Tidaklah yang demikian, karena syeh itu banyak hartanya, besar tubuhnya dan lebih
kekuatannya. Tetapi adalah karena lebih pengalamannya sebagai hasil dari akalnya.
Karena itulah anda melihat, orang Turki, orang Kurdi, orang Arab yang bodoh dan orang-
orang lain, meskipun tingkatannya mendekati dengan hewan, adalah dengan tabiatnya
memuliakan syeh-syehnya.
Dari itu, ketika kebanyakan orang-orang yang ingkar mau membunuh Rasulullah ﺻﻠﻰ اﻟﻠﮫ
ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢmaka tatkala pandangan mereka jatuh pada Nabi ﺻﻠﻰ اﻟﻠﮫ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢdan gemetar
mereka dengan sinar wajahnya yang mulia, lalu timbullah ketakutan di hati mereka.
Kelihatan kepada mereka suatu yang bersinar gilang-gemilang atas keelokan wajahnya dari
nur kenabian. Meskipun itu adalah suatu kebathinan dalam diri Nabi ﺻﻠﻰ اﻟﻠﮫ ﻋﻠﯿﮫ
وﺳﻠﻢ.sebagaimana kebathinannya akal.
Kemuliaan akal itu dapat diketahui dengan mudah. Hanya maksud kami di sini hendak
membentangkan hadits-hadits dan ayat-ayat yang menyebutkan kemuliaan akal itu.
1
Dan Allah Ta'ala menamakan ilmu yang diperoleh dari akal itu “ruh, wahyu dan hidup.
ﻚ رُوﺣًﺎ ِﻣ ْﻦ أَ ْﻣ ِﺮﻧَﺎ
َ ﻚ أَ ْو َﺣ ْﯿﻨَﺎ إِﻟَ ْﯿ
َ َِو َﻛ َﺬﻟ
Wa kadzaalika auhainaa ilaika ruuhan min amrinaa
"Begitulah Kami wahyukan kepada engkau وح ً ُرr u h itu dengan perintah Kami":(S.
Asy-Syura, ayat 52).
ِ ﺎن َﻣ ْﯿﺘًﺎ ﻓَﺄَﺣْ ﯿَ ْﯿﻨَﺎهُ َو َﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎ ﻟَﮫُ ﻧُﻮرًا ﯾَ ْﻤ ِﺸﻲ ﺑِ ِﮫ ﻓِﻲ اﻟﻨﱠ
ﺎس َ أَ َو َﻣ ْﻦ َﻛ
Awaman kaana maitan fa-ahyainaahu wa ja'alnaa lahuu nuuran yamsyii bihii finnaasi
"Apakah orang-orang yang sudah mati, kemudian Kami hidupkan dan Kami berikan
kepadanya cahaya yang terang, dengan itu dia dapat berjalan di tengah-tengah
manusia ". (S. Al-An'am, ayat 122).
ِ ت إِﻟَﻰ اﻟﻨﱡ
ﻮر ﯾ ُْﺨ ِﺮ ُﺟﮭُ ْﻢ ِﻣ َﻦ ﱡ
ِ اﻟﻈﻠُ َﻤﺎ
Yukhrijuhum minadh dhulumaati ilan nuur
"Dikeluarkan mereka oleh Tuhan dari kegelapan (kebodohan) kepada nur-cahaya
(ilmu pengetahuan)". (S.Al-Baqarah, ayat 257).
2
Kalau anda bertanya, akal itu kalau dia sifat ('aradh), maka bagaimanakah dijadikan
sebelum tubuh? Dan kalau dia zat (jauhar), maka bagaimanakah jauhar berdiri sendiri dan
tidak berpihak?
Ketahuilah kiranya, bahwa ini sebahagian dari ilmu mukasyafah. Maka tidak layak
diterangkan dengan ilmu mu'amalah. Dan maksud kami sekarang menerangkan ilmu
mu'amalah.
Dari Anas ra. bahwa dia menerangkan : "Suatu rombongan memujikan seorang laki-laki di
sisi Nabi saw. dengan bersangatan sekali.
Lalu Nabi menegur : "Bagaimanakah akal orang itu?".
Menjawab rombongan tadi : "Kami menerangkan kepada engkau, tentang kesungguhannya
pada beribadah dan bermacam-macam kebajikan lain. Dan engkau menanyakan kami
tentang akal?
