Anda di halaman 1dari 23

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/326958073

BOOK REVIEW: THE PRACTICE OF CULTURAL STUDIES (in Bahasa Indonesia)

Article · February 2016

CITATIONS READS

0 317

1 author:

Zainal Abidin Achmad


Airlangga University
23 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

BUILD NEW RELATIONS: RADIO LISTENERS, RADIO PROGRAMS AND RADIO MANAGERS IN A NETWORK SOCIETY (Study of Virtual Ethnography on Cultural Radio in East
Java with Mediamorphosis Changes) View project

All content following this page was uploaded by Zainal Abidin Achmad on 10 August 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


2015

BOOK REVIEW
THE PRACTICE OF CULTURAL STUDIES
Buku ini memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan
mendasar seperti: Apa yang khas tentang cultural studies?
Bagaimana seseorang melakukan Cultural Studies? Tidak seperti
banyak disiplin studi yang lain, cultural studies belum ada yang
secara eksplisit memaparkan tentang sifat prakteknya. Buku
mudah dipahami baik itu oleh mahasiswa tingkat sarjana,
tingkat master, hingga yang menempuh program doctor. Buku
ini bertujuan untuk memberikan gambaran dari tradisi
penelitian khusus dalam cultural studies, serta meletakkan
tradisi tersebut dalam konteks sejarah.

Zainal Abidin Achmad, S.Sos.,M.Si.,M.Ed.


S3 Ilmu Sosial Universitas Airlangga
2015
Review Buku

THE PRACTICE OF CULTURAL STUDIES


(Richard Johnson et al., London: SAGE Publications, 2004)

Oleh:
Zainal Abidin Achmad

Secara umum, buku ini adalah upaya penggabungan berbagai diskusi

yang sangat genial dan mencerahkan tentang berbagai isu dan konsep dasar

dalam kajian budaya, hingga bagaimana implementasi penelitiannya di

lapangan. Untaian isinya walaupun serius, namun cerdas mengupas berbagai

ranah studi budaya secara komprehensif. Buku ini sangat penting untuk

dijadikan pegangan karena secara tepat memberikan arahan tentang metode

bagaimana melakukan studi budaya.

'The Practice of Cultural Studies’ sanggup untuk menjadi buku

pengantar dan pedoman untuk melakukan riset di lapangan. Secara canggih,

buku ini menawarkan "how-to" dalam membimbing untuk melakukan

penelitian culture studies. Memberikan jalan keluar ketika seorang peneliti

mengalami kesulitan dalam merumuskan masalah kajian budaya tertentu,

karenanya memang caranya unik dan berbeda.

Buku ini memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar

seperti: Apa yang khas tentang cultural studies? Bagaimana seseorang

melakukan Cultural Studies? Tidak seperti banyak disiplin studi yang lain,

1 Zainal Abidin Achmad. Program Studi S3 Ilmu Sosial, Universitas Airlangga. 2015
cultural studies belum ada yang secara eksplisit memaparkan tentang sifat

prakteknya. Buku ini bertujuan untuk memperbaiki keseimbangan dalam

mendukung siapapun yang mempelajari budaya dengan memberikan panduan

komprehensif untuk meneliti dan menulis. Sangat mudah dipahami baik itu

oleh mahasiswa tingkat sarjana, mahasiswa yang menempuh studi master,

hingga mereka yang baru menempuh program doctor. Bagi dunia akademis,

buku ini bertujuan untuk memberikan gambaran dari tradisi penelitian khusus

dalam cultural studies, serta meletakkan tradisi tersebut dalam konteks sejarah.

Berikut beberapa isi dari buku Praktek Cultural Studies: (1)

Mengidentifikasi metode utama cultural studies. (2) Menunjukkan bagaimana

teori dapat digunakan sebagai arahan dan panduan melakukan praktek

penelitian. (3) Menggali cara-cara yang dapat dilakukan untuk penelitian

cultural studies dan metode-metode digunakan dalam memproduksi

pengetahuan dan diproduksi oleh pengetahuan. (4) Memperkenalkan implikasi

dari setiap perubahan budaya dan pembelokan budaya, sebagai salah satu

disiplin dalam cultural studies.

Buku ini menjadi teks penting untuk mahasiswa yang mempelajari

budaya. Dan menjadi panduan yang berguna bagi siapapun yang mempelajari

budaya dalam berbagai konteks disiplin ilmu sosial dan humaniora.

