Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PE N DAHU LUAN

A. Latar Belakang Penulisan


Pada hakikatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang abstrak,
akan tetapi meskipun bersifat abstrak, hukum dibuat untuk di implementasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu perlu adanya suatu kegiatan untuk mewujudkan
ide-ide tersebut ke dalam masyarakat yang senantiasa berubah, baik perubahan yang
berkembang secara alami, perubahan masyarakat yang cepat (revolusioner) maupun
perubahan masyarakat yang direncanakan dan diarahkan secara bertahap dan wajar.
Dalam konteks yang demikian, maka titik tolak pemahaman terhadap hukum
tidak sekedar sebagai suatu blue print yang ditetapkan melalui berbagai bentuk
peraturan perundang-undangan, melainkan hukum hendaknya dilihat sebagai suatu
gejala yang dapat diamati di dalam masyarakat melalui tingkah laku warga
masyarakat. Realitas tersebut berarti titik perhatian harus ditujukan kepada hubungan
antara hukum dengan faktor-faktor non hukum lainnya, terutama faktor nilai dan
sikap serta pandangan masyarakat yang disebut dengan kultur hukum.
Walaupun pembangunan mengharuskan rangkaian perubahan, akan tetapi
sangat mutlak pula dipeliharanya ketertiban dalam masyarakat. Hukum sebagai sarana
yang penting untuk memelihara ketertiban harus dikembangkan, sehingga dapat
memberi ruang gerak bagi perubahan masyarakat. Bukan sebaliknya, menghambat
usaha pembaharuan karena semata-mata ingin mempertahankan nilai-nilai lama.
Sesungguhnya hukum dapat tampil ke depan menunjukkan arah dan memberi jalan
bagi perubahan.
Sejalan dengan itu, maka diperlukan upaya pembangunan hukum, yang sering
diartikan sebagai penyelenggaraan perubahan tertentu terhadap masyarakat (law is a
tool of social engineering), dan tentunya pembangunan yang diharapkan oleh hukum
adalah perubahan masyarakat yang secara teratur, terkendali, efektif dan efisien.
Namun hukum senantiasa dibatasi oleh situasi atau lingkungan dimana ia berada,
sehingga tidak heran kalau terjadi ketidakharmonisan antara apa yang seharusnya
(das sollen) dengan apa yang senyatanya (das sein). Dengan perkataan lain, muncul
diskrepansi antara law in the books dan law in action.
Sehubungan dengan hubungan antara hukum dengan masyarakat tersebut, H.
Abdul Manan mengemukakan sebagai berikut:

1
Hukum merupakan sarana untuk mengatur kehidupan sosial, namun satu hal
yang menarik adalah justru hukum tertinggal di belakang objek yang
diaturnya. Dengan demikian selalu terdapat gejala bahwa antara hukum dan
perilaku sosial terdapat suatu jarak perbedaan yang sangat mencolok. Apabila
hal ini terjadi, maka akan timbul ketegangan yang semestinya harus segera
disesuaikan supaya tidak menimbulkan ketegangan yang berkelanjutan, tetapi
usaha ke arah ini selalu terlambat dilakukan.1
Realitas ini menunjukkan bahwa perubahan hukum meliputi segala segi
kehidupan, sehingga dengan demikian mempunyai jangkauan yang amat luas, sebab
terjadinya juga bermacam-macam, seperti kemajuan ilmu pengetahuan dan
hubungannya dengan mental manusia, kemajuan teknologi dan aplikasinya dalam
masyarakat, kemajuan sebagai sarana komunikasi, transportasi, urbanisasi, perubahan
tuntutan manusia, peningkatan kemampuan manusia, dan lain-lain.
Memperhatikan realitas tersebut, hukum bukanlah suatu institusi yang statis, ia
mengalami perkembangan, hukum itu berubah dari waktu ke waktu. Konsep hukum
seperti “Rule of Law” sekarang ini juga tidak muncul dengan tiba-tiba, melainkan
merupakan hasil dari suatu perkembangan tersendiri. Dalam hubungan ini, teori pada
dasarnya sangat ditentukan oleh bagaimana orang atau sebuah komunitas memandang
apa yang disebut hukum itu, artinya apa yang sedang terjadi atau perubahan yang
tengah terjadi dimana komunitas itu hidup sangat berpengaruh terhadap cara
pandangnya tentang hukum.
Oleh sebab itu, sebuah teori yang digunakan pada masa kini selanjutnya akan
mengalami proses pengkritisan, yaitu terus menerus berada pada wilayah yang labil,
selalu berada pada wilayah yang keos. Artinya disini teori bukan sesuatu yang telah
jadi, tetapi sebaliknya akan semakin kuat mendapat tantangan dari berbagai perubahan
yang berlangsung, dan kemudian akan lahir teori-teori baru sebagai wujud dari
perubahan yang terus berlangsung, sehingga akan diperoleh teori pembangunan
hukum.
Untuk itu, dalam rangka penyelenggaraan pembangunan nasional secara tertib
dan berencana harus dilakukan melalui sarana hukum, disebabkan hukum mempunyai
fungsi yang esensil dalam mendukung pembangunan berbagai aspek kehidupan, yaitu:
Pertama, hukum merupakan penjelasan ide dan pengalaman manusia dalam
mengatur hidupnya. Kedua, hakikat keberadaan hukum dalam suatu masyarakat,
terutama untuk mengatur kehidupan masyarakat. Ketiga, hukum juga berfungsi
sebagai pemberi kepastian, pengaman, pelindung, dan penyeimbang, yang

1
Abdul Manan, H., Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006,
hlm. 72.

2
sifatnya dapat tidak sekedar adaptif dan fleksibel melainkan juga prediktif dan
antisipatif. Keempat, dalam isu pembangunan global, hukum telah dipercaya
untuk mengemban misinya yang paling baru, yaitu sebagai sarana perubahan
sosial dan pembangunan.2
Implikasi peranan hukum dalam pergaulan hidup manusia, maka hukum harus
peka terhadap perkembangan masyarakat yang serba berubah, dan harus mampu
menyesuaikan diri dengan berbagai keadaan yang juga berubah-ubah. Oleh sebab itu,
tidak perlu ada kontradiksi antara pembaharuan hukum (tertulis) dengan nilai-nilai
dan aspirasi yang hidup dalam masyarakat.
Dengan demikian, pemikiran terhadap peranan hukum sebagai alat perubahan
dan pembangunan masyarakat, sebagaimana dikemukakan oleh Roscoe Pound, perlu
ditempatkan pada persepsi yang disepakati bersama untuk memahami sifat, hakekat
dan konsekuensi diterimanya suatu konsepsi. Apabila hukum diberi peranan sebagai
sarana perubahan dan pembangunan, maka pemikiran ini membuktikan adanya
kesadaran terhadap pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat.
Teori Pound mengenai kepentingan-kepentingan sosial merupakan sebuah
usaha yang lebih eksplisit untuk mengembangkan suatu model hukum responsif.
Dalam perspektif ini, hukum yang baik seharusnya memberikan sesuatu yang lebih
daripada sekedar prosedur hukum. Hukum tersebut harus kompeten dan juga adil,
hukum seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen terhadap
tercapainya keadilan substantif.3
Tradisi kaum realis dan sosiologis ini memiliki satu tema utama, yaitu
membuka sekat-sekat dari pengetahuan hukum. Seharusnya ada penghargaan tinggi
kepada semua hal yang mempengaruhi hukum dan yang menjadi persyaratan bagi
efektivitasnya. Dari titik tersebut dimulailah langkah ke arah pandangan yang lebih
luas mengenai partisipasi hukum dan peranan hukum.
Hubungan fungsional antara sistem hukum yang dipakai dengan struktur
masyarakat dapat dilihat pada pandangan Emile Durkheim, yang mengatakan sebagai
berikut:
Sistem hukum yang represif biasanya berlaku dalam masyarakat dengan
solidaritas mekanis, karena ia mampu mempertahankan kebersamaannya
dalam masyarakat. Sedangkan sistem hukum restitutif mempunyai hubungan
fungsional dengan masyarakat melaluui solidaritas organik, karena sistem ini,

