Anda di halaman 1dari 14

Studi Hukum Internasional

Eugeni Hermina (110110130127)

Ahmad Adi Fitriyadi (110110130139)

Firza Gradia (110110130154)

Fitrilia Citra Ramadani (110110130155)

Athaya Thalla (110110130388)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2016
ANGLO NORWEGIAN FISHERY CASE, ICJ, 1951

Fakta Hukum

1. Kasus ini diajukan oleh pemerintah Inggris


2. Pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini adalah Norwegia dan Inggris.
3. Kasus ini bermula dimana Kapal pukat Inggris muncul sehingga mengganggu populasi
lokal dalam mencari ikan yang telah sejak zaman dahulu kali dimanfaatkan sebagai
penghidupan penduduk Norwegia.
4. Kasus ini berkaitan dengan prinsip kebiasaan internasional mengenai Baseline yang ada
di zona perikanan Norwegian berbeda antara Inggris dan Norwegia. Kebiasaan
internasional yang dianut kedua negara penetapan garis zona perikanan sejauh 3 mil
diadopsi oleh United Kingdom sedangkan jarak 4 mil diadopsi oleh Norwegia.
5. Terdapat keterikatan sejarah zona perikanan di Kerajaan Norwegia yang sebenarnya telah
disepakati kedua belah pihak sejak berabad-abad lalu yaitu sepanjang garis pantai yang
memiliki karakteristik sebuah teluk atau selat hukum harus dipertimbangkan Norwegia
untuk alasan historis bahwa laut teritorial harus diukur dari garis tanda air rendah. Jadi
disepakati pada awal kedua belah pihak dan pengadilan bahwa Norwegia memiliki hak
untuk mengklaim 4 mil daerah laut teritorial.

Permasalahan Hukum

Apakah penentuan delimitasi zona perikanan serta garis pangkal dalam aplikasi Norwegia
bertentangan dengan Hukum Internasional?

Putusan

1. Mahkamah Internasional memberikan putusan bahwa Metode yang digunakan dalam


delimitasi zona perikanan Norwegia tidak bertentangan dengan Hukum Internasional.
2. Menyatakan bahwa baseline (garis pangkal) dalam aplikasi Norwegia yang tidak
bertentangan dengan hukum internasional.
Pertimbangan Putusan

1. Atas gugatan yang dilakukan oleh Inggris terhadap Norwegia, Mahkamah berpendapat
bahwa sistem mengukur dengan garis lurus mengikuti garis pantai telah diterapkan secara
sungguh-sungguh oleh Norwegia dan tidak ditentang oleh negara-negara lain, Mahkamah
kemudian menunjuk bahwa karena tidak adanya protes negara lain, dan keadaan demikian
telah merupakan praktek yang telah lama dilaksanakan maka Mahkamah berpendapat
bahwa sistem garis pangkal Norwegia adalah sesuai dengan hukum internasional.

2. Pertimbangan Mahkamah berdasarkan atas bentuk geografis negara Norwegia yang


mempunyai corak yang khas, yaitu pantainya berliku-liku (fjord) dan didepan pantai
terdapat deretan pulau yang dalam bahasa Norwegia disebut “skjaergaard” yang patut
termasuk wilayah Norwegia atau menurut sejarahnya dianggap demikian.

