Anda di halaman 1dari 16

Penerapan Kembali New Economic Policy Dalam Upaya Mengatasi

Dampak Krisis Finansial 1997 Di Malaysia

Evan Permana Sunjaya1, dan Cecep Hidayat2

1. Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Unviersitas Indonesia Jl. Margonda
Raya, Pondok Cina, Kecamatan Beji, Kota Depok, Jawa Barat 16424
2. Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Unviersitas Indonesia Jl. Margonda
Raya, Pondok Cina, Kecamatan Beji, Kota Depok, Jawa Barat 16424

Abstrak

Penelitian yang dibahas dalam tulisan ini ditujukan untuk menjelaskan alasan dan
penilaian Mahathir Mohamad memilih untuk menerapkan kembali kebijakan new economic
policy dalam upaya mengatasi dampak krisis finansial Asia tahun 1997, dan menolak secara
tegas paket bantuan yang ditawarkan oleh International Monetary Fund dan Bank Dunia.
Alasan Mahathir Mohamad dapat dijelaskan secara rasional melalui penilaian-penilaian
terhadap konsekuensi yang akan didatangkan dari kebijakan alternatif yang akan diterapkan.
Pilihan tersebut memberikan dampak pada pembangunan ekonomi dan politik di Malaysia.
Dengan menggunakan teori pilihan rasional karya Raymond Boudon, dan konsep experience &
decision Value milik Kahneman dan Tversky, tulisan ini berusaha untuk mengidentifikasi
karakteristik pilihan rasional dalam pengambilan kebijakan publik yang berkembang di
Malaysia. Hal ini diindikasikan melalui kebijakan yang diambil oleh pemerintah Malaysia
didasarkan pada kebijakan-kebijakan ekonomi politik yang dijalankan sebelumnya, yakni New
Economic Policy (1970-1990) dan National Development Policy (1991-1996). Selain itu,
Mahathir juga menilai konsekuensi yang akan terjadi, apabila Malaysia menerima paket
bantuan IMF, maka akan terjadi liberalisasi pasar dan intervensi asing serta merusak tatanan
ekonomi dan politik Malaysia yang telah dibangun selama ini.
Reimplementation of New Economic Policy in Efforts to Overcome the Impact of the
1997 Financial Crisis in Malaysia

Abstract

The research discussed in this article is intended to explain the reason and judgment
Mahathir Mohamad chose to reimplement new economic policy to overcome the impact of the
Asian financial crisis of 1997, and explicitly reject the aid package offered by International
Monetary Fund and the World Bank. Mahathir Mohamad reason can be explained in a rational
way through assessments of the consequences that will come from alternative policies that will
be applied. The options have an impact on economic and political development in Malaysia.
Using the theory of rational choice by Raymond Boudon, and the concept of experience value
and decision value by Value Kahneman and Tversky, this paper seeks to identify the
characteristics of rational choice in developing public policy in Malaysia. This is indicated by
measures taken by the Malaysian government is based on political economic policies that run
before, the new economic policy (1970-1990) and national development policy (1991-1996).
Moreover, Mahathir also assess the consequences will be if Malaysia receive IMF aid package,
there will be liberalization of markets, foreign intervention and undermine economic & political
order Malaysia that have built over the years.

Keywords:
Mahathir Mohamad, Reimplementation, new economic policy, national development policy,
political economy policy

1. Pendahuluan
Pemerintah Malaysia yang menerbitkan kebijakan NEP (New Economic Policy) 1970-
1990 yang menghendaki restrukturisasi ekonomi dan distribusi pendapatan untuk mengatasi
kesenjangan ekonomi berdasarkan ras. Kemudian, Pemerintah Malaysia menerbitkan kebijakan
NDP (National Development Policy) yang menghendaki keterlibatan Malaysia dalam
kompetisi ekonomi internasional. Ekonomi Malaysia pada tahun 1997 mulai jatuh karena
penularan krisis finansial Asia dan kroni kapitalisme. Saat itu Pemerintah Malaysia yang
dipimpin oleh Mahathir Mohamad memiliki dua pilihan alternatif, yaitu: (1) menerima pake
bantuan IMF (International Monetary Fund); atau (2) menguatkan sektor ekonomi nasional,
berupa penerapan kebijakan alternatif dalam negeri. Dalam konteks ini, Mahathir menerapkan
kembali kebijakan NEP.

