Anda di halaman 1dari 107

Penilaian Pembelajaran

HOTS
(Higher Order Thingking Skill)

i
Prakata

Tiada kata yang dapat terangkai untuk


mewakili sebuah perasaan bahagia saat
menyelesaikan buku ini. Puji syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah Swt, segala halangan dan
rintangan tidak akan mampu dilalui tanpa jalan
terang yang ditunjukkan dan digariskan-Nya. Atas
rahmat-Nyalah sehingga penulis mampu
menyelesaikan buku berjudul Penilaian
Pembelajaran HOTS (Higher Order Thingking Skill)
tepat waktu. Penulisan buku dapat diselesaikan
tepat waktu karena dukungan dari Coach, Mentor,
dan rekan guru dari SMA Negeri 1 Kroya.
Revolusi industri 4.0 mempengaruhi berbagai
macam aspek, termasuk aspek dunia pendidikan.
Pada ere ini, peserta didik diharapkan mampu
untuk menguasai empat kompetensi yang dikenal
dengan kompetensi 4C atau abad 21. Kompetensi
tersebut meliputi Communication, Collaboration,
Critical Thinking and Problem Solving, dan
Creativity and Innovation. Pembekalan kompetensi
4C kepada siswa dapat dilakukan melalui penilaian
yang menggunakan model HOTS.
Penilaian model HOTS memungkinkan
peserta didik untuk berpikir tingkat tinggi dalam
pembelajaran. Penerapan model tersebut
diterapkan mulai dari proses pembelajaran
berlangsung sampai pada tahap penilaian akhir.
Pembiasaan model HOTS diharapkam akan mampu
membangkitkan kompetensi 4C yang diharapkan.

ii
Kami menyadari buku yang telah disusun
bukan tanpa cela dan pasti ada kekurangannya.
Untuk penyempurnaan buku ini, saran dan kritik
dari pengguna selalu kami harapkan.

Cilacap, Juli 2019


Penulis

Pajar Purnomo

iii
Daftar Isi

Halaman Judul ............................................................... i


Prakata ..........................................................................ii
Daftar isi ........................................................................ iv

BAB I PENILAIAN, EVALUASI, TES, DAN


PENGUKURAN DALAM PEMBELAJARAN ............................. 1
A. Penilaian (assesment) ........................................... 1
B. Tes ...................................................................... 8
C. Pengukuran (measurement) ................................ 12
D. Evaluasi .............................................................. 16
E. Persamaan, Perbedaan, dan Hubungan
Penilaian, Tes, Pengukuran dengan Evaluasi ........ 20
RANGKUMAN ........................................................... 30

BAB II PENILAIAN BERBASIS HOTS (HIGHER


ORDER THINKING SKILLS) ............................................ 32
A. Sejarah Munculnya HOTS ................................... 33
B. Pengertian HOTS ................................................ 36
C. Taksonomi Berpikir .............................................. 40
D. Level Pengetahuan HOTS .................................... 51
RANGKUMAN ........................................................... 59

iv
Bab III Menyusun Soal HOTS........................................ 62
A. Pengertian Soal HOTS ......................................... 64
B. Karakteristik Soal HOTS ....................................... 68
C. Penyusunan Soal HOTS ....................................... 62
D. Contoh Soal HOTS .............................................. 86
RANGKUMAN ........................................................... 97

Daftar Pustaka .............................................................. 98

v
BAB I
PENILAIAN, EVALUASI, TES, DAN PENGUKURAN
DALAM PEMBELAJARAN

Istilah penilaian seringkali ditemukan dalam


proses pembelajaran. Banyak kata yang kadang
beriringan dengan kata penilaian seperti evaluasi,
pengukuran, dan tes. Munculnya istilah-istilah
tersebut dalam proses pembelajaran harus betul-
betul dipahami maknanya sehingga dapat
digunakan dengan tepat.
Selain dari istilah asesmen (assessment) dan
evaluasi (evaluation) dikenal pula beberapa istilah
lainnya yaitu pengukuran (measurement), tes (test)
dan testing. Diantara ketiga istilah tersebut, tes
merupakan istilah yang paling sering digunakan
dalam pembelajaran. Hal tersebut disebabkan
karena tes prestasi belajar (achievement test)
seringkali dijadikan sebagai satu-satunya alat untuk
menilai hasil belajar siswa. Padahal tes sebenarnya
hanya merupakan salah satu alat ukur hasil belajar.

1|P e n i l a i a n P e m b el a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Tes prestasi belajar (Achievement test) seringkali
dipertukarkan pemakaiannya oleh guru dengan
konsep pengukuran hasil belajar (measurement).
Penggunaan istilah asesmen, evaluasi,
pengukuran, dan tes bisa jadi menimbulkan
kebingungan. Istilah tersebut berbeda satu dengan
lainnya, baik ruang lingkup maupun fokus/ objek
yang dinilai. Penilaian lebih terfokus kepada
komponen atau aspek tertentu saja, sedangkan
evaluasi lebih luas ruang lingkupnya dari penilaian.
Penilaian merupakan bagian dari ruang lingkup
sebuah sistem evaluasi pembelajaran. Dalam
pembelajaran, maka ruang lingkupnya adalah
semua komponen pembelajaran (sistem
pembelajaran) maka istilah yang tepat untuk
menilai pembelajaran adalah evaluasi.
Jika evaluasi dan penilaian bersifat kualitatif,
maka pengukuran bersifat kuantitatif (skor/angka)
dan tentunya menggunakan suatu alat ukur yang
standar. Dalam konteks proses dan hasil belajar,
alat ukur tersebut dapat berbentuk tes atau non-

2|P e n i l a i a n P e m b el a j a r a n B e r b a s i s H O T S
tes. Jika hal yang ingin Anda nilai satu atau
beberapa bagian/ komponen pembelajaran,
misalanya proses dan hasil belajar, maka istilah
yang tepat digunakan adalah penilaian.
Pada tahap awal perlu diketahui terlebih
dahulu definisi dari penilaian, tes, pengukuran, dan
evaluasi. Keempat istilah tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut.

A. Penilaian (assesment)
Dalam sistem pembelajaran, penilaian
merupakan salah satu komponen penting dan tahap
yang harus ditempuh oleh guru untuk mengetahui
keefektifan pembelajaran. Hasil yang diperoleh
dapat dijadikan balikan (feed-back) bagi guru dalam
memperbaiki dan menyempurnakan program dan
kegiatan pembelajaran. Di sekolah, Anda sering
mendengar bahwa guru sering memberikan
ulangan harian, ujian akhir semester, ujian blok,
tagihan, tes tertulis, tes lisan, tes tindakan, dan
sebagainya. Istilah-istilah ini pada dasarnya

3|P e n i l a i a n P e m b el a j a r a n B e r b a s i s H O T S
merupakan bentuk bentuk penilaian yang dilakukan
dalam pembelajaran.
Istilah penilaian merupakan alih bahasa dari
istilah assessment, bukan dari istilah evaluation.
Dalam proses pembelajaran, penilaian sering
dilakukan guru untuk memberikan berbagai
informasi secara berkesinambungan dan
menyeluruh tentang proses dan hasil yang telah
dicapai peserta didik. Artinya, penilaian tidak hanya
ditujukan pada penguasaan salah satu bidang
tertentu saja, tetapi bersifat menyeluruh yang
mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, sikap
dan nilai-nilai.
Sementara itu, Nitko (1996 : 4) menjelaskan
definisi penilaian dengan membuat sebuah
pernyataan sebagai berikut.

“assessment is a broad term defined as a process


for obtaining information that is used for making
decisions about students, curricula and programs,
and educational policy”.

4|P e n i l a i a n P e m b el a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Maksud pernyataan di atas bahwa penilaian adalah
suatu proses untuk memperoleh informasi yang
digunakan untuk membuat keputusan tentang
peserta didik, kurikulum, program, dan kebijakan
pendidikan.
Gabel (1993: 388-390) mengkategorikan
asesmen ke dalam kedua kelompok besar yaitu
asesmen tradisional dan asesmen alternatif.
Asesmen yang tergolong tradisional adalah tes
benar-salah, tes pilihan ganda, tes melengkapi, dan
tes jawaban terbatas. Sementara itu yang tergolong
ke dalam asesmen alternatif (non-tes) adalah
essay/uraian, penilaian praktek, penilaian proyek,
kuesioner, inventori, daftar cek, penilaian oleh
teman sebaya/ sejawat, penilaian diri (self
assessment), portofolio, observasi, diskusi dan
wawancara.
Asesmen merupakan sarana yang secara
kronologis membantu guru dalam memonitor siswa.
Oleh karena itu, sudah seharusnya asesmen

5|P e n i l a i a n P e m b el a j a r a n B e r b a s i s H O T S
manjadi bagian dari pembelajaran, bukan
merupakan hal yang terpisahkan. Asesmen
menitikberatkan penilaian pada proses belajar
siswa. Asesmen tidak hanya mengungkap konsep
yang telah dicapai atau dikuasai oleh siswa, akan
tetapi juga tentang proses perkembangan
bagaimana suatu konsep tersebut diperoleh. Dalam
hal ini asesmen tidak hanya dapat menilai hasil dan
proses belajar siswa, akan tetapi juga kemajuan
belajarnya.
Dalam hubungannya dengan proses dan
hasil belajar, penilaian dapat didefinisikan sebagai
suatu proses atau kegiatan yang sistematis dan
berkesinambungan untuk mengumpulkan informasi
tentang proses dan hasil belajar peserta didik dalam
rangka membuat keputusan-keputusan berdasarkan
kriteria dan pertimbangan tertentu. Jika dilihat
dalam konteks yang lebih luas, keputusan tersebut
dapat menyangkut keputusan tentang peserta didik,
keputusan tentang kurikulum dan program atau
juga keputusan tentang kebijakan pendidikan.

6|P e n i l a i a n P e m b el a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Keputusan tentang peserta didik meliputi
pengelolaan pembelajaran, penempatan peserta
didik sesuai dengan jenjang atau jenis program
pendidikan, bimbingan dan konseling, dan
menyeleksi peserta didik untuk pendidikan lebih
lanjut. Keputusan tentang kurikulum dan program
meliputi keefektifan dan bagaimana cara
memperbaikinya. Keputusan tentang kebijakan
pendidikan dapat dibuat pada tingkat lokal/ daerah
(kabupaten/kota), regional (provinsi), dan tingkat
nasional.
Keputusan penilaian terhadap suatu hasil
belajar sangat bermanfaat untuk membantu peserta
didik merefleksikan apa yang mereka ketahui,
bagaimana mereka belajar, dan mendorong
tanggung jawab dalam belajar. Keputusan penilaian
dapat dibuat oleh guru, sesama peserta didik (peer)
atau oleh dirinya sendiri (self-assessment).
Pengambilan keputusan perlu menggunakan
pertimbangan yang berbeda-beda dan
membandingkan hasil penilaian. Pengambilan

7|P e n i l a i a n P e m b el a j a r a n B e r b a s i s H O T S
keputusan harus dapat membimbing peserta didik
untuk melakukan perbaikan hasil belajar.