Analisis Putusan

Berdasarkan putusan pengadilan dan kesepakatan kedua belah pihak bahwa memang
Norwegia memiliki Hak untuk mengklaim sepanjang 4 mil dan pemerintah Norwegia juga telah
membuktikan eksistensi history tittle untuk membantah area yang dipersengketakan.
Berdasarkan fakta juga yaitu bahwa selama Raja Norwegia mengeluarkan dekrit tersebut tidak
ada pertentangan dari Negara lain dan merupakan praktek yang sudah lama sehingga terdapat
prinsip kebiasaan Internasional dalam Hukum Internasional.
Berdasarkan dekrit tersebut juga bahwa penarikan baseline (garis pangkal) ini
memunculkan principle of effectiveness ini diterapkan oleh Norwegia secara sungguh-sungguh
dan lebih effektif dan bermanfaat ini berkaitan dengan konfigurasi geografis Norwegia dan
sesuai pula dengan hukum kebiasaan internasional bahwa Penetapan baseline laut territorial
sebuah Negara pantai dapat pula diambil dari gugusan pulau-pulau kecil yang masih mempunyai
hubungan territorial dengan daratan.
Lalu, jika kita kaitkan dengan Konvensi Jenewa 1 Tahun 1958 tentang Hukum Laut pasal
4 ayat 1 angka 1 bahwa Di tempat-tempat di mana pantai banyak liku-liku tajam atau dengan
kata lain Laut menjorok ke dalam dan pada angka 2 yakni Apabila terdapat deretan pulau yang
letaknya tak jauh dari pantai sangat sesuai dengan apa yang diterapkan oleh pemerintah
Norwegia berdasarkan pertimbangan putusan.
TIMOR GAP

Fakta Hukum

● Pihak yang bersengketa dalam kasus ini adalah Portugal dan Australia karena Portugal
mengajukan gugatan kepada Australia.

● Awalnya perjanjian Timor Gap mengikat Indonesia setelah diundangkan dalam Undang-
Undang No. 1 tahun 1991. Perjanjian ini merupakan pengaturan sementara antara RI-
Australia yang ditempuh mengingat upaya kedua negara tersebut dalam menetapkan garis
batas landas kontinennya di wilayah Timor Gap.

● Wilayah Timor Timur dengan bagian timur Pulau Timor, termasuk Pulau Atauro , 25
Kilometer ke utara dari pulau Jacodi Timur dan daerah Kantong Oe-Kussi di bagian barat
pulau Timor. Ibukotanya, Dili terletak di pantai utara tersebut dan pantai selatan Timor
Timur terletak di seberang pantai utara Australia, jarak antara keduanya sekitar 430
Kilometer.

● Pada abad 16, Timor Timur menjadi koloni Portugal dan Portugal tetap di sana sampai
1975. Bagian barat pulau berada di bawah kekuasaan Belanda dan kemudian menjadi
bagian dari Indonesia merdeka.

● 27 Agustus 1975, Setelah gangguan internal di Timor Timur, penguasa Portugis sipil dan
militer. Menarik diri dari daratan Timor Timur ke Pulau Atauro.
● Angkatan bersenjata Indonesia melakukan intervensi di Timor Timur pada tanggal 7
Desember 1975. Keeseokan harinya, Portugis berangkat dari Pulau Atauro dan
meninggalkan Timor Timur sama sekali. Sejak keberangkatan mereka, Indonesia telah
menduduki wilayah-wilayah. Pada tanggal 31 Mei 1976 rakyat Timor Timur telah
meminta Indonesia untuk menerima Timor Timur sebagai bagian integral dari Republik
Indonesia, dan pada tanggal 17 Juli 1976 Indonesia memberlakukan undang-undang
menggabungkan wilayah sebagai bagian dari wilayah nasionalnya.
● Resolusi Dewan Keamanan 384 (1975) dan 389 (1976) pada intinya menyatakan semua
negara untuk menghormati integritas wilayah Timor Timur, mengakui hak rakyat Timor
Timur untuk menentukan nasib sendiri dan menyerukan agar Indonesia segera menarik
pasukan dari wilayah tersebut.
● Pada tahun 1971-1972 Australia dan Indonesia telah membentuk batas landas kontinen
antara pantai masing-masing. Batas landas kontinen ini berhenti di kedua sisi landas
kontinen antara pantai selatan Timor Timur dan pantai utara Australia. Batas landas
kontinen ini disebut “Timor Gap”.
● Pada tanggal 15 Desember 1978 Menteri Luar Negeri Australia menyatakan bahwa
negosiasi yang hendak dimulai antara Australia dan Indonesia untuk penentuan batas
landas kontinen antara Australia dan Timor Timur.
● Pada tanggal 30 Agustus 1999, penduduk Timor Timur memilih untuk berpisah dari RI,
dan kemudian pemerintah mengeluarkan TAP MPR No. V/MPR/1999 yang menerima
jejak pendapat tersebut. TAP MPR ini sekaligus juga mencabut TAP MPR No.
VI/MPR/1976 tentang integrasi Timor Timur ke dalam wilayah RI. Dengan keluarnya
TAP MPR tahun 1999 tersebut, pemerintah RI berpendapat Perjanjian Timor Gap telah
kehilangan hukumnya karena adanyaperubahan pada objek perjanjian (Timor Timur).

