Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997 di Asia mengakibatkan kondisi

perekonomian di beberapa negara menjadi terpuruk. Indonesia termasuk salah

satu negara yang mengalami keterpurukan akibat krisis ekonomi tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh McKinsey and Co (2002) dalam Pakaryaningsih

(2006), penelitian Lyonnais Securities Asia (CLSA) dalam Setianto (2002), dan

penelitian Indonesian Institute of Corporate Governance (IICG) (2000),

memberikan suatu indikasi yang menyatakan bahwa penyebab terjadinya krisis

ekonomi tahun 1997 adalah karena buruknya corporate governance. Dan

penelitian-penelitian tersebut menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang

paling buruk dalam penerapan corporate governance.


IICG mendefinisikan Governance atau salah satu padanan kata dalam

bahasa Indonesia yaitu Governance, merupakan istilah yang terkait dengan

mekanisme mengarahkan, mengendalikan, baik suatu organisasi/lembaga ataupun

suatu fungsi, agar sesuai dengan tujuannya dan harapan para pihak yang

berkepentingan. Banyak pengertian dan definisi mengenai governance, yang

memiliki cakupan yang luas dan meliputi aspek-aspek yang terkait dengan

pengambilan keputusan, penjabaran ekspektasi, penggunaan kewenangan,

kejelasan pengawasan, pemenuhan akuntabilitas dan pertanggungjawaban,

perencanaan stratejik, pemastian kinerja, kepemimpinan dan manajemen,

keteraturan dan kepatuhan, serta serangkaian proses, mekanisme, dan struktur

yang berlaku.

Istilah governance sebagai konsep tak lepas dari suatu alat atau instrumen
dalam mengarahkan dan mengendalikan organisasi ataupun fungsi melalui

kaidah-kaidah yang sesuai dengan prinsip-prinsip umum tentang penyelenggaraan

organisasi yang baik dan berkelanjutan. Governance secara konsep dianggap

sebagai kebijakan, pedoman, dan aturan yang memastikan fungsi dan tujuan

governance dapat berjalan dengan baik. Sedangkan governance sebagai praktik

terkait dengan seni mengarahkan dan mengendalikan jalannya organisasi melalui

sistem, struktur, proses dan mekanisme yang berjalan dalam rangka menciptakan

nilai dan output sesuai dengan tujuan dan kepentingan para pihak dengan

memperhatikan prinsip umum dan kepatuhan terhadap norma dan aturan yang

berlaku. Praktik governance yang baik merupakan implementasi dari konsep

governance yang mampu menghasilkan output sesuai dengan prinsip dan tujuan

dari governance secara berkelanjutan.

Isu mengenai Corporate Governance (CG) menjadi kembali menarik


setelah beberapa perusahaan besar dan bonafit yang berbasis di Amerika Serikat

seperti Goldman Sachs, Bear Stern, Morgan Stanley, Merrill Lynch, dan Lehman

Brothers, satu per satu tumbang (Koran Tempo, 2009). Sangatlah diluar prediksi,

apabil hal tersebut terjadi di Amerika Serikat, sebagai salah satu negara dengan

angka CGPI (Corporate Governance Perception Index) yang tinggi, hal ini tentu

semakin mengundang pertanyaan sejauh mana sebenarnya peran Corporate

Governance dalam menunjang tujuan-tujuan perusahaan. Survei yang dilakukan

oleh Mc Kinsey and Co (2002) dalam Pakaryaningsih (2006) menunjukkan bahwa

corporate governance telah menjadi perhatian utama investor, khususnya pada

pasar-pasar yang sedang berkembang. Investor akan cenderung menghindari

perusahaan-perusahaan yang memiliki penerapan corporate governance yang

buruk. Penerapan corporate governance dapat dicerminkan dalam nilai


perusahaan yang dilihat dari harga saham perusahaan yang bersangkutan.

Menurut Black et al. (2002) yang melakukan penelitian di Korea, alternatif

penjelasan atas hubungan antara praktek corporate governance dengan nilai

perusahaan menurut penelitian tersebut adalah signaling dan endogenity. Dalam

signaling, praktek corporate governance menyebabkan peningkatan nilai

perusahaan, karena penerapan corporate governance yang baik akan memberikan

sinyal yang positif. Sedangkan endogenity adalah perusahaan yang memiliki nilai pasar tinggi (dengan
alasan apapun) cenderung menerapkan corporate governance

yang lebih baik.

Arsjah (2002) dalam Utama (2005), meneliti hubungan rasio Price to Book

Value dan corporate governance. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan

bahwa pengaruh corporate governance pada kinerja perusahaan adalah belum

konsisten. Selain itu, Sekaredi (2011) melakukan penelitian serupa dengan metode

purposive sample. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 18


perusahaan yang secara konsisten terdaftar sebagai perusahan LQ45 periode tahun

2005 sampai dengan 2009. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya faktor

yang berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan yaitu 1) kepemilikan

institusional, berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan

(CFROA). 2) dewan komisaris independen berpengaruh negatif signifikan

terhadap kinerja keuangan perusahaan. dan 3) dewan komisaris berpengaruh

positif tidak signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan.

Hardikasari (2011) juga melakukan penelitian serupa dengan objek

perusahaan-perusahaan perbankan. Indikator mekanisme Corporate Governance

yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari ukuran dewan direksi, ukuran dewan

komisaris dan ukuran perusahaan terhadap praktik manajemen laba yang

dilakukan oleh industri perbankan di Indonesia. Sampel dalam penelitian tersebut


adalah perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun

2006-2008. Hasil penelitian Hardikasari (2011) ini menujukan bahwa ukuran

dewan direksi berpengaruh negatif secara signifikan terhadap kinerja keuangan

perusahaan, ukuran dewan komisaris berpengaruh positif secara signifikan

terhadap kinerja keuangan perusahaan dan ukuran perusahaan berpengaruh positif

tidak signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan.

Darmawati et al. (2005) juga meneliti hubungan antara Corporate

Governance dan kinerja perusahaan. Penelitian ini menggunakan hasil survei

IICG dan majalah SWA tentang implementasi GCG didalam perusahaan tahun

2001 dan 2002 yaitu CGPI (Corporate Governance Perception Index), sebagai

proksi variabel corporate governance. Sedangkan kinerja perusahaan diukur dengan Return on Equity
(ROE) dan nilai pasar perusahaan (Tobin’s Q). Hasil

penelitian tersebut menunjukkan bahwa variabel Corporate Governance secara

statistik signifikan mempengaruhi ROE, tetapi tidak mempengaruhi Tobin’s Q.


Penelitian lain yang merumuskan tentang hubungan antara penerapan Good

Corporate Governance terhadap kinerja perusahaan adalah penelitian yang

dilakukan oleh Che Hat et al. (2008). Dalam penelitiannya tersebut, Che hat et al.

menggunakan variabel timelines (ketepatwaktuan) dan disclosure (pengungkapan)

sebagai variabel intervening. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak adanya

hubungan yang signifikan antara penerapan Good Corporate Governance dengan

timelines dan disclosure. Selain itu, penelitian ini menemukan pula bahwa

timelines dan disclosure tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja

perusahaan. Namun, penelitian tersebut menemukan bahwa penerapan Good

Corporate Governance memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja

perusahaan. Dari sekian banyak hasil penelitian mengenai mekanisme Corporate

Governance terhadap kinerja tersebut, terlihat hasil yang cukup beragam. Akan
tetapi, hasil yang beragam tersebut juga dipengaruhi perbedaan variabel yang

digunakan oleh masing-masing peneliti (Darmawati, 2005). Adanya perbedaan

hasil penelitian tersebut disebabkan oleh perbedaan variabel yang digunakan para

peneliti untuk merefleksikan beragamnya indikator mekanisme Corporate

Governance dikarenakan luasnya definisi mekanisme Corporate Governance

tersebut.

Selain keterkaitan antara corporate governance dengan nilai perusahaan,

salah satu isu yang berkaitan dengan corporate governance adalah komposisi dari

dewan (board). Adanya organ-organ perusahaan (dewan komisaris dan direksi)

merupakan bukti pengaplikasian prinsip Good Corporate Governance dalam

tataran yang minimal (Surya dan Yustiavandana 2006). Carter et al. (2003)

melakukan penelitian tentang keterkaitan antara persebaran dalam anggota dewan

(board diversity), nilai perusahaan, dengan corporate governance. Persebaran


anggota dewan dilihat dari persentasi wanita dalam dewan, ras minoritas (African

Americans, Asians dan Hispanics), dan proporsi outside directors. Dengan

mengambil sampel perusahaan-perusahaan yang tercatat dalam Fortune di Amerika Serikat, hasil
penelitian menemukan adanya pengaruh positif signifikan

antara fraksi wanita dan minoritas dalam jajaran dewan dengan nilai perusahaan.

Adanya persebaran dalam anggota dewan dipercaya dapat mempengaruhi

nilai perusahaan, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang (Cox

dan Blake 1991, Robinson dan Dechant (1997), sebagaimana dikutip oleh Carter

et al. 2003). Persebaran dewan (board diversity) diduga memberikan dampak

yang positif. Semakin besar persebaran dalam anggota dewan dapat menimbulkan

semakin banyak konflik, namun persebaran tersebut dapat memberikan alternatif

penyelesaian terhadap suatu masalah yang semakin beragam daripada anggota

dewan yang homogen. Selain itu, keragaman dalam dewan direksi memberikan
karakteristik yang unik bagi perusahaan yang dapat menciptakan nilai tambah.

Berdasarkan penelitian dari Kramer, Konrad dan Erkut (2006) dalam

Lukviarman (2004), ditemukan hasil bahwa wanita dapat membuat perubahan di

dalam lingkup dewan direksi suatu perusahaan. Adams dan Ferreira (2004)

menyatakan kehadiran wanita sebagai dewan direksi dapat memberikan pola

tersendiri pada komposisi dewan dan memiliki kecenderungan memberikan hasil

yang lebih sukses dibandingkan dengan komposisi dewan direksi yang homogen,

selain itu wanita secara inheren dinilai lebih stabil dibandingkan pria. Untuk itu,

dengan adanya wanita di dalam jajaran direksi, dapat membantu mengambil

keputusan yang lebih tepat dengan risiko yang lebih rendah.

Robinson dan Dechant (1997) sebagaimana dikutip dalam Carter et al.

(2003), memberikan beberapa proposisi dan bukti empiris yang berkaitan dengan

persebaran dalam dewan. Pertama, persebaran dalam dewan memberikan


pemahaman yang lebih baik tentang marketplace, dimana hal ini berhubungan

dengan demografi supplier dan customer perusahaan yang juga beragam. Ke dua,

persebaran dapat meningkatkan kreativitas dan inovasi. Ke tiga, persebaran

menghasilkan alternatif pemecahan masalah yang efektif. Heterogenitas dalam

dewan dapat menimbulkan semakin banyak konflik, namun alternatif pemecahan

terhadap suatu masalah akan semakin banyak dan dapat menimbulkan kecermatan

dalam mengkaji konsekuensi yang mungkin dihadapi dari alternatif yang diambil.

Ke empat, persebaran dapat meningkatkan efektivitas dalam kepemimpinan

perusahaan. Hal ini berkaitan dengan sudut pandang dalam anggota dewan,

dimana anggota yang homogen akan menyebabkan perspektif terhadap sesuatu

hal akan menjadi lebih sempit jika dibandingkan dengan anggota dewan yang

beragam. Ke lima, persebaran dapat meningkatkan hubungan global yang semakin

efektif.
Penelitian mengenai hubungan antara Corporate Governance dengan

kinerja memang telah banyak dilakukan, namun dari sekian banyak penelitian

tersebut terlihat hasil yang masih cukup beragam. Penelitian ini ingin menguji

kembali penelitian Carter et al. (2003) tentang pengaruh board diversity terhadap

kinerja perusahaan, dengan menggunakan sampel perusahaan manufaktur yang

terdaftar di BEI tahun 2011. Kondisi dan karakteristik perusahaan di Indonesia

dan di Amerika tentu berbeda, karena itu diduga akan ditemukan hasil penelitian

yang berbeda pula. Selain itu, memodifikasi penelitian Carter et al. (2003),

dimana mereka menggunakan usia, ukuran dewan direksi, keberadaan dewan

direksi wanita, dan keberadaan dewan direksi minoritas, sebagai proksi dari board

diversity, penelitian ini menggunakan faktor gender, asal kewarganegaraan, latar

belakang pendidikan, dan tenure (lama menjabat) masing-masing anggota dewan


direksi, sebagai proksi dari board diversity. Penelitian ini juga menggunakan

variabel kontrol frekuensi rapat direksi, ukuran dewan direksi, ukuran perusahaan,

Debt to Equity Ratio (DER), dan Return on Equity (ROE). Berdasarkan

penjelasan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul

“Analisis Pengaruh Board of Director Diversity terhadap Kinerja Perusahaan

dalam Perspektif Corporate Governance (Studi Empiris pada Perusahaan

Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek tahun 2011)”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka permasalahan

yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:

Apakah gender dalam dewan direksi berpengaruh signifikan terhadap

kinerja perusahaan (yang diproksikan dengan PBV) dalam perspektif

corporate governance pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek


Indonesia tahun 2011?

2) Apakah asal kewarganegaraan dewan direksi berpengaruh signifikan

terhadap kinerja perusahaan (yang diproksikan dengan PBV) dalam

perspektif corporate governance pada perusahaan yang terdaftar di Bursa

Efek Indonesia tahun 2011?

3) Apakah latar belakang pendidikan anggota dewan direksi berpengaruh

signifikan terhadap kinerja perusahaan (yang diproksikan dengan PBV)

dalam perspektif corporate governance pada perusahaan yang terdaftar di

Bursa Efek Indonesia tahun 2011?

4) Apakah lama masa menjabat (tenure) anggota dewan direksi berpengaruh

signifikan terhadap kinerja perusahaan (yang diproksikan dengan PBV)

dalam perspektif corporate governance pada perusahaan yang terdaftar di

Bursa Efek Indonesia tahun 2011?


1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan secara empiris terkait

rumusan masalah diatas, yaitu:

1) Mengetahui pengaruh gender dalam dewan direksi terhadap kinerja

perusahaan (yang diproksikan dengan PBV) dalam perspektif corporate

governance pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun

2011.

2) Mengetahui pengaruh asal kewarganegaraan dewan direksi terhadap

kinerja perusahaan (yang diproksikan dengan PBV) dalam perspektif

corporate governance pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia tahun 2011.

3) Mengetahui pengaruh latar belakang pendidikan anggota dewan direksi


terhadap kinerja perusahaan (yang diproksikan dengan PBV) dalam perspektif corporate governance
pada perusahaan yang terdaftar di Bursa

Efek Indonesia tahun 2011.

4) Mengetahui pengaruh lama masa jabatan (tenure) anggota dewan direksi

terhadap kinerja perusahaan (yang diproksikan dengan PBV) dalam

perspektif corporate governance pada perusahaan yang terdaftar di Bursa

Efek Indonesia tahun 2011.

1.4 Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini, maka diharapkan dapat bermanfaat bagi

berbagai kalangan seperti akademisi maupun praktisi.

1) Akademisi

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

dalam pengembangan ilmu ekonomi, khususnya pada bidang ilmu

akuntansi. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan


referensi dan perbandingan untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang

berkaitan dengan board diveristy.

2) Praktisi

- Pihak perusahaan/manajemen

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi

untuk pengambilan kebijakan oleh manajemen perusahaan terkait

penerapan governance perusahaan, khususnya pertimbangan board

diversity.

- Investor dan/atau calon investor

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan dapat memberikan

tambahan informasi yang berkaitan dengan keputusan investasi yang

akan mereka lakukan, terutama pertimbangan tentang board


diversity dalam perusahaan.

Sistematika Penulisan

Pada penelitian ini, penulisan akan dibagi menjadi 5 bab. Secara umum,

sistematika penulisan ini adalah sebagai berikut:

• BAB I (PENDAHULUAN)

Pada bab ini akan diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan, dan manfaat penelitian, serta sitematika penulisan dari

setiap bab penelitian.

• BAB II (TINJAUAN PUSTAKA)

Pada bab ini menjelaskan tentang tinjauan pustaka yang terkait dengan

topik penelitian yang mencakup landasan teori dan mendukung

pembahasan yang diperoleh dari berbagai literatur.


• BAB III (METODOLOGI PENELITIAN)

Pada bab ini menjelaskan tentang metode penelitian, kerangka pemikiran,

variabel dan pengukurannya, definisi operasional variabel, metode

pengumpulan data dan metode analisis yang diterapkan dalam penelitian.

