Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbesar di seluruh dunia. Dari sabang
sampai merauke ada sekitar 17.504 pulau yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Selain
banyaknya pulau, wilayah Indonesia juga memiliki banyak kekayaan alam. Disamping kekayaan
alam, Indonesia juga memiliki banyak kekayaan budaya yang beranekaragam. Dengan Bhinneka
Tunggal Ika sebagai semboyan atau motonya yang terdapat pada lambang Negara Indonesia,
Garuda Pancasila,yang berasal dari kutipan Kitab Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular pada
masa Kerajaan Majapahit, yang di mana, mengajarkan sifat toleransi antar umat. Bila diartikan
secara harfiah, frasa ini bermakna ‘berbeda-beda tetapi tetap satu juga,’ yang mana semboyan ini
dipakai untuk menggambarkan adanya persatuan dan kesatuan dari bangsa Indonesia, yang
sejatinya memiliki keanekaragaman budaya, bahasa daerah, ras, suku, agama dan lain-lain.
Ketika rasa nasionalisme dan kebangsaan semakin tergerus, maka fenomena ini bisa
termanifestasi/terlihat pada tindakan nyata dari tiap-tiap anak bangsa dalam kesehariannya,
seperti:
1. Generasi muda lebih cenderung meniru budaya luar dan mereka merasa bangga dengan
budaya bangsa lain.
2. Pada saat upacara bendera hari Senin atau upacara hari besar nasional masih banyak yang
belum bisa memaknainya secara utuh. Bahkan masih ada siswa yang mengobrol atau
sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Peringatan hari besar nasional seperti sumpah
pemuda. Hanya dimaknai secara seremonial dan hiburan saja tanpa memperhatikan
apakah nilai-nilai nasionalisme itu benar-benar tertanam pada diri generasi muda atau
tidak.
3. Generasi muda justru sering menggunakan bahasa-bahasa asing dalam kehidupan sehari-
harinya untuk meningkatkan gengsi mereka.
4. Maraknya generasi muda yang mengikuti geng motor yang dapat meresahkan warga,
salah satu contohnya yaitu geng motor 69.
5. Masih ada generasi muda yang masih melakukan tawuran, yan nyatanya penyebab
tawuran hanyalah kesalahpahaman.
6. Banyak generasi muda yang melupakan budaya ketimuran dan malah cenderung kebarat-
baratan.
Hal tersebut mengakibatkan seakan-akan makna Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan
pemersatu bangsa bagai tak lagi nampak dan terngiang dalam benak para anak muda. Padahal
kemajemukan Nusantara membawa Indonesia menuju satu-kesatuan dalam perbedaan, karena
menyimpan akar-akar keberagaman dalam hal agama, etnis, budaya, seni, tradisi, pandangan dan
cara hidup (Faisal Ismail, 2012).
Kebhinekaan terhadap suku bangsa, ras, agama, dan budaya Indonesia merupakan realitas
historis dan sekaligus realitas sosio-kultural, dan kehadirannya atas takdir Tuhan. Kebhinekaan
adalah kekayaan yang tidak ada dan tidak terjadi di negara lain, perbedaan ini adalah kekayaan
yang tidak ternilai.
Sejarah telah membuktikan bahwa kebhinekaan merupakan ciri utama bangsa Indonesia.
Bumi nusantara ini dihuni oleh masyarakat dari berbagai suku, adat istiadat, bahasa, agama, dan
kepercayaan yang berbeda-beda. Kemerdekaan Indonesia dapat dicapai ketika para pejuang
kemerdekaan berhasil membangun kebersamaan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika,
semangat yang menjadikan kebhinnekaan sebagai kekuatan, bukan sebagai kelemahan.
Saat ini, generasi muda sebagai ujung tombak pembangunan, penggerak, dan pembawa
perdamaian di dunia dan masa depan. Tentunya generasi muda harus bisa menjadi manusia yang
dapat memanusiakan manusia yaitu artinya usaha pemuda atau manusia untuk mengarahkan
hidup agar sesuai dengan idealitas kemanusiaan.
Dalam hal ini generasi muda haruslah menjadi motor penggerak dalam roda perputaran
bangsa Indonesia. Indonesia bebas dari segala permasalahan jika pemudanya saat ini bisa
memahami makna-makna sejarah yang telah diwariskan oleh pendiri bangsa ini. Anak muda
harus berusaha dapat memaknai nilai-nilai kebhinekaan dan mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari. Salah satunya dengan memelihara sikap toleransi, artinya anak muda
harus dapat menghargai perbedaan baik agama, suku, ras, bahasa, tradisi, budaya, dan adat. Dari
perbedaan tersebut tentunya jangan sampai menimbulkan gejolak hingga muncul perpecahan,
dan seharusnya perbedaan tersebut harus membawa kepada satu-kesatuan yaitu persatuan.
