LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. M
Tempat dan Tanggal Lahir : Kotim, 09-03-2014
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl HM Arsyad
Tanggal Masuk RS : 03 juli 2019
Tanggal Pemeriksaan : 03 Juli 2019
Tanggal Keluar RS : 06 Juli 2018
Ruangan : Asoka
II. ANAMNESA
Dilakukan secara alloanamnesa terhadap ibu pasien pada tanggal 03 Juli 2019 di ruang
Asoka RSUD DR Murjani.
A. Keluhan Utama
Sesak nafas sejak ± 1 hari SMRS.
2
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang diantar kedua orang tuanya ke IGD RSUD DR MURJANI dengan keluhan
sesak nafas yang dirasakan sejak ± 1 hari SMRS. Keluhan dirasakan semakin memberat
sejak 4 jam SMRS. Sesak nafas disertai suara mengi, dan tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi.
Batuk dan sesak dirasakan terutama bila udara dingin atau bila pasien kelelahan karena terlalu aktif
atau banyak beraktivitas. Sesak dan batuk dirasakan semakin memberat pada malam hari terutama
saat udara dingin, serta berkurang setelah diuap.Ibu pasien mengatakan sesak nafas yang pasien
rasakan juga disertai dengan batuk berdahak yang sulit keluar yang sudah pasien alami
sejak 2 hari yang lalu, serta disertai juga dengan adanya pilek berwarna kuning. . Pasien
sudah diuap dirumah satu kali tetapi tidak kunjung membaik. Keluhan mual dan muntah
juga dirasakan oleh pasien sejak kemarin, muntah 3 kali.
Keluhan demam disangkal oleh ibu pasien.. Keluhan adanya gangguan buang air besar dan
buang air kecil disangkal. Ibu pasien mengatakan pasien pernah mengalami keluhan seperti
ini 1 bulan yang lalu kemudian membaik saat diterapi denga uap satu kali dirumah.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien sempat dirawat di rumah sakit pada usia 1 tahun dengan gejala yang sama, pasien memiliki
alergi terhadap debu dan udara dingin. Riwayat alergi makanan disangakal
- ibu dan nenek pasien memiliki riwayat asma, alergi debu dan dingin
F. Riwayat Pemakaian Obat
3
G. Silsilah atau Ikhtisar Keturunan
Keterangan :
: Laki-Laki
: Perempuan
: Pasien An. M
H. Riwayat Pribadi
Riwayat Kehamilan
Pasien merupakan anak pertama. Ibu pasien selalu memeriksakan kandungan di
bidan rutin setiap bulan. Saat awal usia kehamilan, ibu pasien tidak pernah mengalami
muntah berlebih, perdarahan, ataupun kondisi lain yang membahayakan kehamilan.
Riwayat meminum obat-obatan, alkohol, ataupun jamu disangkal.
Riwayat Persalinan
Bayi lahir dari ibu G1P0A0 secara spontan dengan usia kehamilan 39 minggu.
Bayi lahir dengan jenis kelamin laki-laki, berat badan 3000 gr, panjang badan 46 cm,
lingkar kepala 33 cm, dan APGAR Score 6-8. Saat lahir bayi menangis kuat serta tidak
tampak biru pada bibir dan ekstremitas.
4
I. Riwayat Pasca Lahir
Tidak ada keluhan kelainan bawaan
J. Riwayat Nutrisi
Ibu pasien mengatakan pasien minum ASI sejak dari lahir
K. Imunisasi
Pasien mengikuti program imunisasi lengkap sesuai jadwal.
Setelah lahir: HB1, BCG
Usia 1 bulan: Polio 1
Usia 2 bulan: DPT / HB combo 1, Polio 2
Usia 3 bulan: DPT / HB combo 2, Polio 3
Usia 4 bulan: DPT / HB combo 3, Polio 4
L. Riwayat Perkembangan
5
Lingkungan
Keluarga pasien tinggal dirumah yang cukup memadai, akan tetapi dilingkungan
rumah pasien sering terdapat adanya asap rokok karena ayah pasien merupakan
perokok aktif, dan ibu pasien mengatakan ayahnya sering merokok didalam rumah
sehingga pasien sering untuk terpapar asap rokok.