Maka menjawab Nabi saw. :
"Sesungguhnya orang bebal itu memperoleh lebih banyak dengan kebodohannya daripada
kedhaliman orang yang dholim. Sesunguhnya pada hari esok, terangkatlah hamba Allah itu
ke tingkat tinggi pada sisi Tuhannya menurut tingkat akal pikirannya". (Dirawikan Ibnul
Mahbar Dan At Tirmidzi Secara Ringkas)
ﻣﺎ اﻛﺘﺴﺐ رﺟﻞ ﻣﺜﻞ ﻓﻀﻞ ﻋﻘﻞ ﯾﮭﺪي ﺻﺎﺣﺒﮫ إﻟﻰ ھﺪى وﯾﺮده ﻋﻦ ردى
وﻣﺎ ﺗﻢ إﯾﻤﺎن ﻋﺒﺪ وﻻ اﺳﺘﻘﺎم دﯾﻨﮫ ﺣﺘﻰ ﯾﻜﻤﻞ ﻋﻘﻠﮫ
Maktasaba rajulun mitsla fadlli 'aqlin yahdii shaahibahu ilaa hudan wa yarudduhu 'an
radan wa maa tamma iimaanu 'abdin wa lasta-qaama diinuhu hattaa yakmula 'aqluhu
"Tidak adalah usaha seseorang seperti keutamaan akal, yang memberi petunjuk
kepada yang empunya akal itu kepada petunjuk dan menarikkannya dari jalan yang
hina. Tidak sempurnalah iman seseorang dan tidak berdiri tegak agamanya sebelum
akalnya itu sempurna". (Dirawikan Ibnul Mahbar dari Umar)
إن اﻟﺮﺟﻞ ﻟﯿﺪرك ﺑﺤﺴﻦ ﺧﻠﻘﮫ درﺟﺔ اﻟﺼﺎﺋﻢ اﻟﻘﺎﺋﻢ وﻻ ﯾﺘﻢ ﻟﺮﺟﻞ ﺣﺴﻦ
ﺧﻠﻘﮫ ﺣﺘﻰ ﯾﺘﻢ ﻋﻘﻠﮫ ﻓﻌﻨﺪ ذﻟﻚ ﺗﻢ إﯾﻤﺎﻧﮫ وأطﺎع رﺑﮫ وﻋﺼﻰ ﻋﺪوه إﺑﻠﯿﺲ
Innar rajula layudriku bihusni khuluqihi darajatash shaaimil qaa-i-mi wa laa yatimmu
Iirajulin husnu khuluqihi hattaa yatimma 'aqlu-hu fa-'inda dzaalika tamma iimaanuhu wa
athaa'a rabbahu wa 'ashaa 'aduwwahu ibliis
"Seseorang akan mengetahui dengan kebagusan budinya derajat orang yang berpuasa
dan menegakkan shalat. Dan tidaklah sempurna kebagusan budi seseorang, sebelum
sempurna akalnya. Ketika itu, barulah sempurna imannya. Ia menta'ati Tuhannya
dan mendurhakai musuhnya Iblis".(Dirawikan Ibn Mahbar dari Amr Bin Syuib)
Dari Abu Sa'id Al-Khudri ra. bahwa Nabi ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ.bersabda :
"Tiap-tiap sesuatu itu mempunyai tiang. Tiang orang mu'min ialah akalnya. Menurut tingkat
akalnya, beradalah ibadahnya. Apakah kamu tidak mendengar perkataan orang-orang
dhalim dalam neraka:"Jikalau adalah dahulu kami mendengar atau kami berakal, maka
tidaklah kami ini menjadi isi neraka (Dirawikan Ibn Mahbar dari Abi Said)
3
Dari Umar ra. bahwa Umar bertanya kepada Tamim Ad-Dari : "Apakah yang mulia
padamu?". Menjawab Tamim : "Akal !".
Maka menyambung Umar : "Benar engkau! Aku telah bertanya kepada Rasulullah saw.
seperti yang aku tanyakan kepadamu tadi. Maka menjawab Nabi ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ. seperti yang
kamu jawab. Kemudian bersabda Nabi ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ.: "Bahwa aku telah bertanya kepada
Jibril as. : "Apakah yang mulia'Jibril as. menjawab : " اﻟﻌﻘﻞAkal!". (Dirawikan Ibnu Mahbar
dari Umar R.a)
Dari Al-Barra bin 'Azib ra., di mana Al-Barra' berkata : "Pada suatu hari banyaklah
persoalan yang diajukan kepada Rasulullahﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ.Maka Rasulullah ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ
menjawab : "Hai Manusia! Tiap-tiap sesuatu itu ada kenderaannya. Dan kenderaan
manusia itu akalnya. Yang terbaik dalil dan pengetahuan dengan keterangan, ialah yang
terlebih dari kamu akalnya".
Dari Abu Hurairah ra. bahwa Abu Hurairah menerangkan : "Tatkala Nabi ﺻﻠﻰ اﻟﻠﮫ ﻋﻠﯿﮫ
وﺳﻠﻢ.kembali dari perang Uhud, lalu mendengar orang banyak berkata satu sama lainnya : "Si
Anu lebih berani dari si Anu. Si Anu menderita yang tidak pernah dideritai orang lain dan
begitu-lah seterusnya. Maka menjawab Nabiﺻﻠﻰ اﻟﻠﮫ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ.: "Adapun si Ini, maka tak
adalah pengetahuanmu padanya". ….Bertanya orang banyak : "Mengapa begitu ya
Rasulullah?".
Menjawab Nabi saw. : "Mereka itu berperang menurut akal yang dianugerahkan Allah
kepadanya. Kemenangan dan niatnya adalah sekedar akalnya. Diberikan akal orang-orang
yang diberikan dari mereka, pada tingkat yang bermacam-macam, Maka pada hari qiamat
nanti mereka membagi-bagikan tingkat itu menurut tingkatan niatnya dan akalnya".
(Dirawikan Ibnut Mahbar dari Abi Hurairah)
Dari 'Aisyah ra. bahwa 'Aisyah mengatakan : "Aku bertanya : "Wahai Rasulullah! Dengan
apakah manusia memperoleh kelebihan di dunia?". Menjawab Nabi " ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢDengan
akal!". Lalu aku bertanya lagi: "Di akhirat?". Menjawab Nabiﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ.: "Dengan
akal!" Bertanya aku lagi : "Bukankah mereka dibalas dengan sebab amal nya?". Menjawab
Nabiﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ.: "Hai 'Aisyah! Adakah mereka itu beramal, selain sekedar akal yang
dianugerahkan Tuhan kepadanya? Maka menurut kadar akal yang diperoleh mereka,
begitulah adanya amal mereka. Dan menurut kadar amal itu, mereka diberi balasan'.'
(Dirawikan Ibnul Mahbar dari 'Aisyah)
4
ada yang membelanjainya. Dan yang membelanjai rumah tangga orang shiddiqin (orang-
orang yang benar-benar membenarkan agama) itu, ialah akal. Tiap-tiap yang runtuh itu
ada bangunannya. Dan bangunan akhirat itu ialah akal. Tiap-tiap manusia itu mempunyai
kesudahan yang disandarkan dan diingatkan. Dan kesudahan bagi shiddiqin, yang
disandarkan dan diingatkan, ialah akal. Tiap-tiap perjalanan itu mempunyai rumah kecil
tempat perhentian. Dan rumah kecil tempat perhentian bagi orang mu'min itu ialah akal"..
(Dirawikan Ibnul Mahbar dari Ibnu Abbas)
5
PENJELASAN: Hakikat Akal. Dan bahagian-bahagian Akal.
Ketahuilah, bahwa berbeda pendapat orang tentang batas akal dan hakikatnya. Kebanyakan
mereka melupakan bahwa nama tersebut dipakai kepada bermacam-macam arti. Itulah yang
menjadi sebab perbedaan pendapat tadi.
Kebenaran yang menyingkap tutup mengenai akal itu ialah bahwa akal adalah suatu nama
yang dipakai berserikat kepada empat arti, sebagaimana umpamanya nama mata dipakai
kepada bermacam-macam arti.Dan apa yang berlaku tentang ini, maka tidaklah wajar dicari
untuk semua bahagiannya, suatu batas saja. Tetapi hendaklah masing-masing bahagian
disendirikan menjelaskannya.
Yang pertama : akal itu adalah suatu sifat yang membedakan manusia dari hewan. Dengan
akal manusia bersedia untuk menerima berbagai macam ilmu nadhari (ilmu yang
memerlukan pemikiran) dan untuk mengatur usaha-usaha yang pelik yang menghayati
kepada pemikiran.
Akal itulah yang dimaksud oleh Al-Harts bin Asad Al-Muhasibi, di mana ia mengatakan
tentang batas akal itu, yaitu : "Suatu gharizah (tabi'at) yang disediakan untuk mengetahui
macam-macam ilmu nadhari".
Akal itu seolah-olah suatu nur (cahaya) yang dimasukkan ke dalam hati yang disediakan
untuk mengetahui macam-macam hal.
Orang yang mengingkari apa yang tersebut di atas, tidak menginsafi, lalu mengembalikan
akal itu kepada ilmu pengetahuan yang dharuri (yang tidak memerlukan pemikiran)
semata-mata.Orang yang melengahkan ilmu pengetahuan dan orang yang tidur, keduanya
dinamakan berakal, melihat kepada adanya gharizah tersebut, serta tak adanya ilmu
pengetahuan.
Sebagaimana hidup adalah suatu gharizah untuk menyediakan tubuh bagi gerakan biasa dan
pengetahuan ke pancainderaan, maka demikian pulalah akal adalah suatu gharizah untuk
menyediakan sebahagian hewan (manusia) buat memperoleh ilmu pengetahuan nadhari.
Sekiranya bolehlah disamakan insan dengan keledai tentang gharizah dan pengetahuan
kepancainderaan, maka dapatlah dikatakan, bahwa tak adalah perbedaan antara keduanya,
selain bahwa Allah Ta'ala - menurut adat yang berlaku - menjadikan pada insan itu ilmu
pengetahuan dan tidak dijadikanNya pada keledai dan hewan-hewan lain, niscaya
sesungguhnya bolehlah disamakan antara keledai dan barang keras (jamad) itu pada
kehidupan. Dan dikatakan bahwa tak ada perbedaan antara keledai dan barang jamad selain
daripada Allah Ta'ala menjadikan pada keledai itu gerakan-gerakan tertentu sepanjang
kebiasaan yang berlaku. Kalau diumpamakan keledai itu benda keras yang mati, niscaya
haruslah dikatakan bahwa tiap-tiap gerakan yang terlihat padanya, maka Allah Ta'ala kuasa
menjadikannya pada yang keras itu, menurut tertib (pengaturan) yang kelihatan.
Dan sebagaimana harus dikatakan bahwa tak adalah perbedaan bagi benda keras (jamad)
mengenai gerakan, selain dengan gharizah yang tertentu, maka dikatakanlah bahwa gharizah
itulah hidup.
Demikian jugalah perbedaan insan dengan hewan tentang mengetahui ilmu pengetahuan
nadhari dengan suatu gharizah yang disehut akal Maka akal itu adalah seperti cermin yang
berbeda dengan benda-benda lain dalam segi memperlihatkan rupa dan warna, dengan suatu
sifat yang khusus bagi cermin itu, yaitu sifat mengkilat.
6
Begitu juga mata, yang berbeda dengan dahi tentang sifat-sifat dan keadaan-keadaan yang
ada pada mata, yang disediakan untuk melihat. Maka hubungan gharizah ini kepada ilmu
pengetahuan adalah seperti hubungan mata kepada melihat. Hubungan Al-Quran dan syari'at
kepada gharizah ini (akal) dalam segi mengantarkannya untuk membuka bermacam-macam
ilmu pengetahuan, adalah seperti hubungan cahaya matahari kepada melihat.