● Portugal mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional pada tanggal 22 Februari 1991


terhadap Persemakmuran Australia (Australia) tentang kegiatan tertentu dari Australia di
Timor Timur. Portugal berpendapat bahwa Australia telah melanggar hak rakyat Timor
Timur untuk menentukan nasib sendiri, untuk integritas wilayah dan kesatuan dan
kedaulatan tetap atas kekayaan alamnya, dan telah melanggar kewajiban untuk
menghormati hak integritas dan kedaulatan. Australia telah melanggar kekuasaan
portugal sebagai administering power menghambat pemenuhan kewajiban terhadap
tanggung jawab dan tidak untuk menghormati kekuasaan , kewajiban, dan hak mereka.
Portugal juga berpendapat bahwa kegiatan australia bertentangan dengan resolusi dewan
kemananan 384 dan 389 dan telah melanggar kewajiban untuk menerima dan
melaksanakan resolusi Dewan Keamanan yang ditetapkan oleh Piagam PBB yaitu
mengabaikan karakter mengikat dari resolusi organ PBB yang berhubungan dengan
Timor Timur dan telah melanggar kewajiban negara anggota untuk bekerja sama dengan
itikad baik dengan PBB.
● Pengadilan menganggap tidak perlu mempertimbangkan keberatan Australia dan bahwa
hal tersebut tidak dapat mengesampingkan klaim Portugal, seberapapun pentingnya
pertanyaan yang diajukan oleh klaim mereka dan aturan hukum internasional.
● Pengadilan mengingatkan kepada kedua pihak bahwa wilayah Timor Timur tetap menjadi
wilayah tanpa pemerintahan sendiri yang mengatur wilayah dan rakyatnya memiliki hak
untuk menentukan nasib sendiri.

Permasalahan Hukum

Apakah Republik Portugis dapat melaksanakan yurisdiksi yang diberikan atasnya oleh deklarasi
yang dibuat oleh para pihak berdasarkan Pasal 36 ayat 2 Statuta Mahkamah Internasional untuk
mengadili sengketa?

Putusan

● Oleh 14 suara untuk 2, bahwa Portugal tidak dapat melaksanakan yurisdiksi yang
diberikan atasnya oleh deklarasi yang dibuat oleh para pihak berdasarkan Pasal 36 ayat 2
Undang-Undang untuk mengadili sengketa yang dimaksud dengan penerapan Republik
Portugal

