Anda di halaman 1dari 14

Standard Operating Procedure Document No.

SOP/SMF/OQA-007

Effective Date 01/06/2015


Pelaksanaan FPIC (Free Prior
Informed Concent) dalam Revision 1
Pembangunan dan Pengelolaan
Hutan Tanaman Industri Page 1 of 12

Prepared by

Hari Cahyono Agung Wiyono Dewi P Bramono


TFT SMF APP
Standard Operating Procedure Document No. SOP/SMF/OQA-007

Effective Date 01/06/2015


Pelaksanaan FPIC (Free Prior
Informed Concent) dalam Revision 1
Pembangunan dan Pengelolaan
Hutan Tanaman Industri Page 2 of 12

Revision Change Note


Revision No Revision Summary
Date No
1 30/09/2015 Ruang lingkup pelaksanaan FPIC tidak
hanya untuk areal penanaman baru,
diperluas untuk setiap kegiatan
pembangunan dan pengelolaan HTI
yang memerlukan FPIC berdasarkan
kajian “tenurial sistem”.
Standard Operating Procedure Document No. SOP/SMF/OQA-007

Effective Date 01/06/2015


Pelaksanaan FPIC (Free Prior
Informed Concent) dalam Revision 1
Pembangunan dan Pengelolaan
Hutan Tanaman Industri Page 3 of 12

DAFTAR ISI

1. Latar belakang 4

2. Tujuan 4

3. Ruang Lingkup 4

4. Referensi 4

5. Pengertian Umum 5

6. Tugas dan Tanggung Jawab 6

7. Prosedur Pelaksanaan FPIC 6

7.1 Pra-kondisi / Persiapan 6

7.2 Persiapan Sosial di Desa / Dusun 7

7.3 Pelaksanaan Pengkajian Tenurial System Lokal 8

7.4 Pelaksanaan Sosialisasi / Konsultasi 10

7.5 Proses Perundingan dan Kesepakatan Bersama 11

7.6 Formalisasi, Implementasi dan Pemantauan Kesepakatan 11

8. Engagement dengan Stakeholder Lain 12

9. Pengendalian Dokumen 12

10. Catatan Tambahan 13


Standard Operating Procedure Document No. SOP/SMF/OQA-007

Effective Date 01/06/2015


Pelaksanaan FPIC (Free Prior
Informed Concent) dalam Revision 1
Pembangunan dan Pengelolaan
Hutan Tanaman Industri Page 4 of 12

1. LATAR BELAKANG
APP/SMF memandang penting setiap upaya yang terarah dan terukur dalam praktek-praktek
pengelolaan sumber daya hutan yang bertanggungjawab. Keyakinan ini berlaku demi
keberlangsungan bisnis yang selaras dengan pelestarian ekosistem dan penghormatan hak-hak
komunitas adat atau masyarakat lokal serta pemberdayaan masyarakat.
Untuk itu APP berkomitmen untuk mewujudkan segala yang tercantum dalam Sustainability
Declaration yang dipublikasi pada bulan Juni 2012, APP Forest Conservation Policy (FCP) yang
dipublikasikan tanggal 5 Februari 2013, serta Responsible Fibre Procurement and Processing Policy
(RFPPP). Salah satu poin penting dalam kebijakan tersebut adalah bahwa APP akan menjalankan
prinsip-prinsip untuk menghormati hak-hak komunitas adat atau masyarakat lokal atas Free Prior
Informed Consent (FPIC).
Menandai dua tahun penerapan FCP, APP telah menyusun sejumlah prioritas perbaikan yang dirangkai
dalam FCP Implementation Plan: 2015 & Beyond, Februari 2015 lalu. Salah satu item penting dalam
perkembangan ini adalah diterapkannya pula prinsip-prinsip FPIC dalam pengembangan ISFMP
(Integrated Sustainable Forest Management Plan), melalui perbaikan prosedur-prosedur operasional
yang akan berdampak pada hak-hak komunitas adat atau masyarakat lokal.
Untuk memastikan dipatuhinya prinsip-prinsip FPIC ini, suatu sistem kerja yang lebih jelas sangatlah
mendesak dan penting untuk disusun. Sistem ini akan menjelaskan bagaimana unit-unit kerja
perusahaan dapat mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menghormati hak-hak komunitas
adat dan masyarakat lokal atas FPIC. Guna merealisaikan berbagai hal ini, APP memandang penting
untuk menyempurnakan prosedur implementasi FPIC.

2. TUJUAN
Prosedur ini ditujukan sebagai acuan bagi staff dan manajemen APP dan pemasok/supplier-nya dalam
pembangunan dan pengelolaan HTI sehingga selaras dengan komitment APP dalam menghormati hak
komunitas adat atau masyarakat lokal atas FPIC.

3. RUANG LINGKUP
3.1. Prosedur ini mencakup mekanisme yang berkaitan dalam kegiatan persiapan/pra-kondisi,
pelaksanaan kajian tenurial system, proses interaksi dengan pihak-pihak pemilik hak atas FPIC
dan stakeholder lainnya, pengambilan keputusan (consent), pelaksanaan hasil-hasil keputusan
dan pemantauannya, serta pelaporan.
3.2. Penting untuk dicatat bahwa FPIC bukanlah suatu proses pengambilan keputusan satu arah,
namun merupakan proses komunikasi dan konsultasi yang berkelanjutan dan berulang, yang
dirancang untuk membangun hubungan yang lebih sehat harmonis antara perusahaan dan
komunitas adat dan masyarakat lokal, yang terpengaruh oleh timbulnya dampak negatif dari
rencana kegiatan perusahaan.
3.3. Prosedur pelaksanaan FPIC ini diacu dalam kegiatan pembangunan/pengelolaan HTI yang akan
mengakibatkan terjadinya perpindahan penguasaan atas lahan; dan yang akan menimbulkan
dampak negatif secara nyata pada penghidupan komunitas adat atau masyarakat lokal.
3.4. Lingkup kegiatan pembangunan dan pengelolaan dimaksud mencakup kegiatan pembangunan
dan/atau konservasi pada pelaksanaan RKT untuk areal kerja HTI yang telah berjalan,
pengembangan konsesi (ijin) baru untuk HTI, serta pembangunan infrastruktur baru.
3.5. Pada areal dimana HTI telah dibangun dan/atau dikelola, jika di dalamnya terdapat konflik lahan
(tenurial conflict), maka akan diselesaikan dengan mengacu kepada SOP penyelesaian
konflik lahan.