B. Tes
Istilah tes berasal dari bahasa latin “testum”
yang berarti sebuah piring atau jambangan dari
tanah liat. Tes merupakan salah satu upaya
pengukuran terencana yang digunakan oleh guru
untuk mencoba menciptakan kesempatan bagi
siswa dalam memperlihatkan prestasi mereka yang
berkaitan dengan tujuan yang telah ditentukan.
Tes terdiri atas sejumlah soal yang harus
dikerjakan siswa. Setiap soal dalam tes
menghadapkan siswa pada suatu tugas dan
menyediakan kondisi bagi siswa untuk menanggapi
tugas atau soal tersebut.
Tes menurut Arikunto dan Jabar (2004)
merupakan alat atau prosedur yang digunakan
untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dengan
menggunakan cara atau aturan yang telah
ditentukan. Dalam hal ini harus dibedakan

8|P e n i l a i a n P e m b el a j a r a n B e r b a s i s H O T S
pengertian antara tes, testing, testee, tester.
Testing adalah saat pada waktu tes tersebut
dilaksanakan (saat pengambilan tes). Sementara
itu.
Gabel (1993) menyatakan bahwa testing
menunjukkan proses pelaksanaan tes. Testee
adalah responden yang mengerjakan tes. Mereka
inilah yang akan dinilai atau diukur kemampuannya.
Sedangkan Tester adalah seseorang yang diserahi
tugas untuk melaksanakan pengambilan tes kepada
responden.
Istilah tes ini kemudian dipergunakan dalam
lapangan psikologi dan selanjutnya hanya dibatasi
sampai metode psikologi, yaitu suatu cara untuk
menyelidiki seseorang. Penyelidikan tersebut
dilakukan mulai dari pemberian suatu tugas kepada
seseorang atau untuk menyelesaikan suatu masalah
tertentu. Sebagaimana dikemukakan Sax (1980 :
13) bahwa

9|P e n i l a i a n P e m b el a j a r a n B e r b a s i s H O T S
“a test may be defined as a task or series of task
used to obtain systematic observations presumed to
be representative of educational or psychological
traits or attributes”

Tes dapat didefinisikan sebagai tugas atau


serangkaian tugas yang digunakan untuk
memperoleh pengamatan-pengamatan sistematis,
yang dianggap mewakili ciri atau aribut pendidikan
atau psikologis. Istilah tugas dapat berbentuk soal
atau perintah/ suruhan lain yang harus dikerjakan
oleh peserta didik. Hasil kuantitatif ataupun
kualitatif dari pelaksanaan tugas itu digunakan
untuk menarik simpulan-simpulan tertentu terhadap
peserta didik.
Sementara itu, Hasan (1988:7) menjelaskan
tes sebagai alat pengumpulan data yang dirancang
secara khusus. Kekhususan tes dapat terlihat dari
konstruksi butir soal yang dipergunakan. Rumusan
ini lebih terfokus kepada tes sebagai alat
pengumpul data. Memang pengumpulan data

10 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
bukan hanya ada dalam prosedur penelitian, tetapi
juga ada dalam prosedur evaluasi. Dengan kata
lain, untuk mengumpulkan data evaluasi, guru
memerlukan suatu alat, antara lain tes. Tes dapat
berupa pertanyaan. Oleh sebab itu, jenis
pertanyaan, rumusan pertanyaan, dan pola
jawaban yang disediakan harus memenuhi suatu
perangkat kriteria yang ketat. Demikian pula waktu
yang disediakan untuk menjawab soal-soal serta
administrasi penyelenggaraan tes diatur secara
khusus pula. Persyaratan-persyaratan ini berbeda
dengan alat pengumpul data lainnya.
Dewasa ini tes masih merupakan alat
evaluasi yang umum digunakan untuk mengukur
keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan
pendidikan dan pengajaran. Skor tes seringkali
dipergunakan sebagai satu-satunya indikator dalam
menilai penguasaan konsep, efektivitas metode
belajar, guru serta aspek lainnya terhadap siswa di
dalam praktek pendidikan. Padahal dengan
mempergunakan tes, aspek kemampuan afektif

11 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
siswa kurang terukur, sehingga sangatlah penting
untuk tidak membuat generalisasi kemampuan
siswa hanya melalui tes saja.
Dengan demikian, tes pada hakikatnya
adalah suatu alat yang berisi serangkaian tugas
yang harus dikerjakan atau soal-soal yang harus
dijawab oleh peserta didik untuk mengukur suatu
aspek perilaku tertentu. Artinya, fungsi tes adalah
sebagai alat ukur. Dalam tes prestasi belajar, aspek
perilaku yang hendak diukur adalah tingkat
kemampuan peserta didik dalam menguasai materi
pelajaran yang telah disampaikan.

C. Pengukuran (measurement)
Secara teknis, pengukuran adalah pengalihan
dari angka ke objek atau peristiwa sesuai dengan
aturan yang memberikan makna angka secara
kuantitatif. Kegiatan pengukuran seringkali
dilakukan dalam pembelajaran melalui pemberian
angka-angka dengan standar tertentu. Standar
angka tersebut yang biasanya digunakan sebagai

12 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
acuan dalam menentukan kelulusan seseorang
dalam menguasai sebuah indikator kompetensi
tertentu.
Pengukuran sebenarnya hanya merupakan
bagian dari sebuah penilaian pembelajaran.
Pengukuran merupakan bagian yang sangat
substansial dari sebuah penilaian. Pengukuran
menyediakan informasi, di mana penilaian dapat
didasarkan. Pengukuran pendidikan adalah proses
yang berusaha untuk mendapatkan representasi
secara kuantitatif tentang sejauh mana suatu ciri
yang dimiliki oleh peserta didik.
Proses pengumpulan data yang dilakukan
pada kegiatan pengukuran dilakukan melalui
pengamatan yang komprehensif dan empiris.
Kegiatan tersebut dilakukan untuk dapat
mengumpulkan informasi yang relevan dengan
tujuan yang telah ditentukan. Dalam hal ini guru
menaksir prestasi siswa dengan membaca atau
mengamati apa saja yang dilakukan siswa,
mengamati kinerja mereka, mendengar apa yang

13 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
mereka katakan, dan menggunakan indera mereka
seperti melihat, mendengar, menyentuh, mencium,
dan merasakan.
Menurut Zainul dan Nasution (2001)
pengukuran memiliki dua karakteristik utama.
Pertama, pengukuran menggunakan angka atau
skala tertentu. Kedua, Pengukuran disusun
berdasarkan suatu aturan atau formula tertentu.
Pengukuran merupakan proses yang
mendeskripsikan performance siswa dengan
menggunakan suatu skala kuantitatif (system
angka) sedemikian rupa sehingga data yang
bersifat kualitatif dari performance siswa juga
dinyatakan dengan angka-angka. Pemberian angka
dapat dlakukan dengan menggunakan kriteria
tertentu. Setiap kriteria disusun untuk mewakili
karakter tertentu yang dimiliki oleh seseorang, atau
suatu obyek tertentu yang mengacu pada aturan
dan formulasi yang jelas.
Aturan atau formulasi yang digunakan dalam
pembelajaran, biasanya sudah disepakati oleh dinas

14 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
atau hasil kesepakatan bersama yang diperkuat
oleh pendapat ahli. Pengukuran dalam bidang
pendidikan berarti mengukur atribut atau
karakteristik peserta didik tertentu. Dalam hal ini
yang diukur bukan peserta didik tersebut, akan
tetapi karakteristik atau atributnya.
Dengan demikian, dapat dikemukakan
bahwa pengukuran adalah suatu proses atau
kegiatan untuk menentukan kuantitas daripada
sesuatu. Kata “sesuatu” bisa berarti peserta didik,
guru, gedung sekolah, meja belajar, white board,
dan sebagainya. Dalam proses pengukuran, tentu
guru harus menggunakan alat ukur (tes atau non-
tes). Alat ukur tersebut harus standar, yaitu
memiliki derajat validitas dan reliabilitas yang
tinggi. Dalam bidang pendidikan, psikologi, maupun
variabel-variabel sosial lainnya, kegiatan
pengukuran biasanya menggunakan tes.
Dalam sejarah perkembangannya, aturan
mengenai pemberian angka ini didasarkan pada
teori pengukuran psikologi yang dinamakan

15 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
psychometric. Namun demikian, boleh saja suatu
kegiatan evaluasi dilakukan tanpa melalui proses
pengukuran.

D. Evaluasi
Dalam hierarki pembelajaran, evaluasi
memiliki posisi yang paling luas. Kegiatan evaluasi
dapat mencakup penilaian, pengukuran, dan tes.
Setiap kegiatan yang dilakukan dalam pembelajaran
dapat dilihat dengan menggunakan kacamata
evaluasi.
Evaluasi dapat digunakan untuk
menentukan sejauh mana tujuan-tujuan pengajaran
telah dicapai. Pemeriksaan sistematis dilakukan
terhadap segala peristiwa yang terjadi selama
proses pembelajaran dilaksanakan. Setiap aspek
pembelajaran dapat dijadikan sebagai indikator
dalam melakukan kegiatan evaluasi.
Guba dan Lincoln (1985: 35), mendefinisikan
evaluasi sebagai “a process for describing an
evaluand and judging its merit and worth”. Suatu

16 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
proses untuk menggambarkan evaluan (orang yang
dievaluasi) dan menimbang makna dan nilainya.
Sax dalam bukunya yang berjudul Principles
of Educational and Psychological Measurement and
Evaluation menyatakan bahwa “evaluation is a
process through which a value judgement or
decision is made from a variety of observations and
from the background and training of the evaluator”.
Maksudnya evaluasi adalah suatu proses dimana
pertimbangan atau keputusan suatu nilai dibuat
dari berbagai pengamatan, latar belakang serta
pelatihan dari evaluator.
Dari dua rumusan tentang evaluasi ini, dapat
kita peroleh gambaran bahwa evaluasi adalah suatu
proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk
menentukan kualitas nilai dan arti daripada sesuatu,
berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu
untuk membuat suatu keputusan. Berdasarkan
pengertian ini, ada beberapa hal yang perlu kita
pahami lebih lanjut bahwa evaluasi adalah suatu
proses bukan suatu hasil.

17 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Hasil yang diperoleh dari kegiatan evaluasi
adalah kualitas daripada sesuatu, baik yang
menyangkut tentang nilai maupun arti. Sedangkan
kegiatan untuk sampai kepada pemberian nilai dan
arti itu adalah evaluasi.
Jika Anda melakukan kajian tentang evaluasi,
maka yang Anda lakukan adalah mempelajari
bagaimana proses pemberian pertimbangan
mengenai kualitas daripada sesuatu. Gambaran
kualitas yang dimaksud merupakan konsekuensi
logis dari proses evaluasi yang dilakukan. Proses
tersebut tentu dilakukan secara sistematis dan
berkelanjutan, dalam arti terencana, sesuai dengan
prosedur dan aturan, dan terus menerus.
Penilaian terhadap data yang dikumpulkan
melalui kegiatan asesmen digunakan sebagai dasar
untuk menentukan sebuah kebijakan yang
dianggap perlu untuk dilakukan. Evaluasi dapat
dinyatakan sebagai suatu proses pengambilan
keputusan dengan menggunakan informasi yang

18 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
diperoleh melalui pengukuran hasil belajar, baik
yang menggunakan instrumen tes maupun non tes.
Dalam proses evaluasi harus ada pemberian
pertimbangan. Pemberian pertimbangan ini pada
dasarnya merupakan konsep dasar evaluasi. Melalui
pertimbangan inilah ditentukan nilai dan arti dari
sesuatu yang sedang dievaluasi. Pemberian
pertimbangan menentukan sebuah kegiatan dapat
dikategorikan sebagai kegiatan evaluasi. Pemberian
pertimbangan tentang nilai dan arti haruslah
berdasarkan kriteria tertentu.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa
evaluasi adalah pemberian nilai terhadap kualitas
sesuatu. Selain dari itu, evaluasi juga dapat
dipandang sebagai proses merencanakan,
memperoleh, dan menyediakan informasi yang
sangat diperlukan untuk membuat alternatif-
alternatif keputusan.

19 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
E. Persamaan, Perbedaan, dan Hubungan
Penilaian, Tes, Pengukuran dengan Evaluasi.

1. Persamaan dan perbedaan asesmen dengan


evaluasi
Kegiatan asesmen lebih ditekankan pada
penilaian proses. Sementara itu evaluasi lebih
ditekankan pada hasil belajar. Kegiatan penilaian
dapat dilihat sebagai bagian dari kegiatan evaluasi.
Kegiatan penilaian lebih berpihak kepada
kepentingan siswa. Siswa dalam hal ini
menggunakan hasil asesmen untuk merefleksikan
kekuatan, kelemahan, dan perbaikan belajar untuk
dapat meningkatkan kompetensi yang dimilikinya.
Sedangkan evaluasi lebih fokus pada ketercapaian
indikator pembelajaran yang telah ditentukan
sebelumnya.
Evaluasi merupakan penilaian program
pendidikan secara menyeluruh. Evaluasi pendidikan
lebih bersifat makro, meluas, dan menyeluruh.
Evaluasi program menelaah komponen-komponen

20 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
yang saling berkaitan tentang perencanaan,
pelaksanaan, dan pemantauan. Sementara itu
asesmen merupakan penilaian dalam scope yang
lebih sempit (mikro) bila dibandingkan dengan
evaluasi.
Perbedaan antara asesmen dan evaluasi
dapat pula ditinjau posisinya dalam pembelajaran.
Evaluasi cenderung menggunakan kriteria dan
metode yang bervariasi, termasuk didalamnya
terdapat asesmen. Asesmen dalam hal ini hanya
merupakan salah satu dari metode yang dipilih
untuk evaluasi tersebut. Selain dari itu, subyek
untuk asesmen hanya siswa, sementara itu subyek
evaluasi lebih luas dan beragam seperti siswa,
guru, materi, organisasi, dll.
Ranah sebuah asesmen hanya mencakup
kompetensi lulusan dan perbaikan cara belajar
siswa. Jadi hubungannya lebih pada peserta didik.
Ruang lingkup evaluasi yang lebih luas ditunjukkan
dengan cakupannya yang meliputi isi atau
substansi, proses pelaksanaan program pendidikan,

21 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
kompetensi lulusan, pengadaan dan peningkatan
tenaga kependidikan, manajemen pendidikan,
sarana dan prasarana, dan pembiayaan.
Persamaannya adalah keduanya mempunyai
pengertian menilai atau menentukan nilai sesuatu.
Di samping itu, alat yang digunakan untuk
mengumpulkan datanya juga sama. Sedangkan
perbedaannya terletak pada ruang lingkup (scope)
dan pelaksanaannya. Ruang lingkup penilaian lebih
sempit dan biasanya hanya terbatas pada salah
satu komponen atau aspek saja, seperti prestasi
belajar peserta didik. Pelaksanaan penilaian
biasanya dilakukan dalam konteks internal, yakni
orang-orang yang menjadi bagian atau terlibat
dalam sistem pembelajaran yang bersangkutan.
Misalnya, guru menilai prestasi belajar peserta
didik, supervisor menilai kinerja guru, dan
sebagainya. Ruang lingkup evaluasi lebih luas,
mencakup semua komponen dalam suatu sistem
baik sistem pendidikan, sistem kurikulum, Maupun
sistem pembelajaran dan dapat dilakukan tidak

22 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
hanya oleh pihak internal (evaluasi internal) tetapi
juga oleh pihak eksternal (evaluasi eksternal),
seperti konsultan mengevaluasi suatu program.