Pertimbangan Putusan

● Mahkamah Internasional berpendapat bahwa Piagam PBB dan dalam yurisprudensi


Mahkamah yang merupakan salah satu prinsip penting dari hukum internasional
kontemporer, menyatakan bahwa Pengadilan tidak bisa memerintah keabsahan dari
penyelenggaraan negara ketika penilaiannya akan berarti evaluasi atas keabsahan
perilaku negara lain yang bukan merupakan pihak untuk kasus ini.
● ICJ merangkum perselisihan kedua Pihak atas permasalahan antara Portugal dan
Australia. Australia keberatan jika dikatakan adanya perselisihan antara kedua pihak,
karena dalam kenyataannya tidak ada perselisihan antara para pihak. ICJ
mempertimbangkan keberatan Australia pada kenyataan yang menunjukkan tidak adanya
perselisihan antara Australia dan Portugal. Australia berpendapat bahwa kasus seperti
yang disajikan oleh Portugal terbatas pada pertanyaan tentang keabsahan perilaku
Australia, dan bahwa pihak yang tepat adalah Indonesia, bukan Australia. Australia
menyatakan bahwa ia sedang digugat di tempat Indonesia. Dalam hal ini, ICJ menyatakan
bahwa Portugal dan Australia telah menerima yurisdiksi wajib dari Pengadilan
berdasarkan Pasal 36 ayat (2) Statuta, namun Indonesia tidak.
● Kemudian pengadilan mempertimbangkan keberatan utama Australia yang menyatakan
aplikasi Portugal membutuhkan pengadilan untuk menentukan hak dan kewajiban
Indonesia. Australia berpendapat yurisdiksi dilimpahkan kepada ICJ dengan deklarasi
para pihak berdasarkan Pasal 36 ayat (2). Negara tidak akan memungkinkan Mahkamah
untuk bertindak jika untuk melakukannya, Pengadilan diminta untuk memutuskan
keabsahan di Indonesia masuk ke dan kehadiran yang berkelanjutan di Timor Timur,
pada validitas dari Perjanjian 1989 antara Australia dan Indonesia, atau pada hak dan
kewajiban Indonesia di bawah Perjanjian itu, bahkan jika Pengadilan tidak harus
menentukan validitasnya. Portugal setuju bahwa jika Aplikasi yang dibutuhkan
Mahkamah untuk memutuskan semua pertanyaan ini, Mahkamah tidak dapat
menerimanya. Para Pihak setuju, mengenai apakah Pengadilan wajib memutuskan semua
pertanyaan ini untuk menyelesaikan sengketa yang diserahkan kepadanya.
● Portugal berpendapat bahwa permohonan pertama yang secara eksklusif berkaitan
dengan pelaksanaan tujuan Australia, menyimpulkan dan memulai kinerja Perjanjian
1989 dengan Indonesia, dan bahwa pertanyaan ini adalah hal yang terpisah dari setiap
pertanyaan yang berhubungan dengan keabsahan perilaku Indonesia.
● Setelah dipertimbangkan argumen yang dikemukakan oleh Portugal yang berusaha untuk
memisahkan perilaku Australia dari Indonesia, Pengadilan menyimpulkan bahwa
perilaku Australia tidak dapat dinilai tanpa terlebih dahulu masuk ke dalam pertanyaan
bahwa Indonesia tidak bisa secara sah menyimpulkan Perjanjian 1989, sementara
Portugal diduga bisa melakukannya; subyek masalah dari keputusan MK tentu akan
menjadi penentuan apakah dengan memperhatikan keadaan dimana Indonesia masuk dan
tetap di Timor Timur, bisa atau tidak bisa memperoleh kekuatan untuk masuk kedalam
perjanjian atas nama Timor Timur terkait dengan sumber daya landas kontinennya.
Pengadilan tidak bisa membuat suatu tekad tanpa adanya persetujuan dari Indonesia.
Analisis

● Lepasnya Timor Timur dari Indonesia yang kemudian menyatakan kemerdekaannya


(dengan bantuan masyarakat internasional yang tergabung dalam PBB). Disini Portugal
sebagai tenaga administrasi dari Timor Timur mengajukan gugatan kepada Australia
yang disebabkan adanya kegiatan tertentu didaerah Timor Timur.
● Menurut Hakim Mahkamah Internasional, yurisdiksi yang diberikan atasnya oleh
deklarasi yang dibuat oleh para pihak berdasarkan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang
untuk mengadili sengketa yang dimaksud dengan penerapan Republik Portugis tidak
dapat dilaksanakan dikarenakan Portugal hanyalah sebagai negara administrasi bukan
sebagai Negara yang terpisah dari negara asal mulanya. Pertanyaan yang lebih mendasar
dari apakah Portugal adalah negara yang berhak untuk menegaskan hak-hak dan
kewajiban.
● Prinsip yang digunakan untuk menentukan suatu wilayah menjadi milik suatu Negara,
diantaranya:
1) Prinsip Efektifitas
Menurut prinsip ini bahwa kepemilikan Negara atas suatu wilayah ditentukan oleh
berlakunya secara efektif peraturan hukum nasional di wilayah tersebut.
2) Prinsip Uti Possidetis
Menurut prinsip ini, batas-batas wilayah negara baru aka mengikuti batas-batas
wilayah negara yang mendudukinya.
3) Prinsip larangan Penggunaan Kekerasan
Prinsip ini melarang Negara memperoleh wilayah dengan menggunakan kekuatan
senjata.
4) Prinsip Penyelesaian sengketa secara Damai
5) Prinsip Penentuan Nasib Sendiri (self determination)
Prinsip ini menegaskan harus dihormatinya kehendak rakyat dalam menentukan
status kepemilikan wilayahya.