4. REFERENSI
4.1. United Nations Declaration on the Rights of Indigenouse Peoples (UNDRIP)
4.2. Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012
4.3. APP Declaration of Sustainability
4.4. APP Responsible Fiber Purchasing and Processing Policy (RFPPP)
4.5. Kebijakan Konservasi Hutan APP (Forest Conservation Policy/FCP)
Standard Operating Procedure Document No. SOP/SMF/OQA-007

Effective Date 01/06/2015


Pelaksanaan FPIC (Free Prior
Informed Concent) dalam Revision 1
Pembangunan dan Pengelolaan
Hutan Tanaman Industri Page 5 of 12

4.6. FCP Implementation Plan: 2015 & Beyond


4.7. Protokol APP dalam New Area Planting
4.8. FSC guideline for FPIC
4.9. Berbagai standar sertifikasi pengelolaan hutan lestari.

5. PENGERTIAN UMUM
5.1. FPIC adalah suatu proses pengambilan keputusan oleh komunitas adat atau masyarakat lokal
yang memiliki hak tenure di dalam/sekitar areal kerja perusahaan; yang berasal dari suatu
proses tanpa tekanan dan intimidasi (free); diambil sebelum suatu kegiatan perusahaan yang
berdampak negatif bagi mereka terlaksana (prior); serta didasarkan pada pengetahuan yang
cukup tentang rencana kegiatan perusahaan itu serta dampaknya bagi mereka (informed); dan
oleh karenanya mereka dapat menyatakan setuju atau tidak setuju bagi dilanjutkannya suatu
rencana kegiatan perusahaan tersebut (consent).
5.2. Hak adalah sesuatu yang diperoleh secara hukum baik nasional atau adat yang memberikan
wewenang kepada seseorang untuk melakukan perbuatan dan wajib saling menghormati hak
tersebut.
5.3. Komunitas atau “masyarakat” didefinisikan sebagai semua kelompok orang-orang; termasuk
“masyarakat hukum adat”, masyarakat lokal yang berpindah-pindah, dan masyarakat lokal
lainnya yang diidentifikasi terkena dampak negatif dari suatu rencana kegiatan perusahaan.
Mereka dicirikan secara geografis tinggal di dalam atau di sekitar areal kerja HTI atau kelompok
tersebut secara teratur mengakses areal kerja perusahaan untuk memperoleh penghasilan,
penghidupan atau mengembangkan nilai-nilai budaya mereka.
5.4. Hak adat atas lahan dipahami dengan mengacu kepada pola penguasaan lahan yang telah
berlangsung lama/secara turun temurun oleh suatu kelompok sosial; dimana penggunaan
sumber daya sesuai norma adat, serta didasarkan kepada hukum, nilai-nilai, kebiasaan, dan
tradisi termasuk siklus penggunaan atas lahan secara musima dan bukan hanya dimaknai
sebagai hukum formal atas tanah dan sumber daya yang dikeluarkan oleh suatu instansi
pemerintah.
5.5. Komunitas adat atau masyarakat hukum adat adalah suatu komunitas atau masyarakat yang
hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah hukum adat,
yang memiliki kedaulatan atas tanah atau kekayaan alam, kehidupan sosial budaya; yang diatur
oleh hukum atau pranata Adat dan memiliki kelembagaan adat dalam menjaga
keberlangsungan kehidupan warga masyarakatnya. Istilah '”Masyarakat adat” digunakan dalam
arti umum untuk merujuk kepada kelompok sosial dan budaya yang memiliki perberbedaan
kerentanan dalam berbagai derajat, dengan dimilikinya beberapa karakteristik berikut: (i)
mengidentifikasikan diri sebagai anggota dari suatu kelompok adat budaya yang berbeda
dengan lainnya dan memperoleh pengakuan identitas ini dari pihak lainnya; (ii) keterikatan
secara bersama dalam suatu satuan geografis ruang hidup yang berbeda atau suatu wilayah
dari leluhur yang sama; (iii) adanya sistem budaya, ekonomi, sosial, dan politik kelembagaan
adat yang terpisah dari kelompok masyarakat lain atau suatu sistem budaya yang dominan;
dan (iv) memiliki bahasa asli, yang berbeda dari bahasa resmi negara atau bahasa dominan di
suatu wilayah tertentu (UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Bab IX pasal 67 ayat 1).
5.6. Masyarakat lokal adalah kelompok masyarakat yang secara identitas sosial dan budaya dapat
dibedakan dari kelompok masyarakat yang dominan, dan menjadikan mereka memiliki
kemungkinan terkena dampak negatif dari rencana kegiatan perusahaan; dimana mereka
menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan hidup yang sudah diterima
sebagai norma lokal yang berlaku umum.
5.7. Tenurial system dalam bagian-bagian prosedur ini dipahami dengan pengertian yang sama
dengan istilah sistem penguasaan lahan, yakni pengetahuan tentang siapa subyek yang berhak
atas sumberdaya tertentu (obyek hak), dan bagaimana pula bentuk hubungan-hubungan sosial,
ekonomi (produksi, distribusi, dan investasi), politik, dan budaya (yang kesemuanya akan
menciptakan jenis hak yang beragam) di antara para pihak yang terkait ataupun jenis-jenis hak
Standard Operating Procedure Document No. SOP/SMF/OQA-007

Effective Date 01/06/2015


Pelaksanaan FPIC (Free Prior
Informed Concent) dalam Revision 1
Pembangunan dan Pengelolaan
Hutan Tanaman Industri Page 6 of 12

yang dipegang oleh suatu subyek hak. Termasuk hubungan para pihak yang terlibat dalam
mekanisme dan/atau proses pengalihan, pengasingan, atau pewarisan hak kepada pemegang
hak baru di luar pribadi subyek hak semula.
5.8. Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat; yang dahulu
disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan atau yang sejenis dengan itu.
5.9. Pemasok/supplier bahan baku kayu ke mill APP terdiri dari: UMH (Unit Manajemen Hutan)
dibawah badan usaha maupun perorangan yang memasok bahan baku kayu bulat dan badan
usaha penyuplai bahan baku serpih kayu (wood chip).

6. TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB


6.1. Tim Pelaksana FPIC
Bertugas merencanakan, melaksanakan, mendokumentasikan dan melaporkan seluruh
pelaksanaan tahapan FPIC. Untuk unit HTI, tim dapat beranggotakan unsur-unsur dari bagian
Perencanaan, Pengamanan Hutan, Hubungan Masyarakat dan Legal, atau bagian lain yang
relevan.
6.2. Other Department/Bagian Lain yang Terkait
Bertugas menyiapkan semua data dan informasi, serta dukungan teknis yang relevan dengan
kebutuhan dan rencana kerja FPIC yang disusun oleh tim pelaksana.
6.3. Manajer Distrik di HTI
Memberikan asistensi dan pengarahan kepada tim pelaksana; Melakukan pemantauan terhadap
kemajuan proses pelaksanaan FPIC; Melakukan penyimpanan semua dokumen dan laporan dari
tim pelaksana (Filing Document); dan secara periodik memberikan laporan kepada Kepala Unit
HTI/RE/ Mill Head.
6.4. Kepala Unit HTI
Menunjuk Tim Pelaksana FPIC dengan Surat Keputusan; Memberikan arahan strategis kepada
tim pelaksana; Memberikan dukungan operasional atas pelaksanaan FPIC; Bertugas mewakili
perusahaan dalam proses musyawarah/negosiasi dengan masyarakat atau menandatangani
kesepakatan dengan masyarakat. Secara periodik memberikan laporan kepada Head Office.
6.5. Head Quarter Office
Memberikan arahan dan dukungan strategis kepada Tim Pelaksana dan Kepala Unit HTI dalam
pelaksanaan dan komunikasi publik mengenai pelaksanaan FPIC.

7. PROSEDUR PELAKSANAAN FPIC


7.1. Pra-kondisi/Persiapan
7.1.1. Pembentukan Tim Pelaksana FPIC
(1) Kepala Unit HTI membentuk Tim Pelaksana FPIC, terdiri dari beberapa orang staff yang
biasa menangani kelola sosial, penyelesaian konflik lahan, perencanaan hutan, hubungan
masyarakat, tim sertifikasi hutan lestari dan/atau bidang/divisi lain yang berkaitan. SK
pembentukan Tim Pelaksana FPIC menetapkan dengan jelas apa saja yang menjadi tugas
pokok dan fungsi dari tim tersebut.
(2) Kepala Unit HTI memberi arahan tentang tugas pokok dan fungsi dari tim pelaksana FPIC
serta arahan strategis lainnya.
7.1.2. Penyusunan kerangka acuan pelaksanaan FPIC
Tim pelaksana FPIC menyusun kerangka acuan (TOR) pelaksanaan FPIC dan disampaikan
kepada Kepala Unit HTI untuk mendapatkan umpan balik dan persetujuan.
Standard Operating Procedure Document No. SOP/SMF/OQA-007

Effective Date 01/06/2015


Pelaksanaan FPIC (Free Prior
Informed Concent) dalam Revision 1
Pembangunan dan Pengelolaan
Hutan Tanaman Industri Page 7 of 12

7.1.3. Setelah TOR FPIC disetujui, Tim Pelaksana FPIC segera melakukan beberapa kajian
awal dengan pendekatan desk study, meliputi pendalaman beberapa aspek sebagai
berikut:
(1) Pendalaman mengenai rencana kerja perusahaan HTI yang akan menimbulkan dampak
negatif bagi komunitas adat atau masyarakat lokal, dengan mengacu kepada hasil analisis
dampak sosial yang telah tersedia sebelumnya (dokumen AMDAL/UKL-UPL/SIA-SDS).
(2) Berdasarkan hasil analisis kajian sosial terdahulu (studi diagnostik, kajian Participatory
Rural Appraisal (PRA), kajian HCV/NKT, social footprint, social mapping dan sejenisnya),
dilakukan identifikasi desa-desa atau dusun-dusun yang akan terkena dampak negatif
dari operasional perusahaan.
(3) Dengan pendekatan yang sama, diidentifikasi keberadaan dan hak-hak komunitas adat
atau masyarakat lokal.
7.1.4. Penyusunan Bahan Sosialisasi
(1) Dengan mengacu kepada hasil kesimpulan dari kajian awal, Tim Pelaksana FPIC
menyiapkan bahan, alat, metode dan strategi komunikasi dan sosialisasi kepada
komunitas sasaran FPIC, dan pihak-pihak lain yang menjadi sasaran engagement.
(2) Bahan sosialisasi setidaknya mencakup materi sebagai berikut:
(a) Perkenalan Tim Pelaksana FPIC
(b) Latar belakang, lingkup dan tujuan, tahapan dan sifat dari proyek, luasan proyek,
durasi kegiatan, jadwal kegiatan operasional—kegiatan perusahaan;
(c) Gambaran mengenai area setempat yang akan terkena dampak, analisis awal tentang
dampak sosial/ekonomi/budaya yang mungkin ditimbulkan, potensi resiko dan
manfaat kegiatan tersebut
(d) Cara-cara penanganan dampak negatif yang akan diterapkan dan optimalisasi dampak
positif yang akan dikembangkan;
(e) Penjelasan mengenai maksud dan lokasi dari alokasi kawasan dilindungi di dalam areal
kerja perusahaan (areal RKT)
(f) Gambaran mengenai program CD/CSR yang direncanakan atau akan dikembangkan
(g) Formasi personel yang akan bekerja; dan prosedur untuk menjalankan kegiatan serta
informasi terkait dengan perijinan.
(h) Tata cara penanganan konflik lahan
(i) Tersedianya waktu berpikir atau mempertimbangkan pilihan bagi masyarakat
(j) Kebebasan untuk memperoleh informasi/pendampingan dari pihak lain
(k) Penanganan keluhan (grievance management) jika mungkin terjadi
(l) Kontak person perusahaan yang bertanggungjawab dalam komunikasi
(3) Penggunaan bahasa dan media yang digunakan disesuaikan dengan kondisi komunitas
adat atau masyarakat lokal, yang memungkinkan informasi tersampaikan dengan baik
kepada seluruh anggota masyarakat, sehingga jelas (tidak menimbulkan salah tafsir),
mudah dipahami, dan dapat dimengerti.
(4) Bahan sosialisasi FPIC yang telah disiapkan oleh Tim Pelaksana FPIC selanjutnya
dimintakan persetujuan kepada Kepala Unit HTI.
7.2. Persiapan Sosial di Desa/Dusun
7.2.1. Pertemuan Pendahuluan dengan Perangkat Desa dan Tokoh Masyarakat
(1) Sebelum pertemuan dengan masyarakat dilaksanakan, Tim Pelaksana FPIC
berkomunikasi dengan pimpinan formal (perangkat desa dan kecamatan) dan
pimpinan/tokoh informal di desa/dusun, untuk menyampaikan maksud dan tujuan, serta
rencana kegiatan FPIC.
(2) Bahan/materi sosialisasi FPIC yang telah disetujui oleh Kepala Unit HTI selanjutnya
disampaikan dalam pertemuan tersebut.
(3) Pada kesempatan itu juga digali informasi untuk memperkuat hasil kesimpulan kajian
awal (desk study) FPIC mengenai: (a) tenurial system lokal, (b) mekanisme pengambilan
keputusan lokal mengenai hak atas lahan/SDA, (c) pola penyelesaian konflik
lahan/sumber daya alam; dan (c) pola perwakilan dan komunikasi tingkat lokal (termasuk
Standard Operating Procedure Document No. SOP/SMF/OQA-007