Yang kedua : hakikat akal itu ialah ilmu pengetahuan yang timbul ke alam wujud pada diri
anak kecil yang dapat membedakan tentang kemungkinan barang yang mungkin dan
kemustahilan barang yang mustahil. Seperti mengetahui dua lebih banyak dari satu dan
orang tidak ada pada dua tempat pada satu waktu. Inilah yang mendapat perhatian sungguh-
sungguh dari sebahagian ulama ilmu kalam, yang menerangkan tentang batas akal itu, bahwa
akal adalah sebahagian ilmu dlaruri (ilmu yang mudah yang tak memerlukan pemikiran).
Seumpama mengetahui tentang kemungkinan barang yang mungkin dan kemustahilan
barang yang mustahil. Dan hal itu betul pula, karena pengetahuan tersebut itu ada dan
menamakan-nya akal memang jelas.
Yang tidak betul, ialah mengingkari gharizah itu dan mengatakan tidak ada. Yang ada, hanya
pengetahuan itulah.
Yang ketiga : akal itu, ialah ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman dengan
berlakunya bermacam-macam keadaan. Maka orang yang telah diperkokoh pemahamannya
oleh pengalaman-pengalaman dan dicerdaskan oleh beberapa aliran, maka dikatakan orang
itu biasanya berakal. Yang tidak bersifat dengan sifat tadi, maka dikatakan : orang bodoh,
tak berketentuan, jahil.Inilah macam yang lain dari ilmu pengetahuan yang dinamakan akal.
Yang keempat : bahwa kekuatan dari gharizah itu berpenghabisan sampai kepada
mengetahui akibat dari segala hal dan mencegah hawa nafsu yang mengajak kepada
kesenangan yang dekat dan menundukkannya.Apabila telah berhasil kekuatan ini, maka
orang yang mempunyai kekuatan tersebut dinamakan berakal, di mana majunya dan
mundurya adalah menurut yang dikehendaki pertimbangan mengenai akibat-akibatnya, tidak
menurut hukum hawa nafsu yang dekat itu.
Ini juga adalah dari sifat-sifat khas manusia yang membedakan dia dari hewan yang lain.
Maka yang pertama di atas tadi, adalah asas, pokok dan sumber. Yang kedua adalah
cabang yang lebih dekat kepada yang pertama. Yang ketiga adalah cabang bagi yang
pertama dan kedua. Karena dengan kekuatan gharizah dan ilmu dlaruri itu, dapatlah
diambil faedah segala ilmu pengalaman. Dan yang keempat, yaitu hasil yang penghabisan
yaitu tujuan yang terjauh.
Maka dua yang pertama (yang pertama dan kedua) adalah dengan karakter (tabi'at). Dan
dua yang penghabisan (yang ketiga dan keempat) adalah dengan diusahakan.
7
Yang pertama itu, itulah yang dimaksudkan dengan sabda Nabi ﺻﻠﻰ اﻟﻠﮫ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ. :
Dan yang penghabisan, yaitu yang dimaksudkan dengan sabda Nabi ﺻﻠﻰ اﻟﻠﮫ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ.:
إذا ﺗﻘﺮب اﻟﻨﺎس ﺑﺄﺑﻮاب:واﻷﺧﯿﺮ ھﻮ اﻟﻤﺮاد ﺑﻘﻮﻟﮫ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﮫ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ
اﻟﺒﺮ واﻷﻋﻤﺎل اﻟﺼﺎﻟﺤﺔ ﻓﺘﻘﺮب أﻧﺖ ﺑﻌﻘﻠﻚ
(Idzaa taqarraban naasu biabwaabil birr: wal a'-maalish-shaalihaati fataqarrab anta bi'aqlika).
"Apabila manusia itu mendekati Tuhan dengan pintu pintu kebajikan dan amal
salih,maka engkau dekatilah Tuhan dengan akal-mu". (Abu Na'im dari Ali, Isnad dla'if.2
Dirawikan Ibnul Mahbar dari Al Harits bin Abl Usamah 3 Dirawikan Ibnu MahBar dari Sa id Bin Al
Musayyab)
Hadits inilah yang dimaksudkan dengan sabda Nabi saw. kepada Abid-Darda' ra. :
"Bertambahlah akalmu supaya engkau bertambah dekat dengan Tuhanmu".
Berkata Abid-Darda' : "Demi ibu-bapaku ya Rasulullah! Bagaimanakah bagiku dengan
yang demikian itu?".
Menjawab Nabi saw. :
"Jauhilah semua yang diharamkan Allah, tunaikanlah segala yang diwajibkan Allah,
maka adalah engkau orang yang berakal! Kerjakanlah segala amal salih, niscaya
engkau bertambah tinggi dan mulia di dunia yang tidak lama ini. Dan engkau
memperoleh padahari akhirat yang akan datang,dari Tuhan-mu 'Azza wa Jalla, akan
kedekatan dan kemuliaan". (Dirawikan Ibnul Mahbar dari Al Harits bin Abl Usamah)
Dari Sa'id bin Al-Musayyab, bahwa Umar, Ubai bin Ka'ab dan Abu Hurairah ra. datang
kepada Rasulullah ﺻﻠﻰ اﻟﻠﮫ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ. seraya bertanya : "Ya Rasulullah! Siapakah yang
terbanyak ilmu diantara manusia?".
