Anda di halaman 1dari 3

Merebut VS Mempertahankan Kekuasaan di Pilpres 2019

Momen politik yang paling dinantikan oleh seluruh lapisan masyarakat di nusantara
jatuh pada 17 April 2019. Tanggal tersebut menjadi penentu hajat hidup masa depan rakyat
Indonesia lima tahun yang akan datang. Setiap elemen masyarakat terlibat dalam aksi-aksi yang
dilakukan oleh kandidat yang mereka percayai untuk memimpin perubahan bangsa menjadi
lebih baik. Pasalnya, ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa pemimpin yang sudah
menjabat selama lima tahun dinilai sudah melakukan berbagai pencapaian yang tidak dilakukan
presiden-presiden sebelumnya, seperti pembangunan infrastruktur di Timur Indonesia
(PresidenRI.co.id, 2018)). Namun, di satu sisi yang lain, terdapat sebagian masyarakat yang
kecewa atas kinerja pemimpin tersebut, mereka menganggap lima tahun tidak terjadi
perubahan yang signifikan terhadap kehidupan rakyat Indonesia, bahkan janji untuk
melindungi Hak Asasi Manusia hanya tinggal kata-kata belaka, karena terbitnya Undang-
Undang Ormas (Organisasi Kemasyarakatan), yang diikuti oleh pembubaran HTI (Hizbut-
Tahrir Indonesia) (Astungkoro & Hermawan, 2017).

Pemilihan Umum kali ini tampaknya berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya,


karena hanya ada dua kandidat yang bertarung dalam kontestasi politik. Kandidat pertama yaitu
Jokowi sebagai incumbent yang telah menjabat lima tahun ke belakang, dan kedua adalah
Prabowo sebagai pemain lama yang masih bersemangat untuk menjadi presiden yang akan
datang. Kontestasi semakin menarik karena Jokowi menggaet Ma’ruf Amin dari kalangan
Nahdatul Ulama, dan Prabowo meminang Sandiaga Uno dari Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Sangat jelas terlibat bahwa motivasi Jokowi menggaet Ma’ruf adalah untuk menutup ruang
tembak bagi kubu 02 tentang isu politik identitas, dan Prabowo meminang Sandi untuk menarik
millennial dan menciptakan market votes baru yaitu emak-emak.

Dalam konteks ini pertarungan politik antara keduanya Carl J. Federich memaknai ini
sebagai momen to achieve power atau to defense power (Subakti, 2010). Artinya, momen ini
dimanfaatkan oleh para politisi sebagai upaya untuk mendapatkan kekuasaan (to achieve
power) atau mempertahankan kekuasaan yang telah diperoleh selama ini (to defense power).
Kedua konsep tersebut dilegalkan dalam sistem demokrasi melalui pemilu seperti Indonesia.
Merujuk pada fenomena diatas, kubu 02 yang direpresentasikan oleh Prabowo berperan to
achieve power dari incumbent yang sedang berkuasa. Sebaliknya, kubu 01 yang
direpresentasikan oleh Jokowi berperan to defense power dari segala bentuk serangan politik
yang terjadi. Terdapat persamaan dan perbedaan cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan
kedua kubu tersebut.

Kubu 02 to achieve power menggunakan dua strategi utama, yaitu menciptakan pasar
suara baru (new votes market) dan mendekatkan diri kepada ulama-ulama yang berpengaruh di
sosial media seperti, UAS (Ustad Abdul Somad), dan UAH (Ustad Adi Hidayat) (Hatta, 2019).
Pasar suara baru yang disasar oleh kubu 02 adalah emak-emak, yang tidak terlalu banyak
diminati oleh politisi. Namun, kubu 02 dapat mengemas kalangan emak-emak menjadi daya
dukung tersendiri untuk menarik suara kalangan ibu-ibu. Begitu juga dengan peran ulama yang
berpengaruh di media sosial, di detik-detik terakhir cuplikan kebersamaan Prabowo dengan
UAS dan UAH dapat menjadi pemikat yang ampuh bagi lumbung-lumbung suara seperti Jawa
Barat, Sumatera Barat dan beberapa daerah lainnya. Kubu 01 to defense power menggunakan
satu strategi utama, yaitu mengemas Jokowi-Ma’ruf melalui dunia digital yang masif. Tim
kampanye Jokowi berhasil menarik hati netizen melalui media sosial menjadi tokoh yang
sederhana tapi banyak bekerja. Kemasan tersebut terlihat melalui iklan-iklan di Youtube seperti
parodi iklan Khong Guan dan berbagai iklan lainnya. Persamaan dari keduanya berupa
blusukan ke lumbung-lumbung suara untuk menarik pemilih untuk memilih salah satu dari
mereka dalam Pilpres.

Konsekuensi dari pertarungan politik adalah losing power atau ruling power. Kedua
kubu yang bertarung akan mendapatkan konsekuensi rasional dari kontestasi politik 2019.
Kubu yang kalah dalam Pemilu 2019 akan memperoleh konsekuensi kehilangan kekuasaan
(losing power), dengan kata lain tidak dapat berkuasa lima tahun yang akan datang. Namun
bagi kubu yang memenangkan pertarungan akan memperoleh kekuasaan (ruling power) untuk
memimpin Indonesia. Adapun nilai tambah bagi kandidat yang berkuasa lima tahun yang akan
datang adalah dapat melakukan investasi politik untuk melakukan regenerasi politik untuk
menggantikan penguasa yang terpilih 2019, menuju Pemilihan Umum 2024. Hal ini menjadi
misteri tersendiri mengingat situasi politik yang kian dinamis, kira-kira siapakah yang akan
menerima investasi politik untuk 2024 mendatang?

Bibliografi
Subakti, R. (2010). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Grasindo.
Astungkoro, R., & Hermawan, B. (2017, Oktober 24). Presidium Alumni 212 Kecewa Perppu
Ormas Jadi Undang-Undang. Retrieved from Republika.co.id:
https://www.republika.co.id/berita/internasional/palestina-
israel/12/11/28/nasional/politik/17/10/24/oybupm354-presidium-alumni-212-kecewa-
perppu-ormas-jadi-undangundang

Hatta, R. T. (2019, Februari 25). Strategi Darat dan Udara di Balik Pemenangan Jokowi -
Ma'ruf Amin. Retrieved from Liputan6:
https://www.liputan6.com/pilpres/read/3903736/strategi-darat-dan-udara-di-balik-
pemenangan-jokowi-maruf-amin

PresidenRI.co.id. (2018, September 25). Ini Alasan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia


Timur. Retrieved from http://presidenri.go.id/berita-aktual/ini-alasan-pembangunan-
infrastruktur-di-indonesia-timur.html

Anda mungkin juga menyukai