B. Antropometri
Berat Badan : 15 kilogram
Tinggi Badan : 103 cm
Status Gizi :
Menggunakan rumus : BB/TB
15 kg/ 103cm
Status gizi pasien ada di antara 1 SD dan 2 SD
(normal)
6
C. Pemeriksaan Khusus
Kepala : Normocephal, rambut hitam
Kulit : turgor baik, ikterik (-), pucat (-), sianosis(-)
Mata : Normal,Pupil bulat isokor, sekret (-), konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), Reflek cahaya langsung +/+, Reflek cahaya tidak langsung +/+
Hidung : Deviasi septum (-), napas cuping hidung (+), sekret (-)
Mulut : Sianosis (-), bibir kering(-). Lidah kotor(-)
Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Paru-paru
Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, retraksi intercostal (+), retraksi
suprasternal (-)
Palpasi : simetris kanan dan kiri, fremitus taktil simetris, nyeri tekan (-),
tidak ada krepitasi
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara napas bronkovesikuler (+/+), ronkhi (+/+), wheezing
(+/+)
7
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba, vibrasi (-)
Auskultasi : BJ I-II reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar, retraksi epigastrium (-)
Palpasi : Hepatomegali (-), splenomegali (-)
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Genitalia : tidak dilakukan
Ekstremitas : Akral hangat (-), sianosis (-)
D. Pemeriksaan Neurologi
Refleks fisiologis
- Refleks Bisep : +/+ normal
- Refleks Trisep : +/+ normal
- Refleks patella : +/+ normal
- Refleks Achilles : +/+ normal
Refleks patologis
- Refleks babinski : -/- normal
- Refleks Oppenheim : -/- normal
- Refleks Chaddock : -/- normal
Tanda rangsang meningeal
8
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tanggal 03-07-2019
HEMATOKRIT 36 33-38%
EOSINOFIL 1 0-3%
BASOFIL 0 0-1%
NETROFIL 84 20-46%
LIMFOSIT 10 45-76%
MONOSIT 5 3-6%
MCV 76 70-84 fl
MCH 26 23-30 pg
9
Pemeriksaan Rontgen Thoraks tanggal 03-07-2019
V. RESUME
Pasien datang diantar kedua orang tuanya ke IGD RSUD DR MURJANI dengan keluhan sesak
nafas yang dirasakan sejak ± 1 hari SMRS. Keluhan dirasakan semakin memberat sejak 4 jam
SMRS. Sesak nafas disertai suara mengi, dan tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi. Batuk dan sesak
dirasakan terutama bila udara dingin atau bila pasien kelelahan karena terlalu aktif atau banyak
beraktivitas. Sesak dan batuk dirasakan semakin memberat pada malam hari terutama saat udara dingin,
serta berkurang setelah diuap.Ibu pasien mengatakan sesak nafas yang pasien rasakan juga
disertai dengan batuk berdahak yang sulit keluar yang sudah pasien alami sejak 2 hari yang
lalu, serta disertai juga dengan adanya pilek berwarna kuning. Pasien sudah diuap dirumah satu
kali tetapi tidak kunjung membaik. Keluhan mual dan muntah juga dirasakan oleh pasien sejak
kemarin, muntah 3 kali. Ibu pasien mengatakan pasien pernah mengalami keluhan seperti ini
1 bulan yang lalu kemudian membaik saat diterapi denga uap satu kali dirumah. Sebelumnya
pasien juga sering mengalami sesak nafas terutama pada malam hari pada usia 1 tahun. Dan sempat
10