2. Persamaan dan Perbedaan Tes dengan


Pengukuran
Pengukuran dan Tes dalam pendidikan
berperan dalam seleksi, penempatan, diagnosa,
remedial, umpan balik, memotivasi dan
membimbing. Baik tes maupun pengukuran
keduanya terkait dan merupakan bagian dari
kegiatan yang dapat dilakukan dalam pembelajaran.
Setiap butir pertanyaan atau tugas dalam tes
harus selalu direncanakan dan mempunyai jawaban
atau ketentuan yang dianggap benar. Sementara
itu tugas ataupun pertanyaan dalam kegiatan
pengukuran (measurement) tidak selalu memiliki
jawaban atau cara pengerjaan yang benar atau
salah. Pengukuran dapat dilakukan melalui alat
ukur non-tes. maka tugas atau pertanyaan tersebut
bukanlah tes. Selain dari itu, tes mengharuskan

23 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
subyek untuk menjawab atau mengerjakan tugas,
sementara itu pengukuran tidak selalu menuntut
jawaban atau pengerjaan tugas.
Tes merupakan salah satu alat (instrument)
pengukuran. Pengukuran lebih membatasi kepada
gambaran yang bersifat kuantitatif (angka-angka)
tentang kemajuan belajar peserta didik (learning
progress. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tes
meruapakan salah satu bagian dari kegiatan
pengukuran.

3. Hubungan antara Penilaian, Evaluasi,


Pengukuran, dan Tes
Evaluasi belajar baru dapat dilakukan dengan
baik dan benar apabila menggunakan informasi
yang diperoleh melalui pengukuran yang
menggunakan tes sebagai alat ukurnya. Akan tetapi
tentu saja tes hanya merupakan salah satu alat
ukur yang dapat digunakan karena informasi
tentang hasil belajar tersebut dapat pula diperoleh

24 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
tidak melalui tes, misalnya menggunakan alat ukur
non tes seperti observasi, skala rating, dan lain-lain.
Hubungan antara asesmen dan evaluasi,
Gabel (1993) mengungkapkan bahwa evaluasi
merupakan proses pemberian penilaian terhadap
data atau hasil yang diperoleh melalui asesmen.
Hubungan antara asesmen, evaluasi, pengukuran,
dan testing dalam digambarkan sebagai berikut.

Gambar 1. Penilaian, Evaluasi, Pengukuran, dan Tes

4. Kedudukan Penilaian Dalam Pembelajaran


Kata dasar “pembelajaran” adalah belajar.
Dalam arti sempat pembelajaran dapat diartikan

25 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
sebagai suatu proses atau cara yang dilakukan agar
seseorang dapat melakukan kegiatan belajar.
Sedangkan belajar adalah suatu proses perubahan
tingkah laku karena interaksi individu dengan
lingkungan dan pengalaman.
Pembelajaran (instruction) berbeda dengan
istilah “pengajaran” (teaching). Kata “pengajaran”
lebih bersifat formal dan hanya ada di dalam
konteks guru dengan peserta didik di kelas,
sedangkan kata “pembelajaran” tidak hanya ada
dalam konteks guru dengan peserta didik di kelas
secara formal, tetapi juga meliputi kegiatan-
kegiatan belajar peserta didik di luar kelas yang
mungkin saja tidak dihadiri oleh guru secara fisik.
Kata “pembelajaran” lebih menekankan pada
kegiatan belajar peserta didik (child-centered)
secara sungguh-sungguh yang melibatkan aspek
intelektual, emosional, dan sosial, sedangkan kata
“pengajaran” lebih cenderung pada kegiatan
mengajar guru (teacher-centered) di kelas.

26 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Dengan demikian, kata “pembelajaran”
ruang lingkupnya lebih luas daripada kata
“pengajaran”. Dalam arti luas, pembelajaran adalah
suatu proses atau kegiatan yang sistematis dan
sistemik, yang bersifat interaktif dan komunikatif
antara pendidik (guru) dengan peserta didik,
sumber belajar dan lingkungan untuk menciptakan
suatu kondisi yang memungkinkan terjadinya
tindakan belajar peserta didik, baik di kelas maupun
di luar kelas, dihadiri guru secara fisik atau tidak,
untuk menguasai kompetensi yang telah
ditentukan.
Setelah pembelajaran berproses, tentu Anda
perlu mengetahui keefektifan dan efisiensi semua
komponen yang ada dalam proses pembelajaran.
Untuk itu, Anda harus melakukan kegiatan penilaian
pembelajaran. Begitu juga ketika peserta didik
selesai mengikuti proses pembelajaran, tentu
mereka ingin mengetahui sejauhmana hasil yang
dicapai. Untuk itu, Anda harus melakukan penilaian
hasil belajar.

27 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Dalam pembelajaran terdapat proses sebab-
akibat. Guru yang mengajar merupakan penyebab
utama atas terjadinya tindakan belajar peserta
didik, meskipun tidak setiap tindakan belajar
peserta didik merupakan akibat guru mengajar.
Oleh karena itu, Anda sebagai “figur sentral”, harus
mampu menetapkan strategi pembelajaran yang
tepat, sehingga dapat mendorong tindakan belajar
peserta didik yang aktif, kreatif, efektif, produktif,
efisien, dan menyenangkan.
Dalam proses pembelajaran, Anda harus
dapat menciptakan kondisi-kondisi yang
memungkinkan terjadinya kegiatan belajar peserta
didik. Kondisi-kondisi yang dimaksud antara lain :
memberi tugas, melakukan diskusi, tanya-jawab,
mendorong siswa untuk berani mengemukakan
pendapat. Kegiatan tersebut dapat dijadikan
sebagai sarana untuk melakukan kegiatan penilaian
(assesment).

28 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
RANGKUMAN

Penilaian adalah suatu proses atau kegiatan


yang berkesinambungan untuk pengumpulan
informasi dalam rangka membuat keputusan-
keputusan berdasarkan kriteria dan pertimbangan
tertentu. Tes merupakan serangkaian tugas yang
harus dilakukan atau soal-soal yang harus dijawab
oleh peserta didik. Pengukuran mengacu kepada
suatu proses atau kegiatan untuk menentukan
kuantitas daripada sesuatu.
Antara penilaian dan evaluasi sebenarnya
memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya
adalah keduanya mempunyai pengertian menilai
atau menentukan nilai sesuatu. Di samping itu, alat
yang digunakan untuk mengumpulkan datanya juga
sama. Sedangkan perbedaannya terletak pada
ruang lingkup (scope) dan pelaksanaannya.
Evaluasi dan penilaian lebih bersifat komprehensif
yang meliputi pengukuran, sedangkan tes
merupakan salah satu alat (instrument)

29 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
pengukuran. Pengukuran lebih membatasi kepada
gambaran yang bersifat kuantitatif (angka-angka)
tentang kemajuan belajar peserta didik (learning
progress), sedangkan evaluasi dan penilaian lebih
bersifat kualitatif.
Pembelajaran adalah suatu proses atau
kegiatan yang sistematis dan sistemik, yang bersifat
interaktif dan komunikatif antara pendidik (guru)
dengan peserta didik, sumber belajar dan
lingkungan untuk menciptakan suatu kondisi yang
memungkinkan terjadinya tindakan belajar peserta
didik, baik di kelas maupun di luar kelas, dihadiri
guru secara fisik atau tidak, untuk menguasai
kompetensi yang telah ditentukan. Kegiatan
penilaian memiliki peran kunci dalam keberhasilan
pembelajaran, karena dengan penilaian yang tepat
maka dapat digunakan sebagai sarana untuk
meningkatkan kemampuan berpikir siswa atau
peserta didik.

30 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
BAB II
PENILAIAN BERBASIS HOTS
(HIGHER ORDER THINKING SKILLS)

Penyempurnaan kurikulum 2013 antara lain


pada standar isi diperkaya dengan kebutuhan
peserta didik untuk berpikir kritis dan analitis sesuai
dengan standar internasional, sedangkan pada
standar penilaian memberi ruang pada
pengembangan instrumen penilaian yang mengukur
berpikir tingkat tinggi. Penilaian hasil belajar
diharapkan dapat membantu peserta didik untuk
meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi
(Higher Order Thinking Skills /HOTS), karena
berpikir tingkat tinggi dapat mendorong peserta
didik untuk berpikir secara luas dan mendalam
tentang materi pelajaran.
Penilaian berorientasi HOTS bukanlah sebuah
bentuk penilaian yang baru bagi guru dalam
melakukan penilaian. Tetapi penilaian berorientasi
HOTS ini memaksimalkan keterampilan guru dalam

31 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
melakukan penilaian. Guru dalam penilaian ini harus
menekankan pada penilaian sikap, pengetahuan
dan keterampilan yang bisa meningkatkan
keterampilan peserta didik dalam proses
pembelajaran berorientasi HOTS.

A. Sejarah Munculnya HOTS


Dewasa ini berbagai studi melaporkan
bahwa untuk menghadapi tantangan dan
perkembangan abad modern ini diperlukan bukan
sekedar pengetahuan konseptual semata,
melainkan keterampilan mengaplikasikan
pengetahuan dan berbagai keterampilan berpikir.
Terkait dengan hal tersebut, Partnership for 21st
Century Skills [P21] (2002) merumuskan beberapa
keterampilan yang selanjutnya disebut sebagai
kecakapan abad 21 atau sering disebut 21st
Century Skills. Beberapa keterampilan yang termuat
dalam kecakapan abad 21 tersebut diantaranya
yaitu kreativitas, keterampilan berpikir kritis dan
pemecahan masalah. Keterampilan-keterampilan

32 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
tersebut sering juga dikenal sebagai cakupan dari
keterampilan berpikir tingkat tinggi. Tuntutan akan
perlunya keterampilan-keterampilan tersebut
berimplikasi pada perlunya peningkatan kualitas
penyelenggaraan pendidikan.
Peningkatan kualitas penyelenggaran
pendidikan ditandai dengan adanya reformasi
kurikulum, termasuk kurikulum matematika.
Sebagai contoh, di Amerika Serikat kurikulum untuk
sekolah menengah secara eksplisit telah memuat
pemecahan masalah, penalaran, komunikasi,
koneksi, dan representasi sebagai bagian dari
cakupan kurikulum (NCTM, 2000). Begitupun
dengan Finlandia yang menempatkan keterampilan
berpikir tingkat tinggi sebagai bagian dari kurikulum
sekolah menengah, yaitu melalui muatan kurikulum
“keterampilan berpikir dan metode berpikir”
(thinking skills and methods) (Finnish National
Board of Education, 2003). Di Indonesia muatan
kurikulum yang berorientasi pada pengembangan
berbagai keterampilan berpikir, khususnya

33 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
keterampilan berpikir tingkat tinggi mulai
diperhatikan dengan diterapkannya Kurikulum
2013. Dengan demikian keterampilan berpikir
tingkat tinggi atau higher order thinking skills
(HOTS) menjadi tujuan utama dalam proses
pembelajaran.
Pada awalnyaa HOTS diperkenalkan oleh
Benjamin S. Bloom dan timnya dalam buku yang
berjudul Taxonomy of Education Objectives: The
Classification of Educational Goals (1956). Buku ini
membagi tingkat pemikiran yang dikenal dengan
konsep Taksonomi Bloom. Berawal dari taksonomi
berpikir Bloom maka mulailah dikembangkan model
penilaian yang tidak hanya menilai kemampuan
berpikir seseorang dari ranah pengetahuan. Ranah
kemampuan berpikir yang diperkenalkan oleh
Bloom menjadi rujukan awal hingga akhirnya mulai
lahir model penilaian dengan berbagai macam
model yang kita dapat jumpai sekarang ini.

