Anda di halaman 1dari 46

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. M
Tempat dan Tanggal Lahir : Kotim, 09-03-2014
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl HM Arsyad
Tanggal Masuk RS : 03 juli 2019
Tanggal Pemeriksaan : 03 Juli 2019
Tanggal Keluar RS : 06 Juli 2018
Ruangan : Asoka

IDENTITAS ORANGTUA PASIEN


Nama Ayah : Tn. J
Usia : 35 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : S1

Nama Ibu : Ny. R


Usia : 30 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA

II. ANAMNESA
Dilakukan secara alloanamnesa terhadap ibu pasien pada tanggal 03 Juli 2019 di ruang
Asoka RSUD DR Murjani.

A. Keluhan Utama
Sesak nafas sejak ± 1 hari SMRS.

2
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang diantar kedua orang tuanya ke IGD RSUD DR MURJANI dengan keluhan
sesak nafas yang dirasakan sejak ± 1 hari SMRS. Keluhan dirasakan semakin memberat
sejak 4 jam SMRS. Sesak nafas disertai suara mengi, dan tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi.
Batuk dan sesak dirasakan terutama bila udara dingin atau bila pasien kelelahan karena terlalu aktif
atau banyak beraktivitas. Sesak dan batuk dirasakan semakin memberat pada malam hari terutama
saat udara dingin, serta berkurang setelah diuap.Ibu pasien mengatakan sesak nafas yang pasien
rasakan juga disertai dengan batuk berdahak yang sulit keluar yang sudah pasien alami
sejak 2 hari yang lalu, serta disertai juga dengan adanya pilek berwarna kuning. . Pasien
sudah diuap dirumah satu kali tetapi tidak kunjung membaik. Keluhan mual dan muntah
juga dirasakan oleh pasien sejak kemarin, muntah 3 kali.
Keluhan demam disangkal oleh ibu pasien.. Keluhan adanya gangguan buang air besar dan
buang air kecil disangkal. Ibu pasien mengatakan pasien pernah mengalami keluhan seperti
ini 1 bulan yang lalu kemudian membaik saat diterapi denga uap satu kali dirumah.
C. Riwayat Penyakit Dahulu

- Pasien sempat dirawat di rumah sakit pada usia 1 tahun dengan gejala yang sama, pasien memiliki
alergi terhadap debu dan udara dingin. Riwayat alergi makanan disangakal

D. Riwayat Penyakit Keluarga

- ibu dan nenek pasien memiliki riwayat asma, alergi debu dan dingin
F. Riwayat Pemakaian Obat

- nebu venolin 1 amp

3
G. Silsilah atau Ikhtisar Keturunan

An. M (5 thn, 3 bln, 28 hr)

Keterangan :
: Laki-Laki

: Perempuan

: Pasien An. M

H. Riwayat Pribadi
 Riwayat Kehamilan
Pasien merupakan anak pertama. Ibu pasien selalu memeriksakan kandungan di
bidan rutin setiap bulan. Saat awal usia kehamilan, ibu pasien tidak pernah mengalami
muntah berlebih, perdarahan, ataupun kondisi lain yang membahayakan kehamilan.
Riwayat meminum obat-obatan, alkohol, ataupun jamu disangkal.

 Riwayat Persalinan
Bayi lahir dari ibu G1P0A0 secara spontan dengan usia kehamilan 39 minggu.
Bayi lahir dengan jenis kelamin laki-laki, berat badan 3000 gr, panjang badan 46 cm,
lingkar kepala 33 cm, dan APGAR Score 6-8. Saat lahir bayi menangis kuat serta tidak
tampak biru pada bibir dan ekstremitas.

4
I. Riwayat Pasca Lahir
Tidak ada keluhan kelainan bawaan

J. Riwayat Nutrisi
Ibu pasien mengatakan pasien minum ASI sejak dari lahir

K. Imunisasi
Pasien mengikuti program imunisasi lengkap sesuai jadwal.
 Setelah lahir: HB1, BCG
 Usia 1 bulan: Polio 1
 Usia 2 bulan: DPT / HB combo 1, Polio 2
 Usia 3 bulan: DPT / HB combo 2, Polio 3
 Usia 4 bulan: DPT / HB combo 3, Polio 4
L. Riwayat Perkembangan

Ibu pasien mengatakan pertumbuhan dan perkembangan pasien tidak terlambat,


sesuai dengan Kartu Menuju Sehat, sama seperti anak-anak seusianya :

 Mengangkat kepala usia 2 bulan


 Mengoceh usia 3 bulan
 Tengkurap usia 4 bulan
 Berbalik dari telungkup ke telentang usia 6 bulan
 Merangkak usia 6 bulan

M. Riwayat Makan Minum Anak


 0-6 bulan : ASI

N. Sosial Ekonomi dan Lingkungan


 Sosial Ekonomi
Ayah pasien lulusan SMA yang bekerja sebagai wiraswasta. Ibu pasien lulusan
SMA sebagai ibu rumah tangga. Biaya yang ditanggung ayah pasien adalah 3 orang.

5
 Lingkungan
Keluarga pasien tinggal dirumah yang cukup memadai, akan tetapi dilingkungan
rumah pasien sering terdapat adanya asap rokok karena ayah pasien merupakan
perokok aktif, dan ibu pasien mengatakan ayahnya sering merokok didalam rumah
sehingga pasien sering untuk terpapar asap rokok.

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Pemeriksaan Umum
 Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
 Kesadaran : Komposmentis, GCS E4V5M6
 Tanda Vital
Tekanan darah :-
Frekuensi nadi : 160 x/menit, teratur
Frekuensi napas : 44 x/menit
Suhu : 36.9°C
SpO2 : 88%

B. Antropometri
 Berat Badan : 15 kilogram
 Tinggi Badan : 103 cm
 Status Gizi :
Menggunakan rumus : BB/TB
15 kg/ 103cm
Status gizi pasien ada di antara 1 SD dan 2 SD
(normal)

6
C. Pemeriksaan Khusus
 Kepala : Normocephal, rambut hitam
 Kulit : turgor baik, ikterik (-), pucat (-), sianosis(-)
 Mata : Normal,Pupil bulat isokor, sekret (-), konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), Reflek cahaya langsung +/+, Reflek cahaya tidak langsung +/+
 Hidung : Deviasi septum (-), napas cuping hidung (+), sekret (-)
 Mulut : Sianosis (-), bibir kering(-). Lidah kotor(-)
 Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
 Paru-paru
 Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, retraksi intercostal (+), retraksi
suprasternal (-)
 Palpasi : simetris kanan dan kiri, fremitus taktil simetris, nyeri tekan (-),
tidak ada krepitasi
 Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
 Auskultasi : Suara napas bronkovesikuler (+/+), ronkhi (+/+), wheezing
(+/+)

7
 Jantung
 Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus cordis teraba, vibrasi (-)
 Auskultasi : BJ I-II reguler, gallop (-), murmur (-)
 Abdomen
 Inspeksi : Bentuk datar, retraksi epigastrium (-)
 Palpasi : Hepatomegali (-), splenomegali (-)
 Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Genitalia : tidak dilakukan
 Ekstremitas : Akral hangat (-), sianosis (-)

D. Pemeriksaan Neurologi
 Refleks fisiologis
- Refleks Bisep : +/+ normal
- Refleks Trisep : +/+ normal
- Refleks patella : +/+ normal
- Refleks Achilles : +/+ normal
 Refleks patologis
- Refleks babinski : -/- normal
- Refleks Oppenheim : -/- normal
- Refleks Chaddock : -/- normal
 Tanda rangsang meningeal

- Kaku kuduk : Negatif


- Brudzinki I : Negatif
- Brudzinki II : Negatif
- Kernig : Negatif
- Kekuatan motorik : Superior 5/5, Inferior 5/5
- Tonus otot : Baik

8
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tanggal 03-07-2019

DARAH LENGKAP HASIL NILAI NORMAL

HEMOGLOBIN 12,4 10,5-13,0 g/dl

HEMATOKRIT 36 33-38%

JUMLAH LEUKOSIT 14,8 6.0-17,0 ul

EOSINOFIL 1 0-3%

BASOFIL 0 0-1%

NETROFIL 84 20-46%

LIMFOSIT 10 45-76%

MONOSIT 5 3-6%

JUMLAH TROMBOSIT 340 250-600 ul

JUMLAH ERITROSIT 4,8 3,7-4,9 juta/ul

MCV 76 70-84 fl

MCH 26 23-30 pg

MCHC 34 31-37 g/dl

RDW 13,4 <16%

9
 Pemeriksaan Rontgen Thoraks tanggal 03-07-2019

Hasil bacaan Rontgen :


 Cor sinuses dan diafragma
normal
 Pulmo: hillus dan vascular
kasar
 Sinuss costofrenicus dan
diafragma baik
Kesan : bronchopneumonia

V. RESUME
Pasien datang diantar kedua orang tuanya ke IGD RSUD DR MURJANI dengan keluhan sesak
nafas yang dirasakan sejak ± 1 hari SMRS. Keluhan dirasakan semakin memberat sejak 4 jam
SMRS. Sesak nafas disertai suara mengi, dan tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi. Batuk dan sesak
dirasakan terutama bila udara dingin atau bila pasien kelelahan karena terlalu aktif atau banyak
beraktivitas. Sesak dan batuk dirasakan semakin memberat pada malam hari terutama saat udara dingin,
serta berkurang setelah diuap.Ibu pasien mengatakan sesak nafas yang pasien rasakan juga
disertai dengan batuk berdahak yang sulit keluar yang sudah pasien alami sejak 2 hari yang
lalu, serta disertai juga dengan adanya pilek berwarna kuning. Pasien sudah diuap dirumah satu
kali tetapi tidak kunjung membaik. Keluhan mual dan muntah juga dirasakan oleh pasien sejak
kemarin, muntah 3 kali. Ibu pasien mengatakan pasien pernah mengalami keluhan seperti ini
1 bulan yang lalu kemudian membaik saat diterapi denga uap satu kali dirumah. Sebelumnya
pasien juga sering mengalami sesak nafas terutama pada malam hari pada usia 1 tahun. Dan sempat

10
dirawat di rumah sakit, kemudian sembuh. Pada pemeriksaan fisik didapatkan frekuensi nadi 160
kali/menit, kuat dan regular, frekuensi nafas 44 x/menit, suhu 36.4oC, dan saturasi oksigen
88%. Pemeriksaan fisik paru didapatkan Rhonki +/+ wheezing +/+. Pada pemeriksaan rontgen
kesan : bronkhopneumoniae

VI. DIAGNOSIS BANDING


- RHINITIS ALERGI
- TB PARU
- BRONCHIOLITIS AKUT
VII. DIAGNOSIS KERJA
- Asma bronchial Eksaserbasi akut
- Bronchopneumoni

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Darah lengkap
- Periksaan fungsi paru: Peak Flow Meter, spirometer
- Analisis gas darah
- Rontgen thoraks PA

IX. PENATALAKSANAAN
- Oksigen 5 liter per menit (mask)
- Infus RL 10 tpm makro
- Nebu combivent 1 + nacl 2cc / 6 jam
- Injeksi paracetamol 150 mg / 8 jam (IV)
- Injeksi ceftriaxone 400 mg / 12 jam (IV)
- Injeksi dexametason 3 mg/8 jam (IV)

X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Ad bonam
Quo ad functionam : Ad bonam
Quo ad sanationam : Ad bonam

11
XI. FOLLOW UP PASIEN

TGL 04-08-2019 TGL 05-08-2019 TGL 06-08-2019

S: pasien datang dengan S: Sesak <, batuk (+) muntah S: Sesak << , batuk <

keluhan sesaknafas sejak 1 (-) demam (-) makan dan O:KU:lemah

hari yang lalu , disertai minum baik Kes:Cm

dengan pilek dan batuk O:KU:lemah, sesak TTV;

berdahak sejak 3 hari yang Kes:Cm N:80 X/M

lalu, dahak berwarna kuning, TTV; RR:28 X/M

darah (-) , demam (-) muntah N:97 X/M S:36 C

(+) makan dan minum baik, RR:38 X/M Spo2: 98%

ba/ bak dbn S:36,8 C THO:COR:S1,S2 tunggal

O:KU:lemah, sesak Spo2 : 96 % Pulmo:ves (+/+)rh(-/-),wz(-/-)

Kes:Cm THO:COR:S1,S2 tunggal Abd:soepel,nyeri tekan (-)

TTV; Pulmo:ves Ext:akral hangat,nadi kaki

N:120 X/M (+/+)rh(</<),wz(</<) kuat crt<2 dtk

RR:42 X/M Abd:soepel,nyeri tekan (-) A:

S:36,8 C Ext:akral hangat,nadi kaki - Pneumoni

Spo2: 94 % kuat crt<2 dtk - Asma bronchial

THO:COR:S1,S2 tunggal A: P:IVFD RL 10 tpm

Pulmo:ves - Pneumoni -o2 mask 5 lpm

(+/+)rh(+/+),wz(+/+) - Asma bronchial -injeksi ceftriaxon + nacl 2

Abd:soepel,nyeri tekan (-) P:IVFD RL 10 tpm cc/6 jam

12
Ext:akral hangat,nadi kaki -o2 mask 5 lpm - injeksi dexa 3 mg/8 jam

kuat crt<2 dtk -injeksi ceftriaxon + nacl 2

A: cc/6 jam

- Pneumoni - injeksi dexa 3 mg/8 jam

- Asma bronchial

P:IVFD RL 10 tpm

-o2 mask 5 lpm

-injeksi ceftriaxon + nacl 2

cc/6 jam

- injeksi dexa 3 mg/8 jam

- injeksi ondansetron 3 mg/8

jam

13
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Asma


Menurut Nelson (2007) asma didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kronis yang terjadi
di salur pernafasan sehingga menyebabkan penyempitan pada salur pernafasan tersebut. Asma
merupakan sindrom yang kompleks dengan karakteristik obstruksi jalan nafas, hiperresponsif
bronkus dan inflamasi pada salur pernafasan (Busse dan Lemanske, 2001). Asma menyerang
kesemua bangsa dan etnik di seluruh dunia dan pada semua peringkat usia, dengan prevalensi anak
laki-laki lebih banyak berbanding anak perempuan dan setelah pubertas, asma lebih banyak
menyerang wanita berbanding pria (Fanta, 2009).

