FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2016
ANGLO NORWEGIAN FISHERY CASE, ICJ, 1951
Fakta Hukum
Permasalahan Hukum
Apakah penentuan delimitasi zona perikanan serta garis pangkal dalam aplikasi Norwegia
bertentangan dengan Hukum Internasional?
Putusan
1. Atas gugatan yang dilakukan oleh Inggris terhadap Norwegia, Mahkamah berpendapat
bahwa sistem mengukur dengan garis lurus mengikuti garis pantai telah diterapkan secara
sungguh-sungguh oleh Norwegia dan tidak ditentang oleh negara-negara lain, Mahkamah
kemudian menunjuk bahwa karena tidak adanya protes negara lain, dan keadaan demikian
telah merupakan praktek yang telah lama dilaksanakan maka Mahkamah berpendapat
bahwa sistem garis pangkal Norwegia adalah sesuai dengan hukum internasional.
Analisis Putusan
Berdasarkan putusan pengadilan dan kesepakatan kedua belah pihak bahwa memang
Norwegia memiliki Hak untuk mengklaim sepanjang 4 mil dan pemerintah Norwegia juga telah
membuktikan eksistensi history tittle untuk membantah area yang dipersengketakan.
Berdasarkan fakta juga yaitu bahwa selama Raja Norwegia mengeluarkan dekrit tersebut tidak
ada pertentangan dari Negara lain dan merupakan praktek yang sudah lama sehingga terdapat
prinsip kebiasaan Internasional dalam Hukum Internasional.
Berdasarkan dekrit tersebut juga bahwa penarikan baseline (garis pangkal) ini
memunculkan principle of effectiveness ini diterapkan oleh Norwegia secara sungguh-sungguh
dan lebih effektif dan bermanfaat ini berkaitan dengan konfigurasi geografis Norwegia dan
sesuai pula dengan hukum kebiasaan internasional bahwa Penetapan baseline laut territorial
sebuah Negara pantai dapat pula diambil dari gugusan pulau-pulau kecil yang masih mempunyai
hubungan territorial dengan daratan.
Lalu, jika kita kaitkan dengan Konvensi Jenewa 1 Tahun 1958 tentang Hukum Laut pasal
4 ayat 1 angka 1 bahwa Di tempat-tempat di mana pantai banyak liku-liku tajam atau dengan
kata lain Laut menjorok ke dalam dan pada angka 2 yakni Apabila terdapat deretan pulau yang
letaknya tak jauh dari pantai sangat sesuai dengan apa yang diterapkan oleh pemerintah
Norwegia berdasarkan pertimbangan putusan.
TIMOR GAP
Fakta Hukum
● Pihak yang bersengketa dalam kasus ini adalah Portugal dan Australia karena Portugal
mengajukan gugatan kepada Australia.
● Awalnya perjanjian Timor Gap mengikat Indonesia setelah diundangkan dalam Undang-
Undang No. 1 tahun 1991. Perjanjian ini merupakan pengaturan sementara antara RI-
Australia yang ditempuh mengingat upaya kedua negara tersebut dalam menetapkan garis
batas landas kontinennya di wilayah Timor Gap.
● Wilayah Timor Timur dengan bagian timur Pulau Timor, termasuk Pulau Atauro , 25
Kilometer ke utara dari pulau Jacodi Timur dan daerah Kantong Oe-Kussi di bagian barat
pulau Timor. Ibukotanya, Dili terletak di pantai utara tersebut dan pantai selatan Timor
Timur terletak di seberang pantai utara Australia, jarak antara keduanya sekitar 430
Kilometer.
● Pada abad 16, Timor Timur menjadi koloni Portugal dan Portugal tetap di sana sampai
1975. Bagian barat pulau berada di bawah kekuasaan Belanda dan kemudian menjadi
bagian dari Indonesia merdeka.
● 27 Agustus 1975, Setelah gangguan internal di Timor Timur, penguasa Portugis sipil dan
militer. Menarik diri dari daratan Timor Timur ke Pulau Atauro.
● Angkatan bersenjata Indonesia melakukan intervensi di Timor Timur pada tanggal 7
Desember 1975. Keeseokan harinya, Portugis berangkat dari Pulau Atauro dan
meninggalkan Timor Timur sama sekali. Sejak keberangkatan mereka, Indonesia telah
menduduki wilayah-wilayah. Pada tanggal 31 Mei 1976 rakyat Timor Timur telah
meminta Indonesia untuk menerima Timor Timur sebagai bagian integral dari Republik
Indonesia, dan pada tanggal 17 Juli 1976 Indonesia memberlakukan undang-undang
menggabungkan wilayah sebagai bagian dari wilayah nasionalnya.
● Resolusi Dewan Keamanan 384 (1975) dan 389 (1976) pada intinya menyatakan semua
negara untuk menghormati integritas wilayah Timor Timur, mengakui hak rakyat Timor
Timur untuk menentukan nasib sendiri dan menyerukan agar Indonesia segera menarik
pasukan dari wilayah tersebut.
● Pada tahun 1971-1972 Australia dan Indonesia telah membentuk batas landas kontinen
antara pantai masing-masing. Batas landas kontinen ini berhenti di kedua sisi landas
kontinen antara pantai selatan Timor Timur dan pantai utara Australia. Batas landas
kontinen ini disebut “Timor Gap”.
● Pada tanggal 15 Desember 1978 Menteri Luar Negeri Australia menyatakan bahwa
negosiasi yang hendak dimulai antara Australia dan Indonesia untuk penentuan batas
landas kontinen antara Australia dan Timor Timur.
● Pada tanggal 30 Agustus 1999, penduduk Timor Timur memilih untuk berpisah dari RI,
dan kemudian pemerintah mengeluarkan TAP MPR No. V/MPR/1999 yang menerima
jejak pendapat tersebut. TAP MPR ini sekaligus juga mencabut TAP MPR No.
VI/MPR/1976 tentang integrasi Timor Timur ke dalam wilayah RI. Dengan keluarnya
TAP MPR tahun 1999 tersebut, pemerintah RI berpendapat Perjanjian Timor Gap telah
kehilangan hukumnya karena adanyaperubahan pada objek perjanjian (Timor Timur).
Permasalahan Hukum
Apakah Republik Portugis dapat melaksanakan yurisdiksi yang diberikan atasnya oleh deklarasi
yang dibuat oleh para pihak berdasarkan Pasal 36 ayat 2 Statuta Mahkamah Internasional untuk
mengadili sengketa?
Putusan
● Oleh 14 suara untuk 2, bahwa Portugal tidak dapat melaksanakan yurisdiksi yang
diberikan atasnya oleh deklarasi yang dibuat oleh para pihak berdasarkan Pasal 36 ayat 2
Undang-Undang untuk mengadili sengketa yang dimaksud dengan penerapan Republik
Portugal
Pertimbangan Putusan
● Secara yuridis menurut pasal 16 Konvensi Wina 1978, perjanjian Timor Gap Treaty 1989
antara Indonesia dengan Australia tidak dapat mengikat atau beralih kepada Timor Leste
dalam hal Timor Leste telah menjadi negara yang merdeka. Timor Gap Treaty 1989 akan
dapat tetap berlaku hanya jika secara tegas dan tertulis Timor Leste menyatakan
keterikatannya terhadap perjanjian tersebut. Ketika Timor Leste menyatakan tidak terikat
pada perjanjian tersebut, maka konsekuensinya adalah bahwa eksistensi Timor Gap
Treaty 1989 telah berakhir dan Timor Leste berhak untuk melakukan perubahan atau
melakukan kesepakatan ulang dengan Australia khususnya terhadap pemanfaatan sumber
daya alam yang ada di celah Timor tanpa adanya campur tangan dari Indonesia.
SIPADAN LIGITAN
Fakta Hukum
1. Pada 30 September 1998, Menteri Luar Negeri Indonesia dan Malaysia mendaftarkan
Special Agreement antara Indonesia dan Malaysia, yang ditandatangani di Kuala Lumpur
pada 31 May 1997 dan diberlakukan pada 14 Mei 1998 mengenai exchange of
instruments of ratification.1
2. Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan terletak di Laut Celebes, pada sisi timur laut pulau
Borneo, dan terletak pada 15.5 mil dari laut tersebut. (see below, pp. 635 and 636, sketch-
maps Nos. 1 and 2). Ligitan dan Sipadan adalah pulau-pulau yang sangat kecil dimana
pulau tersebut belum pernah didiami. Namun pada tahun 1980 di Pulau Sipadan telah
didirikan suatu resort turis.2
4. Namun, Belanda berada di pulau Borneo saat awal abad ke 17. VOC, yang memiliki
minat perdagangan di tempat itu, menerapkan hak public di Asia Tenggara atas sebuah
perjanjian yang diizinkan pada tahun 1602 oleh Netherlands United Province. Perjanjian
tersebut memperbolehkan VOC untuk membuat perjanjian dengan pangeran-pangeran
dan pemerintah dari daerah tersebut atas nama Pejabat Negara Belanda. Lalu pada abad
ke-17 dan 18, pengaruh dari Sultan Banjennasin meluas di sebagian besar selatan dan
timur Borneo.
1
Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (IndonesialMalaysia), 4,' Judgment, I. C. J.
Reports 2002, p. 625, halaman 631, ¶1.
2
Ibid, halaman 634, ¶14.
3
Ibid, halaman 637, ¶15.
Sesaat sebelum VOC bangkrut, pada abad ke 18 kepemilikan wilayahnya ditransfer
menjadi milik Netherlands United Provinces. Saat perang Napoleon, Great Britain
mengambil alih kepemilikan Belanda di Asia. 4
5. Pada tahun 1882, sebuah perusahaan resmi dibentuk atas piagam oleh Pemerintah Inggris
dengan nama “British North Borneo Company”(BNBC) yang bertujuan untuk mengelola
dan mengambil sumber daya yang tersedia di daerah sekitar Borneo Utara. 5
6. Pada 11 Maret 1885, Spanyol, Jerman, dan Great Britain membuat sebuah Protokol untuk
Perdagangan dan Navigasi Bebas di Laut Sulu dengan tujuan untuk menyelesaikan
sengketa perdagangan diantara mereka yang berlangsung sudah cukup lama. Protocol
tersebut mengatur agar Pemerintah Spanyol menyerahkan kedaulatannya di area BNBC
didirikan kepada Great Britain.6
7. Pada 12 Mei 1888, Pemerintah Inggris membuat persetujuan dengan BNBC untuk
membuat Negara North Borneo. Dalam persetujuan tersebut, disebutkan bahwa North
Borneo merupakan Negara Protektorat dari Inggris, dengan tanggung jawab hubungan
luar negeri.7
8. Indonesia mengklaim kedaulatan atas kedua pulau tersebut berdasarkan 1981 Convention
dimana Great Britain dan Belanda yang bertujuan untuk “mendefinisikan batas-batas
dimana kepemilikan Belanda di Kepulauan Borneo dan Negara-negara di Pulau itu yang
berada dibawah perlindungan British”. Indonesia juga mengakui adanya effectivités
secara berkala oleh Belanda dan Indonesia. Apabila Pengadilan ini menolak title
berdasarkam 1891 Convention, Belanda tetaplah mengklaim kedaulatan atas pulau
4
Ibid, ¶16.
5
Ibid, halaman 639, ¶20.
6
Ibid, ¶21.
7
Ibid, halaman 640, ¶22.
sengketa sebagai suksesor dari Sultan Bulungan, karena beliau memiliki kewenangan atas
pulau-pulau tersebut.8
9. Di lain sisi, Malaysia mengatakan bahwa merekalah yang memiliki kedaulatan di Pulau
Ligitan dan Sipadan karena adanya transmisi title yang pada awalnya dimiliki berdaulat
sebelumnya, yaitu Sultan Sulu. Malaysia mengklaim bahwa title tersebut disuksesikan
kepada Spanyol, Amerika, Great Britain atas kehendak Negara Borneo Utara, terhadap
United Kingdom of Great Britain dan Irlandia Utara, dan pada akhirnya ke Malaysia.
Title tersebut berdasarkan beberapa instrument hukum, telah dikonfirmasi oleh beberapa
British dan Malaysia effectivités terhadap pulau-pulau tersebut.9
Permasalahan Hukum
Apakah pulau Ligitan dan Pulau Sipadan merupakan milik Indonesia atau milik Malaysia?
Putusan
Dengan 16 votes terhadap satu, Pengadilan menetapkan bahwa kedaulatan terhadap Pulau
Ligitan dan Pulau Sipadan merupakan milik Malaysia.10
Pertimbangan Putusan
Pengadilan menimbang kedaulatan terhadap Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan berdasarkan
effectivités yang telah dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia di pulau-pulau tersebut.
8
Ibid, halaman 643, ¶32.
9
Ibid, ¶33.
10
Ibid, halaman 686, ¶150.
11
Ibid, halaman 683, ¶137.
Pengadilan menarik kesimpulan bahwa kewenangan angkatan laut Belanda atau
Indonesia di sekitar Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan tidak bisa dianggap sebagai
kedaulatan milik Belanda atau Indonesia.12
Tindakan yang dilakukan pejabat Borneo Utara untuk mengatur dan mengendalikan
pengumpulan telur penyu di Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan merupakan aktifitas
ekonomi yang telah diatur dalam “Turtle Preservation Ordinance of 1917” yang bertujuan
untuk membatasi pemburuan penyu dan pengambilan telur penyu di sekitar wilayah
perairan Borneo Utara. Dan juga pada tahun 1933, tindakan untuk menjadikan Pulau
Sipadan sebagai penangkaran burung berdasarkan “Section 28 of the Land Ordinance,
1930” merupakan tindakan berdasarkan peraturan dan tindakan administratif dari sebuah
kewenangan.14
Tindakan Borneo Utara dalam mendirikan Mercusuar di Pulau Sipadan pada tahun 1962
dan berikutnya di Pulau Ligitan pada tahun 1963 yang hingga saat ini masih berada di
bawah kewenangan Malaysia merupakan manifestasi dari kewenangan suatu Negara.15
Saat North Borneo melakukan tindakan-tindakan diatas pun baik Indonesia maupun
Belanda sebagai negara predesesor nya tidak melakukan protes ataupun menyatakan
ketidaksetujuan, padahal pada waktu itu Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan merupakan
teritori milik the VOC.16
12
Ibid, ¶139.
13
Ibid,¶140.
14
Ibid, halaman 684, ¶143-145.
15
Ibid, ¶146.
16
Ibid, halaman 685, ¶148.
Analisis Putusan
1. Pada Kasus ini, Malaysia sebagai Negara Suksesor Great Britain berhasil mengklaim
kedaulatan diatas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan karena adanya kendali efektif dan
berkala yang berdasarkan Hukum Negaranya sendiri, sehingga menyebabkan Pengadilan
menganggap bahwa Malaysia lah yang memiliki effectivités di Pulau Ligitan dan Pulau
Sipadan.
2. Kendali efektif suatu Negara (seperti yang dilakukan oleh Malaysia dan Inggris melalui
North Borneo) haruslah dilakukan dengan menerapkan peraturan terlebih dahulu dan
dilakukan secara berkala. Dalam kasus ini Indonesia tidak memasukkan klaim-klaim
yang berdasarkan peraturan sehingga Pengadilan mengira bahwa Indonesia tidak pernah
menerapkan Hukum Negaranya di Pulau Ligitan dan Sipadan.
3. Kedaulatan suatu Negara dapat berpindah tangan ke Negara lainnya apabila kedua
Negara tersebut telah sepakat. Seperti halnya dalam kasus ini, Spanyol setuju untuk
menyerahkan kedaulatan atas teritori yang diperolehnya dari kesepakatan dengan Sultan
Sulu kepada Great Britain.
5. Dalam hukum Internasional, diam atau tidak protes dianggap setuju. Seperti halnya
dalam kasus ini, Indonesia ataupun Belanda tidak pernah mempermasalahkan tindakan-
tindakan yang dilakukan Borneo Utara diatas teritori yang pada awalnya milik Indonesia
melalui Suksesi Belanda.