34 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
B. Pengertian HOTS
Kemampuan berpikir tingkat tinggi/ Higher
Order Thinking Skills (HOTS) adalah proses berpikir
yang mengharuskan murid untuk memanipulasi
informasi dan ide-ide dalam cara tertentu yang
memberi mereka pengertian dan implikasi baru.
Berpikir tingkat tinggi atau Higher Order Thinking
Skills (HOTS) merupakan cara berpikir yang tidak
lagi hanya menghafal secara verbalistik saja namun
juga memaknai hakikat dari yang terkandung
diantaranya, untuk mampu memaknai makna
dibutuhkan cara berpikir yang integralistik dengan
analisis, sintesis, mengasosiasi hingga menarik
kesimpulan menuju penciptaan ide-ide kreatif dan
produktif.
Para ahli mendefinisikan Higher Order
Thinking Skills (HOTS) atau berpikir tingkat tinggi
dengan pendekatan dan sudut pandang yang
berbeda. Resnick (1987:44) mengemukakan bahwa
HOTS sulit untuk didefinisikan, tetapi mudah
dikenali melalui ciri-cirinya. Lebih lanjut, Resnick

35 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
mengungkapkan beberapa ciri-ciri dari HOTS yaitu:
(a) non-algoritmik, artinya langkah-langkah
tindakan tidak dapat sepenuhnya ditentukan di
awal; (b) kompleks, artinya langkah-langkah tidak
dapat dilihat/ditebak secara langsung dari sudut
pandang tertentu; (c) menghasilkan banyak solusi;
(d) melibatkan perbedaan pendapat dan
interpretasi; (e) melibatkan penerapan kriteria
jamak; (f) melibatkan ketidakpastian; (g) menuntut
kemadirian dalam proses berpikir; (h) melibatkan
pemaknaan yang mengesankan; dan (i)
memerlukan kerja keras (effortfull). Berbagai
karakteristik atau ciri-ciri tersebut dapat
diidentifikasi dalam aktivitas pembelajaran yang
melibatkan berbagai tingkatan proses berpikir
(thinking process level).
Thomas & Thorne (2009) yang menyatakan
bahwa berpikir tingkat tinggi adalah berpikir pada
level yang lebih tinggi dari pada sekedar mengingat
fakta atau menceritakan kembali sesuatu yang
didengar kepada orang lain. Berpikir tingkat tinggi

36 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
menuntut seseorang untuk melakukan sesuatu
terhadap fakta, yaitu memahaminya,
menyimpulkannya, menghubungkannya dengan
fakta dan konsep lain, mengkategorikan,
memanipulasi, menempatkan fakta secara bersama-
sama dalam cara-cara baru, dan menerapkannya
dalam mencari solusi dari masalah.
Senada dengan pendapat tersebut, Lewis &
Smith (1993) menyatakan bahwa berpikir tingkat
tinggi terjadi ketika seseorang memperoleh
informasi baru dan disimpan dalam memori dan
mengaitkan dan atau menata ulang dan
memperluas informasi tersebut untuk mencapai
tujuan atau menemukan kemungkinan jawaban
dalam kondisi yang membingungkan. Dari pendapat
kedua ahli tersebut secara ringkas dapat
disimpulkan bahwa HOTS menuntut adanya proses
berpikir yang lebih kompleks dalam menghadapi
situasi atau memecahkan suatu masalah.
Mengingat tidak ada definisi pasti mengenai
HOTS, sebagian ahli mengaitkan HOTS dengan

37 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
berbagai keterampilan berpikir yang dapat
Pengembangan Perangkat Pembelajaran
Matematika untuk Melatihkan HOTS dilakukan
oleh setiap individu. Keterampilan-keterampilan
berpikir yang dapat dikategorikan sebagai HOTS
menurut para ahli diantaranya adalah keterampilan
berpikir kritis dan berpikir, pemecahan masalah,
berpikir logis, reflektif, dan metakognitif, dan
pengambilan keputusan. Keterampilan-keterampilan
tersebutbukanlah istilah asing dalam proses
pembelajaran, bahkan telah menjadi sasaran dan
bagian dari tujuan pembelajaran disetiap mata
pelajaran.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas,
dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir
tingkat tinggi/ Higher Order Thinking Skills (HOTS)
adalah kemampuan berpikir yang bukan hanya
sekedar mengingat dan menyatakan kembali, akan
tetapi kemampuan berpikir untuk menelaah
informasi secara kritis, kreatif, berkreasi dan
mampu memecahkan masalah.

38 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
C. Taksonomi Berpikir
Berbicara mengenai tujuan pembelajaran,
dalam dunia pendidikan hal tersebut biasanya
mengacu kepada taksonomi tujuan pembelajaran.
Salah satu taksonomi yang paling terkenal yaitu
taksonomi Bloom yang dikemukakan oleh Benjamin
S. Bloom pada tahun 1956 (Bloom, 1956). Jika
dikaitkan dengan proses kognitif dalam taksonomi
Bloom tersebut, istilah HOTS sering dikontraskan
dengan istilah LOTS (Lower Order Thinking Skills).
Proses kognitif analisis (analysis), sintesis
(synthesis), dan evaluasi (evaluation) dikategorikan
sebagai HOTS, sedangkan pengetahuan
(knowledge), pemahaman (comprehension), dan
aplikasi (application) dikategorikan sebagai LOTS
(Fisher, 2010: 375).
Masih terkait pengkategorian HOTS dan
LOTS dalam taksonomi Bloom, pendapat berbeda
dikemukakan oleh Thompson (2008:3) yang
mengkategorikan analisis, sintesis, dan evaluasi
sebagai HOTS, pengetahuan dan pemahaman

39 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
sebagai LOTS, sedangkan aplikasi masuk kategori
HOTS atau LOTS.
Benjamin S. Bloom membagi taksonomi hasil
belajar dalam enam kategori, yaitu (1)
pengetahuan (knowledge), (2) pemahaman
(comprehension), (3) penerapan (application), (4)
analisis (analysis), (5) sintesis (synthesis), dan (6)
evaluasi (evaluation). Tingkat pemahaman peserta
didik dianggap berjenjang dengan tingkat paling
rendah (C1) pengetahuan atau mengingat, sampai
tingkat paling tinggi (C6) evaluasi (Sani, 2016:
103).
Revisi taksonomi yang dilakukan oleh
Krathwol dan Anderson mendeskripsikan perbedaan
antara proses kognitif dengan dimensi pengetahuan
(pengetahuan faktual, pengetahuan konseptual,
pengetahuan prosedural, dan pengetahuan
metagoknitif) (Sani, 2016: 104). Revisi taksonomi
tersebut memberikan gambaran bahwa yang
termasuk dalam kemampuan berpikir tingkat
rendah yaitu mengingat, memahami dan

40 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
mengaplikasikan. Sedangkan, yang termasuk dalam
kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah
menganalisis, mengevaluasi dan mencipta. Hal
tersebut sesuai dengan dimensi proses kognitif
yang semakin meningkat dari mengingat sampai
mencipta. Adapun klasifikasi HOTS pada masing-
masing dimensi dalam taksnomoni Bloom revisi
dapat dilihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1. HOTS dalam Taksonomi Bloom Revisi

Mengacu kepada Tabel 1.1, dapat dipahami


bahwa pengkategorian HOTS yang lebih modern
tidak lagi hanya melibatkan satu dimensi (dimensi
proses kognitif saja), tetapi HOTS merupakan irisan
antara tiga komponen dimensi proses kognitif

41 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
teratas (menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta)
dan tiga komponen dimensi pengetahuan tertinggi
(konseptual, prosedural, dan metakognitif). Dengan
kata lain indikator pembelajaran di luar irisan
tersebut dalam taksonomi Bloom revisi tidak dapat
dianggap sebagai HOTS. Sebagai contoh, indikator
pembelajaran yang memuat proses kognitif
mengevalusi (memeriksa, mengkritisi), tetapi pada
dimensi pengetahuan berada pada level faktual
(penggunaan lambang, simbol, notasi), bukan
merupakan indikator dari HOTS. Hal tersebut
karena level faktual pada dimensi pengetahuan
tidak termasuk bagian dari HOTS. Masing-masing
komponen dalam proses kognitif dan level dimensi
pengetahuan yang merupakan bagian dari HOTS
akan diuraikan sebagai berikut.
1. Menganalisis (analyzing)
Menganalisis meliputi kemampuan untuk
memecah suatu kesatuan menjadi bagian-
bagian dan menentukan bagaimana bagian-
bagian tersebut dihubungkan satu dengan yang

42 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
lain atau bagian tersebut dengan
keseluruhannya (Anderson & Krathwohl, 2001).
Analisis menekankan pada kemampuan
merinci sesuatu unsur pokok menjadi bagian-
bagian dan melihat hubungan antar bagian
tersebut. Pada tingkat analisis, seseorang akan
mampu menganalisis informasi yang masuk dan
membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke
dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali
pola atau hubungannya dan mampu mengenali
serta membedakan faktor penyebab dan akibat
dari sebuah skenario yang rumit.
Kategori menganalisis terdiri kemampuan
membedakan (differentiating), mengorganisasi
(organizing), dan mengatribusikan (attributing)
(Anderson & Krathwohl, 2001). Membedakan
meliputi kemampuan membedakan bagian-
bagian dari keseluruhan struktur dalam bentuk
yang sesuai. Membedakan terjadi sewaktu siswa
mendeskriminasikan informasi yang relevan dan
tidak relevan, yang penting dan tidak penting,

43 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
kemudian memperhatikan informasi yang
relevan dan penting. Membedakan berbeda
dengan proses-proses kognitif dalam kategori
memahami, karena membedakan melibatkan
proses mengorganisasi secara struktural dan
menentukan bagaimana bagian-bagian sesuai
dengan struktur keseluruhannya.
Mengorganisasi meliputi kemampuan
mengidentifikasi unsur-unsur secara bersama-
sama menjadi struktur yang saling terkait.
Proses mengorganisasi terjadi ketika siswa
membangun hubungan-hubungan yang
sistematis dan koheren (terkait) antar potongan
informasi. Mengorganisasi juga biasanya terjadi
bersamaan dengan proses membedakan. Siswa
mula-mula mengidentifikasi elemen-elemen
yang relevan atau penting dan kemudian
menentukan sebuah struktur yang terbentuk
dari elemen-elemen itu. Mengorganisasi juga
bisa terjadi bersamaan dengan proses
mengatribusikan, yang fokusnya adalah

44 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
menentukan tujuan atau sudut pandang
seseorang. Mengatribusikan adalah kemampuan
siswa untuk menyebutkan tentang sudut
pandang, bias, nilai atau maksud dari suatu
masalah yang diajukan. Mengatribusikan
membutuhkan pengetahuan dasar yang lebih
agar dapat menarik kesimpulan atau maksud
dari inti permasalahan yang diajukan.
Mengatribusikan juga melibatkan proses
dekonstruksi, yang didalamnya siswa
menentukan tujuan dari suatu permasalahan
yang diberikan oleh guru.

2. Mengevaluasi (evaluate)
Mengevaluasi didefinisikan sebagai
kemampuan melakukan judgement berdasar
pada kriteria dan standar tertentu (Anderson &
Krathwohl, 2001). Kriteria sering digunakan
untuk menentukan kualitas, efektifitas, efisiensi,
dan konsistensi, sedangkan standar digunakan
dalam menentukan kuantitas maupun kualitas.

45 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Evaluasi mencakup kemampuan untuk
membentuk suatu pendapat mengenai sesuatu
atau beberapa hal, bersama dengan
pertanggungjawaban pendapat itu yang
berdasar pada kriteria tertentu. Adanya
kemampuan ini dinyatakan dengan memberikan
penilaian terhadap sesuatu. Kategori menilai
terdiri dari memeriksa (checking) dan
mengkritisi (critiquing) (Anderson & Krathwohl,
2001).
Memeriksa adalah kemampuan untuk
menguji konsistensi internal atau kesalahan
pada operasi atau hasil serta mendeteksi
keefektifan prosedur yang digunakan. Jika
dipadukan dengan dengan merencanakan
(proses kognitif dalam kategori mencipta) dan
mengimplementasikan (proses kognitif dalam
kategori mengaplikasikan), memeriksa
melibatkan proses menentukan seberapa baik
rencana itu berjalan. Mengkritisi adalah
kemampuan memutuskan hasil atau operasi

46 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
berdasarkan kriteria dan standar tertentu, dan
mendeteksi apakah hasil yang diperoleh
berdasarkan suatu prosedur menyelesaikan
suatu masalah mendekati jawaban yang benar.
Proses mengkritik terjadi ketika siswa mencatat
ciri-ciri positif dan negatif dari suatu produk dan
membuat keputusan, setidaknya sebagian
berdasarkan ciri-ciri tersebut. Mengkritik
merupakan inti dari apa yang disebut berpikir
kritis.