2.2 Patogenesis Asma


Asma secara konsistennya berhubungan dengan lokus yang pro-alergik dan proinflamatori.
Sel inflamatori bisa menginflitrasi dan menyumbat salur pernafasan sehingga mengakibatkan
kerusakan pada epitel dan deskuamasi pada lumen salur pernafasan. Inflamasi yang terjadi
menyebabkan salur pernafasan menjadi hiperresponsif yaitu cenderung untuk berkonstriksi apabila
terpapar kepada alergen. Batuk, rasa sesak di dada dan mengi adalah akibat dari obstruksi bronkus
yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktivitas bronkus. Penyempitan saluran napas yang
terjadi pada pasien asma merupakan suatu hal yang kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya
mediator dari sel mast yang banyak ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas
dan di bawah membran basal. Bermacam faktor pencetus dapat mengaktifkan sel mast. Selain sel
mast, sel lain yang juga dapat melepaskan mediator adalah sel makrofag alveolar, eosinofil, sel
epitel jalan napas, neutrofil, platelet, limfosit dan monosit. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel
mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas.
Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan
oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan
alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga memperbesar reaksi yang terjadi. Mediator
inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan asma, melalui sel
efektor sekunder seperti eosinofil, netrofil, platelet dan limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga
mengeluarkan mediator yang kuat seperti leukotrien. Tromboksan, PAF dan protein sitotoksis yang

14
memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan
hipereaktivitas bronkus (Nelson, 2007).

2.3 Etiologi Asma


Menurut Patino dan Martinez (2001) dalam Martinez (2003) faktor lingkungan dan faktor
genetik memainkan peran terhadap kejadian asma. Menurut Strachan dan Cook (1998) dalam Eder
et al (2006) pada kajian meta analisis yang dijalankan menyimpulkan bahwa orang tua yang
merokok merupakan penyebab utama terjadinya mengi dan asma pada anak. Menurut Corne et al
(2002) paparan terhadap infeksi juga bisa menjadi pencetus kepada asma. Infeksi virus
terutamanya rhinovirus yang menyebabkan simptom infeksi salur pernafasan bagian atas memicu
kepada eksaserbasi asma. Gejala ini merupakan petanda asma bagi semua peringkat usia (Eder et
al, 2006). Terdapat juga teori yang menyatakan bahwa paparan lebih awal terhadap infeksi virus
pada anak lebih memungkinkan untuk anak tersebut diserang asma (Cockrill et al, 2008).

Selain faktor linkungan, faktor genetik juga turut berpengaruh terhadap kejadian asma.
Kecenderungan seseorang untuk menghasilkan IgE diturunkan dalam keluarga (Abbas et al, 2007).
Pasien yang alergi terhadap alergen sering mempunyai riwayat keluarga yang turut menderita asma
dan ini membuktikan bahwa faktor genetik sebagai faktor predisposisi asma (Cockrill et al, 2008).

Menurut Tatum dan Shapiro (2005) dalam Eder et al (2006) ada juga bukti yang
menyatakan bahwa udara yang tercemar berperan dalam mengurangkan fungsi paru, mencetuskan
eksaserbasi asma seterusnya meningkatkan populasi pasien yang dirawat di rumah sakit.

Mekanisme patogenik yang menyebabkan bronkokonstriksi adalah disebabkan alergen


yang memicu kepada serangan asma. Walaupun telah dikenal pasti alergen outdoor sebagai
penyebab namun alergen indoor turut memainkan peran seperti house dust mites, hewan peliharaan
dan kecoa. Apabila pasien asma terpapar dengan alergen, alergen tersebut akan menempel di sel
mast. Sel mast yang telah teraktivasi akan melepaskan mediator. Mediator- mediator ini yang akan
menyebabkan bronkokonstriksi dan meningkatkan permeabilitas epitel jalan nafas sehingga
membolehkan antigen menempel ke IgE-spesifik yang mempunyai sel mast. Antara mediator yang
paling utama dalam implikasi terhadap patogenesis asma alergi adalah histamin dan leukotrien
(Cockrill et al, 2008).

15
Histamin merupakan mediator yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus,
augmentasi permeabilitas vaskuler dan pembentukan edema salur pernafasan serta menstimulasi
reseptor iritan yang bisa memicu bronkokonstriksi sekunder (Cockrill et al, 2008).

Menurut Drazen et al (1999) dalam Kay A.B. (2001) sel mast turut memproduksi sisteinil
leukotriene yaitu C4, D4 dan E4. Leukotriene ini akan menyebabkan kontraksi otot polos,
vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vaskuler dan hipersekresi mukus apabila berikatan
dengan reseptor spesifik.

2.4 Klasifikasi Asma


2.4.1 Asma saat tanpa serangan
Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) mengklasifikasikan derajat asma menjadi:

1) Asma episodik jarang


2) Asma episodik sering
3) Asma persisten

Tabel 2.1 . Klasifikasi derajat asma pada anak

Parameter klinis, Asma episodik Asma episodik Asma persisten sering


kebutuhan obat jarang
dan faal paru asma

1 Frekuensi <1 kali/bulan >1 kali/bulan Sering


serangan

2 Lama serangan <1minggu >1minggu Hampir sepanjang


tahun, tidak ada
periode
bebas
serangan

16
3 Intensitas Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat
serangan

4 Diantara Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan


serangan malam

5 Tidur dan Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu


aktifitas

6 Pemeriksaan Normal ( Mungkin Tidak pernah


fisik diluar tidak tergganggu normal
serangan ditemukan (ditemukan
kelainan) kelainan)

7 Obat Tidak perlu Perlu Perlu


pengendali(ant
i inflamasi)

8 Uji faal PEFatauFEV1 >80 PEFatauFEV1 <60 - PEVatauFEV<60


paru(diluar % 80% %
serangan)

9 Variabilitas Variabilitas>15% Variabilitas>30% Variabilitas


faal 2030%.
paru(bila ada Variabilitas >50%
serangan)
Keterangan :

PEF=Peak expiratory flow (aliran ekspirasi/saat membuang napas puncak),

FEV1=Forced expiratory volume in second (volume ekspirasi paksa dalam 1 detik) (Departemen
Kesehatan, 2008 )

17
2.4.2 Asma saat serangan

Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma
berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat
serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan
ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat.