dirawat di rumah sakit, kemudian sembuh. Pada pemeriksaan fisik didapatkan frekuensi nadi 160
kali/menit, kuat dan regular, frekuensi nafas 44 x/menit, suhu 36.4oC, dan saturasi oksigen
88%. Pemeriksaan fisik paru didapatkan Rhonki +/+ wheezing +/+. Pada pemeriksaan rontgen
kesan : bronkhopneumoniae
IX. PENATALAKSANAAN
- Oksigen 5 liter per menit (mask)
- Infus RL 10 tpm makro
- Nebu combivent 1 + nacl 2cc / 6 jam
- Injeksi paracetamol 150 mg / 8 jam (IV)
- Injeksi ceftriaxone 400 mg / 12 jam (IV)
- Injeksi dexametason 3 mg/8 jam (IV)
X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Ad bonam
Quo ad functionam : Ad bonam
Quo ad sanationam : Ad bonam
11
XI. FOLLOW UP PASIEN
S: pasien datang dengan S: Sesak <, batuk (+) muntah S: Sesak << , batuk <
12
Ext:akral hangat,nadi kaki -o2 mask 5 lpm - injeksi dexa 3 mg/8 jam
A: cc/6 jam
- Asma bronchial
P:IVFD RL 10 tpm
cc/6 jam
jam
13
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
14
memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan
hipereaktivitas bronkus (Nelson, 2007).
Selain faktor linkungan, faktor genetik juga turut berpengaruh terhadap kejadian asma.
Kecenderungan seseorang untuk menghasilkan IgE diturunkan dalam keluarga (Abbas et al, 2007).
Pasien yang alergi terhadap alergen sering mempunyai riwayat keluarga yang turut menderita asma
dan ini membuktikan bahwa faktor genetik sebagai faktor predisposisi asma (Cockrill et al, 2008).
Menurut Tatum dan Shapiro (2005) dalam Eder et al (2006) ada juga bukti yang
menyatakan bahwa udara yang tercemar berperan dalam mengurangkan fungsi paru, mencetuskan
eksaserbasi asma seterusnya meningkatkan populasi pasien yang dirawat di rumah sakit.
15
Histamin merupakan mediator yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus,
augmentasi permeabilitas vaskuler dan pembentukan edema salur pernafasan serta menstimulasi
reseptor iritan yang bisa memicu bronkokonstriksi sekunder (Cockrill et al, 2008).
Menurut Drazen et al (1999) dalam Kay A.B. (2001) sel mast turut memproduksi sisteinil
leukotriene yaitu C4, D4 dan E4. Leukotriene ini akan menyebabkan kontraksi otot polos,
vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vaskuler dan hipersekresi mukus apabila berikatan
dengan reseptor spesifik.
16
3 Intensitas Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat
serangan
FEV1=Forced expiratory volume in second (volume ekspirasi paksa dalam 1 detik) (Departemen
Kesehatan, 2008 )
17
2.4.2 Asma saat serangan
Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma
berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat
serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan
ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat.
18
Retraksi Dangkal, Sedang, ditambah Dalam, Dangkal /
retraksi retraksi ditambah napas hilang
interkostal suprasternal cuping hidung
SaO2 % ≤ >95 % 91 - 95 %
90% Normal >60 mmHg <60 mmHg -
PaO2
19
2.5 Manifestasi klinis asma
Batuk kering yang intermitten dan mengi merupakan gejala kronis yang sering dikeluhkan
pasien. Pada anak yang lebih tua dan dewasa mengeluhkan sukar bernafas dan terasa sesak di dada.