2
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, PT Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1993, hlm. 123.
3
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi, HuMa,
Jakarta, 2003, hlm. 59-60.

3
memberikan kebebasan kepada masing-masing individu untuk berhubungan
satu sama lain menurut pilihannya sendiri. Disini hukum hanya mengupayakan
untuk mencapai keseimbangan di antara kepentingan-kepentingan dari pihak-
pihak yang berinteraksi.4
Meskipun setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945, tahap perkembangan masyarakat yang semula adalah
feodalisme menuju masyarakat yang berdasarkan konstitusi, akan tetapi
perkembangan hukum yang demikian itu tidak diiringi dengan perkembangan
masyarakatnya. Akibatnya, nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia tetap saja
tradisional dan tidak berubah. Keadaan yang demikian itu tampak berpengaruh dalam
proses penegakan hukum (law enforcement) hingga saat ini.
Semestinya hukum yang dianut di Indonesia harus sarat dengan nilai-nilai
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kalau demikian halnya, maka hukum dapat
disebut sebagai sistem nilai. Kegagalan untuk mewujudkan salah satu nilai-nilai
tersebut bukan hanya berdampak pada timbulnya sistem hukum yang tidak baik,
melainkan hukum yang dibuat dan diterapkan itupun menjadi tidak bermakna bagi
masyarakat yang bersangkutan.
Lawrence Friedman menjelaskan bahwa faktor nilai yang menimbulkan
perbedaan dalam kehidupan hukum dalam masyarakat lebih disebabkan oleh kultur
hukum. Kultur hukum merupakan sikap-sikap dan nilai-nilai yang dimiliki oleh
masyarakat yang berhubungan dengan hukum dan lembaga-lembaganya, baik yang
bersifat positif maupun negatif.5
Oleh karena itu, hukum merupakan konkretisasi nilai-nilai yang terbentuk dari
kebudayaan suatu masyarakat, sehingga dengan demikian setiap masyarakat selalu
menghasilkan kebudayaan yang mewujudkan hukum dengan kekhasannya masing-
masing.
Berdasarkan realitas yang demikian, maka kajian yang komprehensif antara
budaya hukum dengan pembangunan hukum nasional merupakan suatu keniscayaan,
terutama implikasinya terhadap penegakan hukum, sehingga penulis tertarik untuk
menyusun karya ilmiah dengan judul: “PERANAN BUDAYA HUKUM DALAM
PERSPEKTIF PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL”.

4
Sunaryati Hartono, CFG, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni,
Bandung, 1991, hlm. 83.
5
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT Suryandaru Utama,
Semarang, 2005, hlm. 89.

4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah hubungan antara sistem hukum dengan budaya hukum
masyarakat?
2. Bagaimanakah peranan budaya hukum dalam perspektif pembangunan hukum
nasional?

C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini mempunyai tujuan untuk memperluas wawasan tentang
pernan budaya hukum sebagai bagian dari sistem hukum nasional. Oleh karena itu
tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk melakukan studi tentang hubungan sistem hukum dengan budaya hukum
masyarakat.
2. Untuk melakukan studi tentang peranan budaya hukum dalam perspektif
pembangunan hukum nasional.

D. Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini diharapkan mempunyai manfaat untuk memecahkan
hal-hal yang menjadi permasalahan baik secara teoritis maupun secara praktis :
1. Secara teoritis, dengan penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi
sumbangan pemikiran dalam pembangunan hukum di Indonesia.
2. Secara Praktisi, penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah ilmu
pengetahuan bagi para pembaca, khususnya bagi mahasiswa yang sedang
mempelajari mata kuliah Sosiologi Hukum.

5
BAB II
PE M BAHASAN

A. Hubungan Antara Sistem Hukum Dengan Budaya Hukum Masyarakat


Untuk dapat memahami persoalan yang berkaitan dengan hukum secara lebih
baik, maka hukum hendaknya dilihat sebagai suatu sistem. Pengertian dasar yang
terkandung dalam sistem tersebut meliputi dua hal sebagai berikut:6
Pertama, yaitu sebagai sesuatu wujud atau entitas, yaitu sistem biasa dianggap
sebagai suatu himpunan bagian yang saling berkaitan, yang membentuk satu
keseluruhan yang rumit atau kompleks tetapi merupakan satu kesatuan. Pandangan
ini pada dasarny bersifat deskriptif, bersifat menggambarkan dan ini memberikan
kemungkinan untuk menggambarkan dan membedakan antara benda-benda yang
berlainan dan untuk menetapkan batas-batas kelilingnya atau memilahkannya guna
kepentingan penganalisaan dan untuk mempermudah pemecahan masalah.
Kedua, sistem mempunyai makna metodologik yang dikenal dengan
pengertian umum pendekatan sistem (system approach). Pada dasarnya pendekatan ini
merupakan penerapan metode ilmiah di dalam usaha memecahkan masalah, atau
menerapkan kebiasaan berpikir atau beranggapan bahwa ada banyak sebab terjadinya
sesuatu, di dalam memandang atau menghadapi saling keterkaitan. Pendekatan sistem
berusaha untuk memahami adanya kerumitan di dalam kebanyakan benda, sehingga
terhindar dari memandangnya sebagai sesuatu yang amat sederhana atau bahkan
keliru.
Apabila suatu sistem itu ditempatkan pada pusat pengamatan yang demikian
itu, maka pengertian-pengertian dasar yang terkandung di dalamnya adalah sebagai
berikut:
(1) Sistem itu selalu berorientasi pada suatu tujuan.
(2) Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya
(Wholism).
(3) Suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, yaitu
lingkungannya (keterbukaan sistem).
(4) Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang
berharga (transformasi).

6
Otje Salman S., H.R. dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali, PT Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 84.

