Anda di halaman 1dari 34

PRESENTASI KASUS

Cedera Otak Berat dengan Epidural Hemorrhage dan Intracranial


Hemorrhage

Diajukan kepada :
dr. Rochmawati Istutiningrum, Sp.Rad

Disusun oleh :
Nida Fakhriyyah Rahmah 1810221031
Yovita Widawati 1810221035

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ’’VETERAN’’ JAKARTA


FAKULTAS KEDOKTERAN
SMF RADIOLOGI
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2018
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

Cedera Otak Berat dengan Epidural Hemorrhage dan Intracranial


Hemorrhage

Disusun oleh :
Nida Fakhriyyah Rahmah 1810221031
Yovita Widawati 1810221035

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik di


bagian Radiologi RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal September 2018

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Rochmawati Istutiningrum, Sp. Rad


BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Di Amerika Serikat kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500 000 kasus Dan jumlah di atas , 10% penderita meninggal sebelum
tiba di rumah sakit . Yang sampai di rumah sakit , maka 80% dikelompokkan
sebagai cedera kepala ringan , 10% termasuk cedera kepala sedang dan 10% nya
sisanya adalah cedera kepala berat (ATLS, 2015).
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau
permanent (PERDOSSI, 2007). Menurut Brain Injury Assosiation of America,
cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Snell, 2006).
Cidera Otak Primer adalah cidera otak yang terjadi segera cidera kepala baik
akibat impact injury maupun akibat gaya akselerasi-deselerasi (cidera otak primer
ini dapat berlanjut menjadi cidera otak sekunder) jika cidera primer tidak mendapat
penanganan yang baik, maka cidera primer dapat menjadi cidera sekunder (Bajamal
A.H, Darmadipura : 1993). Yang termasuk cedera otak primer meliputi : Laserasi
kulit kepala, fraktur tulang tengkorak (fraktur basis Cranii), Komusio (Gegar otak),
Kontusio (Memar otak), Hematoma epidural, Hematoma subdural, Hematoma
intraserebral, Hemoragi subaraknoid traumatic, Cedera aksonal difus dan Cedera
serebrovaskular. Sedangkan yang tergolong cedera otak seunder adalah Edema
serebral , Iskemia, sindroma herniasi, koma dan Kondisi vegetative persisten,
Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah
yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder.
Cedera otak juga diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS
(Glasgow Coma Scale) yaitu: COR (Cedera Otak Ringan GCS > 13), COS (Cedera
Otak Sedang GCS 9-13) dan COB (Cedera Otak Berat GCS 3-8).
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Usia : 35 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
No. Foto : 18-27562

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran post kecelakaan lalu lintas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien baru rujukan dari RS Ajibarang dengan Cedera otak berat.
Pasien ditemukan tergeletak di jalan 6 jam yang lalu (sekitar pukul
8malam). Pasien sebelumnya diketahui sedang mengendarai sepeda motor.
Tidak ada yg tahu mekanisme trauma, pasien muntah, riwayat kejang
disangkal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat Alergi : (-)
- Riwayat Trauma : (-)
- Riwayat Hipertens i : (-)
- Riwayat DM : (-)
- Riwayat Penyakit Ginjal : (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. KU/Kesadaran : Tampak lemah / E3V(terpasang gudel)M4
2. Tanda-Tanda Vital:
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
RR : 20x/menit
Nadi : 74x/menit (kuat angkat, reguler)
Suhu : 36,3 °C

3. Survei Primer
- A : clear (+), gurgling (-), snoring (-), neck collar (+), goedel (-), ngt (+)
- B : Gerakan hemithorax dextra dan sinistra simetris, krepitasi (-/-), sonor
pada kedua lapang paru, SD vesikuler +/+ rbk -/- rbh -/- whz -/-
- C : akral hangat (+) sianosis (-)
- D : KU/KES lemah,
- GCS E1V1M4=6
- pupil 3mm/3mm, RC +/+, rhinoragi (-/-), bloody otorhea (-/-)