Effective Date 01/06/2015


Pelaksanaan FPIC (Free Prior
Informed Concent) dalam Revision 1
Pembangunan dan Pengelolaan
Hutan Tanaman Industri Page 8 of 12

keterwakilan kelompok-kelompok rentan), untuk mendapatkan gambaran bagi proses


selanjutnya.
7.2.2. Pembentukan Tim FPIC Desa/Dusun
(1) Menyepakati pembentukan Tim/Kelompok Perwakilan Desa/Dusun yang akan menjadi
penghubung antara warga desa dan Tim Pelaksana FPIC (selanjutnya disebut Tim FPIC
desa/dusun).
(2) Tim FPIC desa/dusun ini anggota dan pimpinannya dipilih sebagai hasil musyawarah
antara pimpinan formal (perangkat desa dan kecamatan) dan pimpinan/tokoh informal di
desa/dusun; dan berperan sebagai pihak yang menjembatani komunikasi antara
masyarakat dan perusahaan sepanjang proses FPIC.
7.3. Pelaksanaan Pengkajian Tenurial System Lokal
7.3.1. Kajian tenurial system lokal melalui desktop study
(1) Dengan pendekatan desk study, dilakukan analisis terhadap keberadaan tenurial system
lokal, meliputi:
(a) Jika dokumen Tenurial Conflict Mapping telah tersedia, memastikan subyek dan obyek
dari fakta konflik tenurial atau konflik lahan yang terjadi di dalam areal kerja
perusahaan;
(b) Analisis pola dan sistem tenurial system lokal, khususnya berkenaan dengan sistem
hak (subyek, obyek, jenis hak) komunitas adat atau masyarakat lokal yang telah
diidentifikasi dari tahapan sebelumnya;
(c) Mendeskripsikan: (i) sistem pengambilan keputusan lokal mengenai hak atas lahan,
(ii) mekanisme penyelesaian konflik lahan/sumber daya alam; dan (iii) pola
perwakilan dan komunikasi tingkat lokal (termasuk keterwakilan kelompok-kelompok
rentan).
(2) Kesimpulan dari analisis awal mengenai suatu sistem tenurial system lokal, sangat
penting dalam mengungkap kejelasan kedudukan para pihak (baik sebagai individu,
kelompok, ataupun lembaga), sehingga diperoleh justifikasi yang tinggi dalam
menentukan pihak mana yang harus dilibatkan—dan memiliki hak dalam mengambil
keputusan—dalam seluruh tahapan penerapan prinsip FPIC.
(3) Hasil kajian tenurial system lokal ini disampaikan kepada Kepala Unit HTI, sebagai bahan
utama dalam merancang strategi penerapan tahapan FPIC, dan disampaikan kepada tim
BET-SMF atau SSE-APP di HQ Jakarta.
7.3.2. Kajian tenurial system lokal melalui observasi lapangan
(1) Bersama Tim FPIC desa/dusun, disepakati tata cara rangka pengkajian tenurial system
lokal dengan pendekatan observasi lapangan meliputi:
(a) Kesepakatan waktu dan tata cara untuk melakukan kajian di lapangan guna
memperkuat kesimpulan pengkajian tenurial system lokal berdasarkan desktop study.
(b) Penentuan perwakilan subyek hak tenure yang telah diidentifikasi bersama; dan
memastikan individu/personal subyek hak tenure yang tidak menerapkan mekanisme
perwakilan.
(c) Penentuan jadwal waktu sosialisasi/dialog FPIC bagi kelompok/individu subyek hak
tenure yang telah diidentifikasi bersama.
(2) Berdasarkan hasil sosialisasi /dialog FPIC dengan subyek hak tenure yang telah
diidentifikasi; dirancang tata cara pelaksanaan kegiatan participatory mapping atau
pemetaan partisipatif untuk kepentingan tenurial study, meliputi:
(a) Kesepakatan waktu dan tata cara dalam melakukan pemetaan partisipatif, dalam
rangka memastikan batas-batas obyek hak tenure—secara de facto di lapangan.
(b) Penentuan perwakilan subyek hak tenure yang akan turut serta dalam kegiatan
pemetaan partisipatif, dengan membentuk Tim Pemetaan Partisipatif (yang melibatkan
perwakilan subyek pemilik hak atas tenure dan perwakilan dari pemerintah
desa/kelurahan/Desa/Dusun/Kampung/Komunitas.
Standard Operating Procedure Document No. SOP/SMF/OQA-007

Effective Date 01/06/2015


Pelaksanaan FPIC (Free Prior
Informed Concent) dalam Revision 1
Pembangunan dan Pengelolaan
Hutan Tanaman Industri Page 9 of 12

(c) Penentuan tata cara penyelesaian masalah (perbedaan pendapat, sengketa batas, dan
sebagainya), pada saat pelaksanaan pemetaan partisipatif di lapangan.
(d) Penentuan tata cara pengesahan dan penyebaran informasi mengenai hasil pemetaan
partisipatif—dalam rangka pengkajian tenurial study.
(3) Bersama dengan Tim Pemetaan Desa/Kampung/Masyarakat, Tim FPIC menyusun rencana
kerja PM dan menyepakati jenis data/informasi yang akan dipetakan. Hal-hal yang akan
dipetakan dapat mencakup namun tidak terbatas pada:
(a) Batas desa/dusun/kampung yang ada dalam area konsesi,
(b) Area-area peruntukan dan pemanfaatan oleh masyarakat seperti kebun, sawah,
ladang, areal hasil hutan bukan kayu (HHBK), situs budaya, areal keramat, area
pemanfatan hasil hutan bukan kayu, area hutan desa/ulayat/larangan, cadangan
lahan masa depan, sumber mata air penting, pemukiman dan infra struktur
desa/masyarakatdan lain-lain
(c) Lokasi-lokasi akses utama bagi perikehidupan warga masyarakat (sungai, kanal, jalan
raya, dan sebagaianya).
(4) Bersama dengan Tim Pemetaan Desa/Kampung/Masyarakat, Tim FPIC harus
berkonsultasi dengan desa/dusun tetangga serta pemerintah terkait untuk memastikan
bahwa batas yang dipetakan disetujui bersama.
(5) Dari hasil kegiatan PM ini, akan diperoleh gambaran mengenai kategori lahan dalam
lokasi ijin HTI/pembangunan HTI, misalnya (1) areal lahan Negara yang bebas klaim,
(2) Areal lahan yang diklaim oleh perorangan, kelompok komunitas adat atau
masyarakat lokal dengan klaim landasan yang sah—baik landasan legal maupun adat,
dan (3) areal lahan yang dikuasai oleh perorangan dan atau kelompok masyarakat
tanpa memiliki landasan yang sah—baik landasan legal maupun adat.
(6) Tim Pemetaan membuat draft peta hasil PM, untuk selanjutnya dikonsultasikan dengan
instansi pemerintah terkait, masyarakat desa dan juga kepada desa tetangga yang
berbatasan langsung. Tim Pemetaan membuat revisi peta hasil PM (jika hasil konsultasi
menghendaki demikian). Selanjutnya revisi peta ini disampaikan kembali kepada
pemerintah,masyarakat desa dan desa tetangga yang berbatasan langsung.
(7) Setelah semua pihak menyepakati peta hasil PM, dibuatkan dokumen Berita Acara
Kesepakatan Hasil Pemetaan Partisipatif yang semua pihak terkait
(Perusahaan/organisasi, Tim Desa, Pemerintah Desa dan Pemerintah Kecamatan)
menandatanganinya dengan jumlah lembar sesuai keperluan.
(8) Tim Pemetaan membuat rekaman proses dan hasil PM, dan semua pihak terkait
diberikan salinan rekaman proses dan hasil-hasilnya, berupa: catatan/notulensi hasil-
hasil rapat Tim PM, Berita Acara Pemetaan beserta titik koordinat PM, foto-foto, cacatan
lapang, Berita Acara Kesepakatan Batas antar desa, peta hasil PM, dll. Semua
dokumentasi harus disampaikan kepada masyarakat.
(9) Tata cara pelaksanaan pemetaan partisipatif bagi berbagai kepentingan rencana kelola
sosial di lingkup APP-SMF mengacu kepada prosedur Pemetaan Partisipatif yang telah
diberlakukan.

Catatan Penting!!
Jika dari hasil Land Tenure Study tidak ditemukan adanya sistem hak yang sahih (legitimate) atas lahan/sumber daya
alam, atau tidak ditemukan pola pemanfaatan lahan/sumberdaya alam yang berpotensi terkena dampak negatif yang
nyata dari rencana kegiatan perusahaan—maka tidak diperlukan proses FPIC. Namun jika sebaliknya, maka proses
dilanjutkan untuk mendapatkan persetujuan (consent) dari masyarakat yang menjadi subyek hak tenure. Jika dalam
areal yang diperuntukan bagi pembangunan dan pengelolaan HTI, RE atau Mill terdapat klaim atas lahan (meskipun
secara legal formal tidak memiliki dasar hukum), maka Perusahaan tetap mengedepankan pendekatan penyelesaian
konflik lahan secara bertanggungjawab (sebagaimana diatur dalam Prosedur Penyelesaian Konflik Lahan), dan hanya
menggunakan pendekatan yang sifatnya litigatif sebagai opsi terakhir.
Standard Operating Procedure Document No. SOP/SMF/OQA-007

Effective Date 01/06/2015


Pelaksanaan FPIC (Free Prior
Informed Concent) dalam Revision 1
Pembangunan dan Pengelolaan
Hutan Tanaman Industri Page 10 of 12

7.4. Pelaksanaan Sosialisasi/Konsultasi


7.4.1. Setelah proses pengkajian tenurial system selesai, diselenggarakan pertemuan dengan Tim
FPIC Desa/Dusun bersama perwakilan/individu subyek hak tenure—untuk menyepakati
rencana detail kegiatan sosialisasi/konsultasi dalam rangka FPIC; terhadap kelompok-
kelompok sosial—yang telah ditetapkan berdasarkan hasil tenurial system (termasuk dari hasil
pemetaan partisipatif).
7.4.2. Berdasarkan kesimpulan dari kajian tenurial system lokal pada tahapan sebelumnya, Tim
pelaksana FPIC melaksanakan serial sosialisasi atau konsultasi sebagai berikut:
(1) Bagi kelompok masyarakat yang tidak terdampak penting secara signifikan terhadap
rencana kegiatan operasional perusahaan, sosialisasi tidak perlu diakhiri dengan
diperolehnya keputusan consent.
(2) Bagi kelompok masyarakat yang berstatus sebagai subyek tenure (berdasarkan
pengkajian tenurial system lokal), atau yang terkena dampak penting dari rencana
kegiatan operasional perusahaan, sosialisasi perlu dilaksanakan hingga tahap
diperolehnya keputusan dari mereka.

7.4.3. Hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam pertemuan sosialisasi/konsultasi dalam FPIC
dengan masyarakat adalah jaminan berlangsungnya komunikasi dengan perwakilan komunitas
adat atau masyarakat lokal, yang mencakup (namun tidak terbatas pada) hal-hal berikut:
(1) Teridentifikasinya pola kepemimpinan adat dan lokal; dan oleh karenanya seseorang
yang diakui sebagai pemimpin mereka harus diupayakan untuk hadir dalam forum-forum
pertemuan.
(2) Diketahuinya kelompok-kelompok rentan, dalam arti aspirasi mereka pada umumnya
jarang terwakili (misal: kelompok perempuan, unsur komunitas yang terisolasi, atau
kelompok yang miskin); mereka harus diupayakan untuk hadir dalam forum-forum
pertemuan.
(3) Berbagai kelompok sosial yang telah dipetakan harus diupayakan untuk dapat hadir dan
terlibat dalam proses diskusi dalam forum-forum pertemuan.
(4) Tim Pelaksana FPIC harus menyampaikan secara terbuka bahwa sepanjang proses
konsultasi FPIC—masyarakat dapat berkomunikasi dengan pihak luar, seperti perguruan
tinggi, LSM dan atau yang lainnya jika membutuhkan pendampingan dalam pertemuan-
pertemuan selanjutnya. Namun demikian, seyogyanya kehadiran pihak luar dalam
pertemuan-pertemuan dalam proses FPIC dapat diperkuat oleh adanya bukti tertulis
berupa surat penunjukan dari wakil masyarakat.

CATATAN PENTING!
a) Jika komunitas adat atau masyarakat lokal yang telah diidentifikasi sebagai pemilik areal lahan dan sumberdaya
alam lainya dengan dasar/landasan klaim yang sahih—berdasarkan pengakajian tenurial system —telah
menyatakan PERSETUJUAN untuk melakukan proses negosiasi atas usulan Perusahaan maka dilanjutkan ke
LANGKAH selanjutnya.
b) Jika dalam proses awal ini, telah terdapat individu/kelompok di dalam masyarakat yang menyatakan
ketidaksetujuannya, maka dapat diterapkan mekanisme penanganan keluhan (Grievance mechanism) di level unit
manajemen untuk mengantisipasi pro dan kontra di dalam masyarakat.
c) Jika dari proses ini tidak diperoleh kesepakatan dan masyarakat mempertimbangkan untuk tidak setuju
dilakukannya proyek oleh perusahaan/organisasi, maka proses ini dihentikan.
d) Terhadap klaim-klaim masyarakat yang dasar/landasan klaim yang tidak sah—baik landasan legal maupun kultural
maka proses penyelesaiannya dengan mengacu kepada Prosedur Penyelesaian Konflik Lahan.
Standard Operating Procedure Document No. SOP/SMF/OQA-007

Effective Date 01/06/2015


Pelaksanaan FPIC (Free Prior
Informed Concent) dalam Revision 1
Pembangunan dan Pengelolaan
Hutan Tanaman Industri Page 11 of 12

7.5. Proses Perundingan dan Kesepakatan Bersama


7.5.1. Tim Pelaksana FPIC bersama masyarakat yang memiliki hak FPIC mendiskusikan
bagaimana perusahaan akan mengkompensasikan kerugian akibat timbulnya dampak
negatif sosial.
7.5.2. Antara waktu dilakukannya sosialisasi/konsultasi hingga tahap consent tersebut, Tim FPIC
harus memastikan tersedianya waktu berpikir atau mempertimbangkan pilihan bagi subyek
tenure.
7.5.3. Tim FPIC harus memastikan tersedianya kebebasan bagi mereka untuk memperoleh
informasi/pendampingan dari pihak lain. Masyarakat dapat memberikan persetujuan dan
atau tidak memberikan persetujuan atas kegiatan pembangunan dan pengelolaan HTI oleh
perusahaan.
7.5.4. Dalam forum-forum sosialisasi/konsultasi masyarakat harus diupayakan terbebas dari
hadirnya aparat keamanan atau pihak-pihak yang berpotensi menekan kebebasan
masyarakat untuk berpendapat.
7.5.5. Dalam forum-forum sosialisasi/konsultasi yang memerlukan negosiasi untuk membangun
kesepakatan, harus diupayakan agar masyarakat terbebas dari proses-proses pemaksaan
atau intimidasi dari perusahaan.
7.5.6. Tim Pelaksana FPIC bersama Kepala Unit HTI mengadakan pertemuan (negosiasi) dengan
masyarakat untuk mencapai mufakat dengan tetap mempertimbangkan: Hak-hak
masyarakat yang telah diidentifikasi dan divalidasi tetap dihormati; dan opsi-opsi
pembangunan dan pengelolaan HTI dilakukan dengan tetap menghormati kepentingan hak-
hak masyarakat/pemberdayaan masyarakat.
7.5.7. Jika terjadi kesepakatan untuk melanjutkan pembangunan HTI, maka kesepakatan tersebut
dituangkan dalam form berita acara kesepakatan yang ditandatangani oleh semua pihak;
perusahaan, pemerintah desa, wakil-wakil masyarakat, dan pemangku kepentingan terkait.
Kesepakatan setidaknya mencantumkan secara rinci dan jelas (mencegah adanya
multitafsir) mengenai hal-hal yang disepakati, mekanisme penyelesaian sengketa, dan
mekanisme pemantauan dan penilaian serta hak/kewajiban pihak-pihak yang akan terlibat
dalam implementasi kesepakatan.
7.5.8. Jika masyarakat menyatakan tidak setuju maka perusahaan bersama masyarakat dapat
menyepakati opsi-opsi tentang bagaimana agar pembangunan dan pengelolaan HTI jangan
sampai mengganggu areal yang menjadi hak komunitas adat atau masyarakat lokal. Opsi-
opsi yang disepakati dituangkan dalam Berita Acara dan ditanda tangani oleh Perusahaan,
Masyarakat dan perwakilan instansi pemerintah.
Standard Operating Procedure Document No. SOP/SMF/OQA-007