2. Tinjauan Teoritis
Pada penelitian ini penulis menggunakan teori pilihan rasional yang dikembangkan oleh
Raymond Boudon, yang menyatakan bahwa teori pilihan rasional menekankan pentingnya
kata “rasional”, dimana kata ini bermakna bahwa perilaku merupakan proses koginisi yang
harus dapat dijelaskan (Boudon, 2009). Pilihan dalam teori ini dikatakan rasional apabila
memiliki beberapa karakteristik yang menjadi penekanan utama, yaitu (Boudon, 2009):
pertama, perilaku muncul sebagai akibat dari alasan-alasan yang ada dipikiran, yang
disampaikan; kedua, alasan-alasan sebuah perilaku didasari pada penilaian terhadap
konsekuensi dari pilihan tersebut; ketiga, penilaian terhadap konsekuensi didasarkan pada
akibat yang akan dirasakan orang yang mengambil keputusan; dan keempat, seseorang akan
mengambil pilihan dirasakan yang paling menguntungkan. Karakteristik lain untuk
menjelaskan pengambilan keputusan berdasarkan teori pilihan rasional adalah tujuan yang
dimiliki oleh pembuat keputusan (Hidayat, 2016).
Selain itu, penulis menggunakan konsep experience value dan decision value. Pada
konsep experience value adalah rasa senang atau sedih terkait dengan pengalaman nyata
sebagai hasil dari sebuah pilihan (Kahneman & Teversky, 1984). Konsep ini berkaitan dengan
yang pernah seseorang alami ketika menjalani sebuah keputusan yang ia pilih, dan pernah
merasakan hasil atau konsekuensi dari keputusan tersebut (Hafidz, 2016). Apabila pilihan yang
ia putuskan untuk dijalankan tepat, maka ia akan memiliki pengalaman yang baik terhadap
keputusan itu. Jika di kemudian hari ia berhadapan dengan kondisi yang sama, akan sangat
memungkinkan orang tersebut akan memilih keputusan yang sama (Kahneman & Teversky,
1984). Sedangkan decision value berhubungan dengan hasil yang diprediksi akan didapatkan
dari sebuah pilihan (Kahneman & Teversky, 1984). Artinya, orang akan memilih atau tidak
memilih putusan yang sama tergantung dari pengalaman hasil atau konsekuensi yang telah ia
jalani sebelumnya (Hafidz, 2016). Bila seseorang mengambil keputusan yang mendatangkan
kerugian, maka besar kemungkinan ia tidak akan memilih kebijakan tersebut dan memilih
alternatif pilihan lain. Bila keputusan yang ia buat mendatangkan keuntungan, maka besar
kemungkinan ia akan memilih kebijakan tersebut. Ketika seseorang memilih keputusan yang
sama, maka akan ada harapan dari apa yang telah ia jalani di masa lalu. Sederhananya ia dapat
memprediksikan hasil yang bisa ia dapatkan dari pilihan keputusan tersebut (Hafidz, 2016).
3. Metode Penelitian
Penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus (case study).
Pendekatan kualitatif menekankan pada paradigma natural, karena manusia sebagai
instrument utama dalam penelitian (Cropley, 2015). Dalam penelitian kualitatif berawal dari
kasus-kasus yang bersifat partikular berdasarkan pengalaman real yang dirumuskan dalam
model, konsep, teori, prinsip, atau definisi yang general. Pengambilan data kualitatif
dilakukan berulang, dan dimaknai secara mendalam oleh peneliti. Alasan penulis
menggunakan pendekatan kualitatif karena mampu mengeksplorasi lebih dalam dan detail
terhadap suatu fenomena, terutama dalam upaya menjelaskan keputusan Mahathir Mohamad
mengimplementasikan kembali NEP untuk mengatasi dampak krisis finansial pada periode
1997. Padahal kebijakan tersebut diimplementasikan dengan dua faktor penyebab krisis
ekonomi yang berbeda.
Penulis menggunakan metode studi literatur pada jurnal-jurnal, buku, laporan
penelitian, dan skripsi untuk mengumpulkan data terkait dengan topik masalah penelitian,
agar dapat membahas NEP (New Economic Policy) di Malaysia pada tahun 1997 di era
Mahathir Mohamad secara lebih mendalam. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder,
yakni data pendukung yang bersumber dari literatur dan referensi-referensi penelitian
sebelumnya yang bahasannya terkait dengan topik permasalahan. Dalam penelitian ini analisis
data didefinisikan sebagai sebuah proses untuk mencari dan mengatur secara sistematis
berbagai bahan yang telah didapatkan, yang dikumpulkan secara keseluruhan untuk
meningkatkan pemahaman terhadap fenomena yang sedang diteliti atau membantu peneliti
untuk merepresentasikan temuan-temuan penelitian (Bogdan, 1982). Peneliti akan
mengumpulkan berbagai data dan menganalisis data yang dikumpulkan dari literatur yang
membahas fenomena mengimplementasikan NEP sebagai upaya untuk mengatasi dampak
krisis ekonomi di Malaysia pada tahun 1997. Selanjutnya peneliti akan menganalisis
berdasarkan teori yang telah ditentukan diatas.

4. Hasil Penelitian
Secara garis besar penerapan kembali kebijakan New Economic Policy yang diputuskan
oleh Mahathir dalam upaya mengatasi dampak krisis finansial Asia tahun 1997 menimbulkan
kontraksi ekonomi dan politik, baik di Malaysia maupun di dunia. Atas tindakan yang
dilaksanakannya, Mahathir mendapat kecaman dari dunia internasional dalam penyelesaian
masalah ekonomi, karena sebagian negara-negara yang terkena dampak krisis finansial,
seperti Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia melakukan restrukturisasi ekonomi menjadi
lebih berpacu pada sistem ekonomi pasar yang terbuka, dan melakukan reformasi menjadi
sistem politik yang demokratis, serta menerima paket bantuan yang ditawarkan oleh IMF agar
mempercepat pemulihan ekonomi negara. Namun, Mahathir justru menerapkan kebijakan
sebelumnya untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda Malaysia. NEP digunakan sebagai
langkah agar pemerintah dapat campur tangan dalam sistem ekonomi melalui kebijakan
affirmative action, melakukan kontrol terhadap modal jangka pendek, dan menetapkan nilai
tukar mata uang ringgit terhadap dolar AS, serta menolak dengan tegas paket bantuan yang
ditawarkan oleh IMF dan Bank Dunia. Selain itu, Malaysia dibawah kepemimpinan Mahathir
tidak melakukan reformasi politik, justru melakukan pengendalian kelompok oposisi, tokoh-
tokoh dan masyarakat yang menentang kebijakannya melalui Undang-Undang Keamanan
Dalam Negeri yang menghendaki penangkapan orang atau sekelompok orang tanpa prosedur
pengadilan.
Merujuk pada pendapat Amadae (2018) bahwa seseorang atau sekelompok orang
memilih suatu tindakan yang paling sesuai dengan preferensi mereka (Amadae, 2018).
Artinya, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Mahathir menunjukkan tidak hanya sebatas
tindakan pragmatis tanpa dasar yang jelas. Sebaliknya, berbagai tindakan yang diambil oleh
Mahathir dalam upaya mengatasi dampak krisis finansial Asia tahun 1997, melalui penerapan
kembali kebijakan NEP, berdasarkan pada alasan-alasan yang ada dalam pikiran, kemudian
yang disampaikan dan dilakukan oleh Mahathir terhadap realita sosial yang sedang terjadi.
Tindakan merupakan sebuah perilaku yang muncul sebagai akibat dari pilihan yang diambil
oleh Mahathir dalam pengambilan kebijakan publik. Pengambilan kebijakan atas pilihan yang
dianggap tepat menurut pilihan pribadi (Amadae, 2018). Artinya, diantara pilihan-pilihan
alternatif yang ada, Mahathir memilih pilihan kebijakan yang paling tepat menurutnya.
Kemudian, merujuk pada pernyataan Raymond Boudon (2009) tentang pentingnya kata
“rasional” dalam setiap pengambilan keputusan, dimana arti rasional mendasarkan pada
perilaku yang muncul merupakan hasil dari proses kognisi yang dapat dijelaskan dan diterima
secara kognitif (Boudon, 2009). Artinya, pilihan yang ditentukan oleh Mahathir dapat
dijelaskan menurut rasionalitas. Dalam penulisan penelitian ini, penulis berusaha untuk dapat
menjelaskan alasan yang rasional atas keputusan Mahathir Mohamad memilih untuk
menerapkan kembali new economic policy sebagai upaya untuk mengatasi dampak krisis
finansial Asia tahun 1997, melalui intervensi pemerintah dalam sistem ekonomi, berupa
kontrol modal dan penetapan nilai tukar mata uang ringgit terhadap Malaysia.
Proses kognitif yang dilakukan oleh Mahathir berlandaskan pada penyebab terjadinya
krisis ekonomi Asia. Pemikiran Mahathir berpacu pada dinamika ekonomi global, terutama
perdagangan mata uang menyebabkan krisis finansial Asia terjadi, bukan pada perekonomian
nasional. Hal ini disampaikan sendiri oleh Mahathir pada pidato yang dilakukan di Hongkong
1997, yang direkam oleh AP Associated Press yaitu:

“Saya mengatakan bahwa perdagangan mata uang adalah tidak perlu, tidak
produktif, dan tidak bermoral.”

Pernyataan tersebut mengindikasikan pada karakteristik pilihan rasional yang


dikembangkan oleh Raymond Boudon, yaitu perilaku muncul sebagai akibat dari alasan-
alasan yang ada dipikiran, yang disampaikan (Boudon, 2009). Merujuk pada pernyataan
tersebut, memberikan makna bahwa pemahaman yang ada dalam pikiran Mahathir tentang
krisis ekonomi di Asia, terutama Malaysia, disebabkan oleh faktor eksternal, berupa
perdagangan mata uang yang dilakukan oleh currency trader, sehingga ia menyampaikan
kepada publik bahwa tindakan tersebut tidak perlu untuk dilakukan, tidak produktif, dan tidak
bermoral. Selanjutnya, pemahaman tersebut berubah menjadi tindakan yang didasarkan atas
alasan dan penilaian terhadap konsekuensi dari pilihan tersebut. Tindakan yang diambil oleh
Mahathir adalah menguatkan sektor ekonomi nasional dengan tidak melakukan tindakan-
tindakan yang berdasar pada emosional. Sebagaimana yang dikutip oleh New Straits Times
(Wawan, 2003: 30):

“Hanya satu jalan di mana kita dapat melampaui resesi dengan pelan. Dengan
menentukan langkah secara hati-hati dan menggunakan kekuatan intrinsik kita. Apabila
kita melakukan secara emosi, jika kita hanya memilih jalan yang mudah, kita hanya
menghasilkan kehancuran... Hal ini khususnya ketika memulihkan resesi.”

Dengan demikian, Mahathir tidak langsung bertindak secara gegabah, dan memilih cara
yang mudah untuk menerima dana bantuan IMF agar perekonomian Malaysia dapat pulih
dengan cepat. Hal yang dilakukan untuk mengetahui akar permasalahan dari krisis ekonomi.
Mahathir membentuk NEAC, sebagai badan yang mengidentifikasi akar permasalahan krisis
ekonomi dan memberikan rekomendasi kebijakan yang diambil. Setelah NEAC
mengumumkan hasil bahwa penyebab krisis ekonomi yang terjadi disebabkan karena faktor
eksternal, yang menguatkan pendapat Mahathir. Selanjutnya Mahathir mengambil langkah
dengan memperkokoh basis ekonomi Malaysia melalui stimulus dunia usaha yang ada,
diantaranya adalah bunga kredit rendah kepada rakyat, yakni sekitar 10 persen per tahun,
bahkan semua lembaga keuangan diwajibkan untuk mengalokasikan dana pinjaman kepada
usaha kecil sebanyak-banyaknya (Wawan, 2003). Selain itu, pemerintah Malaysia juga
melakukan penyederhanaan birokrasi yang menghambat proses perizinan dalam pendirian
badan usaha dan permohonan kredit agar memudahkan akses pelaku usaha kecil. Hal ini
dilakukan untuk menguatkan ekonomi nasional, sebagaimana yang diungkapkan oleh
Mahathir dalam sambutan peringatan HUT Kemerdekaan ke-46 Malaysia melalui siaran
radio, yaitu sebagai berikut (Wawan, 2003: 54):

“Kemajuan perekonomian tidak hanya ditentukan oleh pengusaha besar, untuk


itu kepada para pengusaha kecil pun diutamakan karena mereka memberikan kontribusi
besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.”

Oleh karena itu, Mahathir tidak mau menerima bantuan dari IMF, lebih memilih untuk
bangkit melalui kemampuan ekonomi sendiri. Kemudian, ketika krisis ekonomi melanda
Malaysia, terjadi kejatuhan nilai ekonomi yang menimbulkan dampak multidimensional
dalam segala aspek kehidupan masyarakat Malaysia, terutama dalam sistem ekonomi dan
politik. Pada waktu itu, sebenarnya Mahathir memiliki dua pilihan alternatif kebijakan yang
untuk mengatasi dampak krisis ekonomi yang melanda Malaysia tahun 1997. Pilihan pertama
adalah menerima paket bantuan dana dari IMF, seperti di Korea, Thailand, dan Indonesia,
yang terbukti dapat menstabilkan nilai tukar mata uang dan mempercepat pemulihan ekonomi
negara atau pilihan kedua adalah pemerintah menerapkan kebijakan alternatif berupa
intervensi berupa kontrol ekonomi untuk memulihkan ekonomi Malaysia, melalui penerapan
kembali kebijakan NEP yang menghendaki adanya intervensi pemerintah dalam ekonomi.
Mahathir mengambil pilihan kedua, dengan menerapkan kembali NEP sebagai formula
untuk mengatasi dampak krisis finansial tahun 1997. Paket kebijakan tersebut menghendaki
intervensi pemerintah melalui kontrol ekonomi dan investasi berupa revitalisasi ekonomi,
restrukturisasi di sektor finansial dan perusahaan, kontrol modal selektif, dan prospek jangka
pendek dan menengah. Kemudian, Mahathir memilih untuk menolak paket bantuan yang
ditawarkan oleh IMF, dengan alasan paket tersebut sarat kepentingan. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Mahathir pada wawancara CNA Insider sebagai berikut:

“IMF menuntut bahwa apabila kita meminjam (uang) dari mereka dan mereka
akan mengambil alih dan menguasai ekonomi kita, dan itu yang kami rasa tidak patut,
karena negara kami dalam proses atas affirmative action, dalam proses pertumbuhan
oleh komunitas masyarakat yang berbeda di negara ini. Jadi, jika kita meminjam dengan
IMF, mereka tidak akan peduli tentang dampak politik dari pengelolaan mereka, dan
yang kedua, jika mereka mengambil alih dan mengawal ekonomi negara ini dan secara
keseluruhan mereka hanya fokus pada proses pembayaran utang bukan pada
pertumbuhan maka negara-negara ini akan menyesal di kemudian hari (CNA Insider,
2017).”
Dengan demikian, Mahathir mengambil tindakan yang didasari pada penilaian terhadap
konsekuensi dari pilihannya. Penilaian tersebut didasarkan pada penilaian, bila Mahathir
waktu itu meminta bantuan kepada IMF maka konsekuensinya Malaysia harus melakukan
restrukturisasi sistem ekonomi yang bertumpu pada sistem ekonomi pasar, dan melakukan
reformasi sistem politik menjadi demokratis, sebagai syarat peminjaman dalam Nota
Kesepakatan (letter of intent). Dampaknya IMF akan mendikte setiap kebijakan ekonomi
politik yang akan diambil oleh pemerintah Malaysia, dan ekonomi Malaysia akan di kuasai
oleh lembaga keuangan asing, seperti negara-negara Asia yang meminjam dana bantuan IMF.
Sebagaimana yang diungkapkannya pada pidato yang dilakukan di Hongkong 1997, yang
direkam oleh AP Associated Press yaitu:

“Negara-negara Asia akan lebih makmur lagi tetapi bukan sebagai “Negara
Asia”, ekonomi mereka akan dikuasai dan dikawal oleh perbadanan asing yang besar
(Barat)”

Merujuk pada pernyataan tersebut, Mahathir sadar dengan jelas bahwa kebijakan
menerima bantuan IMF dan Bank Dunia atau lembaga-lembaga keuangan lainnya akan
mendatangkan konsekuensi, yang akan didapatkan di masa depan, berupa perekonomian yang
akan dikuasai oleh negara-negara Barat. Penilaian selanjutnya terhadap konsekuensi yang
diambil oleh Mahathir melalui penerapan kembali kebijakan new economic policy, dan
penolakan terhadap IMF dan Bank Dunia serta lembaga keuangan internasional lainnya
disampaikan melalui pidato, yang direkam oleh AP Associated Press yaitu sebagai berikut:

