Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PORTOFOLIO

Topik: HAEMATEMESIS E.C VARISES ESOFAGUS

Diajukan dalam rangka praktek klinis dokter internsip sekaligus bagian dari persyaratan
menyelesaikan program internsip dokter Indonesia
di RSUD Simo Boyolali

Disusun oleh :

dr. Muthia Rachmanita

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SIMO

KABUPATEN BOYOLALI

2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS PORTOFOLIO

HAEMATEMESIS E.C VARISES ESOFAGUS

Disusun oleh :
dr.Muthia Rachmanita

Telah dipresentasikan pada


Tanggal, Mei 2019

Pembimbing,

dr. Dwi Putri Anggraini


BORANG PORTOFOLIO KASUS MEDIK

Topik : HAEMATEMESIS E.C VARISES ESOFAGUS


Tanggal MRS : 29 April 2019 dr. Muthia
Presenter :
Tanggal Periksa : 29 April 2019 Rachmanita
dr. Dwi Putri
Tanggal Presentasi : Mei 2019 Pendamping :
Anggraini
Tempat Presentasi :
Objektif Presentasi :
□ Tinjauan
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran
Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa

□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia
Bumil
□ Deskripsi : Perempuan, 48 tahun dengan keluhan lemas
□ Tujuan : Penegakkan diagnosa dan pengobatan yang tepat dan tuntas.
Bahan
□ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Bahasan :
Cara
□ Diskusi □ Presentasi dan Diskusi □ E-mail □ Pos
Membahas :
Data Pasien : Nama : Tn. S, 74 tahun No. Registrasi : 120205xxxx
Nama RS : RSUD SIMO Telp : Terdaftar sejak:
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
1. Diagnosis / Gambaran Klinis :
Pasien seorang lansia usia 74 tahun datang dengan keluhan muntah darah sejak tadi
malam. Keluhan muntah darah dirasakan setelah makan malam sebanyak 3 kali,
jumlah banyak, warna hitam pekat dan bau. Muntah darah terjadi kembali pagi hari 1x
dengan jumlah yang lebih sedikit. Sebelum SMRS pasien merasa badannya lemas,
nafsu makan menurun dan nyeri perut kanan atas dan terasa semakin keras. Keluhan
tersebut sudah dirasakan 2 tahun terakhir. Pasien mengaku mempunyai penyakit
kuning yang sudah lama. Pasien rutin berobat ke dokter spesialis penyakit dalam
RSUD Simo dan mendapatkan obat teratur.
Keluhan nyeri kepala (+), demam (-), mual muntah (+), mimisan sesak (-), BAB dan
BAK tidak ada keluhan.
2. Riwayat Pengobatan : kontrol teratur di dokter spesialis penyakit dalam
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit: Pasien memiliki riwayat HbsAg (+) kronis kurang lebih
2 tahun
4. Riwayat Keluarga : Riwayat HT (-), DM (-), Asma (-), Peny. Jantung (-), Sirosis
hepatis (-)
5. Riwayat Pekerjaan : Pasien sebagai petani
6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : Status ekonomi keluarga pasien termasuk
dalam golongan menengah kebawah. Tidak ada yang sakit serupa di lingkungan
sekitar rumah.
7. Lain-lain :
Sosial ekonomi cukup, pasien menggunakan fasilitas JKN BPJS.

Hasil Pembelajaran :
1. Sirosis Hepatis dengan Varises Esofagus
2. Penegakan diagnosis Sirosis Hepatis dengan Varises Esofagus
3. Tatalaksana Sirosis Hepatis dengan Varises Esofagus

Keterangan Umum :
Nama : Tn. S
Usia : 74 tahun
No RM : 120205xxxx
Alamat : Gunung Mijil 3/1 Gondanglegi, Klego
Agama : Islam
Suku : Jawa
Warga Negara : Warga Negara Indonesia (WNI)
Pekerjaan : Petani
Status pernikahan : Menikah

A. ANAMNESIS
SUBJEKTIF
Keluhan Utama : Muntah darah
Pasien seorang lansia usia 74 tahun datang dengan keluhan muntah darah sejak tadi
malam. Keluhan muntah darah dirasakan setelah makan malam sebanyak 3 kali,
jumlah banyak, warna hitam pekat dan bau. Muntah darah terjadi kembali pagi hari 1x
dengan jumlah yang lebih sedikit. Sebelum SMRS pasien merasa badannya lemas,
nafsu makan menurun dan nyeri perut kanan atas dan teraba semakin keras. Keluhan
tersebut sudah dirasakan 2 tahun terakhir. Pasien mengaku mempunyai penyakit
kuning yang sudah lama. Pasien rutin berobat ke dokter spesialis penyakit dalam
RSUD Simo dan mendapatkan obat teratur.
Keluhan nyeri kepala (+), demam (-), mual muntah (+), mimisan (-),sesak (-), BAB
dan BAK tidak ada keluhan.
B. PEMERIKSAAN FISIK
OBJECTIVE
PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan Umum : Lemah
 Kesadaran : Composmentis
 Vital sign
o Tekanan Darah : 136/64 mmHg
o Nadi: 90x/menit
o RR: 22x/menit
o Temp: 36,5 C
 Kepala leher:
o Mata : Reflek pupil +/+ , Pupil isokor 3mm/3mm , konjungtiva anemis -/-, ikterus
-/-.

o THT :

 Telinga: sekret (-)


 Hidung : nafas cuping hidung (-)
 Tenggorokan : dbn

o Bibir: sianosis (-)


o JVP dbn, pembesaran KGB & tiroid (-)
 Thorax:
o Pulmo:
 Inspeksi : simetris, retraksi (-), spider nevi (-)
 Palpasi : vocal fremitus kanan=kiri
 Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
 Auskultasi: Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-,
o Cor:
 Inspeksi: tak tampak ictus cordis
 Palpasi: ictus cordis tidak kuat angkat
 Perkusi: batas jantung dalam batas normal
 Auskultasi: S1 S2 tunggal , regular, murmur (-)

 Abdomen:
o Inspeksi : agak cembung, distensi (-), caput medusa (-)
o Auskultasi : bising usus (+) normal
o Palpasi : nyeri hipogastrik dextra (+), nyeri epigastrik (+), Hepar teraba
keras, lien tidak teraba.
o Perkusi : timpani (+), batas hepar mengecil, shifting dullness (+)
o Turgor (+) baik
o Undulasi (+)
 Ekstrimitas : Akral hangat, Capillary Refill Time < 2 detik , udem (-), sianosis (-)

Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap, Kimia Darah dan Elektrolit di RSUD


Simo

Hb 9,9 g/dl
Leukosit 14,40 x 103sel/mm3

Trombosit 165 x 103sel/ul


MCV 84,2 fL
MCH 28,9 pg
MCHC 34,4 g/dl
Eritrosit 3,42 x 106sel/ul
Hematokrit 28,8%
SGOT 58 u/l
SGPT 55 u/l
Natrium 143,96 mmol/l
Kalium 3,62 mmol/l
Chlorida 103,62 mmol/l
C. DIAGNOSIS BANDING
Haematemesis e.c varises esofagus
Haematemesis e.c gastritis erosif