Effective Date 01/06/2015


Pelaksanaan FPIC (Free Prior
Informed Concent) dalam Revision 1
Pembangunan dan Pengelolaan
Hutan Tanaman Industri Page 12 of 12

7.6. Formalisasi, Implementasi dan Pemantauan Kesepakatan


7.6.1. Kesepakatan antara perusahaan dan masyarakat perlu diformalkan secara tertulis dan atau
dengan cara lainya yang disepakati bersama. Hasil-hasil dari proses FPIC harus
disosialisasikan dan dapat diakses tak hanya oleh masyarakat namun juga para pihak.
Sosialisasi dilakukan secara langsung melalui tatap muka dan dengan mempermudah akses
masyarakat kepada dokumen kesepakatan—dapat dilakukan dengan cara memasang
dokumen kesepakatan di lokasi yang mudah dilihat dan dibaca masyarakat, dan atau dengan
memberikan salinan kepada kepala/ketua kelompok mereka.
7.6.2. Tim Perusahaan, Masyarakat dan Pihak lain yang relevan bertemu secara berkala untuk
membicarakan kemajuan, tantangan dan solusinya. Secara bersama-sama para pihak juga
dapat melakukan pengecekan lapangan. Pihak-pihak yang terlibat dalam pemantauan perlu
melaporkan hasil pemantauannya kepada para pihak yang bertanda tangan dalam
kesepakatan.
7.6.3. Jika terjadi perubahan kebijakan dari perusahaan dan atau perubahan dalam data/informasi
yang diberikan kepada masyarakat, maka dapat menyebabkan terjadinya renegosiasi maupun
salah satu pihak menarik persetujuannya. FPIC harus dilihat sebagai proses yang interaktif
dan dialog yang berjalan secara terus menerus antara perusahaan/organisasi dan masyarakat
yang terkena dampak. Jika terjadi keluhan atas pelaksanaan kesepakatan maka perusahaan
perlu segera merespon melalui tata cara yang sudah disepakati dengan masyarakat.

8. ENGAGEMENT DENGAN STAKEHODER LAIN


8.1. Bersamaan dengan tahapan Persiapan Sosial di Desa/Dusun, Tim Pelaksana FPIC
mengupayakan komunikasi intensif dengan instansi pemerintah di tingkat kecamatan dan
kabupaten. Pertemuan ini bertujuan untuk menjelaskan rencana-rencana dari
perusahaan/organisasi guna mendapatkan umpan balik dari pemerintah, antara lain:
(1) Melakukan verifikasi dan validasi terhadap hasil studi awal yang telah dilakukan, dari
nara sumber instansi pemerintah atau pihak lainnya. Hal ini dilakukan untuk
mengonfirmasi validitas data dengan adanya kemungkinan perubahan-perubahan
sosial di masyarakat.
(2) Menjelaskan rencana kegiatan perusahaan dan dampak, baik yang bersifat positif
maupun negatif yang akan ditimbulkan dari pembangunan HTI.
(3) Memastikan keberadaan peta administrasi desa, atau keputusan/kebijakan lokal yang
berkenaan dengan sistem hak dalam tenurial system lokal.
8.2. Tim FPIC memastikan kelengkapan dokumentasi proses dari seluruh kegiatan engagement
dengan stakeholder ini, berupa: catatan/notulensi hasil diskusi dan pertemuan, daftar hadir,
dokumentasi foto/video.

9. PENGENDALIAN DOKUMEN
9.1. Tim FPIC melengkapi dokumentasi proses dari seluruh kegiatan ini: surat permohonan
pertemuan, surat undangan Rapat, daftar hadir, notulensi rapat/diskusi, Tim FPIC
Desa/Dusun; hasil Pemetaan partisipatif di tingkat Desa/site. Salinan notulen hasil
pertemuan perlu ditandatangani oleh wakil para pihak yang hadir dengan dilampiri daftar
hadir peserta. Selanjutnya notulen tersebut didistribusikan ke seluruh peserta yang hadir.
9.2. Proses dan hasil dari penerapan tahapan FPIC harus didokumentasikan dengan baik dan
dikompilasi sebagai dokumen publik. Dokumentasi harus mencakup semua korespondensi
terkait pelaksanaan FPIC (termasuk surat elektronik), catatan pertemuan, bahan sosialisasi
yang digunakan selama proses FPIC, pernyataan persetujuan, dan sebagainya. Dokumentasi
dapat berupa tulisan, gambar dan video dari suatu acara (jika tidak dilarang oleh nilai-nilai
yang dianut oleh komunitas adat atau masyarakat lokal). Hal ini agar memungkinkan bagi
suatu verifikasi independen dan sangat penting untuk menjamin akuntabilitas publik.
8.3. Dokumen-dokumen terkait dikendalikan oleh setiap pihak yang tercantum dalam prosedur
ini. Permintaan dari pihak lain yang memerlukan dokumen FPIC, dapat dipenuhi dengan
mengajukannya kepada Kepala Unit HTI.
Standard Operating Procedure Document No. SOP/SMF/OQA-007

Effective Date 01/06/2015


Pelaksanaan FPIC (Free Prior
Informed Concent) dalam Revision 1
Pembangunan dan Pengelolaan
Hutan Tanaman Industri Page 13 of 12

8.4. Apabila diperlukan perubahan (revisi) pada dokumen, maka akan berkoordinasi dengan
pejabat terkait di dalam APP/SMF.
8.5. Apabila terdapat revisi dokumen maka dokumen yang lama akan ditarik oleh pihak yang
relevan dalam prosedur ini.

Catatan tambahan :
Sumber :
http://www.dephut.go.id/Halaman/STANDARDISASI_&_LINGKUNGAN_KEHUTANAN/info_5_1_0604/isi_3.htm

Pengertian masyarakat lokal dalam khasanah kajian peraturan perundang-undangan pengelolaan


sumberdaya hutan terbagi menjadi masyarakat hukum adat dan masyarakat di dalam dan di sekitar
hutan.
Istilah masyarakat hukum adat banyak digunakan dalam peraturan perundang-undangan. Namun
demikian belum ada satu peraturanpun yang memberi penjelasan tentang apa makna sebenarnya dari
masyarakat hukum adat. Istilah masyarakat hukum adat diambil dari kepustakaan ilmu hukum adat,
khususnya setelah penemuan van Vollenhoven tentang hak ulayat (beschikkingsrecht) yang dikatakan
hanya dimiliki oleh komunitas yang disebut sebagai masyarakat hukum adat. Pengertian masyarakat
hukum adat menurut Ter Haar adalah kelompok masyarakat yang teratur, bersifat tetap, mempunyai
kekuasaan dan kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun tidak terlihat.
Hak masyarakat hukum adat sebagai satu kesatuan kolektif terhadap segala sumberdaya di wilayahnya,
yang lazim dikenal dengan hak ulayat adalah hak yang berkenaan dengan pengelolaan, sekaligus
pemanfaatan sumberdaya. Hak pengelolaan terhadap sumberdaya hutan bagi masyarakat hukum adat
didasarkan atas Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 pasal 2 ayat 4.
Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-
daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah
Hak masyarakat hukum adat untuk mengelola sumberdaya hutan adalah hak yang menurut hukum
nasional bersumber dari delegasi wewenang hak menguasai negara kepada masyarakat hukum adat
yang bersangkutan. Namun demikian, pasal 2 ayat 4 tersebut tidak ditindaklanjuti dengan peraturan
yang lebih rendah untuk operasionalisasinya. Ketiadaan peraturan lebih lanjut dari pasal 2 ayat 4 UUPA
berakibat bahwa masyarakat hukum adat hanya diberikan hak untuk memanfaatkan sumberdaya hutan,
antara lain sebagaimana tertuang dalam Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1967; Pasal 6 PP No. 21 Tahun 1970;
dan Pasal 1 Keppres No. 251/Kpts-II/93 tentang Ketentuan Hak Pemungutan Hasil Hutan oleh
masyarakat Hukum Adat atau anggotanya di dalam Areal Hak pengusahaan Hutan.
Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1967 mengemukakan:
Pelaksanaan hak-hak masyarakat adat, hukum adat dan anggota-anggotanya serta hak-hak
perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan, baik langsung maupun tidak langsung yang
didasarkan atas sesuatu peraturan hukum, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tidak
boleh mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dimaksud dalam Undang-Undang ini.

Masyarakat lokal diartikan pula sebagai masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Hal itu
sebagaimana termuat dalam keputusan Menteri Kehutanan No. 691/Kpts-II/91, tentang Peranan
Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dalam Pembinaan Masyarakat di Dalam dan di Sekitar Hutan:
Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan adalah kelompok-kelompok masyarakat baik yang
berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan.
Perbedaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dengan masyarakat hukum adat terletak pada
acuan kekuasaan. Masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan mengacu pada hukum negara,
sedangkan masyarakat hukum adat mengacu pada hukum adat masyarakat yang bersangkutan dan
Standard Operating Procedure Document No. SOP/SMF/OQA-007

Effective Date 01/06/2015


Pelaksanaan FPIC (Free Prior
Informed Concent) dalam Revision 1
Pembangunan dan Pengelolaan
Hutan Tanaman Industri Page 14 of 12

bukan pada hukum negara/nasional. Istilah masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan ini
seringkali disebut pula sebagai masyarakatsetempat, sebagaimana halnya penduduk asli
(indigenous people).
Bank Dunia mendefinisikan terminologi indigenous people sebagai social groups with a social and
cultural identity distinct from the dominant society that makes them vulnerable to being
disadvantaged in the development process (kelompok-kelompok sosial yang memiliki perbedaan
identitas sosial dan budaya dari kelompok masyarakat yang dominan dan menjadikan masyarakat
tersebut rentan untuk tidak diuntungkan dalam proses pembangunan).
Karakteristik Indigenous people antara lain:
(1) melekat pada wilayah nenek moyang dan pada sumber daya alam di daerah tersebut;
(2) mengidentifikasikan diri dan diidentifikasi oleh kelompok masyarakat lainnya sebagai anggota
kelompok budaya yang berbeda;
(3) memiliki bahasa asli yang seringkali berbeda dari bahasa nasional suatu bangsa;
(4) adanya institusi sosial-politik; dan
(5) pola hidup yang masih bersifat subsisten dan berorientasi produksi.
Dalam indigenous people penekanan terletak pada kelompok masyarakat yang rentan termarjinalkan.
Istilah indigenous people lebih mengacu pada pengertian masyarakat dengan identitas dan karakteristik
yang lebih spesifik.
Secara harfiah, pada dasarnya istilah masyarakat lokal (local communities), penduduk asli (indigenous
people), masyarakat setempat, dan masyarakat (hukum) adat; sebagaimana dipaparkan di atas,
mengacu pada satu pengertian yang sama, yaitu masyarakat yang tergantung terhadap kawasan hutan,
dan/atau merupakan kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan
hutan serta mengandalkan hasil hutan demi kelangsungan hidupnya.

Anda mungkin juga menyukai