“Mereka akan marah kepada pihak kerajaan, akan terdapat ketidakseimbangan


apabila berlaku ketidakseimbangan ini, kemudian agensi antarbangsa akan
mengeluarkan kenyataan kami tidak akan meluluskan uang kepada kamu karena negara
kamu tidak stabil. Jadi kita perlu memutuskan untuk memecahkan masalah seperti ini.
Negara-negara Asia akan menjadi sangat rapat dan saling menghubungkan negara-
negara di seluruh dunia yang tidak dapat dibedakan dari hadapan dunia”
Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa Mahathir telah menilai konsekuensi yang
akan dirasakan karena menolak IMF dan mengecam tindakan perdagangan mata uang. Agensi
lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia akan marah kepada Kerajaan
Malaysia, karena bersikukuh bahwa krisis finansial Asia disebabkan oleh liberalisasi pasar,
dan spekulasi mata uang yang disebabkan oleh Soros, serta mengatakan bahwa IMF sarat
dengan kepentingan-kepentingan Barat (Buckley & Fitzgerald, 2004). Dalam melihat masalah
ini, Mahathir mempertimbangkan untuk menerapkan kembali kebijakan NEP, karena lebih
melindung ekonomi Malaysia dari kepentingan Barat.
Dalam menjelaskan dengan pemilihan sebuah kebijakan bertumpu pada pengalaman
kebijakan dan pernah merasakan hasil atau konsekuensi dari keputusan tersebut yang telah
diambil sebelumnya (Hafidz, 2016). Dapat diperlihatkan melalui tindakan Mahathir yang
menyampaikan bahwa apabila Malaysia menerima paket bantuan Bank dunia dan IMF maka
tidak akan ada lagi kebijakan affirmative action dan pembangunan ekonomi yang telah
dilakukan oleh pemerintah Malaysia sebelumnya. Amanat besar new economic policy tidak
dapat dilaksanakan kembali karena IMF tidak akan menerima hal tersebut, karena demokrasi
liberal membatasi peran pemerintah dalam segala aspek kehidupan terutama ekonomi.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mahathir pada pidatonya di hadapan Majelis Umum
UMNO pada 19 Juni 1998, Perdana Menteri Mahathir menyimpulkan posisinya tentang
masalah ini sebagai berikut (Athukorala, 2002: 11):

“Jika kita harus menggunakan bantuan Dana Moneter Internasional (IMF) ...,
kondisi yang diberlakukan oleh IMF akan mengharuskan kita untuk membuka ekonomi
kita kepada orang asing. Tidak akan ada kuota Bumiputera karena new economic policy
adalah ketidakadilan, dan tidak dapat diterima oleh demokrasi liberal mereka.”

Ungkapan ini mengindikasikan bahwa penerapan kembali kebijakan new economic


policy didasarkan pada pengalaman yang dialami oleh Mahathir sebagai pembuatan kebijakan
publik, yang merujuk pada kebijakan yang telah diimplementasikan sebelumnya. Hal ini
sesuai dengan konsep yang dikembangkan oleh Kahneman & Teversky yang menyatakan
bahwa berkaitan dengan yang pernah seseorang alami ketika menjalani sebuah keputusan
yang ia pilih, dan pernah merasakan hasil atau konsekuensi dari keputusan tersebut (Hafidz,
2016). Sebagaimana yang juga diungkapkan oleh Syamsul Bahri (2017) yang menyatakan
bahwa kebijakan di Malaysia dilatarbelakangi oleh program NEP, tujuan kebijakan ekonomi
makro di Malaysia adalah untuk meredistribusi kekayaan antar-etnis dengan ekspektasi bahwa
kekayaan ekonomi yang merata akan mendorong persatuan nasional, karena hal ini,
pemerintah Malaysia tidak mengambil kebijakan liberalisasi dan meminta dukungan IMF,
sebab akan mengakhiri proyek redistribusi tersebut. Merujuk pada pernyataan tersebut
Mahathir tidak ingin hasil yang telah dicapai oleh NEP, yang diperlihatkan pada pembahasan-
pembahasan sebelumnya, menjadi sia-sia.
Penerapan kembali new economic policy dan penolakan meminta paket bantuan IMF
oleh Mahathir dalam upaya mengatasi dampak krisis finansial Asia tahun 1997 menimbulkan
prediksi akan hasil atau konsekuensi yang didapatkan di masa yang akan datang. Kebijakan
ini diproyeksikan dapat melindungi ekonomi nasional, terutama dalam kebijakan affirmative
action untuk Bumiputera, dan menjadikan negara yang independen dalam pengelolaan
perekonomian dan sumber daya tanpa campur tangan asing, sehingga pertumbuhan ekonomi
Malaysia dapat terus meningkat sejalan dengan kebijakan yang telah diimplementasikan
sebelumnya, untuk mengatasi krisis ekonomi karena kesenjangan ekonomi antaretnis di
Malaysia. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mahathir dalam wawancara yang dilakukan
oleh IISTV1:

“Kami tidak membutuhkan IMF untuk membantu, karena itu jauh lebih bebas
untuk mengambil tindakan… sekalinya kami melepaskan diri dari pegangan mereka,
kita bisa melakukan hal-hal dalam negeri yang akan menghidupkan kembali ekonomi
kami.”

Penyampaian ini mengindikasikan bahwa decision value berhubungan dengan hasil


yang diprediksi akan didapatkan dari sebuah pilihan (Kahneman & Teversky, 1984). Artinya,
Mahathir akan memilih putusan yang sama tergantung dari pengalaman hasil atau
konsekuensi yang telah ia jalani sebelumnya (Hafidz, 2016). Prediksi yang didatangkan
berupa pemulihan kembali perekonomian Malaysia, dari krisis ekonomi. Selain itu, penolakan
IMF juga menghasilkan sebuah kondisi di mana Malaysia lebih bebas untuk melakukan
tindakan-tindakan dalam pengelolaan ekonomi dan sumber daya, dibandingkan negara-negara
yang meminta paket bantuan IMF.
Secara garis besar pertimbangan politik Mahathir Mohamad untuk
mengimplementasikan kembali NEP adalah ketika kejatuhan ekonomi terjadi, masyarakat
Malaysia merasa kecewa terhadap pemerintahan Mahathir Mohamad. Hal ini dibuktikan
dengan aksi-aksi yang menuntut pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi nasional.
Selain itu, media massa juga turut mengabarkan tentang kejatuhan ekonomi, sehingga
memunculkan opini publik bahwa Malaysia sedang rapuh dan Mahathir tidak dapat
menangani krisis ekonomi yang sedang berlangsung. Anwar memanfaatkan momen ini untuk
mendesak Mahathir mundur sebagai Perdana Menteri Malaysia melalui konferensi pers, dan
aksi unjuk rasa bersama dengan pendukungnya. Anwar berupaya untuk menggiring opini
publik, bahwa era Mahathir telah selesai, dan untuk memulihkan ekonomi diperlukan sistem
ekonomi dan politik yang baru, dengan pengelolaan yang lebih efektif dan efisien. Apabila
Malaysia menerima paket bantuan IMF, maka Anwar berpotensi untuk menggulingkan
Mahathir yang sedang berkuasa. Oleh karena itu, Mahathir memilih untuk mengendalikan
situasi ekonomi politik melalui kebijakan NEP, yang menghendaki intervensi pemerintah.
NEP juga ditujukan sebagai social order yang dapat mengontrol segala aspek kehidupan
masyarakat.
Kebijakan NEP yang diterapkan untuk mengatasi dampak krisis finansial Asia 1997,
berfokus pada kebijakan kontrol modal selektif dan penetapan nilai mata uang ringgit terhadap
dolar AS. Sedangkan nilai dan tujuan yang digagas sejak awal dari NEP tetap berlaku untuk
kalangan Bumiputera di Malaysia. Penggunaan istilah NEP, digunakan kembali untuk
menjaga semangat kebersamaan pembangunan ekonomi Bumiputera (Athukorala, 2002: 11).
Hal ini ditujukan untuk menyatukan kembali suara masyarakat Malaysia untuk percaya bahwa
Malaysia dapat mengatasi krisis ekonomi dengan kekuatan ekonomi nasional secara
independen, dan sebagai kebijakan alternatif yang lebih efektif dan efesien dibandingkan
menerima paket bantuan IMF, yang akan menimbulkan moral hazard bagi keberlangsungan
ekonomi-politik Malaysia di masa depan.

Berdasarkan pemaparan pidato-pidato Mahathir diatas, terlihat bahwa penggunaan


istilah NEP dimaksudkan untuk mengembalikan otoritas pemerintah Malaysia agar dapat
melakukan intervensi terhadap sejumlah aspek kehidupan masyarakat, terutama ekonomi dan
politik. Secara ekonomi, NEP dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada
pemerintah agar dapat mengurus pasar yang sedang krisis melalui restrukturisasi dan
reformasi ekonomi. Secara politik, NEP ditujukan untuk menguatkan posisi pemerintah untuk
mengatur langkah-langkah politik yang diperlukan demi pulihnya ekonomi nasional
Malaysia, khususnya untuk mengatasi serangan oposisi dan Wakil Perdana Menteri Anwar
Ibrahim. Langkah politik tersebut berdampak pada perubahan posisi sejumlah jabatan penting,
seperti Menteri Keuangan Malaysia. NEP yang menghendaki intervensi pemerintah terhadap
ekonomi politik, membuat Undang-Undang Keamanan Dalam masih relevan digunakan pada
saat itu untuk menekan tokoh-tokoh yang menentang kekuasaan Mahathir.
Tujuan utama dari penerapan kembali kebijakan NEP adalah untuk memulihkan
kembali kondisi ekonomi nasional Malaysia dari dampak krisis finansial Asia tahun 1997.
Pada awal tahun 1991 hingga tahun 1996, pertumbuhan GDP Malaysia hampir menyentuh
angka 7 persen per tahun. Namun, kejatuhan ekonomi Malaysia karena penularan krisis
finansial Asia menyebabkan rata-rata pertumbuhan ekonomi Malaysia tidak dapat bertahan
lama, dan mengalami penurunan performa ekonomi, sehingga target NEP pada tahun 1997
adalah untuk mencapai pertumbuhan GDP sebesar 7 persen per tahun. Pada tahun 1999
setelah dua tahun diberlakukannya NEP, pertumbuhan GDP Malaysia menyentuh angka lebih
dari 7 persen per tahun. Selain itu, terjadi pengurangan tingkat inflasi dan pengangguran
selama krisis. Setelah diterapkannya NEP di Malaysia, tingkat inflasi yang diukur dalam
indeks harga produsen meningkat dari 2,7 persen menjadi 10,7 persen antara tahun 1997 dan
1998. Kemudian, tingkat inflasi mengalami penurunan menjadi 3,2 persen pada tahun 1999,
dan tingkat pengangguran sebanyak 3,4 persen, hanya 0,9 poin persentase lebih tinggi dari
tingkat sebelum krisis terjadi. Hal ini dapat dianggap bahwa NEP sebagai upaya dalam
mengatasi dampak krisis finansial Asia tahun 1997 dinilai berhasil.

5. Pembahasan
Konteks sosio-historis yang dimaksud adalah setelah kemerdekaan Malaysia terjadi
kesepakatan antara elit-elit etnis untuk melindungi kepentingan ekonomi Inggris di Malaysia.
Penerapan sistem ekonomi laissez-faire, sistem ekonomi yang didasarkan pada sistem pasar
bebas, dijadikan sebagai titik tengah antara pihak Inggris dengan elit etnis Malaysia. Namun,
pada kesepakatan tersebut tertuang pembagian peran dan fungsi masyarakat berdasarkan letak
geografis. Etnis Melayu ditempatkan di pedesaan untuk mengelola pertanian, etnis India
mengurus perkebunan, dan etnis China di perkotaan untuk mengelola perdagangan. Meskipun
pemerintah Malaysia melakukan upaya untuk mendorong perekonomian etnis Melayu tapi
pada realisasinya, peran pemerintah sangat dibatasi. Dampaknya terjadi kesenjangan ekonomi
yang besar antara etnis Melayu dengan etnis China, sehingga muncul kebencian etnis Melayu
terhadap etnis China karena dominasi modal yang dilakukan oleh mereka. Kebencian ini
kemudian menyebabkan mobilisasi politik terhadap partai-partai yang berkuasa, hingga
terjadi ketegangan antar etnis dan mencapai puncaknya pada Kerusuhan 13 Mei 1969.
Upaya yang dilakukan pemerintah Malaysia untuk mengatasi krisis ekonomi akibat
kesenjangan ekonomi antara etnis Melayu dengan etnis China ditempuh melalui kebijakan
new economic policy, yang bertujuan untuk memberantas kemiskinan dan distribusi
kesejahteraan bagi masyarakat Melayu. Kebijakan ekonomi politik ini memberikan hak
istimewa (affirmative action) kepada kaum Melayu berupa kuota dalam bidang pendidikan,
pekerjaan, layanan kesehatan, kepemilikan saham, dan berbagai fasilitas publik lainnya. NEP
memberikan dampak yang positif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Malaysia,
terutama etnis Melayu. Kebijakan ini dinilai mampu untuk mengurangi kesenjangan ekonomi
berdasarkan ras di Malaysia. Selanjutnya untuk menindaklanjuti NEP, dibentuk sebuah
kebijakan baru yakni National Development Policy. Kebijakan ini merupakan penyesuaian
yang dilakukan oleh Mahathir untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Malaysia, dan
mengurangi kemiskinan secara signifikan. Kebijakan ini mengamanatkan sistem ekonomi
yang berbasis pada prinsip sistem pasar, dengan melibatkan Malaysia dalam kompetisi
internasional. National Development Policy membuka kran investasi asing yang masuk ke
dalam Malaysia dan melakukan kegiatan ekspor berupa bahan mentah dan produk
semikonduktor. Dampaknya Malaysia menerima aliran dana investasi yang besar hingga
tahun 1996, dan pertumbuhan ekonomi Malaysia melonjak naik. Namun, peningkatan
perekonomian Malaysia tidak berlangsung lama, karena Malaysia mengalami krisis ekonomi
pada tahun 1997.
Krisis ekonomi yang terjadi di Malaysia disebabkan oleh dua hal utama, yaitu pertama,
penularan krisis finansial Asia. Krisis finansial Asia terjadi karena spekulasi properti yang
berlebihan, dan serangan spekulan mata uang. Spekulasi properti digerakkan oleh hot money,
yang menyebabkan gelembung ekonomi negara-negara di Asia, termasuk Malaysia.
Pembangunan properti menjadi tidak terkendali, dan kemudian puncaknya adalah ketika
perusahaan properti tidak dapat mengembalikan pinjaman mereka ke pemberi peminjam
(bank). Serangan spekulasi perdagangan mata uang dilakukan oleh George Soros, dengan
membeli habis nilai ringgit pada saat nilainya rendah, kemudian melakukan short selling,
dampaknya nilai mata uang ringgit jatuh 50 persen dari nilai sebelumnya Kedua,
ketidaksiapan sistem ekonomi Malaysia karena terjadi crony capitalism, yang membuat
ekonomi Malaysia menjadi lemah. "Mafia MCKK" dan “Ali Baba” menjadi bukti bahwa
terjadi hubungan yang dekat antara pejabat pemerintah sebagai pemberi izin, proyek, dan hak
monopoli, dengan para pebisnis yang memberikan kepemilikan saham atau keuntungan
sebagai timbal baliknya. Dampak krisis ekonomi yang terjadi di Malaysia adalah kejatuhan
ekonomi, meningkatnya pengangguran, peningkatan inflasi, harga barang-barang naik, dan
pelajar tidak dapat melanjutkan sekolah di luar negeri. Selain itu, dampak politik yang terjadi
di Malaysia adalah muncul kelompok yang berbeda pandangan dalam mengatasi krisis, yakni
antara Mahathir dengan Anwar.
Dalam upaya mengatasi dampak krisis finansial Asia tahun 1997, Mahathir menerapkan
kembali kebijakan New Economic Policy, sebagai usaha untuk melegalkan tindakan intervensi
pemerintah dalam sistem ekonomi. Langkah yang diambil adalah melakukan kontrol modal
dengan menetapkan aliran modal yang masuk ke Malaysia harus tinggal selama 12 bulan, dan
menetapkan nilai tukar mata uang ringgit pada RM3,8 terhadap dolar AS. Selain itu, Mahathir
juga menolak meminta paket bantuan yang ditawarkan oleh IMF dengan tuduhan sarat
kepentingan. Pada sistem politik Malaysia, Mahathir memberhentikan Wakil Perdana Menteri
Anwar Ibrahim dengan tuduhan korupsi dan tindak asusila, melalui Undang-Undang
Keamanan Dalam Negeri. Dampak penerapan kembali NEP dinilai mampu memulihkan
stabilitas ekonomi dan politik di Malaysia. Hal ini menjadi poin untuk Mahathir dalam
mengampanyekan kesuksesan proses pemulihan Malaysia dari krisis ekonomi. Oleh karena
itu, momen ini dimanfaatkan oleh Mahathir untuk mendapatkan kembali legitimasi yang
sempat menurun karena tindakan pemecatan dan penangkapan Anwar melalui Undang-
Undang Keamanan Dalam Negeri. Mahathir mengajukan percepatan pemilu yang
diselenggarakan pada 29 September 1999. Hasilnya UMNO tetap memenangkan dua per tiga
parlemen Malaysia, dan Mahathir terpilih kembali menjadi Perdana Menteri Malaysia. Hal ini
mengukuhkan kekuasaan UMNO dan Mahathir di Malaysia.
Ketika krisis terjadi Mahathir memiliki dua pilihan alternatif untuk memulihkan
perekonomian Malaysia, yaitu menerima paket bantuan IMF untuk mempercepat pemulihan
ekonomi, sama seperti yang dilakukan oleh Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia, yang
memang terbukti dapat memulihkan stabilitas ekonomi secara cepat atau menerapkan
kebijakan alternatif lain yang dapat mengatasi krisis ekonomi, dengan fokus penguatan sektor
ekonomi nasional. Mahathir lebih memilih pada pilihan kedua dengan menguatkan sektor
ekonomi nasional, dan menolak IMF. Tentunya hal ini berkaitan dengan alasan dan
pertimbangan terhadap penilaian dari konsekuensi yang akan didatangkan pada kebijakan
yang dipilih. Alasan-alasan tersebut berdasarkan teori pilihan rasional dapat dijelaskan secara
konseptual.
Indikasi yang mencerminkan pada berlakunya karakteristik pilihan rasional yang
dilakukan oleh Mahathir Mohamad terlihat pada penilaian-penilaian terhadap penyebab krisis
finansial Asia, penolakan paket bantuan IMF, dan kebijakan yang diambil untuk memulihkan
ekonomi Malaysia. Hal ini berdasarkan pada pemahaman yang ada dalam pikiran Mahathir
tentang krisis ekonomi di Asia, terutama Malaysia, disebabkan oleh perdagangan mata uang
yang dilakukan oleh currency trader. Selain itu, alasan Mahathir menolak IMF karena dapat
merusak pembangunan ekonomi yang telah dilakukan sebelumnya, sehingga dibutuhkan
kebijakan yang dapat melakukan proteksi terhadap ekonomi nasional, terutama Bumiputera.
Kemudian, alasan utama penolakan Mahathir terhadap IMF adalah karena konsekuensi yang
didatangkan pada letter of intent, yang mensyaratkan liberalisasi ekonomi, dan pembatasan
peran negara. Artinya, pembangunan ekonomi Malaysia yang telah dilakukan selama ini akan
sia-sia, akibat dari sistem pasar bebas, dan negara tidak dapat melakukan kebijakan proteksi
terhadap perekonomian Bumiputera. Konsekuensi didasarkan pada akibat yang akan
dirasakan oleh Malaysia di masa depan, dimana ekonomi Malaysia akan dikuasai oleh pihak
asing dan negara tidak dapat berbuat lebih karena pembatasan peran negara. Oleh karena itu,
Mahathir memilih kebijakan yang lebih menguntungkan Malaysia secara makro dan secara
politik. Keuntungan bagi Malaysia secara makro adalah menjadikan negara yang independen
pengelolaan ekonomi dan sumber daya di Malaysia. Secara politik, dapat dibuktikan melalui
hasil pemilu tahun 1999, dimana UMNO mendapatkan dua per tiga kursi parlemen dan
Mahathir terpilih kembali menjadi Perdana Menteri Malaysia.
Penerapan kembali kebijakan new economic policy didasarkan pada penilaian kebijakan
yang telah diimplementasikan sebelumnya. NEP dinilai mampu untuk mengatasi krisis
ekonomi yang terjadi di Malaysia akibat kesenjangan ekonomi. Oleh karena itu, Mahathir
memilih untuk menerapkan kembali kebijakan tersebut dalam upaya mengatasi dampak krisis
finansial Asia tahun 1997. Kemudian, penerapan kembali NEP dan penolakan IMF
diprediksikan dapat memulihkan stabilitas ekonomi politik, dan Malaysia menjadi negara
yang lebih independen dalam pengelolaan ekonomi dan sumber daya tanpa campur tangan
asing.

6. Kesimpulan
Berdasarkan realitas yang berlaku pada negara Malaysia, penelitian ini
menyimpulkan bahwa Mahathir memilih untuk menolak paket bantuan IMF dan
menerapkan kembali kebijakan New Economic Policy, karena penilaian Mahathir terhadap
konsekuensi yang akan didatangkan apabila menerima paket bantuan IMF, berupa
liberalisasi dan pembatasan peran negara. Hal tersebut bertentangan dengan kebijakan
pembangunan ekonomi yang telah dilakukan oleh pemerintah Malaysia sebelumnya,
dimana kebijakan affirmative action dan pencapaian-pencapaian yang sudah dicapai oleh
Malaysia akan menjadi sia-sia. Selain itu, diharapkan kebijakan alternatif yang berorientasi
pada penguatan sektor ekonomi nasional dapat memulihkan stabilitas ekonomi Malaysia
dan membuat negara Malaysia menjadi negara yang independen untuk melakukan tindakan-
tindakan dalam pengelolaan ekonomi dan sumber daya nasional.

7. Kepustakaan

Bahri, S. (2017). Perubahan dan Kesinambungan Kebijakan-Kebijakan Ekonomi Makro: Kasus


Indonesia dan Malaysia Tahun 1997-1999. Jurnal Politik, 231-270.
Boudon, R (2009). Rational Choice Theory. The New Blackwell Companion to Social Theory
(ed. B. S. Turner), 179-195.
Thillainathan, R., & Cheong, K.-C. (2016). Malaysia’s New Economic Policy, Growth and
Distribution: Revisiting the Debate. Malaysian Journal of Economic Studies, 51 - 68.
Elangkovan, K., & Said, M. H. (2013). The Asian Financial Crisis 1997-1998 and Malaysian
Response: An Analytical Approach. Australian Journal of Basic and Applied Sciences,
622-633.
Whah, C. Y., & Benny Teh, C. (2015). Malaysia’s Protracted Affirmative Action Policy and
the Evolving Bumiputera Commercial and Industrial Community. ISEAS Yusof Ishak
Institute, 1-36.

Anda mungkin juga menyukai