Sebenarnya buku ini ditujukan bagi mahasiswa yang menempuh studi

tingkat master untuk mempersiapkan tesis dan memberikan bantuan

2 Zainal Abidin Achmad. Program Studi S3 Ilmu Sosial, Universitas Airlangga. 2015
metodologis. Buku ini menggunakan konsep dan definisi yang ‚membumi‛,

karena sanggup menjelaskan pendekatan cultural studies tanpa banyak

terminologi filosofis dan tanpa mengacu pada "Teori". Buku ini jelas berorientasi

pendekatan hermeneutis dan etnografi. Hans-Georg Gadamer dan Paul Ricoeur

adalah filsuf yang paling sering disebutkan. Teori adalah tentang membuat pra-

teori yang lebih eksplisit dan terbuka untuk menantang. Metode dan teknik

untuk pendekatan etnografi dijelaskan secara rinci dan eksplisit dengan

beberapa checklist. Contoh-contoh penelitian cultural studies yang diberikan

juga sangat kekinian. Semisal tentang gerakan Al-Qaeda.

Beberapa kekurangan yang ditemukan dalam buku ini ini antara lain.

Bab-bab tentang strukturalis dalam membaca teks kurang diuraikan dan Post-

strukturalis dekonstruksi juga kurang. Teori gender dan analisis rasisme hampir

tidak ada dalam buku ini. Gagasan Gramsci hegemoni disebutkan tetapi tidak

eksplisit.

Kelemahan yang menjadi kelebihan dalam buku ini adalah bahwa para

penulis menangani masalah, secara multi-disiplin. Baik itu geografi, sejarah dan

ekonomi, mampu menjabarkan budaya mereka sendiri. Bahwa Cultural Studies

dapat bekerja dengan konsep-konsep geografis, misalnya pemetaan, batas-batas

dan perbatasan. Cultural studies bahkan dapat memahami kehidupan ekonomi

itu sendiri sebagai proses representasi, signifikasi atau konstruksi diskursif.

3 Zainal Abidin Achmad. Program Studi S3 Ilmu Sosial, Universitas Airlangga. 2015
Richard Johnson adalah mantan direktur CCCS. Rekan-penulis adalah

profesor di Universitas Terbuka, Newcastle dan Bristol University. Pusat Studi

Budaya Kontemporer Birmingham bertujuan untuk mengatasi elitisme

akademik dan merupakan bagian dari demokratisasi dan modernisasi Inggris di

tahun 60-an dan 70-an. Setelah 1968, Cultural Studies menjadi pendamping

Marxisme sebagai dari gerakan sosial baru. Buku ini menjelaskan sejarah

cultural studies sebagai tradisi akademik yang selektif.

Cultural studies (kajian budaya) menfokuskan diri pada hubungan antara

relasi-relasi sosial dengan makna-makna. Berbeda dengan ‚kritik kebudayaan‛

yang memandang kebudayaan sebagai bidang seni, estetika, dan nilai-nilai

moral / kreatif, kajian budaya berusaha mencari penjelasan perbedaan

kebudayaan dan praktek kebudayaan tidak dengan menunjuk nilai-nilai

intrinsik dan abadi (how good), tetapi dengan menunjuk seluruh peta relasi

sosial (in whose interest). Dengan demikian setiap pemilahan antara masyarakat

atau praktek yang ‚berkebudayaan‛ dan yang ‚tidak berkebudayaan‛ yang

diwarisi dari tradisi elit kritisisme kebudayaan, sekarang dipandang terminologi

klas.

Bentuk kajian budaya dipengaruhi secara langsung oleh perlawanan

untuk mendekolonialisasikan konsep tersebut dan untuk mengkritisi tendensi

yang berusaha mempertahankan aturan-aturan yang mereproduksi kelas dan

ketidaksamaan lainnya. Maka kajian budaya membangun sebuah kerangka kerja

4 Zainal Abidin Achmad. Program Studi S3 Ilmu Sosial, Universitas Airlangga. 2015
yang berusaha menempatkan dan menemukan kembali kebudayaan dari

kelompok-kelompok yang sampai sekarang dilupakan. Inilah awal

diperhatikannya bentuk-bentuk dan sejarah perkembangan kebudayaan kelas

pekerja, serta analisis bentuk-bentuk kontemporer kebudayaan populer dan

media.