6
(5) Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain (keterhubungan)
(6) Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (mekanisme
kontrol).7
Pemahaman sistem yang demikian itu mengisyaratkan bahwa persoalan
hukum yang kita hadapi sangat kompleks. Di satu sisi, hukum dipandang sebagai
suatu sistem nilai yang secara keseluruhan dipayungi oleh sebuah norma dasar yang
disebut grundnorm atau basic norm. Norma dasar itualah yang dipakai sebagai dasar
dan sekaligus penuntun penegakan hukum. Sebagai sistem nilai, maka grundnorm itu
merupakan sumber nilai dan juga sebagai pembatas dalam penerapan hukum.
Dilihat dari perspektif lain, hukum merupakan bagian dari lingkungan
sosialnya. Dengan demikian, hukum merupakan salah satu subsistem di antara
subsistem sosial lainya, seperti sosial, budaya, 7n litik dan ekonomi. Hal itu berarti,
hukum tidak dapat dilepas-pisahkan dengan masyarakat sebagai basis bekerjanya. Di
sini tampak bahwa hukum berada di antara dunia nilai atau dunia ide dengan dunia
kenyataan sehari-hari.
Sejalan dengan pandangan yang demikian, maka Hoebel menyimpulkan
adanya empat fungsi dasar hukum, yaitu:8
1. Menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat,
dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah laku apa yang diperkenankan dan apa
pula yang dilarang
2. Menentukan pembagian kekuasaan dan merinci siapa saja yang
boleh melakukan paksaan serta siapakah yang harus mentaatinya dan sekaligus
memilihkan sanksi-sanksinya yang tepat dan efektif.
3. Menyelesaikan sengketa.
4. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri
dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan
kembali hubungan esensial angota-anggota masyarakat.
Di samping itu, hukum menghendaki agar warga masyarakat bertingkah laku
sesuai dengan harapan masyarakat atau berfungsi sebagai kontrol sosial. Demikian
pula hukum berfungsi sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial,
yaitu dengan memandang hukum sebagai suatu mekanisme kontrol sosial yang

7
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung , 1991, hlm. 48-49.
8
Esmi Warassih, op.cit., hlm. 26-27.

7
bersifat umum dan beroperasi secara merata di hampir seluruh sektor kehidupan
masyarakat.
Selanjutnya, apabila penyelenggaraan keadilan dalam masyarakat yang
dilakukan melalui hukum dilihat sebagai institusi sosial, maka kita mulai melihat
hukum dalam kerangka yang luas, yaitu dengan melibatkan berbagai proses dan
kekuatan dalam masyarakat. Untuk itu, penyelenggaraan keadilan dalam masyarakat
berkaitan erat dengan tingkat kemampuan masyarakatnya.
Oleh sebab itu hukum bergerak diantara dunia nilai dan dunia sehari-hari
(realitas sosial), akibatanya sering terjadi ketegangan di saat hukum itu diterapkan.
Ketika hukum yang sarat dengan nilai-nilai itu hendak diwujudkan, maka ia harus
berhadapan dengan berbagai macam faktor yang mempengaruhi dari lingkungan
sosialnya.
Perspektif ini sangat erat kaitannya dengan struktur keberadaan manusia dalam
lingkungannya, yang mencakup alam semesta dengan segala isinya, termasuk sesama
manusia dan kulturnya. Struktur keberadaan yang demikian ini menyebabkan dengan
sendirinya kehidupan manusia selalu menghadirkan hukum di dalamnya.
Pada hakikatnya, hukum adalah penilaian akal budi yang berakar dalam hati
nurani manusia tentang keadilan berkenaan dengan perilaku manusia dalam situasi
kehidupan manusia. Penghayatan tentang keadilan memunculkan penilaian bahwa
dalam situasi kemasyarakatan tertentu orang seyogianya berperilaku dengan cara
tertentu, artinya seharusnya melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu,
karenma hal itu adil atau memenuhi rasa keadilan. Penilaian demikian itu disebut
penilaian hukum (recht soordeel).
Jika keseyogiaan atau keharusan itu dalam kesadaran manusia mengalami
transformasi lewat proses dialektik interaksi sosial yang mengobjektifasikannya
menjadi pedoman dalam menetapkan keharusan berperilaku dengancara tertentu di
masa depan dan kepatuhannya tidak sepenuhnya diserahkan kepada keyakinan dan
kemauan subyektif orang, melainkan dapat dipaksakan oleh masyarakat (kekuasaan
publik) melalui prosedur tertentu, maka keharusan itu menjadi kaidah hukum, yang
bentuknya dapat tertulis atau tidak tertulis. Sebagai demikian, kaidah hukum itu
menyandang kekuatan berlaku secara objektif (mengikat umum). Karena situasi
kemasyarakatan itu menjalani perkembangan, maka kaidah hukum (penilaian hukum)
itu pada dasarnya merupakan produk sejarah yang sekali terbentuk akan menjalani
kehidupan menyejarah dan menyandang sifat kemasyarakatan (historically and

8
socially determined), yang kemudian akan mempengaruhi perjalanan dan sifat
kemasyarakatan dari masyarakat yang bersangkutan.
Konteks yang demikian berarti apapun namanya maupun fungsi apa saja yang
hendak dilakukan oleh hukum tetap tidak terlepas dari pengertian hukum sebagai
suatu sistem, yaitu sebagai sistem norma. Pemahaman yang demikian ini menjadi
penting, karena dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai suatu tujuan yang
dikehendaki secara efektif, hukum harus dilihat sebagai sub sistem dari suatu sistem
yang besar yaitu masyarakat atau lingkungannya.
Pengertian sistem sebagaimana didefenisikan oleh beberapa ahli, antara lain
Bertalanffy, Kenneth Building, ternyata mengundang implikasi yang sangat berarti
terhadap hukum, terutama berkaitan dengan aspek: (1) keintegrasian, (2) keteraturan,
(3) keutuhan, (4) keterorganisasian, (5) keterhubungan komponen satu sama lain, dan
(6) ketergantungan komponen satu sama lain.9
Realitas di atas mengisyaratkan perlunya pemahaman hukum sebagai suatu
sistem, yang oleh F. Emery dipandang merupakan suatu himpunan bagian yang saling
berkaitan yang membentuk satu keseluruhan yang kompleks tetapi merupakan satu
kesatuan struktur, yang mengandung dua aspek. Pertama, hubungan itu harus
membentuk jaringan dimana setiap elelmen terhubung satu sama lain baik secara
langsung maupun tidak langsung. Kedua, jaringan tersebut haruslah membentuk suatu
pola untuk menghasilkan struktur dalam suatu sistem. Sementara yang lain
menyatakan gagasan kedua merupakan satu persyaratan. Jadi di sini kita mempunyai
pandangan umum mengenai sistem dan karakteristiknya. Sistem merupakan
keseluruhan, mempunyai elemen dan elemen itu mempunyai hubungan yang
membentuk strukut.10
Lawrence M. Friedman dalam hubungannya dengan sistem hukum,
menyebutkan adanya beberapa komponen unsur hukum sebagai berikut:
1. Sistem hukum mempunyai struktur. Sistem hukum terus berubah,
namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan
setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya.
2. Sistem hukum mempunyai substansi, yaitu berupa aturan, norma,
dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu.