Parameter klinis, Ringan Sedang Berat Ancaman


fungsi faal paru, henti napas
laboratorium

Sesak (breathless) Berjalan Berbicara Istirahat

Bayi : Bayi : Bayi :


Menangis -Tangis pendek Tidak mau
keras dan lemah - makan/minum
Kesulitan
minum/makan

Posisi Bisa Lebih suka Duduk bertopang


berbaring duduk lengan

Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata

Kesadaran Mungkin Biasanya iritabel Biasanya iritabel Kebingungan


iritabel

Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata

Wheezing Sedang, Nyaring, Sangat nyaring, Sulit/tidak


sering hanya sepanjang terdengar tanpa terdengar
pada akhir ekspirasi ± stetoskop
inspirasi
ekspirasi

Penggunaan otot Biasanya Biasanya ada Ada Gerakan


bantu respiratorik tidak paradok
torakoabdominal

18
Retraksi Dangkal, Sedang, ditambah Dalam, Dangkal /
retraksi retraksi ditambah napas hilang
interkostal suprasternal cuping hidung

Frekuensi napas Takipnea Takipnea Takipnea Bradipnea

Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar :


Usia Frekuensi napas normal
per menit
< 2 bulan <60
2-12 bulan < 50
1-5 tahun < 40

6-8 tahun < 30

Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi


Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak
Usia Frekuensi nadi normal
per menit
2-12 bulan < 160 1-2 tahun
< 120
6-8 tahun < 110

Pulsus paradoksus Tidak ada Ada Ada Tidak ada,


(pemeriksaannya tidak (< 10 (10-20 mmHg) (>20mmHg) tanda
praktis) mmHg) kelelahan otot
respiratorik

PEFR atau FEV1


(%nilai
dugaan/%nilai >60% 40-60% <40% <60%,
terbaik) >80% 60-80% respon<2 jam
Pra bonkodilator
Pasca bronkodilator

SaO2 % ≤ >95 % 91 - 95 %
90% Normal >60 mmHg <60 mmHg -

PaO2

PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg -

( Departemen Kesehatan, 2008)

19
2.5 Manifestasi klinis asma

Batuk kering yang intermitten dan mengi merupakan gejala kronis yang sering dikeluhkan
pasien. Pada anak yang lebih tua dan dewasa mengeluhkan sukar bernafas dan terasa sesak di dada.
Pada anak yang lebih kecil sering merasakan nyeri yang nonfokal di bagian dada. Simptom
respiratori ini bisa lebih parah pada waktu malam terutamanya apabila terpapar lebih lama dengan
alergen. Orang tua sering mengeluhkan anak mereka yang asma mudah letih dan membatasi
aktivitas fisik mereka (Nelson, 2007). Manakala menurut Boguniewicz (2007), mengi merupakan
karakteristik yang utama pada pasien asma. Jika bronkokonstriksi bertambah parah, suara mengi
akan lebih jelas kedengaran dan suara pernafasan menghilang. Menurutnya lagi, sianosis pada bibir
dan nail beds akan terlihat disebabkan oleh hipoksia. Takikardia dan pulsus paradoxus juga bisa
terjadi. Agitasi dan letargi merupakan tanda-tanda permasalahan pada pernafasan. Menurut Abbas
et al (2007), pada pasien asma terjadi peningkatan produksi mukus. Hal ini dapat menyebabkan
obstruksi bronkus dan pasien mengeluhkan sukar bernafas.

Kebanyakan dari penderita asma juga mengalami alergi rinitis dan eksema (Sheffer, 2004).
Alergi rinitis merupakan inflamasi pada mukosa nasal yang ditandai dengan nasal kongesti,
rinorea, bersin dan iritasi konjuntiva. Rinorea, nasal kongesti, bersin paroxysmal dan pruritus pada
mata, hidung, telinga dan palatum merupakan tanda yang sering dikeluhkan oleh pasien alergi
rinitis. Anak yang alergi rinitis bisa juga terjadi gangguan tidur, aktivitas yang terbatas, irritabilitas
dan gangguan mood dan kognitif yang bisa menggangu prestasi anak di sekolah. Hidung yang
terasa gatal akan menyebabkan anak sering terlihat menggosok hidung dengan tangan (Nelson,
2007). Beberapa kajian telah menyatakan bahwa alergi rinitis merupakan salah satu faktor pemicu
terjadinya asma. Prevalensi alergi rinitis pada pasien asma diperkirakan sebanyak 80 % hingga
90% (B Leynaert, 2000).

Menurut Akdis et al (2006) dalam Bieber (2008) dermatitis atopik atau eksema adalah
penyakit kulit yang sering dideritai oleh pasien dengan penyakit atopik yang lain seperti asma dan
alergi rinitis. Lesi kulit dermatitis atopik memperlihatkan adanya edema dan infiltrasi sel
mononuklear dan eosinofil serta penimbunan cairan dalam kulit(membentuk vesikel yang jelas
terlihat secara klinis). Pecahnya vesikel kecil dalam jumlah yang banyak ini mengakibatkan
terbentuknya krusta dan kulit menjadi bersisik. Perubahan ini dan pruritus berat yang mendahului
dan menyertai erupsi, terjadi karena kulit sangat kering. Pada keadaan ini, terjadi hambatan

20
pengeluaran keringat dan retensi keringat seringkali menimbulkan gatal-gatal berat yang
disebabkan oleh panas. Rasa gatal dan rasa sakit yang hebat akibat kulit yang pecah-pecah adalah
keluhan utama pasien eksema ( Solomon, 2003). Eksema jarang terjadi pada orang dewasa.
Eksema dimulai sejak usia 2 bulan sampai 6 bulan, sering terdapat pada wajah dan iritasi ini
menyebabkan anak tidak dapat tidur. Hasil kajian juga menunjukkan 25% penderita eksema alergi
terhadap telur, susu, kacang, tepung, ikan dan kerang (Pitaloka, 2002).

2.6 Penatalaksanaan Asma


Sasaran utama sebagai strategi pertahanan terhadap asma adalah zat – zat iritan dan alergen.
Keduanya bisa merangsang timbulnya reaksi pada salur pernafasan. Penghindaran terhadap faktor
lingkungan adalah saran yang paling ampuh dalam usaha menghadapi asma. Cara ini sangat alami,
tidak perlu mengkonsumsi obat-obatan, tiada akibat sampingannya serta udara dan lingkungan
yang bersih membawa manfaat bagi seluruh anggota keluarga yang lain (Iwan dan Syamsir, 2006).