Tidak seperti disiplin akademis tradisional, kajian budaya tidak

mempunyai ranah intelektual atau disiplin yang terdefinisi dengan jelas. Ia

tumbuh subur pada batas-batas dan pertemuan bermacam wacana yang sudah

dilembagakan terutama dalam sastra, sosiologi dan sejarah. Bagian dari

hasilnya, dan bagian dari pergolakan politik dan intelektual tahun 1960 an (yang

ditandai dengan perkembangan dengan cepat dan meluasnya struktualisme,

semiotik,marxisme dan feminisme) kajian budaya memasuki periode

perkembangan terotis yang intensif. Tujuannya adalah untuk

mengetahuibagaimana kebudayaan (produksi sosial makna dan kesadaran)

dapat dijelaskan dalam dirinya sendiri dan dalam hubungannya dengan

ekonomi (produksi) dan politik (relasi sosial).

Apa yang dimaksud dengan Media? Pengertian media massa

komunikasi dapat didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk komunikas.

Alat bantu untuk memindahkan pesan dari satu sumber kepada penerima.

Media komunikasi ini menjadi alat bantu atau seperangkat sarana yang

5 Zainal Abidin Achmad. Program Studi S3 Ilmu Sosial, Universitas Airlangga. 2015
digunakan untuk kelancaran proses komunikasi. Istilah ‘media’ mencakup

sarana komunikasi seperti pers, media penyiaran (broadcasting) dan sinema.

Apa itu sejarah “media”? Pada dasarnya sejarah adalah tentang

informasi dan interpretasi. Informasi adalah tentang bukti dari sumber primer

dan sekunder. Sumber primer dapat berupa hasil wawancara. Sebagai informasi

tangan pertama. Sumber sekunder dapat berupa materi dari media apa pun,

berita dari koran, majalah, atau acara televisi. Sebagai informasi tangan kedua

karena sumbernya berasal dari para produser, editor atau institusi. Kita bisa saja

memberi penyimpulan (deduksi) tentang berbagai hal, dari membaca suatu

artikel koran, atau mendengar sekaligus melihat berita di televise, tetapi kita

tidak bisa melakukan itu ketika berbicara kepada para reporter dan para editor

yang mula-mula memproduksinya teks-teks berita dan video berita.

Interpretasi adalah tentang pemahaman seseorang akan bukti tersebut,

teori-teori yang dibentuk tentang signifikasi informasi tersebut.

Berbagai pendekatan dominan terhadap sejarah media yang juga berhubungan

dengan teori-teori dominan tentang media berfokus pada poin-poin berikut ini :

• Hakikat dan pertumbuhan kekuasaan media (dalam institusi media),

termasuk manajemen dan kontrol terhadap media.

• Perubahan hubungan antara institusi dan pemerintah;

• Sifat dasar perkembangan teknologi media ketika mempengaruhi produk-

produk media; termasuk mempengaruhi poin-poin lain dalam daftar ini.

6 Zainal Abidin Achmad. Program Studi S3 Ilmu Sosial, Universitas Airlangga. 2015
• Perubahan dalam berbagai produk dan bentuk media, terutama dalam

hubungannya dengan berbagai jenis realisme;

• Perubahan dalam hal sensor terhadap media, berkaitan dengan perubahan

sikap sosial dan dengan pengaruh media;

• Perubahan mengenai representasi kelompok sosial dalam produk media.

• Hubungan antara perubahan sosial dan produk-produk media, termasuk

bangkitnya pemasaran dan strategi penciptaan audiens generasi muda

• Pertumbuhan operasional media; dalam hal ini berkaitan dengan genre

media.

Konsep Kajian Media dan Cultural Studies

Fokus studi cultural studies ini adalah pada aspek relasi budaya dan

kekuasaan yang dapat dilihat dalam budaya pop. Di dalam tradisi cultural

studies di Inggris yang diwarisi oleh Raymonds Williams, Hoggarts, dan Stuart

Hall, menilai konsep budaya atau ‚culture‛ merupakan hal yang paling rumit

diartikan sehingga bagi mereka konsep tersebut disebut sebuah alat bantu yang

kurang lebih memiliki nilai guna.