9
Ibid., hlm. 29.
10
Emery, F.E., System Thinking, dalam Otje Salman, H.R dan Anton F. Susanto, op.cit., hlm.,
89.

9
3. Sistem hukum mempunyai komponen budaya hukum, yaitu sikap
manusia terhadap hukum dan sistem hukum itu sendiri, seperti kepercayaan, nilai,
pemikiran serta harapannya.11
Semua komponen tersebut merupakan pengikat sistem hukum itu di tengah
kultur bangsa secara keseluruhan. Seseorang menggunakan hukum, dan patuh atau
tidak terhadap hukum sangat tergantung kepada budaya hukumnya. Oleh karena itu,
saat ini hukum bukan hanya dipakai untuk mempertahankan pola-pola hubungan serta
kaidah-kaidah yang telah ada. Hukum yang diterima sebagai konsep modern memiliki
fungsi untuk melakukan suatu perubahan sosial. Bahkan lebih dari itu hukum
dipergunakan untuk menyalurkan hasil-hasil keputusan politik. Hukum bukan lagi
mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang telah ada, tetapi juga
berorientasi kepada tujuan-tujuan yang diinginkan, yaitu menciptakan pola-pola
perilaku yang baru. Di dalam menjalankan fungsinya, hukum senantiasa berhadapan
dengan nilai-nilai maupun pola-pola perilaku yang telah mapan dalam masyarakat.
Sejalan dengan ini, maka terdapat dua pandangan yang sangat dominan dalam
rangka perubahan hukum yang berlaku dalam kehidupan masyaraakat suatu negara,
yang saling tarik menarik antara keduanya dan masing-masing mempunyai alasan
pembenarnya, yaitu:12
Pertama, pandangan tradisional. Pandangan tradisional dalam rangka
perubahan hukum mengatakan bahwa masyarakat perlu berubah terlebih dahulu, baru
hukum datang untuk mengaturnya. Disini kedudukan hukum sebagai pembenar apa
yang telah terjadi, fungsi hukum disini adalah sebagai fungsi pengabdian (dienende
functie). Hukum berkembang mengikuti kejadian-kejadian yang terjadi dalam suatu
tempat dan selalu berada di belakang peristiwa yang terjadi itu (het recht hinkt achter
de feiten aan).
Kedua, pandangan modern. Pandangan modern mengatakan bahwa hukum
diusahakan agar dapat menampung segala perkembangan baru, maka oleh karena itu
hukum harus selalu berada bersamaan dengan peristiwa yang terjadi. Hukum tidak
hanya berfungsi sebagai pembenar atau mengesahkan segala hal-hal yang terjadi
setelah masyarakat berubah, tetapi hukum harus tampil secara bersamaan dengan
peristiwa yang terjadi, bahkan kalau perlu hukum harus tampil terlebih dahulu baru
peristiwa mengikutinya. Hukum harus berperan untuk menggerakkan masyarakat
11
Lawrence M. Friedman, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, PT Tata Nusa, Jakarta, 2001,
hlm. 7-8.
12
Abdul Manan, H., op.cit., hlm. 7-8.

10
menuju perubahan yang terencana. Di sini hukum berperan aktif sebagai alat rekayasa
masyarakat (law is a tool of social engineering).
Dalam rangka pemikiran legal reform yang terjadi di Indonesia, M. Solly
Lubis menyebutkan ada dua pandangan yang saling mempengaruhi satu sama lain,
yaitu : Pertama, aliran yang meninjau hukum dari segi juridis dogmatis yang
cenderung mempertahankan nilai-nilai moral dan kultural Indonesia dalam pembinaan
hukum itu. Kedua, aliran yang meninjau hukum dari segi dimensi sosial yang
cenderung mengutamakan pembinaan dan sistem hukum yang mampu menjawab
tuntutan pembangunan dan modernisasi.13
Oleh karena itu, apabila kita melihat penegakan hukum merupakan suatu
proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum menjadi kenyataan, maka proses itu
selalu melibatkan para pembuat dan pelaksana hukum, serta juga masyarakatnya.
Masing-masing komponen ingin mengembangkan nilai-nilai yang ada di lingkungan
yang sarat dengan pengaruh-pengaruh faktor non hukum lainnya.
Dengan demikian, dalam pembentukan hukum perlu diindahkan ketentuan-
ketentuan yang memenuhi nilai filsafah yang berintikan keadilan dan kebenaran, nilai
sosiologis yang sesuai dengan nilai yang berlaku di masyarakat, dan nilai yuridis yang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam konteks Indonesia, hukum nasional sebagai sistem dalam rangka
pembangunan hukum terdiri dari 4 (empat) komponen atau sub sistem, yaitu :
1. Budaya hukum,
2. Materi hukum,
3. Lembaga, Organisasi, Aparatur dan Mekanisme Hukum
4. Prasarana dan Sarana Hukum.14
Keempat komponen itu tidak hanya berkaitan satu sama lain, tetapi juga saling
pengaruh mempengaruhi, sehingga sekalipun misalnya kita berhasil menyusun materi
hukum sempurna, akan tetapi apabila hal tersebut tidak didukung oleh dan
berinteraksi dengan budaya hukum yang sesuai, aparatur hukum yang profesional,
bahkan juga sarana dan prasarana hukum yang cukup modern dan memadai, maka
seluruh materi hukum itu tidak mungkin akan dapat diterapkan dan ditegakkan
sebagaimana diharapkan, sehingga materi hukum itu hanya tinggal menjadi huruf mati
belaka. Itulah sebabnya seluruh komponen dan unsur-unsur Sistem Hukum Nasional
13
M. Solly Lubis, Sistem Nasional, Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 25-26.
14
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional,
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 1996, hlm.6.

11
(Sistem Hukum Adat, Sistem Hukum Barat, dan Sistem Hukum Islam) itu harus
dibangun secara simultan, sinkron dan terpadu. Hanya dengan pendekatan yang
sistemik ini dapat dibentuk dan diwujudkan Sistem Hukum Nasional yang utuh
menyeluruh berdasarkan Filasafat Pancasila, sesuai arti, makna dan jiwa UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan sekaligus akan terpenuhi segala kepentingan dan
kebutuhan masyarakat di masa yang akan datang.
Dengan menggunakan pola atau kerangka pemikiran seperti ini, kita tetap
berfikir sistemik, walaupun masing-masing bidang hukum itu dapat berkembang
sesuai dengan kebutuhannya sendiri. Demikian juga jumlah bidang hukum terus dapat
berkembang tanpa batas, selama dipegang teguh asas utama dan kerangka formal
hukum yang dikehendaki secara terencana.
Jelas bahwa untuk setiap bidang pembangunan sub sistem hukum diperlukan
keterpaduan dan kesearahan antara pembentuk hukum, pengadilan, aparat penegak
hukum, aparat pelayanan hukum, profesi hukum dan masyarakat, agar supaya pada
akhirnya peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan hukum kebiasaan akan
menjadi satu kesatuan yang terpadu. Oleh sebab itu, untuk setiap bidang hukum itu
sendiri diperlukan suatu rencana pengembangan dan organisasi yang mengarahkan
dan mensinkronkan semua usaha oleh masing-masing dalam proses pembentukan
hukum nasional. Inilah yang menjadi tugas dalam rangka memikirkan konsep dan
perencanaannnya yang mengandung asas-asas pengikat, agar supaya pembangunan
seluruh Sistem Hukum Nasional berlangsung secara terpadu dan sistemik.
Berdasarkan hubungan sistem hukum yang demikian, menunjukkan bahwa
sistem hukum mempunyai kaitan erat dengan budaya masyarakat, bahkan salah satu
komponen sistem hukum itu termasuk di dalamnya pembangunan budaya masyarakat,
terutama budaya hukum, bahkan keberhasilan penegakan hukum (law enforcement)
tidak terlepas dari pembangunan budaya hukum, termasuk kultur aparatur pelaksana
hukum itu sendiri beserta masyarakat yang melingkupinya.

B. Peranan Budaya Hukum dalam Perspektif Pembangunan Hukum Nasional


Setiap masyarakat mempunyai kebudayaan masing-masing yang berbeda satu
dengan yang lainnya, namun setiap kebudayaan mempunyai sifat dan hakikat yang
berlaku umum bagi semua kebudayaan yang ada di dunia ini. Adapun sifat dan
hakikat yang berlaku umum tersebut antara lain: pertama, kebudayaan itu terwujud
dan tersalurkan dari perilaku manusia. Kedua, kebudayaan itu telah ada terlebih

12
dahulu daripada lahirnya suatu generasi tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya
usia generasi itu. Ketiga, kebudayaan itu diperlukan oleh manusia dan diwujudkan
dalam tingkah lakunya. Keempat, kebudayaan itu mencakup aturan-aturan yang
berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak,
tindakan-tindakan yang dilarang dan tindakan-tindakan yang diizinkan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dapat dipahami bahwa sifat dan
hakikat dari kebudayaan itu adalah sikap dan tingkah laku manusia yang selalu
dinamis, bergerak dan beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara
melakukan hubungan-hubungan dengan manusia lainnya, atau dengan cara terjadinya
hubungan antar kelompok dalam masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan mengapa
setiap produk hukum yang dibuat dalam rangka memberi ketertiban dan kenyamanan
dalam kehidupan masyarakat harus melihat dan mengikuti kebudayaan masyarakat
dimana hukum tersebut akan diterapkan. Agar hukum itu harus melihat kepada
budaya dan hukum-hukum yang telah ada dalam masyarakat tersebut. Hukum tidak
akan berlaku secara efektif apabila dipaksakan berlaku kepada masyarakat, padahal
hukum tersebut bertentangan dengan budaya yang hidup dalam masyarakat tersebut.
Dengan demikian kebudayaan mencakup suatu sistem tujuan-tujuan dan nilai-
nilai tertentu. Artinya kebudayaan merupakan suatu blue print of behavior yang
memberikan pedoman tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang dialrang. Nilai
sosial dan budaya tersebut berperan sebagai pedoman dan pendorong bagi perilaku
manusia di dalam proses interaksi sosial. Pada tataran yang lebih konkrit kebudyaan
berfungsi sebagai sistem perilaku. Itu berarti, kaedah-kaedah yang berlaku sebenarnya
berakar pada nilai-nilai sosial dan budaya dari masyarakat yang bersangkutan. Jadi,
segala tingkah laku manusia sesungguhnya berpedoman pada konsepsi-konsepsi
abstrak tentang apa yang baik dan apa yang buruk.
Oleh karena itu, hukum adalah merupakan sarana untuk mengatur kehidupan
sosial, namun satu hal yang harus diperhatikan, meskipun terdapat adagium “Ibi
societas ibi ius”, hukum (terutama hukum tertulis) selalu tertinggal dengan objek
yang diaturnya. Dengan demikian selalu terdapat gejala bahwa antara hukum dan
perilaku sosial terdapat suatu jarak perbedaan yang sangat mencolok. Aapabila hal ini
terjadi, maka akan timbul keteganagan yang semestinya harus segera disesuaikan
supaya tidak menimbulkan ketegangan yang berkelanjutan, tetapi usaha ke arah itu
selalu terlambat dilakukan. Seharusnya pada waktu itulah dapat ditunjukkan adanya
hubungan yang nyata diantara perubahan sosial dan hukum yang mengaturnya, sebab

13
perubahan hukum baru akan terkjadi apabila sudah bertemunya dua unsur pada titikm
singgung, yaitu adanya suatu keadaan baru danadanya kesadaran akan perlunya
perubahan pada masyarakat yang bersangkutan.
Dalam hubungan ini, pada dasarnya hukum yang hidup di masyarakat
sesungguhnya merupakan perwujudan dari nilai-nilai sosial budaya baik yang formal
maupun non formal yang eksistensinya diyakini oleh masyarakat tentang apa yang
seharusnya (das sollen). Sejarah peradaban manusia telah banyak membuktikan
bahwa dalam perjalanan hidup bangsa-bangsa di dunia, setiap masyarakat mengalami
transformasi dari waktu ke waktu. Hal ini diakibatkan oleh adanya interaksi sosial
yang terus menenrus. Corak dan bentuk interaksi sosial, politik, ekonomi dalam
perjalanan dimensi waktu telah memperkaya dengan berbagai pengalaman sejarah
yang kemudian membentuk cara berfikir dan pandangan hidup, yang pada gilirannya
membentuk struktur dan kultur dari masyarakat itu sendiri.
Hukum itu sendiri merupakan bentuk formal dari struktur dan kultur
masyarakat. Oleh karenanya hukum positif Indonesia adalah wujud formal dari
struktur dan kultur sistem masyarakat kita yang masih diwarnai oleh berbagai corak
yang menjadi struktur dan kultur masyarakat kita sebelumnya. Dengan kata lain pada
hukum positif kita masih terlihat corak sistem hukum yang berdimensi masa lalu,
masa kini, dan arah di masa datang. Dalam hal inilah pembangunan hukum berupaya
melakukan orientasi terhadap fenomena ini menuju terwujudnya hukum nasional yang
dicita-citakan (ius constituendum).
Sejalan dengan hal tersebut di atas, dalam kaitannya dengan perubahan yang
dilaksanakan di Indonesia, Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa aplikasi
perubahan hukum itu hendaknya dibedakan antara pembinaan hukum dengan kegiatan
sekadar mengubah suatu hukum yang sedang berlaku. Apabila kegiatan pembinaan
hukum itu disebut sebagai tindakan merencanakan suatu tata hukum baru, maka
kegiatan mengubah suatu hukum adalah mengubah suatu hukum yang telah ada.15
Dalam hati kecil kebanyakan ahli budaya dan ilmu kemasyarakatan mungkin
menghendaki agar masyarakat kita sebaiknya jangan direkayasa, tetapi dibiarkan
berkembang sendiri mencari pola, struktur dan budaya itu sendiri. Padahal cara ini
mungkin hanya dapat ditempuh di dalam masyarakat desa yang kecil dan sederhana,
yang jauh dari pengaruh dunia luar. Di dalam masyarakat seperti ini hukum tidak
banyak peranannya untuk mengatur pergaulan masyarakat, sebab hukum yang
15
Abdul Manan, H., op.cit., hlm. 9.

14
tertuang di dalam keputusan-keputusan kepala adat, hanya menguatkan apa yang
sudah berlaku di dalam masyarakat sebagai adat kebiasaan.16
Jika di dalam masyarakat tradisionil perubahan masyarakat terjadi sangat
lambat, tetapi hukum tumbuh dan berkembang sesuai dengan aspirasi masyarakat
yang bersangkutan. Maka dalam negara yang menggunakan hukum sebagai sarana
perubahan masyarakat, perubahan akan relatif dapat dipercepat namun terdapat
kemungkinan bahwa aspirasi masyarakat yang bersangkutan kurang diperhatikan.
Dalam konteks ini, maka membangun budaya masyarakat dalam rangka
pembangunan hukum nasional di Indonesia pada pokoknya dapat dilakukan dengan 2
(dua) pendekatan :
1. Pembinaan Struktur dan Kultur Masyarakat
Secara sempit kultur hukum Indonesia diartikan sebagai tradisi hukum yang
dimiliki atau dianut oleh masyarakat hukum Indonesia. Sedangakan dalam pengertian
yang lebih luas, budaya hukum Indonesia diartikan sebagai keseluruhan endapan dari
kegiatan dan karya hukum masyarakat Indonesia.
Pada mulanya, budaya masyarakat hukum Indonesia adalah budaya hukum
tidak tertulis (unwritten law), atau budaya hukum yang hidup, tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat (living law). Budaya hukum ini hidup dalam setiap
kesatuan kecil masyarakat hukum Indonesia, sehingga secara keseluruhan budaya
hukum masyarakat Indonesia adalah budaya hukum living law. Tetapi dalam
perkembangannya kemudian, masyarakat hukum Indonesia juga terbiasa dengan
budaya hukum tertulis, yang pada dasarnya merupakan konsekuensi dari proses
kolonialisme di Indonesia.
Oleh sebab itu dalam transformasi struktur dan kultur masyarakat Indonesia
perlu diperhatikan 3 (tiga) hal, yaitu:
(1) Struktur dan kultur masyarakat-masyarakat adat/daerah yang
tersebar di seluruh Indonesia.
(2) Sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yang secara sadar pada
tanggal 28 Oktober 1928 mengikrarkan tekad untuk membangun suatu nation
(bangsa), sekalipun sadar pula bahwa asal-usul maupun kultur kebudayaan kita
sangat beraneka ragam.

16
Badan Pembinaan Hukum Nasional, op.cit., hlm. 53.

15
(3) Dianutnya suatu falsafah hidup dan falsafah kenegaraan, yaitu
falsafah Pancasila bagi bangsa (nation) tersebut, yang menamakan dirinya
bangsa Indonesia.17
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa menurut Lawrence M.
Friedmann, setiap sistem hukum selalu mengandung tiga komponen, yaitu komponen
struktural, substansial dan kultural. Dalam hubungan ini, komponen budaya hukum
(the legal culture) yang merupakan keseluruhan sikap dari masyarakat dan sistem
nilai yang ada dalam masyarakat yang akan menentukan bagaimana seharusnya
hukum itu berlaku dalam masyarakat perlu senantiasa dilakukan pembinaan.
Apabila kesadaran hukum masyarakat tinggi dalam melaksanakan ketentuan-
ketentuan yang telah diatur oleh hukum, dipatuhi oleh masyarakat, maka hukum
tersebut dapat dikatakan telah efektif berlakunya, tetapi jika ketentuan hukum tersebut
diabaikan oleh masyarakat, maka aturan hukum itu tidak efektif berlakunya.
Kesadaran hukum masyarakat itu menyangkut faktor-faktor apakah suatu ketentuan
hukum diketahui, dipahami, diakui, dihargai dan ditaati oleh masyarakat sebagai
pengguna hukum itu. Kesadaran hukum masyarakat merupakan unsur utama yang
harus diperhitungkan dalam berfungsinya hukum secara efektif dalam masyarakat.
Realitas ini berarti, betapapun kesadaran hukum itu berakar di dalam
masyarakat, ia merupakan abstraksi yang lebih rasional daripada perasaan hukum
yang hidup di dalam masyarakat. Oleh karena itu, hal ini tidak dapat dilihat secara
langsung di dalam kehidupan masyarakat, melainkan keberadaanya hanya dapat
disimpulkan dari pengalaman hidup sosial melalui suatu cara pemikiran dan cara
penafsiran tertentu.
Bernard Arief Sidharta, dalam hubungannya dengan kesadaran hukum dalam
perspektif budaya hukum mengemukakan:
Kesadaran hukum adalah proses dalam kesadaran atau kejiwaan manusia yang
di dalamnya berlangsung penilaian bahwa orang seharusnya bersikap dan
bertindak dengan cara tertentu dalam situasi kemasyarakatan tertentu karena
hal itu dirasakan adil dan perlu untuk terselenggaranya ketertiban masyarakat
atau kondisi kemasyarakatan yang memungkinkan manusia menjalani
kehidupan secara wajar sesuai dengan harkat dan martabatnya.18

17
Badan Pembinaan Hukum Nasional, op.cit., hlm. 60.
18
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang
Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum
Nasional Indonesia, CV Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 203.

16
Kesadaran hukum mencakup baik pengetahuan tentang aturan hukum positif
maupun keyakinan warga masyarakat bahwa berbagai perangkat aturan hukum positif
tersebut adil dan perlu, serta bahwa mematuhi hukum itu adalah tuntutan keadilan
dan amrtabat manusia yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Jadi, di samping
harus menciptakan dan menegakkan aturan hukum positif yang adil dan dibutuhkan
masyarakat, pemerintah dan aparatnya harus selalu melakukan pembinaan kesadaran
hukum, dengan selalu mengacu kepada Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Wawasan Kebangsaaan dan wawasan Nusantara.
2. Pembangunan Materi Hukum
Berdasarkan pemahaman terhadap sistem hukum nasional yang menyangkut
adanya 4 (empat) komponen atau sub sistem: 1. budaya hukum, 2. materi hukum, 3.
lembaga, organisasi, aparatur dan mekanisme hukum, serta 4. prasarana dan sarana
hukum, maka salah satu yang sangat urgen dalam membangun kultur dalam rangka
menyikapi perubahan hukum adalah pembangunan materi hukum.
Untuk mewujudkan hal tersebut, maka diperlukan dua pandangan atau
pemikiran yang berperan dalam sistem hukum yang akan dibina secara terpadu, yakni
aliran yang meninjau hukum secara juridis dogmatis, yang cenderung
mempertahankan nilai-nilai moral dan kultural Indonesia dalam pembinaan hukum itu
dan aliran yang meninjau hukum dari segi dimensi sosial yang cenderung
mengutamakan pembinaan sistem hukum yang mampu menjawab tuntutan
pembangunan dan modernisasi.19
Untuk keperluan penyusunan kerangka dasar pembangunan hukum nasional,
ada beberapa asas yang bersifat menyeluruh, yang perlu dikaji secara seksama, yaitu:
1. Asas Ketuhanan, yang mengamanatkan bahwa produk hukum nasional tidak
boleh melanggar dan bertentangan dengan agama atau bersifat menolak atau
bermusuhan dengan agama ;
2. Asas kemanusiaan, yang mengamanatkan bahwa produk hukum nasional harus
mewujudkan perlindungan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang maha Esa ;
3. Asas kesimbangan, yang mengamanatkan bahwa produk hukum nasional harus
memperhatikan aspek keseimbangan antara kepentingan individu dengan
masyarakat, kepentingan peri kehidupan darat, laut dan udara, kepentingan
nasional dan juga internasional ;
19
M. Solly Lubis, op.cit., hlm. 20.

17
4. Asas kesatuan dan persatuan, yang mengamanatkan bahwa hukum Indonesia
harus merupakan hukum nasional, yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia
dengan tetap memandang kenyataan keragaman masyarakat Indonesia ;
5. Asas demokrasi yang mengamanatkan bahwa dalam hubungan antara hukum dan
kekuasaan, kekuasaan harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya ;
6. Asas keadilan sosial, yang mengamanatkan bahwa semua warga negara
mempunyai hak yang sama dan bahwa semua orang sama dihadapan hukum dan ;
7. Asas kesadaran hukum, yang mengamanatkan bahwa pembangunan produk
hukum harus dapat menjadi sarana mewujudkan warga negara yang sadar dan taat
kepada hukum serta mewajibkan negara untuk menegakkan dan menjamin
kepastian hukum.
Memperhatikan berbagai asas tersebut, berarti perlu diupayakan
fungsionalisasi atau penjabaran nilai-nilai ataupun asas-asas tersebut dalam berbagai
pembangunan hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Untuk itu,
perlu dilakukan penyusunan secara sistematik arah kebijakan pembangunan hukum,
meliputi :
1. Mengembangkan dan memajukan budaya hukum di semua lapisan
masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka
supremasi hukum dan tegaknya negara hukum dan ;
2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan
mengakui dan menghormati hukum agama, dan hukum adat serta memperbaharui
perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif,
termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan
reformasi melalui program legislasi.
Berdasarkan arah kebijakan sebagaimana disebutkan di atas, menunjukkan
bahwa pemantapan asas-asas hukum, pertama-tama dilakukan dalam usaha
pembentukan hukum nasional melalui proses pembuatan peraturan perundang-
undangan atau legislasi.
Pengutamaan terhadap hukum tertulis ini, selain karena pengaruh sistem
hukum kontinental, juga karena beberapa pertimbangan, yaitu :
1. Salah satu tujuan hukum adalah memperoleh setinggi-tingginya kepastian
hukum (Rechts Zakerheid). Telah menjadi pengetahuan klasik dalam ilmu
hukum, bahwa hukum tertulis dipandang lebih menjamin kepastian hukum
dibandingkan dengan hukum tidak tertulis ;

18
2. Membentuk hukum tertulis lebih mudah dibandingkan dengan membentuk
hukum tidak tertulis. Pembentukan hukum tertulis dapat direncanakan dengan
pasti, tidak demikian halnya dengan pembentukan hukum tidak tertulis dan ;
3. Dalam keadaan tertentu, hukum tertulis merupakan instrumen yang lebih
mudah dipergunakan untuk memperbaharui atau mengganti aturan hukum yang
tidak sesuai dengan penggunaan hukum tidak tertulis.
Sedangkan mengenai pembangunan materi hukum tidak tertulis, dapat
dilakukan dengan cara-cara :
1. Melakukan penelitian dan pengkajian kembali hukum adat, untuk mengetahui
dengan tepat perubahan yang terjadi di dalamnya, yang dapat terjadi karena :
a. perubahan praktek masyarakat, baik karena pengaruh agama mobilitas
dan lain sebagainya ;
b. perubahan oleh atau lewat yurisprudensi atau suatu putusan hakim ;
c. Perubahan oleh atau melalui perundang-undangan.
2. Menginventarisir dan mengkaji putusan-putusan hakim, dalam rangka
menemukan asas dan kaidah hukum baru, baik karena penemuan hukum (Rechts
Finding) dan penafsiran serta konstruksi hukum dan ;
3. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap praktek penyelenggaraan
negara atau pemerintah dan kelompok masyarakat tertentu untuk menemukan
kebiasaan-kebiasaan sebagai hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat
tersebut.
Berdasarkan realitas yang telah dikemukakan di atas, meskipun ada
pengutamaan terhadap hukum tertulis, akan tetapi hal tersebut tidak mungkin
digantungkan kepada kodifikasi semata-mata karena hukum tertulis tidak akan
mampu mengejar perubahan masyarakat yang begitu cepat akibat pembangunan
berencana, sehingga perspektif hukum nasional akan lebih berupa hukum kebiasaan
yang bersumber pada perjanjian (kontrak) dan hukum tertulis. Bersamaan dengan itu,
hukum adat biasanya menjadi pelengkap dan juga dapat digunakan untuk mengatur
hal-hal yang bersifat sensitif yang sulit dijadikan hukum tertulis.
Bila upaya yang demikian dapat kita lakukan secara taat asas, maka
pembangunan kaidah hukum akan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan dan
kebutuhan masyarakat, bangsa dan negara, karena muatan kaidah tersebut tidak
semata-mata dipertimbangkan dari aspek yuridis, melainkan juga didasarkan pada
pertimbangan nilai sosiologis dan filosofis. Nilai sosiologis berkaitan dengan

19
kenyataan yang terdapat dalam masyarakat, yang akan menentukan fungsi hukum dan
corak hubungan hukum. Sedangkan nilai filosofis akan berkaitan dengan cita hukum
(Rechtsidee), yang berkaitan dengan nilai keadilan, kebenaran serta tujuan hukum
pada umumnya.
Apbila pembangunan materi hukum (terutama hukum tertulis) mengabaikan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka tidak tertutup kemungkinan hukum
tersebut menjadi tidak bermakna, tidak dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat.
Apabila institusi hukum dikaitkan dengan latar belakang susunan masyarakat
dan nilai-nilai yang dianutnya, maka kita mulai berhadapan dengan pilihan mengenai
nilai-nilai apa yang harus diwujudkan oleh hukum. Pilihan nilai tersebut sangat
ditentukan oleh kelompok atau golongan yang berkuasa, yang tidak jarang amat
berbeda dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (living law), sehingga
keberadaan hukum itu (tertulis) adakalanya tidak dapat merubah kultur masyarakat
yang dikehendaki.
Dalam konteks seperti di atas menunjukkan bahwa kita tidak dapat begitu saja
mengeluarkan peraturan hukum tanpa menyediakan fasilitas atau sarana yang dapat
menunjang terlaksananya peraturan tersebut. Itu berarti, faktor-faktor yang diperlukan
untuk mewujudkan cita-cita sebagaimana tertuang dalam peraturan hukum tersebut
perlu dipersiapkan dengan baik. Haruslah dipahami bahwa pembangunan hukum itu
merupakan suatu rencana bertindak (plan of action). Artinya, yang tertuang dalam
peraturan perundang-undangan itu hanyalah sekedar kerangka atau pedoman
bertindak, dan oleh karena itu masih harus dilengkapi dengan sarana yang dibutuhkan
agar dapat dijalankan dengan semestinya.
Bertolak dari kerangka pemahaman di atas, maka tatanan hukum yang
dibentuk minimal memenuhi kriteria berikut ini. Pertama, hukum tidak boleh hanya
merupakan alat bantu untuk mencapai rasionalitas, akan tetapi hukum itu sendiri
harus rasional. Hukum yang rasional itu adalah hukum yang benar-benar mampu
mewujudkan tujuan kehadirannya di lingkungan sosial dimana ia memang diperlukan.
Kedua, untuk menjamin agar karya hukum yang rasional dapat mewujudkan
tujuannya, ia harus didukung oleh tindakan yang efisien oleh perangkat pelaksanaan
hukumnya. Ketiga, tentang pentingnya memasukkan substansi ke dalam bentuk
hukum berkaitan sangat erat dengan pengaruh struktur sosial masyarakat, karena
disitu hukum seharusnya mewujudkan tujuan-tujuannya.

20
Oleh karena itu, dalam rangka membangun budaya masyarakat, pembinaan
struktur dan kultur masyarakat serta pembangunan materi hukum merupakan dua hal
yang sangat penting, akan tetapi pembinaan lain-lain dalam komponen sistem hukum
nasional itu juga sangat diperlukan, seperti meningkatkan fungsi pengadilan dan
meningkatkan mutu dan ketrampilan aparatur penegak hukum dan pelayanan hukum.
Sebab adanya perangkat hukum yang sempurna tidak selalu memberikan
jaminan bagi terlaksananya ketentuan-ketentuan hukum, apabila tidak ada aparatur
penegak hukum yang dapat diandalkan untuk menegakkan ketentuan hukum yang
berlaku, atau apabila tidak ada aparatur pelayanan hukum yang tanggap untuk dalam
secara cepat dan tepat melayani masyarakat, sehingga terpenuhi segala kebutuhan
hukumnya, maka peraturan perundang-undangan tersebut hanya berada dalam law in
book, akan tetapi tidak dapat menyentuh law in action.
Untuk dapatnya hukum itu berfungsi sebagai pengayom masyarakat, maka
diperlukan faktor pendukung yaitu fasilitas (yusur) yang diharapkan akan mendukung
pelaksanaan norma hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Selain dari itu,
berfungsinya hukum sangat tergantung pada hubungan yang serasi antara hukum itu
sendiri (perangkat aturan hukum, aparat penegak hukum dan kesadaran masyarakat.
Kekurangan salah satu dari unsur ini akan mengakibatkan seluruh sistem hukum akan
berjalan pincang.20
Akhirnya, seharusnya pembaharuan hukum itu senantiasa berjalan melalui
proses dan berangkat dari problem-problem nyata di dalam masyarakat. Di samping
itu perubahan hukum itu seharusnya diarahkan pada terciptanya sistem hukum yang
memungkinkan dihormati, dipenuhi, dan dilindunginya hak-hak dasar masyarakat,
sehingga akan melahirkan hukum yang responsif yang mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat menuju terwujudnya budaya hukum yang dicita-citakan.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian-uraian yang dikemukakan sebelumnya, maka diperoleh


beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut:

20
Abdul Manan, H., op.cit., hlm. 99.

21
A. Kesimpulan
1. Bahwa sistem hukum adalah merupakan bagian yang integral dalam
membangun budaya masyarakat, karena salah satu unsur komponen dari
sistem hukum adalah “the legal culture”, sehingga dalam pembangunan sistem
hukum nasional, pembangunan budaya hukum adalah merupakan syarat
mutlak (conditio sine quanon).
2. Bahwa dalam perspektif pembangunan hukum nasional, teori hukum yang
dikembangkan adalah merupakan perpaduan dari berbagai teori hukum, baik
yang berasal dari Teori Hukum Sociological Jurisprudence dari Roscou
Pound, teori kebudayaan dari Northrop maupun teori policy oriented dari
Laswell dan Mc Dougal yang kemudian dikembangkan oleh Mochtar
Kusumaatmadja menjadi teori hukum pembangunan, yang akan diwujudkan
ke dalam bentuk hukum tertulis (perundang-undangan) maupun hukum tidak
tertulis.
3. Bahwa peranan pembangunan budaya masyarakat dalam pembangunann
hukum nasional adalah merupakan conditio sine quanon, yang dilakukan
melalui pembinaan struktur dan budaya masyarakat yang diwujudkan melalui
penanaman kesadaran hukum, serta pembangunan materi hukum dalam rangka
mewujudkan hukum sebagai alat merekayasa masyarakat (law is a tool of
social engineering) yang dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadjaja di
Indonesia dengan Teori Hukum Pembangunan.
B. Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka dapat diberikan beberapa saran yang
berkaitan dengan peranan pembangunan budaya hukum masyarakat dalam perspektif
pembangunan hukum nasional sebagai berikut:
1. Diharapkan kepada pemerintah agar pembangunan budaya hukum masyarakat
harus dilakukan secara simultan dan kontinu baik melalui penyuluhan hukum
maupun keteladanan dari aparatur hukum itu sendiri, sehingga akan tercipta
masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum.
2. Diharapkan kepada pemerintah dan DPR dalam melahirkan berbagai produk
hukum agar senantiasa memperhatikan nilai-nilai yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat (living law, volk geist), sehingga hukum yang dilahirkan
akan dapat berjalan secara efektif sesuai dengan yang dicita-citakan.

22
3. Dalam rangka globalisasi, diharapkan perlu peningkatan kualitas lulusan
pendidikan hukum baik pendidikan formal maupun informal guna menjadi
penggerak dalam pembangunan hukum di masa yang akan datang, sehingga
budaya hukum masyarakat akan sesuai dengan yang diharapkan dalam
pembangunan hukum nasional.

DAFTAR BACAAN

Abdul Manan, H., Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta,
2006.

23
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum
Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 1996.

Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian
tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai
Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, CV Mandar Maju,
Bandung, 2000

Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT Suryandaru Utama,


Semarang, 2005.

Lawrence M. Friedman, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, PT Tata Nusa, Jakarta,


2001.

Lili Rasyidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, PT Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1993.

Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan


Nasional, Binacipta, Bandung, 1986.

M. Solly Lubis, Sistem Nasional, Mandar Maju, Bandung, 2002.

Otje Salman S., H.R. dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat,
Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT Refika Aditama, Bandung, 2004.

Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi,
HuMa, Jakarta, 2003.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung , 1991.

Sjachran Basah, Tiga Tulisan Tentang Hukum, CV Armico, Bandung, 1986.

Sunaryati Hartono, CFG, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Alumni, Bandung, 1991

Undang-undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan.

24

Anda mungkin juga menyukai