● Secara yuridis menurut pasal 16 Konvensi Wina 1978, perjanjian Timor Gap Treaty 1989
antara Indonesia dengan Australia tidak dapat mengikat atau beralih kepada Timor Leste
dalam hal Timor Leste telah menjadi negara yang merdeka. Timor Gap Treaty 1989 akan
dapat tetap berlaku hanya jika secara tegas dan tertulis Timor Leste menyatakan
keterikatannya terhadap perjanjian tersebut. Ketika Timor Leste menyatakan tidak terikat
pada perjanjian tersebut, maka konsekuensinya adalah bahwa eksistensi Timor Gap
Treaty 1989 telah berakhir dan Timor Leste berhak untuk melakukan perubahan atau
melakukan kesepakatan ulang dengan Australia khususnya terhadap pemanfaatan sumber
daya alam yang ada di celah Timor tanpa adanya campur tangan dari Indonesia.
SIPADAN LIGITAN

Fakta Hukum

1. Pada 30 September 1998, Menteri Luar Negeri Indonesia dan Malaysia mendaftarkan
Special Agreement antara Indonesia dan Malaysia, yang ditandatangani di Kuala Lumpur
pada 31 May 1997 dan diberlakukan pada 14 Mei 1998 mengenai exchange of
instruments of ratification.1

2. Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan terletak di Laut Celebes, pada sisi timur laut pulau
Borneo, dan terletak pada 15.5 mil dari laut tersebut. (see below, pp. 635 and 636, sketch-
maps Nos. 1 and 2). Ligitan dan Sipadan adalah pulau-pulau yang sangat kecil dimana
pulau tersebut belum pernah didiami. Namun pada tahun 1980 di Pulau Sipadan telah
didirikan suatu resort turis.2

3. Pada 23 September 1836, Spanyol membuat Kapitulasi-kapitulasi keadilan, perlindungan


dan perdagangan dengan Sultan Sulu. Dalam Kapitulasi-kapitulasi ini Spanyol menjamin
perlindungannya terhadap Sultan. Pada 19 April 1851, Spanyol dan Sultan Sulu membuat
“Act of Re-Submission” dimana pulau Sulu dan sekitarnya menjadi wilayah colonial
Spanyol. Peraturan tersebut dikonfirmasi oleh Sultan pada 22 Juli 1878.3

4. Namun, Belanda berada di pulau Borneo saat awal abad ke 17. VOC, yang memiliki
minat perdagangan di tempat itu, menerapkan hak public di Asia Tenggara atas sebuah
perjanjian yang diizinkan pada tahun 1602 oleh Netherlands United Province. Perjanjian
tersebut memperbolehkan VOC untuk membuat perjanjian dengan pangeran-pangeran
dan pemerintah dari daerah tersebut atas nama Pejabat Negara Belanda. Lalu pada abad
ke-17 dan 18, pengaruh dari Sultan Banjennasin meluas di sebagian besar selatan dan
timur Borneo.

1
Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (IndonesialMalaysia), 4,' Judgment, I. C. J.
Reports 2002, p. 625, halaman 631, ¶1.
2
Ibid, halaman 634, ¶14.
3
Ibid, halaman 637, ¶15.
Sesaat sebelum VOC bangkrut, pada abad ke 18 kepemilikan wilayahnya ditransfer
menjadi milik Netherlands United Provinces. Saat perang Napoleon, Great Britain
mengambil alih kepemilikan Belanda di Asia. 4

5. Pada tahun 1882, sebuah perusahaan resmi dibentuk atas piagam oleh Pemerintah Inggris
dengan nama “British North Borneo Company”(BNBC) yang bertujuan untuk mengelola
dan mengambil sumber daya yang tersedia di daerah sekitar Borneo Utara. 5

6. Pada 11 Maret 1885, Spanyol, Jerman, dan Great Britain membuat sebuah Protokol untuk
Perdagangan dan Navigasi Bebas di Laut Sulu dengan tujuan untuk menyelesaikan
sengketa perdagangan diantara mereka yang berlangsung sudah cukup lama. Protocol
tersebut mengatur agar Pemerintah Spanyol menyerahkan kedaulatannya di area BNBC
didirikan kepada Great Britain.6

7. Pada 12 Mei 1888, Pemerintah Inggris membuat persetujuan dengan BNBC untuk
membuat Negara North Borneo. Dalam persetujuan tersebut, disebutkan bahwa North
Borneo merupakan Negara Protektorat dari Inggris, dengan tanggung jawab hubungan
luar negeri.7

8. Indonesia mengklaim kedaulatan atas kedua pulau tersebut berdasarkan 1981 Convention
dimana Great Britain dan Belanda yang bertujuan untuk “mendefinisikan batas-batas
dimana kepemilikan Belanda di Kepulauan Borneo dan Negara-negara di Pulau itu yang
berada dibawah perlindungan British”. Indonesia juga mengakui adanya effectivités
secara berkala oleh Belanda dan Indonesia. Apabila Pengadilan ini menolak title
berdasarkam 1891 Convention, Belanda tetaplah mengklaim kedaulatan atas pulau

4
Ibid, ¶16.
5
Ibid, halaman 639, ¶20.
6
Ibid, ¶21.
7
Ibid, halaman 640, ¶22.
sengketa sebagai suksesor dari Sultan Bulungan, karena beliau memiliki kewenangan atas
pulau-pulau tersebut.8

9. Di lain sisi, Malaysia mengatakan bahwa merekalah yang memiliki kedaulatan di Pulau
Ligitan dan Sipadan karena adanya transmisi title yang pada awalnya dimiliki berdaulat
sebelumnya, yaitu Sultan Sulu. Malaysia mengklaim bahwa title tersebut disuksesikan
kepada Spanyol, Amerika, Great Britain atas kehendak Negara Borneo Utara, terhadap
United Kingdom of Great Britain dan Irlandia Utara, dan pada akhirnya ke Malaysia.
Title tersebut berdasarkan beberapa instrument hukum, telah dikonfirmasi oleh beberapa
British dan Malaysia effectivités terhadap pulau-pulau tersebut.9

Permasalahan Hukum

Apakah pulau Ligitan dan Pulau Sipadan merupakan milik Indonesia atau milik Malaysia?

Putusan

Dengan 16 votes terhadap satu, Pengadilan menetapkan bahwa kedaulatan terhadap Pulau
Ligitan dan Pulau Sipadan merupakan milik Malaysia.10

Pertimbangan Putusan

Pengadilan menimbang kedaulatan terhadap Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan berdasarkan
effectivités yang telah dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia di pulau-pulau tersebut.