Williams mendefinisikan konsep budaya menggunakan pendekatan

universal, yaitu konsep budaya mengacu pada makna-makna bersama. Makna

ini terpusat pada makna sehari-hari: nilai, benda-benda material/simbolis,

norma. Kebudayaan adalah pengalaman dalam hidup sehari-hari: berbagai teks,

7 Zainal Abidin Achmad. Program Studi S3 Ilmu Sosial, Universitas Airlangga. 2015
praktik, dan makna semua orang dalam menjalani hidup mereka. Kebudayaan

yang didefinisikan oleh Williams lebih dekat ‘budaya’ sebagai keseluruhan cara

hidup.

Ideologi

Istilah ideologi pada buku ini lebih merujuk pada ide-ide tentang hakikat

kekuasaan dan bagaimana relasi kekuasaan beroperasi dalam budaya dan

masyarakat. Ideologi di sini juga merujuk pada berbagai kepercayaan dan nilai-

nilai dominan yang diterima begitu saja (taken for granted).

Intinya adalah tentang cara-cara bagaimana berbagai aspek media berkontribusi

terhadap kelangsungan kepercayaan dan nilai tersebut tanpa dipertanyakan.

Sebagai contoh, banyak materi media menyiratkan pentingnya romantika,

pernikahan, dan upacara pernikahan; hal tersebut secara tersirat menyetujui

ketiga elemen ini. Misalnya: upacara pernikahan kerajaan Inggris adalah

peristiwa budaya besar yang secara komersial disindikasikan di seluruh dunia.

Secara ironis hal tersebut tampaknya juga merupakan dukungan yang kuat

terhadap nilai dari ketiga unsur ini.

Perihal Bentuk

Konsep ini merujuk pada cara media membentuk produk-produk seperti

film atau suratkabar. Serta merujuk pada cara media mengkonstruksi berbagai

8 Zainal Abidin Achmad. Program Studi S3 Ilmu Sosial, Universitas Airlangga. 2015
kualitas seperti realisme. Artinya adalah seberapa jauh konstruksi ini

membentuk dan mendistorsi makna-makna sosial yang dimunculkan oleh

produk. Sebagai contoh: pengenalan terhadap banyak acara baru

mempengaruhi persepsi kita tentang kebenaran informasi mereka melalui

simbolisme logis. Hal itu dilakukan melalui sorotan pada wajah para figure-

figur di berita serta porsi pemberitaan yang besar, menunjukkan keterkaitan

dengan kekuasaan (big desk of power).

Narasi

Konsep ini merujuk pada aspek bentuk yang berkaitan dengan konstruksi

cerita dan drama. Dapat diperdebatkan bahwa artikel berita mengisahkan cerita

sebanyak yang dilakukan novel. Artinya adalah bagaimana narasi membentuk

makna. Sebagai contoh, banyak narasi (baik narasi berita maupun narasi fiksi)

memasukkan konflik antara orang-orang, tetapi sebenarnya lebih merupakan

konflik antara ide-ide yang berbeda.

Teks

Konsep ini merujuk kepada semua produk media seolah-olah semua

produk tersebut adalah ‚buku‛. Dan menaruh perhatian kepada fakta bahwa

semua produk tersebut dapat ‚dibaca‛ untuk mengetahui makna-maknanya.

Artinya adalah bagaimana dan mengapa teks dapat atau tidak dapat dibaca

9 Zainal Abidin Achmad. Program Studi S3 Ilmu Sosial, Universitas Airlangga. 2015
dengan cara yang berbeda oleh audiens yang berbeda. Dikaitkan dengan

cultural studies, peristiwa upacara pernikahan (lihat: ‘perihal ideologi’) juga

menjadi teks untuk dibaca seperti halnya foto upacara pernikahan di majalah.

Genre

Konsep ini merujuk pada fakta bahwa sebagian besar produk media

terbagi ke dalam berbagai kategori atau tipe. Artinya adalah bagaimana

berbagai kategori repetitif ini juga dapat mengulangi berbagai makna sosial dan

praktik sosial. Sebagai contoh, banyak drama kriminalitas televisi mengulang

pandangan bahwa aktivitas kriminal itu menarik minat audience (meskipun

salah) dan bahwa deteksi kejahatan didominasi oleh penggunaan teknologi.

