Anda di halaman 1dari 30

1

BAGIAN ANESTESI

RSUD UNDATA PALU – FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

TADULAKO

REFLEKSI KASUS
“General Anestesi Pediatrik Pada Kasus Palatoschizis”

DISUSUN OLEH :
HERDYANSYAH USMAN
N 111 18 016

PEMBIMBING :
dr. Imtihana Amri, Sp.An., M.Kes.

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ANESTESI
RSUD UNDATA PALU – FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019
2

DAFTAR ISI

Halaman Judul............................................................................................... i
Daftar Isi........................................................................................................
ii BAB I Pendahuluan.....................................................................................
1
BAB II Tinjauan Pustaka.............................................................................. 2
2.1 Definisi dan Batasan........................................................................ 2
2.2 Perubahan pada Pasien Pediatrik..................................................... 2
2.2.1 Sistem Respirasi ..................................................................... 2
2.2.2 Sistem Sirkulasi ...................................................................... 4
2.2.3 Sistem Ekskresi dan Elektrolit................................................ 6
2.2.4 Sistem Saraf............................................................................ 6
2.2.5 Fungsi Hati ............................................................................. 7
2.2.6 Regulasi Suhu......................................................................... 7
2.2.7 Respon Psikologis................................................................... 8
2.2.8 Respon Farmakologi............................................................... 9
2.3 Tatalaksana Anestesi pada Pasien Pediatrik.................................... 9
2.3.1 Evaluasi dan Persiapan pra Anestesi ...................................... 9
2.3.2 Induksi Pada Pasien Pediatrik................................................. 12
2.3.3 Intubasi pada Pasien Pediatrik................................................ 13
2.3.4 Pemeliharaan Anestesi pada Pasien Pediatrik ........................ 14
2.3.5 Pengakhiran Anestesi pada Pasien Pediatrik .......................... 15
2.3.6 Komplikasi Anestesi pada Pasien Pediatrik ........................... 16
2.3.7 Pasca Anestesi pada Pasien Pediatrik..................................... 16
BAB III Laporan Kasus ..................................................................................... 21
BAB IV Pembahasan …..................................................................................... 25
BAB V Penutup ……..…................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA
1

BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi dan reanimasi telah berhasil memungkinkan sesorang dilakukan


pembedahan tanpa siksaan dan rasa nyeri. Dewasa ini, anestesi dan reanimasi
telah jauh berkembang semenjak ditemukan pertama kali oleh Morton pada tahun
1846.1
Mulai dari zat-zat yang dipakai, alat-alat dan mesin anestesi, hingga teknik
anestesi yang memungkinkannya jenis dan lama pembedahan yang lebih maju.
Anestesi dan reanimasi juga berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan
kelompok umur pediatrik.
Anestesi dan reanimasi pediatrik sendiri dapat dibagi menjadi empat
kelompok umur yaitu neonatus, bayi, anak pra sekolah dan anak usia
sekolah.2
Kelompok umur ini mempunyai kebutuhan dan karakteristik yang sangat berbeda
dengan orang dewasa. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan anatomi, fisiologi,
psikologi, dan biokimia yang berbeda.3 Dari segi anatomi, jalan nafas anak-anak
terlebih neonatus dan bayi jauh lebih kecil daripada orang dewasa. Mukosa jalan
nafas juga lebih mudah teriritasi sehingga dapat membahayakan jalan nafas.
Permasalahan juga ditambah dengan lidah yang besar sehingga cenderung
menutup jalan nafas saat dalam pengaruh anestesi. Belum matangnya organ-organ
seperti hati, jantung, otak dan ginjal pada neonatus dan bayi juga merupakan
masalah tersendiri yang dapat menyebabkan tingginya mortalitas dan
morbiditas pediatri dalam pengaruh anestesi. Respon psikologi seperti menangis,
agitasi, retensi urine, nafas dalam, dan respon lain yang sering dikeluarkan oleh
pasien pediatrik sering kali mengganggu proses anestesi dan reanimasi.3,4,5
Anestesi dan reanimasi pada pasien pediatrik bukan hanya
penyesuaian dosis dan ukuran alat-alat yang akan dipakai, melainkan
juga pendekatan- pendekatan yang sesuai dengan anatomi, fisiologi, psikologi,
dan biokimia pasien pediatrik sendiri.
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Palatoskisis
Palatoskisis adalah celah palatum. Nyata sekali berhubungan erat secara
embriologis, fungsional, dan genetik. Celah palatum muncul akibat terjadinya
kegagalan dalam mendekatkan atau memfusikan lempeng palatum.9
Klasifikasi celah bibir dan celah langit-langit
Klasifikasi yang diusulkan oleh Veau dibagi dalam 4 golongan yaitu :
Golongan I : Celah pada langit-langit lunak (gambar 1).
Golongan II : Celah pada langit-langit lunak dan keras dibelakang foramen
incisivum (gambar 2).
Golongan III : Celah pada langit-langit lunak dan keras mengenai tulang
alveolar dan bibir pada satu sisi (gambar 3).
Golongan IV : Celah pada langit-langit lunak dan keras mengenai tulang alveolar
dan bibir pada dua sisi (gambar 4).9

Gejala Klinis
Celah palate murni terjadi pada linea mediana dan dapat melibatkan hanya uvula
saja atau dapat meluas kedalam atau melalui palatum molle dan palatum durum
sampai keforamen insisivus. Apabila celah palatum ini bersamaan dengan calah bibir
(sumbing), cacat ini dapat melibatkan linea mediana palatum molle dan meluas
3

sampai ke palatum durum pada satu atau kedua sisi, memaparkan satu atau kedua
rongga hidung sebagai celah palatum unilateral atau bilateral. 9

2.2 Pembedahan pada Palatoskisis


Penanganan untuk Palatoskisis adalah dengan cara operasi. Operasi ini
dilakukan setelah bayi berusia 2 bulan dengan berat badan yang meningkat dan bebas
dari infeksi oral pada saluran napas dan sistemik. Dalam beberapa literature
dijelaskan operasi dapat dilakukan apabila memenuhi hukum sepuluh (rules of ten)
yaitu berat badan bayi minimal 10 pon, kadar Hb 10 gr/dL dan usianya minimal 10
minggu serta kadar leukosit minimal 10.000/ul. Pembedahan dilakukan elektif untuk
memperbaiki kelainan, tetapi waktu yang tepat untuk operasi tersebut bervariasi dan
dilakukan secara bertahap.9
Berikut ini adalah tahapan proses yang akan dijalani, meliputi: 9
1. Tindakan pertama dikerjakan untuk menutup celah bibir berdasarkan kriteria rule
of ten yaitu umur > 10 minggu, berat badan > 10 pon, Hb > 10 gr/dl, leukosit
>10.000/ui
2. Tindakan operasi selanjutnya adalah menutup langit-langit/palatoplasti
dikerjakan sedini mungkin (15-24 bulan) sebelum anak mampu bicara sehingga
pusat bicara otak belum membentuk cara bicara. Pada umur 8-9 tahun
dilaksanakan tindakan operasi penambahan tulang pada celah alveolus atau
maksila untuk memungkinkan ahli ortodentis mengatur pertumbuhan gigi
dikanan dan kiri celah supaya normal
3. Operasi terakhir pada usia 15-17 tahun dikerjakan setelah pertumbuhan tulang-
tulang muka selesai.