Pada anak yang lebih kecil sering merasakan nyeri yang nonfokal di bagian dada. Simptom
respiratori ini bisa lebih parah pada waktu malam terutamanya apabila terpapar lebih lama dengan
alergen. Orang tua sering mengeluhkan anak mereka yang asma mudah letih dan membatasi
aktivitas fisik mereka (Nelson, 2007). Manakala menurut Boguniewicz (2007), mengi merupakan
karakteristik yang utama pada pasien asma. Jika bronkokonstriksi bertambah parah, suara mengi
akan lebih jelas kedengaran dan suara pernafasan menghilang. Menurutnya lagi, sianosis pada bibir
dan nail beds akan terlihat disebabkan oleh hipoksia. Takikardia dan pulsus paradoxus juga bisa
terjadi. Agitasi dan letargi merupakan tanda-tanda permasalahan pada pernafasan. Menurut Abbas
et al (2007), pada pasien asma terjadi peningkatan produksi mukus. Hal ini dapat menyebabkan
obstruksi bronkus dan pasien mengeluhkan sukar bernafas.
Kebanyakan dari penderita asma juga mengalami alergi rinitis dan eksema (Sheffer, 2004).
Alergi rinitis merupakan inflamasi pada mukosa nasal yang ditandai dengan nasal kongesti,
rinorea, bersin dan iritasi konjuntiva. Rinorea, nasal kongesti, bersin paroxysmal dan pruritus pada
mata, hidung, telinga dan palatum merupakan tanda yang sering dikeluhkan oleh pasien alergi
rinitis. Anak yang alergi rinitis bisa juga terjadi gangguan tidur, aktivitas yang terbatas, irritabilitas
dan gangguan mood dan kognitif yang bisa menggangu prestasi anak di sekolah. Hidung yang
terasa gatal akan menyebabkan anak sering terlihat menggosok hidung dengan tangan (Nelson,
2007). Beberapa kajian telah menyatakan bahwa alergi rinitis merupakan salah satu faktor pemicu
terjadinya asma. Prevalensi alergi rinitis pada pasien asma diperkirakan sebanyak 80 % hingga
90% (B Leynaert, 2000).
Menurut Akdis et al (2006) dalam Bieber (2008) dermatitis atopik atau eksema adalah
penyakit kulit yang sering dideritai oleh pasien dengan penyakit atopik yang lain seperti asma dan
alergi rinitis. Lesi kulit dermatitis atopik memperlihatkan adanya edema dan infiltrasi sel
mononuklear dan eosinofil serta penimbunan cairan dalam kulit(membentuk vesikel yang jelas
terlihat secara klinis). Pecahnya vesikel kecil dalam jumlah yang banyak ini mengakibatkan
terbentuknya krusta dan kulit menjadi bersisik. Perubahan ini dan pruritus berat yang mendahului
dan menyertai erupsi, terjadi karena kulit sangat kering. Pada keadaan ini, terjadi hambatan
20
pengeluaran keringat dan retensi keringat seringkali menimbulkan gatal-gatal berat yang
disebabkan oleh panas. Rasa gatal dan rasa sakit yang hebat akibat kulit yang pecah-pecah adalah
keluhan utama pasien eksema ( Solomon, 2003). Eksema jarang terjadi pada orang dewasa.
Eksema dimulai sejak usia 2 bulan sampai 6 bulan, sering terdapat pada wajah dan iritasi ini
menyebabkan anak tidak dapat tidur. Hasil kajian juga menunjukkan 25% penderita eksema alergi
terhadap telur, susu, kacang, tepung, ikan dan kerang (Pitaloka, 2002).
Terdapat dua kategori obat untuk penyembuhan asma yaitu obat pelega yang bekerja
dengan cepat (quick-relief) dan obat kontrol untuk jangka panjang (long-term control). Obat pelega
yang digunakan adalah short-acting ß2 agonist (SABA), anti kolinergik dan kotikosteroid oral.
SABA (seperti albuterol, levalbuterol dan pirbuterol) merupakan antara bronkodilator yang efektif.