Kedua pandangan ini secara umum tidak benar dalam pengalaman sehari-hari

para petugas kepolisian.

Representasi

Konsep ini merujuk pada presentasi media terhadap berbagai kelompok

sosial, yang dikategorikan dengan banyak cara, antara lain: melalui gender,

etnisitas, umur, dan kelas sosial. Konsep ini tidak hanya mencakup tipe-tipe

spesifik pada sebagian masyarakat (wanita tuna wicara) tetapi juga tipe-tipe

kolektif (kaum difabel) dan mungkin mewakili institusi/kondisi (komunitas

difabel, fasilitas kaum difabel).

10 Zainal Abidin Achmad. Program Studi S3 Ilmu Sosial, Universitas Airlangga. 2015
Semua hal ini dapat direpresentasikan, sering secara berulang dan

mengkomunikasikan makna-makna yang dominan (lihat: ‚perihal ideologi‛)

Artinya adalah seberapa jauh representasi tersebut positif atau negatif.

Audience

Konsep ini merujuk pada berbagai kelompok orang yang dapat

didefinisikan yang mengonsumsi produk-produk media. Suatu audiens dapat

didefinisikan dan dikaitkan dengan berbagai pengelompokan sosial. Misalnya:

wanita sebagai audience dari siaran televisi fiksi romantis, atau pria muda

sebagai audience dari permainan online di komputer. Artinya adalah seberapa

jauh persepsi audiens sendiri terhadap kelompok sosialnya (dan pengalaman

budaya yang lain) memengaruhi preferensinya terhadap materi dari media yang

ditargetkan kepadanya.

Efek

Konsep ini merujuk pada proposisi tentang bagaimana dan mengapa

produk media memengaruhi para audiens. Artinya adalah seberapa jauh, baik

audiens pasif atau aktif dalam hal memahami media. Sebagai contoh, apakah

para penonton film dilihat sebagai kantung kosong yang siap menampung

semua makna budaya dari film yang ditontonnya? Atau apakah para penonton

11 Zainal Abidin Achmad. Program Studi S3 Ilmu Sosial, Universitas Airlangga. 2015
akan menjadi pemangsa, yang mengabaikan hal-hal yang memikat dan menarik

dalam film, karena mereka memiliki pengalaman dan pengetahuan sendiri?

Berbagai Pendekatan Kritis dalam Perkembangan Kajian Media dan Cultural

Studies

Para peneliti dari Birmingham berusaha melakukan praksis dengan

pendekatan yang mereka gunakan, dengan kata lain mereka memandang

keilmuan mereka sebagai suatu instrumen bagi perjuangan budaya. Mereka

meyakini bahwa perubahan semacam itu akan terjadi dalam dua cara, yaitu:

pertama dengan mengidentifikasi kontradiksi dalam masyarakat, di mana

resolusinya akan mengarah pada hal yang positif. Dan kedua, dengan

memberikan interpretasi yang akan membantu masyarakat memahami

dominasi dan jenis perubahan yang diinginkan. Samud Beeker mendiskripsikan

tujuan yang hendak mereka capai adalah memberikan pukulan keras balik pada

khalayak melalui media agar tidak menjadi terlalu mudah menerima dengan

ilusi. Atau terlalu mudah menerima praktik-praktik media yang ada karena isi

media dianggap hanya membawa kesadaran palsu (false consciousness).

David Barrat (1986) memuji karya tulis Dennis McQuail serta karya tulis

Curran dan Seaton dalam mendeskripsikan tiga tahap dalam perkembangan

12 Zainal Abidin Achmad. Program Studi S3 Ilmu Sosial, Universitas Airlangga. 2015
cultural studies, semua dengan penekanan terhadap ide tentang pengaruh-

pengaruh:

1. Sampai 1949. Berdasarkan kritik Marxis yang dikembangkan oleh Mazhab

Frankfurt, dalam periode tersebut dipercayai bahwa, media mempengaruhi

audiens sebagai massa; bahwa media dapat menghasilkan perilaku

konformis; dan bahwa media merusak budaya (karena diasumsikan

penggunaan media sebagai usaha pencapaian budaya tinggi kaum elit).

2. Dari 1940 sampai 1965. Selama periode ini disepakati bahwa media mungkin

tidak memiliki efek jangka pendek terhadap audiens (meskipun pers populer

tetap berpegang pada gagasan tersebut!)