4. Secondary Survey
- hematom palpebra dextra
- multiple vulnus ekskoriatum regio cubiti, antebrachii, genu, bahu
5. Status Generalis
- Kepala : mesocephal
- Mata : CA -/-, RC -/-, ukuran 3mm/3mm, hematom periorbita (-/-),
hematom palpebra +/-
- Hidung : NCH -/-, rhinoragi (-/-)
- Mulut : sianosis (-)
- Telinga : discharge -/-, bloody othorea (-/-)
- Leher : kaku kuduk (-) collar neck (+)
- Thorax : simetris (+), retraksi (-), jejas (-), krepitasi (-), nyeri tekan (-)
- Pulmo : SD Ves (+/+), Stridor (-/-) RBK -/-RBH -/- wheezing -/-
- Cor : S1>S2 murmur - gallop -
- Abdomen : datar, nyeri tekan (-), BU (+) normal.
- Ekstremitas atas : edema -/- akral hangat +/+ fraktur -/-
- Ekstremitas bawah : edema -/-, akral hangat +/+ fraktur -/-

6. Status Vegetatif
BAB (-)
BAK (+) DC
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM RS AJIBARANG 9/9/2018
- Hemoglobin : 14.5
- Leukosit : 11020
- Hematokrit : 43
- Eritrosit : 5,2
- Trombosit : 248.000
- GDS : 107

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. RO Cranium RS Ajibarang 09/09/2018

2. RO Cervical RS Ajibarang 09/09/2018


3. RO Thorax Ajibarang 09/09/2018

4. MSCT SCAN KEPALA TANPA KONTRAS RSMS 09/9/2018


- Tampak lesi hiperdens (CT-number 56-75 HU, Volume 193ml) bentuk
bikonkaf pada regio frontal kanan kiri
- Tampak lesi hiperdens (CT-number 56-66 HU) disertai perifokall
edema pada lobus frontal kanan
- Tampak lesi hiperdens (CT-number 50-55HU) yang tampak mengisi
falk cerebri
- Sulkus kortikalis dan fissure sylvii kanan dan kiri menyempit
- Ventrikel lateralis kanan kiri, III dan IV menyempit
- Sisterna perimesensefali menyempit
- Tak tampak midline shifting
- Pons dan cerebellum baik
- Pada bone window, tampak diskontinuitas linier pada os frontal kanan
dan kiri, os parietal kiri dan dindingg medial sinus maksilaris kanan
- Tampak kesuraman (CT number 56-76 HU) pada sinus maksilaris
kanan, sinus sphenoid kanan dan ethmoid air cell kanan kiri
Kesan:
- Epidural hemorrhage pada regio frontal kanan kiri dan parietotemporal
kiri disertai intracranial hemorrhage lobus frontal kanan (volume sekitar
193 ml)
- Subarachnoid hemorrhage
- Tampak tanda peningkatan tekanan intracranial
- Fraktur linier pada os frontal kanan kiri, os parietal kiri dan dinding
medial sinus maksilaris kanan
- Hematosinus maksilaris kanan, sphenoid kanan dan ethmoid kanan kiri

5. DIAGNOSIS KERJA:
Cedera Otak Berat dengan Epidural Hemorrhage, Intracranial Hemorrhage dan
Subarachnoid Hemorrhage

I. TERAPI YANG DIBERIKAN:


- O2 8-10 LPM NRM
- Mayo
- NGT
- DC
- Neck Collar
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Inj Ceftriaxone 2x1 gr
- Inj Ranitidin 2x50 mg
- Inj Ketorolak 3x30 mg
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Anatomi Otak


III.1.1 Anatomi SCALP
Lapisan pelindung jaringan lunak yang melengkungi tulang tengkorak
disebut SCALP. SCALP memanjang dari protuberan oksipital eksternal dan garis
nuchal superior kea rah sudut supraorbital. SCALP terdiri dari 5 lapisan, yaitu: Skin
(kulit), Connective Tissue (Jaringan ikat), Aponeurosis, Loose Areolar Tissue
(Jaringan Longgar Areolar), dan Perikranium. Lapisan 3 pertama terikat bersama
sebagai satu kesatuan. Unit tunggal dapat bergerak sepanjang jaringan areolar
tunggal di atas perikranium, yang melekat pada calvaria.