D. DIAGNOSIS KERJA
Haematemesis e.c varises esofagus

E. PENATALAKSANAAN
a) Planning Therapy
1. Infus RA 10 tpm
2. Inj. Furosemid 1A/24 jam
3. Inj. Pantoprazol 1 vial/24jam
4. Inj. Cefotaxim 1gr/8jam
5. Inj. Kalnex 500mg/8jam
6. Spironolakton 1 x 100 mg
7. Propanolol 1 x 20 mg
8. Sucralfat syr 3 x 1C
9. Curcuma 3x1
10. Laxadin syr 1x 2C
b) Planning Monitoring
1. Keluhan subyektif
2. KU, vital sign
3. Diuresis

F. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
PERKEMBANGAN PASIEN DI BANGSAL

24/4/2019 KU sedang Inf. RA 10 tpm


Kesadaran CM Inj. Ranitidin 1A/12 jam
Nyeri ulu hati, sulit BAB, Inj. Pantoprazol 1A/24
perdarahan (-) jam
TD: 82/51, HR: 80, RR: Inj. Cefotaxim 1gr/8jam
20, T: 36,5 Po:
Ascites minimal, nyeri Suralfat 3x1C
epigastrik + Propanolol 2x10mg
(tunda)
Spironolakton 1x100mg
Curcuma 3x1 tab
Laxadine 1x2C
30/4/2019 KU sedang Terapi lanjut
Kesadaran CM
Perdarahan (-), perut
sebah, kaki kesemutan
TD: 90/62,HR: 85 , RR:
20, T: 36,3

1/4/2019 KU sedang Terapi lanjut


Perut kembung, nyeri
perut, sesak.
TD: 88/65, HR:85 , RR:
20, T: 37
Ascites (+)
2/4/2019 KU sedang Terapi lanjut
Perut kembung, BAB (+). Cek elektrolit
Batuk (+), muntah (-)
TD: 110/70, HR:85 , RR:
20, T: 37

3/4/2019 KU sedang Furosemid 1A/24 jam


Perut sebah
TD:120/66, HR: 75,
RR:20, T: 36,7

4/4/2019 KU sedang BLPL


Sesak (-) sebah (-) Furosemide ½-0-0
kembung (-) perdarahan Spironolakton 100 mg
(-) 0-1-0
TD: 103/60, HR: 70, Curcuma 3x1
RR:20 , T: 36,6 Lansoprazol 1x 30mg
Sucralfat 3x1C
TINJAUAN PUSTAKA

I. Sirosis Hepatis
A. Definisi
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya
pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses
peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha
regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro
dan makro menjadi tidak teratur akibat perubahan jaringan ikat dan nodul tersebut
(Sjaifoelah, 1996). Selanjutnya, distorsi arsitektur hepar dan peningkatan vaskularisasi
ke hati menyebabkan varises atau pelebaran pembuluh darah di daerah gaster maupun
esophagus (Widjaja & Karjadi, 2011).
B. Prevalensi
Di amerika, sirosis hepatis menjadi penyebab kematian ke 12 dengan 29.165
kematian pada tahun 2007 dan rata-rata angka mortalitas 9,7 per 100.000 orang (Starr
& Rainess, 2011). Angka kejadian di Indonesia menunjukkan pria lebih banyak
menderita sirosis dari wanita (2 - 4: 1), terbanyak didapat pada usia dekade kelima
(Sjaifoelah, 1996). World Health Organization (WHO) tahun 2002 memperkirakan
783 000 pasien di dunia meninggal akibat sirosis hati. Sirosis hati paling banyak
disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol dan infeksi virus hepatitis. Di Indonesia
sirosis hati banyak dihubungkan dengan infeksi virus hepatitis B dan C karena
penyalahgunaan alkohol lebih jarang terjadi dibandingkan negara-negara barat. Sekitar
57%, pasien sirosis hati terinfeksi hepatitis B atau C (Perz, Armstrong, Farrington,
Hutin, & Bell, 2006). South East Asia Regional Office (SEARO) tahun 2011
melaporkan sekitar 5,6 juta orang di Asia Tenggara adalah pembawa hepatitis B,
sedangkan sekitar 480.000 orang pembawa hepatitis C (WHO, 2011).
C. Etiologi dan Klasifikasi
Sirosis hepatis bisa disebabkan oleh banyak faktor. Penyalahgunaan alkohol
dan infeksi virus merupakan penyebab yang paling sering (Starr & Rainess, 2011).
Tabel 1. Etiologi Sirosis Hepatis
Etiologi Sirosis Hepatis
Inflamasi Genetik/Kongenital
Viral Sirosis bilier primer
Hepatitis B (15%) Defisiensi α1 antitripsin
Hepatitis C (47%) Hemokromatosis
Schistosomiasis NAFLD
Autoimun (tipe 1,2,3) Wilson Disease
Sarcoidosis Gagal Jantung Kongestif
Toxic Veno-occlusive Disease
Alkohol (18%) Budd-Chiari syndrome
Metrotrexat Unknown (14%)
Untuk penentuan derajat keparahan dan prognosis pembedahan, maka
klasifikasi derajat keparahan yang sering digunakan adalah klasifikasi Child-Turcotte-
Pugh (Garcia-Tsao & Bosch, 2010).
Tabel 2. Klasfikasi Child-Turcotte-Pugh
Kriteria Klinis Nilai
dan Biokimia 1 12 3