Terdapat dua kategori obat untuk penyembuhan asma yaitu obat pelega yang bekerja
dengan cepat (quick-relief) dan obat kontrol untuk jangka panjang (long-term control). Obat pelega
yang digunakan adalah short-acting ß2 agonist (SABA), anti kolinergik dan kotikosteroid oral.
SABA (seperti albuterol, levalbuterol dan pirbuterol) merupakan antara bronkodilator yang efektif.
SABA bekerja dengan memberikan efek relaksasi pada otot polos bronkus dan mula bekerja 5
hingga 10 menit setelah administrasi. Ipratropium bromida merupakan antikolinergik
bronkodilator yang mengurangkan hipersekresi mukus dan irritabilitas reseptor batuk dengan
mengikat asetilkolin di reseptor muskarinik yang terdapat pada otot polos bronkus. Anak asma
dengan eksaserbasi akut diberikan kortikosteroid untuk 3 hingga 10 hari. Dosis awal diberikan 1-
2 mg/kg/hari dengan Prednison untuk 2 hingga 5 hari yang berikutnya. Untuk obat kontrol jangka
panjang pula digunakan obat long-acting ß2 agonist (LABA), kortikosteroid inhalasi, teofilin dan
leukotrien modifiers. LABA (salmeterol, formoterol dan bambuterol) memberikan efek relaksasi
otot polso bronkus dan bekerja selama 12 jam tapi obat ini tidak memberikan efek anti inflamatori
yang signifikan. Leukotriene modifiers dibagi menjadi dua kelompok yaitu cysteinyl leukotriene
reseptor antagonists(zafirlukast dan montelukast) dan leukotriene synthesis inhibitors (zileuton)
(Nelson, 2006).
Leukotriene modifiers bekerja sebagai anti inflamasi dan bronkodilator. Manakala teofilin
bekerja dengan cara menghambat fosfodiesterase seterusnya menghambat pemecahan cyclic-
AMP. Teofilin merupakan terapi tambahan bagi kortikosteroid inhalasi (Gwilt et al, 2008).

21
3. Bronkopneumonia
3.1 Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat yang disebabkan oleh mikroorganisme
(bakteri, virus, jamur, protozoa). Bronkopneumonia didefinisikan sebagai peradangan akut dari
parenkim paru pada bagian distal bronkiolus terminalis dan meliputi bronkiolus respiratorius,
duktus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveoli.1

3.2 Epidemiologi Pneumonia


Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di
Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak
berusia dibawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak di seluruh
dunia, lebih kurang dua juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar
terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survey kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% angka
kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit system
respiratori, terutama pneumonia.2
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5
tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka
13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun Insiden pneumonia pada anak
≤ 5 tahun di negara maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan dinegara berkembang 10-
20 kasus/100 anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian pertahun pada anak
balita di negara berkembang.2
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
menunjukkan, prevalensi nasional ISPA: 25,5%, angka kesakitan ( morbiditas ) pneumonia pada
bayi: 2,2%, balita: 3%, angka kematian ( mortalitas ) pada bayi 23,8% dan balita 15,5%.

3.3 Etiologi Pneumonia


Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak,
terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan strategi pengobatan. Etiologi pneumonia

22
pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti
E.colli, pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan balita pneumoni sering
disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus,
sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan
infeksi Mycoplasma pneumoniae 2.
Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang mencakup 15-40%
kasus diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human metapneumovirus dan adenovirus.
Nair, et al 2010 melaporkan estimasi insidens global pneumonia RSV anak-balita adalah 33.8 juta
episode baru di seluruh dunia dengan 3.4 juta episode pneumonia berat yang perlu rawat-inap.
Diperkirakan tahun 2005 terjadi kematian 66.000 -199.000 anak balita karena pneumonia RSV,
99% di antaranya terjadi di negara berkembang. Data di atas mempertegas kembali peran RSV
sebagai etiologi potensial dan signifikan pada pneumonia anak-balita baik sebagai penyebab
tunggal maupun bersama dengan infeksi lain.

Tabel 1. Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut umur dengan terjadinya infeksi. 10


Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 hari Bakteria Bakteria
 Escherichiacolli  Group D streptococci
 Group B streptococci  Haemophillusinfluenzae
 Listeriamonocytogenes  Streptococcuspneumoniae
 Ureaplasmaurealyticum
Virus
 Cytomegalovirus
 Herpes simplex virus

3 minggu – Bakteria Bakteria


3 bulan  Clamydiatrachomatis  Bordetellapertusis
 Streptococcuspneumoniae  Haemophillusinfluenza

23
Virus type B & non typeable
 Respiratory syncytial  Moxarellacatarrhalis
virus  Staphylococcusaureus
 Influenza virus  Ureaplasmaurealyticum
 Para influenza virus 1,2 Virus
and 3  Cytomegalovirus
 Adenovirus
4 bulan – Bakteria Bakteria
5 tahun  Streptococcuspneumoniae  Haemophillusinfluenza
 Clamydiapneumoniae type B
 Mycoplasmapneumoniae  Moxarellacatarrhalis
Virus  Neisseriameningitis
 Respiratory syncytial  Staphylococcusaureus
virus Virus
 Influenza virus  Varicella zoster virus
 Parainfluenza virus
 Rhinovirus
 Adenovirus
 Measles

5 tahun – dewasa Bakteria Bakteria


 Clamydiapneumonia  Haemophillusinfluenza
 Mycoplasmapneumonia type B
 Streptococcuspneumoniae  Legionellaspecies
 Staphylococcusaureus
Virus
 Adenovirus
 Epstein barr virus
 Influenza virus
 Parainfluenza virus

24
 Rhinovirus
 Respiratory syncytial
virus
 Varicella zoster virus

Tabel 2. Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi. 10


 Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumonia
Haemophilus influenzae
Moraxella catarrhalis
Staphylococcus aureus
Legionella pneumophila
Enterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp.
 Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumonia
Chlamydia spp. (C. pneumoniae, C. psittaci, C. trachomatis)
Coxiella burnetii (Q fever)
Viruses: respiratory syncytial virus, parainfluenza virus (children); influenza A
and B (adults); adenovirus
(military recruits); SARS virus
 Hospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods, Enterobacteriaceae (Klebsiella spp., Serratia marcescens,
Escherichia coli) and
Pseudomonas spp.
Staphylococcus aureus (usually penicillin resistant)
 Pneumonia kronis
Nocardia
Actinomyces

25
Granulomatous: Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria,
Histoplasma capsulatum,
Coccidioides immitis, Blastomyces dermatitidis

3.3 Klasifikasi Pneumonia


WHO merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas dan retraksi subkosta
untuk mengklasifikasikan pneumonia di negara berkembang. Namun demikian, kriteria tersebut
mempunyai sensitivitas yang buruk untuk anak malnutrisi dan sering overlapping dengan gejala
malaria.

Klasifikasi pneumonia berdasarkan WHO dijelaskan pada tabel berikut2 :


Klasifikasi Anak usia < 2 bulan Anak usia 2 bulan – 5 tahun
Pneumonia  Kesadaran turun,  Kesadaran turun, letargis
Sangat Berat letargis  Tidak mau minum
 Tidak mau menetek /  Kejang
minum  Sianosis
 Kejang  Malnutrisi
 Demam atau
hipotermia
 Bradipnea atau
pernapasan ireguler
Pneumonia  Napas cepat  Retraksi (+)
Berat  Retraksi yang berat  Masih dapat minum
 Sianosis (-)
Pneumonia  Takipnea
Ringan  Retraksi (-)
Tabel . Klasifikasi beratnya pneumonia berdasarkan WHO.2

26
Sedangkan dalam MTBS/IMCI, derajat keparahan dalam diagnosa pneumonia dapat dibagi
menjadi pneumonia berat yang harus dirawat inap dan pneumonia ringan yang bisa rawat jalan.
Diagnosis Klinis Klasifikasi (MTBS)
Pneumonia berat (rawat inap) :
- tanpa gejala hipoksemia Penyakit sangat berat
- dengan gejala hipoksemia (Pneumonia berat)
- dengan komplikasi
Pneumonia ringan (rawat jalan) Pneumonia
Infeksi respiratorik akut atas Batuk : bukan pneumonis
Tabel 3. Hubungan antara diagnosisi klinis dan Klasifikasi-Pneumonia (MTBS).3

1. Klasifikasi Menurut sifatnya, yaitu:


a. Pneumonia primer, yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunyai
faktor resiko tertentu. Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae
(pneumokokus), Hemophilus influenzae, juga Virus penyebab infeksi pernapasan
(Influenza, Parainfluenza, RSV). Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas
“atypical” yaitu mykoplasma, chlamydia, dan legionella.
b. Pneumonia sekunder, yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi, selain penderita
penyakit paru lainnnya seperti COPD, terutama juga bagi mereka yang mempunyai
penyakit menahun seperti diabetes mellitus, HIV, dan kanker,dll. 4
2. Berdasarkan Mikroorganisme Penyebab
a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholik,Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia virus, disebabkan oleh virus RSV, Influenza virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised). 9

27
3. Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a. Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi di
lingkungan rumah atau masyarakat, juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah sakit
dengan masa inap kurang dari 48 jam. 9
b. Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di “rumah sakit”, infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit. Kuman
penyebab sangat beragam, yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau
bakteri dengan gramm negatif lainnya seperti E.coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas
aeroginosa, Proteus, dll. Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab
HAP. 9
c. Pneumonia aspirasi
4. Berdasarkan lokasi infeksi
a. Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu / beberapa lobus paru. Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram.Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori
Kohn.Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae.Jarang
pada bayi dan orang tua.Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen.
Kemungkinan sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda
asing, atau adanya proses keganasan. 9
b. Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis. Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi di
lobulus yang bersebelahan. Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus. Sering pada bayi dan
orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus. 9
c. Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil.
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma. Terjadi edema dinding
bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial. Radiologis berupa bayangan
udara pada alveolus masih terlihat, diliputi perselubungan yang tidak merata.9

28
3.4 Patogenesis Pneumonia1,4
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan
ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru
merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat
berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke dalam
saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain :
1. Inhalasi langsung dari udara
2. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring.
3. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain.
4. Penyebaran secara hematogen.
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius sangat efisien untuk mencegah infeksi yang terdiri
dari :
1. Susunan anatomis rongga hidung.
2. Jaringan limfoid di nasofaring.
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain yang
dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
4. Refleks batuk.
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.
6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A.
8. Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja sebagai
antimikroba yang non spesifik.
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai
ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu
mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat
stadium, yaitu :
a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada
daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-

29
mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast
juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat
dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan.
Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan
cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada
stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah
sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah
paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang
cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi
pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda,
sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan
kembali ke strukturnya semula.

30
Gambar. Patofisiologi

3.5 Patofisiologi Pneumonia


Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak disebabkan
oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu. Selain itu, toksin-toksin yang
dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak sel-sel system
pernapasan bawah. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan: 9
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi. Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri
dengan ukuran 0,5 – 2,0 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli dan
selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung,
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme,
hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil

31
sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan
kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse). 9
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. 9
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok.
Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru-paru, ataupun seluruh lobus, bahkan sebagian
besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan, dan dua di paru-paru kiri) menjadi terisi
cairan. Dari jaringan paru-paru, infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran
darah. Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai penyebab pneumonia.

Gambar Algoritma Patofisiologi bronkhopneomonia4

3.6 Gejala Klinis Pneumonia


Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga sedang,
sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan

32
mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan dirumah sakit. Beberapa faktor
yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas anatomik dan
imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadang-kadang tidak khas
terutama pada bayi, dan faktor patogenesis. Disamping itu, kelompok usia pada anak merupakan
faktor penting yang menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu
dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya infeksi,
tetapi secara umum adalah sebagai berikut :
- Gejala infeksi umum, yaitu : demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan,
keluhan gastrointestinal seperti : mual, muntah atau diare ; kadang-kadang ditemukan gejala
infeksi ekstrapulmoner.
- Gejala gangguan respiratori, yaitu : batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping
hidung, merintih, dan sianosis.

3.7 Pemeriksaan Fisik Pneumonia


Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia ditemukan hal-hal sebagai berikut :
- Pada nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan pernapasan cuping
hidung.
- Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
- Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus selama
jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis)
maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.
- Pada perkusi tidak terdapat kelainan dan pada auskultasi ditemukan crackles sedang
nyaring.Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang
dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah
(tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung
dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau
kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles dihasilkan oleh gelembung-
gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas , pada
palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas

33
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah. Mungkin disertai ronkhi
halus, yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi. 9

3.8 Pemeriksaan Penunjang Pneumonia


Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung leukosit
dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus leukosit normal
atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm2 dengan limfosit predominan) dan bakteri
leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm2 dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung
jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED.Analisa gas darah
menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis
respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif
sehingga tidak rutin dilakukan

Pemeriksaan radiologi
Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan, hanya
direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan foto rontgen toraks pada
pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Umumnya pemeriksaan
yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia hanyalah pemeriksaan posisi AP.
Lynch dkk mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada foto rontgen toraks tidak
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakkan diagnosis.

Gambar 3 Ro. infiltrat alveoler di lobus kanan bawah ec. S pneumoniae6

34
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:
- Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,
peribronchial cuffing dan hiperaerasi
- Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram. Konsolidasi
dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris atau terlihat sebagai lesi
tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas
dan menyerupai lesi tumor paru disebut sebagai round pneumonia
- Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru berupa
bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru disertai dengan
peningkatan corakan peribronkial.
- Perselubungan/konsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau
segment paru secara anantomis.
- Batasnya tegas, walaupun pada mulanya kurang jelas.
- Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil. Tidak
tampak deviasi trachea/septum/fissure/ seperti pada atelektasis.
- Silhouette sign (+) : bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru ; batas lesi dengan
jantung hilang, berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius
kanan.
- Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura.
- Bila terjadinya pada lobus inferior, maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir
terkena.
- Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler.
- Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus).
Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi.
Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung terlihat pada
pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar,
bronkopneumonia dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri.
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya penyebab pneumonia lobaris

35
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun
dapat mengenai beberapa lobus. 9
1. Pneumonia Lobaris
Foto Thorax

Tampak gambaran gabungan konsolidasi berdensitas tinggi pada satu segmen/lobus (lobus
kanan bawah PA maupun lateral)) atau bercak yang mengikutsertakan alveoli yang tersebar.
Air bronchogram biasanya ditemukan pada pneumonia jenis ini.

36
CT Scan

Hasil CT dada ini menampilkan gambaran hiperdens di lobus atas kiri sampai ke perifer.

2. Bronchopneumonia (Pneumonia Lobularis)


Foto Thorax

Pada gambar diatas tampak konsolidasi tidak homogen di lobus atas kiri dan lobus bawah kiri.
CT Scan

Tampak gambaran opak/hiperdens pada lobus tengah kanan, namun tidak menjalar sampai
perifer.

37
3. Pneumonia Interstisial
Foto Thorax

Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstitial prebronkial.
Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat, diliputi oleh perselubungan
yang tidak merata.

C-Reactive Protein (CRP)


Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor
infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan
profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri
superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang digunakan untuk evaluasi
respons terhadap terapi antibiotik.

Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan
kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di rumah sakit. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan
bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru.
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari. Pasien mula-mula kumur-kumur dengan
akuades biasa, setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan
dahaknya. Dahak ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat. Dahak segera dikirim ke
labolatorium (tidak boleh lebih dari 4 jam). Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak,
dapat dibantu nebulisasi dengan NaCl 3%. Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk

38
pemeriksaan apusan langsung dan biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN > 25/lpk dan sel
epitel < 10/lpk. 9

3.9 Diagnosis Pneumonia


 Pneumonia Ringan
Disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja. Dan dipastikan
anak tidak memiliki tanda tanda pneumonia berat.
Kriteria napas cepat :
- pada anak umur 2 bulan – 11 bulan : > 50 kali/menit
- pada anak umur 1 tahun – 5 tahun : > 40 kali/menit
 Pneumonia Berat
Terdapat batuk dan/atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut :
 Kepala terangguk – angguk
 Pernapasan cuping hidung
 Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
 Foto rontgen dada menunjukan gambaran pneumonia (infilrat luas, konsolidasi, dll)
Selain itu dapat ditemukan pula hal berikut ini :
- Napas cepat :
o Anak umur < 2 bulan : > 60 kali /menit
o Anak umur 2 – 11 bulan : > 50 kali/menit
o Anak umur 1 – 5 tahun : > 40 kali/menit
o Anak umur > 5 tahun : > 30 kali/menit
- Suara merintih (grunting) pada bayi muda
- Pada auskultasi terdengar :
o Crackles (ronki)
o Suara pernapasan menurun
o Suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai :
- Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya
- Kejang, letargis atau tidak sadar
- Sianosis

39
- Distres pernapasan berat

Diagnosis Banding Pneumonia


Diagnosis Gejala klinis yang ditemukan
Bronkiolitis - episode pertama wheezing pada anak umur < 2 tahun
- hiperinflasi dinding dada
- ekspirasi memanjang
- gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai kurang atau
tidak ada respon dengan bronkodilator
Tuberculosis - riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa
(TB) - uji tuberculin positif (≥10 mm, pada keadaan imunosupresi ≥
5 mm)
- pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun
- demam (≥ 2 minggu) tanpa sebab yang jelas
- batuk kronis (≥ 3 minggu)
pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang
spesifik. Pembengkakan tulang/sendi punggung, panggul,
lutut, falang.
Asma - riwayat wheezing berulang, kadang tidak berhubungan
dengan batuk dan pilek
- hiperinflasi dinding dada
- ekspirasi memanjang
berespon baik terhadap bronkodilator
Tabel. Diagnosis banding anak yang datang dengan keluhan batuk dan atau kesulitan
bernafas

40
3.10 Penatalaksanaan Pneumonia
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan terutama
berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis, distres pernapasan, tidak mau
makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan
usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap.

Bayi Anak
Saturasi oksigen < 92%, sianosis Saturasi oksigen <92%, sianosis
Frekuensi napas > 60 kali/menit Frekuensi napas > 50 kali/menit
Distres pernapasan, apnea intermiten, Distres pernapasan
atau grunting
Tidak mau minum/menetek Grunting
Keluarga tidak bisa merawat di rumah Terdapat tanda dehidrasi
Keluarga tidak bisa merawat di rumah
Tabel 6. Kriteria rawat inap pneumonia2

Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik yang
sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena, terapi
oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk
nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik. Penyakit penyerta harus ditanggulangi
dengan adekuat.
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan. Terapi
antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh
bakteri.
Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapt dilakukan karena tidak tersedianya
uji mikrobiologis cepat. Oleh karena itu, dipilih berdasarkan pengalaman empiris yakni didasrkan
pada kemungkinan etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien
serta epidemiologis.
 Pneumonia rawat jalan
Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama secara oral, misalnya
amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan berobat jalan, dapat diberikan

41
antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang mencapai 90%. Dosis yang digunakan adalah
Kotrimoksazol (4mg TMP/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari atau Amoksisilin
(25mg/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari. Untuk pasien HIV diberikan selama 5 hari.
Anjurkan Ibu untuk memberi makan anak. Nasihati Ibu untuk kontrol ulang anaknya
setelah 2 hari ke RS, atau lebih cepat jika keadaan anak memburuk, tidak bisa minum atau
menyusu.
Ketika anak kembali :
- Jika pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang, nafsu makan membaik,
lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 3 hari
- Jika frekuensi pernapasan, demam, dan nafsu makan tidak ada perubahan, ganti ke antibiotik
ke lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali lagi.
- Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan tangani sesuai pedoman di
bawah ini.

 Pneumonia rawat inap


Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), harus
dipantau 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberikan respons yang baik maka
diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan
amoksisilin oral (15mg/kgBB/kali diberikan 3 kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan yang berat (tidak
dapat menyusu atau minum/makan, ata memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak
sadar, sianosis, distress pernapasan berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali
IM atau IV setiap 8 jam).
Bila pasien datang dengan keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan pengobatan
kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin. Sebagai alternatif, beri
seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari).
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan gentamisin (7,5
mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasiklin (50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam) atau
klindamisin (15 mg/kgBB/hari-3 kali pemberian). Bila keadaan anak membaik, lanjutkan
klosasiklin (atau diklosasiklin) secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3
minggu, atau klindamisin secara oral selama 2 minggu.

42
 Tatalaksana Umum
Pasien dengan saturasi oksigen < 92% pada saat bernapas dengan udara kamar, harus diberikan
terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau sungkup untuk mempertahankan saturasi
oksigen >92%
- Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan intravena dan dilakukan
balans cairan ketat
- Fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan untuk anak dengan
pneumonia
- Anitipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyaman pasien (Paracetamol 10-
15 mg/kgBB/kali)
- Nebulisasi dengan ß2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki
mucocilliary clearance
- Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya setiap 4 jam sekali,
termasuk pemerikaan saturasi oksigen
 Nutrisi
- Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per oral, harus dihindari.
Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube (NGT) atau intravena. Tetapi harus diingat
bahwa pemasangan NGT dapat menekan pernapasan, khusunya pada bayi/anak dengan
ukuran lubang hidung kecil. Jika memang dibutuhkan sebaiknya menggunakan yang
terkecil.
- Perlu dilakukan pemantauan balans cairan agar anak tidak mengalami overhidrasi karena
pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormon antidiuretik
 Kriteria pulang:
- Gejala dan tanda pneumonia menghilang
- Asupan peroral adekuat
- Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (peroral)
- Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol dan kondisi
rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah.

43
Komplikasi Pneumonia
Komplikasi dari pneumonia adalah :
 Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps paru
merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk hilang.
 Empiema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura terdapat
di satu tempat atau seluruh rongga pleura.
 Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.
 Infeksi sitemik
- Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
- Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.
Prognosis Pneumonia6
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-
anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat
memperburuk keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial
tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap
infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi
dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi
apabila berdiri sendiri.

Pencegahan Pneumonia5
Pneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau mengobati
secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini.
Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh
terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan
teratur, menjaga kebersihan, beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dan lainnya. Melakukan
vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain.
 Vaksinasi pneumokokus
Dapat diberikan pada umur 2,4,6, 12-15 bulan. Pada umur 17-12 bulan diberikan 2 kali dengan
interval 2 bulan ; pada usia > 1 tahun di berikan 1 kali, namun keduanya perlu dosis ulangan 1

44
kali pada usia 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak umur di atas 2
tahun PCV diberikan cukup 1 kali.
 Vaksinasi Hib
Imunisasi Hib dapat mencegah infeksi oleh Haemophilus Influenza tipe B. Organisme ini dapat
menyebabkan pneumonia, meningitis dan infeksi tenggorokan berat. Vaksin ini berbentuk
polisakarida murni (PRP : Purified Capsular Polysaccharide ) kuman H. Influenza tipe B, antigen
dalam vaksin tersebut dapat dikonjugasi dengan protein-protein lain seperti toksoid tetanus (PRP-
TT), toksoid difteri (PRP-D atau PRPCR50) atau dengan meningokokus (PRP-OMPC). Cara
pemberiannya dilakukan dengan suntikan dengan interval 2 bulan kemudian bosternya dapat
diberikan pada usia 18 bulan.

45
BAB IV

KESIMPULAN
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-
batuk terutama pada malam dan dini hari.Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan
napas yang luas, brvariasi dan seringkali bersifat reversible dengan atau tanpa pengobatan.
Prevalensi asma meningkat di seluruh dunia. Hal ini di-sebabkan terutama oleh pengetahuan yang
rendah mengenai asma, pedoman dan pelaksanaan pengelolaan asma yang tidak lengkap atau
sistimatis, serta sangat kurangnya data dan perencanaan lanjutan. Obat asma dapat dibagi dalam 2
kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller).Relievers merupakan
obat yang digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul, sedangkan
controller untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respitorik kronik. Tujuan
tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang
anak secara optimal. Pneumonia adalah suatu peradangan parenkim paru distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Pneumonia dibedakan menjadi dua
berdasarkan tempat didapatkannya kuman, yaitu pneumonia komuniti dan pneumonia nosokomial.
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan
protozoa. Diagnosis pasti pneumonia komunitas ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat
baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala. Pada prinsipnya penatalaksaan
utama pneumonia adalah memberikan antibiotik tertentu terhadap kuman tertentu infeksi
pneumonia. Pemberian antibitotik bertujuan untuk memberikan terapi kausal terhadap kuman
penyebab infeksi, akan tetapi sebelum antibiotika definitif diberikan antibiotik empiris dan terapi
suportif perlu diberikan untuk menjaga kondisi pasien.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunnegoro,dkk. Asma : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.Jakarta :


Penerbit FKUI.2004
2. Warner JO. Asthma- basic mehanisms. Dalam: Naspitz CK, Szefler SJ, Tinkelman DG,
Warner JO,Eds. Textbook of Pediatric Asthma; edisi ke 1. Martin Dunitz Ltd,
London2001;19-33.
3. Stempel DA. The pharmacologic management of childhood asthma. Pediatr Clin N Am
2003;50:609-29.
4. GINA. Global Strategy for Asthma Management and Prevention.2006 5. UKK Pulmonologi
PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. Jakarta; 2004
5. Beasley R, Keil U, Mutius E, Pearse N and ISAAC steering committee. World wide variation
in prevalence of symptoms asthma, allergic rhinoconjunctivitis, and atopic eczema: ISAAC.
Lancet 1998; 351:1225- 32.
6. Sharma.Girish D.Asthma.eMedicine Pediatrics.Updated sep9, 2009.
7. AIRE. Asthma prevalence in Europe. Asthma insight and reality. in Europe Executive
Summary. http://www.asthma.ac.psiweb.com.executive /mn-exe-summary-prevalence.html
8. Warner JO, Naspitz CK, Cropp GJA. Third International Pediatric Consensus Statement on
the Management of Childood Asthma. Pediatr Pulmonol 1998; 25:1-17.
9. Latief, Abdul, dkk. 2009. Pelayanan Kesehatan anak di rumah sakit standar WHO. Jakarta :
Depkes
10. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Nelson ilmu kesehatan anak. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.
11. Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15,Volume 2.Jakarta :EGC.
12. Opstapchuk M, Roberts DM, haddy R. community-acquired pneumonia in infants and
children. Am fam physician 2004;20:899-908
13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan Pneumonia
Komuniti.2003
14. Rahajoe, Nastini.N., dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi, Edisi 1. Jakarta : IDAI

47

Anda mungkin juga menyukai