Self Life Terkait Kemasan PDF
Self Life Terkait Kemasan PDF
Oleh:
MULATSIH TRI ATMINI
F34052997
2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PENDUGAAN UMUR SIMPAN
PERMEN JELLY PEPAYA (Carica papaya L.)
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
MULATSIH TRI ATMINI
F34052997
2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Skripsi : PENDUGAAN UMUR SIMPAN PERMEN JELLY
PEPAYA (Carica papaya L.)
Nama : Mulatsih Tri Atmini
NIM : F34052997
Menyetujui ,
(Dr. Endang Warsiki S.TP, M.Si) (Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA)
NIP : 19710305 199702 2 001 NIP : 19581026 198303 2 003
Mengetahui :
Ketua Departemen,
Tanggal Lulus :
MULATSIH TRI ATMINI. F34052997. Pendugaan Umur Simpan Permen Jelly
Pepaya (Carica papaya L). Di bawah bimbingan Endang Warsiki dan Ani
Suryani. 2010.
RINGKASAN
SUMMARY
Adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing, kecuali yang
dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penulisan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai bagian dari tugas akhir untuk
memperoleh gelar sarjana Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi
Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa bantuan dari berbagai pihak cukup berarti bagi
penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Dr. Endang Warsiki, S.TP, M.Si selaku dosen pembimbing akademik dan
pembimbing utama yang telah memberikan saran, arahan, dan bimbingan
kepada penulis sampai terselesaikannya skripsi ini.
2. Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA selaku pembimbing kedua yang telah
memberikan bimbingan, arahan, dan perhatian kepada penulis sampai
terselesaikannya skripsi ini.
3. Drs. Purwoko, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan pengarahan
dan saran dalam penyempurnaan skripsi.
4. Ibu Syafrida selaku ketua proyek penelitian dari Pusat Kajian Buah-Buahan
Tropika.
5. Kedua orang tua, keempat kakakku, keempat ponakanku, atas doa, dukungan,
semangat, dan inspirasi yang telah diberikan.
6. Seluruh staf dan karyawan PKBT : Ibu Sriani, Mas Fatkan, Bapak Ibram,
Mbak Aline, Mbak Dede, Mas Ubay, Bapak Kosim, Bapak Heri, Ibu Yuyun
yang telah membantu dalam persiapan bahan, ilmu, keramahan, keceriaan,
kekeluargaan, persahabatan, canda-tawa serta suka-duka selama penelitian
berlangsung.
7. Seluruh laboran dan teknisi, terutama Bapak Sugiardi, Ibu Ega, Bapak
Gunawan, Ibu Rini, dan Ibu Sri, terimaksih atas saran, bantuan, dan ilmu
yang diberikan
8. Dewi sebagai teman satu tim proyek, terimakasih atas kebersamaan dan
kerjasamanya.
i
9. Marlina Nurul Magribi dan Juanda Sianturi sebagai teman satu bimbingan,
terima kasih atas kebersamaan dan perjuangan kita.
10. Roisah, Rima, Pute, Anas, Amel, Rey, Ipul, Tika, Novi, Nunung, serta
seluruh penghuni laboratorium, terima kasih atas bantuan, dukungan, dan
perhatiannya, serta pinjaman alat-alat dan aquadesnya.
11. Teman-teman TIN 42, kita telah berjuang bersama hingga akhir, terimakasih
atas kebersamaan dan kekeluargaan ini.
12. Penghuni Villa Cempaka dan Harmony 2, terimakasih atas kenyamanan dan
canda tawa yang diberikan.
13. Teman, sahabat, dan seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu
atas segala bantuan dan dukungannya.
Penulis menyadari keterbatasan yang penulis miliki. Kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat baik
bagi penulis maupun pembacanya. Amin.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN. ................................................................................ viii
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian ............................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pepaya (Carica papaya L.) ................................................................ 3
2.2 Pemanis ............................................................................................. 6
2.3 Karagenan.......................................................................................... 7
2.4 Permen Jelly ...................................................................................... 9
2.5 Pengemasan dan Penyimpanan........................................................... 11
2.6 Kemasan ............................................................................................ 13
2.7 Umur Simpan..................................................................................... 20
III.METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Bahan dan Alat. ................................................................................. 26
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. 26
3.3 Metode Penelitian. ............................................................................. 27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Permen Jelly Pepaya. ..................................................... 31
4.2 Karakteristik kemasan ......................................................................... 36
4.3 Kondisi Penyimpanan ......................................................................... 37
4.4 Perubahan Mutu .................................................................................. 38
4.5 Penentuan Parameter Kritis dan Titik Kritis Mutu ............................... 60
4.6 Umur Simpan Permen Jelly Pepaya .................................................... 60
iii
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan. ........................................................................................ 63
5.2 Saran. ................................................................................................. 64
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Produksi pepaya di Indonesia ........................................................ 1
Tabel 2. Ciri-ciri pepaya IPB 1 ................................................................... 4
Tabel 3. Komposisi kimia buah pepaya matang per 100 gram buah ............ 5
Tabel 4. Komposisi kimia wadah gelas komersial ....................................... 19
Tabel 5. Karakteristik awal produk permen jelly pepaya ............................. 31
Tabel 6. Persyaratan mutu permen jelly menurut SNI 02-3547-2008........... 32
Tabel 7. Hasil uji karakteristik kemasan...................................................... 36
Tabel 8. Nilai k dan Ln k parameter kadar air ............................................. 61
Tabel 9. Nilai E, ln k0, k0, dan k tiap suhu penyimpanan parameter kadar
air ................................................................................................. 62
Tabel 11. Prediksi mutu permen jelly pepaya sampai kadaluarsa ................... 62
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Struktur umum polipropilen ........................................................ 17
Gambar 2. Grafik antara nilai ln K dan 1/T dalam persamaan Arrhenius ...... 23
Gambar 3. Diagram alir pembuatan permen jelly pepaya.............................. 28
Gambar 4. Diagram alir penelitian ............................................................... 30
Gambar 5. Kemasan plastik PP, alumunium foil, dan gelas jar yang
digunakan untuk mengemas permen jelly pepaya ........................ 36
Gambar 11.Nilai median dan modus tingkat kesukaan terhadap atribut rasa
permen jelly pepaya: (a) kemasan plastik PP, (b) kemasan
alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar .................................. 51
vi
Gambar 15.Nilai median dan modus tingkat kesukaan terhadap atribut
penerimaan umum permen jelly pepaya: (a) kemasan plastik PP,
(b) kemasan alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar .............. 59
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Prosedur Analisa .................................................................... 69
Lampiran 3. Data nilai kadar air (%) selama penyimpanan (wet basis) ....... 77
Lampiran 4. Data nilai kadar air (%) selama penyimpanan (dry basis) ....... 78
Lampiran 7. Data nilai total asam tertitrasi (%) selama penyimpanan (wet
basis) ..................................................................................... 81
Lampiran 8. Data nilai total asam tertitrasi (%) selama penyimpanan (dry
basis) ..................................................................................... 82
Lampiran 11. Laju perubahan mutu tiap parameter (% per hari) ................... 85
Lampiran 13. Contoh perhitungan umur simpan permen jelly pepaya ........... 87
viii
I. PENDAHULUAN
1
Proses pengolahan, pengemasan, dan penyimpanan diperlukan untuk
mendapatkan mutu permen jelly pepaya yang baik. Setelah itu, proses
pengemasan dan penyimpanan menjadi faktor penting yang harus diperhatikan
untuk mempertahankan mutu produk tersebut. Pengemasan merupakan salah satu
cara memberikan kondisi yang tepat bagi pangan untuk mempertahankan mutunya
dalam jangka waktu yang diinginkan (Buckle et al., 1987). Kemasan kaca,
alumunium foil, dan plastik jenis PP (polypropilen) banyak digunakan untuk
mengemas permen di pasaran. Belum ada penelitian yang melaporkan pengaruh
penggunaan tiga jenis kemasan tersebut pada permen, khususnya permen jelly
pepaya. Oleh sebab itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh
kemasan terhadap mutu permen jelly pepaya selama penyimpanan. Selanjutnya,
pendugaan umur simpan permen jelly pepaya dilakukan untuk mengetahui tingkat
ketahanan produk selama penyimpanan. Salah satu cara pendugaan umur simpan
yang cepat dan cukup akurat adalah melalui metode akselerasi (Accelerated
Storage Studies) dengan menggunakan pendekatan metode Arrhenius.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
3
Suhu optimal pertumbuhan tanaman berkisar antara 22-26oC, suhu minimum
15oC, dan suhu maksimum 43 oC (Kalie,1999).
Varietas pepaya dikenal dari bentuk, ukuran, warna, rasa, dan tekstur
buahnya. Varietas pepaya yang banyak ditanam di Indonesia adalah pepaya
semangka, pepaya jinggo, dan pepaya cibinong. Selain itu, juga dikenal varietas
pepaya mas, pepaya item, dan pepaya ijo (Kalie, 1999). Salah satu jenis pepaya
yang dikembangkan saat ini adalah pepaya IPB 1 yang ciri-cirinya dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Ciri-ciri pepaya IPB 1
Parameter Unit Nilai
Warna batang Coklat keabu-abuan
Warna petiole Hijau sedikit ungu kemerahan
Bentuk sinus daun Agak tertutup
Bentuk gerigi daun Cembung
Warna daging buah Jingga
Warna kulit buah Hijau muda
Tipe daun 11.00
Warna bunga Putih
Bentuk Buah lonjong
Ukuran buah Kecil
Umur petik (hari setelah anthesis) ± 140
Rasa daging buah Sangat manis (11-12oBrix)
Panjang buah cm 14 ± 1
Diameter buah (cm) cm 10 ± 1
Bobot per buah (gram) g 654 ± 146
Kadar air (%) % 88 ± 2
Kadar vitamin C (mg/100g) mg/100g 122 ± 30
4
vitamin C, serta kalsium. Komposisi kimia buah pepaya matang dan mentah per
100 gram buah dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi kimia buah pepaya matang dan mentah per 100 gram buah
Komponen Satuan Buah matang Buah mentah
Energi kalori 46,0 26,0
Air g 86,7 92,3
Protein g 0,5 2,1
Lemak g - 0,1
Karbohidrat g 12,2 4,9
Vitamin A IU 365,0 50,0
Vitamin B mg 0,04 0,02
Vitamin C mg 78,0 19,0
Kalsium mg 23,0 50,0
Besi mg 1,7 0,4
Phospor mg 12,0 16,0
Sumber: Kalie (1999)
Dari Tabel 3 dapat dilihat komposisi kimia buah pepaya matang dan
mentah per 100 gram buah. Buah-buahan umumnya mengandung beberapa
macam asam organik, dimana di dalam buah pepaya kandungan gula lebih besar
dari asam, sehingga rasa manis lebih dominan. Selama pematangan buah pepaya
yang disimpan pada suhu kamar akan mengalami peningkatan kandungan asam
tertitrasi. Akan tetapi, setelah buah lewat matang kandungannya akan menurun
(Kalie, 1999). Menurut Chan dan Kwok (1971) yang dikutip Kalie (1999), asam-
asam yang terkandung dalam pepaya antara lain asam ketoglutarat, sitrat, malat,
tertarat, asam askorbat, dan galakturonat. Kandungan vitamin C untuk buah
matang lebih tinggi dari buah mentah karena selama masa pematangan terjadi
peningkatan persentase karoten dan xantofil, dan akibat adanya metabolisme
polisakarida dalam dinding sel yang menyebabkan kadar gula meningkat.
Stabilitas vitamin C (asam askorbat) akan meningkat dengan menurunnya
pH. Laju oksidasi asam askorbat sebanding dengan konsentrasi oksigen terlarut
dalam bahan pangan. Oksidasi asam askorbat akan menghasilkan bentuk
monoanion dari asam askorbat dan diikuti dengan pembentukan asam
5
dehidroaskorbat yang masih memiliki aktivitas vitamin C. Apabila terjadi
dekomposisi hidrolitik dari asam dehidroaskorbat, maka akan terbentuk asam 2,3-
diketoglutanat yang sudah tidak mempunyai aktivitas vitamin C. Reaksi lebih
lanjut dari asam 2,3- diketoglutanat tidak memberikan dampak lagi terhadap nilai
gizi bahan pangan, tetapi akan menimbulkan perubahan flavor dan warna yang
dikaitkan dengan reaksi pencoklatan. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di
atas, stabilitas vitamin C juga dipengaruhi oleh adanya enzim, konsentrasi gula
dan garam, konsentrasi awal asam askorbat, dan rasio antara asam askorbat
dengan asam dehidroaskorbat (Winarno dan Aman, 1981).
Karoten merupakan prekusor vitamin A yang banyak terdapat di dalam
pepaya. Biasanya perubahan warna pada kulit buah menunjukkan kematangan
buah, begitu pula halnya dengan pepaya. Perubahan warna buah pepaya dari hijau
menjadi kemerahan disebabkan penurunan klorofil, sehingga warna karotenoid
mulai terlihat. Perbedaan warna pada pepaya merah dan kuning adalah adanya
likopen, dimana buah pepaya kuning tidak terdapat likopen. Total karoten yang
dikandung dalam pepaya mengkal adalah 3,7 mg per 100 gram, sedangkan pada
pepaya berwarna matang total karotennya adalah 4,2 mg per 100 gram (Winarno
dan Aman, 1981).
Tingkat kemasakan buah pepaya biasanya dinyatakan dalam bentuk buah
muda, buah tua, buah mengkal, dan buah terlalu masak. Buah pepaya dipanen
pada stadium mendekati matang pohon, yakni setelah buah menunjukkan garis-
garis menguning. Untuk pemasaran setempat biasanya buah dipetik pada tingkat
kemasakan mengkal, sedangkan untuk pemasaran jarak jauh buah dipetik pada
tingkat kemasakan tua. Buah masak mengkal bila kulit buah di bagian ujung
tampak mulai menguning, sedangkan daging buah masih tetap keras. Buah pepaya
yang masak ditandai dengan kulit dan dagingnya berwarna cerah, rasanya manis,
dan aromanya sudah tercium.
2.2 Pemanis
Pemanis merupakan bahan yang umum terdapat pada makanan.
Berdasarkan kemampuan metabolismenya, bahan pemanis digolongkan menjadi
dua, yaitu nutritive sweetener dan non-nutritive sweetener. Nutritive sweetener
6
adalah pemanis yang dapat dimetabolis tubuh seperti sukrosa dan glukosa,
sedangkan non-nutritive sweetener adalah pemanis yang tidak dapat
dimetabolisme oleh tubuh seperti sakarin, siklamat, acesulfame-K, dan sorbitol
(Nicole,1979). Sukrosa merupakan senyawa kimia yang memiliki rasa manis,
berwarna putih, bersifat anhidrous, dan larut dalam air. Sukrosa memiliki peranan
penting dalam teknologi pangan karena fungsinya yang beraneka ragam yaitu
sebagai pemanis, pembentuk tekstur, pembentuk cita rasa, bahan pengisi, dan
pengawet (Nicole,1979),
Fungsi utama sukrosa sebagai pemanis memegang peranan penting, karena
dapat meningkatkan penerimaan dari suatu makanan, yaitu dapat menutupi cita
rasa yang tidak menyenangkan. Rasa manis sukrosa bersifat murni dan tidak
memiliki after taste yang meninggalkan rasa pait di lidah. Sukrosa dikatakan
mampu membentuk citarasa yang baik, karena kemampuannya menyeimbangkan
rasa asam, pahit, dan asin, atau melebihi pembentukan karamelisasi
(Nicole,1979). Sukrosa dapat digunakan sebagai pengawet dikarenakan
kemampuannya untuk menurunkan nilai keseimbangan kelembaban relatif dan
meningkatkan tekanan osmotik dengan cara mengikat air bebas sehingga tidak
dapat digunakan mikroba. Sukrosa dapat menghambat daya kerja enzim, yaitu
pada konsentrasi 30% akan menghambat aktivitas enzim asam askorbat oksidase
dan pada konsentrasi 50% akan menghambat enzim katalase (Nicole,1979).
2.3 Karagenan
Karagenan adalah polisakarida linear yang tersusun atas unit-unit
galaktosa dan 3,6-anhidrogalaktosa dengan ikatan glikosidik α-1,3 dan β-1,4
secara bergantian. Pada beberapa atom hidroksil, terikat gugus sulfat dengan
ikatan ester (Angka dan Suhartono, 2000). Karagenan diberi nama berdasarkan
persentase kandungan ester sulfatnya, kappa: 25-30%, iota: 28-35%, dan lambda:
32-39%. Larut dalam air panas (70oC), air dingin, susu, dan larutan gula, sehingga
sering digunakan sebagai bahan pengental/penstabil pada minuman atau makanan.
Karagenan dapat membentuk gel dengan baik, sehingga banyak digunakan
sebagai gelling agent dan pengental (Suptijah, 2002).
7
Sifat-sifat yang dimiliki karagenan antara lain: kelarutan, pH, stabilitas,
viskositas, pembentukan gel, dan reaktivitas dengan protein. Sifat-sifat tersebut
sangat dipengaruhi oleh adanya unit bermuatan (ester sulfat) dan penyusun dalam
polimer karagenan. Karagenan biasanya mengandung unsur yang berupa garam
yodium dan potasium yang juga berfungsi untuk menentukan sifat-sifat
karagenan. Tulisan di bawah ini menjelaskan sifat-sifat umum karagenan yaitu:
(i) Kelarutan
Semua karagenan larut di dalam air pada suhu di atas 70 oC. dalam air
dingin, hanya α-karagenan dan garam natrium dari κ- dan ι- karagenan yang larut
(Glicksman, 1983). Kelarutan karagenan dalam air dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu tipe karagenan, pengaruh ion, pH, dan komponen organik larutan.
Dikaitkan molekulnya, kelarutan karagenan terutama dikendalikan oleh derajat
hidrofiliknya, yaitu gugus ester sulfat dan unit galaktosa-piranosa yang
berlawanan dengan unit 3,6-anhidro-galaktosa yang bersifat hidrofobik (Towle,
1973). Di samping kelarutan dalam air, karagenan juga memiliki sifat kelarutan
dalam media cair lainnya, misalnya dalam susu panas, sedangkan dalam susu
dingin hanya α-karagenan yang mempunyai kelarutan tinggi. Dalam kelarutan
sukrosa panas dengan konsentrasi 65% κ- dan α-karagenan larut, sedangakan ι-
karagenan sedikit larut dalam kondisi ini (Glicksman, 1983).
(ii) Pembentukan Gel
Karagenan jenis κ- dan ι- mempunyai kemampuan untuk membentuk gel
pada saat larutan yang panas dibiarkan menjadi dingin. Proses ini bersifat
reversibel, artinya gel mencair pada pemanasan dan cairan akan menbentk gel
kembali pada saat pendinginan (Glicksman, 1983). Terbentuknya gel ini sebagai
akibat pembentuk struktur double helix oleh polimer karagenan. Konsistensi gel
karagenan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis dan tipe karagenan,
konsentrasi, adanya ion-ion serta pelarut yang menghambat terbentuknya
hidrokoloid (Towle,1973).
Pada proses pembentukan gel dari κ- dan ι-karagenan dibutuhkan kation
tertentu. Dalam aplikasi pangan ada tiga kation yang paling umum digunakan,
yaitu natrium, kalium, dan kalsium serta beberapa ion lainnya seperti amonium,
barium, rubidium, dan cecium, (Moirano,1977). Adanya ion kalium pada gel κ-
8
karagenan dapat menaikkan kekerasan dan suhu pembentukan gel. Ion kalsium
dan barium menaikan kekakuan gel karagenan. Ion rubidium dan cesium juga
dapat menyebabkan gelasi κ-karagenan. Ion kalium menyebabkan gel κ-
karagenan elastis dan transparan, sedangkan ion kalsium menyebabkan gel ι-
karagenan rapuh. Penambahan ion natrium pada gel κ-karagenan membuat gel
menjadi pendek dan rapuh.
Letak gugus sulfat pada struktur molekul karagenan sangat berpengaruh
terhadap kemampuan karagenan untuk membentuk gel. Demikian pula derajat
keteraturan rantai polimer menentukan kemampuan membentuk gel. Suatu
modifikasi struktural dapat dilakukan dengan mengubah unit yang mengandung
sulfat pada C6 di ikatan (1 → 4) menjadi unit 3,5-anhidro galaktosa akan
meningkatkan kemampuan membentuk gel dan kekuatan gel (Towle,1973).
(iii) Stabilitas
Karagenan akan stabil pada pH 7 atau lebih tinggi, sedangkan pH yang lebih
rendah dari 7, stabilitas karagenan menurun khususnya dengan peningkatan suhu
(Moirano,1977; Glicksman,1983). Pada pH rendah dari 7, polimer karagenan
terhidrolisis sehingga kemampuan untuk membentuk gel menjadi hilang. Namun,
pada penerapannya, suatu gel terbentuk pada pH di bawah 7 dan hidrolisis terjadi
tidak lama sehingga gel dapat stabil (Glicksman,1983). Hal ini disebabkan
beberapa karagenan mengandung ikatan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang tinggi,
sehingga tidak mudah terhidrolisis dan dapat digunakan dalam aplikasi pangan
pada pH rendah sebagai pengental, misalnya pH 3,0-4,0. Misalnya, kappa
karagenan dan iota karagenan dapat digunakan sebagai gelling agent pada pH
rendah (Moraino,1977).
9
dimasak dengan kandungan padatan yang diperlukan dan penambahan bahan
pembentuk gel (gelatin, agar, pektin, atau karagenan) dengan cita rasa dan aroma,
serta bentuk yang menarik. Kekerasan dan tekstur permen jelly banyak tergantung
pada bahan pembentuk gel yang digunakan. Permen jelly memerlukan bahan
pelapis yang dapat berupa tepung tapioka, tepung gula, atau campuran dari
keduanya. Hal ini dikarenakan permen jelly memiliki sifat kencenderungan
menjadi lengket satu sama lain karena sifat dari gula pereduksi yang membentuk
permen. Adanya bahan pelapis ini akan memudahkan dalam pengemasan dan
dapat menambah rasa manis (Jackson, 1995).
Kekerasan dan tekstur permen jelly tergantung pada bahan pembentuk gel
yang digunakan. Jelly gelatin mempunyai konsistensi yang lunak dan bersifat
seperti karet, sedangkan jelly agar-agar bersifat lunak dan agak rapuh. Pektin
menghasilkan tekstur yang sama dengan agar-agar, tetapi gelnya lebih baik pada
pH rendah, sedangkan karagenan menghasilkan gel yang kuat (Bukle et al.,1987).
Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989), kerusakan utama pada hasil
olahan permen jelly adalah sebagai berikut:
(i) Terbentuknya kristal-kristal karena bahan yang terlarut cukup banyak,
sedangkan gula tidak cukup melarut sehingga mengkristal kembali.
(ii) Gel besar dan kaku, disebabkan oleh kadar gula yang rendah atau karena
pembentuk gel yang tidak cukup.
(iii) Gel yang kurang padat dan menyerupai sirup, karena kadar gula yang terlalu
tinggi dan tidak seimbang dengan kandungan pembentuk gel.
(iv) Pengeluaran air dari gel karena terlalu banyak asam.
Permen jelly termasuk dalam pangan semi basah yang mempunyai kadar air
sekitar 10-40% dan nilai aw berkisar 0,6-0,9 (Bukle et al.,1987). Kondisi ini telah
cukup menghambat aktivitas biologis dan biokimia, sehingga tidak mudah terjadi
kerusakan. Prinsip pengolahan permen sesuai dengan pengolahan pangan semi
basah yaitu menurunkan nilai a w produk pada suatu tingkat tertentu sehingga
mikroba patogen tidak tumbuh. Walaupun demikian, kandungan air produk ini
masih cukup tinggi, sehingga dapat dimakan tanpa melakukan rehidrasi terlebih
dahulu. Produk ini cukup kering dan stabil selama penyimpanan (Leisner dan
10
Rodel, 1976). Mutu permen jelly diatur dalam SNI 02-3547-2008 tentang
kembang gula lunak.
Muchtadi et al. (1979) menyebutkan bahwa jelly merupakan produk yang
dibuat dari sari buah yang dipekatkan, jernih, transparan, bebas dari pulp atau
partikel asing, konsistensinya stabil, dan cukup kukuh mempertahankan
bentuknya bila dikeluarkan dari wadah. Jelly buah merupakan satu diantara
produk makanan yang sudah dikenal dan sangat popular di kalangan masyarakat.
Dapat dibuat dari buah yang cacat rupa, berukuran kecil, buah yang kurang
matang, kulit buah, hati buah atau buah yang terjatuh oleh angin, sehingga dalam
hal ini nilai ekonomis buah lebih meningkat (Woodroof dan Luh, 1975). Jelly
merupakan makanan sumber kalori yang tinggi, karena mengandung kadar gula
yang tinggi, dimana mudah diabsorpsi oleh usus manusia dan memberikan energi
tubuh dengan cepat Muchtadi et al. (1979).
11
Perlindungan fisik menjaga produk dari bahaya mekanik dan menghindari
goncangan dan getaran selama pendistribusian (Marsh dan Betty, 2007).
Adanya kesadaran mengenai daya tahan berbagai produk menuntut
kesadaran akan perlunya penyimpanan. Penyimpanan suatu bahan merupakan
salah satu upaya agar produk dapat dinikmati oleh konsumen sebelum terjadi
kerusakan, sehingga selama penyimpanan harus selalu diusahakan agar produk
tidak mengalami penurunan mutu yang besar. Penyimpanan bahan pangan
berfungsi lebih luas lagi yaitu sebagai pengendali persediaan makanan (Syarief
dan Halid, 1993).
Kelembaban dan suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam
proses penyimpanan. Kelembaban sangat berperan dalam menentukan mutu bahan
dan proses kerusakan selama penyimpanan. Kadar air suatu bahan akan meningkat
jika disimpan dalam ruangan dengan kelembaban yang tinggi. Kadar air yang
tinggi akan membantu pertumbuhan mikroorganisme dan mengakibatkan
terjadinya penurunan mutu produk. Bahan yang disimpan akan menyerap uap air
dari udara atau melepaskannya sampai tekanan uap air dalam bahan sama dengan
tekanan uap air udara ruang penyimpanan. Setiap bahan mempunyai
keseimbangan kadar air tertentu yang dipengaruhi oleh komposisi kimia bahan
tersebut. Kelembaban udara ruang penyimpanan berhubungan dengan aktivitas air
suatu bahan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme (Syarief
dan Halid,1993).
Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu
makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa
kimia akan semakin cepat. Oleh karena itu, dalam menduga kecepatan penurunan
mutu makanan selama penyimpanan, faktor suhu harus selalu diperhitungkan
(Syarief dan Halid,1993).
Penggunaan suhu rendah dapat dilakukan untuk menghambat atau
mencegah reaksi-reaksi kimia, reaksi enzimatis, atau pertumbuhan mikroba.
Semakin rendah suhu, semakin lambat proses tersebut. Penggunaan suhu rendah
dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu penyimpanan sejuk, pendinginan, dan
penyimpanan beku. Penyimpanan sejuk biasanya dilakukan pada suhu sedikit di
bawah suhu kamar dan tidak lebih rendah dari 15 oC. Pendinginan adalah
12
penyimpanan di atas suhu pembekuan yaitu -2 sampai +10 oC, sedangkan
penyimpanan beku adalah penyimpanan di bawah suhu -2 oC (Winarno dan
Jenie,1983).
Pendinginan dapat memperlambat kecepatan reaksi-reaksi metabolisme.
Oleh karena itu, penyimpanan bahan pangan pada suhu rendah dapat
memperpanjang masa hidup dari jaringan-jaringan di dalam bahan pangan. Hal ini
bukan hanya disebabkan oleh keaktifan responsi menurun, tetapi juga terjadinya
penghambatan pertumbuhan mikroba penyebab kebusukan dan kerusakan.
Pendinginan yang biasa dilakukan sehari-hari dalam lemari es pada umumnya
mencapai 5-8 oC. Walaupun suhu pendinginan dapat menghambat pertumbuhan
atau aktivitas mikroba atau mungkin membunuh beberapa bakteri, tetapi
pendinginan maupun pembekuan tidak dapat digunakan untuk membunuh semua
bakteri (Winarno et al.,1980).
Pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan di
antaranya adalah suhu, pH, aktivitas air, adanya oksigen, dan tersedianya zat
makanan. Oleh karena itu, kecepatan pertumbuhan mikroba dapat diubah dengan
mengubah faktor lingkungan tersebut. Semakin rendah suhu yang digunakan
dalam penyimpanan maka semakin lambat pula reaksi kimia, aktivitas enzim dan
pertumbuhan mikroba (Frazier dan Westhoff,1979).
Faktor yang mempengaruhi proses pendinginan bahan adalah suhu,
kecepatan udara dalam ruang pendinginan, komposisi atmosfer serta ada tidaknya
sinar ultra violet. Penggunaan suhu rendah yang tepat dapat menghambat: (i)
respirasi dan kegiatan-kegiatan metabolik lainnya; (ii) penuaan karena
pematangan, pelunakan, perubahan-perubahan tekstur dan warna; (iii) kehilangan
air; (iv) kerusakan yang disebabkan oleh serbuan bakteri, jamur, dan khamir; (v)
pertumbuhan yang tak diinginkan; dan (vi) perubahan-perubahan rasa dan bau
(Pantastico,1986).
2.6 Kemasan
Pengertian umum dari kemasan adalah suatu benda yang digunakan untuk
wadah atau tempat yang dikemas dan dapat memberikan perlindungan sesuai
dengan tujuannya. UK Institute of Packaging memberikan tiga definisi kemasan:
13
(i) sistem terkoordinasi dalam pembuatan barang untuk transportasi, distribusi,
penyimpanan, perdagangan eceran, dan penggunaan akhir; (ii) suatu sarana untuk
menjamin sistem penghantaran yang aman kepada konsumen terakhir dalam
kondisi yang baik dengan biaya seminimal mungkin; (iii) suatu fungsi tekno
ekonomi dengan tujuan agar biaya semurah mungkin, dan memaksimalkan
perdagangan (atau dengan kata lain keuntungan). Secara teoritis, kemasan dinilai
ideal apabila secara kimia inert total dan memungkinkan bahan makanan
mempertahankan karakteristik aslinya. Akan tetapi, pada kenyataannya jarang
sekali ada bahan pengemas yang benar-benar inert, beberapa reaksi tidak dapat
dihindari dan dicegah tergantung dari sifat-sifat bahan pengemas dan tipe
makanan yang dikemas (Agoes, 2004).
Kemasan dapat ditinjau berdasarkan bahan dasar, konstruksi, bentuk, dan
fungsinya. Berdasarkan bahannya, kemasan yang semula dari bahan tradisional,
sekarang telah berkembang dengan menggunakan bahan modern seperti metal
baja, alumunium, kaca, kertas, dan plastik. Berdasarkan konstruksinya, kemasan
dapat berupa lapis tunggal, lapis ganda, dan lapis majemuk. Berdasar bentuknya,
kemasan dapat berbentuk kaleng, tube, sachet, botol, gelas, mangkuk, kotak,
karton, karung, dan drum (Soekarto dan Nur, 2004).
Berdasarkan fungsinya, kemasan dibagi menjadi dua yaitu kemasan untuk
pengangkutan dan distribusi (shiping/delivery package) dan kemasan untuk
perdagangan eceran atau supermarket (retail package). Pemakaian material dan
pemilihan rancangan kemasan untuk pengangkutan dan distribusi akan berbeda
dengan kemasan untuk perdagangan eceran. Kemasan untuk pengangkutan atau
distribusi akan mengutamakan material dan rancangan yang dapat melindungi
kerusakan selama pengangkutan dan distribusi, sedangkan kemasan untuk eceran
diutamakan materi atau material yang dapat memikat konsumen untuk membeli
(Peleg,1985).
Beberapa persyaratan kemasan makanan yang perlu diperhatikan adalah
sebagai berikut: (i) permeabilitas terhadap udara; (ii) tidak dapat menyebabkan
penyimpangan warna produk; (iii) tidak bereaksi, sehingga tidak merusak bahan
maupun cita rasanya, tidak mudah teroksidasi atau bocor; (iv) tahan panas; (v)
mudah dikerjakan; (vi) harganya murah. Kerusakan yang terjadi pada bahan
14
pangan dapat terjadi secara spontan. Hal ini disebabkan oleh lingkungan luar.
Pengemasan juga digunakan untuk membatasi antara bahan pangan dengan
keadaan sekelilingnya untuk menunda proses kerusakan dalam jangka waktu
tertentu (Buckle et al.,1987). Pengemasan sebagai bagian integral dari proses
produksi dan pengawetan bahan pangan dapat mempengaruhi mutu produk.
Perubahan fisik dan kimia dapat terjadi karena migrasi zat-zat kimia pada bahan
kemasan. Selain itu juga perubahan aroma, warna, dan tekstur yang dipengaruhi
uap air dan oksigen (Syarief et al.,1989).
15
(kertas atau alumunium foil). Kelemahan bahan kemasan plastik ini adalah adanya
zat-zat monomer dan molekul kecil yang terkandung dalam plastik dapat
melakukan migrasi ke bahan makanan terkemas (Winarno,1993).
Permeabilitas plastik terhadap udara dan uap air menyebabkan plastik
berperan dalam modifikasi ruang kemasan selama penyimpanan. Sifat penting
bahan kemasan plastik yang digunakan meliputi permeabilitas gas dan uap air,
bentuk dan permukaannya. Permeabilitas gas dan uap air, serta luas permukaan
kemasan mempengaruhi produk yang disimpan. Jumlah gas yang sesuai dan luas
permukaan yang kecil menyebabkan masa simpan produk lebih lama
(Winarno,1993).
Jenis plastik yang digunakan dalam penelitian ini adalah plastik
polipropilen. Polipropilen termasuk jenis plastik olefin dan merupakan polimer
dari propilen. Polipropilen merupakan jenis termoplastik yang memiliki densitas
rendah. Dikembangkan sejak 1950 dengan berbagai nama dagang seperti
bexphane, dynafilm, luparen, escon, ole fane, dan profax. Polipropilen sangat
mirip dengan polietilen dan sifat-sifat penggunaannya juga serupa. Polipropilen
lebih kuat dan ringan dengan daya tembus uap yang rendah, ketahanan yang baik
terhadap lemak, stabil terhadap suhu tinggi, dan cukup mengkilap (Syarief et
al.,1989).
Plastik propilen tidak mudah sobek atau retak. Sifat utama polipropilen
adalah ringan (densitas 900 kg/m3), permeabilitas uap air rendah dan
permeabilitas gas sedang sehingga tidak baik untuk makanan yang peka terhadap
oksigen, tembus pandang dan jernih sehingga mudah dicetak (printing).
Polipropilen dibuat melalui proses polimerisasi dengan bantuan katalisator pada
monomer propilen di bawah panas dan tekanan (Robertson, 1993). Monomer
polipropilen diperoleh dengan pemecahan secara thermal naphtha (distilasi
minyak kasar) etilen, propilen dan homologues yang lebih tinggi dipisahkan
dengan distilasi pada temperatur rendah. Dengan menggunakan katalis Natta-
Ziegler polipropilen dapat diperoleh dari propilen (Brown, 1991). Struktur umum
polipropilen dapat dilihat pada Gambar 1.
16
CH2 CH
n
CH3
17
dilekuk-lekukkan sehingga dapat dibentuk sesuai dengan keinginan, tidak berbau,
tidak berasa, dan tidak beracun. Alumunium foil juga merupakan salah satu jenis
kemasan yang kedap terhadap udara, uap air, dan kedap cahaya sehingga dapat
mencegah peningkatan aw dan oksidasi. Alumunium foil memiliki sifat tahan
terhadap panas, permeabilitas yang rendah terhadap uap air dan tidak korosif.
Kemasan ini juga memiliki pori-pori yang kecil sehingga dapat menghambat
kemampuan uap air untuk menembus masuk kedalam kemasan (Departemen
Perindustrian dan Perdagangan, 2003).
Alumunium foil merupakan kemasan yang dapat menghalangi cahaya dan
oksigen (penyebab lemak teroksidasi atau menjadi tengik), bau dan aroma,
kelembaban, dan bakteri masuk ke dalam makanan yang dikemas. Alumunium
foil digunakan pada makanan dan produk-produk farmasi. Bahan ini juga
digunakan untuk membuat kemasan pak yang berumur panjang (kemasan aseptik)
untuk minuman dan dairy product dengan penyimpanan tanpa pendingin.
Laminasi alumunium foil juga digunakan untuk mengemas makanan yang sensitif
terhadap oksigen dan uap air, misalnya tembakau (Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, 2003).
Alumunium foil memiliki sisi yang mengkilap dan sisi yang buram. Sisi
yang mengkilap diproduksi ketika alumunium digulung pada waktu tahap akhir.
Pada tahap akhir penggulungan, dua lembar digulung pada waktu yang sama.
Keduanya masuk pada mesin penggulung. Ketika lembaran dipisahkan, sisi
dalamnya tidak mengkilap, sedangkan sisi luarnya mengkilap. Banyak orang
percaya bahwa sisi yang mengkilap mencerminkan bagian yang menjaga panas
keluar dan menjaga panas di dalam ketika melapisi bagian luar produk
(Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2003).
18
pecah dan kurang baik bagi produk-produk yang peka terhadap penyinaran
(ultraviolet) (Syarief,2002).
Gelas adalah padatan amorf dari suatu larutan peroksida oksida, kalsium,
natrium dan elemen lain. Bahan mentah gelas terutama adalah pasir, soda abu, dan
batu kapur yang dipilih secara hati-hati. Dalam pembuatan wadah gelas, bahan
adonan termasuk pasir, soda abu, batu kapur, dan bubuk gelas (yang dimasukkan
ke dalam adonan untuk menurunkan titik lebur), diukur jumlahnya secara teliti,
dan dipanaskan sampai suhu melebihi 2600 oF. Setelah gelas melebur dan
dibersihkan, wadah gelas dibentuk dengan cara memasukkan gelas cair ke dalam
mesin pencetak dimana pembentukkan gelas dimulai. Kemudian dipindahkan de
dalam mesin pencetak terakhir untuk ditiup menjadi bentuk akhir, didinginkan
sebentar, dan akhirnya dipisahkan dari mesin (Muchtadi, 1995). Komposisi kimia
wadah gelas komersial dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi kimia wadah gelas komersial
Komposisi kimia Rumus kimia Persentase
Silika SiO2 73,000
Soda abu Na2O 13,000
Potasium Oksida K2O 0,440
Batu kapur CaO 11,700
Magnesium oksida MgO 0,190
Alumunium oksida Al2O3 1,430
Besi oksida Fe2O3 0,049
Belerang trioksida SO3 0,190
Sumber: Syarief (2002)
Wadah gelas untuk bahan pangan dapat dibedakan kedalam dua bentuk,
yaitu: gelas bermulut lebar (wide mouth) dan gelas bermulut sempit (narrow
neck). Wadah gelas bermulut lebar kebanyakan digunakan untuk produk makanan
bayi, susu bubuk, buah-buahan, mentega, kacang, kopi, teh, jam, jelly, acar,
manisan, mayonais. Sedangkan, wadah gelas berleher sempit kebanyakan
digunakan untuk produk-produk cair, seperti kecap, sari buah, sirup, bumbu cair,
saus, cuka (Muchtadi, 1995).
19
Faktor yang menentukan dalam pengemasan botol adalah adanya ruang
udara. Ruang kosong (head space) harus disediakan pada setiap kemasan gelas
yang diisikan dengan suatu bahan. Ruang ini diberikan untuk mengantisipasi
terjadinya pemuaian bahan akibat peningkatan suhu karena proses sterilisasi.
Ukuran dari head space ini diusahakan tidak terlalu besar atau kecil. Bila terlalu
besar maka dapat mengakibatkan akumulasi udara pada atas kemasan gelas dan
apabila terlalu kecil proses penutupan kemasan tidak akan sempurna. Besarnya
head space yang digunakan tergantung dari bahan yang dikemas. Pada umumnya
berkisar antara 3%-5%. Namun, untuk produk-produk yang menghasilkan gas
seperti peroksida dan hipoklorit digunakan head space sebesar 10%
(Muchtadi,1995).
Proses penutupan merupakan bagian yang cukup penting dalam
penggunaan kemasan gelas jar. Penutupan yang rapat dapat dihasilkan karena
kontruksi leher botol memiliki ulir dan pengunci yang dapat menahan tutup secara
kuat. Tutup yang digunakan untuk menutup kemasan jar dapat terbuat dari logam
maupun plastik (Muchtadi,1995). Kemasan gelas dapat digunakan untuk jenis
bahan berasam rendah ataupun berasam tinggi, sehingga cocok digunakan untuk
mengemas produk confectionery. Perbedaan suhu di dalam dan di luar kemasan
tidak boleh lebih dari 27oC. Oleh karena itu, proses pengemasan terhadap
kemasan ini harus dilakukan secara perlahan-lahan untuk menghindari keretakan
(Syarief,2002). Menurut Muchtadi (1995), keuntungan menggunakan kemasan
gelas meliputi (i) gelas bersifat inert sehingga tidak akan bereaksi dengan bahan
yang dikemas; (ii) gelas bersifat kedap dan tidak berpori; (iii) tidak berbau dan
bersih; (iv) bersifat transparan sehingga memungkinkan dapat diperiksa baik oleh
konsumen maupun produsen; (v) mudah dibuka dan ditutup kembali; (vi) dapat
dibuat dalam berbagai bentuk, ukuran, dan warna.
20
fisik, dan organoleptik, setelah disimpan dalam kondisi yang direkomendasikan
(Arpah dan Syarief, 2000). Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa
umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam kondisi
penyimpanan tertentu untuk dapat mencapai tingkatan degradasi mutu tertentu.
Menurut Labuza dan Schmild (1985), faktor-faktor yang mempengaruhi umur
simpan meliputi: (i) jenis dan karakteristik produk pangan. Produk yang
mengalami pengolahan akan lebih tahan lama dibanding produk segar. Produk
yang mengandung lemak berpotensi mengalami rancidity, sedangkan produk yang
mengandung protein dan gula berpotensi mengalami reaksi maillard (warna
coklat); (ii) jenis dan karakteristik bahan kemasan. Permeabilitas bahan kemas
terhadap kondisi lingkungan (uap air, cahaya, aroma, oksigen); (iii) kondisi
lingkungan. Intensitas sinar (UV) menyebabkan terjadinya ketengikan dan
degradasi warna. Oksigen menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi.
Menurut Syarief et al. (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi umur
simpan makanan yang dikemas adalah sebagai berikut: (i) keadaan alamiah atau
sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan
terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal
dan fisik; (ii) ukuran kemasan dalam hubungan dengan volumenya; (iii) kondisi
atmosfir (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat bertahan selama
transit dan sebelum digunakan; (iv) ketahanan keseluruhan dari kemasan terhadap
keluar masuknya air, gas, dan bau, termasuk perekatan, penutupan, dan bagian-
bagian yang terlipat.
Proses perkiraan umur simpan sangat tergantung pada tersedianya data
mengenai: (i) mekanisme penurunan mutu produk yang dikemas; (ii) unsur-unsur
yang terdapat di dalam produk yang langsung mempengaruhi laju penurunan mutu
produk; (iii) mutu produk dalam kemasan; (iv) bentuk dan ukuran kemasan yang
diinginkan; (v) mutu produk pada saat dikemas; (vi) mutu minuman dari produk
yang masih dapat diterima; (vii) variasi iklim selama distribusi dan penyimpanan;
(viii) resiko perlakuan mekanis selama distribusi dan penyimpanan yang
mempengaruhi kebutuhan kemasan; (ix) sifat barrier pada bahan kemasan untuk
mencegah pengaruh unsur-unsur luar yang dapat menyebabkan terjadinya
penurunan mutu produk (Hine, 1987).
21
Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan dua
metode yaitu metode Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage
Studies (ASS). ESS atau sering disebut metode konvensional adalah penentuan
tanggal kadaluarsa dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada kondisi
normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya
hingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun
memerlukan waktu yang lama dan analisa parameter yang relatif banyak. Metode
ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi
penurunan mutu produk pangan. Pada metode ini, kondisi penyimpanan diatur
diluar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan dapat
ditentukan umur simpan produk. Kelebihan metode ini adalah waktu pengujian
yang relatif singkat (1-4 bulan), namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang
tinggi (Herawati, 2008).
Metode akselerasi pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan
untuk produk-produk pangan tertentu. Model-model yang diterapkan pada
penelitian akselerasi ini menggunakan dua cara pendekatan yaitu : (i) pendekatan
kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara pendekatan yang
diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktifitas air
sebagai kriteria kadaluarsa; (ii) pendekatan semi empiris dengan bantuan
persamaan Arrhenius, yaitu suatu cara pendekatan yang menggunakan teori
kinetika yang pada umumnya mempunyai ordo reaksi nol atau satu untuk produk
pangan (Herawati, 2008).
Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan makanan.
Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan
semakin cepat. Untuk menentukan kecepatan reaksi kimia bahan pangan dalam
kaitannya dengan perubahan suhu, Labuza (1982) menggunakan pendekatan
Arrhenius. Semakin sederhana model yang digunakan untuk menduga umur
simpan, maka biasanya semakin banyak asumsi yang dipakai. Asumsi untuk
penggunaan model Arrhenius ini misalnya:
(i) Perubahan faktor mutu hanya ditentukan oleh satu macam reaksi saja
(ii) Tidak terjadi faktor lain yang mengakibatkan perubahan mutu
22
(iii) Proses perubahan mutu dianggap bukan merupakan akibat dari proses-proses
yang terjadi sebelumnya
(iv) Suhu selama penyimpanan tetap atau dianggap tetap
Dalam kinetika perubahan mutu pangan, umumnya dilakukan
penyederhanaan reaksi-reaksi yang kompleks menjadi reaksi sederhana dengan
orde reaksi kenol atau kesatu. Model perubahan mutu pangan dan orde reaksi
perubahannya dapat dianalisis dengan berbagai metode, diantaranya dengan
integrasi yang dilanjutkan dengan analisis model atau fungsi dugaannya.
Pengujian atas ketepatan model atau fungsi dugaan dapat dilihat dari koefisien
determinasi (R2). Persamaan Arrhenius dapat dilihat pada persamaan (1) dan ln
atas persamaan (1) menjadi persamaan (2), dengan:
………………………………………………………………(1)
Dimana :
K = konstanta kecepatan reaksi
Ko = konstanta pre-eksponensial
Ea = Energi aktivasi (KJ/mol)
R = konstanta gas = 1.986 (kal/mol)
T = suhu mutlak (K)
………………………………………………(2)
Ln K
-Ea/R
1/T
Gambar 2. Grafik antara nilai ln K dan 1/T dalam persamaan Arrhenius
23
Nilai umur simpan dapat dihitung dengan memasukkan nilai perhitungan
ke dalam persamaan reaksi ordo nol atau satu. Menurut Labuza (1982), reaksi
kehilangan mutu pada makanan banyak dijelaskan oleh reaksi ordo nol dan satu,
sedikit yang dijelaskan oleh ordo reaksi lain.
………………………………………..……………………..(3)
Integrasi terhadap persamaan (3) akan menghasilkan persamaan (5) dan umur
simpan produk dapat dihitung dengan persamaan (6):
………………………………………………….(4)
……….……………………………………….…….(5)
………………………………………………………………(6)
Dimana :
At = nilai A pada awal waktu t
A0 = nilai awal A
K = laju perubahan mutu
t = waktu simpan
24
unggas, kerusakan vitamin, penurunan mutu protein, dan sebagainya. Persamaannya
adalah sebagai berikut:
...........................................................................................(7)
Integrasi terhadap persamaan (7) akan menghasilkan persamaan (9) dan umur
simpan dihitung berdasarkan persamaan (10):
…………………………………………………..(8)
………………………………………………..(9)
…………………………………………………….(10)
25
III. METODOLOGI PENELITIAN
26
3.3 Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu tahap pembuatan produk
permen jelly pepaya, pengemasan dan penyimpanan, dan analisis produk permen
jelly pepaya. Analisa produk meliputi uji proksimat awal, kadar air, vitamin C,
total asam tertitrasi (TAT), warna, kekerasan, dan organoleptik.
27
Buah pepaya
Pengupasan
Pencucian
Penghancuran
Pencetakan
Pemotongan
Pendinginan
28
3.3.2 Pengemasan dan Penyimpanan
Permen jelly pepaya ditimbang sebanyak 100 gram. Kemudian permen
dikemas dan disimpan sesuai perlakuan yang diberikan. Perlakuan yang diberikan
untuk Permen jelly pepaya adalah pengemasan dengan tiga jenis kemasan, yaitu
kemasan plastik polipropilen, alumunium foil, dan kemasan gelas jar. Suhu
penyimpanan yang digunakan adalah 5, 15, 25, dan 35˚C. pada penelitian ini
dilakukan dua kali ulangan.
3.3.3 Analisa
Karakterisasi produk permen jelly pepaya diketahui dengan melakukan uji
proksimat. Uji proksimat dan uji mikrobiologis dilakukan untuk mengetahui
karakteristik awal bahan sebelum perlakuan penyimpanan. Proksimat yang
dilakukan berupa uji kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat
kasar, pH, aw, warna, total asam tertitrasi (TAT), vitamin C, kekerasan, dan kadar
karbohidrat (by difference). Uji mikrobial dilakukan terhadap produk permen jelly
pepaya pada uji kapang khamir. Selain itu, juga dilakukan beberapa uji untuk
mendapatkan karakterisasi bahan selama penyimpanan yaitu uji kadar air, warna,
total asam tertitrasi (TAT), vitamin C, kekerasan, dan organoleptik. Prosedur
analisis dapat dilihat pada Lampiran 1. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada
Gambar 4.
29
Permen jelly pepaya
Penyimpanan:
1. Suhu 5oC
2. Suhu 15oC
3. Suhu 25oC
4. Suhu 35oC
Analisis:
1. Proksimat awal
2. Kadar air
3. Vitamin C
4. TAT
5. Warna
6. Kekerasan
7. Uji organoleptik
30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
31
Tabel 6. Persyaratan mutu permen jelly menurut SNI 02-3547-2008
Kriteria Uji Satuan Persyaratan Mutu
Bentuk - Normal
Rasa - Normal
Bau - Normal
Air % (b/b) Maks 20.0
Abu % (b/b) Maks 3.0
Sakarosa % (b/b) Min 30
Pemanis Buatan - Negatif
Pewarna tambahan - Negatif
Gula Reduksi (sebagai gula invert) % (b/b) Maks 20
Cemaran logam:
Timbal (Pb) mg/kg Maks 1.5
Tembaga (Cu) mg/kg Maks 10
Seng (Zn) mg/kg Maks 10
Raksa (Hg) mg/kg Maks 0.03
Timah (Sn) mg/kg Maks 40
Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks 1.0
Cemaran mikroba:
Angka lempeng total Koloni/g Maks 5 x 104
Bakteri koliform APM/g Maks 20
E.Coli APM/g Kurang dari 3
Salmonella - Negatif/25g
Staphylococcus aureus Koloni/g Maks 102
Kapang dan Khamir Koloni/g Maks 102
32
makin rendah kandungan airnya, daya simpannya pada kondisi normal akan
makin panjang. Rendahnya kadar air produk permen jelly pepaya ini disebabkan
hilangnya sebagian air pada proses pengeringan.
Kadar abu yang dimiliki permen jelly pepaya pada saat awal pengujian
adalah sebesar 1,58%. Kadar abu permen jelly pepaya ini di bawah batas
maksimal kadar abu permen jelly menurut SNI 02-3547-2008 yaitu sebesar 3%.
Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan mineral dalam produk permen jelly
pepaya. Mineral merupakan zat anorganik dalam bahan yang tidak terbakar
selama proses pembakaran (Soebito, 1988). Rendahnya kadar abu ini
menunjukkan bahwa kandungan mineral dan ion-ion organik yang terkandung
dalam pepaya yang menjadi komponen utama produk tersebut tergolong rendah.
Kadar abu yang rendah juga disebabkan oleh kandungan mineral dari bahan-
bahan yang ditambahkan dalam formulasi produk rendah.
Kadar protein yang terkandung dalam produk permen jelly pepaya adalah
sebesar 0,84%. Protein merupakan substrat yang dapat digunakan langsung oleh
mikroorganisme sebagai media pertumbuhannya. Selain itu, kadar protein juga
menentukan mutu suatu bahan pangan. Hal ini dikemukakan oleh Winarno et al.
(1980) yang menyatakan bahwa pada umumnya kadar protein di dalam bahan
pangan menentukan mutu bahan pangan itu sendiri.
Kadar lemak produk permen jelly pepaya berdasarkan hasil pengujian
menunjukkan nilai 1,20%. Rendahnya kadar lemak ini dikarenakan permen jelly
pepaya bukanlah produk berlemak, sehingga lemak yang terdapat di dalam
permen jelly pepaya ini kecil. Meski dinilai kecil, adanya kandungan lemak dapat
menyebabkan penurunan mutu selama penyimpanan di antaranya terjadinya
penyimpangan bau dan rasa. Menurut Ketaren (1986), lemak dapat mengabsorbsi
zat menguap yang dihasilkan dari bahan lain. Banyaknya bahan makanan lain
selama penyimpanan akan menyebabkan absorbsi bau oleh lemak yang
menyebabkan terjadinya penyimpangan bau (off odour).
Kadar serat yang dimiliki permen jelly pepaya sebesar 2,46%. Kandungan
serat permen jelly pepaya relatif tinggi dikarenakan bahan baku utama permen
jelly pepaya ini adalah buah pepaya dan karagenan yang merupakan sumber serat
tinggi. Kadar karbohidrat by difference permen jelly pepaya setelah dihitung
33
adalah 86,31%. Menurut Winarno (1997), karbohidrat memiliki peranan penting
dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur,
dan lainnya. Besarnya kandungan karbohidrat yang terdapat pada permen jelly
pepaya dapat menyebabkan penurunan mutu permen jelly pepaya, salah satunya
adalah terjadi perubahan warna pada permen jelly pepaya yang disebabkan oleh
reaksi oksidasi. Menurut Stuckey (1981) pada karbohidrat, reaksi oksidasi
biasanya menimbulkan perubahan warna dan cita rasa. Perubahan warna yang
terjadi, biasanya menjadi coklat atau coklat kemerahan.
Pengukuran nilai pH perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat keasaman
produk dan juga kaitannya dengan keamanan dan umur simpan produk tersebut.
Nilai pH menjadi faktor penting untuk suatu produk makanan bila dihubungkan
dengan kualitas produk. Berdasarkan nilai pH yang diperoleh dari hasil pengujian
yaitu sebesar 3,94, produk permen jelly pepaya termasuk dalam golongan
makanan berasam rendah yaitu makanan yang mempunyai pH kurang dari 4,5
hingga di atas 2. Rendahnya nilai pH produk permen jelly pepaya ini dikarenakan
pepaya sebagai bahan baku utama banyak mengandung vitamin C yang bersifat
asam.
Peranan air dalam bahan pangan biasanya dinyatakan sebagai kadar air
dan aktivitas air. Aktivitas air (a w) adalah jumlah air bebas yang dapat
dimanfaatkan oleh mikroba untuk pertumbuhannya (Winarno dan Jenie, 1983).
Istilah aktivitas air digunakan untuk menjabarkan air yang tidak terikat atau bebas
dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis dan kimiawi. Air yang
terkandung dalam bahan pangan, apabila terikat kuat dengan komponen bukan air
akan lebih sulit digunakan baik untuk aktivitas biologis maupun aktivitas kimia
dan hidrolitik (Syarief dan Halid, 1993). Menurut Syarief et al. (2003), air yang
mengalami kristalisasi dan membentuk es atau air yang terikat secara kimiawi
dalam larutan gula atau garam tidak dapat digunakan oleh jasad renik. Nilai a w
produk permen jelly pepaya ini sebesar 0,62. Nilai aw ini tidak memungkinkan
tumbuh dan berkembangnya kapang sebagai mikroorganisme yang sering
mengkontaminasi produk permen jelly karena kapang memiliki a w minimum
sebesar 0,8. Akan tetapi, nilai a w dapat meningkat seiring dengan lamanya
penyimpanan produk.
34
Pengujian mikrobiologi sangat penting bagi produk-produk makanan.
Produk makanan olahan merupakan substrat yang baik bagi pertumbuhan
mikroba. Hal ini dikarenakan adanya karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan
mineral pada makanan yang dapat membantu pertumbuhan mikroba. Walaupun
demikian, populasi mikroorganisme yang berada pada suatu bahan pangan
umumnya bersifat sangat spesifik dan tergantung pada jenis bahan pangan dan
kondisi tertentu dari penyimpanan (Syarief et al., 2003). Kapang merupakan
salah satu mikroorganisme yang sering tumbuh pada permukaan produk permen
jelly pepaya dan merupakan salah satu bentuk kerusakan mikrobiologis dalam
penyimpanan produk permen jelly pepaya. Kapang dapat tumbuh pada suatu
makanan yang kering, ada oksigen, dan kondisi yang lembab. Hasil uji total
kapang pada produk permen jelly pepaya ini menunjukkan bahwa tidak ada
kapang yang tumbuh pada produk tersebut. Hal ini dikarenakan nilai a w produk
permen jelly pepaya ini berada di bawah 0,8 yang merupakan nilai a w dimana
kapang pada umumnya bisa tumbuh. Pengujian mikrobiologis dapat digunakan
untuk menduga daya tahan makanan dan sebagai indikator sanitasi dalam
keamanan pangan.
Berdasarkan hasil karakterisasi awal, dapat dilakukan perkiraan-perkiraan
yang akan terjadi pada proses penyimpanan permen jelly pepaya. Dilihat dari
kadar airnya yang cukup rendah, diperkirakan umur simpan permen jelly pepaya
cukup panjang untuk produk pangan semibasah. Seperti produk semibasah
lainnya, permen jelly pepaya ini memiliki sifat higroskopis yaitu mudah menyerap
uap air lingkungannya sehingga kondisi lingkungan cepat mempengaruhi kadar air
bahan. Pada kondisi penyimpanan yang lembab kemungkinan selama
penyimpanan permen jelly pepaya mengalami kerusakan oleh kapang. Kandungan
karbohidrat dan protein yang tinggi memungkinkan terjadinya reaksi Maillard
yaitu reaksi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina
primer. Gugus amina primer biasanya tedapat pada bahan awal sebagai asam
amino. Hasil reaksi tersebut menghasilkan bahan berwarna coklat, yang sering
dikehendaki atau kadang-kadang menjadi pertanda penurunan mutu (Winarno,
1997).
35
4.2 Karakteristik Kemasan
Kemasan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari tiga jenis
kemasan, yaitu plastik polipropilen, alumunium foil, dan kemasan gelas jenis jar
yang ingin diketahui efektifitasnya. Pemilihan penggunaan jenis kemasan tersebut
berdasarkan pada kerakteristik kemasan yang dinilai cukup baik dalam
perlindungan produk serta ketersediaan kemasan tersebut di pasaran. Gambar
kemasan yang digunakan untuk mengemas jelly pepaya dapat dilihat pada
Gambar 5.
Gambar 5. Kemasan plastik PP, alumunium foil, dan gelas jar yang digunakan
untuk mengemas permen jelly pepaya
36
penyimpanan karena dapat menyebabkan terjadinya oksidasi dan hidrolisis.
Menurut Buckle (1987), sifat-sifat daya tembus dipengaruhi oleh suhu, ketebalan
lapisan, orientasi dan komposisi, komposisi atmosfer (seperti RH, untuk
pemindahann uap air), dan faktor lainnya.
Hasil uji karakteristik kemasan pada Tabel 7 memperlihatkan bahwa
kemasan gelas memiliki ketebalan terbesar dan bersifat inert. Plastik PP memiliki
ketebalan lebih besar dibandingkan dengan alumunium foil. Akan tetapi, nilai
O2TR dan WVTR plastik PP lebih besar dibandingkan dengan alumunium foil.
37
jelly pepaya mengalami peningkatan. Peningkatan kadar air ini juga menyebabkan
meningkatnya aw produk, sehingga memacu aktivitas mikroorganisme. Hal ini
menyebabkan penurunan mutu produk permen jelly pepaya lebih cepat terjadi.
38
(a)
(b)
(c)
Gambar 6. Perubahan kadar air permen jelly pepaya selama penyimpanan: (a)
kemasan plastik PP, (b) kemasan alumunium foil, dan (c) kemasan
gelas jar
39
Perubahan kadar air bahan juga dipengaruhi oleh permeabilitas kemasan.
Permeabilitas tiap-tiap kemasan berbeda dan akan berpengaruh pada laju transmisi
uap air. Semakin kecil laju transmisi uap air suatu kemasan menunjukkan semakin
sedikit jumlah uap air yang mampu menembus bahan. Laju transmisi uap air pada
kemasan plastik PP lebih besar dibandingkan dengan laju transmisi uap air pada
kemasan alumunium foil. Hal ini menyebabkan perubahan kadar air pada permen
jelly pepaya yang dikemas dengan plastik PP lebih besar dibandingkan dengan
permen jelly pepaya yang dikemas pada alumunium foil. Kemasan gelas yang
bersifat kedap seharusnya dapat mempertahankan kadar air permen jelly pepaya
yang dikemas di dalamnya. Akan tetapi, peningkatan kadar air permen jelly
pepaya yang dikemas pada gelas jar pada penelitian ini justru paling tinggi. Hal
ini dikarenakan terdapat rongga pada penutup ulir gelas jar, sehingga udara luar
dapat memasuki kemasan. Hal ini dapat diminimalisasi dengan melakukan
cupsealling pada tutup.
Data nilai kadar air selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 3
dan 4, sedangkan laju kenaikan kadar air dapat dilihat pada Lampiran 11. Selama
masa penyimpanan, kadar air permen jelly pepaya terkemas masih berada di
bawah kadar air maksimum permen jelly yang disyaratkan dalam SNI 02-3547-
2008. Kadar air maksimum permen jelly pada SNI 02-3547-2008 adalah 20%,
sedangkan nilai kadar air tertinggi selama penyimpanan ini adalah 16,82%.
Semakin tinggi kadar air permen jelly pepaya, semakin mudah terjadi kerusakan
pada permen jelly pepaya yang diakibatkan oleh mikroorganisme yang
memanfaatkan air sebagai media pertumbuhan.
4.4.2 Vitamin C
Nilai vitamin C permen jelly pepaya sebelum disimpan adalah sebesar
1,99mg/100g. Perubahan kandungan vitamin C permen jelly pepaya pada
kemasan plastik PP, alumunium foil, dan gelas jar dengan suhu penyimpanan 5,
15, 25, dan 35˚C dapat dilihat pada Gambar 7. Berdasarkan grafik pada Gambar 7,
dapat dilihat bahwa nilai vitamin C turun pada semua jenis kemasan dan suhu
penyimpanan selama waktu penyimpanan. Nilai vitamin C permen jelly pepaya
menurun secara eksponensial. Semakin tinggi suhu penyimpanan, maka tingkat
40
penurunan vitamin C produk juga semakin besar. Data nilai vitamin C selama
penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 6, sedangkan laju penurunan nilai
vitamin C dapat dilihat pada Lampiran 11.
Menurut Winarno (1997), vitamin C adalah vitamin yang paling tidak
stabil diantara semua jenis vitamin yang mudah mengalami kerusakan selama
proses pengolahan dan penyimpanan. Vitamin C memiliki sifat sangat mudah
larut dalam air, mudah teroksidasi, terutama jika dipercepat oleh panas, sinar,
alkali, serta oleh katalis tembaga dan besi. Vitamin C dapat berbentuk sebagai
asam L-askorbat dan asam L-dehidroaskorbat yang keduanya mempunyai
keaktifan sebagai vitamin C. Asam askorbat sangat mudah teroksidasi secara
reversible menjadi asam L-dehidroaskorbat. Asam L-dehidroaskorbat secara
kimia sangat labil dan dapat mengalami perubahan lebih lanjut menjadi asam L-
diketoglutanat yang tidak memiliki keaktifan vitamin C lagi.
Laju penurunan vitamin C pada permen jelly pepaya semakin besar dengan
semakin meningkatnya suhu penyimpanan. Semakin tinggi suhu mempercepat
terjadinya reaksi oksidasi dari vitamin C. Vitamin C mudah mengalami oksidasi
terutama suhu yang cukup tinggi dibanding suhu kamar (Winarno, 1997). Selain
itu, menurut Buckle et al. (1987), sifat-sifat daya tembus kemasan dipengaruhi
oleh suhu, ketebalan lapisan, orientasi dan komposisi, kondisi atmosfer, dan faktor
lainnya. Jadi, semakin tinggi suhu penyimpanan akan meningkatkan daya tembus
gas ke dalam kemasan yang menyebabkan kerusakan mutu lebih cepat. Penurunan
nilai vitamin C juga dipengaruhi oleh peningkatan kadar air produk. Semakin
tinggi kadar air pada produk, semakin banyak vitamin C yang larut dalam air.
Kondisi alami bahan pengemas dapat secara signifikan mempengaruhi
stabilitas asam askorbat dalam bahan pangan (Robertson, 1993). Berdasarkan data
hasil analisa diketahui bahwa permen jelly pepaya yang dikemas dengan plastik
PP dan gelas jar lebih banyak kehilangan vitamin C dibandingkan dengan permen
jelly pepaya yang dikemas dalam alumunium foil. Hal ini dikarenakan kemasan
plastik PP dan gelas jar memiliki warna transparan, sehingga adanya sinar/cahaya
dapat mudah ditransmisikan ke bahan yang berdampak pada rusaknya kandungan
vitamin C bahan.
41
(a)
(b)
(c)
Gambar 7. Perubahan vitamin C permen jelly pepaya selama penyimpanan: (a)
kemasan plastik PP, (b) kemasan alumunium foil, dan (c) kemasan
gelas jar
42
Kemasan plastik PP yang memiliki laju trasmisi udara lebih tinggi
dibandingkan dengan kemasan alumunium foil akan menghantarkan panas yang
lebih banyak. Adanya cahaya dan panas merupakan beberapa faktor yang menjadi
penyebab rusaknya vitamin C. Rusaknya vitamin C selama masa penyimpanan
juga disebabkan karena adanya oksigen baik dari dalam kemasan maupun dari
lingkungan yang masuk ke dalam kemasan. Bahan kemasan gelas cenderung
menahan kondisi lingkungan disekitarnya. Jika lingkungan sekitar gelas panas,
maka produk pun akan terkena pancaran panas. Hal ini selain dapat menyebabkan
perubahan warna juga dapat menurunkan kandungan vitamin C. Hal ini
disebabkan oleh daya resisten yang tinggi dari alumunium foil terhadap panas
sehingga mampu mempertahankan kandungan vitamin C lebih baik dari bahan
kemasan lain.
43
(a)
(b)
(c)
Gambar 8. Perubahan total asam tertitrasi (TAT) permen jelly pepaya selama
penyimpanan: (a) kemasan plastik PP, (b) kemasan alumunium foil,
dan (c) kemasan gelas jar
44
Penurunan total asam permen jelly pepaya pada kemasan plastik PP dan
gelas jar lebih cepat dibandingkan alumunium foil. Hal ini dikarenakan degradasi
asam askorbat dipercepat dengan adanya cahaya. Plastik PP dan gelas jar
memiliki warna transparan yang dapat mentransmisikan cahaya lebih banyak pada
bahan dibandingkan dengan alumunium foil, sehingga total asam pada permen
jelly pepaya kemasan plastik PP dan gelas jar lebih banyak yang hilang.
4.4.4 Tekstur
Naiknya nilai tekstur (kekerasan) menandakan bahwa permen jelly pepaya
menjadi lebih lunak. Semakin besar nilai kekerasan, semakin semakin lunak
permen jelly pepaya. Nilai kekerasan permen jelly pepaya sebelum disimpan
adalah sebesar 1,4 mm/10 detik. Besarnya nilai kekerasan dapat disebabkan oleh
kandungan (kadar) air di dalam permen jelly pepaya. Perubahan nilai kekerasan
permen jelly pepaya pada kemasan plastik PP, alumunium foil, dan gelas jar
dengan suhu penyimpanan 5, 15, 25, dan 35˚C dapat dilihat pada Gambar 9.
Berdasarkan grafik pada Gambar 9, dapat dilihat bahwa nilai kekerasan
permen jelly pepaya cenderung naik pada semua jenis kemasan dan suhu
penyimpanan selama waktu penyimpanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan,
maka tingkat kenaikan nilai kekerasan juga semakin tinggi. Data nilai tekstur
selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 9 dan laju kenaikan nilai tekstur
dapat dilihat pada Lampiran 11.
Peningkatan nilai kekerasan permen jelly pepaya merupakan salah satu
akibat dari meningkatnya kadar air permen jelly pepaya. Semakin tinggi kadar air
pada permen jelly pepaya, semakin lunak permen jelly pepaya tersebut.
Peningkatan nilai kekerasan permen jelly pepaya pada kemasan gelas jar lebih
tinggi dibandingkan dengan permen jelly pepaya pada kemasan plastik PP dan
alumunim foil. Hal ini sesuai dengan peningkatan nilai kadar air permen jelly
pepaya pada kemasan gelas jar yang nilainya lebih besar dibandingkan dengan
permen jelly pepaya pada kemasan plastik PP dan alumunium foil.
45
(a)
(b)
(c)
Gambar 9. Perubahan tekstur permen jelly pepaya selama penyimpanan: (a)
kemasan plastik PP, (b) kemasan alumunium foil, dan (c) kemasan
gelas jar
46
4.4.5 Warna
Warna adalah hasil persepsi dari pemantulan cahaya setelah berinteraksi
dengan suatu objek. Warna dari suatu objek dapat diartikan dalam tiga dimensi,
yaitu derajat hue, yang merupakan persepsi konsumen terhadap warna dari suatu
objek, kecerahan, dan saturasi yang merupakan tingkat kemurnian dari suatu
warna. Tingkat kecerahan menunjukkan hubungan antara cahaya yang
dipantulkan dan yang diserap dari suatu objek (Soekarto, 1981).
Warna merupakan atribut utama pada penampakan produk pangan dan
merupakan karakteristik yang penting pada kualitasnya. Beberapa alasan
mengenai keutamaannya adalah warna digunakan sebagai standar dari suatu
produk, penggunaannya sebagai penentu kualitas, warna digunakan juga sebagai
indikator kerusakan biologis dan atau fisiko kimia, dan penggunaan warna untuk
memprediksi karakteristik parameter kualitas lainnya (Soekarto, 1981).
Pengujian terhadap warna produk permen jelly pepaya ini dilakukan untuk
melihat pengaruh waktu penyimpanan terhadap warna produk permen jelly
pepaya. Pengujian dengan menggunakan Colorimeter memberikan tingkat
kecerahan produk yang dibaca sebagai nilai L. Perubahan tingkat kecerahan (nilai
L) permen jelly pepaya pada kemasan plastik PP, alumunium foil, dan gelas jar
dengan suhu penyimpanan 5, 15, 25, dan 35˚C dapat dilihat pada Gambar 10.
Berdasarkan grafik pada gambar Gambar 10, dapat dilihat bahwa nilai
kecerahan permen jelly pepaya cenderung turun pada semua jenis kemasan dan
suhu penyimpanan selama waktu penyimpanan. Semakin tinggi suhu
penyimpanan, maka tingkat penurunan nilai kecerahan permen jelly pepaya juga
semakin tinggi. Data tingkat kecerahan (nilai L) selama penyimpanan dapat dilihat
pada Lampiran 10 dan laju penurunan tingkat kecerahan (nilai L) dapat dilihat
pada Lampiran 11.
47
(a)
(b)
(c)
Gambar 10. Perubahan warna (L) permen jelly pepaya selama penyimpanan: (a)
kemasan plastik PP, (b) kemasan alumunium foil, dan (c) kemasan
gelas jar
48
Penurunan tingkat kecerahan pada produk dapat disebabkan oleh adanya
penambahan kadar air pada produk. Penambahan kadar air akan membuat produk
semakin berwarna kecoklatan, sehingga akan menurun tingkat kecerahannya.
Selain penambahan kadar air pada produk, reaksi browning non-enzimatis dan
pemanasan selama penyimpanan juga dapat mempengaruhi tingkat kecerahan
produk. Winarno (1997), menyatakan bahwa reaksi browning non-enzimatis
adalah salah satu penyebab utama penurunan kualitas pada banyak produk
pangan. Reaksi ini muncul akibat reaksi antara gula pereduksi dengan asam-asam
amino. Reaksi ini dapat menimbulkan warna yang lebih gelap pada produk,
sehingga dapat menurunkan tingkat kecerahan produk.
4.4.6.1 Rasa
Rasa merupakan salah satu penilaian penting untuk produk pangan. Pada
awal penyimpanan, skor kesukaan terhadap atribut rasa yang disimpan pada
kemasan plastik PP, alumunium foil, dan gelas jar pada empat suhu penyimpanan
(5, 15, 25, dan 35˚C) memiliki median dan modus 4 (suka). Median atau nilai
tengah menunjukkan bahwa 50% panelis menilai sampel pada tingkat kesukaan
skor tersebut. Modus menunjukkan skor yang paling sering diberikan panelis.
49
Setelah disimpan selama masa penyimpanan, skor kesukaan terhadap atribut rasa
mengalami penurunan. Nilai median dan modus tingkat kesukaan terhadap atribut
rasa permen jelly pepaya dapat dilihat pada Gambar 11.
Berdasarkan Gambar 11, dapat diketahui bahwa nilai median atribut rasa
hari ke-42 penyimpanan pada suhu 5, 15, 25, dan 35˚C untuk bahan yang dikemas
dengan kemasan plastik PP adalah 3 (netral), sedangkan nilai modusnya 3. Pada
kemasan alumunium foil nilai median suhu 5, 15, 25, dan 35˚C adalah 3 (netral),
sedangkan nilai modusnya 3. Pada kemasan gelas jar nilai median suhu 5, 15, dan
35˚C adalah 3 (netral), sedangkan pada suhu 25˚C nilainya 2,5 (netral-tidak suka).
Modus akhir pada kemasan gelas jar suhu 5, 15, dan 35˚C adalah 3, sedangkan
pada suhu 25˚C adalah 2.
Secara statistik, skor kesukaan terhadap atribut rasa permen jelly pepaya
dengan perlakuan kemasan dan empat suhu penyimpanan yang berbeda
memberikan hasil berbeda nyata (Asymp. Sig.<0,05) selama penyimpanan.
Dengan demikian, perlakuan kemasan dan suhu penyimpanan yang berbeda
mempengaruhi penilaian panelis terhadap rasa permen jelly pepaya.
Penurunan tingkat kesukaan terhadap atribut rasa paling banyak terjadi
pada permen jelly pepaya yang dikemas dengan gelas jar pada suhu penyimpanan
25˚C karena memiliki nilai median 2,5 (netral-tidak suka) dan modus 2 (tidak
suka). Hal ini disebabkan karena gelas jar memiliki warna transparan yang dapat
mentransmisikan cahaya lebih banyak pada bahan yang disimpan sehingga
kandungan asam permen jelly pepaya kemasan gelas jar lebih banyak yang hilang.
Selain itu, penutupan pada gelas jar yang masih memungkinkan adanya rongga
akan memudahkan udara panas masuk ke dalam kemasan, sehingga
mempengaruhi bahan. Semakin tinggi suhu penyimpanan semakin banyak asam
yang hilang menyebabkan rasa permen jelly pepaya cenderung lebih manis dan
agak terasa gosong, sehingga tidak disukai panelis.
50
(a)
(b)
(c)
Gambar 11. Nilai median dan modus tingkat kesukaan terhadap atribut rasa
permen jelly pepaya: (a) kemasan plastik PP, (b) kemasan
alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar
51
4.4.6.2 Aroma
Permen jelly pepaya memiliki aroma yang khas seperti aroma buah
pepaya. Karakteristik permen jelly pepaya hampir sama dengan produk semi
basah lainnya. Selama penyimpanan, produk semi basah mungkin akan
kehilangan aroma yang disebabkan oksidasi maupun penyerapan uap air oleh
bahan.
Berdasarkan Gambar 12, dapat dilihat bahwa skor kesukaan terhadap
atribut aroma permen jelly pepaya pada awal penyimpanan yang disimpan pada
kemasan plastik PP, alumunium foil, dan gelas jar dengan empat suhu
penyimpanan berbeda (5, 15, 25, dan 35˚C) memiliki nilai median dan modus 4
(suka). Nilai median atribut aroma hari ke-42 penyimpanan pada suhu 5, 15, 25,
dan 35˚C untuk bahan yang dikemas dengan kemasan plastik PP adalah 3 (netral),
sedangkan nilai modusnya 3. Pada kemasan alumunium foil nilai median suhu 5,
15, 25, dan 35˚C adalah 3 (netral), sedangkan nilai modusnya 3. Pada kemasan
gelas jar nilai median suhu 5˚C adalah 3 (netral), suhu 15˚C dan 35˚C adalah 2
(tidak suka), sedangkan pada suhu 25˚C nilainya 2,5 (netral-tidak suka). Modus
akhir pada kemasan gelas jar suhu 5, 15, dan 35˚C adalah 2, sedangkan pada suhu
25˚C adalah 3.
Secara statistik, skor kesukaan terhadap atribut aroma permen jelly pepaya
dengan perlakuan kemasan dan empat suhu penyimpanan yang berbeda
memberikan hasil berbeda nyata (Asymp. Sig.<0,05) pada penyimpanan hari ke-
14, 28, dan 42. Akan tetapi, pada hari ke-7, 21, dan 35 tingkat kesukaan terhadap
aroma permen jelly pepaya menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (Asymp.
Sig.>0,05).
Secara keseluruhan, penilaian terhadap atribut aroma permen jelly pepaya
mengalami penurunan tapi masih dapat diterima karena dalam batas netral,
kecuali pada permen jelly pepaya yang dikemas dalam kemasan gelas jar. Jenis
kemasan mempengaruhi penilaian aroma permen jelly pepaya. Penurunan tingkat
kesukaan terhadap aroma banyak terjadi pada permen jelly pepaya yang dikemas
dengan gelas jar. Hal ini dapat dilihat dari nilai modus yang semula adalah 4
menjadi 2.
52
(a)
(b)
(c)
Gambar 12. Nilai median dan modus tingkat kesukaan terhadap atribut aroma
permen jelly pepaya: (a) kemasan plastik PP, (b) kemasan
alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar
53
4.4.6.3 Tekstur
Penilaian tekstur permen jelly pepaya oleh panelis meliputi tingkat
kekenyalan dari permen jelly pepaya tersebut. Selama penyimpanan, tingkat
kekenyalan permen jelly pepaya akan mengalami perubahan. Oleh karena itu,
perlu diketahui sejauh mana konsumen yang diwakilkan oleh panelis dapat
menerima perubahan kekenyalan permen jelly pepaya tersebut. Pada awal
penyimpanan, skor kesukaan terhadap atribut tekstur permen jelly pepaya yang
disimpan pada kemasan plastik PP, alumunium foil, dan gelas jar dengan empat
suhu penyimpanan berbeda (5, 15, 25, dan 35˚C) memiliki nilai median dan
modus 4 (suka).
Berdasarkan Gambar 13 dapat dilihat bahwa nilai median atribut tekstur
hari ke-42 penyimpanan pada suhu 5, 15, 25, dan 35˚C untuk bahan yang dikemas
dengan kemasan plastik PP adalah 3 (netral). Nilai modus pada suhu 5, 25, dan
35˚C adalah 3, sedangkan pada suhu 15˚C adalah 2. Pada kemasan alumunium
foil, nilai median suhu 5, 15, dan 25˚C adalah 3 (netral), sedangkan pada suhu
35˚C adalah 2 (tidak suka). Nilai modus pada suhu 5, 15, dan 35˚C adalah 2,
sedangkan pada suhu 25˚C nilai modusnya 3. Pada kemasan gelas jar nilai
median suhu 5˚C dan 15˚C adalah 3 (netral), sedangkan suhu 25˚C dan 35˚C
adalah 2 (tidak suka). Modus akhir pada kemasan gelas jar suhu 5, 25, dan 35˚C
adalah 2, sedangkan pada suhu 15˚C adalah 3.
Secara statistik, skor kesukaan terhadap atribut tekstur permen jelly pepaya
dengan perlakuan kemasan dan empat suhu penyimpanan yang berbeda
memberikan hasil berbeda nyata (Asymp. Sig.<0,05) pada penyimpanan hari ke-7,
28, 35 dan 42. Akan tetapi, pada hari ke-14 dan 21 tingkat kesukaan terhadap
tekstur permen jelly pepaya menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (Asymp.
Sig.>0,05).
54
(a)
(b)
(c)
Gambar 13. Nilai median dan modus tingkat kesukaan terhadap atribut tekstur
permen jelly pepaya: (a) kemasan plastik PP, (b) kemasan
alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar
55
4.4.6.4 Warna
Warna merupakan salah satu penilaian penting pada suatu produk. Warna
merupakan faktor awal yang menjadi penilaian awal konsumen terhadap suatu
produk. Gould (1974) menambahkan, warna merupakan faktor mutu yang sangat
penting dalam menilai produk-produk makanan. Hal tersebut benar adanya karena
konsumen menilai suatu produk pertama kali berdasarkan warnanya. Pada awal
penyimpanan, skor kesukaan terhadap atribut warna permen jelly pepaya yang
disimpan pada kemasan plastik PP, alumunium foil, dan gelas jar dengan empat
suhu penyimpanan berbeda (5˚C, 15˚C, 25˚C, dan 35˚C) memiliki nilai median
dan modus 4 (suka).
Berdasarkan Gambar 14 dapat diketahui bahwa nilai median atribut aroma
hari ke-42 penyimpanan pada suhu 5, 15, 25, dan 35˚C untuk bahan yang dikemas
dengan kemasan plastik PP adalah 3 (netral), sedangkan nilai modusnya 3. Pada
kemasan alumunium foil nilai median suhu 5, 15, 25, dan 35˚C adalah 3 (netral).
Nilai modus pada suhu 5, 15, dan 25˚C adalah 3, sedangkan pada suhu 35˚C
adalah 2. Pada kemasan gelas jar nilai median suhu 5˚C adalah 3 (netral), suhu 15,
25, dan 35˚C adalah 2 (tidak suka). Modus akhir pada kemasan gelas jar suhu 5˚C
adalah 3, sedangkan pada suhu 15, 25, dan 35˚C adalah 2.
Secara statistik, skor kesukaan terhadap atribut warna permen jelly pepaya
dengan perlakuan kemasan dan empat suhu penyimpanan yang berbeda
memberikan hasil berbeda nyata (Asymp. Sig.<0,05) selama penyimpanan.
Dengan demikian, perlakuan kemasan dan suhu penyimpanan yang berbeda
mempengaruhi penilaian panelis terhadap rasa permen jelly pepaya.
56
(a)
(b)
(c)
Gambar 14. Nilai median dan modus tingkat kesukaan terhadap atribut warna
permen jelly pepaya: (a) kemasan plastik PP, (b) kemasan
alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar
57
4.4.6.5 Penerimaan Umum
Penilaian penerimaan umum permen jelly pepaya berdasarkan atas tingkat
kesukaan panelis terhadap seluruh atribut yang ada. Pada awal penyimpanan, skor
kesukaan terhadap atribut penerimaan umum permen jelly pepaya yang disimpan
pada kemasan plastik PP, alumunium foil, dan gelas jar dengan empat suhu
penyimpanan berbeda (5˚C, 15˚C, 25˚C, dan 35˚C) memiliki nilai median dan
modus 4 (suka). Skor penerimaan umum permen jelly pepaya mengalami
penurunan seiring dengan bertambahnya masa penyimpanan.
Berdasarkan Gambar 15, dapat dilihat bahwa nilai median atribut
penerimaan umum hari ke-42 penyimpanan pada suhu 5, 15, 25, dan 35˚C untuk
bahan yang dikemas dengan kemasan plastik PP adalah 3 (netral), sedangkan nilai
modusnya 3. Pada kemasan alumunium foil nilai median suhu 5, 15, 25, dan 35˚C
adalah 3 (netral), sedangkan nilai modusnya 3. Pada kemasan gelas jar nilai
median suhu 5, 15, 25, dan 35˚C adalah 3 (netral). Modus akhir pada kemasan
gelas jar suhu 5, 15, dan 25˚C adalah 3, sedangkan pada suhu 35˚C adalah 2.
Dengan demikian, permen jelly pepaya hingga akhir penyimpanan masih dapat
diterima karena penerimaan umum masih dalam batas netral. Permen jelly pepaya
dinyatakan tertolak atau tidak diterima oleh konsumen apabila nilai modus dan
mediannya 2 (tidak suka).
Secara statistik, skor kesukaan terhadap atribut penerimaan umum permen
jelly pepaya dengan perlakuan kemasan dan empat suhu penyimpanan yang
berbeda memberikan hasil berbeda nyata (Asymp. Sig.<0,05) selama
penyimpanan dari hari ke-7, 14, 21, 28, 35, dan 42. Dengan demikian, perlakuan
kemasan dan suhu penyimpanan yang berbeda mempengaruhi penilaian panelis
terhadap rasa permen jelly pepaya. Hal ini disebabkan karena penilaian panelis
dari beberapa atribut juga mengalami penurunan (rasa dan warna) pada waktu
penyimpanan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
58
(a)
(b)
(c)
Gambar 15. Nilai median dan modus tingkat kesukaan terhadap atribut
penerimaan umum permen jelly pepaya: (a) kemasan plastik PP, (b)
kemasan alumunium foil, dan (c) kemasan gelas jar
59
4.5 Penentuan Parameter Kritis dan Titik Kritis Mutu
Penentuan parameter kritis didasarkan pada penurunan mutu produk
selama masa penyimpanan. Beberapa parameter mutu yang diamati, yaitu kadar
air, warna produk, total asam tertitrasi, kadar vitamin C, dan tekstur produk.
Pemilihan parameter kritis produk ditentukan oleh parameter mutu yang paling
berpengaruh dalam menyebabkan kerusakan produk sehingga mempengaruhi
penerimaan konsumen terhadap produk tersebut. Parameter mutu yang dijadikan
sebagai parameter kritis dalam pendugaan umur simpan permen jelly pepaya ini
adalah parameter kadar air. Kadar air merupakan parameter penting yang sangat
berpengaruh pada mutu produk pangan semi basah. Kadar air pada produk pangan
semi basah akan berpengaruh pada parameter mutu yang lain. Permen jelly
pepaya termasuk dalam produk pangan semi basah. Oleh karena itu, kadar air
digunakan sebagai parameter kritis dalam pendugaan umur simpan permen jelly
pepaya ini.
Parameter yang digunakan dalam penentuan umur simpan harus
mempunyai titik kritis, dimana pada titik ini produk tidak dapat diterima lagi oleh
konsumen. Penentuan titik kritis dapat dilakukan dengan penelitian atau
berdasarkan sumber pustaka yang relevan. Pada penelitian ini, titik kritis kadar air
ditentukan berdasarkan sumber pustaka yaitu SNI 02-3547-2008. Nilai maksimal
kadar air untuk permen jelly pada SNI 02-3547-2008 adalah 20%. Nilai tersebut
yang akan digunakan sebagai titik kritis pada pendugaan umur simpan permen
jelly pepaya. Hal ini dilakukan karena permen jelly pepaya masih diterima dalam
batas normal oleh panelis pada uji organoleptik sampai hari terakhir penyimpanan.
60
Tabel 8. Nilai k dan Ln k
Plastik PP Alumunium foil Gelas Jar
T (K) 1/T
k Ln k k Ln k k Ln k
278 0,0036 0,1072 -2,2331 0,0775 -2,5575 0,1176 -2,1405
298 0,0034 0,1284 -2,0526 0,1050 -2,2538 0,1497 -1,8991
308 0,0032 0,1586 -1,8414 0,1278 -2,0573 0,1531 -1,8767
318 0,0031 0,1745 -1,7458 0,1451 -1,9303 0,1905 -1,6581
Keterangan: k=konstanta penurunan mutu ; T=suhu penyimpanan
61
Tabel 9. Nilai E, ln k0, k0, dan k tiap suhu penyimpanan
Kemasan Plastik PP Alumunium foil Gelas Jar
E(kal/mol) 1210467 2579814 432352,2
ln ko 1,301 1,877 0,888
ko 3,6729 6,5338 2,4302
5°C 0,1068 0,0794 0,1198
15°C 0,1208 0,0925 0,1330
k
25°C 0,1354 0,1067 0,1466
35°C 0,1507 0,1220 0,1606
Permen jelly pepaya pada ketiga kemasan memiliki umur simpan semakin
pendek dengan semakin meningkatnya suhu penyimpanan. Berdasarkan hasil
perhitungan umur simpan tersebut, dapat dilihat bahwa kemasan alumunium foil
lebih baik dibandingkan plastik PP dan kemasan gelas dalam menekan laju
perubahan kadar air pada permen jelly pepaya. Umur simpan terpanjang permen
jelly pepaya diperoleh pada permen jelly pepaya kemasan alumunium foil dengan
suhu penyimpanan 5°C, sedangkan umur simpan terpendek diperoleh pada
permen jelly pepaya kemasan gelas jar dengan suhu penyimpanan 35°C. Prediksi
mutu akhir permen jelly pepaya pada umur simpan yang diperoleh dari hasil
perhitungan dengan menggunakan metode arrhenius dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Prediksi mutu permen jelly pepaya sampai kadaluarsa
Parameter Satuan Nilai
Kadar Air % 20
Vitamin C mg/100g 0
Total Asam Tertitrasi (TAT) % 0
Kekerasan - 3,80
Warna - 28,18
62
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terjadi perubahan mutu
permen jelly pepaya selama masa penyimpanan. Kadar air permen jelly pepaya
meningkat di semua jenis kemasan dan suhu penyimpanan. Vitamin C permen
jelly pepaya menurun di semua jenis kemasan dan suhu penyimpanan. Total Asam
Tertitrasi (TAT) permen jelly pepaya mengalami penurunan di setiap kemasan
dan suhu penyimpanan. Nilai tekstur permen jelly pepaya mengalami peningkatan
di setiap kemasan dan suhu penyimpanan. Hal ini berarti permen jelly pepaya
menjadi lebih lunak. Kecerahan warna permen jelly pepaya mengalami penurunan
ditandai dengan menurunnya nilai L.
Hasil uji organoleptik permen jelly pepaya pada semua perlakuan selama
penyimpanan mengalami penurunan. Akan tetapi, belum ada penolakan panelis
terhadap atribut penerimaan umum ditandai dengan nilai median dan modus yang
masih berada pada batas normal. Secara keseluruhan, penurunan mutu yang
terjadi pada dua belas perlakuan masih dapat diterima oleh konsumen hingga hari
ke-42.
Berdasar parameter kadar air dengan titik kritis 20%, umur simpan
permen jelly pepaya kemasan plastik PP suhu 5˚C adalah 116 hari, suhu 15˚C
adalah 102 hari, suhu 25˚C adalah 91 hari, dan suhu 35˚C adalah 82 hari. Pada
kemasan alumunium foil suhu 5˚C adalah 156 hari, suhu 15˚C adalah 133 hari,
suhu 25˚C adalah 116 hari, dan suhu 35˚C adalah 101 hari, sedangkan pada
kemasan gelas jar suhu 5˚C adalah 103 hari, suhu 15˚C adalah 93 hari, suhu 25˚C
adalah 84 hari, dan suhu 35˚C adalah 77 hari. Dengan demikian, kemasan yang
baik digunakan untuk produk permen jelly pepaya adalah alumunium foil.
63
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis dapat memberikan beberapa saran
antara lain:
1. Perlu dilakukan penelitian menggunakan bahan kemasan yang tidak
transparan, sehingga mampu memberikan perlindungan terhadap proses
degradasi mutu akibat cahaya.
2. Perlu dilakukan penelitian menggunakan perpaduan beberapa kemasan
sebagai kemasan primer dan sekunder dengan pertimbangan kemampuan
tiap-tiap kemasan, sehingga dapat diperoleh kemasan yang lebih baik
dalam mempertahankan mutu permen jelly pepaya.
3. Perlu dilakukan kajian mengenai aspek pemasaran dan ekonomi finansial
sehingga dapat diketahui prospek pengembangan permen jelly pepaya.
64
DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Statistik. 2009. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Holtikultura
[online], [http://bps.go.id, 27 Oktober 2009].
Brown, W. E. 1991. Plastic in Food Packaging. Markel Deker, Inc, New York.
Glicksman, M. 1983. Food Hyrocoloids. Volume ke-1. CRC Press Inc., Boca
Ratton, Florida.
65
Gould, W. A. 1974. Tomato Production, Processing, and Quality Evaluation. The
AVI Publishing Company, Inc., Westport, Connecticut.
Harper, W. J. dan C.W. Hall. 1975. Dairy Technology and Engineering. The AVI
Publishing Company, Inc., Westport, Connecticut.
Herawati, H. 2008. Penentuan Umur Simpan pada Produk Pangan. Jurnal Litbang
Pertanian, 27(4).
Labuza, T. P. 1982. Shelf-life Dating of Foods. Food and Nutrition Press Inc.,
USA.
Muchtadi, D., Tien R. Muchtadi, dan Endang Gumbira. 1979. Pengolahan Hasil
Pertanian II Nabati. Departemen Teknologi Hasil Pertanian Fatemeta,
IPB, Bogor.
66
Muchtadi, T. R. 1995. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat
Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Syarief, R., L. Ega dan C. C. Nurwitri. 2003. Mikotoksin Bahan Pangan. IPB
Press, Bogor.
67
Syarief. 2002. Pengemasan Pangan. Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Winarno, F. G.. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Woodroof, J. G. dan Luh B.S. 1975. Commercial Fruits Processing. The AVI
Publishing Co., Inc. Westport, Connecticut.
68
69
Lampiran 1. Prosedur analisis
1. Kadar air (AOAC, 1995)
Penetapan kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Prinsip
dari metode ini adalah menguapkan air yang ada dalam bahan pangan dengan
jalan pemanasan. Cawan kosong dikeringkan dalam oven suhu 105˚C selama 10
menit. Sebanyak 2-10 gram sampel ditimbang di dalam cawan yang telah
dikeringkan dan diketahui bobotnya, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu
105˚C selama 3-5 jam, didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai bobot
konstan. Kadar air dihitung dengan menggunakan persamaan
Dimana :
B1 = Bobot awal contoh (gram)
B2 = Bobot akhir contoh (gram)
Dimana :
A = Bobot awal cawan (gram)
B = Bobot cawan dan sampel (gram)
C = Bobot akhir cawan dan sampel (gram)
69
3. Kadar protein kasar (Metode kjedahl)
Sebanyak 0,1 gram bahan ditimbang, kemudian ditambahkan katalis
(CuSO4 dan Na2SO4) dengan perbandingan 1:1,2 dan 2,5 ml H2SO4 pekat. Setelah
itu, didekstruksi sampai bening (hijau). Kemudian didinginkan dan dicuci dengan
aquades secukupnya. Selanjutnya didestilasi dan dilakukan penambahan NaOH
50% sebanyak 15 ml. Hasil destilasi (destilat) ditampung dengan HCl 0,02 N.
Proses destilasi dihentikan apabila volume destilat telah mencapai dua kali
volume sebelum destilasi. Hasil destilasi tersebut kemudian ditritasi dengan
NaOH 0,02 N dan indikator mengsel yang merupakan campuran dari metal red
dan metal blue.
Dimana :
a = berat labu setelah ekstraksi (gram)
b = berat labu sebelum ekstraksi (gram)
c = berat sampel (gram)
70
5. Kadar Serat (AOAC,1995)
Sebanyak 2 gram contoh dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer 500
mL dan tambahkan 100 mL H2SO4 0,325 N. Bahan selanjutnya dihidrolisis di
dalam autoklaf bersuhu 105oC selama 15 menit. Dinginkan bahan, kemudian
tambahkan 50 mL NaOH 1,25 N. Hidrolisis kembali bahan di dalam autoklaf
bersuhu 105oC selama 15 menit. Saring menggunakan kertas saring yang telah
dikeringkan (diketahui beratnya). Setelah itu, cuci kertas saring berturut-turut
dengan air panas+25 mL H2SO4 0,325 N dan air panas+ 25 mL aceton/alkohol.
Angkat dan keringkan kertas saring + bahan dalam oven bersuhu 110 oC selama ±
1-2 jam.
71
hingga tanda tera. Larutan dikocok dan disaring. Filtrat diambil sebanyak 25 ml
dan ditetesi dengan indikator pati sebanyak 3-5 tetes kemudian dititrasi dengan
larutan 0,01 N iodium sampai berubah warna menjadi biru. Tiap ml larutan
iodium equivalen dengan 0,88 mg asam askorbat. Kadar vitamin C dalam produk
dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
FP = Faktor pengencer
9. Aw
Aktivitas air diukur dengan alat aw meter. Nilai aw meter dikalibrasi
dengan menggunakan larutan NaCl sampai menunjukkan nilai a w sebesar 0,750
pada suhu 28-30oC. Sampel dimasukkan ke dalam cawan pengukur a w, lalu
ditutup dan dikunci, a w meter siap untuk dijalankan. Selama pengukuran
berlangsung akan muncul tulisan under test. Pengukuran selesai apabila tulisan
completed muncul, dan nilai aw langsung terbaca.
72
10. Warna (Sistem hunter)
Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan alat Colortex dengan
spesifikasi Colorimetry IV Version 4.0. Nilai yang terbaca pada alat antara lain
nilai L, a, dan b. Tingkat kecerahan dapat dilihat dari nilai L. Intensitas warna
ditunjukkan melalui nilai Chroma dan warna sampel ditunjukkan dengan nilai
o
Hue, yang dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
C = Chroma, menunjukkan intensitas warna sampel
H = oHue, menunjukkan warna sampel
L = tingkat kecerahan
A = merupakan warna campuran merah-hijau
B = merupakan warna campuran kuning-biru
o
Hue = parameter untuk kisaran warna
o
Hue Warna
342-18 Red purple
18-54 Red
54-90 Yellow red
90-126 Yellow
126-162 Yellow green
162-198 Green
198-234 Blue green
234-270 Blue
270-306 Blue purple
306-342 Purple
73
11. Nilai pH (AOAC, 1995)
Sampel sebanyak 5 gram diletakkan pada erlenmeyer yang kering dan bersih,
kemudian ditambahkan 100 ml air destilata. Larutan diaduk sampai homogen.
Larutan diukur pH-nya dengan menggunakan pH meter
12. Tekstur
Uji tekstur (kekerasan) diukur secara objektif dengan menggunakan alat
penetrometer dan menggunakan jarum penetrometer serta pemberat jika
diperlukan. Kekerasan adalah jarak penembusan jarum penetrometer dalam
milimeter per 10 detik atau milimeter per 50 gram pemberat per 10 detik jika
menggunakan pemberat ukuran 50 gram.
74
Lampiran 2. Persamaan regresi perubahan mutu
75
Lampiran 2. Persamaan regresi perubahan mutu (lanjutan)
76
Lampiran 3. Data nilai kadar air (%) selama penyimpanan (wet basis)
77
Lampiran 4. Data nilai kadar air (%) selama penyimpanan (dry basis)
78
Lampiran 5. Data nilai vitamin C (mg/100 gram) selama penyimpanan (wet basis)
79
Lampiran 6. Data nilai vitamin C (mg/100 gram) selama penyimpanan (dry basis)
80
Lampiran 7. Data nilai total asam tertitrasi (%) selama penyimpanan (wet basis)
81
Lampiran 8. Data nilai total asam tertitrasi (%) selama penyimpanan (dry basis)
82
Lampiran 9. Data nilai tekstur selama penyimpanan
83
Lampiran 10. Data nilai warna (L) selama penyimpanan
84
Lampiran 11. Laju perubahan mutu tiap parameter (% per hari)
85
Lampiran 12. Data uji lanjut organoleptik selama penyimpanan
Parameter organoleptik
Hari ke-
Rasa Aroma Tekstur Warna Penerimaan Umum
a. N 30 30 30 30 30
b. Chi-square 30,70 8,18 34,72 59,11 15,34
7
c. df 11 11 11 11 11
d. Asymp. Sig. 0,00* 0,15 0,00* 0,00* 0,01*
a. N 30 30 30 30 30
b. Chi-square 45,89 24,36 2,71 63,48 38,99
14
c. df 11 11 11 11 11
d. Asymp. Sig. 0,00* 0,00* 0,74 0,00* 0,00*
a. N 30 30 30 30 30
b. Chi-square 19,78 5,28 5,88 95,25 14,03
21
c. df 11 11 11 11 11
d. Asymp. Sig. 0,00* 0,39 0,32 0,00* 0,02*
a. N 30 30 30 30 30
b. Chi-square 70,47 33,94 15,72 36,24 54,41
28
c. df 11 11 11 11 11
d. Asymp. Sig. 0,00* 0,00* 0,01* 0,00* 0,00*
a. N 30 30 30 30 30
b. Chi-square 91,12 6,78 25,09 26,77 29,71
35
c. df 11 11 11 11 11
d. Asymp. Sig. 0,00* 0,24 0,00* 0,00* 0,00*
a. N 30 30 30 30 30
b. Chi-square 28,44 21,23 23,15 19,66 19,01
42
c. df 11 11 11 11 11
d. Asymp. Sig. 0,00* 0,00* 0,00* 0,00* 0,00*
Keterangan :
* : Berbeda nyata (nilai Asymp. Sig.< 0,05)
86
Lampiran 13. Contoh perhitungan umur simpan permen jelly pepaya
Kemasan plastik PP
Y = -983,4x + 1,301
ln k = -983,4 (1/T) + 1,301
Dari persamaan dapat diperoleh nilai E (Energi aktivasi) dan nilai ln k 0:
-E/R = -983,4 K
E = (983,4K) x (1.986 kal/mol K)
E = 1210467 kal/mol K
Nilai k0 diperoleh :
ln k0 = 1,301
k0 = 3,672967800
Dengan demikian laju penurunan kadar air permen jelly pepaya yang dikemas
dengan kemasan plastik PP adalah:
k = 3,672967800 / hari
87