2.3 Definisi dan Batasan

Anestesia pediatrik merupakan anestesi pada pasien anak-anak yang dapat


dibagi menjadi 4 kelompok umur yaitu neonatus (umur 1-28 hari), bayi (sampai 1
tahun), anak pra sekolah (2-5 tahun), dan anak usia sekolah (6-14 tahun). 2 Anestesi
pada pasien pediatrik memerlukan perhatian dan kebutuhan khusus dimana anak-
anak bukan merupakan miniatur dari orang dewasa namun merupakan kelompok
individu yang mempunyai anatomi, fisiologi, psikologi dan biokimia yang berbeda
dari orang dewasa.3 Kebutuhan dan karakteristik juga berbeda pada masing-masing
kelompok umur pasien pediatrik. Ditambah lagi pasien pediatrik mempunyai risiko
morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi daripada orang dewasa.
4

2.4 Perubahan pada Pasien Pediatrik


Masa neonatus dan bayi adalah masa dimana terjadi perubahan yang sangat
besar dari kehidupan didalam rahim menjadi diluar rahim. Pada masa ini terjadi
pematangan organ hampir pada semua sistem. Sistem respirasi, sirkulasi, dan
ekskresi penting untuk anestesi pada kelompok umur ini. Begitu pula dengan
kelompok anak pra sekolah dan anak usia sekolah dimana secara anatomi,
fisiologi, psikologi, dan biokimia yang berbeda dari orang dewasa. Kelompok ini
cenderung memerlukan pendekartan-pendekatan psikologis yang berbeda sekali
dengan orang dewasa.3,4,5 Maka dari itu sangatlah diperlukan penataan dan
persiapan yang matang untuk melakukan suatu tindakan anestesi terhadap pasien
pediatri
5

2.4.1 Sistem Respirasi

Secara anatomi jalur nafas neonatus dan bayi lebih rentan tersumbat
daripada orang dewasa.3,4 Diameter dari lubang hidung, orofaring, dan trakea
relatif lebih kecil pada anak-anak daripada orang dewasa. Diameter tersempit
terdapat didaerah cricoid, berbeda dengan orang dewasa dimana tersempit
pada daerah epiglottis. Perbedaan ini membuat pernfasan lebih mudah tersumbat
oleh edema mukosa yang dapat disebabkan oleh inflamasi ataupun iritasi dan
dapat bersifat fatal.4,5 Produksi mukosa pada neonatus dan bayi juga lebih banyak
daripada orang dewasa, sehingga membuat jalur pernafasan lebih mudah
tersumbat.5 Lidah pada neonatus dan bayi juga relatif lebih besar dan cenderung
jatuh saat dalam pengaruh anestesi. Pada neonatus dan bayi ukuran epiglottis lebih
besar, berbentuk U, dan lebih terkulai.3,4 Hal ini membuat terkadang
pengangkatan epiglottis diperlukan untuk visualisasi pada proses intubasi.
Ukuran tonsil dan adenoid juga harus diperhatikan karena dapat mempersulit
proses intubasi. Karakteristik anatomis neonatus membuat neonatus hanya dapat
bernafas melalui hidung sampai berumur
5 bulan, sehingga pemasangan pipa naso-gastrik dapat membahayakan
pernafasan.5
Hampir sama dengan neonatus dan bayi, pada kelompok anak-anak
juga mempunyai lidah yang lebih besar, laring yang letaknya lebih anterior,
epiglottis yang lebih panjang, serta leher dan trakea yang lebih pendek
daripada dewasa membuat membuat seorang anestesi lebih berhati-hati.6

Gambar 2. Anatomi jalan napas pada pasien anak8


6

Jenis pernafasan neonatus adalah pernafasan diafragma. Hal ini disebabkan


oleh thoraks pada neonatus berukuran kecil dan iga horizontal, otot-otot
pernafasan pada neonatus belum berkembang dengan baik, diafragma terdorong
keatas oleh isi perut yang besar. Dengan demikian kemampuan dalam memelihara
tekanan negatif intratorakal dan volume paru rendah sehingga memudahkan
terjadinya kolaps alveolus serta menyebabkan neonatus bernafas secara
diafragmatis.3,4,5,6 Kadang- kadang tekanan negatif dapat timbul dalam lambung
pada waktu proses inspirasi, sehingga udara atau gas anestesi mudah terhirup ke
dalam lambung. Pada bayi yang mendapat kesulitan bernafas dan perutnya
kembung dipertimbangkan pemasangan
7

pipa lambung.Pada neonatus juga ditemukan pola nafas periodik dimana ada
- periode dimana nafas berhenti sebentar selama kurang dari 10 detik.5 Hal ini
harus dibedakan dengan apneu, dimana apneu berhubungan dengan desaturasi
dan bradikardi. Pada anak yang lebih besar, pola pernafasan sudah hampir sama
dengan orang dewasa namum frekuensi lebih cepat karena berhubungna
dengan tingkat metabolism yang lebih tinggi daripada orang dewasa (Tabel 1).
Karena pada posisi terlentang dinding abdomen cenderung mendorong
diafragma ke atas serta adanya keterbatasan pengembangan paru akibat sedikitnya
elemen elastis paru atau surfaktan, maka akan menurunkan FRC (Functional
Residual Capacity) sementara volume tidalnya relatif tetap (7 mL/kgBB). 3,4 Untuk
meningkatkan ventilasi alveolar dicapai dengan cara menaikkan frekuensi
nafas (40-60 kali/menit), karena itu neonatus mudah sekali gagal nafas.6
Peningkatan frekuensi nafas juga dapat akibat dari tingkat metabolisme pada
neonatus yang relative tinggi, sehingga kebutuhan oksigen juga tinggi, dua kali
dari kebutuhan orang dewasa dan ventilasi alveolar pun relative lebih besar dari
dewasa hingga dua kalinya.4,5 Tingginya konsumsi oksigen dapat menerangkan
mengapa desaturasi O2 dari Hb terjadi lebih mudah atau cepat, terlebih pada
neonatus prematur, karena adanya stress dingin maupun sumbatan jalan nafas.6

2.4.2 Sistem Sirkulasi

Estimasi volume darah pada neonatus dan bayi adalah sekitar 85 mL/kg
dan lebih tinggi pada bayi prematur (95 mL/kg) dengan nilai hematokrit neonatus
dan bayi berisar antara 45-65 %. Komposisi cairan pada neonatus dan bayi adalah
75-
80% dari berat badan dimana sebanyak 30% berada di ekstraselular, 40% di
intraselular, dan sekitar 5% di plasma. Semakin bertambah umur, komposisi
semakin menyerupai orang dewasa dimana komposisi cairan sekitar 60% dari
4,5,6
berat badan. Hemoglobin yang terdapat pada bayi terlebih neonatus
kebanyakan adalah hemoglobin fetal (HbF) yang mempunyai afinitas oksigen yang
lebih tinggi daripada hemoglobin dewasa (HbA). Hal ini membuat oksigen lebih
susah untuk
8

ditransfer ke jaringan dalam tubuh.4 Seiring berjalannya waktu, jumlah HbF akan
berkurang dan HbA akan meningkat dimana kadar hemoglobin terendah pada saat
usia 3 bulan dan HbA menggantikan HbF seluruhnya pada usia sekitar 6 bulan.4,5
Pada neonatus dan bayi reaksi pembuluh darah masih sangat kurang,
sehingga keadaan kehilangan darah, dehidrasi dan kelebihan volume juga sangat
kurang ditoleransi.6 Manajemen cairan pada neonatus dan bayi harus
dilakukan dengan cermat dan teliti. Tekanan sistolik merupakan indikator yang
baik untuk menilai sirkulasi volume darah dan dipergunakan sebagai parameter
yang adekuat terhadap penggantian volume.5 Autoregulasi aliran darah otak pada
bayi baru lahir tetap terpelihara normal pada tekanan sistemik antara 60-130
mmHg. Frekuensi nadi neonatus dan bayi antara 80-160 dengan rata-rata 120
kali/menit dengan tekanan darah sekitar 80/60 mmHg. 4,5 Sedangkan tekanan darah
dan frekuensi nadi pada anak-anak bervariasi menurut umur dan semakin lama
semakin sama dengan orang dewasa seiring dengan bertambahya usia (Tabel 1).
Tabel 1. Parameter Tanda Vital pada Pasien Pediatrik5
Frekuensi Napas Frekuensi Jantung
Tekanan Darah (mmHg)
(kali/menit) (kali/menit)
Umur Sistol Diastol

Neonatus 40-60 120-160 60-80 40-60


Bayi 30-40 100-140 70-90 50-70
2-5 tahun 25-30 80-120 80-100 60-75
>6 tahun 18-25 70-110 90-110 70-80

Aktivasi dari sistem saraf parasimpaik, overdosis anestesi, ataupun hypoxia


dapat memicu bradikardi secara cepat meskipun denyut nadi pada bayi lebih cepat
dan mengurangi cardiac output yang dapat menyebabkan hipotensi, asistol, hingga
kematian intraoperative. Sesitivitas jantung terhadap rangsangan parasimpatis,
obat anestesi seperti opioid dan volatile neonatus dan bayi dapat disebabkan oleh
belum
matangnya jantung, sistem saraf simpatik, dan reflek baroreseptor.4,5,6 Untuk itu
monitor kardiovaskular harus dilakukan secara hati-hati.

2.4.3 Sistem Ekskresi dan Elektrolit

Filtrasi glomerulus hanya sekitar 30% dibanding orang dewasa akibat


belum matangnya ginjal neonatus. Fungsi tubulus juga belum matang sehingga
resorbsi terhadap natrium, glukosa, fosfat organic, asam amino dan bikarbonat
juga rendah. Fungsi ginjal akan berangsur matang pada puncaknya sekitar umur 8
tahun. Karena rendahnya filtrasi flomerulus, kemampuan mengekskresi obat-
obatan juga menjadi diperpanjang. Oleh karena ketidakmampuan ginjal untuk
menahan air dan garam, penguapan air, kehilangan abnormal atau pemberian air
tanpa sodium dapat dengan cepat jatuh pada dehidrasi berat dan
ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremia. Pemberian cairan dan
perhitungan kehilangan atau derajat dehidrasi diperlukan kecermatan lebih
dibanding pada orang dewasa. Begitu pula dalam hal pemberian elektrolit, yang
biasa disertakan pada setiap pemberian cairan.6
Perhitungan kebutuhan cairan per jam pada pasien pediari menggunakan auran “4-
2-1” , dimana 4 ml/kgBB/jam untuk 10 kg pertama, ditambah 2 ml/kgBB/jam untuk
10 kg kedua, dan ditambah 1 ml/kgBB/jam untuk sisa berat badan.5,6

2.4.4 Sistem Saraf

Myelinisasi pada neonatus belum sempurna dan akan matang dan lengkap
pada usia 3-4 tahun. Jadi saat neonatus, otak sangat sensitive terhadap keadaan-
keadaan hipoksia. Perkembangan yang belum sempurna pada neuromuscular
junction dapat mengakibatkan kenaikan sensitifitas dan lama kerja dari obat
pelumpuh otot non depolarizing.6
Syaraf simpatis belum berkembang dengan baik sehingga aktivitas
parasimpatis lebih dominan, yang mengakibatkan kecenderungan terjadinya
refleks vagal (mengakibatkan bradikardia; nadi <110 kali/menit) terutama pada
saat bayi dalam keadaan hipoksia maupun bila ada stimulasi daerah nasofaring. 4,5
Sirkulasi
bayi baru lahir stabil setelah berusia 24-48 jam. Belum sempurnanya mielinisasi
dan kenaikan permeabilitas blood brain barrier akan menyebabkan akumulasi
obat- obatan seperti barbiturat dan narkotik, dimana mengakibatkan aksi yang
lama dan depresi pada periode pasca anestesi. Sisa dari blok obat
relaksasi otot dikombinasikan dengan zat anestesi intravena dapat menyebabkan
kelelahan otot- otot pernafasan, depresi pernafasan dan apnoe pada periode pasca
anestesi.6
Setiap keadaan bradikardia harus dianggap berada dalam keadaan hipoksia
dan harus cepat diberikan oksigenasi. Kalau pemberian oksigen tidak
menolong baru dipertimbangkan pemberian sulfas atropin.6

2.4.5 Fungsi Hati

Fungsi hati belum matang pada bayi terlebih neonatus. 3,4 Fungsi
detoksifikasi obat masih rendah dan metabolisme karbohidrat yang rendah
pula yang dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia dan asidosis
metabolik.6
Cadangan glikogen hati sangat rendah. Kadar gula normal pada bayi baru
lahir adalah 50-60%. Hipoglikemia pada bayi (dibawah 30 mg/dL) sukar
diketahui tanda-tanda klinisnya, dan diketahui bila ada serangan apnoe atau terjadi
kejang. Sintesis vitamin K juga belum sempurna. Pada pemberian cairan
rumatan dibutuhkan konsentrasi dextrose lebih tinggi (10%).3,6

2.4.6 Regulasi Suhu


Pusat pengaturan suhu di hipothalamus belum berkembang, walaupun
sudah aktif. Kelenjar keringat belum berfungsi normal, luas permukaan
besar, tipisnya lemak subkutan, kulit lebih permeable terhadap air membuat
mudah kehilangan panas tubuh, sehingga neonatus sulit mengatur suhu tubuh dan
sangat terpengaruh oleh suhu lingkungan. Produksi panas mengandalkan pada
proses non- shivering thermogenesis yang dihasilkan oleh jaringan lemak coklat
yang terletak diantara scapula, axila, mediastinum dan sekitar ginjal. Hipoksia
mencegah produksi panas dari lemak coklat.3,4,6
Hipertermia dapat terjadi akibat dehidrasi, suhu sekitar yang panas, selimut
atau kain penutup yang tebal dan pemberian obat penahan keringat (misal: atropin,
skopolamin). Adapun hipotermia bisa disebabkan oleh suhu lingkungan yang
rendah, permukaan tubuh terbuka, pemberian cairan infus atau tranfusi darah
dingin, irigasi oleh cairan dingin, pengaruh obat anestesi umum yang
menekan pusat regulasi suhu, maupun obat vasodilator.6,7
Temperatur lingkungan yang direkomendasikan untuk neonatus adalah
270C.4,5 Pemantauan suhu tubuh, mengusahakan suhu kamar optimal
atau pemakaian selimut hangat, lampu penghangat, incubator, cairan intra vena
hangat, gas anestesi, cairan irigasi maupun cairan antiseptic yang hangat dapat
dilakukan untuk mencegah hipotermia.5,6 Untuk anak yang lebih besar, penanganan
suhu sama dengan orang dewasa.6

2.4.7 Respon Psikologis


Respon psikologis pada pasien pediatrik terutama pada kelompok
umur anak pra sekolah dan usia sekolah sangat berbeda dengan orang
dewasa. Pada kelompok ini diperlukan pendekatan-pendekatan khusus.7
Respon psikologis kelompok ini terhadap rasa takut, tidak nyaman, dan stress
emosional seringkali membuat masalah pada proses pre operatif, durante, maupun
post operatif. Rasa takut bisa datang dari nyeri fisik seperti jarum suntik, luka
pasca bedah, dan penggantian bebat. Rasa tidak nyaman yang seringkali
dirasakan pasien pediatrik adalah pusing, mual, infus, kateter, drain, dll.
Sedangkan stress emosional yang paling sering dirasakan adalah pisah dari
orangtua, bau-bauan, alat-alat dan suara di rumah sakit atau kamar bedah, ataupun
ketakutan akan operasi yang akan pasien jalani. 5,7 Menangis, agitasi, retensi
urine, nafas dalam, tak mau bicara, dan pernafasan dalam merupakan respon
yang biasa dilakukan anak-anak. Untuk itu mungkin diperlukan pendekatan
terhadap anak-anak seperti menggunakan mainan atau permainan tertentu,
selalu tersenyum dan menggunakan intonasi yang meyakinkan anak, anak
didampingi orangtua, dll.7
2.4.8 Respon Farmakologi
Farmakokinetik dan farmakodinamik dari obat-obat yang diberikan
pada neonatus dan bayi berbeda dibandingkan dengan dewasa karena6:
1. Perbandingan volume cairan intravaskuler terhadap cairan
ekstravaskuler berbeda dengan orang dewasa.
2. Laju filtrasi glomerulus masih rendah
3. Laju metabolisme yang tinggi
4. Kemampuan obat berikatan dengan protein masih rendah
5. Liver/hati yang masih immature akan mempengaruhi proses
biotransformasi obat.
6. Aliran darah ke organ relative lebih banyak (seperti pasa otak, jantung,
liver dan ginjal)
7. Khusus pada anestesi inhalasi, perbedaan fisiologi system pernafasan:
ventilasi alveolar tinggi, minute volume, FRC rendah, lebih rendahnya
MAC dan koefisien partisi darah/gas akan meningkatkan potensi obat,
mempercepat induksi dan mempersingkat pulih sadarnya.

2.5 Tatalaksana Anestesi pada Pasien Pediatrik

2.5.1 Evaluasi dan Persiapan pra Anestesi

• Evaluasi dan Persiapan


Sebelum anestesi dan pembedahan dilaksanakan, keadaan hidrasi,
elektrolit, asam basa harus berada dalam batas-batas normal atau mendekati
normal. Heteroanamnesis dari orang tua, penilaian keadaan umum dan
fisik, serta menilai masalah anestesi yang akan dialami juga harus
dilakukan.6,7
Pemeriksaan tambahan yang rutin dilakukan adalah darah lengkap dan faal
hemostatis, sdangkan pemeriksaan lain sesuai dengan kebutuhan1,6.
Transportasi neonatus dari ruang perawatan ke kamar bedah sedapat
mungkin menggunakan incubator yang telah dihangatkan. Peralatan
anestesi neonatus bersifat khusus. Tahanan terhadap aliran gas harus
rendah,
anti obstruksi, ringan dan mudah dipindahkan. Biasanya digunakan system
anestesi semi-open modifikasi system pipa T dari Ayre yaitu peralatan dari
Jackson-Rees.5,6,7 Untuk anestesi yang lama, gas-gas anestetik dihangatkan,
dilembabkan dengan pelembab listrik. 6 Pada kelompok anak pra
sekolah dan usia sekolah, kunjungan anestesi dilakukan selain untuk
menilai keadaan umum, keadaan fisik, mental, dan menilai masalah
yang akan dihadapi penderita, juga merupakan kesempatan untuk
mendapatkan kepercayaan anak tersebut sehingga mengurangi kecemasan
anak.7
• Puasa
Puasa yang lama menyebabkan dehidrasi dan hipoglikemia. Lama
puasa yang dianjurkan adalah stop susu 4 jam dan pemberian air gula 2 jam
sebelum anestesi untuk umur < 6 bulan. Stop susu 6 jam dan pemberian air
gula 3 jam sebelum anestesi untuk umur 6-36 bulan. Untuk >36
bulan dengan cara stop susu 8 jam dan pemberian air gula 3 jam
sebelum anestesi.3,6 Untuk anak yang sudah lebih besar, puasa seperti
orang dewasa
yaitu 6-8 jam.7

• Infus
Infus dipasang untuk memenuhi kebutuhan cairan karena puasa,
mengganti cairan yang hilang akibat trauma bedah, akibat perdarahan, dll.
Cairan pemeliharaan/pengganti karena puasa diberikan dalam waktu 3 jam,
jam I 50% dan jam II, III maing-masing 25%. Kecukupan hidrasi
dapat dipantau melalui produksi urin (> 0,5ml/kgBB/jam). 1,3,7
Untuk pemeliharaan digunakan preparat D5% dalam NaCl 0,225% untuk
anak < 2 tahun dan preparat D5% dalam NaCl 0,45 % untuk anak > 2
tahun.1

• Persiapan Kamar Operasi


Persiapan kamar operasi merupakan hal yang esensial, dan
tergantung pada ukuran tubuh dan status fisik pasien, metode induksi, dan
rencana airway manajemen. Mesin anestesi harus diperiksa terlebih dahulu
dan ventilator diatur sesuai tubuh pasien, ukuran face mask yang sesuai,
dan juga oral airway. Laringoskop harus di cek apakah berfungsi dengan
baik, dan ukuran blade yang sesuai harus dipersiapkan. Obat obatan, tube
trakea, stylet yang sesuai juga merupakan hal yang esensial dalam
persiapan. Peralatan untuk resusitasi, obat-obat emergensi juga harus
dipersiapkan. Karena permukaan tubuh anak lebih besar daripada
dewasa, sehingga cenderung untuk terjadi hipotermi, suhu di ruangan
operasi tentu harus disesuaikan, dan alat pemanas dapat disediakan untuk
dapat menjaga suhu pasien.3,7

• Keberadaan Orang Tua Pasien


Keberadaan orang tua di sisi pasien, merupakan salah satu
cara untuk menghilangkan kecemasan pada pasien, selain dengan
menggunakan obat-obatan. Banyak rumah sakit yang telah
menyediakan video tentang petunjuk baik bagi sang pasien ataupun
orang tuanya, tentang apa dan bagaimana persiapan preoperative yang
sebenar dan sebaiknya. Hal ini dapat membantu terutama pada pasien
usia pra sekolah. Anak yang berusia lebih dari 4 tahun dengan orang tua
yang memiliki tingkat kecemasan lebih rendah mendapatkan keuntungan
untuk mengurangi kecemasan pada sang pasien sendiri. Namun jika
orang tua pasien memiliki kecemasan yang berlebih tentu hal ini tak
akan membantu, atau bahkan menjadi lebih sulit. Jika pasien telah ter
sedasi, keberadaan orang tua tak lagi diperlukan, dimana hal ini
tidak akan berpengaruh terhadap kecemasan pasien. Keberadaan
orang tua saat induksi sangat tergantung dari tipe orang tua tersebut,
instruksi yang diberikan, pasien dan sang ahli anestesi sendiri.3,6,7
• Premedikasi
1. Sulfas Atropine
Hampir selalu diberikan terutama pada penggunaan Halotan,
Enfluran, Isofluran, suksinil cholin atau eter. Dosis atropine 0,02
mg/kg, minimal 0,1 mg dan maksimal 0,5 mg. lebih digemari secara
intravena dengan pengenceran. Hati-hati pada bayi demam, takikardi,
dan keadaan umumnya jelek.3,6
2. Penenang
Tidak dianjurkan pada neonatus dan bayi, karena susunan saraf
pusat belum berkembang, mudah terjadi depresi. Untuk anak pra
sekolah dan usia sekolah yang tidak bisa tenang dan cemas, pemberian
penenang dapat dilakukan dengan pemberian midazolam. Dosis yang
dianjurkan adalah 0,5mg/kgBB. Efek sedasi dan hilangnya cemas
dapat timbul 10 menit setelah pemberian. 3,6

2.5.2 Induksi pada Pasien Pediatrik

Cara induksi pada pasien pediatrik tergantung pada umur, status fisik, dan
tipe operasi yang akan dilakukan. Ahli anestesi tentu memiliki cara dan
taktik tersendiri dalam menginduksi pasien pediatrik dan harus memiliki informasi
yang adekuat dari pasien yang akan diinduksi, minimal umur dan berat badan
pasien, jenis pembedahan, apakah emergensi atau elektif, status fisik
dan mental (kooperatif/tidak) pasien. Hal ini dilakukan untuk persiapan
keperluan-keperluan seperti pipa ETT, pemanjangan anestesi, manajemen nyeri
post operatif, ventilasi, dan perawatan intensif yang memadai.3,4,5
Induksi anestesia pada bayi dan anak sebaiknya ada yang membantu.
Induksi diusahakan agar berjalan mulus dengan trauma yang sekecil
mungkin. Induksi dapat dikerjakan secara inhalasi atau seintravena.3
• Induksi inhalasi.
Dikerjakan pada bayi dan anak yang sulit dicari venanya atau pada yang
takut disuntik. Diberikan halotan dengan oksigen atau campuran N 2O
dalam oksigen 50%. Konsentrasi halotan mula-mula rendah 0,5 vol%
kemudian dinaikkan setiap beberapa kali bernafas 0,5 vol % sampai tidur.
Sungkup muka mula-mula jaraknya beberapa sentimeter dari mulut dan
hidung, kalau sudah tidur barn dirapatkan ke muka penderita.3,4

• Induksi intravena.
Dikerjakan pada anak yang tidak takut pada suntikan atau
pada mereka yang sudah terpasang infus. Induksi dapat dilakukan
dengan menggunakan propofol 2-3 mg/kg diikuti dengan pemberian
pelumpuh otot non depolarizing seperti atrakurium 0,3 -0,6 mg/kg. 3,4
Seringkali pada praktik pediatri, intubasi bisa dilakukan dengan
kombinasi propofol, lidokain, dan opiate dengan atau tanpa agen
inhalasi sehingga tidak diperlukan pelumpuh otot. Pelumpuh otot juga
tidak diperlukan saat pemasangan LMA.3

2.5.3 Intubasi pada Pasien Pediatrik


Intubasi neonatus dan bayi lebih sulit karena mulut kecil, lidah besar-tebal,
epiglottis tinggi dengan bentuk “U”. Karena occiput menonjol dan membuat posisi
fleksi pada kepala, maka dapat dikoreksi dengan cara sedikit mengangkat
bahu dengan meletakan handuk dan menaruh kepala pada bantal berbentuk
donat.3,4,6
Sebaiknya menggunakan laringoskop bilah lurus-lebar dengan lampu di ujungnya.
Hati-hati bahwa bagian tersempit jalan nafas atas adalah cincin cricoid. Intubasi
biasanya dikerjakan dalam keadaan sadar (awake intubation) terlebih pada keadaan
gawat atau diperkirakan akan dijumpai kesulitan. Beberapa penulis menganjurkan
intubasi sadar untuk bayi baru lahir dibawah usia 10-14 hari atau pada bayi
prematur.3,6 Yang berpendapat dilakukan intubasi tidur atas pertimbangan
dapat
ditekannya trauma, yang dapat dilakukan dengan menggunakan ataupun tanpa
pelumpuh otot. Pipa trachea yang dianjurkan adalah dari bahan plastic,
tembus pandang dan tanpa cuff. Untuk premature digunakan ukuran diameter
2-3 mm sedangkan pada bayi aterm 2,5-3,5 mm. Pipa yang digunakan juga jenis
pipa non kinking atau yang tidak mudah tertekuk.7
Pada anak-anak, digunakan blade laringkoskop yang lebih kecil dan lurus,
jenisnya tergantung pada piliban ahli anestesi dan adanya gangguan saluran
pernapasan. Pipa trakea dipilih berdasarkan prinsip babwa pipa yang dapat
dibengkokkan tidak digunakan di bawah nomor 7, dan dua nomor lebih rendah
harus disiapkan bila diperlukan.3,7
Pipa trakea pada bayi dan anak dipakai yang tembus pandang tanpa cuff.
Untuk usia diatas 5-6 tahun boleh dengan cuff pada kasus-kasus laparotomi atau
jika ditakutkan akan terjadi aspirasi. Secara kasar ukuran besarnya pipa trakea
sama dengan besarnya jari kelingking atau besarnya lubang hidung. Untuk
menghitung perkiraan diameter dan panjang pipa dapat menggunakan formula3 :

4 + umur/4 = diameter pipa (mm)


dan
12 + umur/2 = panjang pipa (cm)

Pada pasien pediatrik, intubasi hidung tidak dianjurkan, karena dapat


menyebabkan trauma, perdarahan adenoid dan infeksi. Peralatan harus dengan
ruang rugi minimal, dan resistensi rendah seperti model T-Jackson Rees.6

2.5.4 Pemeliharaan Anestesi pada Pasien Pediatrik


Anestesia neonatus sangat dianjurkan dengan intubasi dan nafas kendali.
Penggunaan sungkup muka dengan nafas spontan pada bayi hanya untuk
tindakan ringan yang tidak lama.6 Gas anestetika yang umum digunakan adalah
N2O dicampur dengan 02 perbandingan 50:50 untuk neonatus, 60:40 untuk bayi,
dan 70:30 untuk anak-anak. Walapun N2O mempunyai sifat analgesia kuat,
tetapi
sifat anestetikanya sangat lemah. Karena itu sering dicampur dengan
halotan, enfluran atau isofluran. 1,3 Narkotika hanya diberikan untuk usia diatas
1 tahun atau pacta berat diatas 10 kg. Morfin dengan dosis 0,1 mg/kg atau per
dosis 1-2 mg/kg. Pelumpuh otot non depolarisasi sangat sensitif, karena
itu haus diencerkan dan diberikan secara sedikit demi sedikit.6
Banyaknya cairan yang harus diberikan per infus disesuaikan dengan
banyaknya cairan yang hilang. Terapi cairan dimaksudkan untuk mengganti cairan
yang hilang pada waktu puasa, pada waktu pembedahan, adanya perdarahan dan
oleh sebab-sebab lain, cairan fistula dan lain-lainnya. Cairan yang
seharusnya masuk, karena puasa harus diganti dengan pedoman1,3,4 :
Pada jam I diberikan 50% defisit + cairan pemeliharaan/jam
Pada jam II diberikan 25% nya + cairan pemeliharaan/jam
Pada jam III diberikan 25% nya + cairan pemeliharaan/jam
Cairan hilang akibat perdarahan yang kurang dari 10 % diganti dengan
cairan kristaloid dalam dekstrosa, misalnya cairan dekstrosa 5% dalam
Ringer-Iaktat sedangkan diatas 10% dilakukan transfusi.6
Banyaknya perdarahan dapat diperkirakan dengan6,7:
1. Mengukur darah dalam botol penyedot, menimbang kain kasa sebelum
dan sesudah kena darah dengan bantuan kolorimeter. Jumlahkan
keduanya kemudian tambahkan 25% untuk darah yang sulit
dihitung misalnya yang menempel di tangan pembedah, yang melengket
di kain penutup dan lain-lain.
2. Mengukur hematokrit secara serial. Perdarahan melebihi 10% pada
neonatus harus diganti dengan darah.

2.5.5 Pengakhiran Anestesi pada Pasien Pediatrik


Setelah pembedahan selesai, obat anestetika dihentikan pemberiannya.
Berikan oksigen murni 5-15 menit. Bersihkan rongga hidung dan mulut dari lendir
kalau perlu. Jika menggunakan pelumpuh otot, dapat dinetralkan dengan
prostigmin (0,04 mg/kg) atau neostigmine (0,05 mg/kg) dan atropin (0,02 mg/kg).
Depresi nafas oleh narkotika-analgetika netralkan dengan nalokson 0,2-0,4
mg secara titrasi.3,4,6
Ekstubasi pada bayi dikerjakan kalau bayi sudah sadar benar, anggota
badan. bergerak-gerak, mata terbuka, nafas spontan adekuat. Ekstubasi dalam
keadaan anestesia ringan, akan menyebab kan batuk-batuk, spasme laring
atau bronkus. Ekstubasi dalam keadaan anestesia dalam digemari karena
kurang traumatis. Dikerjakan kalau nafas spontannya adekuat, keadaan umumnya
baik dan diperkirakan tidak akan menimbulkan kesulitan pasca intubasi.3,6

2.5.6 Komplikasi Anestesi pada Pasien Pediatrik


Semua pasien anestesi pediatri, terutama yang diintubasi, lebih
memiliki resiko untuk mengalami komplikasi. Mual dan munatah adalah hal
yang paling sering terjadi, terutama pada pasien berumur 2 tahun ke atas. Terjadi
karena pipa ETT dipasang terlalu erat, sehingga mukosa trachea menjadi
bengkak. Laringospasme adalah salah satu komplikasi yang mungkin terjadi.
Biasanya terjadi pada anestesi stadium II. Jika terjadi, suksinilkolin dapat
digunakan, bersama dengan atropine untuk mencegah brakikardi.6,7

2.5.6 Pasca Anestesi pada Pasien Pediatrik


Setelah selesai anestesia dan keadaan umum baik, penderita dipindahkan ke
ruang pulih. Disini diawasi seperti di kamar bedah, walaupun kurang
intensif dibandingkan dengan pengawasan sebelumnya. Hal yang perlu
diawasi adalah kesadaran, pernafasan yang spontan dan adekuat serta bebas dari
pengaruh efek sisa obat pelumpuh otot, denyut nadi dan tekanan darah, warna
kulit, dan suhu tubuh.6,7
Pasien dapat dipindahkan ke ruangan jika skor Aldretenya mencapai 10 dan tidak
ada penyulit.1
Yang Dinilai Nilai
GERAKAN
Menggerakkan 4 ekstremitas sendiri atau dengan perintah 2
Menggerakkan 2 ekstremitas sendiri atau dengan perintah 1
Tidak dapat menggerakkan ekstremitas 0
PERNAFASAN
Bernafas dalam dan kuat serta batuk 2
Bernafas berat atay dispneu 1
Apneu atau perlu dibantu 0
TEKANAN DARAH
Sama dengan nilai awal + 20% 2
Berbeda lebih dari 20-50% dari nilai awal 1
Berbeda lebih dari 50% dari nilai awal 0
WARNA KULIT
Merah 2
Pucat, Ikterus, dan lain-lain 1
Sianosis 0
KESADARAN
Sadar penuh 2
Tidak sadar, ada reaksi terhadap rangsangan 1
Tidak ada reaksi 0

Gambar 1. Skala Aldrete.7


BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : An. G.P.T
Umur : 4 tahun
Alamat : Olaya, Parimo
BB : 15 Kg
TB : 105 cm
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan :-
Suku bangsa : Toraja
Ruangan : Ruang Aster
Tanggal masuk rumah sakit : 15 Mei 2019
Tanggal operasi : 16 Maret 2015

3.2 Anamnesis
Dilakukan anamnesis secara heteroanamnesis (ibu dan ayah pasien)
Keluhan utama:
Langit-langit tidak mulut menyatu

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien merupakan rujukan dari Rumah Sakit Umum Daerah Anuntaloko Parigi
dengan diagnosis Palatoskisis. Pasien diantar oleh orangtuanya ke polik bedah mulut
Rumah Sakit Umum Daerah Undata dengan keluhan langit-langit mulut tidak
menyatu. Hal tersebut pada pasien sudah dialami dari lahir. Keluhan disertai tidak
bisa berbicara seperti anak diusianya. Pasien hanya mengucapkan “kaka” dan “baba”.
Demam (-), Flu (-), Batuk (-), Sesak Nafas (-). Pasien juga tidak mengalami kesulitan
dalam makan dan minum, mual (-), muntah (-). Untuk BAB pasien normal, dan BAK
lancar berwarna kuning jernih . Alasan orangtua pasien membawa pasien berobat
agar langit-langit pada mulut pasien bisa normal dan pasien bisa berbicara seperti
anak pada umumnya. Pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Orangtua
pasien mengatakan selama hamil control teratur di Puskesmas dan selama kehamilan
tidak ada riwayat trauma maupun penyakit yang diderita. Orangtua pasien
menyangkal bahwa dalam keluarga tidak ada yang mengalami kelainan seperti
pasien.

Riwayat penyakit dahulu :


Penyakit jantung (-), Riwayat operasi (-),Riwayat Alergi (-), Riwayat Asma (-).
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-tanda vital
 Nadi : 92 x/m
 Respirasi : 24 x/m
 Suhu badan : 36,6 0C
Kepala : Conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, Bibir sianosis -/-,
palatoskisis Gol. 1(+).
Leher : Pembesaran KGB -/- , massa abnormal -/-
Thoraks : Paru : Simetris, retktraksi (-), suara napas vesikuler, rhonki (-),
wheezing (-)
Jantung : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-)
Abdomen : datar, bisung usus (+), hepar dan lien tidak ada pembesaran.
Ekstremitas : akral hangat, edema (-)
Status Anestesi
PS ASA :2
Hari/Tanggal : Jumat, 15/05/2019
Ahli Anestesiologi : dr. IA, Sp. An, M.Kes.
Ahli Bedah Mulut : drg. M.G. Sp.BM
Diagnosa Pra Bedah : Palatoskisis
Diagnosa Pasca Bedah : Palatoplasti
TTV : N: 90 x/m; RR : 30 x/m
B1 : airway bebas, retraksi (-), gerak dada simetris, suara
nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-, RR : 30
x/m
B2 : Perfusi : hangat, kering, merah. Capillary Refill Time
< 2 detik, BJ : I-II regular, konjungtiva anemis -/-,
nadi : 90x/m
B3 : Kesadaran composmentis, GCS E4V5M6 , refleks
cahaya +/+.
B4 : Terpasang pampers, urin 100cc, warna kuning jernih
B5 : Perut datar, mual (-), muntah (-), bising usus (+),
nyeri tekan (-)
B6 : Akral hangat (+), edema (-).
Medikasi pra bedah : 1. Midazolam 2 mg (IV)
2. Propofol 20 mg (IV)
3. Fentanyl 30 mcg (IV)
4. Atracurium Besilate 7 mg (IV)
5. Lidocain Compositum 40 mg (Infiltasi Palatum)
6. Asam Tranexamat 250 mg (IV)
Jenis Pembedahan : Palatoplasti
Lama Operasi : 09.00 – 10.15 WITA
Jenis Anestesi : Anestesi General
Anestesi dengan : Sevofluran + 02
Teknik Anestesi : Pre oksigenasi 5’, Induksi IV, Intubasi Endotrakeal
(ETT 3,5 mm).
Pernafasan : Spontan
Posisi : Terlentang
Infus : Tangan kana, IV line abocath 22 G, cairan RL.
Penyulit Pembedahan :-
TTV Pada Akhir : N:118x/m; RR : 33x/m
Pembedahan
Medikasi : Durante Operasi :
- Fentanyl 10 mcg
- Propofol 20 mg
- Ketorolac Trometamol 10 mg (Drips)
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap 08 Mei 2019 Nilai Rujukan
Hemoglobin 12,9 g/dl 13,2-17,3 g/dl
Leukosit 11,490/mm3 3,800-10,600 /mm3
3
Trombosit 400.000/mm 150.000-440.000 /mm3
BT 3,3’ 1-5 menit
CT 7’ 4-10 menit
SGOT 42,3 U/L 0 – 37,0 U/L
SGPT 18,4 U/L 0 – 41,0 U/L
HBsAg Non-Reactive -
HIV - -

3.5 Observasi Durante Operasi


Observasi Heart Rate
125

120

115

110
Column3
105

100

95
9 9.15 9.3 9.45 10 10.15 10.3
Gambar. Diagram Observasi Heart Rate

Balance Cairan
Waktu Input Output
Urin : 100 cc
Pre operasi RL : 150 cc
Puasa : 400 cc/8 jam
Urin : 50 cc
Durante Perdarahan : 30 cc = 90 cc*
RL : 500cc
operasi Operatif : 2 x 15 = 30 cc/jam
Maintenance : 65 cc/jam
Total 650 cc 735 cc
Balance cairan: input – output = 650 – 735 cc = - 85 cc
`
3.6 Resume
Seorang anak laki-laki berumur 4 tahun datang diantar oleh orangtuanya
dengan rujukan dari RSUD Anuntaloko Parigi dengan diagnosis Palatoskisis. Pasien
datang dengan keluhan “Cleft Palatum” disertai dengan distartria. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan leukosit 11.490/mm3
Pasien akhirnya menjalani operasi palatoskisis pada tanggal 16 Mei 2019
dengan anestesi umum menggunakan obat premedikasi dan medikasi, dan menjalani
operasi selama 1 jam 15 menit

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pre Operatif


Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien merupakan pasien laki-laki, 4 tahun,
merupakan pasien pediatri yang mengalami langit-langit mulut tidak menyatu dari
lahir. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
telah dilakukan, diketahui pasien menderita Palatoskisis Golongan 1, yakni hanya
terjadi pada pallatum mole pasien.
Pasien ditetapkan pada klasifikasi PS ASA 2 disebabkan pasien dengan
penyakit sistemik ringan dimana selain adanya Palatoskisis didapatkan juga adanya
leukositosis (11.490/mm3).
Pada kasus ini (palatoplastii), dilakukan penilaian status dan evaluasi status
generalis dengan pemeriksaan fisik dan penunjang (pemeriksaan laboratorium) untuk
mengoreksi kemungkinan adanya gangguan fungsi organ yang mengancam serta
mempersiapkan darah untuk transfusi untuk mengantisipasi adanya perdarahan pada
pasien. Selain itu, pasien dipuasakan selama 8 jam sebelum dilakukan operasi.
4.2 Durante Operasi
Anestesi umum dipilih menjadi pilihan anestesi berdasarkan atas indikasi
anestesi umum sendiri adalah untuk infant dan anak usia muda. Pada kasus ini,
penderita merupakan pasien anak-anak (pediatric) yang tidak kooperatif, memiliki
stress psikis, stress fisik, juga untuk menjamin kenyamanan selama operasi dan akan
dilakukan tindakan bedah pada daerah wajah (pro labioplasti) sehingga anestesi
umum merupakan pilihan yang tepat. Dimana pasien dibuat tidak sadar dengan
anestesi umum agar operator (ahli bedah) mudah melakukan tindakan.
Pada kasus ini dilakukan pemberian premedikasi kurang lebih 5 menit
sebelum dilakukan induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi,
rumatan dan membangun reaksi anestesi itu sendiri, diantaranya yaitu Pada kasus ini
merupakan pasien pediatric dengan riwayat hiperaktif sehingga sebelum masuk
ruangan operasi diberi obat midazolam injeksi sebanyak 2 mg . Selanjutnya, setelah
masuk ruangan operasi pasien diberikan anestesi inhalasi sevoflurane + 02 selama 5
menit. Lalu, pasien diberi obat induksi anestesi yakni propofol. Memaksimalkan
proses induksi anestesi pada pasien dengan diberikannya fentanyl . Merelaksasikan
otot, untuk mengurangi tegangan tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan
pembedahan dengan diberikannya atracurium besilate. Selain itu, diberikan juga
lidocain compositum (+ epinephrine) serta asam tranexamat , dengan pemberiannya
premedikasi diatas, tim anestesi dengan mudah melakukan induksi anestesi dan tim
bedah mulut dapat terbantu pada saat melakukan tndakan operatif.
Pemilihan anestesi inhalasi (sevofluran + O2) pada kasus ini dikarenakan
penangkapan gas-gas anestesi pada anak-anak lebih cepat dibanding orang dewasa
karena proporsi jaringan pembuluh darahnya lebih banyak dan ekskresi induksi
inhalasi pada anak-anakpun lebih cepat dibandingkan orang dewasa. Selain itu tim
anestesi dapat dengan mudah mengontrol respirasi induksi inhalasi pada monitor.
Pada pasien ini juga diberikan induksi inhalasi sevofluran karena memiliki efek
terhadap kardiovaskular cukup stabil. Dan setelah pemberian sevofluran dihentikan
maka cepat dikeluarkan oleh tubuh. Pada kasus ini juga diberikan medikasi propofol,
dimana pemberian propofol ini bertujuan pada tekhnik anestesi yang dilakukan yaitu
teknik anestesi spontan dengan pipa endotrakeal. Pemberian propofol pada teknik ini
diharapkan pasien tertidur dengan reflex bulu mata hilang hingga mempermudah
dikakukan intubasi.
Pada pasien ini diberikan medikasi durante operasi yaitu fentanyl dan
ketorolac secara intravena. Indikasi pemberian propofol adalah sebagai anesthesia
rumatan untuk menjaga kedalaman anestesi dengan cara mengatur kosentrasi didalam
tubuh pasien. Indikasi pemberian fentanyl durante operasi yang bekerja sebagai
analgesik bertujuan untuk meringankan rasa sakit. Lalu pada akhir operasi ,
diberikan ketorolac secara intravena juga untuk memberi efek analgesic beberapa
jam post operasi.
4.3 Terapi dan Resusitasi Cairan
Kebutuhan cairan untuk pasien ini dengan BB 15 kg, yang kemungkinan
mengalami defisit cairan akibat puasa ± 8 jam serta adanya perdarahan yang terjadi
selama pembedahan dapat dilakukan terapi cairan dengan perhitungan sebagai
berikut :
a. Praoperasi
Defisit cairan karena puasa 8 jam adalah 400cc. diadapat dari Rumus
Holliday dan Segar, yaitu:
10kg x 4cc= 40cc
5 kg x 2cc = 10 cc
= 50 cc/jam
= 50 cc/jam x 8 = 400cc/8 jam (namun tidak dihitung karena pasien tetap
memperoleh cairan melalui Infus RL)
Dan urin yang didapatkan praoperasi sebanyak 100 cc.

b. Durante Operasi
Pasien dilakukan operasi selama 1 jam 15 menit. Maka Maintenancenya
adalah 65 cc/1 jam 15 menit. Didapatkan dari :
10kg x 4cc= 40cc
5 kg x 2cc = 10 cc
= 50 cc/jam
= 50cc/jam = 65 cc/1 jam 15 menit
Untuk Replacement, yaitu cairan yang mengalami translokasi selama
pembedahan operasi bedah kecil (2cc), jadi:
2ccxBBx1,5jam
2ccx15x1 jam= 30 cc.
Dan EBV (Estimate Blood Volume) adalah 85 x BB  85 x 15 kg =
1275 cc. kemudian perdarahan pada pasien ini sebanyak 30 cc.
Jadi untuk mencari EBL ( Estimate Blood Lose) adalah perdarahan/ EBV
x 100%  30/1275 x 100% = 2,4%. Presentase EBL < 10% menggambarkan
bahwa pasien tidak pelu dilakukan transfuse darah.
Kebutuhan cairan karena perdarahan, dapat diganti dengan cairan
kristaloid 2-3 x EBL  2-3 x 30cc = 60-90 cc.

Pada kasus ini, pasien mengalami kehilangan cairan akibat puasa selama 8 jam
sebanyak 400 cc ditambah output (urin) sebanyak 100 cc. Total cairan yang harus
diganti selama pre op sebanyak 500 cc, sedangkan cairan yang didapatkan pasien
sebanyak 150 cc. Sehingga cairan yang masih perlu diganti yaitu sebanyak 350 cc.
Selama durante operasi, cairan maintenance untuk pasien ini yaitu sebanyak
65 cc. Sedangkan untuk cairan replacement (dengan operasi bedah kecil selama 1
jam 15 menit) dibutuhkan cairan sebanyak 30 cc. Adanya urin sebanyak 50 cc .
Adanya perdarahan yang terjadi yaitu sebanyak 30 cc. Maka total cairan yang harus
didapatkan pasien ini yaitu 500 cc + 65 cc + 50 cc + 30 cc + 90 cc = 735 cc.
Sedangkan cairan yang diperoleh sebanyak 650 cc. Sehingga kekurangan cairan
durante operasi yaitu 85 cc.
Total kekurangan cairan yang harus diganti selama pre op dan durante op yaitu
sebanyak 83 cc. Sehingga kekurangan cairan harus digantikan dengan pemberian
terapi cairan pada jam berikut post operasi.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
a. Klasifikasi status penderita digolongkan dalam PS ASA 2 karena merupakan
pasien pediatrik berumur 2 tahun dengan gangguan sistemik ringan, dimana
adanya labiopalataskisis didapatkan juga adanya leukositosis (11.490/mm3)
b. Pada kasus ini dipilih anestesi umum berdasarkan atas indikasi anestesi umum
itu sendiri yaitu, pasien merupakan pasien pediatric.
c. Pada kasus ini dilakukan premedikasi, dimana premedikasi berguna untuk
meredakan hiperaktivitas, kecemasan dan ketakutan pada pasien itu sendiri
serta memperlancar induksi anestesi.
d. Pada realita kebutuhan cairan yang diberikan selama operasi kurang yaitu –83
cc.

5.2 Saran

Pada kebutuhan cairan yang diberikan selama operasi agar lebih harus
diperhatikan saat melakukan observasi agar pasien tidak terjadi kekurangan cairan
agar mencegah terjadinya dehidrasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gde Mangku, Tjokorda Gde Agung Senapthi. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan

Reanimasi. Indeks; 2010. 6-7; 149-59

2. K Rupp, J Holzki, T Fischer, C Keller. Pediatric Anesthesia. Drager; 2015.

3. Smith dan Aitkenhead. Pediatric Anaesthesia dalam Textbook of Anaesthesia

Sixth Edition. Churchill Livingstone Elsevier; 2013. 731- 47.

4. John Butterworth, David Mackey, dan Wasnick. Pediatric Anesthesia dalam Morgan &

Mikhail’s Clinical Aneshesiology Fifth Edition. Mc Graw Hill; 2013. 877-97

5. Erin Gottlieb dan Andropoulos. Pediatrics dalam Miller’s Basic of Anesthesia

Sixth Edition. Elsevier; 2011. 546-57

6. Said A L, Suntoro A. Anestesi Pediatrik. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi

dan Terapi Intensif FKUI.

7. Krane E. Orientation to Pediatric Anesthesia. tersedia di

http://anesthesia.stanford.edu/ kentgarman/ clinical/ped%20orient. Diakses pada

28 Juli 2016.

8. Abdelmalak B, Abel M, Ali HH, Aronson S, Avery G, et al. Anesthesiology . 2nd


Edition. McGrawHill 2012 : USA
9. Behrman R.E, Kliegman R.M, Arvin A.M. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi
15 Vol. 2. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai