiwi Adifa 1718012011


Elma Rosa Vidia 1718012052
Mutiara Kartiko Putri 1718012160
Tryda Meutia Anwar 1718012012

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini adalah
penyakit menular yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 6 Tahun 1962
tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini adalah penyakit yang mudah
menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga menimbulkan wabah
(Setiati et al., 2014). Demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan
yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Manifestasi klinis demam tifoid
tergantung dari virulensi dan daya tahan tubuh. Adapun manifestasi klinisnya
yaitu demam lebih dari tujuh hari yang merupakan suatu gejala yang paling
menonjol. Demam ini bisa diikuti oleh gejala tidak khas lainnya seperti diare,
anoreksia, atau batuk. Pada keadaan yang parah bisa disertai dengan gangguan
kesadaran. Komplikasi yang bisa terjadi adalah perforasi usus, perdarahan
usus, dan koma. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya Salmonella dalam
darah melalui kultur. Penularan penyakit demam tifoid adalah melalui air dan
makanan. Kuman Salmonella dapat bertahan lama dalam makanan. Vektor
berupa serangga juga berperan dalam penularan penyakit (Widoyono, 2005).

Demam tifoid menyerang penduduk disemua negara. Demam tifoid banyak


ditemukan dinegara berkembang yang hygiene pribadi dan sanitasi
lingkungannya kurang baik. Namun pada negara maju prevalensi demam tifoid
stabil dengan angka yang rendah. Prevalensi kasus bervariasi tergantung dari
lokasi, kondisi lingkungan setempat, dan perilakumasyarakat. Sejak awal abad
ke-20, insiden demam tifoid menurun di USA dan Eropa. Hal ini karena
ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik, dan ini belum
dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang. Insiden demam tifoid yang
tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara,
dan kemungkinan Afrika Selatan (Insidens >100 kasus per 100.000 populasi
per tahun). Insiden demam tifoid yang tergolong sedang (10-100 kasus per
100.000 populasi per tahun) berada di wilayah Afrika, Amerika Latin, dan
Oceania (kecuali Australia dan Selandia Baru) serta yang termasuk rendah
(<10 kasus per 100.000 populasi per tahun) dibagian dunia lainnya.

Di Indonesia, kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan


insidensi sekitar 1.100 kasus per 100.000 penduduk per tahunnya dengan angka
kematian 3,1- 10,4% . Sembilan puluh persen kasus demam tifoid di Indonesia
menyerang kelompok usia 3-19 tahun. Menurut Departemen Kesehatan RI
penyakit ini menduduki urutan kedua sebagai penyebab kematian pada
kelompok umur 5-14 tahun di daerah perkotaan (Irawati & Hanriko, 2016).
Dari telaah kasus dibeberapa rumah sakit besar, kasus tersangka demam tifoid
menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahun dengan
ratarata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0,6%-5,0%
(Rampengan, 2013). Ditjen Bina Upaya Kesehatan Masyarakat Departemen
kesehatan RI tahun 2010, melaporkan demam tifoid menempati urutan ke-3
dari 10 pola penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di
Indonesia (41.081 kasus) (Setiati et al., 2014).

Penatalaksanaan terapi demam tifoid yaitu dengan tirah baring, terapi cairan,
terapi simtomatik, terapi pencegahan dan terapi antibiotik. Terapi antibiotik
yang diberikan pada pasien yaitu antibiotik kloramfenikol, cotrimoksazole,
golongan penisilin, golongan kuinolon dan golongan sefalosforin. Salah satu
antibiotik dari golongan sefalosforin adalah antibiotik ceftriakson.
Fluroquinolones yaitu Ciprofloxacin, direkomendasikan sebagai terapi lini
pertama untuk anak-anak dan orang dewasa yang terinfeksi dengan resistensi
yang sensitif serta multi-obat, S. Typhi dan paratyphi. Ceftriakson merupakan
antibiotik beta-lactamase dengan spektrum luas, memiliki waktu paruh yang
panjang sehingga dapat diberikan 1-2 kali sehari. Sefalosporin generasi ketiga,
yaitu Ceftriakson, juga bermanfaat tetapi penggunaannya dicadangkan untuk
kasus-kasus rumit. Resistansi multi-obat (resistensi terhadap kloramfenikol,
ampisilin, trimoxazole) secara berurutan meningkat dari 34% pada tahun 1999
menjadi 66% pada tahun 2005. Dalam sebuah penelitian prospektif di India
Utara, terjadi perkembangan bertahap resistensi terhadap fluoroquinolones
selama 7 tahun terakhir. Tidak ada resistensi yang diamati terhadap
fluoroquinolones pada tahun 1999, sedangkan pada tahun 2005, resistensi 4,4%
diamati terhadap sparfloxacin, resistensi 8,8% terhadap ofloxacin, dan
resistensi yang tinggi, 13%, terhadap ciprofloxacin. Mengingat resistensi obat
di masyarakat, dapat dipertanyakan bahwa salah satu dari obat ini memiliki
perbedaan dalam kemanjuran dalam hal sensitivitas dan pola resistensi dan
kekambuhan.

1.2 Tujuan Penulisan


a. Mengetahui gambaran keberhasilan terapi ceftriakson pada demam tifoid
berdasarkan jurnal hasil penelitian
b. Mengetahui gambaran keberhasilan terapi ciprofloksasin pada demam
tifoid berdasarkan jurnal hasil penelitian
c. Mengetahui efektivitas tatalaksana demam tifoid dengan teerapi antibiotik
ciprofloksasin dan ceftriakson
d. Mengetahui apakah hasil penelitian dapat diterapkan di Indonesia

1.3 Manfaat Penelitian


a. Menambah pengetahuan penulis mengenai tatalaksana demam tifoid
terbaru.
b. Sebagai bahan penelitian lanjutan yang berhubungan dengan penyakit
demam tifoid.
c. Meningkatkan pengetahuan dan pengalaman langsung dalam melakukan
penelitian dan telaah kritis karya ilmiah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Penyakit demam tifoid merupakan infeksi akut pada usus
halus dengan gejala demam lebih dari satu minggu,
mengakibatkan gangguan pencernaan dan dapat menurunkan
tingkat kesadaran (Rahmatillah et al.,2015). Demam tifoid adalah
suatu penyakit infeksi sistemik yang bersifat akut. Penyakit ini
disebabkan oleh Salmonella typhi. Gejala klinis dari demam tifoid
yaitu demam berkepanjangan, bakterimia, serta invasi bakteri
sekaligus multiplikasi ke dalam sel-sel fagosit mononuklear dari
hati, limpa, kelanjar limfe, usus dan peyer’s patch (Soedarmo et
al., 2008).

2.2 .Patogenesis
Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia bersama
dengan makanan atau minuman yang tercemar oleh kuman
Salmonella typhi. Kemudian sebagian dimusnahkan di lambung
dan sebagian lagi masuk ke dalam usus halus kemudian
berkembang biak. Jika respon imunitas humoral mukosa (IgA)
usus kurang baik maka kuman tersebut akan menembus sel-sel
epitel dan selanjutnya menuju lamina propia. Di lamina propia
kuman akan terus berkembang biak dan ditangkap oleh sel-sel
fagosit terutama makrofag kemudian masuk melalui aliran limfe
sehingga dapat menimbulkan bakterimia primer kemudian
dibawa ke peyer’s patches ileum distal dan ke kelenjar getah
bening mesenterika (Widodo, 2006).
Salmonella typhi akan mengikuti aliran darah sampai ke
kandung kemih. Bersama dengan disekresikannya empedu ke
salam saluran cerna, kuman tersebut kembali memasuki saluran
cerna dan akan menginfeksi Peyer’s patches, yaitu jaringan
limfoid yang ada di ileum, lalu kembali memasuki peredaran
darah dan menimbulkan bakterimia sekunder. Pada saat terjadi
bakterimia sekunder lah gejala klinis dari demam tifoid dapat
terlihat (Salyers dan Whitt, 2002).

2.3 Gejala Demam Tifoid


Menurut Kementrian Kesehatan RI (2006) gambaran klinis
demam tifoid sangat beragam, dari gejala yang sangat ringan
(sehingga tidak terdiagnosis) dan dengan gejala khas (sindrom
demam tifoid) sampai dengan gejala klinis berat yang disertai
komplikasi. Beberapa gejala klinis tifoid atau biasa disebut
sindrom tifoid diantaranya adalah:
1) Demam
Demam merupakan gejala utama tifoid. Pada awal sakit,
kebanyakan penderita hanya mengalami demam yang
samar-samar, suhu tubuh akan naik turun. Penderita akan
mengalami demam intermitten, yaitu pagi suhu tubuhnya rendah
atau normal sedangkan sore dan malam suhu tubuhnya akan
lebih tinggi. Intensitas demam hari ke hari akan semakin tinggi
disertai beberapa gejala tambahan seperti sakit kepala, nyeri
otot, pegal-pegal, insomnia, mual dan muntah. Pada minggu
kedua demam berubah menjadi demam kontinyu, yaitu demam
tinggi terjadi terus menerus dan dapat kembali normal pada
minggu ke-3.
2) Gangguan saluran pencernaan
Penderita demam tifoid umumnya mengalami bibir kering dan
kadang pecah-pecah. Lidah terlihat kotor dan tertutup selaput
putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor. Pada
umumnya penderita sering mengeluh nyeri di bagian perut,
terutama di bagian ulu hati, disertai mual dan muntah. Pada
awal sakit biasanya penderita mengalami konstipasi namun
kadang timbul diare di minggu-minggu berikutnya.
3) Gangguan kesadaran
Umumnya penderita mengalami penurunan kesadaran ringan.
Bila klinis berat, tak jarang penderita sampai somnolen
(kesadaran menurun) dan koma atau dengan gejala psikosis.
4) Hepatosplenomegali
Terjadi pembesaran hati dan/atau limpa. Hati terasa kenyal dan
nyeri saat ditekan.
2.4. Diagnosis
Ada beberapa pemeriksaan laboratorium untuk membantu
penegakkan diagnosis untuk demam tifoid yaitu:
1) Pemeriksaan darah tepi
Pada hasil pemeriksaan darah pada penderita demam tifoid
umumnya ditemukan anemia, jumlah leukosit normal (bisa
menurun atau meningkat), mungkin juga terdapat
trombositopenia. Adanya leukopenia dan limfositosis relatif
dapat menjadi dugaan kuat untuk diagnosis demam tifoid
(Hoffman, 2002).
2) Uji biakan darah
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan apabila
ditemukan bakteri Salmonella typhi dalam biakan dari darah,
urin, feses, sumsum tulang, dan cairan duodenum penderita.
Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan
lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada
awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam
urin dan feses (Hardi et al., 2002).

3) Uji serologi
Uji serologi dapat digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis demam tifoid dengan cara mendeteksi antibodi
spesifik terhadap komponen antigen Salmonella typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri. Beberapa uji serologis yang
dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi uji widal dan
tubex test.
a) Uji Widal
Uji widal dimaksudkan untuk mendeteksi antibodi
terhadap kuman Salmonella typhi. Pada uji widal terjadi
reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella typhi
dan antibodi penderita. Antigen yang digunakan adalah
suspensi biakan Salmonella typhi yang telah dimatikan
dan diolah di laboratorium. Salmonella typhi memiliki 3
macam antigen, yaitu: Antigen O (antigen somatik),
antigen H (antigen flagela) dan antigen Vi (antigen
kapsul). Ketika ketiga macam antigen tersebut ada
diDalam tubuh penderita, maka secara alami tubuh
penderita tersebut akan membentuk 3 macam antibodi
yang biasa disebut aglutinin (Widodo, 2006). Dari ketiga
aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosis, semakin tinggi
titernya maka semakin kuat penegakkan diagnosa
tifoidnya.
b) Pemeriksaan Tubex
Pemeriksaan tubex merupakan metode diagnosis
demam tifoid dengan tingkat sensitifitas dan spesifisitas
yang lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan Widal.
Pemeriksaan tersebut lebih cepat, mudah, sederhana dan
akurat untuk digunakan dalam penegakan diagnosis demam
tifoid (Rahayu, 2013).
c) Pemeriksaan kuman secara molekuler.
Pendeteksian DNA (asam nukleat) gen flagellin
bakteri Salmonella typhi dalam darah dengan teknik
hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara
polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi
antigen Vi yang spesifik untuk Salmonella typhi
merupakan cara paling akurat untuk diagnosis demam
tifoid (Liana, 2015).

2.5. Tatalaksana Pengobatan


Penderita dengan gambaran klinik jelas disarankan untuk
dirawat di rumah sakit agar pengobatan lebih optimal, proses
penyembuhan lebih cepat, observasi penyakit lebih mudah,
meminimalisasi komplikasi dan menghindari penularan (Menkes
RI, 2006). Antibiotik akan diberikan segera setelah diagnosa
klinik ditegakkan. Sebelum itu pemeriksaan spesimen darah atau
sumsum tulang harus dilakukan terlebih dahulu untuk
memastikan bakteri penyebab infeksi, kecuali fasilitas biakan ini
benar- benar tidak tersedia dan tidak dapat dilaksanakan (Menkes
RI, 2006).
Menurut Kamus Saku Kedokteran Dorland (2013)
antibiotik adalah zat kimiawi yang dihasilkan oleh
mikroorganisme atau secara semisintesis, yang memiliki
kemampuan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan
mikroorganisme lain dimana antibiotik bersifat kurang toksik
untuk penjamunya. Beberapa antibiotik telah dikenal luas
memiliki sensitifitas dan efektifitas tinggi untuk mengobati
demam tifoid berdasarkan pedoman pengendalian demam tifoid
yang dikeluarkan oleh WHO (2011) seperti pada Tabel 1.

Tabel 1 Antibiotik
Antibiotik Dosis Penjelasan
Ciprofloxacin 15 mg/kgBB per 1. Cepat menurunkan
hari suhu
2. Efektif mencegah
relaps dan karier
3. Tidak dianjurkan
untuk anak karena
memiliki efek samping
pada pertumbuhan
tulang
Cefixime 15-20 mg/kgBB per 1. Pemberian secara
hari selama 7-14 per oral
hari 2. Untuk pasien yang
resisten antibiotik
quinolon

1. Sering digunakan
Kloramfenikol dan telah lama
100 mg/kgBB per dikenal efektif
hari selama 14-21 untuk demam tifoid
hari 2. Murah
3. Sensitivitas masih
tinggi
4. Pemberian per oral
atau intravena
Ceftriaxone 75 mg/kgBB per 1. Lama pemberian
hari selama 10-14
hari pendek
2. Dapat digunakan
dengan dosis tunggal
3. Aman untuk anak-anak
4. Pemberian secara
intravena
Amoxicilin 75-100 mg/kgBB Spektrum luas dan aman
selama 14 hari bagi ibu hamil
Kotrimoksazol 8-40mg/kgBB 1. Tidak mahal
selama14 hari 2. Pemberian peroral
Fluoroquinolon 20 mg/kgBB Tidak diberikan pada
selama anak-anak karena dapat
S 7-14 hari mengakibatkangangguan
u pertumbuhan
m
ber : Guidelines for
1) Ciprofloxacin dan ofloxacin
Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin,
dan pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid
yang disebabkan isolat tidak resisten terhadap fluoroquinolone
dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan
demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal carrier kurang
dari 2% (Bhan et al., 2005)
2) Cefixime
Cefixime saat ini sering digunakan sebagai alternatif. Obat
ini diberikan jika ada indikasi penurunan jumlah leukosit hngga
< 2000/μl atau dijumpai adanya resistensi terhadap Salmonella
typhi. Obat ini diberikan secara per oral (Dahlan dan Aminullah,
2007).
3) Azithromycin
Azithromycin dan cefixime memiliki angka kesembuhan
klinis lebih dari 90% dengan waktu penurunan demam 5-7 hari,
durasi pemberiannya lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta
fecal carrier terjadi pada kurang dari 4% (Bhan et al., 2005).
4) Kloramfenikol
Banyak penelitian membuktikan bahwa kloramfenikol
masih sensitif terhadap Salmonella typhi (Chowta, 2005). Salah
satu kekurangan dari obat ini adalah tingginya angka relaps dan
karier (Dahlan dan Aminullah, 2007).
5) Ceftriaxone
Antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga ini terbukti
efektif untuk mengobati pasien demam tifoid. Ceftriaxone diberikan
secara parenteral (Muliawan dan Suryawidjaya, 1999).
6) Amoxicilin
Amoxicilin memiliki efek penyembuhan yang setara dengan
kloramfenikol namun waktu penurunan demamnya lebih lambat.
Obat ini berspektrum luas sehingga banyak digunakan untuk
mengobati infeksi
lain, akibatnya kemungkinan resistensi semakin meningkat.
Namun obat ini aman digunakan untuk ibu hamil (Menkes RI,
2006).

7) Cefotaxime
Walaupun di tabel ini tertera cefotaxime untuk terapi
demam tifoid tetapi sayangnya di Indonesia sampai saat ini tidak
terdapat laporan keberhasilan terapi demam tifoid dengan
cefotaxime (Nelwan, 2012).
8) Kotrimoksazol
Obat ini merupakan kombinasi antara trimetroprim dan
sulfametoksazol dengan perbandingan 1:5. Efektivitas obat ini
dilaporkan hampir setara dengan kloramfenikol (Widodo, 2006).
Namun obat ini banyak digunakan untuk infeksi lain sehingga
meningkatkan resiko resistensi (Muliawan dan Suryawidjaya, 1999).
9) Fluorokuinolon
Fluoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki
efektivitas yang baik adalah levofloxacin. Efikasi klinis yang
dijumpai pada studi ini adalah 100% dengan efek samping yang
minimal (Nelwan, 2012).

2.6 Evaluasi Penggunaan Antibiotik


a. Metode Anatomical Therapeutic Chemical / Defined Daily Dose
(ATC/DDD)
Penggunaan obat dikatakan rasional apabila penggunaannya
sesuai dengan kebutuhan klinis pasien dalam jumlah yang memadai
serta dengan biaya yang terendah (WHO, 2002). Berdasarkan
peraturan IAI tentang pedoman praktik apoteker, yang
bertanggung jawab atas kerasionalan penggunaan obat adalah
apoteker. Seorang apoteker dituntut untukmelakukan Evaluasi
Penggunaan Obat (EPO) secara terstruktur dan berkesinambungan
baik secara kualitatif maupun kuantitatif dengan tujuan
menyesuaikan kebijakan penggunaan obat (IAI, 2014).
WHO menyarankan metode ATC/DDD sebagai salah satu
metode kuantitatif. Sistem DDD dan klasifikasi ATC
dikembangkan oleh peneliti asal Norwegia (WHO, 2003). Tujuan
dari sistem ATC/DDD adalah sebagai metode penelitian
mengenai kuantitas penggunaan obat dalam rangka meningkatkan
kualitas penggunaan obat. Sistem ATC/DDD tidak dapat digunakan
untuk pengambilan keputusan mengenai penggantian biaya,
penetapan harga dan substitusi terapi. Dalam sistem Anatomical
Therapeutic Chemical (ATC), zat aktif dibagi menjadi beberapa
kelompok berbeda menurut organ atau target kerja obat, sifat
farmakologi dan sifat kimianya. Obat diklasifikasikan dalam lima
level berbeda. Pada level pertama, obat dibagi menjadi 14
kelompok utama. Level kedua merupakan sub grup sifat
kimia/farmakologi, level 3 dan 4 merupakan sub grup
kimia/farmakologi/terapeutik dan level 5 merupakan sifat kimia
(WHO,

Defined daily dose (DDD) adalah rata-rata dosis


pemeliharaan per hari untuk obat-obat yang digunakan untuk
indikasi utama pada pasien dewasa. Obat yang tidak memiliki kode
ATC maka tidak dapat digunakan dalam perhitungan pada metode
DDD. Metode DDD dapat digunakan untuk menentukan kuantitas
penggunaan antibiotik di rumah sakit. Unit DDD digunakan untuk
membandingkan penggunaan obat dalam satu kelompok terapi
yang sama, dimana memiliki kesamaan efikasi tapi berbeda dosis
kebutuhan (WHO, 2003).
b. Drug Utilization 90% (DU 90%)
Drug Utilization 90% (DU 90%) digunakan untuk
menjelaskan pola penggunaan obat dengan cara membuat
pengelompokkan data obat yang digunakan untuk penilaian
kualitatif serta untuk perbandingan internasional berdasarkan pada
90% obat yang digunakan dari keseluruhan dan mengikuti standard
guidelines (WHO, 2006). Metode DU 90% lebih baik dibanding
indikator penggunaan obat lain yang direkomendasikan oleh
WHO karena DU 90% menggunakan perhitungan jumlah
penggunaanobat berdasar pada metode ATC/DDD dengan
perbandingan yang bertaraf internasional (WHO, 2006).

2.7. Pedoman Pengobatan


Pedoman Pengobatan disusun pada setiap tingkat unit
pelayanan kesehatan, seperti Pedoman Pengobatan Dasar di
Puskesmas dan Pedoman Diagnosis dan Terapi di Rumah Sakit.
Pedoman pengobatan memuat informasi penyakit, terutama
penyakit yang umum terjadi dan keluhan keluhannya serta
informasi tentang obatnya meliputi kekuatan, dosis dan lama
pengobatan (Menkes RI, 2013). Pedoman pengobatan merupakan
pedoman penegakkan diagnosis bagi dokter dan penentuan
pengobatan yang akan diberikan pada pasien. Pedoman
pengobatan demam tifoid ditetapkan dalam Guidelines for the
Management of Typhoid Fever oleh WHO tahun 201
BAB III
ANALISIS JURNAL

“Treatment of Typhoid Fever in Children: Comparison of Efficacy of


Ciprofloxacin with Ceftriaxone”

1. Judul Penelitian
a. Penulisan Judul
Judul pada penelitian ini tidak lebih dari 12 kata. Pada judul tidak terdapat
singkatan. Judul menarik dan memudahkan pembaca untuk mendapatkan
gambaran mengenai isi jurnal.

b. Nama Penulis
Penulisan nama penulis menggunakan gelar dan menggunakan nama
depan sebagai sitasi.

c. Alamat Penelitian
Pada penelitian ini dicantumkan alamat korespondensi.

2. Abstrak
Penulisan abstrak pada penelitian ini sudah terstruktur, yaitu terdiri atas
objective, design, setting, methodology, result dan conclusion. Jumlah kata
yang digunakan sebanyak 250 kata. Pada abstrak dicantumkan kata kunci.

3. Konten
a. Pendahuluan
Demam tifoid telah menjadi penyebab utama tingginya angka kesakitan
dan kematian di dunia. Demam tifoid yang disebabkan oleh Salmonella
thypi jika tidak di tatalaksana dengna baik akan menyebabkan perdarahan
dan perforasi gastrointestinal serta infeksi fokal. Kasus demam tifoid di
Pakistan merupakan insiden penyakit tertinggi ketiga di dunia. Keluhan
paling umum di klinik pediatrik adalah demam tifoid, sehingga menjadi
penyebab kematian anak tertinggi keempat di Pakistan. Kejadian paling
tinggi pada anak-anak dan dewasa muda berusia antara 5-19 tahun.
Fluroquinolones yaitu ciprofloxacin direkomendasikan sebagai lini
pertama untuk anak-anak dan orang dewasa,. Ceftriaxone, juga berguna
tetapi penggunaannya dicadangkan untuk kasus-kasus rumit seperti
resistensi multi-obat (resistensi terhadap kloramfenikol, ampisilin, dan
kotrimoksazol). Mengingat semakin banyak terjadi resistensi obat di
masyarakat terutama pada obat golongan floroquinolon, sehingga tujuan
dari penelitian ini untuk mengetahui perbandingan respon klinis pada
anak dengan demam tifoid yang di tatalakasana dengan ciprofloxacin atau
ceftriaxone.

b. Metode
a) Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada 25 maret 2010 hingga 24 september
2010.

b) Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap anak, Rumah Sakit
Holy Family, Rawalpindi, Pakistan.

c) Desain Penelitian
Desain penelitian ini menggunakan Randomized Controlled
Trials.

d) Sampel
Partisipan dalam penelitian ini adalah 88 anak-anak yang
terdiagnosis demam tifoid yaitu terdiri dari 44 anak mendapatkan
terapi ciprofloxacin dnan 44 anak yang mendapatkan terapi
ceftriaxone. Sampel di pilih menggunakan teknik consecutive
sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Dimana
kriteria inklusinya anak berusia 5-12 tahun baik perempuan atau
laki-laki yang telah terdiagnosis demam tifoid. Criteria eksklusi
yaitu sudah pernah mendapatkan terapi antibiotik oral atau
intravena (golongan sefalosporin generasi ketiga dan kuinolon)
dan tidak mengalami demam dalam jangka waktu penelitian.

e) Prosedur
Semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dibagi
menjadi kelompok A dan B secara acak. Kelompok A diberikan
ciprofloxacin 10mg/kgbb/IV dua kali sehari, sedangkan kelompok
B diberikan ceftriaxon 70mg/kgbb sekali sehari selama 7 hari.
Setelah itu kedua kelompok diamati selama demam (96 jam) lalu
dilakukan investigasi selama dirawat berdasarkan antibody IgM
yang diverifikasi oleh ahli patologi dan dianalisis menggunakan
SPSS (V10).

f) Data Penelitian
Data dianalisis menggunakan SPSS versi 10 dengan uji analisis
statistik Chi-square.

c. Hasil
Analisis univariat dari Variabel-Variabel yang berhubungan dengan
tingkat kepuasan

Gambar 1. Grafik distribusi usia pada subjek penelitian


Gambar 2. Grafik distribusi berat badan pada subjek penelitian

Gambar 3. Grafik distribusi jenis kelamin pada subjek penelitian

Gambar 4. Grafik distribusi penggunaan air rebusan dan tidak direbus pada
subjek penelitian

Seluruh subjek penelitian berusia dibawah 12 tahun dengan rentang usia


5-12 tahun. Rata-rata usia subjek penelitian adalah 8,3 tahun. Sejumlah 41
subjek (46,6%) berjenis kelamin laki-laki dan 47 subjek (53,4%) berjenis
kelamin perempuan. Berat badan dari 88 subjek penelitian memiliki
rentang 14-41 kg dengan berat badan rata-rata 24,7 kg. Selain itu, terdapat
karakteristik subjek penelitian yang menggunakan air rebusan dan tidak
menggunakan air rebusan. Hasil penelitaian menunjukkan terdapat
sejumlah 15 subjek (17%) yang menggunakan air rebusan dan sisanya
yaitu 73 subjek (83%) tidak menggunakan air rebusan secara rutin.

Analisis multivariabel dari Variabel-Variabel yang berhubungan


dengan tingkat kepuasan

Tabel 1. Distribusi pemberian ciprofloksasin dan ceftriaxon berdasarkan jenis


kelamin

Tabel 2. Hasil Analisis perbandingan frekuensi subjek penelitian menjadi afebril


dalam 96 jam
menggunakan uji Chi-square; grup ciprofloksasin dan ceftriakson
Hasil uji analisis dua variabel menggunakan Uji Chi-Square menunjukkan
terdapat 24 subjek berjenis kelamin laki-laki (54,5%) dan 20 subjek
perempuan (45,5%) mendapatkan terapi ciprofloksasin, sedangkan
terdapat 17 subjek laki-laki (38,65) dan 27 subjek perempuan (61,4%)
mendapat terapi ceftriakson. Distribusi subjek yang berhasil mencapai
afebril dalam 96 jam setelah pemberian terapi, didapatkan hasil bahwa
jumlah subjek denga terapi ceftriakson lebih banyak dibandingkan terapi
ciprofloksasin. Sejumlah 25 dari 44 subjek yang diberikan terapi
ciprofloksasin mengalami afebril dalam 96 jam , sedangkan sebanyak 43
dari 44 subjek yang mendapat terapi ceftriakson mengalami afebril dalam
96 jam. Hasil analisis hubungan antara kedua variable yang di
perbandingkan didapatkan angka signifikansi sebesar p=0,000
menunjukkan terdapat hasil yang bermakna.

d. Kesimpulan
Ceftriakson lebih efektif sebagai tatalaksana pada anak-anak yang
menderita demam tifoid dengan proporsi anak yang tidak demam dalam
96 jam pemberian terapi lebih besar dibandingkan dengan terapi
ciprofloksasin.
A. ANALISIS VIA
1. Validity
 Desain
Desain penelitian ini adalah randomized controlled trial, yaitu suatu
metode penelitian yang menggunakan sampel dimana pasien dibagi
menjadi dua grup yaitu grup kontrol dan grup perlakuan. Pada
penelitian ini, dilakukan untuk membandingkan efektifitas
ciprofloxacin dan ceftriaxone pada anak-anak dalam waktu 96 jam.

 Populasi dan sampel


Literatur yang dilakukan identifikasi merupakan uji coba terkontrol
acak (RCT) yang melibatkan 88 anak dengan diagnosis demam typoid
usia 5-12 tahun, 44 anak diterapi dengan ciprofloxacin dan 44 lainnya
diterapi menggunakan ceftriaxon.

 Pengumpulan sampel
Penelitian ini dilakukan pada pasien yang dirawat di Departemen
Pediatri, Holy Family Hospital, Rawalpindi pada 25 maret 2010-24
September 2010. Sebanyak 88 pasien yang didiagnosis demam typoid
dilibatkan dalam penelitian ini. 44 pasien diobati dengan ciprofloxacin
dan 44 pasien lainnya diobati dengan ceftriaxon. Kriteria inkluasi
adalah anak-anak yang terdiagnosis demam typoid usia 5-12 tahun
baik jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Sedangkan kriteria
eksklusi adalah anak-anak dengan riwayat penggunaan antibiotik
sefalosporin generasi ketiga dan kuinolon baik secara IV atau oral dan
tidak ada demam pada saat penelitian dilakukan.

Semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi yang dibagi menjadi


kelompok A dan B secara acak. Kelompok A diberikan ciprofloxacin
10mg/kgbb/IV 2x1 sedangkan kelompok B diberikan ceftriaxon
70mg/kgbb 1x1 selama 7 hari. Setelah itu kedua kelompok diamati
selama demam (96jam) lalu dilakukan investigasi selama dirawat
berdasarkan antibody IgM yang diverifikasi oleh ahli patologi dan
dianalisis menggunakan SPSS (V10).

2. Importance
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk melihat efektivitas
pengobatan demam typoid menggunakan obat ceftriaxon dan ciprofloxacin
pada anak-anak terhadap demamnya selama 96 jam. Berdasarkan hsil uji
statistic, penellitian ini memiliki hasil p value sebesar 0,000 yang berarti
hasil bermakna secara statstik. Hasil tersebut menyimpulkan bahwa obat
ceftriakson lebih efektif untuk menurunkan demam pada anak dengan
demam tifod dalam 96 jam dibandingkan dnegan ciprofloksasin.

Perbandingan hasil penelitian juga dilakukan perhitungan relative risk


reduction (RRR) dan absolute risk reduction (ARR) yaitu selisih proporsi
kesembuhan atau kegagalan antara kelompok perlakuan dan kontrol.
Menghitung RRR diperlukan untuk mengetahui angka kegagalan pada
kelompok kontrol (control event rate/CER) dan pada kelompok
eksperimen (experimental event rate/EER). Nilai CER pada penelitian ini
adalah 0,43 dan nilai EER 0,022 sehingga dapat dihitung RRR dengan
rumus (CER-EER)/CER, ditemukan hasil 94%. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa ceftriakson dapat menurunkan kegagalan terapi
sebanyak 94% dibandingkan dengan obat ciprofloksasin. Selain itu, dapat
juga menggunakan ARR dapat menunjukkan perbedaan aktual antara obat
ceftriakson dan ciprofloksasin. Perhitungan ARR menggunakan rumus
CER-EER yaitu didapatkan hasil 43% yang berarti selisih kegagalan obat
ceftriakson dengan ciprofloksasin sebesar 53%.

Setelah perhitungan di atas, dilakukan perhitungan number needed to treat


(NNT) dan number needed to harm (NNH). Nilai NNT menunjukkan
jumlah pasien yang harus diobati untuk memperoleh tambahan 1 hasil
yang baik atau menghindarkan 1 kegagalan. Sedangkan NNH berarti
jumlah pasien yang diobati untuk menambah 1 orang untuk mendapat efek
yang tidak diinginkan atau efek samping. Perhitungan NNT dengan rumus
1/ARR yaitu 1/0,43=2,3, artinya hanya diperlukan 2-3 orang yang dapat
diberi obat ceftriakson selama 1 tahun untuk dapat menghindarkan 1 orang
mengalami kegagalan terapi. Perhitungan NNH belum dapat dilakukan
karena tidak terdapat data mengenai efek samping terapi yang diberikan.

3. Applicability
 Apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada pasien di
Indonesia?
Ya, hasil dari uji klinis pada jurnal ini dapat diterapkan di Indonesia
terutama di Rumah Sakit di Bandar Lampung. Karena ketersediaan
obat dan kesamaan karakteristik klinis demam typoid yaitu demam,
sakit kepala persisten, nyeri perut, muntah.
BAB IV
KESIMPULAN

1. Persentase keberhasilan penggunaan ceftiraxone sebagai antibiotik


pada demam tifoid adalah 97% dari 44 pasien diterapi menggunakan
ceftriaxone.
2. Persentasi keberhasilan penggunaan ciprofloxacin sebagai antibiotik
pada demam tifoid adalah 56% dari 44 pasien yang diterapi
menggunakan ciprofloxacin
3. Pemakaian antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga
(ceftiraxone) pada demam tifoid memiliki angka kesembuhan demam
lebih tinggi dibandingkan penggunaan antibiotik golongan quinolon
(ciprofloxacin)
4. Terapi antibiotik pada demam tifoid dengan ceftriaxone dapat
diterapkan di indonesia karena kesamaan pola resistensi obat.

Anda mungkin juga menyukai