3. Mencipta (create)
Mencipta dapat didefinisikan sebagai
menggeneralisasi ide baru, produk atau cara
pandang yang baru dari sesuatu kejadian
(Anderson & Krathwohl, 2001). Mencipta juga
dapat diartikan sebagai meletakkan beberapa
elemen dalam satu kesatuan yang menyeluruh
sehingga terbentuklah dalam satu bentuk yang
koheren atau fungsional. Siswa dikatakan
mampu mencipta jika dapat membuat produk

47 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
baru dengan merombak beberapa elemen atau
bagian kedalam bentuk atau stuktur yang belum
pernah dijelaskan oleh guru sebelumnya.
Proses mencipta umumnya berhubungan
dengan pengalaman belajar siswa yang
sebelumnya. Meskipun mencipta mengharuskan
cara berpkir kreatif, namun mencipta bukanlah
ekspresi kreatif yang bebas sama sekali
sehingga membuat orang lain kesulitan untuk
melakukan atau memahaminya. Proses
mencipta dapat dipecah menjadi tiga fase, yaitu
merumuskan/membuat hipotesis (generating),
merencanakan (planing), dan memproduksi
(producing) (Anderson & Krathwohl, 2001).
Merumuskan atau membuat hipotesis,
melibatkan proses menggambarkan masalah
dan membuat pilihan yang memenuhi kriteria-
kriteria tertentu. Sering kali, cara
menggambarkan masalah adalah dengan
menunjukkan bagaimana solusi-solusinya, dan
merumuskan ulang atau mengambarkan

48 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
kembali masalahnya dan menunjukkan solusi-
solusi yang berbeda. Ketika merumuskan
melampaui batas-batas pengetahuan lama dan
teori-teori yang ada, poses-proses kognitif ini
melibatkan proses berpikir divergen dan menjadi
inti dari berpikir kreatif. Merencanakan
melibatkan proses merencanakan metode
penyelesaian suatu masalah yang sesuai dengan
kriteria masalahanya. Merencanakan adalah
mempraktikan langkah untuk menciptakan solusi
yang nyata bagi suatu masalah. Proses
merencanakan dapat terjadi ketika siswa dapat
menentukan sub-sub tujuan, atau merinci tugas
menjadi sub-sub tugas yang harus dilakukan
ketika menyelesaikan masalahnya.
Memproduksi seyogyanya melibatkan proses
melaksanakan rencana untuk menyelesaikan
suatu masalah yang memenuhi spesifikasi
tertentu. Tujuan-tujuan dalam kategori
mencipta, bisa atau bisa pula tidak memasukkan
orisinalitas atau kekhasan sebagai salah satu

49 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
spesifikasinya, sedangkan tujuan yang
memasukkan orisinalitas atau kekhasan
merupakan tujuan dari memproduksi.

D. Level Pengetahuan HOTS


Kita telah memahami bahwa HOTS paling
mudah diidentifikasi melalui taksonomi Bloom.
Dengan adanya taksonomi Bloom revisi yang
dikemukan oleh Anderson & Krathwohl (2001), kita
dapat dengan mudah merumuskan indikator HOTS
dalam pembelajaran. Dalam taksonomi Bloom revisi
tersebut, dimensi proses kognitif dipandang sebagai
kata kerja (verb) yang berfungsi untuk
menggambarkan proses tertentu, sedangkan
dimensi pengetahuan dipandang sebagai kata
benda (noun) yang berfungsi sebagai objek dari
proses yang dilakukan. Adanya kedua komponen
tersebut (verb dan noun) menjadi alasan mengapa
merumuskan indikator dalam taksonomi Bloom
revisi menjadi lebih mudah.

50 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Jika kita cermati kembali terkait proses kognitif
yang masuk kategori HOTS yaitu menganalisis,
mengevaluasi, dan mencipta, maka kita dapat
mengkategorikan bahwa menganalisis dan
mengevaluasi merupakan bagian dari berpikir kritis,
sedangkan mencipta merupakan bagian dari
berpikir kreatif. Menganalisis dan mengevaluasi
merupakan bagian dari berpikir kritis didasarkan
pada penjabaran definisi berpikir kritis yaitu sebagai
proses melakukan penilaian berdasarkan bukti.
Mencipta dapat dianggap sebagai bagian dari
berpikir kreatif sesuai dengan pendapat para ahli
bahwa berpikir kreatif merupakan proses untuk
menghasilkan produk/ide/sesuatu yang baru.
Berikut penjabaran level pengetahuan dalam
kerangka berpikir HOTS.

1. Pengetahuan Faktual
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa
pengetahuan faktual tidak masuk dalam HOTS.
Level faktual merupakan level paling rendah

51 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
pada dimensi pengetahuan dalam taksonomi
Bloom revisi, dimana pada level ini pengetahuan
hanya meliputi elemen-elemen dasar yang harus
diketahui siswa ketika akan mempelajari disiplin
ilmu (Anderson & Krathwohl, 2001).
Elemen-elemen dasar yang dimaksud
meliputi pengetahuan tentang terminologi
(definisi), label, lambang, notasi, ataupun
simbol, baik verbal maupun nonverbal. Hal inilah
yang menjadi alasan mengapa pengetahuan
faktual tidak dapat menjadi bagian dari HOTS,
karena pengetahuan pada level ini tidak
memungkinkan terjadinya proses berpikir yang
lebih kompleks (seperti menganalisis,
mengevaluasi, mencipta) dan hanya bersifat
hafalan serta merupakan hasil kesepakatan yang
tidak dapat dieksplorasi lebih lanjut.

2. Pengetahuan Konseptual
Level yang lebih tinggi dari pengetahuan
faktual yaitu pengetahuan konseptual.

52 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Pengetahuan konseptual mencakup
pengetahuan tentang kategori, klasifikasi, dan
hubungan antara dua atau lebih katgeori atau
klasifikasi pengetahuan yang kompleks dan
tertata (Anderson & Krathwohl, 2001).
Pengetahuan konseptual terdiri dari tiga sub
jenis, yaitu pengetahuan tentang klasifikasi dan
kategori; pengetahuan tentang prinsip dan
generalisasi; dan pengetahuan tentang teori,
model, dan struktur. Pengetahuan tentang
klasifikasi dan kategori meliputi kategori, kelas,
divisi, dan susunan yang spesifik dalam disiplin
ilmu. Pengetahuan diperlukan untuk
menstrukturkan dan mensistematiskan suatu
fenomena terkait disiplin ilmu yang dipelajari.
Pengetahuan tentang prinsip dan
generalisasi dibentuk oleh klasifikasi dan
kategori dan umumnya merupakan bagian yang
dominan dalam sebuah disiplin ilmu, serta
digunakan untuk mengkaji fenomena atau
menyelesaikan masalah-masalah dalam disiplin

53 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
ilmu tersebut. Pengetahuan ini mencakup
pengetahuan tentang abstraksi-abstraksi
tertentu yang meringkas hasil-hasil pengamatan
terhadap suatu fenomena. Pengetahuan tentang
teori, model, dan struktur meliputi pengetahuan
tentang berbagai paradigma (pandangan
mendasar), epistimologi (hakikat), teori, dan
model yang digunakan dalam disiplin ilmu untuk
mendeskripsikan, memahami, menjelaskan, dan
memprediksi suatu fenomena.

3. Pengetahuan Prosedural
Level ketiga dari dimensi pengetahuan yaitu
pengetahuan prosedural. Pengetahuan
prosedural ditandai dengan pertanyaan
“bagaimana”, sehingga dapat dikatakan bahwa
pengetahuan ini melibatkan beragam proses
(Anderson & Krathwohl, 2001).
Esensi pengetahuan prosedural meliputi
pengetahuan tentang bagaimana melakukan
sesuatu menggunakan algoritma tertentu,

54 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
mempraktikkan metode-metode tertentu untuk
menyelesaikan masalah, dan memilih prosedur
yang tepat berdasarkan kritria-kriteria tertentu.
Kata kunci dalam pengetahuan prosedural yaitu
bersifat algoritmik, yaitu menggunakan proses
atau langkah-langkah tertentu dalam
menyelesaikan suatu permasalahan atau
mengkaji fenomena dalam disiplin ilmu tertentu.
Keterampilan pemecahan masalah merupakan
salah satu contoh dari pengetahuan prosedural.

4. Pengetahuan Metakognitif
Level tertinggi dari dimensi pengetahuan
yaitu pengetahuan metakognitif. Istilah
metakognitif memiliki makna tidak hanya
sebatas kognitif atau berpikir saja, tapi satu
tingkat lebih tinggi dari berpikir atau biasa
disebut dengan thinking about thinking yang
artinya berpikir tentang proses berpikir itu
sendiri. Dari sini dapat dipahami bahwa
metakognitif adalah sebuah kemampuan

55 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
manusia untuk mengendalikan atau memantau
pikiran, kalau diterapkan dalam dunia
pendidikan bahasa aplikasinya metakognitif
merupakan kemampuan peserta didik atau
siswa dalam memonitor (mengawasi),
merencanakan serta mengevaluasi sebuah
proses pembelajaran. Pengetahuan metakognitif
terdiri dari tiga yaitu pengetahuan yang
berkaitan dengan strategi; pengetahuan yang
berkaitan dengan tugas; dan pengetahuan
tentang diri sendiri (Anderson & Krathwohl,
2001).
Pengetahuan yang berkaitan dengan strategi
mengacu pada pengetahuan tentang strategi
untuk belajar, strategi berpikir serta strategi
pemecahan masalah. Pengetahuan metakognitif
tentang tugas adalah pengetahuan tentang
kapan menggunakan strategi belajar, berpikir,
dan pemecahan masalah pada kondisi dan
konteks yang tepat. Pengetahuan metakognitif
tugas merupakan pengetahuan yang

56 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
menyatakan bahwa tugas yang berbeda dapat
lebih atau kurang sulit dan mungkin
memerlukan strategi kognitif yang berbeda.
Pengetahuan metakognitif diri berkaitan
dengan kekuatan dan kelemahan diri. Dengan
kata lain pengetahuan metakognitif dapat
ditandai dengan adanya pengetahuan untuk
melakukan refleksi terhadap proses
pembelajaran yang telah dilalui.
Sebagai salah satu contoh siswa diminta
untuk membuat peta konsep terkait materi-
materi yang telah dipelajarinya. Peta konsep
tersebut dapat dijadikan bahan refleksi tentang
sejauh mana pemahanan dan penguasaan siswa
terhadap materi yang telah dipelajari.

57 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
RANGKUMAN

Penilaian berorientasi HOTS bukanlah sebuah


bentuk penilaian yang baru bagi guru dalam
melakukan penilaian. Tetapi penilaian berorientasi
HOTS ini memaksimalkan keterampilan guru dalam
melakukan penilaian. Guru dalam penilaian ini harus
menekankan pada penilaian sikap, pengetahuan
dan keterampilan yang bisa meningkatkan
keterampilan peserta didik dalam proses
pembelajaran berorientasi HOTS.
Pada awalnyaa HOTS diperkenalkan oleh
Benjamin S. Bloom dan timnya dalam buku yang
berjudul Taxonomy of Education Objectives: The
Classification of Educational Goals (1956). Buku ini
membagi tingkat pemikiran yang dikenal dengan
konsep Taksonomi Bloom. Berawal dari taksonomi
berpikir Bloom maka mulailah dikembangkan model
penilaian yang tidak hanya menilai kemampuan
berpikir seseorang dari ranah pengetahuan. Ranah
kemampuan berpikir yang diperkenalkan oleh

58 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Bloom menjadi rujukan awal hingga akhirnya mulai
lahir model penilaian dengan berbagai macam
model yang kita dapat jumpai sekarang ini.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi/ Higher
Order Thinking Skills (HOTS) adalah kemampuan
berpikir yang bukan hanya sekedar mengingat dan
menyatakan kembali, akan tetapi kemampuan
berpikir untuk menelaah informasi secara kritis,
kreatif, berkreasi dan mampu memecahkan
masalah.
Revisi dilakukan terhadap taksonomi Bloom
sebgai bentuk penyempurnaan terhadap perubahan
lingkungan. Taksonomi setelah revisi memberikan
gambaran bahwa yang termasuk dalam
kemampuan berpikir tingkat rendah yaitu
mengingat, memahami dan mengaplikasikan.
Sedangkan, yang termasuk dalam kemampuan
berpikir tingkat tinggi adalah menganalisis,
mengevaluasi dan mencipta. Hal tersebut sesuai
dengan dimensi proses kognitif yang semakin
meningkat dari mengingat sampai mencipta.

59 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Revisi taksonomi tersebut memberikan
gambaran bahwa yang termasuk dalam
kemampuan berpikir tingkat rendah yaitu
mengingat, memahami dan mengaplikasikan.
Sedangkan, yang termasuk dalam kemampuan
berpikir tingkat tinggi adalah menganalisis,
mengevaluasi dan mencipta. Hal tersebut sesuai
dengan dimensi proses kognitif yang semakin
meningkat dari mengingat sampai mencipta.

60 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
BAB III
MENYUSUN SOAL HOTS

Soal HOTS merupakan istilah yang sudah


sering muncul dalam proses pembelajaran di
Sekolah. Soal tersebut membutuhkan penyelesaian
yang didasarkan pada sebuah konstruksi pemikiran
dan pemahaman bermakna akan konsep yang
diujikan, jika siswa hanya sekedar mengetahui
konsep namun tidak dapat mengkonstruksi dan
memahami konsep dengan benar, maka sudah
dipastikan siswa tersebut akan mengalami kesulitan
jika mendapatkan soal tipe HOTS.
Proses konstruksi pemikiran dan pemahaman
akan sebuah konsep perlu dibiasakan dalam
pembelajaran di Kelas, proses pembelajaran yang
diberikan di Kelas sebaiknya tidak hanya sekedar
transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Lebih
dari itu, proses pembelajaran di Kelas perlu
dirancang agar siswa mampu membangun dan
menemukan konsep melalui proses pemikiran yang

61 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
kritis dan konstruktif. Pembelajaran yang dirancang
seperti ini akan menjadi langkah pembiasaan bagi
siswa dalam menghadapi soal-soal tipe HOTS.
Pembiasaan mengajak siswa berpikir kritis
dan konstruktif dapat dilakukan dengan
memberikan berbagai teks atau wacana yang
berkaitan dengan konsep yang dipelajari. Teks atau
wacana yang diberikan dalam pembelajaran
tersebut selanjutnya dianalisis oleh siswa dengan
dituntun oleh berbagai pertanyaan dari guru.
Pemberian teks atau wacana dalam pembelajaran di
kelas diharapkan menjadi bekal siswa untuk
menghadapi soal-soal tipe HOTS yang memiliki
karakteristik selalu memuat teks atau wacana
dalam setiap soalnya. Jika siswa tidak dibiasakan
mebaca teks atau wacana, maka kemungkinan
akan mengalami kesulitan ketika menghadapai soal-
soal tipe HOTS.
Selain dalam proses pembelajaran,
pembiasaan menghadapi soal HOTS juga perlu
dilakukan dalam proses penilaian pembelajaran baik

62 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
dalam ulangan harian maupun ujian lain yang
dilakukan oleh guru. Jika soal-soal tipe HOTS ini
sudah sering diberikan kepada siswa dalam setiap
ulangan atau ujian lain, maka siswa pun akan
terbiasa dan tidak merasa kaget ketika menemukan
soal HOTS dalam USBN dan UNBK.

A. Pengertian Soal HOTS


Banyak praktisi pendidikan yang
mempercayai agar siswa menjadi lulusan unggul
maka harus mampu mengerjakan soal dengan
tingkat kesulitan yang tinggi. Berbagai cara pun
digunakan untuk meningkatkan tingkat kesulitan
soal, sampai tingkat soal yang cukup tinggi yaitu
HOTS atau Higher Order Thinking Skill.
Soal dengan level HOTS memiliki tingkat
kesulitan yang sangat sulit. Mengapa? Soal-soal
HOTS menuntut siswa untuk berpikir kritis dan
komprehensif terhadap soal. Bahkan untuk soal
pilihan ganda sekalipun, jawaban dari soal HOTS
tidak dapat diterka dengan mudah.

63 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Apa bedanya dengan soal biasa? Soal HOTS
umumnya tidak dapat dikerjakan dengan cara
praktis, namun diperlukan nalar tingkat tinggi dan
bisa menggunakan berbagai rumus dan bahkan
lintas pelajaran.
Soal-soal HOTS merupakan instrumen
pengukuran yang digunakan untuk mengukur
kemampuan berpikir tingkat tinggi, yaitu
kemampuan berpikir yang tidak sekadar mengingat
(recall), menyatakan kembali (restate), atau
merujuk tanpa melakukan pengolahan (recite).
Soal-soal HOTS pada konteks asesmen mengukur
kemampuan: 1) transfer satu konsep ke konsep
lainnya, 2) memproses dan menerapkan informasi,
3) mencari kaitan dari berbagai informasi yang
berbeda-beda, 4) menggunakan informasi untuk
menyelesaikan masalah, dan 5) menelaah ide dan
informasi secara kritis. Meskipun demikian, soal-
soal yang berbasis HOTS tidak berarti soal yang
lebih sulit daripada soal recall.

64 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Dilihat dari dimensi pengetahuan, umumnya
soal HOTS mengukur dimensi metakognitif, tidak
sekadar mengukur dimensi faktual, konseptual,
atau prosedural saja. Dimensi metakognitif
menggambarkan kemampuan menghubungkan
beberapa konsep yang berbeda,
menginterpretasikan, memecahkan masalah
(problem solving), memilih strategi pemecahan
masalah, menemukan (discovery) metode baru,
berargumen (reasoning), dan mengambil keputusan
yang tepat.
Dimensi proses berpikir dalam Taksonomi
Bloom sebagaimana yang telah disempurnakan oleh
Anderson & Krathwohl (2001), terdiri atas
kemampuan: mengetahui (knowing-C1), memahami
(understanding-C2), menerapkan (aplying-C3),
menganalisis (analyzing-C4), mengevaluasi
(evaluating-C5), dan mengkreasi (creating-C6).
Soal-soal HOTS pada umumnya mengukur
kemampuan pada ranah menganalisis (analyzing-
C4), mengevaluasi (evaluating-C5), dan mengkreasi

65 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
(creating-C6). Pada pemilihan kata kerja
operasional (KKO) untuk merumuskan indikator soal
HOTS, hendaknya tidak terjebak pada
pengelompokkan KKO. Sebagai contoh kata kerja
„menentukan‟ pada Taksonomi Bloom ada pada
ranah C2 dan C3.
Dalam konteks penulisan soal-soal HOTS,
kata kerja „menentukan‟ bisa jadi ada pada ranah
C5 (mengevaluasi) apabila untuk menentukan
keputusan didahului dengan proses berpikir
menganalisis informasi yang disajikan pada stimulus
lalu peserta didik diminta menentukan keputusan
yang terbaik. Bahkan kata kerja „menentukan‟ bisa
digolongkan C6 (mengkreasi) bila pertanyaan
menuntut kemampuan menyusun strategi
pemecahan masalah baru. Jadi, ranah kata kerja
operasional (KKO) sangat dipengaruhi oleh proses
berpikir apa yang diperlukan untuk menjawab
pertanyaan yang diberikan.
Pada penyusunan soal-soal HOTS umumnya
menggunakan stimulus.Stimulus merupakan dasar

66 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
untuk membuat pertanyaan.Dalam konteks HOTS,
stimulus yang disajikan hendaknya bersifat
kontekstual dan menarik.Stimulus dapat bersumber
dari isu-isu global seperti masalah teknologi
informasi, sains, ekonomi, kesehatan, pendidikan,
dan infrastruktur.
Stimulus juga dapat diangkat dari
permasalahan-permasalahan yang ada di
lingkungan sekitar satuan pendidikan seperti
budaya, adat, kasus-kasus di daerah, atau berbagai
keunggulan yang terdapat di daerah tertentu.
Kreativitas seorang guru sangat mempengaruhi
kualitas dan variasi stimulus yang digunakan dalam
penulisan soal HOTS.

B. Karakteristik Soal HOTS


Soal-soal HOTS sangat direkomendasikan
untuk digunakan pada berbagai bentuk penilaian
kelas. Untuk menginspirasi guru menyusun soal-
soal HOTS di tingkat satuan pendidikan, berikut ini
dipaparkan karakteristik soal-soal HOTS.

67 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
1. Mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi
The Australian Council for Educational
Research (ACER) menyatakan bahwa
kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan
proses: menganalisis, merefleksi, memberikan
argumen (alasan), menerapkan konsep pada
situasi berbeda, menyusun, menciptakan.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi bukanlah
kemampuan untuk mengingat, mengetahui,
atau mengulang.Dengan demikian, jawaban
soal-soal HOTS tidak tersurat secara eksplisit
dalam stimulus.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi termasuk
kemampuan untuk memecahkan masalah
(problem solving), keterampilan berpikir kritis
(critical thinking), berpikir kreatif (creative
thinking), kemampuan berargumen (reasoning),
dan kemampuan mengambil keputusan
(decision making). Kemampuan berpikir tingkat
tinggi merupakan salah satu kompetensi penting

68 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
dalam dunia modern, sehingga wajib dimiliki
oleh setiap peserta didik.
Kreativitas menyelesaikan permasalahan
dalam HOTS, terdiri atas:
a. kemampuan menyelesaikan permasalahan
yang tidak familiar;
b. kemampuan mengevaluasi strategi yang
digunakan untuk menyelesaikan masalah
dari berbagai sudut pandang yang
berbeda;
c. menemukan model-model penyelesaian
baru yang berbeda dengan cara-cara
sebelumnya.
„Difficulty‟ is NOT same as higher order
thinking. Tingkat kesukaran dalam butir soal
tidak sama dengan kemampuan berpikir tingkat
tinggi. Sebagai contoh, untuk mengetahui arti
sebuah kata yang tidak umum (uncommon word)
mungkin memiliki tingkat kesukaran yang sangat
tinggi, tetapi kemampuan untuk menjawab
permasalahan tersebut tidak termasuk higher

69 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
order thinking skills. Dengan demikian, soal-soal
HOTS belum tentu soal-soal yang memiliki
tingkat kesukaran yang tinggi.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat
dilatih dalam proses pembelajaran di kelas. Oleh
karena itu agar peserta didik memiliki
kemampuan berpikir tingkat tinggi, maka proses
pembelajarannya juga memberikan ruang
kepada peserta didik untuk menemukan konsep
pengetahuan berbasis aktivitas. Aktivitas dalam
pembelajaran dapat mendorong peserta didik
untuk membangun kreativitas dan berpikir kritis.

2. Berbasis permasalahan kontekstual


Soal-soal HOTS merupakan asesmen yang
berbasis situasi nyata dalam kehidupan sehari-
hari, dimana peserta didik diharapkan dapat
menerapkan konsep-konsep pembelajaran di
kelas untuk menyelesaikan masalah.
Permasalahan kontekstual yang dihadapi oleh
masyarakat dunia saat ini terkait dengan

70 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
lingkungan hidup, kesehatan, kebumian dan
ruang angkasa, serta pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam berbagai
aspek kehidupan. Dalam pengertian tersebut
termasuk pula bagaimana keterampilan peserta
didik untuk menghubungkan (relate),
menginterpretasikan (interprete), menerapkan
(apply) dan mengintegrasikan (integrate) ilmu
pengetahuan dalam pembelajaran di kelas untuk
menyelesaikan permasalahan dalam konteks
nyata.
Berikut ini diuraikan lima karakteristik
asesmen kontekstual, yang disingkat REACT.
a. Relating, asesmen terkait langsung
dengan konteks pengalaman kehidupan
nyata.
b. Experiencing, asesmen yang ditekankan
kepada penggalian (exploration),
penemuan (discovery), dan penciptaan
(creation).

71 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
c. Applying, asesmen yang menuntut
kemampuan peserta didik untuk
menerapkan ilmu pengetahuan yang
diperoleh di dalam kelas untuk
menyelesaikan masalah-masalah nyata.
d. Communicating, asesmen yang menuntut
kemampuan peserta didik untuk mampu
mengomunikasikan kesimpulan model
pada kesimpulan konteks masalah.
e. Transfering, asesmen yang menuntut
kemampuan peserta didik untuk
mentransformasi konsep-konsep
pengetahuan dalam kelas ke dalam
situasi atau konteks baru.

Ciri-ciri asesmen kontekstual yang berbasis


pada asesmen autentik, adalah sebagai berikut.
a. Peserta didik mengonstruksi responnya
sendiri, bukan sekadar memilih jawaban
yang tersedia;

72 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
b. Tugas-tugas merupakan tantangan yang
dihadapkan dalam dunia nyata;
c. Tugas-tugas yang diberikan tidak hanya
memiliki satu jawaban tertentu yang
benar, tetapi memungkinkan banyak
jawaban benar atau semua jawaban
benar.
Berikut disajikan perbandingan asesmen
tradisional dan asesmen kontekstual.

Tabel 3.1 Perbandingan asesmen tradisional dan


kontekstual

73 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
3. Menggunakan bentuk soal beragam
Bentuk-bentuk soal yang beragam dalam
sebuah perangkat tes (soal-soal HOTS)
sebagaimana yang digunakan dalam PISA,
bertujuan agar dapat memberikan informasi
yang lebih rinci dan menyeluruh tentang
kemampuan peserta tes. Hal ini penting
diperhatikan oleh guru agar penilaian yang
dilakukan dapat menjamin prinsip
objektif.Artinya hasil penilaian yang dilakukan
oleh guru dapat menggambarkan kemampuan
peserta didik sesuai dengan keadaan yang
sesungguhnya.Penilaian yang dilakukan secara
objektif, dapat menjamin akuntabilitas penilaian.
Terdapat beberapa alternatif bentuk soal
yang dapat digunakan untuk menulis butir soal
HOTS (yang digunakan pada model pengujian
PISA), sebagai berikut.
a. Pilihan ganda

74 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Pada umumnya soal-soal HOTS
menggunakan stimulus yang bersumber
pada situasi nyata. Soal pilihan ganda terdiri
dari pokok soal (stem) dan pilihan jawaban
(option). Pilihan jawaban terdiri atas kunci
jawaban dan pengecoh (distractor). Kunci
jawaban ialah jawaban yang benar atau
paling benar. Pengecoh merupakan jawaban
yang tidak benar, namun memungkinkan
seseorang terkecoh untuk memilihnya
apabila tidak menguasai bahannya/materi
pelajarannya dengan baik. Jawaban yang
diharapkan (kunci jawaban), umumnya tidak
termuat secara eksplisit dalam stimulus atau
bacaan. Peserta didik diminta untuk
menemukan jawaban soal yang terkait
dengan stimulus/bacaan menggunakan
konsep-konsep pengetahuan yang dimiliki
serta menggunakan logika/penalaran.
Jawaban yang benar diberikan skor 1, dan
jawaban yang salah diberikan skor 0.

75 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
b. Pilihan ganda kompleks (benar/salah, atau
ya/tidak)
Soal bentuk pilihan ganda kompleks
bertujuan untuk menguji pemahaman
peserta didik terhadap suatu masalah secara
komprehensif yang terkait antara pernyataan
satu dengan yang lainnya. Sebagaimana soal
pilihan ganda biasa, soal-soal HOTS yang
berbentukpilihan ganda kompleks juga
memuat stimulus yang bersumber pada
situasi kontekstual. Peserta didik diberikan
beberapa pernyataan yang terkait dengan
stilmulus/bacaan, lalu peserta didik diminta
memilih benar/salah atau ya/tidak.
Pernyataan-pernyataan yang diberikan
tersebut terkait antara satu dengan yang
lainnya.Susunan pernyataan benar dan
pernyataan salah agar diacak secara
random, tidak sistematis mengikuti pola
tertentu. Susunan yang terpola sistematis
dapat memberi petunjuk kepada jawaban

76 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
yang benar. Apabila peserta didik menjawab
benar pada semua pernyataan yang
diberikan diberikan skor 1 atau apabila
terdapat kesalahan pada salah satu
pernyataan maka diberi skor 0.

c. Isian singkat atau melengkapi


Soal isian singkat atau melengkapi adalah
soal yang menuntut peserta tes untuk
mengisi jawaban singkat dengan cara
mengisi kata, frase, angka, atau simbol.
Karakteristik soal isian singkat atau
melengkapi adalah sebagai berikut.
1) Bagian kalimat yang harus dilengkapi
sebaiknya hanya satu bagian dalam ratio
butir soal, dan paling banyak dua bagian
supaya tidak membingungkan siswa.
2) Jawaban yang dituntut oleh soal harus
singkat dan pasti yaitu berupa kata, frase,
angka, simbol, tempat, atau waktu.

77 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Jawaban yang benar diberikan skor 1, dan
jawaban yang salah diberikan skor 0.

d. Jawaban singkat atau pendek


Soal dengan bentuk jawaban singkat atau
pendek adalah soal yang jawabannya berupa
kata, kalimat pendek, atau frase terhadap
suatu pertanyaan. Karakteristik soal jawaban
singkat adalah sebagai berikut:
1) Menggunakan kalimat pertanyaan
langsung atau kalimat perintah;
2) Pertanyaan atau perintah harus jelas, agar
mendapat jawaban yang singkat;
3) Panjang kata atau kalimat yang harus
dijawab oleh siswa pada semua soal
diusahakan relatif sama;
4) Hindari penggunaan kata, kalimat, atau
frase yang diambil langsung dari buku
teks, sebab akan mendorong siswa untuk
sekadar mengingat atau menghafal apa
yang tertulis dibuku.

78 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Setiap langkah/kata kunci yang dijawab
benar diberikan skor 1, dan jawaban yang
salah diberikan skor 0.

e. Uraian
Soal bentuk uraian adalah suatu soal yang
jawabannya menuntut siswa untuk
mengorganisasikan gagasan atau hal-hal
yang telah dipelajarinya dengan cara
mengemukakan atau mengekspresikan
gagasan tersebut menggunakan kalimatnya
sendiri dalam bentuk tertulis. Dalam menulis
soal bentuk uraian, penulis soal harus
mempunyai gambaran tentang ruang lingkup
materi yang ditanyakan dan lingkup jawaban
yang diharapkan, kedalaman dan panjang
jawaban, atau rincian jawaban yang mungkin
diberikan oleh siswa.
Ruang lingkup ini menunjukkan kriteria luas
atau sempitnya masalah yang ditanyakan. Di
samping itu, ruang lingkup tersebut harus

79 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
tegas dan jelas tergambar dalam rumusan
soalnya. Dengan adanya batasan sebagai
ruang lingkup soal, kemungkinan terjadinya
ketidakjelasan soal dapat dihindari. Ruang
lingkup tersebut juga akan membantu
mempermudah pembuatan kriteria atau
pedoman penskoran.
Untuk melakukan penskoran, penulis soal
dapat menggunakan rubrik atau pedoman
penskoran. Setiap langkah atau kata kunci
yang dijawab benar oleh peserta didik diberi
skor 1, sedangkan yang salah diberi skor 0.
Dalam sebuah soal kemungkinan banyaknya
kata kunci atau langkah-langkah
penyelesaian soal lebih dari satu. Sehingga
skor untuk sebuah soal bentuk uraian dapat
dilakukan dengan menjumlahkan skor tiap
langkah atau kata kunci yang dijawab benar
oleh peserta didik.

80 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Untuk penilaian yang dilakukan oleh sekolah
seperti Ujian Sekolah (US) bentuk soal HOTS
yang disarankan cukup 2 saja, yaitu bentuk
pilihan ganda dan uraian. Pemilihan bentuk
soal itu disebabkan jumlah peserta US
umumnya cukup banyak, sedangkan
penskoran harus secepatnya dilakukan dan
diumumkan hasilnya.

C. Penyusunan soal HOTS


Untuk menulis butir soal HOTS, penulis soal
dituntut untuk dapat menentukan perilaku yang
hendak diukur dan merumuskan materi yang akan
dijadikan dasar pertanyaan (stimulus) dalam
konteks tertentu sesuai dengan perilaku yang
diharapkan. Selain itu uraian materi yang akan
ditanyakan tidak selalu tersedia di dalam buku
pelajaran. Oleh karena itu dalam penulisan soal
HOTS, dibutuhkan penguasaan materi ajar,
keterampilan dalam menulis kontruksi soal dan
kreativitas guru dalam memilih stimulus soal sesuai

81 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
dengan situasi dan kondisi daerah di sekitar satuan
pendidikan. Berikut dipaparkan langkah-langkah
penyusunan soal-soal HOTS.

1. Menganalisis KD yang dapat dibuat soal-soal


HOTS
Terlebih dahulu guru-guru memilih KD yang
dapat dibuatkan soal-soal HOTS. Tidak semua
KD dapat dibuatkan model-model soal HOTS.
Guru-guru secara mandiri atau melalui forum
KKG/MGMP dapat melakukan analisis terhadap
KD yang dapat dibuatkan soal-soal HOTS.

2. Menyusun kisi-kisi soal


Kisi-kisi penulisan soal-soal HOTS bertujuan
untuk para guru dalam menulis butir soal HOTS.
Secara umum, kisi-kisi tersebut diperlukan untuk
memandu guru dalam:
a. memilih KD yang dapat dibuat soal-soal
HOTS
b. merumuskan IPK

82 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
c. memilih materi pokok yang terkait dengan
KD yang akan diuji
d. merumuskan indikator soal
e. menentukan level kognitif
f. Menentukan bentuk soal dan nomor soal

3. Memilih stimulus yang menarik dan kontekstual


Stimulus yang digunakan hendaknya menarik,
artinya mendorong peserta didik untuk
membaca stimulus. Stimulus yang menarik
umumnya baru, belum pernah dibaca oleh
peserta didik. Sedangkan stimulus kontekstual
berarti stimulus yang sesuai dengan kenyataan
dalam kehidupan sehari-hari, menarik,
mendorong peserta didik untuk membaca.
Dalam konteks Ujian Sekolah, guru dapat
memilih stimulus dari lingkungan sekolah atau
daerah setempat.

83 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
4. Menulis butir pertanyaan sesuai dengan kisi-kisi
soal
Butir-butir pertanyaan ditulis sesuai dengan
kaidah penulisan butir soal HOTS. Kaidah
penulisan butir soal HOTS, agak berbeda
dengan kaidah penulisan butir soal pada
umumnya. Perbedaannya terletak pada aspek
materi, sedangkan pada aspek konstruksi dan
bahasa relatif sama. Setiap butir soal ditulis
pada kartu soal, sesuai format terlampir.

5. Membuat pedoman penskoran (rubrik) atau


kunci jawaban
Setiap butir soal HOTS yang ditulis hendaknya
dilengkapi dengan pedoman penskoran atau
kunci jawaban. Pedoman penskoran dibuat
untuk bentuk soal uraian. Sedangkan kunci
jawaban dibuat untuk bentuk soal pilihan ganda,
pilihan ganda kompleks (benar/salah, ya/tidak),
dan isian singkat.

84 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
D. Contoh Soal HOTS
Dalam penyusunan soal HOTS seorang guru
harus mengetahui modl soal yang ideal. Jangan
sampai ada kesalahan dalam menganggap sebuah
soal yang sebenarnya bukan HOTS, namun
menganggapnya sebagai soal HOTS. Berikut dapat
dicermati beberapa mata pelajaran yang
menggunakan model soal HOTS.

1. Soal HOTS mapel Bahasa Indonesia


Cermati teks berikut!
Teks 1
Seorang kakek hidup serumah bersama
anak, menantu, dan cucu berusia 6 tahun.
Keluarga itu biasa makan malam bersama. Si
kakek yang sudah pikun sering mengacaukan
segalanya. Tangan bergetar dan mata rabunnya
membuat kakek susah menyantap makanan.
Sendok dan garpu kerap jatuh. Saat si kakek
meraih gelas, sering susu tumpah membasahi
taplak. Anak dan menantunya menjadi gusar.

85 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Suami-istri itu lalu menempatkan sebuah meja
kecil di sudut ruangan, tempat sang kakek
makan sendirian. Mereka memberikan mangkuk
melamin yang tidak gampang pecah. Saat
keluarga sibuk dengan piring masing-masing,
sering terdengar ratap kesedihan dari sudut
ruangan. Namun, suami-istri itu jusrtu mengomel
agar si kakek tak menghamburkan makanan lagi.
Sang cucu yang berusia 6 tahun mengamati
semua kejadian di dalam diam. Suatu hari si
ayah memerhatikan anaknya sedang membuat
replika mainan kayu. “Sedang apa, Sayang?”
tanya ayah pada anaknya. “Aku sedang
membuat meja buat ayah dan ibu. Persiapan
buat ayah dan ibu jika aku besar nanti.” Ayah
anak kecil itu langsung terdiam.
Ia berjanji dalam hati, mulai hari itu, kakek akan
kembali diajak makan di meja yang sama. Tak
kan ada lagi omelan saat piring jatuh, makan
tumpah, atau taplak ternoda kuah.

86 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Teks 2
Di kantin sebuah universitas, Udin dan Tono,
dua orang mahasiswa sedang berbincang-
bincang.“Saya heran pada dosen ilmu politik,
kalau ngajar selalu duduk, tidak pernah mau
berdiri,” kata Tono kepada Udin. Udin ogah-
ogahan menjawab pertanyaan Tono. Udin
beranggapan bahwa masalah yang dibicarakan
Tono itu tidak penting. Namun, Tono tetap
meminta agar Udin mau menerka teka-tekinya.
“Barangkali saja, beliau capek atau kakinya tidak
kuat berdiri,” jawab Udin merasa jengah.
Ternyata jawaban Udin masih juga salah.
Menurut Tono, dosen yang juga pejabat itu tidak
bersedia berdiri sebab takut kursinya diambil
orang lain.”

Mendengar pernyataan Tono, Udin menanyakan


apa hubungan antara menjadi dosen dan
pejabat. “Ya, kalau dia berdiri, takut kursinya
diduduki orang lain.” ungkap Tono.

87 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Persamaan kedua teks cerita tersebut adalah . . .
a. Menggunakan sudut pandang orang ketiga
b. Menguraikan watak tokoh kakek dan
dosen yang lugu
c. Konflik tentang masa depan tokoh kakek
dan dosen
d. Latar cerita di rumah tokoh utama
e. Tema cerita tentang kesabaran tokoh
Kunci Jawaban: a

Pembahasan:
Soal di atas termasuk jenis soal HOTS karena
Peserta didik dapat membandingkan isi, pola
penyajian, dan atau bahasa teks.

2. Contoh Soal mapel Matematika

Misal menyatakan himpunan penyelesaian

dari pertidaksamaan

88 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
dan menyatakan himpunan penyelesaian dari

pertidaksamaan Hubungan yang

tepat antara dan adalah ….

Jawaban: B

Pembahasan:

Untuk pertidaksamaan pertama, kuadratkan kedua


ruas sehingga diperoleh

Diperoleh himpunan penyelesaiannya


adalah Namun ekspresi di
dalam akar haruslah non negatif, sehingga

89 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Diperoleh himpunan penyelesaiannya
adalah
Sehingga adalah irisan dari kedua himpunan
penyelesaian tersebut,
yakni

Untuk pertidaksamaan kedua, kuadratkan kedua


ruas sehingga diperoleh

Diperoleh himpunan penyelesaiannya


adalah Namun ekspresi di dalam
akar haruslah non negatif, sehingga

Diperoleh himpunan penyelesaiannya

adalah Sehingga adalah irisan dari


kedua himpunan penyelesaian tersebut,
yakni

90 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Dapat disimpulkan bahwa irisannya adalah
himpunan kosong, yakni

3. Contoh Soal Mapel Geografi


Pada tanggal 21 Juni 2017, Bejo berencana
berangkat bekerja ke Negara Perancis. Kemudian
ia berencana kembali ke Indonesia pada 30
September 2017. Saat kembali ke Indonesia,
sedang musim apakah di Perancis?
a. panas
b. gugur
c. semi
d. kemarau
e. dingin
Kunci Jawaban: b
Pembahasan:
Untuk menjawab soal di atas anak setidaknya
harus punya kemampuan memahami konsep:
1. revolusi bumi
2. gerak semu tahunan matahari

91 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
3. posisi Negara Perancis di dunia

4. Contoh Soal Mapel Ekonomi


Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan
sumber daya alam, bahkan pada tahun 90 an
indonesia sempat mendapatkan penghargaan
swasembada pangan, dimana indonesia mampu
memenuhi kebutuhan seluruh masyarakatnya
tanpa harus melakukan impor, namun saat ini,
Indonesia harus melakukan impor untuk
memenuhi kebutuhan seluruh masyarakatnya
yang semakin banyak. Dari ilustrasi diatas, maka
terjadinya kelangkaan disebabkan oleh faktor….
a. perbedaan letak geografis
b. pertumbuhan penduduk
c. kemampuan produksi
d. sumber daya alam yang terbatas
e. kurangnya sumber daya manusia
Jawaban: b
Pembahasan:

92 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Dari ilustrasi diatas, diketahui bahwa terjadinya
kelangkaan adalah disebabkan oleh Indonesia
harus melakukan impor untuk memenuhi
kebutuhan seluruh masyarakatnya yang semakin
banyak, hal ini mengindikasikan terjadinya
kelangkaan disebabkan semakin banyaknya
masyarakat dan kebutuhannya yang harus
dipenuhi oleh Indonesia, maka faktor yang
melandasi terjadinya kelangkaan adalah faktor
pertumbuhan penduduk.

5. Contoh Soal Mapel Bahasa Inggris


Questions 1 to 3 are based on the following text.

The latest round in an ongoing debate over


global-warming trends claims that warming has
indeed slowed down this century. An obvious
slowing in the rise of global temperatures was
recorded at the beginning of the twenty-first
century. This was referred to as a "hiatus" or a
"pause". This hiatus was first observed several
years ago. Climate-change skeptics have used this
as evidence that global warming has stopped
permanently. But in June the previous year, a
study in science claimed that the hiatus was just

93 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
an artifact which disappears when biases in
temperature data are corrected.

Now a prominent group of researchers is


countering that claim. They argue in Nature
Climate Change that even after correcting these
biases the slowdown was real. "There is this
mismatch between what the climate models are
producing and what the observations are
showing," says lead author John Fyfe. "We can't
ignore it." Fyfe uses the term "slowdown" rather
than "hiatus". He also stresses that it does not in
any way weaken global-warming theory.

The study that questioned the existence of the


slowdown corrected known biases in the surface
temperature record maintained by the US
National Oceanic and Atmospheric Administration
(NOAA). The finding showed differences in
temperature readings from ships and buoys. This
effectively increased the record about warming.
The researchers also extended the record to
include 2014. This set a new record high for
average temperatures.

Thomas Karl, director of National Centers for


Environmental Information in Asheville, calculated
the rate of global warming between 1950 and
1999 as being 0.113°C per decade. This was
similar to the 0.116°C a decade calculated for
2000-14. This, Karl said, meant that an

94 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
assessment done by the influential
Intergovernmental Panel on Climate Change in
2013 showing that warming had slowed was no
longer valid.

(Adapted from www.nature.com)

The passage above mainly discusses about….

a. the hiatus observation was first carried out


several years ago
b. the reason why global warming is slowing
down in this century
c. global warming is a verifiable issue in the
space of a decade
d. the contention about global warming and
whether it is indeed slowing this period
e. the view of study in science that the hiatus
is an artifact which vanishes

Answer: d

Perhatikan kalimat pertama pada paragraf ke-1


“The latest round in an ongoing debate over
global-warming trends claims that warming has
indeed slowed down this century.” inti kalimatnya
mengatakan adanya perdebatan yang membahas
tentang tren pemanasan global yang melambat
abad ini. Maka topik dari teks di atas adalah (d)
The contention about global warming and
whether it is indeed slowing this period.

95 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
RANGKUMAN

Selain dalam proses pembelajaran,


pembiasaan menghadapi soal HOTS juga perlu
dilakukan dalam proses penilaian pembelajaran
baik dalam ulangan harian maupun ujian lain
yang dilakukan oleh guru. Jika soal-soal tipe
HOTS ini sudah sering diberikan kepada siswa
dalam setiap ulangan atau ujian lain, maka siswa
pun akan terbiasa dan tidak merasa kaget ketika
menemukan soal HOTS dalam USBN dan UNBK.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat
dilatih dalam proses pembelajaran di kelas. Oleh
karena itu agar peserta didik memiliki
kemampuan berpikir tingkat tinggi, maka proses
pembelajarannya juga memberikan ruang kepada
peserta didik untuk menemukan konsep
pengetahuan berbasis aktivitas. Aktivitas dalam
pembelajaran dapat mendorong peserta didik
untuk membangun kreativitas dan berpikir kritis.
Penulis soal dapat menentukan perilaku
yang hendak diukur dan merumuskan materi
yang akan dijadikan dasar pertanyaan (stimulus).
Selain itu uraian materi yang akan ditanyakan
tidak selalu tersedia di dalam buku pelajaran.
Oleh karena itu dalam penulisan soal HOTS,
dibutuhkan penguasaan materi ajar, keterampilan
dalam menulis kontruksi soal dan kreativitas guru
dalam memilih stimulus soal sesuai dengan situasi
dan kondisi daerah di sekitar satuan pendidikan.

96 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Daftar Pustaka

Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (2001). A


taxonomy for learning, teaching, and
assessing: A revision of Bloom‟s taxonomy
of educational objectives. New York, NY:
Addison Wesley Longman.

Bloom, B. S. (1956). Taxonomy of educational


objectives: The classification of
educational goals. London: Ann Arbor, MI:
Addison Wesley Publisher.

Cronbach, L.E.,. (1963) Course Improvement


Through Evaluation dalam Educational
Evaluation : Theory and Practice
(ed.Worthen, B.R., dan Sanders, J.R.,)
California, Belmont : Wadworth Publishing
Co.

Depdiknas (2003) Materi Pelatihan Peningkatan


Kemampuan Guru Dalam Penyusunan dan
Penggunaan Alat Evaluasi Serta
Pengembangan Sistem Penghargaan
Terhadap Siswa, Jakarta : Direktorat PLP –
Ditjen Dikdasmen.

Ebel, R.L. Essentials of Educational


(1972)
Measurement, Engelwood Cliffs, New

97 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Guba, E.G. and Lincoln, Y.S. (1985) Effective
Evaluation, San Francisco : Jossey – Bass
Pub.

Fisher, R. (2010). Thinking Skill . New York, NY:


Routledge.

Guba, E.G. and Lincoln, Y.S. (1985) Effective


Evaluation, San Francisco : Jossey – Bass
Pub.

Hamalik, O. (1989) Teknik Pengukuran dan Evaluasi


Pendidikan, Bandung : Mandar Maju.

Hasan, S.H. (1988) Evaluasi Kurikulum, Jakarta :


P2LPTK-Ditjen Dikti- Depdikbud.
Lewis, A., & Smith, D. (1993). Defining higher order
thinking. Theory into Practice, 32 (3),
131-137.

Nitko, A. J., (1996) Educational Assessment of


Students, Second Edition, New Jersey :
Englewood Cliffs.

Partnership for 21st Century Skills. (2002).


Learning for the 21st century: A report and
mile guide for 21st century skills. Tucson,
AZ: Author.

98 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Resnick, L. B. (1987). Educational and learning to
think. Washington, DC: National
Academy Press.

Sani, R. A. (2016). Penilaian Autentik. Jakarta: PT


Bumi Aksara.

Sax, G., (1980) Principles of Educational and


Psychological Measurement and
Evaluation, Belmont California : Wads
Worth Pub.Co.

Scriven, M., (1967) The Methodology of Evaluation,


dalam Perspective of Curriculum
Evaluation, AERA I (ed.Tyler, R., et.al.),
Chicago : Rand McNally and Company.

Stamboel, C. S., Prinsip dan Teknik


(1986)
Pengukuran dan Penilaian di Dalam
Dunia Pendidikan, Cetakan Ke-2, Jakarta
: Mutiara Sumber Widya.

Sukmadinata, Nana Sy., (2007) Pengembangan


Kurikulum : Teori dan Praktik, Bandung :
PT.Remaja Rosdakarya.

Swearingen, R., (2006) A Primer : Diagnostik,


Formative & Summative Assessment,
Diakses Tanggal 6 Juli 2019 dari
http://www.mmrwsjr.com/
assessment.html.

99 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s H O T S
Thomas, A. & Thorne, G. How to increase higher
order thinking. Diakses pada tanggal 30
Juni 2019, dari http://goo.gl/rXxI5O.

Thompson, T. (2008). Mathematics teachers‟


interpretation of higher order thinking in
Bloom‟s taxonomy. International
Electronic Journal of Mathematics
Education, 3 (2), 1-14.

100 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s
HOTS
Pajar Purnomo Lahir di Cilacap,
Jawa Tengah pada tanggal 25
Februari 2019. Dia menempuh
pendidikan dasar di SD Negeri
Bengbulang 02 dan lulus pada tahun
2001. Setelah itu melanjutkan di
SMP Negeri 2 Karangpucung dan SMA Negeri 01
Majenang.
Kondisi lingkungan di pedesaan yang masih
memiliki kepedulian cukup rendah terhadap
pendidikan, akhirnya dia melanjutkan ke jurusan
pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNNES
Semarang. Gelar Sarjana diperoleh pada tahun
2012 dan dilanjutkan menempuh pendidikan Pasca
Sarjana pada tahun 2013. Setelah meraih gelar
Magister Pendidikan pada tahun 2015, dia menjadi
dosen tetap di Universitas Pancasakti Tegal.
Setelah menjadi tenaga pengajar di UPS
Tegal, dia memutuskan untuk kembali ke Cilacap
pada tahun 2019. Dia menjadi guru di SMA Negeri 1
Kroya.
Buku ini disusun dalam rangka melaksanakan
kegiatan aktualisasi LATSAR CPNS sesuai dengan
rancangan kegiatan yang telah diseminarkan di
BPSDMD Pemprov Jawa Tengah. Buku ini
memberikan wawasan dan prosedur penilaian
pembelajaran berbasis HOTS.

101 | P e n i l a i a n P e m b e l a j a r a n B e r b a s i s
HOTS

Anda mungkin juga menyukai