• BAB IV (ANALISIS DAN PEMBAHASAN)

Pada bab ini menjelaskan deskripsi objek penelitian secara singkat dan

analisis yang meliputi faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapam

tanggung jawab sosial serta hubungannya terhadap pengungkapan

tanggung jawab sosial.

• BAB V PENUTUP

Pada bab ini menjelaskan tentang kesimpulan berdasarkan analisa dan

pembahasan yang telah dibuat, serta memberikan saran-saran yang

diharapkan dapat bermanfaat dan menjadi bahan pertimbangan serta


pemikiran bagi perusahaan dan pihak yang berkepentingan.
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Corporate Governance dan Agency Theory

Perubahan lingkungan yang sangat cepat, terutama dalam lingkungan

dunia usaha semakin menuntut pentingnya penerapan good corporate governance

dalam suatu perusahaan. Corprorate Governance merupakan seperangkat

peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak

kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan intern dan

ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan

kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan (OECD,

1999). Ariyoto (2000) mengungkapkan banyak cara untuk mengkaji dan

memahami corporate governance, salah satunya adalah menggunakan sudut

pandang teori agensi (agency theory).


Jensen dan Meckling (1976) mengemukakan teori keagenan menjelaskan

bahwa kepentingan manajemen dan kepentingan pemegang saham seringkali

bertentangan, sehingga bisa menyebabkan terjadinya konflik diantara keduanya.

Menurut Tjager et al. (2004), agency theory menjelaskan tentang hubungan antara

pihak yang mendelegasikan pengambilan keputusan (principal/pemilik/pemegang

saham) dengan pihak yang menerima pendelegasian tersebut

(agen/direksi/manajemen). Agency Theory memfokuskan pada penentuan kontrak

yang paling efisien yang mempengaruhi hubungan prinsipal dan agen. Terdapat

beberapa asumsi yang membangun teori ini (Ross (1973) dalam Rahma (2007)):

1. Agency Conflict

Terdapat kemungkinan konflik dalam hubungan antara prinsipal dan

agen (agency conflict), konflik timbul sebagai akibat keinginan


manajemen (agen) untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan

kepentingannya yang dapat mengorbankan kepentingan pemegang saham principle) untuk memperoleh
return dan nilai jangka panjang perusahaan.

Agency conflict timbul karena:

a) Moral Hazard

Manajemen memilih investasi yang paling sesuai dengan

kemampuan dirinya dan bukan yang paling menguntungkan bagi

perusahaan. Misalnya investasi yang bisa meningkatkan nilai

individu manajer walaupun biaya penugasannya tinggi, sehingga

para manajer akan berada pada posisi untuk mengekstrak

remunerasi yang tinggi dari perusahaan.

b) Earning Retention

Manajemen cenderung mempertahankan tingkat pendapatan

perusahaan yang stabil, sedangkan pemegang saham lebih


menyukai distribusi kas yang lebih tinggi melalui beberapa peluang

investasi internal yang positif.

c) Risk Aversion

Manajemen cenderung mengambil posisi aman untuk mereka

sendiri dalam mengambil keputusan investasi. Dalam hal ini,

mereka akan mengambil keputusan investasi yang sangat aman dan

masih dalam jangkauan kemampuan manajemen. Mereka akan

menghindari keputusan investasi yang dianggap menambah risiko

bagi perusahaan walaupun mungkin hal itu bukan pilihan terbaik

bagi perusahaan.

d) Time-Horizon

Manajemen cenderung hanya memperhatikan cashflow perusahaan


sejauh denhgan waktu penugasan mereka. Hal ini dapat

menimbulkan bias dalam pengambilan keputusan yaitu berpihak pada proyek jangka panjang dengan
pengembalian NPV positif

yang jauh lebih besar.

2. Agency Problem

Asumsi dasar lainnya yang membangun agency theory adalah

agency problem yang timbul sebagai akibat adanya kesenjangan antara

kepentingan pemegang saham sebagai pemilik dan manajemen sebagai

pengelola. Pemilik memiliki kepentingan agar dana yang diinvestasikan

mendapat return maksimal, sedangkan manajer berkepentingan terhadap

perolehan insentif atas pengelolaan dana pemilik.

Sistem governance sebuah perusahaan akan menjembatani adanya

pemisahan kepentingan antar pemilik dan pengelola didalam suatu

perusahaan khususnya dalam hal tugas, wewenang dan fungsi-fungsi


lainnya. Pemisahan ini menyebabkan fungsi masing-masing menjadi jelas

dimana pemilik yang mengharapkan aset yang diinvestasikannya

berkembang baik dengan menghasilkan laba, sedangkan pengelola akan

menjaga setiap aset yang dikelolanya dan mempertanggungjawabkannya

kepada pemilik/pemegang saham.

Agency theory muncul berkaitan dengan fenomena terpisahnya

kepemilikan perusahaan dengan pengelolaan. Pemilik sebagai pemasok

modal perusahaan mendelegasikan kewenangan atas pengelolaan

perusahaan kepada professional managers. Akibatnya, kewenangan

menggunakan resources perusahaan sepenuhnya ada di tangan para

eksekutif. Pemegang saham mengharapkan manajemen bertindak secara

profesional dalam mengelola perusahaan. Setiap keputusan yang diambil


seharusnya didasarkan pada kepentingan pemegang saham dan resources

yang ada digunakan semata-mata untuk kepentingan peningkatan kinerja

dan nilai perusahaan. Meskipun demikian, yang sering terjadi adalah

bahwa keputusan yang diambil oleh manajemen tidak semata-mata untuk kepentingan perusahaan
tetapi jugan untuk kepentingan para eksekutif.

Bahkan dalam banyak kasus, keputusan dan tindakan yang diambil

seringkali hanya menguntungkan eksekutif dan merugikan perusahaan.

Menurut Jensen dan Meckling (1976), perbedaan kepentingan antara

manajer dan pemegang saham sangat rentan terjadi. Penyebabnya karena

para pengambil keputusan tidak perlu menanggung resiko akibat adanya

kesalahan dalam pengambilan keputusan bisnis, begitu pula jika mereka

tidak dapat meningkatkan nilai perusahaan. Dengan kata lain, manajemen

mempunyai kepentingan yang berbeda dengan kepentingan pemilik.

Timbulnya konflik keagenan menuntut penerapan suatu sistem insentif dan


governance yang sesuai yang dapat mengatasi hal ini (Jensen (1999),

dalam Lisa (2006)).

2.2 Corporate Governance

2.2.1 Definisi

Istilah corporate governance pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury

Committee pada tahun 1992 dalam laporannya yang dikenal sebagai Cadbury

Report (Tjager dkk, 2003). Definisi dari Cadbury Committee memandang

corporate governance sebagai:

“Seperangkat aturan yang merumuskan hubungan antara pemegang saham,

kreditur, pemerintah, karyawan, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya baik

internal maupun eksternal sehubungan dengan hak-hak dan tanggung jawab

mereka”.
The Indonesia Institute for Corporate Governance (Supriyitno, 2004)

mendefinisikan corporate governance sebagai berikut:

“Proses dan struktur yang diterapkan dalam menjalankan perusahaan,

dengan tujuan utama meningkatkan nilai pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang
berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau

dengan kata lain suatu sistem yang mengendalikan perusahaan”.

Berdasarkan definisi-definisi diatas, dapat kita simpulkan bahwa corporate

governance pada intinya adalah mengenai suatu sistem, proses dan seperangkat

peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan

(stakeholders) terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham,

dewan komisaris, dan dewan direksi, demi tercapainya tujuan organisasi.

Corporate governance ditujukan untuk mengatur hubungan-hubungan ini dan

mencegah terjadinya kesalahan-kesalahansignifikan dalam strategi korporasi dan

untuk memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki


dengan segera.

2.2.2 Prinsip-prinsip Corporate Governance

Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI), sebuah organisasi

profesional non-pemerintah yang bertugas mensosialisasikan praktek good

corporate governance, menjabarkan prinsip-prinsip utama dalam corporate

governance sebagai berikut:

1. Fairness (Kewajaran)

Perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham, terutama kepada

pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing dengan

keterbukaan informasi yang penting serta melarang pembagian untuk

pihak sendiri dan perdagangan oleh orang dalam (insider trading).

2. Accountability (Akuntabilitas)
Tanggung jawab manajemen melalui pengawasan yang efektif berdasarkan

balance of power antara manajer, pemegang saham, dewan komisaris, dan

auditor. Prinsip ini merupakan bentuk pertanggungjawaban manajemen

kepada perusahaan dan para pemegang saham.

Responsibility (Pertanggungjawaban)

Peranan pemegang saham harus diakui sebagaimana ditetapkan oleh

hukum dan kerjasama yang aktif antara perusahaan serta para pemegang

kepentingan dalam menciptakan kekayaan, lapangan kerja dan perusahaan

yang sehat dari aspek keuangan. Hal ini merupakan tanggung jawab

korporasi sebagai anggota masyarakat yang tunduk pada hukum dan

bertindak dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat

sekitarnya.

4. Disclosure and Transparency (Keterbukaan)


Hak-hak para pemegang saham harus diberi informasi dengan benar dan

tepat waktu, sehingga dapat berguna dan berperan serta dalam

pengambilan keputusan mengenai perubahan-perubahan yang mendasar

atas perusahaan, dan turut memperoleh bagian dari keuntungan

perusahaan.

2.2.3 Sistem Corporate Governance dan Board Governance

Menurut Tjager et al. (2003), ada beberapa jenis sistem corporate

governance yang berkembang di berbagai negara. Ini mencerminkan adanya

perbedaan tradisi, budaya, kerangka hukum, praktik bisnis, kebijakan, dan

lingkungan ekonomik-institusional dimana sistem yang berbeda tersebut

berkembang. Pembahasan mengenai berbagai sistem corporate governance

didominasi oleh dua isu penting: apakah perusahaan harus dikelola dengan singleboard system atau two
board system, dan apakah para anggota dewan (dewan

komisaris dan dewan direksi) sebaiknya terdiri atas para “outsiders” atau lebih
terkonsentrasi pada “insiders”.

2.2.3.1 Single-board system dan Two board system

Model board structure perusahaan-perusahaan di Inggris dan Amerika

serta negara-negara lain yang dipengaruhi langsung oleh model Anglo-Saxon,

pada umumnya berbasis single-board system, dimana keanggotaan dewan

komisaris dan dewan direksi tidak dipisahkan. Dalam model ini, anggota dewan

komisaris juga merangkap anggota dewan direksi, dan kedua dewan ini dirujuk

sebagai board of directors.

Secara konseptual, model two tier system dengan tegas memisahkan

keanggotaan dewan komisaris sebagai pengawas dan dewan direksi sebagai

eksekutif korporasi. Perusahaan-perusahaan di Indonesia pada umumnya berbasis

two-tier system seperti kebanyakan perusahaan di Eropa. Hanya saja sistem twotier ala Eropa
menempatkan wakil dari karyawan (employee) pada level dewan

direksi (Ali, 2009).


Jika kita soroti lebih mendalam implementasi two-tier system yang dianut

di Indonesia, banyak fakta-fakta yang menunjukkan bahwa fungsi board (dewan)

didalam menerapkan good corporate governance masih belum efektif. Pertama,

landasan hukum yang mengatur fungsi, kedudukan, dan tanggung jawab hukum

masing-masing board masih membingungkan dan tidak menyatakan secara tegas.

UU PT menekankan bahwa fungsi Dewan Komisaris adalah pengawasan dan

pemberian nasehat kepada Direksi. Sedangkan UU BUMN menekankan kepada

pengawasan atas Direksinya (individunya). Tidak mustahil apabila Komisaris

mengalami kebingungan dalam menjalankan perannya. Fakta kedua adalah masih

banyak persepsi yang salah mengenai kedudukan Komisaris. Fungsi pengawasan

sering dipersepsikan lebih tinggi dari fungsi eksekutif. Sehingga seringkali

diartikan Komisaris memiliki kedudukan di atas Direksi. Padahal sebenarnya


tidak demikian. Kedudukan keduanya sama (sejajar), hanya saja keduanya

memiliki fungsi yang berbeda.

2.2.3.2 Model dan Sistem Governance

Penerapan corporate governance di berbagai negara di dunia, tidak dapat

disamakan. Perbedaan dasar tidak saja dalam struktur governance di setiap

perusahaan, tetapi juga diakibatkan oleh pengaruh budaya, sosial politik, serta

model hukum perusahaan yang diterapkan oleh suatau negara dimana perusahaan

tersebut berada. Oleh karena itu negara dikelompokkan berdasarkan atas hukum

perusahaan yang digunakan (Jensen dan Warner (1988) dalam Syakhroza (2005))

yaitu:

1) Model Anglo-Saxon, yang mempunyai hukum komersial yang berbasis

“common-law tradition”.

2) Model Continental European, yang mempunyai hukum komersial yang


berbasis “civil-law tradition”.

Selama ini konsep corporate governance dan berbagai aturan

implementasinya (code of best practice) diadopsi dari negara-negara barat.

Berdasarkan dua model governance sebelumnya, sistem governance

diklasifikasikan menjadi dua sistem (Carati dalam Syakhroza, 2005) yaitu:

1) Yang berdasarkan pada dominasi pasar (market dominated)

2) Yang berdasarkan pada dominasi bank (bank dominated)

Sistem yang bercirikan dominasi pasar biasanya digunakan oleh negaranegara yang mengadopsi model
Anglo-Saxon, dan di dalam sistem ini pasar modal

memegang peranan penting dalam perekonomiannya. Pada negara yang menganut

sistem ini mekanisme pengendalian oleh kekuatan pasar bertindak sebagai pusat

dari sistem pengendalian (control system) korporasi yang mereka anut.

Mekanisme governance yang digunakan disebut juga dengan sistem kontrol pihak

eksternal (outsider control system). Sedangkan negara-negara yang menganut


model Continental European (termasuk Jepang dan Indonesia), secara umum

dikategorikan sebagai penganut sistem governance yang didominasi oleh

perbankan. Pada sistem ini peranan mekanisme pasar tidaklah signifikan,

sehingga penganut sistem ini tidak menyadarkan diri pada kekuatan pasar sebagai alat kontrol dalam
mekanisme pengendaliannya. Sehingga sering disebut sebagai

“insider dominated control” yang didasarkan pada karakteristik relatif stabil dan

terkonsentrasinya kepemilikan perusahaan pada sekelompok orang.

2.3 Board Governance

Good corporate governance berfokus kepada dewan direksi tentang

bagaimana melakukan pengelolaan sumber daya organisasi dalam rangka

pencapaian tujuan organisasi. Kakabadse, kakabadse dan Kouzman (2001)

menyimpulkan ada beberapa atribut yang harus dimiliki agar board diversity

menjadi efektif, yaitu: board composition, board characteristics, board structure ,


dan board process.

• Board composition, mengacu pada jumlah direksi, demografi (dari

dalam/luar perusahaan, perempuan/laki-laki)

• Board characteristic, berhubungan dengan latar belakang direksi,

pengalaman masa kerja, pengalaman fungsional, independensi,

kepemilikan saham, dan variabel yang mempengaruhi kinerja mereka.

• Board structure, meliputi efisiensi organisasi board, peran direksi dalam

anak perusahaan, komite-komite komisaris, kepemimpinan dan arus

informasi antara direksi.

• Board process, mengacu pada aktivitas pengambilan keputusan,

gaya/style direksi, frekuensi/lamanya rapat direksi, dan kultur dari

evaluasi kinerja direksi.

Jika perusahaan memiliki board diversity yang baik, maka perusahaan


akan memiliki kinerja yang baik pula. Board diversity merupakan salah satu

faktor input kunci guna menghantarkan optimalisasi pengelolaan sumber daya

organisasi (Kakabadse, kakabadse dan Kouzman, 2001). Board diversity yang

baik harus didukung oleh instrumen pengoperasian secara jelas yaitu dengan adanya Best Practice dan
Code of Conduct Corporate Governance. Kedua

instrumen ini sangat penting penting bagi board supaya mereka lebih bisa

bertindak secara independen dalam mengelola suber daya perusahaan.

Corporate governance berfokus kepada dewan direksi karena dewan

direksi adalah yang bertanggung jawab dan memiliki otoritas penuh dalam

membuat keputusan tentang bagaimana melakukan pengarahan, pengendalian, dan

pengawasan atas pengelolaan sumber daya sesuai dengan tujuan perusahaan.

Komposisi dewan direksi, akan berdampak pada kualitas keputusan dan kebijakan

yang dibuatnya dalam mengefektifkan pencapaian tujuan organisasi. Jika jumlah


anggota dewan direksi terlalu sedikit mungkin saja berpengaruh terhadap

optimalisasi kualitas keputusan dan lemahnya kontrol terhadap keputusan.

Disamping itu, corporate governance akan semakin baik jika komposisi dewan

direksi bersifat heterogen sehingga akan saling melengkapi kompetensi dan

kredibilitas satu dengan yang lainnya (Syakhroza, 2004). Dengan demikian, board

diversity merupakan salah satu faktor input kunci guna menghantarkan

optimalisasi penggunaan sumber daya guna mencapai tujuan organisasi. Untuk

dapat menelaah lebih jauh peranan dewan (board) dalam meningkatkan

performance perusahaan, penting untuk diketahui tentang sistem, tugas, dan

kebijakan regulasi mengenai dewan itu sendiri, baik dewan komisaris maupun

dewan direksi.

2.3.1 Dewan Komisaris

Dalam Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) sebagai


pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia, fungsi dewan komisaris

adalah sebagai berikut:

2.3.1.1 Prinsip dasar

Dewan komisaris sebagai organ perusahaan bertugas dan

bertanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan

nasihat kepada direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan GCG.

Namun demikian, dewan komisaris tidak boleh turut serta dalam mengambil

keputusan operasional.

2.3.1.2 Fungsi pengawasan dewan komisaris

Dewan komisaris hanya dapat memiliki wewenang untuk melakukan

fungsi pengawasan. Dewan komisaris tidak boleh turut serta dalam pengambilan

keputusan operasional. Dalam hal dewan komisaris mengambil keputusankeputusan mengenai hal-hal
yang ditetapkan dalam anggaran dasar atau peraturan

perundangundangan, pengambilan keputusan tersebut dilakukan dalam funsinya


sebagai pengawas, sehingga keputusan kegiatan operasional tetap menjadi

tanggung jawab direksi. Kewenangan yang ada pada dewan komisaris tetap

dilakukan dalam fungsinya sebagai pengawas dan penasihat.

2.3.2 Dewan Direksi

Dalam Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) sebagai

pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia, fungsi dewan direksi

adalah sebagai berikut:

2.3.2.1 Prinsip dasar

Direksi sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggungjawab secara

kolegial dalam mengelola perusahaan. Masing-masing anggota direksi dapat

melaksanakan tugas dan mengambil keputusan sesuai dengan pembagian tugas

dan wewenangnya. Namun, pelaksanaan tugas oleh masing-masing anggota


direksi tetap merupakan tanggung jawab bersama. Kedudukan masing-masing

anggota direksi termasuk direktur utama adalah setara. Agar pelaksanaan tugas

direksi dapat berjalan secara efektif, perlu dipenuhi prinsip-prinsip berikut:

1. Komposisi direksi harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan

pengambilan keputusan secara efektif, tepat, dan cepat, serta dapat

bertindak independen.

2. Direksi harus profesional yaitu berintegritas dan memiliki pengalaman

serta kecakapan yang diperlukan untuk menjalankan tugasnya.

3. Direksi bertanggungjawab terhadap pengelolalaan perusahaan agar dapat

menghasilkan keuntungan (profitability) dan memastikan kesinambungan

usaha perusahaan.

2.3.2.2 Fungsi Direksi

Fungsi pengelolaan perusahaan oleh direksi mencakup 5 (lima) tugas


utama yaitu kepengurusan, manajemen risiko, pengendalian internal, komunikasi,

dan tanggung jawab sosial.

2.4 Faktor-faktor Board of Director Diversity yang Mempengaruhi

Pengukuran Kinerja Perusahaan

Board diversity yang telah tertata dengan baik akan selalu concern

terhadap bagaimana operasional perusahaan selaras dengan tujuan organisasi

(Kakabadse, Kakabadse dan Kouzmin, 2001). Untuk itu maka board akan

menyiapkan suatu perangkat pengukuran kinerja yang berhubungan dengan tujuan

organisasi, yang digunakan oleh board sebagai alat untuk pemantauan dan

pengendalian kinerja perusahaan.

Kinerja perusahaan merupakan suatu tampilan perusahaan dalam periode

tertentu. Penilaian kinerja perusahaan adalah penentuan secara periodik efektivitas

operasional suatu organisasi, bagan organisasi, karyawan, berdasarkan sasaran,


standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya (Mulyadi, 1997). Terdapat

dua ukuran yang dapat digunakan untuk menilai kinerja, yaitu ukuran finansial

dan non-finansial. Secara umum ukuran finansial dibedakan menjadi dua, yaitu financial accounting
information dan market based financial performance.

Pengukuran kinerja dengan indikator pasar (market based financial performance)

memiliki keterbatasan sendiri, yaitu terdapatnya perbedaan lingkungan di pasar

modal yang dapat menimbulkan bias pada hasil yang diperoleh, terutama

penelitian pada beberapa negara (Lukviarman, 2004). Sedangkan, ukuran nonfinansial yang sering
digunakan antara lain Economic Value Added dan Balance

Scorecard. Meskipun begitu, terdapat anggapan bahwa ukuran finansial tetaplah

inti dari ukuran kinerja yang sebenarnya, sedangkan ukuran non-finansial

merupakan pelengkap (komplementer) dari ukuran finansial (Lukviarman, 2004).

Sekaredi (2011) melakukan penelitian terhadap faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap kinerja keuangan perusahaan yaitu, 1) kepemilikan institusional,


berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan (CFROA).

2) dewan komisaris independen berpengaruh negatif signifikan terhadap kinerja

keuangan perusahaan. dan 3) dewan komisaris berpengaruh positif tidak

signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan.

Pengukuran kinerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah Price to

Book Value (PBV). PBV merupakan perbandingan antara harga saham dan nilai

buku per saham. Nilai buku per saham diperoleh dari perbandingan total

stakeholders’ equity dan jumlah saham yang beredar.

Frekuensi rapat direksi merupakan jumlah rapat yang diadakan dewan

direksi perusahaan selama tahun 2011. Berdasarkan KEP-117/M-MBU/2002

Tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance, pada pasal 21 ayat (1)

disebutkan bahwa rapat direksi harus diadakan secara berkala, yaitu sekurangkurangnya sekali dalam
sebulan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Vafeas
(1999) menyimpulkan bahwa aktifitas board merupakan dimensi penting, dan

frekuensi rapat yang dilakukan memiliki hubungan positif dengan kinerja operasi

perusahaan. Hal ini juga sejalan dengan Coger et al. (1998) bahwa frekuensi rapat

merupakan sumber yang penting untuk menciptakan efektifitas dari dewan

direksi. Ukuran perusahaan merupakan variabel penduga yang banyak digunakan

untuk menjelaskan variasi pengungkapan dalam laporan tahunan perusahaan.

Ukuran perusahaan dapat didasarkan pada jumlah aktiva, jumlah tenaga kerja,

volume penjualan, dan kapitalisasi pasar (Adiaksa (2007), dalam Dyah (2009)).

Perusahaan besar cenderung menarik perhatian dan menjadi sorotan publik,

sehingga akan mendorong perusahaan tersebut untuk menerapkan struktur

corporate governance yang lebih baik (Durnev dan Kim dalam Darmawati et al.

(2006)). Ukuran Perusahaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah

total assets.
Return on equity (ROE) merupakan tingkat pengembalian atas ekuitas

pemilik perusahaan. Return on equity atau return on net worth mengukur

kemampuan perusahaan memperoleh laba yang tersedia bagi pemegang saham

perusahaan (Agus, 2001). ROE secara eksplisit memperhitungkan kemampuan

perusahaan dalam menghasilkan return bagi pemegang saham biasa setelah

memperhitungkan bunga (biaya hutang) dan biaya saham preferen. Seperti

diketahui, pemegang saham mempunyai klaim sisa atas keuntungan yang

diperoleh perusahaan pertama akan dipakai untuk membayar bunga hutang

kemudian saham preferen baru kemudian ke pemegang saham biasa (Helfert,

1996). Return on equity merupakan rasio yang sangat penting bagi pemilik

perusahaan (the common stockholder), karena rasio ini menunjukkan tingkat

pengembalian yang dihasilkan oleh manajemen dari modal yang disediakan oleh
pemilik perusahaan. Dengan kata lain, ROE menunjukkan keuntungan yang akan

dinikmati oleh pemilik saham. Adanya pertumbuhan ROE menunjukkan prospek

perusahaan yang semakin baik karena berarti adanya potensi peningkatan

keuntungan yang diperoleh perusahaan. Hal ini ditangkap oleh investor sebagai

sinyal positif dari perusahaan sehingga akan meningkatkan kepercayaan investor,

serta akan mempermudah manajemen perusahaan untuk menarik modal dalam

bentuk saham. Apabila terdapat kenaikkan permintaan saham suatu perusahaan,

maka secara tidak langsung akan menaikkan harga saham tersebut di pasar modal

(Irawan, 1996). Debt to equity Ratio merupakan perbandingan antara hutang dengan modal

sendiri, dalam menanggung risiko atau batas perluasan usaha dengan

menggunakan modal pinjaman (Ismaya, 2006), karena DER yang tinggi

mengidentifikasikan bahwa modal usaha yang digunakan lebih banyak

memanfaatkan hutang sehingga akan menurunkan tingkat solvabilitas perusahaan.


Debt to equity ratio mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi

seluruh kewajibannya yang ditunjukkan oleh modal sendiri yang digunakan

sebagai pembayaran hutang. DER mempengaruhi kinerja perusahaan yaitu

semakin tinggi beban maka resiko yang ditangung juga besar. Dengan demikian

debt to equity ratio dapat memberikan gambaran mengenai struktur modal yang

dimiliki oleh perusahaan, sehingga dapat dilihat risiko tidak tertagihnya suatu

hutang. DER mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh

kewajibannya yang ditunjukkan oleh modal sendiri yang digunakan sebagai

pembayaran hutang. DER akan mempengaruhi kinerja perusahaan (Robert Ang,

1997). Semakin tinggi beban/ hutang (DER) maka resiko yang ditanggung juga

besar. Hal ini akan mempengaruhi tingkat kepercayaan investor terhadap

perusahaan dan selanjutnya akan mempengaruhi nilai perusahaan.


Model trade-off mengasumsikan bahwa struktur modal perusahaan

merupakan hasil trade-off dari keuntungan pajak dengan menggunakan hutang

dengan biaya yang akan timbul sebagai akibat penggunaan hutang tersebut

(Hartono, 2003). Esensi trade-off theory dalam struktur modal yang diproksi dengan

DER adalah menyeimbangkan manfaat dan pengorbanan yang timbul sebagai

akibat penggunaan hutang. Sejauh manfaat lebih besar, tambahan hutang masih

diperkenankan. Apabila pengorbanan karena penggunaan hutang sudah lebih

besar, maka tambahan hutang sudah tidak diperbolehkan. Menurut model ini,

penggunaan hutang akan meningkatkan nilai perusahaan tetapi hanya pada titik

tertentu. Setelah titik tersebut, penggunaan hutang justru akan menurunkan nilai

perusahaan. (Husnan, 2000).

Anda mungkin juga menyukai