3. Dari 1965 sampai 1985. Selama periode ini penekanan bergeser dari efek-efek

dan konteks sosial audiens ke mengamati isi dan bentuk-bentuk produk-

produk media. Raymond Williams (1974) mengamati cara di mana televisi

dan teknologinya telah menjadi medium dominan dari budaya populer. Ia

menghubungkan medium tersebut dengan konsep-konsep budaya tinggi

dan budaya ‘rendah’. Pandangan-pandangannya didorong oleh gagasan

tentang berbagai determinan ekonomi yang membentuk cara institusi-

institusi memproduksi budaya populer televisi, yang menjadi institusi sosial

itu sendiri.

McQuail (1983) berargumen bahwa terdapat tiga unsur kunci bagi semua

teori media, setidaknya jika kita berharap untuk menyelididiki hubungan antara

13 Zainal Abidin Achmad. Program Studi S3 Ilmu Sosial, Universitas Airlangga. 2015
komunikasi massa dan perubahan sosial selama satu periode waktu, yaitu: (1)

Teknologi komunikasi. (2) Bentuk dan isi materi media. (3) Perubahan sosial itu

sendiri–merujuk kepada struktur sosial, perkembangan institusi-institusi dan

berbagai pergeseran dalam kepercayaan dan sikap publik.

Secara khusus, McQuail memulai kembali argumen apakah budaya

media memengaruhi masyarakat (struktur sosial) atau sebaliknya.

Dia menawarkan empat istilah kunci:

1. Interdependensi: istilah ini menunjukkan hubungan dinamis antara dua

unsur di mana satu unsur secara tidak terelakkan memengaruhi unsur

yang lainnya;

2. Idealisme: istilah ini merujuk pada keyakinan bahwa media memang

memengaruhi masyarakat, setidaknya melalui efek-efek teknologinya.

3. Materialisme: istilah ini berargumen bahwa masyarakat dibentuk oleh

kekuatan politik dan ekonomi, dan bahwa media mungkin memiliki

bagian dalam hal ini, tetapi bahwa media lebih merupakan refleksi dari

perubahan dan pembentukan

4. Otonomi: istilah ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang harus

ada antara media dan masyarakat.

Dominic Strinati dan Stephen Wagg (1992) menyajikan pendekatan lain

terhadap teori media dan sejarah. Yang mengaitkan pandangan

14 Zainal Abidin Achmad. Program Studi S3 Ilmu Sosial, Universitas Airlangga. 2015
postmodernisme, bahwa tidak mungkin ada realitas atau kebenaran objektif

tentang cara orang menginterpretasi dunia sosial. Yang ada hanyalah berbagai

interpretasi relatif terhadap realitas, yang didefinisikan melalui iklan dan

bentuk-bentuk lain budaya populer. Dengan adanya perluasan saluran-saluran

media yang cepat, dunia yang dihuni oleh orang-orang makin artifisial.

Dikemukakan bahwa kajian media dan cultural studies hendaknya

menaruh perhatian pada gaya (yaitu bentuk) dan pada makna-makna yang

ditarik dari gaya.

Kita telah bergerak dari periode teori modernis tentang audiens massa ke

suatu situasi ketika kita harus berbicara tentang media penyiaran dengan

cakupan yang kecil (narrowcasting, sebagai lawan dari broadcasting) dan

audiens yang spesifik. Hal ini dikaitkan dengan semacam gaya (yaitu bentuk)

yang ironik dan referensial.

Dalam perkembangan studi media, kritik telah beranjak dari memercayai

bahwa media melakukan berbagai hal kepada orang-orang, ke mengamati apa

yang dilakukan orang-orang dengan media, dan pada materi media yang

sesungguhnya. Minat terhadap efk-efek media telah menjadi faktor yang

konstan ketika studi tentang media mengalami kemajuan. Hal ini penting dalam

kritik-kritik sosiolois terhadap media. Namun, orang-orang yang mengambil

pendekatan cultural studies akan berargumen bahwa efek-efek tersebut untuk

sebagian besar tidak dapat dibuktikan, dan bahwa adalah lebih bermanfaat

15 Zainal Abidin Achmad. Program Studi S3 Ilmu Sosial, Universitas Airlangga. 2015
untuk berkonsentrasi kepada teks, konteks sosial, dan kelompok-kelompok

sosial.

Perdebatan Kaum Strukturalis dan Kaum Kulturalis Tentang:

A. Budaya Populer dan Budaya Massa Sebagai Budaya Populer

Perdebatan ini dapat dilihat sebagai perbedaan opini antara kaum Marxis

dan kaum postmodernis. Dikaitkan dengan maksud dan hasil analisis terhadap

budaya populer, argumen tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

 Produksi dan konsumsi budaya populer disokong oleh struktur-struktur

dominasi. Struktur-struktur ini dapat dan hendaknya dicari dalam hubungan

antara institusi-institusi dan dalam lokasi kekuasaan. Konsumen memiliki

kekuasaan yang terbatas.

 Budaya populer adalah tentang bentuk-bentuk perilaku sosial dan tentang

bagaimana item-item produksi massa digunakan. Karena itu, jika kita ingin

berbicara tentang kekuasaan, maka konsumen memang memiliki kontrol

yang bertahap terhadap budaya mereka sendiri.

Asumsi tentang struktur-struktur dan pencarian terhadap struktur-

struktur secara umum berifat ilusi karena hubungan antara institusi-institusi

begitu rumit dan bergeser sehingga berbagai penjelasan determinis tentang

siapa yang melakukan apa bagi siapa dan bagaimana hanyalah buang-buang

waktu saja. Hal yang penting adalah memerhatikan makna dan hubungan sosial

16 Zainal Abidin Achmad. Program Studi S3 Ilmu Sosial, Universitas Airlangga. 2015
yang diproduksi oleh artifak-artifak tersebut dan perilaku-perilaku budaya

populer.

B. Budaya Tinggi (Elitisme) dan Budaya Rendah

Perdebatan ini secara esensial berkaitan erat dengan status budaya dalam

masyarakat dan kepemilikannya oleh satu kelompok sosial atau kelompok yang

lain. Secara kasar, perdebatan ini seperti meletakkan klub balet melawan klub

dansa, teater melawan televisi, dan seterusnya.

C. Konsumsi Sebagai Kesenangan

Perdebatan ini berada di ranah audiens dan maknanya bersifat positif.

Tentang bagaimana audience dalam memandang budaya populer:

 Konsep Konsumsi sama sekali tidak membicarakan bahwa audience

menjadi korban yang pasif atas terpaan produksi media massa.

 Sebagai individu maupun sebagai audiens dalam tingkatan tertentu

mencapai kesenangan (yaitu kenikmatan) dalam mengonsumsi media massa.

Kesenangan ini bernilai positif bagi audiens yang memiliki kontrol tertentu.

Pandangan POSTMODERNISME

Postmodernisme adalah tentang studi mengenai bentuk-bentuk budaya

populer. Pandangan ini adalah tentang studi mengenai bentuk serta isi, tentang

17 Zainal Abidin Achmad. Program Studi S3 Ilmu Sosial, Universitas Airlangga. 2015
kaitan antara teks (intertekstualitas). Pandangan ini mempercayai bahwa media

telah mendefinisikan dan mendominasi hubungan-hubungan sosial, bahkan

mendefinisikan apa yang kita pahami sebagai realitas. Teks-teks posmodern

bermain dengan gaya dan bentuk, tidak tertarik kepada struktur-struktur naratif

logis atau kesimpulan-kesimpulan moral.

David Morley (1996) menghasilkan kajian yang cermat tentang definisi

postmodernisme yang dipertentangkan dengan modernisme:

 Suatu penolakan terhadap solusi-solusi total: tiada kebenaran atau

‘jawaban’ mutlak dalam masyarakat dan budaya modern

 Suatu penolakan terhadap teologi, atau kepastian-kepastian tentang

bagaimana masyarakat bekerja: tiada model yang sempurna tentang

bagaimana berbagai hal bekerja ‘dibawah permukaan’: hal yang dapat kita

yakini hanyalah permukaan itu sendiri– yaitu gaya dan penampilan

 Suatu penolakan terhadap idealisme, terhadap utopia: tidak ada

masyarakat ideal atau budaya yang sempurna.

Pierre Bourdieu (1984) sering dijadikan oleh John Fiske dalam salah satu

bukunya, Memahami Budaya Populer (Fiske, 1989). Salah satu dari ide-ide

paling menarik milik Bourdieu secara luas membedakan antara budaya kelas

pekerja (populer) dan budaya kelas menengah (intelektual) dalam hal

keterlibatan dan keterpisahan, perbedaan antara partisipasi dan apresiasi.

18 Zainal Abidin Achmad. Program Studi S3 Ilmu Sosial, Universitas Airlangga. 2015
Jean Baudrillard menentang pandangan bahwa terdapat suatu realitas

budaya dan sosial mutlak yang ada selain dari apa yang kita lihat dan kita baca

melalui media. Pandangannya adalah bahwa realitas media telah

berkesinambungan dengan realitas sosial. Apa yang terdapat di layar adalah

bagian yang besar dari realitas, seperti halnya apa yang kita lakukan dlma

kehidupan sehari-hari kita. Dia tertarik dengan intertekstualitas, dengan

pandangan bahwa setiap tanda memiliki semacam hubungan dengan setiap

tanda yang lain. Dalam dunia Baudrillard, ujar Kenneth Thompson (1997),

‘realitas berdisintegrasi menjadi citra dan tontonan.’

Beberapa Isu Utama Tentang “Media Massa: antara Institusi dan Kekuasaan”

• Kekuasaan global. Isu kunci di sini adalah bagaimana kekuasaan ini dapat

(atau bahkan perlu) dimoderasi ketika sebagian berada di luar kontrol

pemerintah-pemerintah nasional.

• Pemerintah dan interdependensi media. Ekspansi saluran-saluran media

komunikasi telah menambah sarana bagi pemerintah untuk dapat

berkomunikasi dengan masyarakat dan kelompok sosial. Media menjadi

esensial dalam proses pemilihan umum dan publisitas pemerintah.

• Kebangkitan pemasaran: media bekerja setelah menjadi dominasi oleh pasar:

produk-produk media dan audiens dipasarkan sebagai komoditas dan media

19 Zainal Abidin Achmad. Program Studi S3 Ilmu Sosial, Universitas Airlangga. 2015
tergantung kepada iklan sebagai pendapatan mereka. Isu kunci di sini

adalah seberapa jauh media menjadi instrumen kekuatan pasar.

• Manufaktur berbagai gaya hidup. Isu kunci di sini adalah isu tentang

pengaruh media terhadap perilaku sosial dan preferensi berbagai kelompok

dalam masyarakat, terutama kelompok generasi muda.

Budaya dan Kekuasaan

Salah satu bagian menarik dalam buku ini adalah diskusi tentang relasi

budaya dan kekuasaan. Ketika kita mendeskripsikan aspek-aspek dari konsep

kekuasaan berarti membantu mengidentifikasi bagaimana suatu pengaruh

media dapat terjadi, meskipun hal ini tetap meninggalkan pertanyaan apakah

efek-efek itu kuantitatif ataukah kualitatif.

Max Horkheimer dan Theodor Adorno (1972) menggunakan beberapa

frasa:

1. Industri kebudayaan untuk mendeskripsikan penciptaan dan distribusi

benda-benda kebudayaan. Mereka melihat hal tersebut menggantikan

aktivitas live (langsung, pemain dan penonton hadir secara fisik) lokal, atau

subkultur. Tetapi bukti tidak mendukung pandangan negatif ini. Produksi

budaya media ada di keseluruhan aktivitas budaya ‚siaran live‛.

20 Zainal Abidin Achmad. Program Studi S3 Ilmu Sosial, Universitas Airlangga. 2015
2. Imperialisme kebudayaan. Frasa ini mengemukakan bahwa institusi-institusi

media Barat, terutama yang berasal dari Amerika, menciptakan kekaisaran

ide yang baru di seluruh dunia (Tunstall, 1978).

3. Kesadaran palsu. Frasa ini berasal dari Aliran Marxisme Frankfurt. Idenya

adalah bahwa media mengungkapkan kekuasaannya dengan menciptakan

ide yang palsu tentang berbagai nilai dan hubungan sosial, sehingga apa

yang kita kira kita tahu sebagai benar adalah angan-angan. Artinya

pandangan tentang dunia banyak dibentuk melalui media.

21 Zainal Abidin Achmad. Program Studi S3 Ilmu Sosial, Universitas Airlangga. 2015

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai