Anda di halaman 1dari 7

Nama : Putri Septiana Ilahaniah

Nim : 201310010311058
Jurusan : Tarbiyah A
Matkul : Pengembangan Pemikiran Islam (Tugas UTS)
Tokoh-Tokoh Tasawwuf Terkemuka Di Dunia.

Dalam artikel ini, saya akan menjelaskan lima tokoh tasawwuf yang terkemuka beserta
pemikiran, ajaran dan karyanya dari sekian banyak tokoh-tokoh tasawwuf di dunia ini.

1. Hasan Bashri
Nama lengkapnya adalah al-Hasan bin Abi al-Hasan Yasar, al-Bashri, nama julukannya
Abu Said. Lahir pada tahun 21 H / 632 M, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin
Khattab Ra. Ayahnya seorang keturunan Persia bernama Yasar. Ia lahir dan dibesarkan dalam
naungan kasih sayang Ummu Salamah, salah seorang istri Rasulullah Saw. Ia mulai
berinteraksi dengan para sahabat di masa pemerintahan Utsman bin Affan Ra. Dan ketika Ali
bin Abi Thalib menggantikan Utsman Ra sebagai khalifah, al-Hasan telah berumur 14 (empat
belas) tahun, dan mulai belajar keilmuan Islam secara serius kepada lebih dari 300 (tiga ratus)
orang sahabat. Beliau meninggal tahun 110. 1
Beliaulah yang mula-mula sekali menyediakan waktunya memperbincangkan ilmu-
ilmu kebatinan, kemurnian akhlak, dan usaha mensucikan jiwa di dalam masjid Basrah. Segala
ajarannya tentang kerohanian, senantiasa diukurnya dengan sunnah-sunnah Nabi. Sahabat-
sahabat Nabi yang masih hidup pada zaman itu, pun mengakui akan kebesaran Hasan Bashri.
Hasan dikenal piawai dalam ilmu aqidah, mahir dalam retorika, serta masyhur dengan
kezuhudan dan kehalusan budinya. Sekalipun pada masanya istilah sufi maupun tasawuf belum
dikenal, akan tetapi ia dianggap oleh kalangan ulama tasawuf sebagai tokoh yang konsisten
dalam kezuhudan, kekhusyukan dan ketawadhu’annya. Ia meninggalkan beberapa surat
(rasa’il) yang sangat berharga, dengan menggunakan uslub yang mudah dicerna dan dipahami,
menggunakan pendekatan hati dan rasa untuk menggugah dan membangkitkan gairah
keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt.2
Dasar pendirian beliau adalah zuhud terhadap dunia, menolak akan kemegahannya,
semata menuju kepada Alla, tawakkal, khauf (takut) dan rajaa, tidaklah terpisah. Janganlah

1
Prof. Dr. Hamka, 1993 cetakan ke XVIII, Tasawwuf Perkembangan dan Permuniannya, Jakarta:pustaka
panjimas. Hal. 70
2
Mausu’ah a’lam al-fikr al-Islami, Majlis al-a’la li as-syu’un al-Islamiyah, hal. 259-262
hanya semata-mata takut kepada Allah, tetepi ikutlah ketakutan dengan pengharapan. Takut
akan murka- Nya, tetapi mengharapkan karunia-Nya.
Ajaran-ajaran Hasan Al-Bashri adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa
bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan
menjauhi larangan-larangan-Nya Lebih jauh lagi, Hamka mengemukakan bahwa ajaran
tasawuf Hasan yaitu:
- Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa tentram
yang menimbulkan perasaan takut.
- Dunia adalah negeri tempat beramal.barang siapa bertemu dunia dengan
perasaanbenci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya.
Namun,barang siapa yang bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya
bertambal dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan
yang tidak akan ditanggungnya.”
- “tafakur membawa kita pada kebaikan dan selalu berusaha untuk mengerjakannya.
Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita bermaksud untuk tidak
mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana’ betapapun banyakya tidak akan menyamai
sesuatu yang baqa betapapun sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri yang cepat
ating dan pergi serta penuh tipuan.”
- “dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali
ditinggalkan mati suaminya.”
- “orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena
berada diantara dua perasaan takut ; takut mengenang dosa yang telah lampau dan
takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.”
- “hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, dan
juga takut akan kiamat yang hendak menagih janjinya.”Banyak duka cita didunia
memperteguh semangat amal saleh.”

Sikap tasawuf Hasan Al-Bashri senada dengan sabda Nabi yang berbunyi:

“”Orang yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya adalah laksana yang
orang duduk di bawah sebuah gunung besar yang senantiasa merasa takut gunung itu akan
menimpa dirinya”.

2. Rabi’atul Adawiyah
Nama lengkapnya adalah Rabi’ah binti Isma’il al-‘Adawiyah, julukannya Ummu al-
Khair, al-Bashriyah. Seorang muslimah kelahiran Bashrah Irak, yang dikenal shalihah,
zahidah, dan sangat tekun dalam beribadah dan bermunajat kepada Allah Swt. Beliau telah
meninggalkan dunia tahun 185 H/796 M. Ia masyhur karena filosofi “mahabbah” atau
“cinta”nya dalam beribadah. Salah satu do’a munajat “cinta”nya yang terkenal adalah sebagai
berikut:

Artinya: “Wahai Tuhanku, jikalau aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu,
maka jerumuskanlah aku ke dalamnya, dan jikalau aku beribadah kepada-Mu karena
mengharap syurga-Mu, maka halangilah aku darinya, akan tetapi jikalau aku beribadah kepada-
Mu karena cinta dan mengharap ridha-Mu, maka jangan Kau halangi aku untuk melihat Wajah-
Mu).(al-Wafi bi al-wafiyat, Shalahuddin Khalil bin Abik as-Shafadi, juz 4, hal. 435, lihat pula
al-A’lam, Khairuddin az-Zarkali, juz 3, hal. 10, serta Qadhiyyah at-tasawwuf, hal. 42)

Rabi’ah Al-Adawiyah dalam perkembangan mistisme dalam Islam tercatat sebagai


peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah SWT. Hal ini karena generasi
sebelumnya merintis aliran asketisme dalam Islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan
kepada Allah SWT. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas
dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah SWT.3

Sikap dan pandangan Rabi’ah Al-Adawiyah tentang cinta dapat dipahami dari kata-
katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan
bahwa ketika bermunajat. Rabi’ah menyatakan do’anya, “Tuhanku, akankah Kau bakar kalbu
yang mencinntai-Mu oleh api neraka? “ Tiba-tiba terdengar suara, “Kami tidak akan melakukan
itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami.” Diantara sya’ir cinta Rabi’ah yang
paling masyhur adalah:

“Aku mencintai-Mu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan karena diri-Mu. Cinta
karena diriku adalah keadaan senantiasa mengingatkan-Mu, Cinta karena diri-Mu adalah
keadaanku mengungkapkan tabir sehingga Engkau kulihat. Baik ini maupun itu, pujian
bukanlah bagiku. Bagi-Mu pujian untuk kesemuanya.”

Untuk memperjelas pengertian Al-hub yang diajukan Rabi’ah, yaitu hub Al-hawa dan hub anta
ahl lahu, perhatikanlah tafsiran beberapa tokoh berikut. Abu Thalib Al-Makiy dalam Qut Al-
Qulub sebagaimana dijelaskan Badawi, memberikan penafsiran bahwa makna hubb Al-hawa

3
Prof. Dr. Hamka, 1993 cetakan ke XVIII, Tasawwuf Perkembangan dan Permuniannya, hal 73
adalah rasa cinta yang timbul dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah. Adapun
yang dimaksud nikmat-nikmat adalah nikmat material, tidak spiritual, karenanya hubb disini
bersifat hubb indrawi. Walaupun demikian, hubb Al-hawa yang diajukan Rabi’ah ini tidak
berubah-rubah, tidak bertambah dan berkurang karena bertambah dan berkurangnya nikmat.
Hal ini karena Rabi’ah tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi sesuatu yang ada dibalik
nikmat tersebut. Adapun Al-hubb anta ahl lahu adalah cinta yang tidak didorong kesenangan
indrawi, tetapi didorong Dzat yang dicintai. Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan balasan
apa-apa. Kewajiban-kewajiban yang dijalankan Rabi’ah timbul karena perasaan cinta kepada
Dzat yang dicintai.

Sementara itu, Al-Ghazali memberikan ulasan tentang syair Rabi’ah sebagai berikut:
“Mungkin yang dimaksud oleh Rabi’ah dengan cinta karena dirinya adalah cinta kepada Allah
SWT karena kebaikan dan karunia-Nya di dunia ini. Sedangkan cinta kepada-Nya adalah
karena ia layak dicintai keindahan dan keagungan-Nya yang tersingkap kepadanya. Cinta yang
kedua merupakan cinta yang paling luhur dan mendalam serta merupakan kelezatan melihat
keindahan Tuhan. Hal ini seperti disabdakan dalam hadis qudsi, “Bagi hamba-hamba-Ku yang
saleh Aku menyiapkan apa yang tidak terlihat mata, tidak terlihat telinga, dan tidak terbesit di
kalbu manusia”.

Cinta Rabi’ah kepada Allah SWT begitu mendalam dan memenuhi seluruh relung
hatinya, sehingga membuatnya hadir bersama Tuhan. Hal ini seperti terungkap dalam syairnya:

“Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu. Tubuhku pun biar berbincang dengan
temanku. Dengan temanku tubuhku bercengkrama selalu. Dalam kalbu terpancang selalu
kekasih cintaku”.

Bagi manusia yang rasa cintanya kepada Allah SWT tidak secara tulus ikhlas, Rabi’ah
selalu mengatakan:

“ Dalam batin, kepada-Nya engkau durhaka, tetapi dalam lahir kau nyatakan cinta.
Sungguh aneh segala ini. Andaikan cinta-Mu memang tulus dan sejati tentu yang Ia
perintahkan kau taati, sebab pecinta selalu patuh dan bakti pada yang dicintai.

3. Al-Ghazali

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin
Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’I Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid
Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran,
pada tahun 450 Hijriah (1085 M), tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di
Baghdad.4 Setelah mengabdiaka n diri untuk ilmu pengetahuan, menulis dan mengajar, maka
pada usia 55 tahun al-Ghazali meninggal dunia di kota kelahirannya, Tus, pada tanggal 14
Jumadil Akhir 505 H /19 Desember 1111M, dalam pangkuan saudaranya Ahmad al-Ghazali.

Al-Ghazali yang sangat masyhur dengan keulamaan dan kezuhudannya. Ia seorang


faqih, mutakallim, ushuli, failasuf dan shufi. Kitab-kitabnya sampai sekarang masih menjadi
rujukan idola para pencari ilmu dan ulama di seantero jagat ini. Di antara kitabnya yang
termashur adalah “ihya ulum ad-din”, “al-adab fi ad-din’, al-arba’in fi ushul ad-din’, “asrar al-
hajj”, “al-iqtishad fi al-I’tiqad”, “tahafut al-falasifah” dan “al-mustashfa” .

Ajaran-ajaran tasawuf al-Ghazali diantaranya :

a. Ma’rifah.

Di dalam tasawufnya al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan al-qur’an dan
sunnah ditambah dengan doktrin ahlussunnah wal jamaah. Dari faham tasawufnya itu, ia
menjauhkan semua kecenderungan gnotis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte
Ismailiyyah, aliran Syi’ah, dan lain-lainnya. Mengenai ma’rifah, menurutnya, adalah
mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan tuhan tentang segala yang ada.
Alat memperoleh ma’rifah bersandar pada sirr, qalb, dan ruh. Qalb dapat mengetahui hakekat
segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia tuhan
dengan sirr, qalb dan ruh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apapun. Saat itulah ketiganya
akan menerima iluminasi (kasyf) dari Allah. Pada waktui tu pulalah, Allah menurunkan cahaya
–Nya kepada sang sufi sehinnga yang dilihat sang shufi hanyalah Allah. Di sini, sampailah ia
ketingkat ma-rifah.

Ma’rifah seorang shufi tidak dihalangi hijab, sebagaimana ia melihat si Fulan ada di
rumah dengan mata kepalanya sendiri. Ringkasnya, ma’rifah menurut al-Ghazali tidak seperti
ma’rifah menurut orang awam maupun ma’rifah ulama mutakallimin, tetapi ma’rifah shufi
yang dibangun atas dasar dzauq ruhani dan kasyf ilahi. Ma’rifah seperti ini dapat dicapai oleh
para khawwas auliya tanpa melalui perantara, langsung dari Allah.

b. As-Sa’adah.

4
Samsul Munir Amin, 2012, Ilmu Tasawuf, Jakarta:Amzah. Hal. 233
Menurut al-Ghazali kelezatan dan kebahagian yang paling tinggi adalah melihat Allah.
Di dalam kitab kimiya as-sa’adah, ia menjelaskan bahwa as-sa’adah (kebahagian) itu sesuai
dengan watak /tabiat, sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya. Nikmatnya mata
terletak ketika melihat gambaryang bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak ketika
mendengar suara yang merdu.demikian jga seluruh anggota tubuh, masing-masing kenikmatan
tersndiri. Kenikmatan hati –sebagai alat memperoleh ma’rifah- terletak ketika melihat Allah.
Melihat Allah merupakam kenikmatan yang paling agung yang tiada taranya karena ma’rifah
itu sendiri agung dan mulia.

4. Ibrahim bin Adham

Nama lengkapnya Abu Ishak Ibrahim bin Adham bin Manshur. Lahir di Mekah, dan
setelah ia lahir ibunya berkeliling meminta do’a kepada masyarakat agar anaknya dijadikan
anak shalih. Keluarganya berasal dari ” Balkh “, sebuah kota yang terkenal di Khurasan.
Ayahnya seorang pejabat tinggi di Khurasan, dan karenanya ia hidup di lingkungan yang serba
berkelebihan dalam hal harta dan kesenangan dunia. Suatu hari ketika ia sedang berburu
binatang di hutan, ia menjumpai kelinci atau serigala, dan ketika ia mengarahkan panahnya
kepada binatang itu, ia mendengar suara tanpa ujud: “Bukan untuk ini engkau diciptakan, dan
bukan untuk ini pula engkau diperintahkan! “. Ia tengok kanan-kiri, akan tetapi tidak ia jumpai
sumber suara tersebut. Kemudian ia lanjutkan perburuannya, akan tetapi ia mendengar kembali
suara tersebut terulang sampai tiga kali. Kemudian ia segera pulang dan berpamitan kepada
orang tuanya sambil mengenakan baju penggembala yang terbuat dari bulu domba kasar
menuju kampung kecil, kemudian ke Mekah. Selanjutnya ia hidup dengan usaha dan kerja hasil
keringat sendiri, dan menjadi tokoh yang dikenal dengan kesederhanaan dan kesahajaannya.
Di antara do’anya yang terkenal (Ya Allah, alihkan aku dari kehinaan maksiat kepada-Mu
menuju kemuliaan taat kepada-Mu!). (13) (Ar-Risalah al-Qusyairiyah, Abul Qasim Abdul
Karim al-Qusyairi, hal. 63-64).

5. Abu as-Siraj at-Thusi

Nama lengkapnya Abu Nashr Abdullah bin Ali bin Muhammad as-Siraj, berasal dari
“Thus” Khurasan. Ia lahir di Thus dan dibesarkan di daerah tersebut, dan merupakan guru besar
dalam bidang tasawuf serta ilmunya. Ia adalah pengarang kitab tasawuf yang sangat
monumental “al-luma'”, yang menurut para ulama merupakan kitab pertama ilmu tasawuf yang
paling representatif dan dijadikan rujukan utama generasi berikutnya dalam mengkaji tasawuf
dan ilmunya.(16) (Mausu’ah A’lam, hal. 569-570).

“Al-Luma'” karya Abu Nashr Abdullah bin Ali as-Siraj at-Thusi, yang dikenal dengan
julukan “thawus al-fuqara” (burung meraknya orang fakir). Kitab ini tergolong sebagai rujukan
terbesar, terpercaya dan paling representatif dalam tasawuf. Ia diibaratkan sebagai ibu dari
kitab-kitab tasawuf yang lain, karena hampir semua pengarang kitab tasawuf selalu merujuk
kepada kitab ini, baik dalam hal isi, pengaturan bab dan pasal maupun metodologinya.

As-Siraj membagi kitab ini ke dalam dua bagian:

Bagian Pertama: berisi sejumlah bab pendek, yang mengupas tentang ilmu tasawuf, madzhab
para sufi dan kedudukan mereka, tingkatan (thabaqat) ahli hadits, ahli fiqih dan ilmu-ilmu yang
mereka letakkan dasar-dasarnya, definisi tasawuf dan sifatnya, tentang tauhid, muwahhid dan
‘arif dan perbedaan antara mukmin dan ‘arif.

Bagian Kedua: berisi beberapa bagian (as-Siraj menggunakan istilah “kitab”) yang di
dalamnya terdapat beberapa bab pendek. Bagian-bagian (kitab-kitab) tersebut adalah:

 Kitab al-ahwal wa al-maqamat.


 Kitab ahl as-shafwah fi al-fahm wa al-ittiba’ li kitabillah azza wa jalla.
 Kitab al-uswah wa al-iqtida bi rasulillah Saw.
 Kitab al-mustanbathat.
 Kitab as-sahabah.
 Kitab adab al-mutashawwifah.
 Kitab al-makatibat wa as-shudur wa al-asy’ar wa ad-da’awat wa ar-rasa’il.
 Kitab as-sima’.
 Kitab al-wujd.
 Kitab itsbat al-karamat.
 Kitab al-bayan ‘an al-musykilat.
 Kitab tafsir as-syathhiyyat wa al-kalimat.

Sekalipun kitab ini adalah kitab yang sangat monumental, lengkap, didukung dengan
metodologinya yang sempurna, akan tetapi dalam kitab ini tidak tampak sosok pengarang
sebagai pencetus ide dan pelempar gagasan, karena as-Siraj hanya sekedar menukil dan
memaparkan pendapat para ulama pendahulunya, tanpa berupaya memberikan komentar,
analisis atau mengungkapkan pendapatnya.

Anda mungkin juga menyukai