SABA bekerja dengan memberikan efek relaksasi pada otot polos bronkus dan mula bekerja 5
hingga 10 menit setelah administrasi. Ipratropium bromida merupakan antikolinergik
bronkodilator yang mengurangkan hipersekresi mukus dan irritabilitas reseptor batuk dengan
mengikat asetilkolin di reseptor muskarinik yang terdapat pada otot polos bronkus. Anak asma
dengan eksaserbasi akut diberikan kortikosteroid untuk 3 hingga 10 hari. Dosis awal diberikan 1-
2 mg/kg/hari dengan Prednison untuk 2 hingga 5 hari yang berikutnya. Untuk obat kontrol jangka
panjang pula digunakan obat long-acting ß2 agonist (LABA), kortikosteroid inhalasi, teofilin dan
leukotrien modifiers. LABA (salmeterol, formoterol dan bambuterol) memberikan efek relaksasi
otot polso bronkus dan bekerja selama 12 jam tapi obat ini tidak memberikan efek anti inflamatori
yang signifikan. Leukotriene modifiers dibagi menjadi dua kelompok yaitu cysteinyl leukotriene
reseptor antagonists(zafirlukast dan montelukast) dan leukotriene synthesis inhibitors (zileuton)
(Nelson, 2006).
Leukotriene modifiers bekerja sebagai anti inflamasi dan bronkodilator. Manakala teofilin
bekerja dengan cara menghambat fosfodiesterase seterusnya menghambat pemecahan cyclic-
AMP. Teofilin merupakan terapi tambahan bagi kortikosteroid inhalasi (Gwilt et al, 2008).
21
3. Bronkopneumonia
3.1 Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat yang disebabkan oleh mikroorganisme
(bakteri, virus, jamur, protozoa). Bronkopneumonia didefinisikan sebagai peradangan akut dari
parenkim paru pada bagian distal bronkiolus terminalis dan meliputi bronkiolus respiratorius,
duktus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveoli.1
22
pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti
E.colli, pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan balita pneumoni sering
disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus,
sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan
infeksi Mycoplasma pneumoniae 2.
Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang mencakup 15-40%
kasus diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human metapneumovirus dan adenovirus.
Nair, et al 2010 melaporkan estimasi insidens global pneumonia RSV anak-balita adalah 33.8 juta
episode baru di seluruh dunia dengan 3.4 juta episode pneumonia berat yang perlu rawat-inap.
Diperkirakan tahun 2005 terjadi kematian 66.000 -199.000 anak balita karena pneumonia RSV,
99% di antaranya terjadi di negara berkembang. Data di atas mempertegas kembali peran RSV
sebagai etiologi potensial dan signifikan pada pneumonia anak-balita baik sebagai penyebab
tunggal maupun bersama dengan infeksi lain.
23
Virus type B & non typeable
Respiratory syncytial Moxarellacatarrhalis
virus Staphylococcusaureus
Influenza virus Ureaplasmaurealyticum
Para influenza virus 1,2 Virus
and 3 Cytomegalovirus
Adenovirus
4 bulan – Bakteria Bakteria
5 tahun Streptococcuspneumoniae Haemophillusinfluenza
Clamydiapneumoniae type B
Mycoplasmapneumoniae Moxarellacatarrhalis
Virus Neisseriameningitis
Respiratory syncytial Staphylococcusaureus
virus Virus
Influenza virus Varicella zoster virus
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Adenovirus
Measles
24
Rhinovirus
Respiratory syncytial
virus
Varicella zoster virus
25
Granulomatous: Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria,
Histoplasma capsulatum,
Coccidioides immitis, Blastomyces dermatitidis
26
Sedangkan dalam MTBS/IMCI, derajat keparahan dalam diagnosa pneumonia dapat dibagi
menjadi pneumonia berat yang harus dirawat inap dan pneumonia ringan yang bisa rawat jalan.
Diagnosis Klinis Klasifikasi (MTBS)
Pneumonia berat (rawat inap) :
- tanpa gejala hipoksemia Penyakit sangat berat
- dengan gejala hipoksemia (Pneumonia berat)
- dengan komplikasi
Pneumonia ringan (rawat jalan) Pneumonia
Infeksi respiratorik akut atas Batuk : bukan pneumonis
Tabel 3. Hubungan antara diagnosisi klinis dan Klasifikasi-Pneumonia (MTBS).3
27
3. Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a. Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi di
lingkungan rumah atau masyarakat, juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah sakit
dengan masa inap kurang dari 48 jam. 9
b. Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di “rumah sakit”, infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit. Kuman
penyebab sangat beragam, yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau
bakteri dengan gramm negatif lainnya seperti E.coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas
aeroginosa, Proteus, dll. Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab
HAP. 9
c. Pneumonia aspirasi
4. Berdasarkan lokasi infeksi
a. Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu / beberapa lobus paru. Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram.Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori
Kohn.Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae.Jarang
pada bayi dan orang tua.Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen.
Kemungkinan sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda
asing, atau adanya proses keganasan. 9
b. Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis. Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi di
lobulus yang bersebelahan. Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus. Sering pada bayi dan
orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus. 9
c. Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil.
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma. Terjadi edema dinding
bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial. Radiologis berupa bayangan
udara pada alveolus masih terlihat, diliputi perselubungan yang tidak merata.9
28
3.4 Patogenesis Pneumonia1,4
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan
ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru
merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat
berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke dalam
saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain :
1. Inhalasi langsung dari udara
2. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring.
3. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain.
4. Penyebaran secara hematogen.
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius sangat efisien untuk mencegah infeksi yang terdiri
dari :
1. Susunan anatomis rongga hidung.
2. Jaringan limfoid di nasofaring.
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain yang
dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
4. Refleks batuk.
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.
6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A.
8. Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja sebagai
antimikroba yang non spesifik.
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai
ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu
mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat
stadium, yaitu :
a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada
daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-
29
mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast
juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat
dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan.
Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan
cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada
stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah
sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah
paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang
cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi
pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda,
sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan
kembali ke strukturnya semula.
30
Gambar. Patofisiologi
31
sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan
kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse). 9
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. 9
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok.
Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru-paru, ataupun seluruh lobus, bahkan sebagian
besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan, dan dua di paru-paru kiri) menjadi terisi
cairan. Dari jaringan paru-paru, infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran
darah. Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai penyebab pneumonia.
32
mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan dirumah sakit. Beberapa faktor
yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas anatomik dan
imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadang-kadang tidak khas
terutama pada bayi, dan faktor patogenesis. Disamping itu, kelompok usia pada anak merupakan
faktor penting yang menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu
dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya infeksi,
tetapi secara umum adalah sebagai berikut :
- Gejala infeksi umum, yaitu : demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan,
keluhan gastrointestinal seperti : mual, muntah atau diare ; kadang-kadang ditemukan gejala
infeksi ekstrapulmoner.
- Gejala gangguan respiratori, yaitu : batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping
hidung, merintih, dan sianosis.
33
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah. Mungkin disertai ronkhi
halus, yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi. 9
Pemeriksaan radiologi
Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan, hanya
direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan foto rontgen toraks pada
pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Umumnya pemeriksaan
yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia hanyalah pemeriksaan posisi AP.
Lynch dkk mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada foto rontgen toraks tidak
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakkan diagnosis.
34
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:
- Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,
peribronchial cuffing dan hiperaerasi
- Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram. Konsolidasi
dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris atau terlihat sebagai lesi
tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas
dan menyerupai lesi tumor paru disebut sebagai round pneumonia
- Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru berupa
bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru disertai dengan
peningkatan corakan peribronkial.
- Perselubungan/konsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau
segment paru secara anantomis.
- Batasnya tegas, walaupun pada mulanya kurang jelas.
- Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil. Tidak
tampak deviasi trachea/septum/fissure/ seperti pada atelektasis.
- Silhouette sign (+) : bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru ; batas lesi dengan
jantung hilang, berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius
kanan.
- Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura.
- Bila terjadinya pada lobus inferior, maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir
terkena.
- Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler.
- Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus).
Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi.
Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung terlihat pada
pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar,
bronkopneumonia dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri.
