Anda di halaman 1dari 6

Golput dan Kampanye Golput bukan

Tindak Pidana
Rangkaian tahapan pemilihan presiden 2019 telah
dimulai. Di tengah hiruk pikuk pendukung kedua calon,
baik di kehidupan sehari-hari maupun di sosial media,
terdapat kelompok lain yang cenderung tidak mendukung
salah satu pasangan calon atau mitra koalisinya.

Saya Golput
Feb 21

Kelompok ini muncul karena berbagai alasan. Seperti tidak ada satupun dari capres-cawapres
dan koalisinya yang bersih dari isu korupsi, perampas ruang hidup rakyat, tersangkut kasus
hak asasi manusia, maupun aktor intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.

Namun belakangan, kemunculan kelompok yang tidak mendukung salah satu pasangan calon
presiden itu, dianggap sebagai sesuatu yang buruk atau tidak patut. Padahal dalam kehidupan
demokrasi, tidak memilih adalah juga hak, seperti halnya memilih; dan setiap orang memiliki
kebebasan dalam menjalankan hak pilihnya tersebut.

Kehadiran kelompok yang tak memihak kedua pasangan politisi itu seharusnya dibaca
sebagai ekspresi protes atau penghukuman terhadap mekanisme penentuan capres-cawapres
oleh partai politik yang masih didominasi pertimbangan politik praktis dan
mengesampingkan nilai-nilai seperti integritas individu, ataupun rekam jejak yang bersih,
anti-korupsi, dan berpihak pada hak asasi manusia.

Lagipula, terbatasnya pilihan calon-calon pemimpin bukanlah terjadi secara alamiah,


melainkan didesain dan dibentuk sedemikian rupa. Hal ini dapat dilihat dari kondisi-kondisi
dalam sistem politik kita sebagai berikut:

1. Syarat terbentuknya partai yang dipaksakan nasional, sehingga hanya partai-partai modal
besar yang dapat ikut pemilu dan sistem politik kita menutup adanya partai lokal, kecuali di
Aceh yang memiliki Otonomi Khusus.

2. Dalam sistem partai modal besar itu, masih ada sistem presidential threshold, di mana
seseorang hanya bisa dicalonkan sebagai presiden jika didukung 20 persen dari jumlah kursi
di DPR atau 25 persen suara nasional. Jadi meski sebuah partai politik telah lolos verifikasi
nasional dengan syarat yang berat dan berbiaya mahal, telah punya kursi di DPR, tapi tidak
dapat serta merta mencalonkan siapapun sebagai Presiden Republik Indonesia. Syarat yang
berat untuk mengajukan calon presiden ini, memaksa sesama partai modal besar, bergabung
menjadi kekuatan modal yang lebih besar agar dapat mencalonkan seseorang sebagai
presiden. Padahal, pengalaman memiliki presiden secara langsung selama tiga kali sejak
2004, menunjukkan bahwa calon yang diinginkan masyarakat umum bisa berbeda dengan
calon-calon yang dikehendaki para kumpulan partai modal besar ini.

3. Aroma oligarki para elit ini semakin dikunci dengan tidak ada peluang mengajukan calon
presiden independen. Padahal, masih dalam sistem NKRI yang sama, gubernur, bupati, atau
walikota dapat dicalonkan dari jalur independen.

4. Padahal sistem rekrutmen pejabat publik lewat mesin-mesin partai modal besar bersama
para sponsornya ini (oligarki) tidak selalu menjamin hasil yang baik. Dalam 13 tahun
terakhir, terdapat 392 kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Dan sebagian besar dari
mereka dipastikan adalah pejabat yang disorongkan dan didukung lewat jalur partai-partai
politik.

5. Dengan sistem politik yang oligarkis dan tertutup seperti ini pun, kedua capres dan
cawapres saat ini sama-sama terjebak dalam politik identitas yang menggunakan simbol-
simbol agama tertentu semata-mata untuk meraih dukungan.

Dalam situasi ketiadaan pilihan karena capres-cawapres hanya dapat diusulkan partai politik,
dan partai politik hanya dapat dibentuk jika memiliki modal besar, lalu keduanya tak
mewakili banyak aspirasi yang ingin melihat Indonesia bebas dari politisasi agama, maka
tidak memilih salah satu pasangan calon adalah suatu pilihan dan keniscayaan dalam
berdemokrasi.

Lalu apakah tidak memilih atau menjadi golput (golongan putih) itu melanggar hukum?

Posisi seseorang atau sekelompok orang yang memilih untuk tidak memilih sama sekali
bukan pelanggaran hukum dan tak ada satu pun aturan hukum yang dilanggar. Sebab,
Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tidak melarang
seseorang menjadi golput.

Pidana dalam pemilu pada dasarnya mengatur mengenai kemungkinan Golput, namun
berdasarkan pasal 515 UU Pemilu, terdapat unsur-unsur pidana yang sudah diatur dengan
jelas kepada siapa pidana itu dapat berlaku.

Pasal 515 UU pemilu berbunyi :

Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak
pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara
tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Atas dasar rumusan pasal ini, maka terdapat catatan penting yang harus diperhatikan :

Pertama, memperhatikan unsur “dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan
atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih,” dengan unsur ini maka yang
dapat dipidana hanya orang yang menggerakkan orang lain untuk golput pada hari pemilihan
dengan cara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya. Dengan demikian tanpa
adanya janji atau memberikan sejumlah uang atau materi, tindakan sekedar menggerakkan
orang untuk golput tidak dapat dipidana.

Kedua, orang yang memilih golput atau mendeklarasikan dirinya Golput tidak dapat
dipidana. Masih sejalan dengan unsur sebelumnya. Seorang yang memilih golput tidak dapat
dipidana. Bahwa seseorang mendeklarasikan dirinya golput adalah hak yag dijamin oleh
Undang-Undang dan Konstitusi selama tidak menggerakkan orang lain menggunakan janji
dan pemberian uang atau materi lainnya untuk golput.

Dengan demikian, mengambil sikap golput di dalam pemilihan presiden 2019 adalah hak
politik warga negara sepenuhnya dan bukan pelanggaran hukum. Demikian juga dengan
menyebarluaskan gagasan atau ekspresi tentang pilihan politik ini. Apabila nantinya terjadi
penyelidikan untuk kasus seperti ini, maka penting untuk memastikan unsur-unsur pidana
dalam pasal 515 UU Pemilu harus diimplementasikan dengan ketat. Penggunaan pasal ini
bagi mereka yang Golput atau yang melakukan ekspresi politiknya dengan berkampanye
Golput adalah pelanggaran serius bagi hak konstitusi negara.

Jakarta, 23 Januari 2019


ICJR, Kontras, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Lokataru, PBHI, YLBHI

'Golput adalah hak', sejumlah warga


memilih golput di pilpres 2019
Callistasia Wijaya Wartawan BBC News Indonesia

 24 Januari 2019

Sekelompok aktivis menyatakan bahwa golput adalah ekspresi politik yang tidak dapat dipidana.

Di tengah kampanye dua kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden, Joko Widodo-
Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, sekelompok orang sudah menyatakan
yakin untuk tidak memilih kedua calon atau golput pada pemilu mendatang.

Mereka yang memilih untuk golput ini menyatakan kecewa atas dua calon presiden yang ada,
tren yang menurut lembaga survei kemungkinan naik pada pemilihan April mendatang.

Salah seorang yang memilih golput adalah Lini Zurlia, aktivis pembela hak-hak kaum LGBT.

Sikap ini jauh berbeda dengan periode Pilpres 2014 di mana dia bergabung dalam tim
perempuan pendukung Jokowi.

Lini menyebut alasannya golput antara lain setelah melihat Joko Widodo menggandeng
Ma'ruf Amin di pilpres nanti.

Hak atas foto Anadolu Agency Image caption Beberapa orang yang tidak sepakat dengan keputusan
Joko Widodo dalam menggandeng Ma'ruf Amin sebagai calon wakil presiden memutuskan untuk
golput .
"(Calon) wakil presiden yang ia pilih punya rekam jejak yang 'sungguh sangat maha dashyat',
memberikan kontribusi terhadap tajamnya konflik pada agama, yang melahirkan konflik
berdarah-darah... Banyak sekali rekam jejak Ma'ruf Amin yang sangat intoleran," ujar Lini
dalam konferensi pers di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) (23/1).

Sementara itu, Prabowo, katanya, bukan merupakan pilihan karena rekam jejaknya di kasus
pelanggaran HAM.

Di Surabaya, Jawa Timur, Dodik, juga mengatakan siap golput karena merasa tak ada calon
yang dapat meyakinkannya untuk memilih.

"Bukan soal rugi, (ini) karena dua-duanya (pasangan calon presiden dan wakil presiden)
menurut aku nggak recommended. Yang satu, saya pikir prestasinya juga apa? Yang satu lagi
banyak pencitraan, lebay," katanya.

Tren golput berpotensi naik


Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago mengatakan kelompok-kelompok
yang tidak direpresentasikan dengan baik oleh kedua kubu pasangan calon presiden dan wakil
presiden, mungkin memilih untuk golput.

Di tahun 2014, angka golput mencapai sekitar 30%, termasuk orang-orang yang tidak masuk
dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan tidak mendapat undangan untuk memberi hak suara.

Hak atas foto SIGID KURNIAWAN/ANTARA Image caption Debat pertama Pilpres 2019 (17/1) dinilai
belum mampu meyakinkan undecided voters dan mengubah pikiran orang yang sudah memutuskan
untuk golput.

Bahkan, lanjut Pangi, debat perdana yang digelar 17 Januari lalu, tidak berpengaruh apa pun
dalam mengubah pikiran orang yang sudah memutuskan untuk golput.

Pertarungan ulang antara Joko Widodo dan Prabowo, katanya, hanya mengulang apa yang
telah terjadi pada kampanye pilpres tahun 2014.

Visi, misi, dan narasi yang mereka sampaikan, lanjutnya, terkesan tidak substansial dan
dangkal.

"Ketika tidak tersalurkan representasi kepentingan politik mereka, kedua sosok ini juga
dipandang tidak bisa menjawab persoalan, tidak bisa membawa harapan baru untuk mereka,
ya automatically mereka akan golput. Golput ini mestinya tidak akan terlalu tinggi kalau tiga
calon misalnya," kata Pangi.

"Tapi kalau dua calon ini ya, itu tadi, ada kemungkinan tren golput naik."

Meski tren golput kemungkinan naik, Pangi mengatakan, suara pada pilpres mungkin tidak
akan terlalu anjlok karena suara pemilih yang baru mendapatkan hak pilih di pilpres ini.

"Mereka punya potensi untuk memilih karena mereka belum pernah dikecewakan. Mereka
akan memilih presiden untuk pertama kali, tentu partisipasi mereka akan tinggi," katanya.
Namun, menurut Peneliti LSI Denny JA, Adjie Alfaraby, jumlah angka golput akan relatif
sama dari pemilu-pemilu lalu.

Adjie mengatakan jumlah orang yang memilih untuk golput karena asalan ideologis lebih
kecil dari pada orang yang tidak memilih karena alasan administratif, seperti belum terdaftar
di DPT, dan sebagainya.

Golput berarti tidak boleh mengkritik?


Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Al Ghifari Aqsa, mengatakan
orang-orang yang golput karena ideologinya sering disebut sebagai kaum apatis.

Mereka, katanya, seringkali dianggap tidak berhak mengkritik pemerintahan yang kelak
terpilih.

Hak atas foto Aprillio Akbar/ANTARA Image caption Rekam jejak Prabowo dalam dugaan kasus
pelanggaran HAM membuat beberapa orang ragu untuk memilihnya.

"Nah ini, hoax yang mana lagi? Ada yang beranggapan bahwa kita kan pembayar pajak, jadi
kita berhak dong mengkritisi siapa pun yang menang," kata Al Ghifari.

"Sebenarnya bukan itu saja, yang tidak bayar pajak pun berhak untuk mengkritisi karena dia
dilindungi oleh konstutisi. Kalau golput adalah hak, berekspresi, berbicara adalah hak, siapa
pun presidennya, siapa pun yang terpilih, siapa pun pemerintahannya, kita berhak
mengkritisi. Semua orang yang golput berhak untuk mengkritisi siapa pun," katanya.

Al Ghifari mengatakan kelompok yang memutuskan untuk golput mengharapkan akan ada
perbaikan di sistem politik dan pemerintahan di masa mendatang.

'Golput adalah salah satu ekspresi politik yang legal'

Pengacara publik LBH Jakarta, Arif Maulana, mengatakan bahwa golput adalah salah satu
bentuk ekpresi politik dan merupakan hak warga negara.

"Opsi untuk tidak memilih adalah pilihan dan ini adalah bagian dari ekpresi kedaulatan
rakyat. Hari ini, rakyat melihat tidak hanya pimpinan politiknya yang tidak beres, tapi juga
sistem politik yang harusnya menjamin prinsip-prinsip demokrasi, menjamin persamaan di
muka hukum, persamaan ekonomi, sosial, dan budaya bagi masyarakat, bagi rakyat, itu tidak
ada," katanya.

Sikap golput, ujarnya. dilindungi oleh Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
(ICCPR), UUD 1945, dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM).

Selama ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik di tingkat pusat maupun daerah sering
mengimbau warga untuk tidak golput. Mereka juga mengatakan orang yang berkampanye
mengajak orang lain untuk golput dapat dipidana.
Namun peneliti di Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Sustira Dirga, mengatakan
golput tidak termasuk dalam bentuk pidana pemilu, meski sering dikaitkan dengan Pasal 515
Undang-Undang No 7/2017 tentang Pemilihan Umum.

Pasal ini mengatakan setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara
menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak
menggunakan hak pilihnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp36.000.000,00.

"Tanpa adanya janji atau memberikan sejumlah uang atau materi, tindakan sekadar
menggerakan orang untuk golput tidak dipidana... Orang yang memilih golput atau
mendeklarasikan dirinya golput tidak dapat dipidana," katanya.

"Golput, tapi tetap datang ke TPS"

Elisa Sutanudjaja, Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies, yang juga
mengungkapkan keyakinannya untuk golput, mengatakan dia tidak pernah menganjurkan
orang untuk golput.

Namun, jika ada orang yang memutuskan mengambil sikap yang sama dengannya, mereka
sebaiknya tetap ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Hak atas foto Anadolu Agency Image caption Elisa Sutanudjaja, Direktur Eksekutif Rujak Center for
Urban Studies, menyarankan orang yang memutuskan untuk golput untuk tetap datang ke TPS.

"Jika ada orang mau golput sebaiknya tetap ke TPS dan menggunakan hak pilihnya untuk
mencegah suara anda disalahgunakan," kata Elisa dalam konferensi pers di YLBHI.

"Walaupun ini bukan kewajiban, tapi pakai haknya (untuk memilih). Sudah dapat hak, ya
digunakan. Tapi kalau misalnya mau coblos dua-duanya, silahkan."

Oleh karena sistem pilpres belum memiliki mekanisme pemilihan kotak kosong, Elisa
mengatakan, hal ini lah yang dapat dilakukan untuk mencegah kecurangan pemilu.

Meski banyak orang yang menganggap gerakan golput itu tidak artinya, Elisa mengatakan
suara tidak sah akan dicatat dalam tabel dan lembar yang sama dalam proses perhitungan
kertas suara.

Angka tidak sah itu, ujarnya, akan terus tercatat hingga ke tingkat pusat.

Anda mungkin juga menyukai