Pertama, Zero Tolerance; Masyarakat yang masuk dalam kategori ini pada umumnya
belum mampu menjadikan toleransi sebagai kebajikan, tidak mempunyai kesepakatan yang
mampu menyadarkan mereka tentang pentingnya toleransi.
Kedua, Relatif Tolerance; Pada umumnya, negara-negara modern sudah masuk dalam
kategori ini, karena mereka mempunyai kesepakatan atau kebijakan publik yang secara eksplisit
menjadikan toleransi sebagai bagian terpenting dalam paket domokratisasi.
Ketiga, Active Tolerance; Masyarakat yang masuk dalam kategori toleransi aktif (active
tolerance). Kategori ini, harus diakui merupakan kategori terbaik dan paling ideal, karena
toleransi telah menjadi nalar dan tingkah laku setiap individu.
Toleransi sebagai kebajikan juga diperkuat oleh kebijakan publik yang secara nyata
mendorong dan membumikan toleransi. Negara-negara yang menerapkan multikultural sebagai
kebijakan publik, pada umumnya merupakan contoh paling baik. Dalam konteks ke-Indonesiaan,
tentu saja masalahnya tidak kalah rumit. Hal ini karena potensi untuk menjadi zero-tolerance dan
active tolerance sama-sama ada.
Sejauh ini, negara kita bisa dikatakan sebagai relative tolerance, karena mempunyai
kebijakan publik yang mewadahi kerukunan dan toleransi. Salah satunya dengan membentuk
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Salah satu peran pemerintah dalam menumbuhkan dan meningkatkan rasa tolerasi pada
generasi muda yaitu dengan pendidikan karakter pada kurikulum pendidikan. Bahwasanya,
Kurikulum pendidikan di Indonesia selalu mengalami penyempurnaan. Perkembangan dan
perubahan kurikulum bertujuan untuk menyiapkan peserta didik agar mampu menghadapi
tantangan zaman dan memiliki kemampuan intelektual, emosional, spiritual dan sosial yang
bermutu tinggi. Pemerintah telah menggalakkan penanaman 18 nilai pendidikan karakter bagi
generasi muda. Meskipun bangsa kita saat ini sedang dirongrong menurunnya semangat
persatuan dan kesatuan serta kurangnya kemampuan memahami keberagaman.
Pendidikan karakter di sekolah hendaknya membantu generasi muda keluar dari sikap
eksklusif, diskriminatif, dan kecenderungan ingin menang sendiri. Peserta didik diajak
menyadari bahwa kebhinekaan merupakan sesuatu yang alami, artinya dimana pun seseorang
berada dia akan berhadapan dengan kebhinnekaan dan tidak bisa menghindarinya. Oleh karena
itu setiap orang perlu belajar untuk tumbuh dan berkembang bersama dalam kebhinnekaan.
Peserta didik dapat menunjukkan sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan suku,
etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. Karakter toleransi
tercermin dari kemampuan belajar mendengar, menghargai, menerima gagasan orang lain,
bersikap terbuka, mematuhi kesepakatan, mengutamakan persatuan dan kesatuan, berupaya
menjunjung tinggi sikap dan tutur kata, sopan, ramah dan sabar.
Di usia remaja, intelektualitas peserta didik mulai matang serta mampu menuangkan dan
mempertahankan ide. Mereka tertarik pada aneka pemecahan masalah, mempertahankan
argumen, dan memperjuangkan prinsip. Tidak jarang perbedaan-perbedaan cara pandang akan
mengakibatkan ketegangan dan perselisihan. Menanamkan karakter toleransi dapat membuat
peserta didik mengerti, memahami dan menghargai setiap perbedaan yang ada.
Kesimpulan :
Rasa kebhinekaan yang utuh dari setiap anak bangsa, seharusnya tercermin dengan
melepaskan egosentrisme yang berpikiran sempit, yang mana hanya memikirkan sukunya,
daerahnya, agamanya ataupun keyakinannya saja. Setiap anak bangsa seharusnya melihat
keberagaman bukan sebagai masalah, tetapi sebagai modal untuk memajukan bangsa. Salah satu
cara yang bisa dilakukan oleh kita, tentunya selalu bertoleransi kepada siapapun dan dimanapun,
lalu juga memberikan kesempatan bagi setiap anak bangsa untuk menjadi pemimpin, dengan
tidak melihat latar belakang agama ataupun suku dari calon pemimpin tersebut. Setiap anak
bangsa seharusnya berpikiranluas dan jauh ke depan, demi persatuan dan kemajuan bangsa
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Nila Ayu Khotimah.2017. Menanamkan Nilai-nilai Kebhinnekaan Pada Generasi Muda Penerus
Bangsa di https://www.kompasiana.com/nil96/5963ac0502b52f189e620ad2/menanamkan-nilai-
nilai-kebhinnekaan-pada-generasi-muda-penerus-bangsa (di akses 13 Maret)
Setiawan, Yulianto Budi.2016. Kontestasi Isu Kebhinekaan dalam Media Sosial. Makalah.