Banyak orang berdebat soal ada tidaknya Tuhan tanpa lebih dulu mendefinisikan keberadaan dan Tuhan. Akibatnya, yang terjadi adalah diskusi yang tidak nyambung. Tapi mungkin mereka memang menikmati hal-hal yang tidak nyambung itu. Apa itu ada atau keberadaan? Definisi dalam KBBI sungguh sederhana. Kata “ada” menurut KBBI adalah hadir, tesedia di suatu tempat. Dalam bahasa Inggris ada atau existence itu didefinisikan the fact or state of living or having objective reality. Artinya, punya fakta, punya realitas objektif. Maksudnya bagaimana? Misalnya kalau kita katakan bahwa ada sepiring nasi di meja, maka saya dan Anda bisa melihat adanya nasi tadi. Kita bisa memegangnya, menciumnya, dan memakannya. Kalau hal-hal itu tidak bisa kita lakukan terhadap nasi tadi, maka nasi itu tidak ada. Apakah yang ada itu harus selali bisa dideteksi dengan panca indera? Tidak juga. Setidaknya tidak secara langsung. Bakteri dan virus tidak bisa dideteksi dengan panca indera. Kita harus menggunakan alat khusus untuk bisa mendeteksinya. Demikian pula atom-atom. Apakah sesuatu yang ada itu harus selalu berbentuk materi? Tidak juga. Gelombang elektromagnetik itu bukan materi. Tapi ia ada. Dari mana kita tahu bahwa ia ada? Kita bisa mendeteksinya dengan menggunakan alat. Kita juga bisa membuatnya, dan mengendalikan perilakunya. Dengan kendali terhadap perilaku gelombang elektromagnetik saya bisa menulis artikel ini di internet, dan Anda bisa membacanya. Jadi, kalau seseorang mengklaim adanya sesuatu, ia harus bisa membuktikannya secara objektif. Bagaimana kalau tidak bisa? Kalau tidak bisa, maka klaim tadi adalah klaim sepihak. Contohnya, A mengklaim punya uang 5 juta rupiah. Ia harus membuktikannya dalam bentuk fisik uang, catatan di bank, atau uang elektronik. Bila tidak ada bukti objektif apapun, ya kita senyumin aja. Sama halnya, kalau seseorang mengklaim bahwa di dekat kita ada makhluk tertentu, dia harus membuktikannya. Kalau tidak, ya senyumin aja. Kalau orang mengatakan ada sesuatu yang tidak bisa dideteksi oleh manusia dengan cara apapun, apakah keberdaan itu masih punya makna? Dalam bahasa yang lebih sederhana, kita bisa tanyai dia, kamu kok bisa tahu? Lalu, bagaimana dengan hal-hal abstrak seperti cinta? Apakah cinta itu ada? Saya bisa katakan bahwa cinta itu bukan realitas objektif. Bahkan seseorang yang mengaku punya cinta sekali pun tidak bisa membuktikan keberadannya kepada dirinya sendiri. Yang disebut cinta biasanya adalah sekumpulan perasaan yang kompleks, antara rasa memiliki, mengendalikan, keinginan, birahi, dan banyak lagi komponen lain. Kalau mau didefinisikan dalam konteks neuroscience, cinta adalah sesuatu yang dihasilkan dari keberadaan sejumlah hormon dalam darah, aktivitas di bagian tertentu pada otak manusia. Bila dilihat dengan cara itu barulah cinta bisa disebut realitas objektif. Ada banyak jenis realitas yang tidak objektif ini, sebagaimana dibahas panjang lebar oleh Yuval Noah Harari dalam buku Sapiens. Keadilan, misalnya, adalah realitas yang diciptakan manusia, menggerakkan manusia dalam jumlah besar. Tapi realitas obektifnya tidak ada. Sesuatu bisa saja dianggap ada dalam realitas tertentu yang tidak objektif. Misalnya, sekolah Hoghwart itu ada, dalam realitas cerita Harry Potter. Demikian pula dengan Cinderella. Kalau Anda pergi ke Disneyland, Anda bisa bertemu dengan Cinderella beserta istananya. Nah, nanti kalau kita bicara soal keberadaan Tuhan, jadi agak mudah kita memahami bahwa Tuhan bukanlah realitas objektif
Bagian 2: Definisi Tuhan
Untuk bisa membahas soal Tuhan itu ada atau tidak, mesti jelas dulu apa yang mau dibahas. Apa itu Tuhan? Apa itu Tuhan? Tuhan adalah sesuatu yang dipertuhankan manusia, disembah, dianggap hebat, dan berkuasa. Apakah Tuhan itu ada? Tergantung Tuhan yang mana. Kalau ada orang yang menyembah biji wijen, dan menganggapnya sebagai Tuhan, maka bisa katakan bahwa Tuhan itu ada. Secara objektif biji wijen itu ada. Dalam pengertian itu, Tuhan tidak hanya ada, tapi banyak. Tuhan ada dalam ruang realitas objektif. Kita bisa mengamati dan membuktikan keberadaannya secara objektif. Masalahnya adalah, tidak semua orang mengakui bahwa yang ada secara objektif itu Tuhan. Penyembah biji wijen menganggap biji wijen itu Tuhan, tapi bagi penyembah merica, penyembah ketumbar, dan penyembah kapolaga, biji wijen itu bukan Tuhan. Demikian pula bagi penyembah yang lain, biji pala, kayu manis, asam jawa, dan sebagainya. Biji wijen, merica, kapolaga, pala, asam jawa, semuanya ada dalam realitas objektif, tapi tidak semua orang mengakuinya sebagai Tuhan. Jadi, pernyataan apakah Tuhan itu ada sebenarnya adalah pertanyaan yang absurd. Orang berdiskusi mencoba menjawab pertanyaan itu, seolah mereka sepakat soal Tuhan itu apa. Padahal mereka tidak sepakat. Kalau mau lebih jelas, kita harus bertanya soal Tuhan tertentu, seperti biji wijen, merica, pala, dan sebagainya tadi. Pertanyaannya bisa kita ubah, apakah Yesus itu ada? Menurut sejarah Yesus pernah ada. Cuma tidak semua orang menerima Yesus sebagai Tuhan. Apakah Dewa X itu ada? Maksudnya ada dalam realitas objektif? Yang mengatakan ada, silakan memberikan bukti objektif. Masalahnya, tidak ada orang yang pernah bisa membuktikan adanya Tuhan mereka dalam realitas objektif, tapi memaksa orang lain untuk mengakui bahwa Tuhan itu ada sebagai realitas objektif. Sudah sangat jelas bahwa orang yang bertuhan sendiri mengatakan bahwa Tuhan dia tidak bisa dilihat, didengar, dicium, atau diapakan pun. Tapi mereka keberatan kalau dikatakan bahwa Tuhan itu tidak ada. Kita berhadapan dengan hal konyol tadi, yaitu orang yang memaksa orang lain untuk menerima bahwa sesuatu itu ada, tanpa dia bisa membuktikan. “Apakah Tuhan itu ada?” “Ada.” “Mana?” “Kamu tidak akan bisa melihat, mendengar, atau mendeteksinya.” “Siapa yang bisa?” “Tidak ada.” Lha, terus, dengan alasan apa kita Anda mengatakan bahwa Tuhan itu ada? Selanjutnya kita akan disodori dengan hal-hal yang sifatnya berputar. Kita disuruh menerima banyak hal tanpa berpikir. Misalnya, orang mengatakan, bukti adanya Tuhan adalah alam semesta ini. Alam semesta ini ada karena ada yang menciptakan. Itu bukti maksa. Kita baru bisa sepakat bahwa alam semesta ini bukti keberadaan Tuhan, kalau kita sepakat bahwa segala sesuatu itu harus ada yang menciptakan. Apakah segala sesuatu itu baru ada kalau diciptakan? Dalam keseharian kita justru sering menyaksikan yang sebaliknya, benda-benda ada tanpa kita lihat penciptanya. Siapa yang menciptakan air? Sepanjang yang bisa diamati oleh manusia, air tercipta oleh proses di alam. Ada sejumlah reaksi kimia yang menghasilkan air. Reaksi itu berjalan dengan sendirinya, kita tidak menyaksikan ada yang mengaturnya. Tapi kita dipaksa untuk ikut yakin bahwa ada yang mengatur reaksi kimia itu, yaitu Tuhan. Nah, menariknya begini. Reaksi kimia itu, klaim mereka, diatur oleh Tuhan. Tapi kita, manusia, bisa mengatur reaksi itu sesuai kehendak kita. Senyawa X kita buat bereaksi dengan senyawa Y. Dalam reaksi itu, siapa yang mengatur? Kita atau Tuhan? Kenapa kita bisa ikut campur mengatur hal-hal yang diklaim diatur oleh Tuhan? Mumet, deh. Lho, bukankah roti tidak terjadi dengan sendirinya? Tidak pernah ada terigu bercampur sama air, kemudian membentuk adonan, lalu membentuk roti. Itu kata mereka. Kita bisa tanya balik. Emang siapa yang membuat roti? Manusia. Nah, manusia bukan Tuhan, bukan? Bukan. Mereka lupa bahwa manusia itu bagian dari alam, derajatnya sama dengan terigu, dan air. Manusia membuat roti itu artinya alam mengatur komponen-komponennya sendiri, di mana manusia juga bagian dari komponen itu, lalu membentuk roti. Dalam konteks ini sama saja dengan pohon padi atau kelapa. Ada yang tumbuh karena biji padi diterbangkan angin, buah kelapa dihanyutkan arus air. Ada pula yang tumbuh karena ditanam manusia. Semua itu proses alam belaka, yang tidak memerlukan sesuatu di luar alam sebagai pengendali. Mumet? Istirahat dulu.