Pandangan Pengadilan terhadap effectivités Indonesia :

 Indonesian Act No 4 of 8 February 1960 yang menggambarkan garis pangkal perairan


kepulauan Indonesia beserta map nya tidak menyebut atau menandakan Pulau Ligitan dan
Pulau Sipadan merupakan pangkalan ataupun titik balik.11

8
Ibid, halaman 643, ¶32.
9
Ibid, ¶33.
10
Ibid, halaman 686, ¶150.
11
Ibid, halaman 683, ¶137.
 Pengadilan menarik kesimpulan bahwa kewenangan angkatan laut Belanda atau
Indonesia di sekitar Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan tidak bisa dianggap sebagai
kedaulatan milik Belanda atau Indonesia.12

 Menurut pengamatan Pengadilan, aktifitas oleh nelayan Indonesia tidak bisa


dikategorikan sebagai effectivités apabila aktifitas tersebut tidak berdasarkan peraturan
resmi atau dibawah kewenangan pemrintah.13

Sedangkan, pandangan Pengadilan terhadap effectivités Malaysia :

 Tindakan yang dilakukan pejabat Borneo Utara untuk mengatur dan mengendalikan
pengumpulan telur penyu di Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan merupakan aktifitas
ekonomi yang telah diatur dalam “Turtle Preservation Ordinance of 1917” yang bertujuan
untuk membatasi pemburuan penyu dan pengambilan telur penyu di sekitar wilayah
perairan Borneo Utara. Dan juga pada tahun 1933, tindakan untuk menjadikan Pulau
Sipadan sebagai penangkaran burung berdasarkan “Section 28 of the Land Ordinance,
1930” merupakan tindakan berdasarkan peraturan dan tindakan administratif dari sebuah
kewenangan.14

 Tindakan Borneo Utara dalam mendirikan Mercusuar di Pulau Sipadan pada tahun 1962
dan berikutnya di Pulau Ligitan pada tahun 1963 yang hingga saat ini masih berada di
bawah kewenangan Malaysia merupakan manifestasi dari kewenangan suatu Negara.15

 Saat North Borneo melakukan tindakan-tindakan diatas pun baik Indonesia maupun
Belanda sebagai negara predesesor nya tidak melakukan protes ataupun menyatakan
ketidaksetujuan, padahal pada waktu itu Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan merupakan
teritori milik the VOC.16

12
Ibid, ¶139.
13
Ibid,¶140.
14
Ibid, halaman 684, ¶143-145.
15
Ibid, ¶146.
16
Ibid, halaman 685, ¶148.
Analisis Putusan

1. Pada Kasus ini, Malaysia sebagai Negara Suksesor Great Britain berhasil mengklaim
kedaulatan diatas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan karena adanya kendali efektif dan
berkala yang berdasarkan Hukum Negaranya sendiri, sehingga menyebabkan Pengadilan
menganggap bahwa Malaysia lah yang memiliki effectivités di Pulau Ligitan dan Pulau
Sipadan.

2. Kendali efektif suatu Negara (seperti yang dilakukan oleh Malaysia dan Inggris melalui
North Borneo) haruslah dilakukan dengan menerapkan peraturan terlebih dahulu dan
dilakukan secara berkala. Dalam kasus ini Indonesia tidak memasukkan klaim-klaim
yang berdasarkan peraturan sehingga Pengadilan mengira bahwa Indonesia tidak pernah
menerapkan Hukum Negaranya di Pulau Ligitan dan Sipadan.

3. Kedaulatan suatu Negara dapat berpindah tangan ke Negara lainnya apabila kedua
Negara tersebut telah sepakat. Seperti halnya dalam kasus ini, Spanyol setuju untuk
menyerahkan kedaulatan atas teritori yang diperolehnya dari kesepakatan dengan Sultan
Sulu kepada Great Britain.

4. Negara Protektorat dapat menjalankan fungsi pemerintahan Negara yang menguasainya


apabila ada perintah berdasarkan peraturan. Terlebih lagi, Tindakan yang dilakukan oleh
Negara Protektorat dapat dianggap sebagai Tindakan Negara yang menguasainya seperti
halnya dalam kasus ini, dimana Borneo Utara bertindak atas nama Great Britain.

5. Dalam hukum Internasional, diam atau tidak protes dianggap setuju. Seperti halnya
dalam kasus ini, Indonesia ataupun Belanda tidak pernah mempermasalahkan tindakan-
tindakan yang dilakukan Borneo Utara diatas teritori yang pada awalnya milik Indonesia
melalui Suksesi Belanda.

Anda mungkin juga menyukai