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya penyebab pneumonia lobaris
35
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun
dapat mengenai beberapa lobus. 9
1. Pneumonia Lobaris
Foto Thorax
Tampak gambaran gabungan konsolidasi berdensitas tinggi pada satu segmen/lobus (lobus
kanan bawah PA maupun lateral)) atau bercak yang mengikutsertakan alveoli yang tersebar.
Air bronchogram biasanya ditemukan pada pneumonia jenis ini.
36
CT Scan
Hasil CT dada ini menampilkan gambaran hiperdens di lobus atas kiri sampai ke perifer.
Pada gambar diatas tampak konsolidasi tidak homogen di lobus atas kiri dan lobus bawah kiri.
CT Scan
Tampak gambaran opak/hiperdens pada lobus tengah kanan, namun tidak menjalar sampai
perifer.
37
3. Pneumonia Interstisial
Foto Thorax
Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstitial prebronkial.
Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat, diliputi oleh perselubungan
yang tidak merata.
Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan
kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di rumah sakit. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan
bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru.
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari. Pasien mula-mula kumur-kumur dengan
akuades biasa, setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan
dahaknya. Dahak ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat. Dahak segera dikirim ke
labolatorium (tidak boleh lebih dari 4 jam). Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak,
dapat dibantu nebulisasi dengan NaCl 3%. Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk
38
pemeriksaan apusan langsung dan biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN > 25/lpk dan sel
epitel < 10/lpk. 9
39
- Distres pernapasan berat
40
3.10 Penatalaksanaan Pneumonia
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan terutama
berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis, distres pernapasan, tidak mau
makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan
usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap.
Bayi Anak
Saturasi oksigen < 92%, sianosis Saturasi oksigen <92%, sianosis
Frekuensi napas > 60 kali/menit Frekuensi napas > 50 kali/menit
Distres pernapasan, apnea intermiten, Distres pernapasan
atau grunting
Tidak mau minum/menetek Grunting
Keluarga tidak bisa merawat di rumah Terdapat tanda dehidrasi
Keluarga tidak bisa merawat di rumah
Tabel 6. Kriteria rawat inap pneumonia2
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik yang
sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena, terapi
oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk
nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik. Penyakit penyerta harus ditanggulangi
dengan adekuat.
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan. Terapi
antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh
bakteri.
Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapt dilakukan karena tidak tersedianya
uji mikrobiologis cepat. Oleh karena itu, dipilih berdasarkan pengalaman empiris yakni didasrkan
pada kemungkinan etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien
serta epidemiologis.
Pneumonia rawat jalan
Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama secara oral, misalnya
amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan berobat jalan, dapat diberikan
41
antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang mencapai 90%. Dosis yang digunakan adalah
Kotrimoksazol (4mg TMP/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari atau Amoksisilin
(25mg/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari. Untuk pasien HIV diberikan selama 5 hari.
Anjurkan Ibu untuk memberi makan anak. Nasihati Ibu untuk kontrol ulang anaknya
setelah 2 hari ke RS, atau lebih cepat jika keadaan anak memburuk, tidak bisa minum atau
menyusu.
Ketika anak kembali :
- Jika pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang, nafsu makan membaik,
lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 3 hari
- Jika frekuensi pernapasan, demam, dan nafsu makan tidak ada perubahan, ganti ke antibiotik
ke lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali lagi.
- Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan tangani sesuai pedoman di
bawah ini.
42
Tatalaksana Umum
Pasien dengan saturasi oksigen < 92% pada saat bernapas dengan udara kamar, harus diberikan
terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau sungkup untuk mempertahankan saturasi
oksigen >92%
- Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan intravena dan dilakukan
balans cairan ketat
- Fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan untuk anak dengan
pneumonia
- Anitipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyaman pasien (Paracetamol 10-
15 mg/kgBB/kali)
- Nebulisasi dengan ß2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki
mucocilliary clearance
- Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya setiap 4 jam sekali,
termasuk pemerikaan saturasi oksigen
Nutrisi
- Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per oral, harus dihindari.
Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube (NGT) atau intravena. Tetapi harus diingat
bahwa pemasangan NGT dapat menekan pernapasan, khusunya pada bayi/anak dengan
ukuran lubang hidung kecil. Jika memang dibutuhkan sebaiknya menggunakan yang
terkecil.
- Perlu dilakukan pemantauan balans cairan agar anak tidak mengalami overhidrasi karena
pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormon antidiuretik
Kriteria pulang:
- Gejala dan tanda pneumonia menghilang
- Asupan peroral adekuat
- Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (peroral)
- Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol dan kondisi
rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah.
43
Komplikasi Pneumonia
Komplikasi dari pneumonia adalah :
Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps paru
merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk hilang.
Empiema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura terdapat
di satu tempat atau seluruh rongga pleura.
Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.
Infeksi sitemik
- Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
- Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.
Prognosis Pneumonia6
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-
anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat
memperburuk keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial
tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap
infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi
dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi
apabila berdiri sendiri.
Pencegahan Pneumonia5
Pneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau mengobati
secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini.
Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh
terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan
teratur, menjaga kebersihan, beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dan lainnya. Melakukan
vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain.
Vaksinasi pneumokokus
Dapat diberikan pada umur 2,4,6, 12-15 bulan. Pada umur 17-12 bulan diberikan 2 kali dengan
interval 2 bulan ; pada usia > 1 tahun di berikan 1 kali, namun keduanya perlu dosis ulangan 1
44
kali pada usia 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak umur di atas 2
tahun PCV diberikan cukup 1 kali.
Vaksinasi Hib
Imunisasi Hib dapat mencegah infeksi oleh Haemophilus Influenza tipe B. Organisme ini dapat
menyebabkan pneumonia, meningitis dan infeksi tenggorokan berat. Vaksin ini berbentuk
polisakarida murni (PRP : Purified Capsular Polysaccharide ) kuman H. Influenza tipe B, antigen
dalam vaksin tersebut dapat dikonjugasi dengan protein-protein lain seperti toksoid tetanus (PRP-
TT), toksoid difteri (PRP-D atau PRPCR50) atau dengan meningokokus (PRP-OMPC). Cara
pemberiannya dilakukan dengan suntikan dengan interval 2 bulan kemudian bosternya dapat
diberikan pada usia 18 bulan.
45
BAB IV
KESIMPULAN
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-
batuk terutama pada malam dan dini hari.Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan
napas yang luas, brvariasi dan seringkali bersifat reversible dengan atau tanpa pengobatan.
Prevalensi asma meningkat di seluruh dunia. Hal ini di-sebabkan terutama oleh pengetahuan yang
rendah mengenai asma, pedoman dan pelaksanaan pengelolaan asma yang tidak lengkap atau
sistimatis, serta sangat kurangnya data dan perencanaan lanjutan. Obat asma dapat dibagi dalam 2
kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller).Relievers merupakan
obat yang digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul, sedangkan
controller untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respitorik kronik. Tujuan
tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang
anak secara optimal. Pneumonia adalah suatu peradangan parenkim paru distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Pneumonia dibedakan menjadi dua
berdasarkan tempat didapatkannya kuman, yaitu pneumonia komuniti dan pneumonia nosokomial.
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan
protozoa. Diagnosis pasti pneumonia komunitas ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat
baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala. Pada prinsipnya penatalaksaan
utama pneumonia adalah memberikan antibiotik tertentu terhadap kuman tertentu infeksi
pneumonia. Pemberian antibitotik bertujuan untuk memberikan terapi kausal terhadap kuman
penyebab infeksi, akan tetapi sebelum antibiotika definitif diberikan antibiotik empiris dan terapi
suportif perlu diberikan untuk menjaga kondisi pasien.
46
DAFTAR PUSTAKA
47