Menjawab Nabi ﺻﻠﻰ اﻟﻠﮫ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ. : "Orang yang berakal!".
Bertanya mereka itu lagi : "Siapakah yang terbanyak berbuat ibadah?".
Menjawab Nabi ﺻﻠﻰ اﻟﻠﮫ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ: "Orang yang berakal!".
Bertanya mereka itu iagi : "Siapakah yang lebih utama diantara manusia?".
Menjawab Nabi ﺻﻠﻰ اﻟﻠﮫ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ: "Orang yang berakal!".
Bertanya mereka itu lagi : "Bukankah orang yang berakal itu, orang yang sempurna
kepribadiannya, yang terang kelancaran lidahnya, yang murah tangannya dan tinggi
kedudukannya?".
Menjawab Nabi ﺻﻠﻰ اﻟﻠﮫ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ: "Kalaulah benar itu semuanya, tentu tidaklah kesenangan
hidup dunia dan akhirat pada sisi Tuhanmu teruntuk bagi orang yang bertaqwa". (Dirawikan
Ibnu MahBar dari Said Bin Al Musayyab)
Orang yang berakallah yang taqwa, meskipun di dunia dia hina dan rendah.
Bersabda Nabi ﺻﻠﻰ اﻟﻠﮫ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ.pada hadits lain :
"Sesungguhnya yang berakal ialah orang yang beriman kepada Allah, membenarkan
rasul-rasul Allah dan berbuat amalan ta'at kepada Allah (Ibnul Mahbar dari Sa'ld bin Al-
Musayyab, hadits mursal)
8
Serupalah menurut asal bahasanya, nama "akal" itu diuntukkan kepada gharizah itu.
Begitu juga menurut pemakaiannya. Dan sesungguhnya ditujukan kepada ilmu pengetahuan,
adalah dari segi bahwa ilmu pengetahuan itu adalah hasil gharizah sebagaimana sesuatu
itu dikenal dengan hasilnya. Maka dikatakanlah, ilmu itu ialah takut kepada Tuhan.
Orang yang berilmu (alim ulama), ialah orang yang takut kepada Allah Ta'ala. Maka
takut adalah buah dari ilmu. Lalu "akal" adalah sebagai perkataan yang dipinjam,
dipergunakan bagi lain dari gharizah itu.
Tetapi maksud di sini tidaklah membahas bahasa. Yang dimaksudkan ialah bahwa bahagian
yang empat itu ada. Dan nama "akal", itu ditujukan kepada semuanya. Dan tak adalah
perbedaan pendapat tentang adanya semuanya, kecuali mengenai bahagian yang pertama
(gharizah).
Yang benar, ialah adanya gharizah itu. Bahkan dialah yang pokok. Semua ilmu
pengetahuan itu seolah-olah terkandung dalam gharizah itu menurut fithrah (kejadian
manusia). Tetapi baru lahir kealam kenyataan, apabila telah berlaku sebab yang
melahirkannya kealam wujud. Sehingga seakan-akan semua ilmu pengetahuan itu tidaklah
merupakan sesuatu yang datang kepadanya dari luar. Dan seakan-akan ilmu-ilmu itu
adalah yang tersembunyi pada fithrah, maka lahir kemudian kealam nyata.
Contohnya, adalah seperti air dalam bumi, lahir dengan dikorek sumur, berkumpul dan dapat
diperbedakan dengan pancaindera. Tidaklah dengan didatangkan benda baru ke dalam bumi
tadi.
Begitu juga minyak pada kelapa dan air mawar pada bunga mawar. Karena itu berfirman
Allah Ta'ala :
Yang dimaksudkan dengan itu ialah pengakuan jiwa mereka,tidak pengakuan lidah. Dalam
pengakuan lidah, manusia itu terbagi, menurut lidah dan orangnya kepada yang mengaku
dan yang mungkir.
Artinya :"Jika diperhatikan keadaan mereka, maka akan naik saksi-lah jiwa dan bathin
mereka dengan yang demikian, sebagai fithrah kejadian, yang dijadikan Allah akan manusia
dengan demikian".
Artinya : seluruh anak Adam itu dijadikan menurut fithrahnya, beriman kepada Allah 'Azza
wa Jalla. Bahkan segala sesuatu itu diketahuinya menurut fithrahnya. Yakni fithrah itu
sebagai yang menjamin karena dekat persediaannya untuk mengetahui itu.
9
Kemudian, tatkala adalah iman itu dipusatkan pada jiwa menurut fithrah, maka manusia itu
terbagi kepada dua : orang yang berpaling dari Tuhan lalu lupa, yaitu orang-orang kafir :
dan orang yang lambat terlintas di hatinya, tetapi teringat kemudian. Maka orang yang
kedua ini, adalah seperti orang yang mempunyai ijazah, maka lupa di mana diletakkannya,
kemudian dia teringat.
Dari itu berfirman Allah Ta'ala :
َو ْاذ ُﻛﺮُوا ﻧِ ْﻌ َﻤﺔَ اﻟﻠﱠ ِﮫ َﻋﻠَ ْﯿ ُﻜ ْﻢ َو ِﻣﯿﺜَﺎﻗَﮫُ اﻟﱠ ِﺬي َواﺛَﻘَ ُﻜ ْﻢ ﺑِ ِﮫ
"Dan kenangkanlah kurnia Tuhan kepada kamu dan ingatilah janji yang telah kamu
ikat dengan Dia". (S. Al-Maidah, ayat 7).
Menamakan yang semacam ini dengan peringatan, tidaklah begitu jauh untuk dipahami.
Maka seakan-akan peringatan itu dua macam : semacam mengingati gambaran yang sudah
ada di dalam hati, tetapi hilang sesudah ada. Dan semacam lagi mengingati gambaran yang
sudah ada, terkandung dalam hati dengan fithrah. Inilah hakikat kebenaran yang nyata, bagi
orang yang memperhati-kan dengan nur mata hatinya (bashirahnya). Tetapi berat bagi orang
yang mempergunakan saja pendengaran dan taqlid tanpa melihat dengan mata hati dan mata
kepala. Dari itu anda melihat orang tersebut, terpukul dengan ayat-ayat seperti itu dan
memutar-balikkan tentang ta'wil peringatan dan pengakuan jiwa dengan bermacam-macam
pemutar-balikan. Dan terbayang kepadanya berbagai macam pertentangan maksud tentang
hadits dan ayat itu. Kadang-kadang hal itu keras sekali sehingga dipandangnya dengan
pandangan penghinaan dan timbul keyakinan kepadanya bahwa itu kekacau-balauan.
Orang yang seperti itu adalah seumpama orang buta yang masuk ke sebuah rumah. Maka
tersandunglah kakinya, dengan tempat air yang tersusun rapi dalam rumah itu, lalu ia
mengatakan : "Mengapakah tempat-tempat air ini tidak diangkat dari jalan tempat lalu dan
dikembalikan kepada tempatnya semula?".
Menjawab orang yang mendengar : "Bahwa tempat-tempat air itu adalah di tempatnya.
Hanya mata saudara sendiri yang salah dan rusak!".
Maka begitu pulalah orang yang rusak mata hatinya. berlaku seperti itu yang lebih hebat dan
lebih besar akibatnya. Karena jiwa adalah Iaksana orang yang mengendarai kuda dan
badan adalah Iaksana kuda. Buta yang mengendarai kuda adalah lebih membahayakan
daripada buta kuda.
Karena serupanya mata bathin dengan mata dhahir, maka berfirman Allah Ta'ala :
10
Dan berfirman Allah Ta'ala :
ِ ْت َواﻷر
ض َ ﻚ ﻧُ ِﺮي إِ ْﺑ َﺮا ِھﯿ َﻢ َﻣﻠَ ُﻜ
ِ ﻮت اﻟ ﱠﺴ َﻤﺎ َوا َ َِو َﻛ َﺬﻟ
"Dan begitulah Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi".(S. Al-
An'am, ayat 75).
Segala hal inilah yang di buka kepada para Nabi. Sebahagiannya adalah dengan mata kepala
dan sebahagian lagi adalah dengan mata hati. Dan semuanya itu dinamakan melihat.
Kesimpulannya, orang yang tidak tembus penglihatan mata hatinya, maka tidaklah
tersangkut agama padanya, selain kulitnya dan yang seperti kulit itu. Tidak isinya dan
hakikatnya.
Inilah bahagian-bahagian itu, yang dipakai nama "akal" padanya.
Sesungguhnya berbedalah manusia tentang berlebih kurang akalnya. Dan tak ada artinya
bekerja menyalin perkataan orang-orang yang hasilnya sedikit sekali. Akan tetapi, yang
lebih utama dan yang penting, ialah bersegera menegaskan kebenaran.
Kebenaran yang tegas padanya ialah dikatakan, bahwa berlebih-kurangnya akal itu
menempuh pada empat bahagian, selain bahagian yang kedua. Yaitu ilmu dlaruri tentang
jaiznya barang yang jaiz (Sesuatu Yang Boleh Jadi Ada , Boleh jadi Tiada) dan mustahilnya
barang yang mustahil. (Sesuatu yang tak diterima akal , terjadinya dan adanya).
Orang yang mengetahui bahwa dua adalah lebih banyak dari satu maka dia mengetahui juga
mustahil adanya satu tubuh itu pada dua tempat dan adanya satu benda itu qadim dan hadits.
Begitu juga bandingan-bandingan yang lain dan seluruh apa yang dapat diketahui sebagai
pengetahuan yang diyakini tanpa ragu-ragu.
Adapun yang tiga bahagian lagi, maka berlakulah berlebih kurang-nya akal padanya.
Dan bahagian yang keempat yaitu, : kerasnya kekuatan mencegah hawa nafsu. Maka
tidaklah tersembunyi, berlebih kurangnya manusia padanya. Bahkan tidaklah tersembunyi
berlebih - kurangnya keadaan seseorang menghadapi hawa nafsunya. Sekali, berlebih-
kurangnya ini ada karena berlebih-kurangnya hawa nafsu. Sebab orang yang berakal itu
kadang-kadang sanggup meninggalkan sebahagian hawa nafsunya dan tidak sanggup
terhadap sebahagian yang lain. Tetapi bukan sehingga itu saja. Seorang pemuda kadang-
kadang lemah dia meninggalkan zina. Dan ketika bertambah umurnya dan sempuma
akalnya, maka sanggup dia meninggalkan zina itu
11
Ingin ria (sifat ingin memperlihatkan amal perbuatan kepada orang) dan ingin menjadi
kepala, bertambah kuat dengan bertambah umur. Tidak bertambah lemah. Sebabnya,
mungkin karena berlebih kurangnya ilmu yang memperkenalkan faedah hawa nafsu ingin
ria dan menjadi kepala itu.
Karena itulah, seorang dokter sanggup mencegah diri dari sebahagian makanan yang
mendatangkan melarat. Dan orang lain yang sama kedudukan akalnya,dengan dokter itu,
tidak sanggup menahannya, apabila ia bukan dokter. Meskipun ia berkeyakinan secara
umum, bahwa makanan itu mendatangkan melarat.
Akan tetapi, apabila pengetahuan dokter itu lebih sempurna, maka takutnyapun lebih keras.
Maka adalah takut itu tentara bagi akal dan alatnya untuk mencegah dan menghancurkan
hawa nafsu.
Demikian jugalah seorang alim itu lebih sanggup meninggalkan perbuatan ma'siat dari
seorang bodoh. Karena kekuatan ilmu pengetahuannya dengan melaratnya perbuatan ma'siat
itu. Yang saya maksudkan ialah orang berilmu yang sebenar-benarnya, bukan orang-orang
yang bersyurban besar yang pandai bermain sandiwara.
Kalau berlebih-kurang itu dari segi hawa nafsu, niscaya tidak kembali kepada berlebih
kurangnya akal. Dan kalau dari segi ilmu, maka yang semacam ini, dari ilmu itu kita
namakan juga akal Karena ilmu pengetahuan itu menguatkan gharizah akal. Maka adalah
berlebih kurang itu menurut nama yang diberikan. Dan kadang-kadang berlebih-kurang itu
semata-mata pada gharizah akal, maka apabila gharizah akal itu kuat, maka sudah pasti
pencegahannya terhadap hawa nafsu adalah lebih keras.
Adapun bahagian yang ketiga yaitu ilmu pengalaman, maka berlebih-kurang manusia
padanya itu tidak dapat dibantah. Karena manusia itu berlebih kurang dengan banyaknya
yang betul yang dikerjakannya dan tentang cepatnya mengetahui sesuatu, adakalanya karena
berlebih-kurang tentang gharizah dan adakalanya mengenai pengalaman kerja.
Adapun yang pertama tadi yakni gharizah, maka berlebih-kurang-nya, tak ada jalan untuk
membantahnya. Karena akal itu adalah seumpama nur yang terbit pada jiwa dan terangnya
akan muncul. Titik pertama dari terbitnya nur tadi ialah ketika umur tamyiz (ketika anak itu
sudah dapat membedakan antara untung dan rugi). Kemudian nur itu senantiasalah
bertumbuh dan bertambah dengan pelan-pelan yang tidak kentara. Sehingga sempurnalah
dia ketika umur sudah mendekati empat puluh tahun.
Nur tadi adalah seumpama cahaya subuh. Mula-mula sangat tersembunyi, sukar diketahui.
Kemudian dari sedikit ke sedikit bertambah, sehingga sempurnalah dengan terbit bundaran
matahari.
Berlebih-kurangnya nur mata hati adalah seperti berlebih-kurang-nya sinar mata kepala.
Perbedaan itu dapat diketahui antara orang kero dan orang yang berpandangan tajam.
Bahkan sunnatullah (kata orang kebanyakan - kemauan alam) berlaku pada sekalian
makhlukNya, dengan beransur-ansur (tidak sekaligus) pada penga-daan. Hatta gharizah
syahwat pun tidak timbul pada anak-anak ketika baligh sekaligus dan dengan tiba-tiba.
Tetapi tumbuh sedikit demi sedikit, secara beransur-ansur.
Begitu pulalah segala kekuatan dan sifat. Orang yang membantah berlebih-kurangnya
manusia pada gharizah ini, adalah seolah-olah dia sendiri telah terlepas dari ikatan akal.
Barangsiapa menyangka bahwa akal Nabi saw. adalah seperti akal seseorang dari orang
hitam dan orang Arab bodoh, maka orang itu lebih jahat dirinya dari siapa-pun dari orang-
orang hitam itu.
12
Bagaimanakah dapat memungkiri berlebih - kurangnya gharizah akal itu? Kalau tidaklah
berlebih-kurang, maka tidaklah manusia itu berbeda-beda pada pemahaman ilmu
pengetahuan. Dan tidaklah manusia itu terbagi-bagi kepada orang bodoh yang tidak dapat
memahami sesuatu selain sesudah payah guru pengajarinya. Dan kepada orang pintar yang
dapat memahami dengan sedikit tunjuk dan isyarat saja. Dan kepada orang sempurna
(kamil) yang timbul dari dirinya hakikat segala sesuatu tanpa diajarkan, seperti firman Allah
Ta'ala :
ﻮر
ٌ ُُﻀﻲ ُء َوﻟَ ْﻮ ﻟَ ْﻢ ﺗَ ْﻤ َﺴ ْﺴﮫُ ﻧَﺎ ٌر ﻧ
ِ ﯾَ َﻜﺎ ُد َز ْﯾﺘُﮭَﺎ ﯾ
"Hampir minyaknya meiaancarkan cahaya (sendirinya), biarpun tidak disinggung api.
Cahaya berlapis cahaya ".(An-Nur, ayat 35).
Yang demikian itu adalah seperti nabi-nabi as. Karena jelas bagi mereka dalam bathinnya
hal-hal yang sulit tanpa belajar dan mendengar yang dinamakan "ilham".
Hal yang seperti demikian, dijelaskan oleh Nabi saw. dengan sabdanya :
"Bahwa ruh suci itu mengilhami dalam hatiku : Sayangilah siapa yang engkau
sayangi, sesungguhnya engkau akan berpisah dengan dia! Hiduplah bagaimana yang
engkau kehendaki, sesungguhnya engkau akan mati! Berbuatlah apa yang engkau
kehendaki, sesungguhnya engkau akan dibalasi dengan amal perbuatan itu " (As Syirari
dari sahl bin saad Dan At Thabrani Dari Ali).
Cara ini dari ajaran malaikat kepada nabi-nabi as. itu, berlainan dengan wahyu yang jelas.
Yaitu mendengar suara dengan pancaindera dari telinga dan melihat malaikat dengan
pancaindera dari mata.
Karena itulah diterangkan dari hal ini, dengan pengilhaman ke dalam hati. Dan tingkatan
wahyu itu banyak, Membicarakannya tidak layak dalam ilmu muamalah. Karena dia itu
sebahagian dari ilmu mukasyafah.
Janganlah disangka bahwa dengan mengenai tingkatan-tingkatan wahyu itu, membawa kita
kepada derajat wahyu, Karena tidak jauh perbedaannya dengan seorang dokter yang
mengajari orang sakit, tingkatan-tingkatan kesehatan dan seorang 'alim yang mengajari
orang fasiq, tingkatan-tingkatan keadilan, meskipun dia sendiri kosong daripadanya.
Maka ilmu itu satu hal dan adanya yang diketahui itu satu hal pula. Maka tidaklah tiap orang
yang mengetahui tentang kenabian dan kewalian, lalu dia itu nabi dan wali. Dan tidak pula
setiap orang yang mengenai taqwa, dan wara' sampai kepada yang sekecil-kecilnya, lalu dia
itu seorang yang taqwa.
Dan terbaginya manusia itu kepada orang yang menyadari dari dirinya sendiri dan mengerti,
orang yang tidak mengerti melainkan dengan disadarkan dan diajarkan dan orang yang tak
ada gunanya diajarkan dan juga disadarkan, adalah seperti terbaginya tanah : ada yang
terkumpul padanya air, lalu kuat. Maka dapat memancarkan beberapa mata air. Ada yang
memerlukan kepada penggalian supaya keluar air ke parit-parit. Dan ada pula yang tidak
berguna sama sekali digali, yaitu tanah kering yang tidak mengandung air. Dan yang
demikian itu, karena berbeda zat tanah mengenai sifat-sifatnya.
13
Berlebih - kurangnya akal menurut yang dinukilkan dari agama, dibuktikan oleh riwayat
bahwa Abdullah bin Salam ra. bertanya kepada Nabi saw. dalam suatu pembicaraan yang
panjang. Di mana pada akhirnya Nabi saw. menyifatkan kebesaran 'Arasy dan para malaikat
bertanya kepada Tuhan : "Hai Tuhan kami'. Adakah Engkau menjadikan sesuatu yang lebih
besar dari 'Arasy?".
Maka menjawab Tuhan : "Ada, yaitu akal!".
Menjawab Tuhan : "Tidak dapat dihinggakan dengan suatu ilmu pengetahuan. Adakah
bagimu pengetahuan tentang bilangan pasir?".
Jikalau anda bertanya, mengapa beberapa golongan dari kaum shufi mencela akal dan apa
yang dipahami oleh akal?.
Mengenai dengan celaan itu, ketahuilah bahwa sebabnya, ialah karena manusia membawa
nama akal dan apa yang dipahami oleh akal itu, kepada pertengkaran dan perdebatan
tentang soal-soal yang bertentangan dan main mutlak-mutlakan. Yaitu membuat ilmu
kalam. Maka kaum shufi itu tidak sanggup menetapkan dengan dalil-dalil dari mereka
sendiri bahwa anda telah bersalah memberi nama itu. Karena cara yang demikian itu tidak
terhapus begitu saja dari hati kaum shufi sesudah demikian berkembang pada mulut orang
banyak dan melekat pada hati. Lalu kaum shufi itu mencela akal dan apa yang dipahami
oleh akal. Yaitu akal yang dinamakan dengan demikian pada mereka.
Adapun nur mata hati yang tersembunyi yang dengan nur itu dikenal Allah Ta'ala dan
kebenaran rasul-rasulNya, maka bagaimanakah tergambar mencelanya? Sedangkan Allah
Ta'ala memberi pujian kepadanya? Kalau dicela, maka apalagi sesudah itu yang dapat
dipuji?.
Kalau yang dipuji itu agama, maka dengan apa diketahui kebenaran agama itu? Kalau
diketahui dengan akal yang dicela, yang tak dapat dipercayai itu, maka adalah agama itu
tercela pula. Dan janganlah terpengaruh dengan orang yang mengatakan bahwa agama itu
diketahui dengan 'ainul-yaqin dan nurul-iman, tidak dengan akal.
Sesungguhnya kami maksudkan dengan akal itu, ialah apa yang dimaksudkan dengan
'ainul-yaqin dan nurul-iman tadi. Yaitu sifat bathiniah yang membedakan manusia dari
hewan. Sehingga manusia itu dapat mengetahui hakikat segala sesuatu dengan sifat
bathiniah tersebut.
14