Gambar 3.1 Lapisan SCALP


a. Kulit
Kulit dari kulit kepala strukturnya tebal dan berambut dan juga
mengandung banyak kelenjar sebasea. Akibatnya, kulit kepala adalah
tempat yang umum untuk terjadinya kista sebasea.
b. Jaringan Ikat (fasia superfisial)
Fasia superfisial adalah lapisan fibrofatty yang menghubungkan
kulit ke aponeurosis yang mendasari otot occipitofrontalis dan menyediakan
lorong untuk saraf dan pembuluh darah. Pembuluh darah melekat pada
jaringan ikat fibrosa ini. Juka pembuluh terpotong, perlekatan ini
menghalangi vasospasme, yang akan menyebabkan perdarahan hebat
setelah cedera. Secara lateral, aponeurosis berlanjut sebagai fasia temporal.
c. Aponeurosis
Aponeurosis epikranial adalah struktur tipis, berotor yang
menyediakan tempat insersi untuk otot ossipitofrontalis. Aponeurisus
meluas dari garis nuchal superior ke garis temporal superior pada postero
lateral. Secara anterior, ruang subaponeurotic meluas ke kelopak mata
karena kurangnya penyisipan tulang. Jaringan areolar yang longgar ini
menyediakan ruang subaponeurotik yang memungkinkan cairan dan darah
mengalir dari kulit kepala ke kelopak mata bagian atas.
d. Jaringan ikat longgar areolar
Jaringan ini menghubungkan aponeurosis epikranial ke perikranium
dan memungkinkan 3 lapisan superfisial pada kulit kepala untuk bergerak
melewati perikranium. Pembuluh darah vena melewati lapisan ini, yang
menghubungkan vena kulit kepala ke vena diploica dan sinus vena
intrakranial.
e. Perikranium
Perikranium adalah periosteum tulang tengkorak. Sepanjang garis
sutura, perikranium berlanjut (kontinyu) dengan endosteum. Oleh karena
itu, hematoma subperiosteal membentuk tulang tengkorak.

III.1.2 Aliran Darah Otak


Aliran darah ke otak terutama melalui karotis internal dan arteri vertebral;
sinus vena dural mengalir ke vena jugularis internal untuk mengembalikan darah
dari kepala ke jantung.
Gambar 3.2 Aliran Arteri dan Vena ke Otak
Anatomi vaskuler otak dapat dibagi menjadi 2 bagian: anterior (carotid system)
dan posterior (vertebrobasilar system). Pada setiap sistem vaskularisasi otak
terdapat tiga komponen, yaitu; arteri-arteri ekstratrakranial, arteri-arteri intrakranial
berdiameter besar dan arteri-arteri perforantes berdiameter kecil. Komponen-
komponen arteri ini mempunyai struktur dan fungsi yang berbeda, sehingga infark
yang terjadi pada komponen-komponen tersebut mempunyai etiologi yang berbeda.
 Pembuluh darah ekstrakranial (misal, a. carotis communis) mempunyai
struktur trilaminar (tunica intima, media dan adventisia) dan berperan
sebagai pembuluh darah kapasitan. Pada pembuluh darah ini mempunyai
anatomosis yang terbatas.
 Arteri-arteri intrakranial yang besar (misal a. serebri media) secara
bermakna mempunyai hubungan anastomosis di permukaan piameter otak
dan basis kranium melalui sirkulus Willisi dan sirkulasi khoroid. Tunica
adventisia pembuluh darah ini lebih tipis daripada pembuluh darah
ekstrakranial, dan mengandung jaringan elastik yang lebih sedikit. Selain
itu, dengan diameter yang sama pembuluh darah intrakranial ini lebih kaku
daripada pembuluh darah ekstrakranial.
 Arteri-arteri perforantes yang berdiameter kecil baik yang terletak
superfisial maupun profunda, secara dominan merupakan suatu end-artery
dengan anatomosis yang sangat terbatas, dan merupakan pembuluh darah
resisten.

a. Sistem anterior (Sistem Carotid)


Arteri Carotis communis (ACC) sinistra dipercabangkan langsung dari
arkus aorta sebelah kiri, sedangkan a. carotis communis dekstra dipercabangkan
dari a. innominata (Brachiocephalica). Di leher setinggi kartilago tiroid ACC
bercabang menjadi a. carotis interna (ACI) dan a. carotis eksterna (ACE), yang
mana ACI terletak lebih posterior dari ACE. Percabangan a. carotis communis ini
sering disebut sebagai Bifurkasio carotis mengandung carotid body yang berespon
terhadap kenaikan tekanan partial oksigen arterial (PaO2), aliran darah, pH arterial,
dan penurunan PaCO2 serta suhu tubuh.
Arteri karotis komunis berdekatan dengan serabut saraf simpatis asceden,
oleh karena itu lesi pada ACC (trauma, diseksi arteri atau kadang oklusi thrombus)
mampu menyebabkan paralisis okulosimpatik sudomotor ke daerah wajah.
Arteri karotis interna bercabang menjadi dua bagian yaitu bagian
ekstrakranial dan intrakranial. Bagian ekstrakranial a. karotis interna setelah
dipercabangkan didaerah bifurkasio akan melalui kanalis karotikus untuk
memvaskularisasi kavum timpani dan akan beranastomisis dengan arteri maksilaris
interna, salah satu cabang ACE.
Arteri karotis interna bagian intrakranial masuk ke otak melalui kanalis
karotikus, berjalan dalam sinus cavernosus mempercabangkan a. ophtalmika untuk
n. optikus dan retina kemudian akhirnya bercabang menjadi a cerebri anterior dan
a. cerebri media. Keduanya bertanggungjawab memvaskularisasi lobus frontalis,
parietal, dan sebagian temporal. Arteri ini sebelum bercabang menjadi a. cerebri
anterior dan a. cerebri media akan bercabang menjadi a. choroid anterior (AChA).
AChA mempunyai fungsi memvaskularisasi pleksus choroid, juga memberikan
cabangnya ke globus pallidus, hipokampus anterior, uncus kapsula interna bagian
posterior serta mesensefalon bagian anterior. AChA ini akan beranastomisis dengan
a. choroid posterior (cabang dari a. cerebri posterior).

b. Arteri Cerebri Anterior


Arteri serebri anterior dipercabangkan dari bagian medial ACI di daerah
prosesus clinoideus anterior, arteri ini akan dibagi menjadi 3 bagian. Bagian
proksimal a. cerebri anterior kanan dan kiri dihubungkan oleh a. communican
anterior, bagian medial dan distal arteri ini akan memberikan cabangnya menjadi a.
pericallosum anterior dan a. callosomarginal. Arteri cerebri anterior mempunyai
cabang-cabang kecil yang berupa arteri-arteri perforantes profunda, arteri-arteri ini
sering disebut sebagai arteri medial striata yang bertanggungjawab terhadap
vaskularisasi corpus striatum anterior, capsula interna bagian anterior limb,
comisura anterior dan juga memvaskularisasi traktus serta kiasma optika. Oklusi
arteri-arteri medial striata ini menyebabkan kelemahan wajah dan lengan.

c. Arteri Cerebri Media


Arteri cereberi media setelah dipercabangkan oleh ACI akan dibagi menjadi
beberapa bagian. Bagian pertama akan berjalan ke lateral diantara atap lobus medial
dan lantai lobus frontalis hingga mencapai fissure lateralis Sylvian. Arteri-arteri
lenticulostriata dipercabangkan dari bagian proksimal ini.
Arteri Lenticulostriata merupakan arteri-arteri perforasi profunda yang
merupakan cabang arteri cerebri media, arteri ini berjumlah antara 6 dan 12 arteri.
Arteri ini berfungsi memvaskularisasi nukleus lentifromis, nukleus caudatus bagian
caput lateral, globus pallidus dan kapsula interna bagian bawah. Oklusi salah satu
arteri lenticulostriata akan menimbulkan infark lakuner karena tidak adanya
anastomosis fungsional antara arteri-arteri perforasi yang berdekatan.
Di daerah fissure lateralis, bagian kedua a. cerebri media akan bercabang
menjadi devisi superior dan anterior. Devisi superior akan memberikan suplai ke
lobus frontal dan lobus parietal, sedangkan devisi inferior akan memsuplai ke lobus
temporal. Bagian terakhir dari a. cerebri media atau arteri-arteri perforantes
medullaris akan dipercabangkan di permukaan hemisfer cerebri, yang akan
memvaskularisasi substansia alba subkortek.

d. Sistem posterior (Sistem Vertebro Basiler)


Sistem ini berasal dari a. basilaris yang dibentuk oleh a. vertebralis kanan
dan kiri yang berpangkal di a. subklavia. Dia berjalan menuju dasar cranium
melalui kanalis transversalis di columna vertebralis cervikalis, kemudian masuk ke
rongga cranium akan melalui foramen magnum, lalu masing-masing akan
mempercabangkan sepasang a. cerebelli inferior.
Pada batas medulla oblongata dan pons, a. vertebralis kanan dan kiri tadi
akan bersatu menjadi a. basilaris. Arteri basilaris pada tingkat mesencephalon akan
mempercabangkan a. labyrintis, aa. pontis, dan aa. Mesenchepalica, kemudian yang
terakhir akan menjadi sepasang cabang a. cerebri posterior yang memvaskularisasi
lobus oksipitalis dan bagian medial lobus temporalis.

e. Arteri Cerebri Posterior


Arteri Cerebri Posterior (ACP) merupakan cabang akhir dari a. basilaris.
Bagian proksimal ACP atau bagian precommunican (sebelum a. Communican
Posterior (ACoP) akan bercabang menjadi a. mesencephali paramedian dan a.
thalamik-subthalamik yang akan memvaskularisasi thalamus. Setelah ACoP, a.
cerebri posterior akan mempercabangkan a. thalamogeniculatum dan a. choroid
posterior, yang mana juga akan memvaskularisasi thalamus. ACP ini setelah
berjalan kebelakang, di daerah tentorium cerebella akan bercabang menjadi devisi
anterior (memvaskularisasi bagian medial lobus temporalis) dan devisi posterior
(memvaskularisasi fissure calcarina dan daerah parieto-occipitalis).

f. Arteri yang memvaskularisasi Cerebellum


Cerebellum divaskularisasi oleh tiga pasang arteri panjang, yang mana arteri-arteri
ini berjalan melingkupi cerebellum. Arteri-arteri tersebut adalah:
 Arteri Cerebellaris Superior (ACS): memvaskularisasi permukaan atas
cerebellum, dipercabangkan oleh a. basilaris tepat sebelum bercabang
menjadi a. cerebri posterior.
 Arteri Cerebellaris Inferior Anterior (ACIS): memvaskularisasi permukaan
anterior, dipercabangkan oleh a. basilaris bagian proksimal, atau
dipercabangkan oleh a. basilaris tepat setelah dibentuk oleh a. vertebralis
kanan dan kiri.
 Arteri Cerebellaris Inferior Posterior (ACIP): memvaskularisasi permukaan
inferior, dipercabangkan oleh a. vertebralis tepat sebelum bergabung
menjadi a. basilaris.
Untuk menjamin pemberian darah ke otak, setidaknya ada 3 sistem kolateral antara
sitem carotis dan sistem vertebrobasiler, yaitu:
1. Sirkulus Wilisi, merupakan anyaman arteri di dasar otak yang dibentuk oleh
a. cerebri media kanan dan kiri yang dihubungkan dengan a. cerebri
posterior kanan dan kiri oleh a. communicant posterior, sedangkan a. cerebri
anterior kanan dengan kiri akan dihubungkan oleh a. communican anterior.
2. Anastomosis a. carotis interna dan a. carotis externa di daerah orbital.
3. Hubungan antara sistem vertebral dengan a. carotis externa.

Gamber 3.3 Sirkulus Wilis


Pada orang dewasa, otak hanya 2% berat total tubuh, tetapi mengkonsumsi
20% oksigen dan glukosa yang digunakan oleh tubuh, bahkan ketika sedang
beristirahat. Sintesis ATP neuron hampir secara keseluruhan dari glukosa via reaksi
yang membutuhkan oksigen. Ketika aktivitas neurin dan neuroglia meningkat pada
beberapa regio otak, aliran darah pada area tersebut juga meningkat. Bahkan
melambatnya aliran darah otak dapat menyebabkan disorientasi atau kehilangan
kesadaran, seperti ketika berdiri terlalu cepat setelah duduk dalam jangka waktu
yang lama. Biasanya, gangguan dalam aliran darah selama 1 atau 2 menit
mengganggu fungsi saraf dan kekurangan oksigen selama sekitar 4 menit
menyebabkan cedera permanen. Karena tidak ada glukosa yang disimpan di otak,
pasokan glukosa juga harus terus menerus. Jika darah yang memasuki otak
memiliki kadar glukosa yang rendah, dapat terjadi kebingungan, pusing, kejang,
dan kehilangan kesadaran, penderita diabetes harus waspada dengan kadar gula
darah mereka karena kadar ini bisa turun dengan cepat, yang menyebabkan syok
diabetes, yang ditandai dengan kejang, koma, dan mungkin kematian.
Gambar 3.4 Skema Aliran Arteri Ke Otak

Gambar 3.5 Skema Aliran Vena Ke Otak


III.2 Hematoma Epidural
III.2.1 Pengertian Hematoma Epidural
Hematoma epidural adalah perdarahan yang terjadi pada lapisan antara
tulang tengkorak dengan duramater. Sumber perdarahan biasanya adalah
robeknya arteri meningea media.

Gambar 3.6 Lokasi EDH


III.2.2 Klasifikasi Hematoma Epidural
Berdasarkan lokasi, terbagi menjadi:
a. Hematoma Epidural Intracranial
b. Hematoma Epidural Spinal
Berdasarkan derajat keparahan, terbagi menjadi:
a. Akut (58%)
b. Subakut (31%)
c. Kronis (11%)
III.2.3 Epidemiologi
Hematoma epidural terjadi pada 2% kasus trauma kepala (sekitar 40.000
kasus per tahun). Hematoma epidural spinal terjadi 1 per 1.000.000 orang setiap
tahun. Alkohol dan bentuk intoksikasi lainnya dikaitkan dengan insiden hematoma
epidural yang lebih tinggi. Hematoma epidural lebih banyak terjadi pada pria
dengan rasio pria :wanita 4:1. Kasus ini jaran terjadi pada usia <2 tahun dan >60
tahun karena dura melekat erat pada calvaria.

III.2.4 Etiologi
Fraktur tengkorak dari trauma tumpul menyebabkan laserasi pembuluh
arteri, paling sering arteri meningea media. Fraktur terjadi paling sering di daerah
tulang temporal. Berbeda dengan subdural hematoma, kekuatan untuk terjadinya
hematoma epidural biasanya lebih besar.

III.2.5 Patofisiologi
Hematoma epidural biasanya hasil dari benturan singkat ke calvaria yang
menyebabkan pemisahan dura periostea dari tulang dan gangguan dari sela-sela
pembuluh karena tekanan geser. Fraktur tengkorak terjadi pada 85-95% kasus
dewasa, tetapi jarang pada anak-anak. Struktur arteri atau vena dapat terganggu,
menyebabkan ekspansi hematoma yang cepat.
Daerah meningea media dan temporoparietal paling sering terlibat (66%),
meskipun arteri ethmoidalis anterior mungkin terlibat pada cedera frontal, sinus
transversal atau sigmoid pada cedera oksipital, dan sinus sagittal superior dalam
trauma vertex. Bilateral hematoma epidural terjadi 2-10% dari semua hematoma
epidural akut pada orang dewasa tetapi sangat jarang pada anak-anak. Hematoma
fossa epidural posterior mewakili 5% dari semua kasus hematom epidural.
Hematoma epidural spinal bisa spontan atau bisa terjadi trauma minor,
seperti pungsi lumbal atau anestesi epidural. Spontaneous epidural hematoma
spinal dapat dikaitkan dengan antikoagulasi, trombolisis, diskrasia darah,
koagulopati, trombositopenia, neoplasma, atau malformasi vaskular. Pleksus vena
peridural biasanya terlibat, meskipun sumber perdarahan juga terjadi. Aspek dorsal
daerah toraks atau lumbar paling sering terjadi, dengan ekspansi terbatas pada
beberapa tingkat vertebral.

III.2.6 Manifestasi Klinis


a. Interval Lucid: penurunan kesadaran singkat kemudian diikuti dengan
perbaikan kesadaran yang tidak selalu mencapai level awal dan selanjutnya
terjadi penurunan level kesadaran kembali selama beberapa jam.
b. Defisit neurologis: hemiparesis kontralateral, dilatasi pupil ipsilateral,
distress pernapasan, sampai kematian)
c. Gambaran CT scan: lesi hiperdens berbentuk bikonveks

Gambar 3.7 Gambaran CT Scan Hematoma Epidural

III.2.7 Tatalaksana
Hematoma epidural merupakan keadaan emergensi di bidang bedah saraf.
Hematoma epidural dengan volume lebih dari 30 cm3, aau terdapat midline shift
pada CT scan > 0,5 cm merupakan indikasi dilakukannya terapi pembedahan.
Evakuasi harus dilakukan secepatnya pada pasien hematoma epidural akut dengan
GCS < 9 dengan pupil anisokor.

III.2.8 Prognosis
5%-10% angka mortalitas jika di tatalaksana dalam beberapa jam pertama.
Mortalitas sebagian besar disebabkan oleh peningkatan tekanan intracranial dan
herniasi.
III.3 Perdarahan Intraserbral
III.3.1 Pengertian Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral disebabkan oleh jejas terhadap arteri atau vena yang ada
di parenkim otak. Region frontal dan temporal merupakan daerah yang paling
sering terkena. Kontusio intraserebral juga dapat terjadi karena trauma melalui jejas
coup atau countercoup.

III.3.2 Epidemiologi
Di USA, angka kejadian perdarahan intraserebral mencapai 12-15 per
100.000 individu pertahunnya, termasuk didalamnya terdapat 350 perdarahan
hipertensi per 100.000 pada individu usia lanjut. Kejadian keseluruhan perdarahan
intraserebral menurun sejak tahun 1950.
Pada Negara Asia kejadian perdaraan intraserebral lebih tinggi
dibandingkan Negara bagian yang lain di dunia. Insiden perdarahan intraserebral
meningkat pada usia > 55 tahun dan meningkat sampai usia 80 tahun.

III.3.3 Etiologi
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Narayan, dkk, faktor etiologi yang
paling umum adalah hipertensi, diikuti oleh diatesis perdarahan, trombolisis pada
infark miokard, dan thrombosis vena kortikal. Lokasi hematoma yang paling sering
adalah ganglia basal, thalamus, kapsul internal, dan parenkim cerebral.

III.3.4 Patofisiologi
Perdarahan intraserebral nontraumatik paling sering terjadi akibat
kerusakan pada pembuluh darah akibat hipertensi, tetapi juga bisa disebabkan oleh
disfungsi autoregulasi dengan aliran darah yang berlebihan (contoh: cedera
reperfusi), rupture aneurisma atau malformasi arteriovenosa (AVM), arteriopati,
perubahan hemostasis, nekrosis hemoragik (tumor, infeksi), atau obstruksi aliran
vena (thrombosis vena serebral).
Trauma penetrasi dan nonpenetrasi pada tulang tengkorak merupakan
penyebab uum terjadinya perdarahan intraserebral. Pasien yang mengalami trauma
kepala tumpul dan mendapatkan warfarin atau clopidogrel dianggap beresiko tinggi
mengalami perdarahan intrakranial traumatik.
Hipertensi kronik menghasilkan vaskulopati pembuluh darah kecil yang
ditandai dengan liphohyalinosis, nekrosis fibrinoid, dan perkembangan aneurisma
Charcot-Bouchard, yang memoengarhi penetrasi ke arteri di seluruh otak termasuk
lentikulostriates, thalamoperforator, cabang paramedian pada arteri basiler, arteri
serebral superior, dan arteri serebral anterior inferior.
Lokasi predileksi untuk perdarahan intraserebral yaitu ganglia basalis (40-
50%), daerah lobar (20-50%), thalamus (10-15%), pons (5-12%), cerebellum (5-
10%), dan regio batang otak lainnya (1-5%).

Gambar 3.8 Gambaran CT Scan Perdarahan intraserebral disertai Perdarahan


intraventrikel

III.3.5 Tatalaksana
Indikasi pembedahan :
a. Pasien dengan GCS 6-8 dengan perdarahan parenkim otak pada daerah
frontal atau temporal dengan volume perdarahan > 20 cc, dengan
pergeseran struktur midline ≥ 5 mm dan atau kompresi pada sisterna.
b. Perdarahan parenkim otak dengan volume perdarahan > 50 cc
c. Pasien dengan perdarahan parenkim otak dan tanda-tanda deteriorasi
neurologis yang progresif sesuai dengan lesi, hipertensi intrakranial yang
refrakter dengan medikamentosa, atau didapatkan tanda-tanda efek massa
pada CT scan.
Waktu dan Metode :
Kraniotomy dan evakuasi lesi massa direkomendasikan pada pasien dengan
lesi fokal dan dengan indikasi pembedahan di atas. Kraniektomy dekompresi
bifrontal dalam 48 jam sejak trauma merupakan pilihan penanganan untuk pasien
dengan cerebral edema diffusa dan hipertensi intrakranial membandel dengan
pengobatan. Prosedur dekompresi termasuk dekompresi subtemporal, lobektomi
temporal dan kraniektomy dekompresi hemisfer, merupakan pilihan penanganan
untuk pasien dengan hipertensi intrakranial yang membandel dan trauma
parenkimal diffusa dengan klinis dan radiologis adanya impending herniasi
transtentorial.
DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons, 2014, Advanced Trauma Life Support (ATLS),


United States of America, diterjemahkan oleh IKBI.
Baehr, M, Frotscher, M, 2005, Topical Diagnosis in Neurology, Thieme Stuttgart,
New York
Case Western Reserve University School of Medicine 2006, ‘Traumatic Epidural
VS Subdural Hematoma’, Neuroscience Clerkship Journal, diakses 23
September 2018
http://casemed.case.edu/clerkships/neurology/neurlrngobjectives/epidural
%20and%20subdural.htm
Gunawan, D 2017, ‘Bahan Ajar Trauma Kepala’, Jurnal Universitas Hasanudin,
diakses 23 September 2018 https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-
content/uploads/2016/09/Bahan-Ajar-_-Trauma-Kepala.pdf
Harris, CM 2013, ‘SCALP Anatomy’, Medscape journal, diakses 23 September
2018
https://emedicine.medscape.com/article/834808-overview#showall
Liebeskind, DS 2017, ‘Intracranial Hemorrhage’, Medscape Journa;, diakses 23
September 2018 https://emedicine.medscape.com/article/1163977-
overview
Liebeskind, DS 2018, ‘Epidural Hematoma’, Medscape Journal, diakses 23
September 2018 https://emedicine.medscape.com/article/1137065-
overview#a4
Narayan, SK, Sivaprassad, P, Sushma, S, Sahoo, RK, Dutta, TK 2012, ‘Etiology
and Outcome determinants of intracerebral hemorrhage in a South Indian
Population, A hospital-based study’, NCBI Journal, diakses 23 September
2018 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3548363/
Perhimpunan Spesialis Bedah Saraf, 2016, Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Ilmu Bedah Saraf, Brain Tumor Center Republik Indonesia.
Silbernagl, S, Florian, L 2007, Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Snell, RS, 2004. Clinical Anatomy for Medical Students, Fifth edition, Wolters
Kluwer Publisher, New York
Tortora, GJ, Nielsen, MT 2012, Principles of Human Anatomy 12th Edition, John
Wiley & Sons, Inc., USA
Wahyuhadi, J, Suryaningtyas, W, Susilo, RI, Faris, M, Tedy Apriawan (ed.) 2014,
Pedoman Tatalaksana Cedera Otak Edisi Kedua, Tim Nerotrauma RSUD
dr. Soetomo, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai