Darft SOP Pelaksanaan FPIC SMF
Darft SOP Pelaksanaan FPIC SMF
SOP/SMF/OQA-007
Prepared by
DAFTAR ISI
1. Latar belakang 4
2. Tujuan 4
3. Ruang Lingkup 4
4. Referensi 4
5. Pengertian Umum 5
9. Pengendalian Dokumen 12
1. LATAR BELAKANG
APP/SMF memandang penting setiap upaya yang terarah dan terukur dalam praktek-praktek
pengelolaan sumber daya hutan yang bertanggungjawab. Keyakinan ini berlaku demi
keberlangsungan bisnis yang selaras dengan pelestarian ekosistem dan penghormatan hak-hak
komunitas adat atau masyarakat lokal serta pemberdayaan masyarakat.
Untuk itu APP berkomitmen untuk mewujudkan segala yang tercantum dalam Sustainability
Declaration yang dipublikasi pada bulan Juni 2012, APP Forest Conservation Policy (FCP) yang
dipublikasikan tanggal 5 Februari 2013, serta Responsible Fibre Procurement and Processing Policy
(RFPPP). Salah satu poin penting dalam kebijakan tersebut adalah bahwa APP akan menjalankan
prinsip-prinsip untuk menghormati hak-hak komunitas adat atau masyarakat lokal atas Free Prior
Informed Consent (FPIC).
Menandai dua tahun penerapan FCP, APP telah menyusun sejumlah prioritas perbaikan yang dirangkai
dalam FCP Implementation Plan: 2015 & Beyond, Februari 2015 lalu. Salah satu item penting dalam
perkembangan ini adalah diterapkannya pula prinsip-prinsip FPIC dalam pengembangan ISFMP
(Integrated Sustainable Forest Management Plan), melalui perbaikan prosedur-prosedur operasional
yang akan berdampak pada hak-hak komunitas adat atau masyarakat lokal.
Untuk memastikan dipatuhinya prinsip-prinsip FPIC ini, suatu sistem kerja yang lebih jelas sangatlah
mendesak dan penting untuk disusun. Sistem ini akan menjelaskan bagaimana unit-unit kerja
perusahaan dapat mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menghormati hak-hak komunitas
adat dan masyarakat lokal atas FPIC. Guna merealisaikan berbagai hal ini, APP memandang penting
untuk menyempurnakan prosedur implementasi FPIC.
2. TUJUAN
Prosedur ini ditujukan sebagai acuan bagi staff dan manajemen APP dan pemasok/supplier-nya dalam
pembangunan dan pengelolaan HTI sehingga selaras dengan komitment APP dalam menghormati hak
komunitas adat atau masyarakat lokal atas FPIC.
3. RUANG LINGKUP
3.1. Prosedur ini mencakup mekanisme yang berkaitan dalam kegiatan persiapan/pra-kondisi,
pelaksanaan kajian tenurial system, proses interaksi dengan pihak-pihak pemilik hak atas FPIC
dan stakeholder lainnya, pengambilan keputusan (consent), pelaksanaan hasil-hasil keputusan
dan pemantauannya, serta pelaporan.
3.2. Penting untuk dicatat bahwa FPIC bukanlah suatu proses pengambilan keputusan satu arah,
namun merupakan proses komunikasi dan konsultasi yang berkelanjutan dan berulang, yang
dirancang untuk membangun hubungan yang lebih sehat harmonis antara perusahaan dan
komunitas adat dan masyarakat lokal, yang terpengaruh oleh timbulnya dampak negatif dari
rencana kegiatan perusahaan.
3.3. Prosedur pelaksanaan FPIC ini diacu dalam kegiatan pembangunan/pengelolaan HTI yang akan
mengakibatkan terjadinya perpindahan penguasaan atas lahan; dan yang akan menimbulkan
dampak negatif secara nyata pada penghidupan komunitas adat atau masyarakat lokal.
3.4. Lingkup kegiatan pembangunan dan pengelolaan dimaksud mencakup kegiatan pembangunan
dan/atau konservasi pada pelaksanaan RKT untuk areal kerja HTI yang telah berjalan,
pengembangan konsesi (ijin) baru untuk HTI, serta pembangunan infrastruktur baru.
3.5. Pada areal dimana HTI telah dibangun dan/atau dikelola, jika di dalamnya terdapat konflik lahan
(tenurial conflict), maka akan diselesaikan dengan mengacu kepada SOP penyelesaian
konflik lahan.
4. REFERENSI
4.1. United Nations Declaration on the Rights of Indigenouse Peoples (UNDRIP)
4.2. Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012
4.3. APP Declaration of Sustainability
4.4. APP Responsible Fiber Purchasing and Processing Policy (RFPPP)
4.5. Kebijakan Konservasi Hutan APP (Forest Conservation Policy/FCP)
Standard Operating Procedure Document No. SOP/SMF/OQA-007
5. PENGERTIAN UMUM
5.1. FPIC adalah suatu proses pengambilan keputusan oleh komunitas adat atau masyarakat lokal
yang memiliki hak tenure di dalam/sekitar areal kerja perusahaan; yang berasal dari suatu
proses tanpa tekanan dan intimidasi (free); diambil sebelum suatu kegiatan perusahaan yang
berdampak negatif bagi mereka terlaksana (prior); serta didasarkan pada pengetahuan yang
cukup tentang rencana kegiatan perusahaan itu serta dampaknya bagi mereka (informed); dan
oleh karenanya mereka dapat menyatakan setuju atau tidak setuju bagi dilanjutkannya suatu
rencana kegiatan perusahaan tersebut (consent).
5.2. Hak adalah sesuatu yang diperoleh secara hukum baik nasional atau adat yang memberikan
wewenang kepada seseorang untuk melakukan perbuatan dan wajib saling menghormati hak
tersebut.
5.3. Komunitas atau “masyarakat” didefinisikan sebagai semua kelompok orang-orang; termasuk
“masyarakat hukum adat”, masyarakat lokal yang berpindah-pindah, dan masyarakat lokal
lainnya yang diidentifikasi terkena dampak negatif dari suatu rencana kegiatan perusahaan.
Mereka dicirikan secara geografis tinggal di dalam atau di sekitar areal kerja HTI atau kelompok
tersebut secara teratur mengakses areal kerja perusahaan untuk memperoleh penghasilan,
penghidupan atau mengembangkan nilai-nilai budaya mereka.
5.4. Hak adat atas lahan dipahami dengan mengacu kepada pola penguasaan lahan yang telah
berlangsung lama/secara turun temurun oleh suatu kelompok sosial; dimana penggunaan
sumber daya sesuai norma adat, serta didasarkan kepada hukum, nilai-nilai, kebiasaan, dan
tradisi termasuk siklus penggunaan atas lahan secara musima dan bukan hanya dimaknai
sebagai hukum formal atas tanah dan sumber daya yang dikeluarkan oleh suatu instansi
pemerintah.
5.5. Komunitas adat atau masyarakat hukum adat adalah suatu komunitas atau masyarakat yang
hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah hukum adat,
yang memiliki kedaulatan atas tanah atau kekayaan alam, kehidupan sosial budaya; yang diatur
oleh hukum atau pranata Adat dan memiliki kelembagaan adat dalam menjaga
keberlangsungan kehidupan warga masyarakatnya. Istilah '”Masyarakat adat” digunakan dalam
arti umum untuk merujuk kepada kelompok sosial dan budaya yang memiliki perberbedaan
kerentanan dalam berbagai derajat, dengan dimilikinya beberapa karakteristik berikut: (i)
mengidentifikasikan diri sebagai anggota dari suatu kelompok adat budaya yang berbeda
dengan lainnya dan memperoleh pengakuan identitas ini dari pihak lainnya; (ii) keterikatan
secara bersama dalam suatu satuan geografis ruang hidup yang berbeda atau suatu wilayah
dari leluhur yang sama; (iii) adanya sistem budaya, ekonomi, sosial, dan politik kelembagaan
adat yang terpisah dari kelompok masyarakat lain atau suatu sistem budaya yang dominan;
dan (iv) memiliki bahasa asli, yang berbeda dari bahasa resmi negara atau bahasa dominan di
suatu wilayah tertentu (UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Bab IX pasal 67 ayat 1).
5.6. Masyarakat lokal adalah kelompok masyarakat yang secara identitas sosial dan budaya dapat
dibedakan dari kelompok masyarakat yang dominan, dan menjadikan mereka memiliki
kemungkinan terkena dampak negatif dari rencana kegiatan perusahaan; dimana mereka
menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan hidup yang sudah diterima
sebagai norma lokal yang berlaku umum.
5.7. Tenurial system dalam bagian-bagian prosedur ini dipahami dengan pengertian yang sama
dengan istilah sistem penguasaan lahan, yakni pengetahuan tentang siapa subyek yang berhak
atas sumberdaya tertentu (obyek hak), dan bagaimana pula bentuk hubungan-hubungan sosial,
ekonomi (produksi, distribusi, dan investasi), politik, dan budaya (yang kesemuanya akan
menciptakan jenis hak yang beragam) di antara para pihak yang terkait ataupun jenis-jenis hak
Standard Operating Procedure Document No. SOP/SMF/OQA-007
yang dipegang oleh suatu subyek hak. Termasuk hubungan para pihak yang terlibat dalam
mekanisme dan/atau proses pengalihan, pengasingan, atau pewarisan hak kepada pemegang
hak baru di luar pribadi subyek hak semula.
5.8. Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat; yang dahulu
disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan atau yang sejenis dengan itu.
5.9. Pemasok/supplier bahan baku kayu ke mill APP terdiri dari: UMH (Unit Manajemen Hutan)
dibawah badan usaha maupun perorangan yang memasok bahan baku kayu bulat dan badan
usaha penyuplai bahan baku serpih kayu (wood chip).
7.1.3. Setelah TOR FPIC disetujui, Tim Pelaksana FPIC segera melakukan beberapa kajian
awal dengan pendekatan desk study, meliputi pendalaman beberapa aspek sebagai
berikut:
(1) Pendalaman mengenai rencana kerja perusahaan HTI yang akan menimbulkan dampak
negatif bagi komunitas adat atau masyarakat lokal, dengan mengacu kepada hasil analisis
dampak sosial yang telah tersedia sebelumnya (dokumen AMDAL/UKL-UPL/SIA-SDS).
(2) Berdasarkan hasil analisis kajian sosial terdahulu (studi diagnostik, kajian Participatory
Rural Appraisal (PRA), kajian HCV/NKT, social footprint, social mapping dan sejenisnya),
dilakukan identifikasi desa-desa atau dusun-dusun yang akan terkena dampak negatif
dari operasional perusahaan.
(3) Dengan pendekatan yang sama, diidentifikasi keberadaan dan hak-hak komunitas adat
atau masyarakat lokal.
7.1.4. Penyusunan Bahan Sosialisasi
(1) Dengan mengacu kepada hasil kesimpulan dari kajian awal, Tim Pelaksana FPIC
menyiapkan bahan, alat, metode dan strategi komunikasi dan sosialisasi kepada
komunitas sasaran FPIC, dan pihak-pihak lain yang menjadi sasaran engagement.
(2) Bahan sosialisasi setidaknya mencakup materi sebagai berikut:
(a) Perkenalan Tim Pelaksana FPIC
(b) Latar belakang, lingkup dan tujuan, tahapan dan sifat dari proyek, luasan proyek,
durasi kegiatan, jadwal kegiatan operasional—kegiatan perusahaan;
(c) Gambaran mengenai area setempat yang akan terkena dampak, analisis awal tentang
dampak sosial/ekonomi/budaya yang mungkin ditimbulkan, potensi resiko dan
manfaat kegiatan tersebut
(d) Cara-cara penanganan dampak negatif yang akan diterapkan dan optimalisasi dampak
positif yang akan dikembangkan;
(e) Penjelasan mengenai maksud dan lokasi dari alokasi kawasan dilindungi di dalam areal
kerja perusahaan (areal RKT)
(f) Gambaran mengenai program CD/CSR yang direncanakan atau akan dikembangkan
(g) Formasi personel yang akan bekerja; dan prosedur untuk menjalankan kegiatan serta
informasi terkait dengan perijinan.
(h) Tata cara penanganan konflik lahan
(i) Tersedianya waktu berpikir atau mempertimbangkan pilihan bagi masyarakat
(j) Kebebasan untuk memperoleh informasi/pendampingan dari pihak lain
(k) Penanganan keluhan (grievance management) jika mungkin terjadi
(l) Kontak person perusahaan yang bertanggungjawab dalam komunikasi
(3) Penggunaan bahasa dan media yang digunakan disesuaikan dengan kondisi komunitas
adat atau masyarakat lokal, yang memungkinkan informasi tersampaikan dengan baik
kepada seluruh anggota masyarakat, sehingga jelas (tidak menimbulkan salah tafsir),
mudah dipahami, dan dapat dimengerti.
(4) Bahan sosialisasi FPIC yang telah disiapkan oleh Tim Pelaksana FPIC selanjutnya
dimintakan persetujuan kepada Kepala Unit HTI.
7.2. Persiapan Sosial di Desa/Dusun
7.2.1. Pertemuan Pendahuluan dengan Perangkat Desa dan Tokoh Masyarakat
(1) Sebelum pertemuan dengan masyarakat dilaksanakan, Tim Pelaksana FPIC
berkomunikasi dengan pimpinan formal (perangkat desa dan kecamatan) dan
pimpinan/tokoh informal di desa/dusun, untuk menyampaikan maksud dan tujuan, serta
rencana kegiatan FPIC.
(2) Bahan/materi sosialisasi FPIC yang telah disetujui oleh Kepala Unit HTI selanjutnya
disampaikan dalam pertemuan tersebut.
(3) Pada kesempatan itu juga digali informasi untuk memperkuat hasil kesimpulan kajian
awal (desk study) FPIC mengenai: (a) tenurial system lokal, (b) mekanisme pengambilan
keputusan lokal mengenai hak atas lahan/SDA, (c) pola penyelesaian konflik
lahan/sumber daya alam; dan (c) pola perwakilan dan komunikasi tingkat lokal (termasuk
Standard Operating Procedure Document No. SOP/SMF/OQA-007
(c) Penentuan tata cara penyelesaian masalah (perbedaan pendapat, sengketa batas, dan
sebagainya), pada saat pelaksanaan pemetaan partisipatif di lapangan.
(d) Penentuan tata cara pengesahan dan penyebaran informasi mengenai hasil pemetaan
partisipatif—dalam rangka pengkajian tenurial study.
(3) Bersama dengan Tim Pemetaan Desa/Kampung/Masyarakat, Tim FPIC menyusun rencana
kerja PM dan menyepakati jenis data/informasi yang akan dipetakan. Hal-hal yang akan
dipetakan dapat mencakup namun tidak terbatas pada:
(a) Batas desa/dusun/kampung yang ada dalam area konsesi,
(b) Area-area peruntukan dan pemanfaatan oleh masyarakat seperti kebun, sawah,
ladang, areal hasil hutan bukan kayu (HHBK), situs budaya, areal keramat, area
pemanfatan hasil hutan bukan kayu, area hutan desa/ulayat/larangan, cadangan
lahan masa depan, sumber mata air penting, pemukiman dan infra struktur
desa/masyarakatdan lain-lain
(c) Lokasi-lokasi akses utama bagi perikehidupan warga masyarakat (sungai, kanal, jalan
raya, dan sebagaianya).
(4) Bersama dengan Tim Pemetaan Desa/Kampung/Masyarakat, Tim FPIC harus
berkonsultasi dengan desa/dusun tetangga serta pemerintah terkait untuk memastikan
bahwa batas yang dipetakan disetujui bersama.
(5) Dari hasil kegiatan PM ini, akan diperoleh gambaran mengenai kategori lahan dalam
lokasi ijin HTI/pembangunan HTI, misalnya (1) areal lahan Negara yang bebas klaim,
(2) Areal lahan yang diklaim oleh perorangan, kelompok komunitas adat atau
masyarakat lokal dengan klaim landasan yang sah—baik landasan legal maupun adat,
dan (3) areal lahan yang dikuasai oleh perorangan dan atau kelompok masyarakat
tanpa memiliki landasan yang sah—baik landasan legal maupun adat.
(6) Tim Pemetaan membuat draft peta hasil PM, untuk selanjutnya dikonsultasikan dengan
instansi pemerintah terkait, masyarakat desa dan juga kepada desa tetangga yang
berbatasan langsung. Tim Pemetaan membuat revisi peta hasil PM (jika hasil konsultasi
menghendaki demikian). Selanjutnya revisi peta ini disampaikan kembali kepada
pemerintah,masyarakat desa dan desa tetangga yang berbatasan langsung.
(7) Setelah semua pihak menyepakati peta hasil PM, dibuatkan dokumen Berita Acara
Kesepakatan Hasil Pemetaan Partisipatif yang semua pihak terkait
(Perusahaan/organisasi, Tim Desa, Pemerintah Desa dan Pemerintah Kecamatan)
menandatanganinya dengan jumlah lembar sesuai keperluan.
(8) Tim Pemetaan membuat rekaman proses dan hasil PM, dan semua pihak terkait
diberikan salinan rekaman proses dan hasil-hasilnya, berupa: catatan/notulensi hasil-
hasil rapat Tim PM, Berita Acara Pemetaan beserta titik koordinat PM, foto-foto, cacatan
lapang, Berita Acara Kesepakatan Batas antar desa, peta hasil PM, dll. Semua
dokumentasi harus disampaikan kepada masyarakat.
(9) Tata cara pelaksanaan pemetaan partisipatif bagi berbagai kepentingan rencana kelola
sosial di lingkup APP-SMF mengacu kepada prosedur Pemetaan Partisipatif yang telah
diberlakukan.
Catatan Penting!!
Jika dari hasil Land Tenure Study tidak ditemukan adanya sistem hak yang sahih (legitimate) atas lahan/sumber daya
alam, atau tidak ditemukan pola pemanfaatan lahan/sumberdaya alam yang berpotensi terkena dampak negatif yang
nyata dari rencana kegiatan perusahaan—maka tidak diperlukan proses FPIC. Namun jika sebaliknya, maka proses
dilanjutkan untuk mendapatkan persetujuan (consent) dari masyarakat yang menjadi subyek hak tenure. Jika dalam
areal yang diperuntukan bagi pembangunan dan pengelolaan HTI, RE atau Mill terdapat klaim atas lahan (meskipun
secara legal formal tidak memiliki dasar hukum), maka Perusahaan tetap mengedepankan pendekatan penyelesaian
konflik lahan secara bertanggungjawab (sebagaimana diatur dalam Prosedur Penyelesaian Konflik Lahan), dan hanya
menggunakan pendekatan yang sifatnya litigatif sebagai opsi terakhir.
Standard Operating Procedure Document No. SOP/SMF/OQA-007
7.4.3. Hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam pertemuan sosialisasi/konsultasi dalam FPIC
dengan masyarakat adalah jaminan berlangsungnya komunikasi dengan perwakilan komunitas
adat atau masyarakat lokal, yang mencakup (namun tidak terbatas pada) hal-hal berikut:
(1) Teridentifikasinya pola kepemimpinan adat dan lokal; dan oleh karenanya seseorang
yang diakui sebagai pemimpin mereka harus diupayakan untuk hadir dalam forum-forum
pertemuan.
(2) Diketahuinya kelompok-kelompok rentan, dalam arti aspirasi mereka pada umumnya
jarang terwakili (misal: kelompok perempuan, unsur komunitas yang terisolasi, atau
kelompok yang miskin); mereka harus diupayakan untuk hadir dalam forum-forum
pertemuan.
(3) Berbagai kelompok sosial yang telah dipetakan harus diupayakan untuk dapat hadir dan
terlibat dalam proses diskusi dalam forum-forum pertemuan.
(4) Tim Pelaksana FPIC harus menyampaikan secara terbuka bahwa sepanjang proses
konsultasi FPIC—masyarakat dapat berkomunikasi dengan pihak luar, seperti perguruan
tinggi, LSM dan atau yang lainnya jika membutuhkan pendampingan dalam pertemuan-
pertemuan selanjutnya. Namun demikian, seyogyanya kehadiran pihak luar dalam
pertemuan-pertemuan dalam proses FPIC dapat diperkuat oleh adanya bukti tertulis
berupa surat penunjukan dari wakil masyarakat.
CATATAN PENTING!
a) Jika komunitas adat atau masyarakat lokal yang telah diidentifikasi sebagai pemilik areal lahan dan sumberdaya
alam lainya dengan dasar/landasan klaim yang sahih—berdasarkan pengakajian tenurial system —telah
menyatakan PERSETUJUAN untuk melakukan proses negosiasi atas usulan Perusahaan maka dilanjutkan ke
LANGKAH selanjutnya.
b) Jika dalam proses awal ini, telah terdapat individu/kelompok di dalam masyarakat yang menyatakan
ketidaksetujuannya, maka dapat diterapkan mekanisme penanganan keluhan (Grievance mechanism) di level unit
manajemen untuk mengantisipasi pro dan kontra di dalam masyarakat.
c) Jika dari proses ini tidak diperoleh kesepakatan dan masyarakat mempertimbangkan untuk tidak setuju
dilakukannya proyek oleh perusahaan/organisasi, maka proses ini dihentikan.
d) Terhadap klaim-klaim masyarakat yang dasar/landasan klaim yang tidak sah—baik landasan legal maupun kultural
maka proses penyelesaiannya dengan mengacu kepada Prosedur Penyelesaian Konflik Lahan.
Standard Operating Procedure Document No. SOP/SMF/OQA-007
9. PENGENDALIAN DOKUMEN
9.1. Tim FPIC melengkapi dokumentasi proses dari seluruh kegiatan ini: surat permohonan
pertemuan, surat undangan Rapat, daftar hadir, notulensi rapat/diskusi, Tim FPIC
Desa/Dusun; hasil Pemetaan partisipatif di tingkat Desa/site. Salinan notulen hasil
pertemuan perlu ditandatangani oleh wakil para pihak yang hadir dengan dilampiri daftar
hadir peserta. Selanjutnya notulen tersebut didistribusikan ke seluruh peserta yang hadir.
9.2. Proses dan hasil dari penerapan tahapan FPIC harus didokumentasikan dengan baik dan
dikompilasi sebagai dokumen publik. Dokumentasi harus mencakup semua korespondensi
terkait pelaksanaan FPIC (termasuk surat elektronik), catatan pertemuan, bahan sosialisasi
yang digunakan selama proses FPIC, pernyataan persetujuan, dan sebagainya. Dokumentasi
dapat berupa tulisan, gambar dan video dari suatu acara (jika tidak dilarang oleh nilai-nilai
yang dianut oleh komunitas adat atau masyarakat lokal). Hal ini agar memungkinkan bagi
suatu verifikasi independen dan sangat penting untuk menjamin akuntabilitas publik.
8.3. Dokumen-dokumen terkait dikendalikan oleh setiap pihak yang tercantum dalam prosedur
ini. Permintaan dari pihak lain yang memerlukan dokumen FPIC, dapat dipenuhi dengan
mengajukannya kepada Kepala Unit HTI.
Standard Operating Procedure Document No. SOP/SMF/OQA-007
8.4. Apabila diperlukan perubahan (revisi) pada dokumen, maka akan berkoordinasi dengan
pejabat terkait di dalam APP/SMF.
8.5. Apabila terdapat revisi dokumen maka dokumen yang lama akan ditarik oleh pihak yang
relevan dalam prosedur ini.
Catatan tambahan :
Sumber :
http://www.dephut.go.id/Halaman/STANDARDISASI_&_LINGKUNGAN_KEHUTANAN/info_5_1_0604/isi_3.htm
Masyarakat lokal diartikan pula sebagai masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Hal itu
sebagaimana termuat dalam keputusan Menteri Kehutanan No. 691/Kpts-II/91, tentang Peranan
Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dalam Pembinaan Masyarakat di Dalam dan di Sekitar Hutan:
Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan adalah kelompok-kelompok masyarakat baik yang
berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan.
Perbedaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dengan masyarakat hukum adat terletak pada
acuan kekuasaan. Masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan mengacu pada hukum negara,
sedangkan masyarakat hukum adat mengacu pada hukum adat masyarakat yang bersangkutan dan
Standard Operating Procedure Document No. SOP/SMF/OQA-007
bukan pada hukum negara/nasional. Istilah masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan ini
seringkali disebut pula sebagai masyarakatsetempat, sebagaimana halnya penduduk asli
(indigenous people).
Bank Dunia mendefinisikan terminologi indigenous people sebagai social groups with a social and
cultural identity distinct from the dominant society that makes them vulnerable to being
disadvantaged in the development process (kelompok-kelompok sosial yang memiliki perbedaan
identitas sosial dan budaya dari kelompok masyarakat yang dominan dan menjadikan masyarakat
tersebut rentan untuk tidak diuntungkan dalam proses pembangunan).
Karakteristik Indigenous people antara lain:
(1) melekat pada wilayah nenek moyang dan pada sumber daya alam di daerah tersebut;
(2) mengidentifikasikan diri dan diidentifikasi oleh kelompok masyarakat lainnya sebagai anggota
kelompok budaya yang berbeda;
(3) memiliki bahasa asli yang seringkali berbeda dari bahasa nasional suatu bangsa;
(4) adanya institusi sosial-politik; dan
(5) pola hidup yang masih bersifat subsisten dan berorientasi produksi.
Dalam indigenous people penekanan terletak pada kelompok masyarakat yang rentan termarjinalkan.
Istilah indigenous people lebih mengacu pada pengertian masyarakat dengan identitas dan karakteristik
yang lebih spesifik.
Secara harfiah, pada dasarnya istilah masyarakat lokal (local communities), penduduk asli (indigenous
people), masyarakat setempat, dan masyarakat (hukum) adat; sebagaimana dipaparkan di atas,
mengacu pada satu pengertian yang sama, yaitu masyarakat yang tergantung terhadap kawasan hutan,
dan/atau merupakan kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan
hutan serta mengandalkan hasil hutan demi kelangsungan hidupnya.