Bilirubin (mg/dl) <2.0 2,0-3,0 >3,0


Albumin (g/dl) >3,5 2,8-3,5 <2,8
Ascites - Ringan-sedang Berat atau refrakter
terhadap diuretik
Ensefalopati - Stadium I/II Stadium III/IV
Waktu Protombin
Perpanjangan <4 4-6 >2,6
INR <1,7 1,7 – 2,3 >2,3
*Sistem klasifikasi child-turcotte-pugh, kelas A (5-6 poin) mengindikasikan penyakit
hati least severe , kelas B (7-9 poin) mengindikasikan penyakit hatimoderately severe
dan kelas C (10-15 poin) mengindikasikan most severe.
# Hanya salah satu. Pemanjangan waktu protrombin atau INR yang digunakan.
D. Patogenesis
Infeksi hepatitis viral tipe B atau C menimbulkan peradangan sel hati.
Peradangan ini menyebabkan nekrosis meliputi daerah yang luas, terjadi kolaps
lobulus hati dan ini memacu timbulnya jarigan parut disertai terbentuknya septa
fibrosa difus dan nodul sel hati. Walaupun etiologinya berbeda, gambaran histologis
sirosis hati sama atau hampir sama (Price & Wilson, 2006).
Patogenesis sirosis menurut penelitian terakhir, memperlihatkan adanya
peranan sel stelata (stellate cell), yang berperan dalam keseimbangan matriks
ekstraseluler dan proses degradasi, jika terpapar faktor tertentu secara terus menerus
(misal hepatitis virus, bahan-bahan hepatotoksik) maka sel stelata akan menjadi sel
yang membentuk kolagen dan jika terus berlangsung maka jaringan hati normal akan
diganti oleh jaringan ikat Septa bisa dibentuk dari sel retikulum penyangga yang
kolaps dan berubah jadi parut. Jaringan parut ini dapat menghubungkan daerah porta
yang satu dengan yang lainnya atau porta dengan sentral (bridging necrosis).
Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan berbagai ukuran
dan ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik dan gangguan aliran
darah porta, dan menimbulkan hipertensi portal. Hal demikian dapat pula terjadi pada
sirosis alkoholik tapi prosesnya lebih lama. Tahap berikutnya terjadi peradangan dari
sirosis pada sel duktules, sinusoid retikuloendotel, terjadi abrogenesis dan septa aktif.
Jaringan kolagen berubah dari reversibel menjadi ireversibel bila telah terbentuk septa
permanen yang aselular pada daerah porta dan parenkim hati. Gambaran septa ini
bergantung etiologi sirosis. Pada sirosis dengan etiologi hemokromatosis, besi
mengakibatkan fibrosis daerah portal, pada sirosis alkoholik timbul fibrosis daerah
sentral. Sel limfosit T dan makrofag menghasilkan limfokin dan monokin, mungkin
sebagai mediator timbulnya fibrinogen. Mediator ini tidak memerlukan peradangan
dan nekrosis aktif. Septa aktif ini berasal dari daerah porta menyebar ke parenkim hati.
Pasien dengan sirosis biasanya akan tampak gejala dan tandanya baik dari
penyakit sirosis itu sendiri ataupun dari komplikasinya (Starr & Rainess, 2011). Pada
saat ini penegakan diagnosis sirosis hati terdiri atas manifestasi klinis pada
pemeriksaan fisik, laboratorium dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan
biopsi hati (Sjaifoelah, 1996). Suharyono Soebandiri memformulasikan bahwa 5 dari 7
tanda dibawah ini sudah dapat menegakkan diagnosa sirosis hati dekompensasi :
1. Asites
2. Splenomegali
3. Perdarahan varises
4. Albumin yang merendah
5. Spider naevi
6. Eritema palmaris
7. Vena kolateral (Sjaifoelah, 1996)

E. Manifestasi Klinis
Secara umum, meskipun memiliki banyak etiologi dan pola, namun hampir
semua jenis sirosis memiliki gambaran klinis yang sama. Masa ketika sirosis
bermanifestasi sebagai masalah klinis hanya sepenggal waktu dari perjalanan klinis
selengkapnya. Sirosis bersifat laten selama bertahun-tahun dan perubahan patologis
yang terjadi berkembang lambat hingga akhirnya gejala yang timbul menyadarkan
akan kondisi ini dan dalam waktu yang sama terjadi kemunduran fungsi hati secara
bertahap (Price & Wilson, 2006).
 Fase Kompensasi Sempurna
Pada fase ini pasien tidak mengeluh sama sekali atau bisa juga keluhan samar-
samar tidak khas seperti pasien merasa tidak sehat, merasa kurang kemampuan kerja,
selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, kadang mencret atau
konstipasi, berat badan menurun, kelemahan otot dan perasaan cepat lelah akibat
deplesi protein (Price & Wilson, 2006). Keluhan dan gejala tersebut tidak banyak
bedanya dengan pasien hepatitis kronik aktif tanpa sirosis hati dan tergantung pada
luasnya kerusakan parenkim hati (Sjaifoelah, 1996).
 Fase Dekompensasi
Manifestasi klinis pasien sirosis pada fase dekompensasi secara garis besar dibagi
menjadi 2 yaitu (Price & Wilson, 2006) :
1. Manifestasi Gagal Hepatoseluler
Ikterus terjadi pada 60 % penderita selama perjalanan penyakitnya dan
biasanya hanya minimal. Hiperbilirubinemia tanpa ikterus lebih sering terjadi.
Penderita dapat menjadi ikterus selama fase dekompensasi disertai gangguan
reversibel fungsi hati. Gangguan endokrin sering terjadi pada sirosis. Hormon
korteks adrenal, testis, dan ovarium dimetabolisme dan diinaktifkan oleh hati.
Gangguan pada hati juga akan mengganggu proses metabolime dan inaktivasi
dari hormon-hormon tersebut. Spider nevy yang terdiri dari arteriola terlihat
pada kulit terutama di bagian leher, dada, dan bahu. Spider nevy, atrofi testis,
ginekomastia, alopesia pada dada dan aksila, serta eritema palmaris diduga
disebabkan oleh kelebihan estrogen dalam sirkulasi. Peningkatan pigmentasi
kulit juga diduga disebabkan oleh aktivitas hormon perangsang melanosit
(Melanocyt-stimulating Hormone) yang bekerja secara berlebihan. Gangguan
hematologik yang sering terjadi pada sirosis adalah kecenderungan
perdarahan, anemia, leukopenia dan trombositopenia. Penderita sering
mengalami perdarahan hidung, gusi, menstruasi berat, dan mudah memar.
Masa protrombin dapat memanjang. Manifestasi ini dapat terjadi akibat
berkurangnya pembentukan faktor-faktor pembekuan oleh hati. Anemia,
leukopenia, dan trombositopenia diduga disebabkan oleh hipersplenisme.
Limpa tidak hanya membesar, tetapi juga lebih aktif menghancurkan sel-sel
darah dari sirkulasi. Mekanisme lain yang juga menyebabkan anemia adalah
defisiensi besi, asam folat, dan vitamin B 12 yang terjadi sekunder akibat
kehilangan darah dan peningkatan hemolisis eritrosit. Penderita juga akan
lebih mudah terserang infeksi.
Edema perifer umumnya terjadi setelah timbulnya asites dan dapat dijelaskan
akibat hipoalbuminemia serta retensi garam dan air. Kegagalan hati untuk
inaktivasi aldosteron dan hormone anti diuretik merupakan penyebab retensi
natrium dan air. Fetor hepatikum merupakan bau apek manis yang terdeteksi
dari napas penderita dan diyakini terjadi akibat ketidakmampuan hati dalam
memetabolisme metionin. Gangguan neurologis yang paling serius pada
sirosis lanjut adalah ensefalopati hepatikum yang diyakini akibat kelainan
metabolisme ammonia dan peningkatan kepekaan otak terhadap toksin.
2. Manifestasi Hipertensi Portal
Hipertensi portal didefinisikan sebagai peningkatan tekanan vena porta yang
menetap di atas nilai normal (6-12 cm H2O). Tanpa memandang penyakit
dasarnya, mekanisme primer penyebab hipertensi portal adalah peningkatan
resistensi terhadap aliran darah melalui hati. Selain itu biasanya terjadi
peningkatan aliran arteria splanknikus. Kombinasi kedua faktor yaitu
menurunnya aliran keluar melalui vena hepatica dan meningkatnya aliran
masuk bersama-sama menghasilkan beban berlebihan pada sistem portal.
Pembebanan yang berlebihan sistem portal ini merangsang timbulnya aliran
kolateral guna menghindari obstruksi hepatik (varises). Tekanan balik pada
sistem portal mengakibatkan splenomegali dan sebagian bertanggung jawab
terhadap tertimbunnya asites. Asites merupakan penimbunan cairan encer
intraperitoneal yang mengandung sedikit protein. Faktor utama patogenesis
asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus (Hipertensi
Portal) dan penurunan tekanan osmotik koloid akibat hipoalbuminemia. Faktor
lain yang berperan adalah retensi natrium dan air serta peningkatan sintesis
dan aliran limfe hati. Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan
hipertensi portal terdapat pada esophagus bagian bawah. Pirau darah melalui
melalui saluran ini ke vena kava menyebabkan dilatasi vena-vena ini (Varises
Oesofagus) varises ini terjadi sekitar 70% pada pasien dengan sirosis lanjut.
Perdarahan pada varises ini sering menyebabkan kematian. Sirkulasi kolateral
juga melibatkan vena superficial dinding abdomen dan timbulnya sirkulasi ini
mengakibatkan dilatasi vena-vena skitar umbilicus (Caput Medusae). Sistem
vena rectal membantu dekompensasi tekanan portal sehingga vena-vena
berdilatasi dan dapat menyebabkan berkembangnya hemorrhoid interna,
perdarahan pada hemorhhoid yang pecah biasanya tidak hebat, karena tekanan
di daerah ini tidak setinggi tekanan pada esophagus karena jarak yang lebih
jauh dari vena porta. Splenomegali pada sirosis dapat dijelaskan berdasarkan
kongestif pasif kronis akibat aliran balik dan tekanan darah yang lebih tinggi
pada vena lienalis.

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah
Bisa dijumpai Hb rendah, anemia normokrom normositer, hipokrom
mikrositer atau makrositer. Anemia bisa, akibat hipersplenisme dengan
leukopenia dan trombositopenia.
a) Kenaikan enzim transaminase / SGOT, SGPT tidak merupakan petunjuk
tentang berat dan luasnya kerusakan parenkhim hati. Kenaikan kadarnya
didalam serum timbul akibat kebocoran dari sel yang mengalami kerusakan.
Peninggian kadar gama GT sama dengan transaminase, ini lebih sensitif tetapi
kurang spesifik. Pemeriksaan bilirubin, transaminase dan gama GT tidak
meningkat pada sirosis inaktif.
b) Albumin. Penurunan kadar albumin dan peningkatan kadar globulin
merupakan tanda kurangnya daya hati dalam menghadapi stress.
c) Pemeriksaan CHE. Bila terjadi kerusakan sel hati, kadar CHE akan turun.
d) Pemeriksaan kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretik dan
pembatasan garam dalam diet.
e) Pemanjangan masa protombin merupakan petunjuk adanya penurunan
fungsi hati. Pemberian vit. K parenteral dapat memperbaiki masa protrombin.
f) Peninggian kadar gula darah pada sirosis hati fase lanjut disebabkan
kurangnya kemampuan sel hati membentuk glikogen.
g) Pemeriksaan marker serologi pertanda virus seperti HBS Ag/ HBS Ab,
HbeAg/ HbeAb, HBV DNA, HCV RNA.
Pada pemeriksaan darah, saat ini dapat ditentukan apakah pada pasien
mengalami sirosis atau tidak dengan menghitung dengan rumus P2/MS yakni
ratio jumlah platelet dan fraksi monosit serta fraksi segmentasi neutrofil.
2. Pemeriksaan AFP
Pemeriksaan AFP penting dalam menentukan apakah telah terjadi transformasi
kearah keganasan. Nilai AFP > 500 – 1000 mempunyai nilai diagnostik suatu
kanker hati primer.
3. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
EGD, USG, CT-Scan, ERCP, Angiografi.

G. Penatalaksanaan
Terapi dan prognosis sirosis hati tergaantug pada derajat komplikasi kegagalan
hati dan hipertensi portal (Sjaifoelah, 1996).
 Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang cukup baik, dilakukan kontrol
yang teratur, istirahat yang cukup, susunan diet tinggi kalori dan protein,
lemak secukupnya (DH III-IV). Bila timbul ensefalopati hepatikum, protein
dikurangi (DH I).
 Pasien sirosis hati dengan penyebab diketahui, seperti alkohol,
hemokromatosis, penyakit Wilson, diobati penyebabnya.
 Ada keadaan lain dilakukan terapi terhadap komplikasi yang timbul.
1. Untuk asites, diberi rendah garam 0,5 gr/hari dan total cairan 1,5
l/hr. spironolakton dimulai dengan dosis awal 4 x 25 mg/hr dinaikkan
sampai total dosis 800 mg sehari. Idealnya penurunan berat badan 1
kg/hr. Bila perlu dikombinasikan dengan furosemid.
2. Perdarahan varises esofagus. Pasien dirawat dirumah sakit sebagai
kasus perdarahan saluran cerna atas.
3. Untuk ensefalopati dilakukan koreksi faktor pencetus seperti
pemberian KCL pada hipokalemia, mengurangi pemasukan protein
makanan dengan memberi diet DH I, aspirasi cairan lambung bagi
pasien yang mengalami perdarahan pada varises, dilakukan klisma
untuk mengurangi absorpsi bahan nitrogen dan pemberian duphalac 2
x C II.
4. Peritonitis bacterial spontan diberi antibiotik pilihan, seperti
cefotaxim 2 gr/8 jam iv.

H. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin dialami oleh penderita sirosis adalah :
 Kegagalan hati
 Hipertensi portal
 Varises Esofagus
 Asites
 Ensefalopati
 Peritonitis bacterial spontan.
 Sindrom hepatorenal.
 Transformasi kearah kanker hati primer.

I. Prognosis
Prognosis tidak baik bila :
 Ikterus yang menetap atau bilirubin darah > 1,5 mg%
 Asites refrakter atau memerlukan diuretik dosis besar
 Kadar albumin rendah (< 2,5 gr%)
 Kesadaran menurun tanpa faktor pencetus
 Hati mengecil
 Perdarahan akibat varises esofagus
 Komplikasi neurologis
 Kadar protrombin rendah
 Kadar natrium darah rendah (< 120 meq/i), tekanan systole < 100 mmHg

II. Perdarahan Varises Esofagus


A. Definisi
Varises gastroesofagus adalah pelebaran pembuluh darah di gaster atau
esofagus yang terjadi semakin besar. Pecahnya varises tersebut akan menimbulkan
perdarahan. Varises terjadi pada hampir 50% pasien dengan sirosis hati (Garcia-Tsao,
Sanyal, Grace, & Carey, 2007). Indikator peningkatan faktor resiko terjadinya
perdarahan pada varises esophagus adalah skor Child-Pugh, perhitungan platelet,
tekanan vena porta, dan muncul atau tidaknya hepatocellular carcinoma, splenomegali
dan atau ascites. Skor Child-Pugh menunjukkan keparahan dari penyakit liver dan
telah dilaporkan dapat menjadi penanda yang andal. Tekanan dan aliran dari vena
porta dan vena hepatica juga terbukti secara signifikan menjadi prediktor dari
perdarahan varises esophagus. Sebagai faktor local, keberadaan Red Color Sign (RCS)
merupakan prediktor penting dari perdarahaan varises esophagus dan juga sudah
diketahui bahwa perdarahan.
Varises berasal dari rupture pada RCS ini. Karena itu endoskopi untuk melihat
keberadaan RCS menjadi penting untuk dilakukan (Okamoto, et al., 2008). Varises
gastroesofagus timbul pada hampir setengah pasien sirosis hati dan tertinggi pada
pasien sirosis Child- Turcotte-Pugh kelas B atau C. VGE sendiri terjadi sekitar 7% per
tahun. Angka kejadian perdarahan varises yang pertama dalam satu tahun sekitar 12%
dan terjadinya rekurensi perdarahan varises diperkirakan 60% dalam satu tahun (Bosch
& Garcia-Pagan, 2003). Mortalitas dalam enam minggu setiap perdarahan sekitar 15-
20%, berkisar antara 0% pada pasien dengan Child kelas A sampai sekitar 30% pasien
dengan Child kelas C (Garcia-Tsao, Sanyal, Grace, & Carey, 2007).
Perdarahan akibat pecahnya varises gastroesofagus (VGE) merupakan
komplikasi yang berbahaya bagi pasien sirosis hati. Sayangnya, pasien seringkali
datang untuk pertama kali karena hematemesis atau melena dan baru kemudian
terdiagnosis sirosis hati. Padahal ancaman kematian selalu ada setiap terjadi
perdarahan. Karena itu, faktor-faktor yang menjadi risiko pecahnya VGE berulang
perlu diketahui agar pengelolaan pasien lebih optimal (Widjaja & Karjadi, 2011).
Patofisiologi pecahnya VGE pada sirosis hati penting diketahui agar sasaran
terapi untuk mencegah perdarahan menjadi jelas. VGE terjadi karena hipertensi porta
yang diakibatkan oleh peningkatan tahanan ke aliran porta dan banyaknya darah yang
masuk ke vena porta. Kedua mekanisme itu menjadi sasaran tata laksana pasien agar
tidak terjadi perdarahan berulang akibat pecahnya VGE, ditambah dengan intervensi
lokal (seperti ligasi) (Dib, Oberti, & Cales,2006). Pasien sirosis hati tanpa atau dengan
VGE yang belum pernah mengalami perdarahan mempunyai kemungkinan rendah
terjadinya perdarahan dan kematian. Akan tetapi, jika sudah pernah mengalami
perdarahan sekali saja, kemungkinan perdarahan berulang menjadi sangat tinggi
(Garcia-Tsao & Bosch, 2010). Ditambah lagi, angka survival lebih rendah pada pasien
dengan perdarahan berulang dibandingkan dengan perdarahan yang baru sekali terjadi
(Nidegger, Ragot, Berthelemy, Masliah, Pilette, & Martin, 2003). Angka perdarahan
ulang berkisar antara 30-40%. Pasien yang tetap hidup pasca perdarahan pertama juga
masih beresiko dalam 1-2 tahun ke depan untuk terjadi perdarahan ulang.

B. Patogenesis
Varises gastroesofagus merupakan akibat langsung hipertensi porta karena
peningkatan tahanan aliran porta dan peningkatan aliran darah yang masuk ke vena
porta. Hal tersebut sejalan dengan hukum Ohm yang menyebutkan bahwa tekanan
vena porta adalah hasil dari tahanan vaskular (R) dan aliran darah (Q) pada bagian
porta (P = Q x R) (Dib, Oberti, & Cales, 2006). Peningkatan tahanan (R) terjadi
melalui dua cara: mekanik dan dinamik. Tahanan mekanik disebabkan oleh gangguan
struktur vaskular hati akibat fibrosis, nodul regeneratif dan deposisi kolagen di ruang
disse, sedangkan tahanan dinamik dikarenakan peningkatan tonus vaskular hati yang
dimodulasi oleh vasokontriksi endogen seperti norepinefrin, endotelin I, angiotensin II,
leukotrien dan tromboksan A2. Peningkatan vasokonstriktor endogen diakibatkan oleh
disfungsi endotel serta penurunan bioavaibilitas nitrit oksida. (Garcia-Tsao & Bosch,
2010). Penyebab peningkatan aliran darah (Q) adalah peningkatan curah jantung dan
penurunan tahanan vaskuler sistemik. Hal tersebut mengakibatkan sirkulasi meningkat
dengan vasodilatasi arteri sistemik dan splanknik, yang semakin memperburuk
hipertensi porta. Selain itu, sebagai usaha mendekompresi sistem vena porta, faktor-
faktor angiogenik akan membentuk pembuluh darah kolateral sehingga terjadi
hubungan antara sirkulasi sistemik dengan porta. Hal tersebut justru menambah aliran
darah yang akan memperburuk hipertensi porta (Dib, Oberti, & Cales, 2006).
Peningkatan tekanan porta (hipertensi porta) menyebabkan dilatasi pembuluh
darah terutama yang berasal dari vena azygos, yang kemudian menyebabkan varises.
Varises terjadi jika terdapat peningkatan perbedaan tekanan antara vena porta dan vena
hepatika lebih dari 10 mmHg. Varises akan semakin berkembang akibat peningkatan
aliran darah ke tempat varises dan terjadi rupture (Garcia-Tsao & Bosch, 2010).
Ruptur dari varises sangat sulit untuk diprediksi dari penanda sistemik seperti
trombositopenia, splenomegaly, atau ascites (Okamoto, et al., 2008). Dibet al
menuliskan tiga hal yang membuat risiko perdarahan VGE, yaitu (1) peningkatan
hipertensi porta: kerusakan hati yang ditimbulkan penyakit, asupan makanan, asupan
etanol, irama sirkadian, olahraga fisik dan peningkatan tekanan intraabdomen; (2)
Faktor yang melemahkan dinding varises, seperti asam asetilsalisilat dan OAINS; (3)
infeksi bakteri yang dapat membuat perdarahan awal dan berulang (Dib, Oberti, &
Cales, 2006).
Adanya RCS pada varises esophagus diketahui sebagai faktor resiko local
perdarahan varises. Meskipun vaarises esophagus dengan RCS banyak terbentuk di
dinding posterior, pada penelitian tentang lokasi rupturnya varises esophagus dengan
RCS diketahui bahwa RCS yang berada di dinding anterior kanan esophagus menjadi
faktor resiko tinggi terjadinya ruptur varises esophagus. Mekanisme mengapa varises
esfagus dengan derajat yang tinggi pada dinding anterior kanan esophagus memiliki
resiko yang tinggi untuk pecah belum sepenuhnya diketahui dengan pasti. Pengaruh
dari peningkatan vena porta bukan faktor yang diduga menjadi penyebabnya karena
peningkatan tekanan vena porta lebih cenderung mempengaruhi pembentukan varises
pada dinding posterior kanan. Ada 2 mekanisme yang dpat menjelaskan terjadinya
fenomena ini. Alasan yang pertama, diketahui bahwa kerusakan mukosa seperti erosi
dan ulkus pada reflux esofagitis derajat rendah sering ditemukan pada dinding anterior
kanan pada mukosa esophagus bawah yang mungkin karena waktu kontak asam yang
lama pada dinding anterior kanan pada esophagus bagian bawah. Waktu kontak asam
yang lama pada dinding anterior kanan dapat menyebabkan kerusakan pada mukosa
esophagus dan mungkin meningkatkan resiko ruptur pada varises.
Pada pasien dengan sirosis hepatis dan varises esophagus, aktivitas motorik
dari esophagus menurun sehingga menyebabkan hambatan pada pembersihan refluks
asam lambung. Di penelitian yang lain dituliskan bahwa prevalensi penyakit refluks
gastroesofageal meningkat pada pasien sirosis. Alasan yang kedua, tekanan intralumen
berhadapan dengan mukosa esofaagus dengan tekanan yang berbeda-beda sesuai
lokasinya. Dinding posterior esophagus menghadapi tekanan intraluminal yang besar
sedangkan dinding anterior menghadapi tekanan intraluminal yang kecil. Karena itu
gradien tekanan antara varises dengan lumen esophagus diduga lebih besar pada
varises yang terbentuk pada dinding anterior. Tekanan varises yang lebih besar ini
mungkin menjadi mekanisme yang mungkin mengapa varises pada dinding anterior
esophagus memiliki resiko yang lebih besar untuk ruptur. Spekulasi ini sesuai dengan
teori eruptive yang dipercaya secara luas sebagai mekanisme daru perdarahan varises
esophagus (Okamoto, et al., 2008).
Lee et al mempelajari faktor risiko terjadinya perdarahan berulang enam
minggu setelah terjadinya pecah VGE pada pasien dengan sirosis hati. Faktor risiko
yang ditemukan berkaitan dengan pecah VGE adalah insidens infeksi bakteri yang
tinggi, terutama pneumonia dan jumlah ligasi akibat kerusakan mukosa pada
permukaan yang lebih luas dan ulkus setelah ligasi. Parameter seperti usia, jenis
kelamin, etiologi dan beratnya sirosis hati, asites, diameter lien yang panjang, kadar
hemoglobin, sel darah putih, albumin yang rendah, karsinoma hepatoseluler ataupun
thrombosis vena porta dikatakan tidak menjadi risiko perdarahan berulang (Lee, Lee,
& Chang, 2009).
Pada studi retrospektif untuk mengetahui faktor risiko perdarahan berulang
dengan gambaran klinis dan endoskopi ditemukan perdarahan berulang meningkat
pada pasien dengan total bilirubin >2mg/ dL, asites, hepatoma, klasifikasi Child-Pugh
kelas C atau red color sign pada endoskopi. Usia, trombosit, albumin, waktu
protrombin, varises di fundus dan grade varises esophagus tidak meningkatkan risiko
perdarahan berulang (Hidayat, Djojoningrat, Akbar, & Sabarinah, 2004).

C. Diagnosis
Pasien dengan perdarahan varises esofagus biasanya memberikan gejala yang
khas berupa hematemesis, hematoskezia, atau melena, penurunan tekanan darah, dan
anemia. Perlu dipahami bahwa adanya tanda-tanda sirosis hati yang khas dengan
dugaan telah terjadi hipertensi portal, tidak serta merta menyingkirkan penyebab
pendarahan lain seperti gastropati hipertensi portal. Oleh sebab itu, pemeriksaan
endoskopi menjadi penting dalam mendiagnosis perdarahan varises esofagus.
Penderita sirosis hati sebaiknya dilakukan endoskopi pada saat diagnosis dibuat. Bila
pada saat endoskopi pertama tidak ditemukan varises, maka dilakukan endoskopi
berkala dengan jarak 3 tahun. Namun bila pada endoskopi pertama ditemukan varises
kecil, maka endoskopi berkala dilakukan setiap tahun. Klasifikasi varises esophagus
dibagi menjadi 4 tingkatan (Kusumobroto, Adi, & Setiawan, 2007), yaitu :
I. Dilatasi vena (< 5mm), masih tertutup dengan jaringan sekitarnya.
II. Dilatasi vena (> 5 mm) terdapat penonjolan ke jaringan sekitar namun belum
menutup lumen esofagus.
III.Vena besar, tegang dan sudah meyebabkan obstruksi lumen.
IV. Hampir menutup lumen secara total dengan stigmata endoskopik terutama cherry
red spots (bintik kemerahan).
Gambaran perdarahan pada endoskopi dapat berupa oozing atau spurting,
dimana perdarahan terlihat nyata, atau dapat juga terlihat white nipple sebagai tanda
perdarahan baru. Batasan perdarahan varises adalah perdarahan dari varises esophagus
atau lambung yang tampak pada saat endoskopi, atau ditemukan adanya varises yang
besar dengan darah di lambung tanpa ditemukan sumber perdarahan lain. Perdarahan
dikatakan bermakna bila membutuhkan transfusi 2 unit dalam 24 jam disertai tekanan
darah dibawah 100 mmHg, atau penurunan tekanan darah >20 mmHg dengan
perubahan posisi, atau nadi > dari 100 x/mnt.
Saat ini telah ditemukan cara sederhana untuk mengetahui apakah pada pasien
sudah terbentuk varises atau belum yakni dengan menghitung rasio P2/MS.

Keterangan :
Bila rasio P2/MS < 8.0 maka beresiko tinggi terbentuk Varises Esofagus dan bila > 21
tidak beresiko tinggi menderita Varises Esofagus. Bila Rasio P2/MS < 13.0 berarti
sudah terbentuk Varises Esofagus, dan bila >39.0 berarti tidak terdapat Varises
Esofagus. (Gentile & Thabut, 2012)

D. Penatalaksanaan
Sama halnya dengan kasus kegawatan lainnya, hal yang pertama dilakukan
dalam menangani pasien perdarahan varises esofagus adalah memastikan patensi jalan
nafas, mencegah aspirasi, dan resusitasi cairan termasuk transfusi bila diperlukan.
Perlu diingat overtransfusi pada kasus perdarahan varises esofagus dapat
meningkatkan tekanan porta dan perburukan control perdarahan, sehingga transfusi
harus dievaluasi secara cermat. Pemberian antibiotik berspektrum luas ternyata secara
bermakna mengurangi resiko infeksi dan menurunkan mortalitas. Jika memungkinkan,
dapat dilakukan endoskopi segera untuk menentukan sumber perdarahan dan
memberikan terapi secara tepat. Apabila perdarahan masih berlangsung dan besar
kecurigaan adanya hipertensi portal, dapat diberikan obat vasopressin IV dalam dosis
0,1-1 U/menit ditambah nittrogliserin IV 0,3 mg/mnt untuk mengurangi efek konstriksi
pada jantung dan pembuluh darah perifer. Octeotrid, suatu analog somatostatin, dapat
menurunkan tekanan portal tanpa menimbulkan efek samping seperti vasopressin.
Obat ini diberikan secara bolus IV 50-100 mcg dilanjutkan dengan drip 25-200
mcg/jam.
Penatalaksanaan definitif yang utama adalah dengan ligasi varises secara
endoskopik (LVE). Apabila LVE sulit dilakukan karena perdarahan yang masif dan
terus berlangsung, atau teknik yang tidak memungkinkan, maka dapat dilakukan
skleroterapi endoskopik (STE). STE adalah menyuntikan zat sklerosan (1,5% sodium
tetradecyl sulfate atau 5% ethanolamine oleat) ke daerah varises dengan harapan
pembuluh darah yang melebar tersebut tertutup dan perdarahan berhenti. Kondisi akan
semakin sulit bila pada endoskopi juga ditemukan varises gaster.
Apabila endoskopi tidak memungkinkan, maka obat-obat vasokonstriktor
seperti dijelaskan sebelumnya atau pemasangan balon tamponade (Sangestaken-
Blakemore tube) dapat dikerjakan sampai terapi definitif dapat dilakukan. Pada kasus-
kasus dimana endoskopi tidak dapat menghentikan perdarahan, jalan terakhir adalah
dilakukan tindakan bedah Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS).
Tindakan ini hampir pasti dapat mengatasi perdarahan, namun pada penderita dengan
penyakit hati lanjut dan kegagalan multiorgan dapat menimbulkan bahaya ensefalopati
sampai kematian. Saat ini untuk hipertensi portal dan perdarahan varises esophagus
terus berkembang luas. Banyak jenis modalitas pengobatan menunjukkan bahwa tidak
ada terapi tunggal yang memberikan kepuasan pada seluruh pasien dengan seluruh
kondisi klinis.
Operasi Shunt dan devaskularisasi merupakan metode dasar bedah untuk
penyakit ini. Operasi Shunt lebih sering digunakan di negara-negara barat sedangkan
prosedur devaskularisasi lebih sering digunakan di china. Prosedur bedah ideal sebagai
terapi perdarahan pada hipertensi portal harus bisa mengontrol perdarahan,
menghindara rekurensi dengan kerusakan fungsi liver yang minimal dan sebisa
mungkin menurunkan resiko ensefalopati. Teknik laparoskopi telah menjadi gold
standard untuk menghilangkan limpa baik yang normal ataupun yang mengalami
pembesaran. Biarpun begitu, teknik laparoskopi memiliki lebih banyak tantangan saat
digunakan pada pasien dengan sirosis, hipertensi portal dan splenomegali. Komplikasi
intraoperasi selama proses operasi ini adalah perdarahan yang menjadi alasan utama
konversi operasi menjadi laparotomi. Pasien yang telah dilakukan operasi mengalami
penyembuhan dengan perlahan. Setelah dilakukan observasi 3 bulan sampai 5 tahun,
tidak ada kejadian kegagalan fungsi hepar, ensefalopati atau perdarahan berulang dan
semua pasien yang melakukan operasi ini mengalami peningkatan kualitas hidup.

E. Profilaksis Primer
Pencegahan perdarahan varises merupakan tujuan utama pengelolaan sirosis,
seiring dengan data yang memperlihatkan peningkatan mortalitas karena perdarahan
aktif dan menurunnya survival secara progresif sesuai dengan indeks perdarahan.
Apabila pada pasien sirosis ditemukan varises tingkat 3, pasien harus mendapatkan
profilaksis primer tanpa melihat beratnya gangguan faal hati. Pasien dengan varises
tingkat 2 pun perlu mendapatkan profilaksis primer jika gangguan faal hatinya Child
kelas B atau C.
Profilaksis primer dapat dilakukan dengan medikamentosa berupa beta bloker
(propranolol, atenolol, atau nadolol). Propranolol bekerja sebagai vasokonstriktor
arteriol mesenterika sehingga diharapkan dapat menurunkan tekanan portal. Dosis
dimulai dengan 2 x 40 mg/hari, kemudian dinaikan menjadi 2 x 80 mg. penggunaan
beta bloker long acting dapat memperbaiki ketaatan. Pada kasus dimana beta bloker
menjadi kontraindikasi, LVE menjadi pilihan utama. Apabila beta bloker dan LVE
tidak dapat digunakan, maka dapat diberikan isosorbide mononitrat sebagai pilihan
utama dengan dosis 2 x 20 mg. Terapi kombinasi antara beta bloker dengan isosorbide
mononitrate secara bermakna dapat menekan perdarahan lebih baik dibandingkan
dengan beta bloker tunggal, tetapi tidak berbeda dalam angka mortalitas. Menjadi
pemahaman umum, jika peningkatan tekanan vena porta menjadi faktor penyebab
utama terbentuknya kolateral portosistemik dan varises esophagus. Kolateral ini
terbentuk sebagai akibat dari vena tersebut. Sebagai tambahan, angiogenesis aktif
dapat juga berpartisipasi pada proses ini.
Dalam sebuah penelitiaan diketahui bahwa meskipun vena porta menurun
secara signifikan, tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap angka kejadian varises
esophagus. Lebih jauh lagi, perbedaan yang tidak bermakna ini diluar faktor peran
neoangiogenesis dalam pembentukan varises esophagus. Hal ini menunjukkan
penggunaan obat-obat penurun tekanan pada hipertensi portal tidak banyak berfungsi
pada pasien sebelum terbentuk varises esophagus (Alatsakis, et al.,2009).
F. Pengelolaan Pencegahan Perdarahan Berulang
Dengan tingkat rekurensi tinggi, pasien yang masih dapat bertahan karena
perdarahan varises akut harus mendapat terapi untuk mencegah rekurensi sebelum
pasien dipulangkan dari rumah sakit (Garcia-Tsao & Bosch, 2010).

* Hanya satu penghambat-b dengan ligasi yang sebaiknya digunakan. Terapi yang
tidak digunakan untuk pencegahan tahap pertama perdarahan varises berulang adalah
penghambat-b nonselektif saja, skleroterapi varises endoskopi, ligasi varises endoskopi
saja, dan ligasi varises endoskopi dengan skleroterapi varises endoskopi.
# Terapi ini sedang diteliti. Direkomendasikan pada pasien yang tidak dapat dilakukan
ligasi.
Terapi farmakologis kombinasi (penghambat β nonselektif ditambah nitrat) atau
kombinasi ligasi varises endoskopi ditambah terapi obat perlu diberikan karena tingkat
kekambuhan yang tinggi, walaupun efek samping menjadi lebih tinggi dibandingkan terapi
tunggal. Terapi tunggal hanya direkomendasikan untuk profilaksis primer. Kedua cara
tersebut dibandingkan dalam suatu randomized controlled trial dan hasilnya menunjukkan
adanya penurunan perdarahan berulang varises yang bermakna pada kombinasi ligasi varises
dengan endoskopi dan terapi obat (penghambat beta nonselektif ditambah nitrat)
dibandingkan terapi obat saja. Angka terjadinya perdarahan dari tempat lain, seperti dari
ulkus esofagus yang diinduksi oleh ligasi varises, tidak berbeda bermakna (Garcia-Tsao &
Bosch, 2010).
Kesulitan pemberian terapi farmakologis untuk profilaksis sekunder VGE adalah
intoleransi pasien terhadap obat, ketidak patuhan pasien, dan kurangnya bukti (Cheung,
Wong, Zandieh, Leung, Lee, & Ramji, 2006). Intoleransi pasien terhadap obat tertentu perlu
mendapatkan perhatian penting jika pasien mengeluhkan hal yang berhubungan dengan efek
samping. Selain itu, pasien juga perlu diberikan edukasi untuk kontrol teratur dan minum
obat secara rutin. Risiko terjadinya perdarahan berulang perlu dipaparkan secara jelas,
terutama jika pasien tidak melakukan terapi sesuai dengan petunjuk dokter.
Lo (Lo, 2006) membuat algoritme sederhana untuk pencegahan perdarahan berulang
pada VGE. Lo juga menyarankan jika pasien menyandang sirosis hati dengan kelas Child-
Pugh kelas C dengan perdarahan varises berulang, sebaiknya direncanakan transplantasi hati.
Untuk pasien dengan perdarahan berulang yang terkontrol, tes penyaring karsinoma
hepatoseluler sebaiknya dilakukan.

Bila dibandingkan terapi kombinasi ligasi dengan terlipresin yang dibandingkan


dengan terlipresin saja. Penelitiannya mendapatkan bahwa kombinasi tersebut menurunkan
kejadian perdarahan berulang dini, mengurangi kegagalan tata laksana awal, tanpa
memberikan efek samping yang meningkat secara bermakna, serta menurunkan kebutuhan
jumlah darah untuk transfuse (Lo,Chen, Wang, Lin, Chan, & Tsai, 2009). Dari pendapat yang
lain dikatakan dosis terlipressin yang diberikan terlalu rendah, hanya 1 mg setiap 6 jam.
Mungkin bila dosis dinaikkan akan menurunkan insidens perdarahan berulang dan membuat
perbedaan dengan terapi kombinasi semakin kecil (Salerno & Cazzaniga, 2009).
Metaanalisis yang dilakukan pada penelitian lain menunjukkan angka terjadinya
perdarahan berulang (dari varises maupun sumber lain) lebih rendah dengan kombinasi terapi
endoskopi dan terapi obat dibandingkan dengan salah satu terapi saja, tetapi angka survival
masih belum jelas. Terapi kombinasi juga menurunkan mortalitas tetapi hasilnya kurang
dapat dipercaya karena kematian dapat disebabkan bukan oleh hipertensi porta dan varises
(Gonzales, Zamora, Gomez-Camarero, Molinero, Banares, & Albillos, 2008).
Pada pasien yang tidak dapat dilakukan ligasi varises, penghambat β nonselektif
ditambah nitrat perlu diberikan untuk memaksimalkan penurunan tekanan porta, walaupun
terapi kombinasi ini belum direkomendasikan (Garcia-Tsao & Bosch, 2010). Hal tersebut
didukung oleh penelitian lain yang memperlihatkan tidak adanya perbedaan yang bermakna
dalam hal kejadian perdarahan berulang pada pasien yang diberikan penghambat β
nonselektif dan nitrat saja dibandingan dengan obat tersebut ditambah ligasi. Sebagai
tambahan, kemungkinan terjadinya perdarahan berulang akibat varises lebih rendah pada
terapi ligasi dan obat dibandingkan obat saja, tetapi perlu dipertimbangkan bahwa dengan
memberikan kombinasi terapi ligasi dan obat lebih banyak efek samping yang akan timbul.
Pasien juga membutuhkan perawatan yang lebih lama (terutama jika terjadi perdarahan akibat
ulkus) dan biaya menjadi jauh lebih besar (Garcia-Pagan, Villanueva, Albillos, Banares,
Morillas, & Abraldes, 2009).
Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan berulang walaupun telah dilakukan
ligasi serta obat dengan dosis dan jadwal yang direkomendasikan perlu dipikirkan
penempatan TIPS perkutan atau pembentukan shunt dengan bedah. Baik TIPS perkutan
maupun pembedahan memiliki efektifitas yang sama (Garcia-Tsao & Bosch, 2010). Bila
dibandingkan dengan terapi endoskopi, TIPS lebih efektif untuk mencegah perdarahan
berulang serta pembedahan untuk membuat shunt lebih efektif dari skleroterapi endoskopi.
Tetapi, keduanya belum terbukti meningkatkan survival dan keduanya berkaitan dengan
risiko ensefalopati yang tinggi (Dib, Oberti, & Cales, 2006). Revisi penelitian TIPS perlu
lebih sering dilakukan untuk mengatasi penggunaan terkini dengan coated stent yang
mempunyai angka oklusi yang lebih rendah secara bermakna. Pemilihan antara TIPS dan
pembedahan tergantung ahli setempat dan permintaan pasien. (Garcia-Tsao & Bosch, 2010).
Pada penelitian randomized controlled trial yang membandingkan antara TIPS dengan terapi
obat (propanolol+ isosorbide-5-mononitrate) dan mendapatkan perdarahan berulang selama
15 bulan terjadi pada 13% pasien dengan TIPS dan 39% pasien dengan terapi obat. Angka
survival pada kedua perlakuan sebesar 72%. Beban biaya dua kali lebih besar pada pasien
dengan TIPS (Escorsell, Banares, Garcia-Pagan, Gilabert, Moitinho, & Piqueras, 2002).
Panduan dari American Association for the Study of Liver Diseases dan American
College of Gastroenterology merekomendasikan terapi untuk mencegah perdarahan varises
berulang pada pasien sirosis hati yang telah mengalami perdarahan VGE. Kombinasi yang
disarankan adalah penghambat β nonselektif ditambah ligasi varises. Penghambat β
nonselektif perlu disesuaikan untuk dosis maksimal yang dapat ditoleransi seperti pada Tabel
3. Ligasi varises sebaiknya diulang setiap 1-2 minggu sampai varises hilang dengan
pemeriksaan endoskopi dan kembali dilakukan 1-3 bulan setelah varises hilang serta setiap 6-
12 bulan untuk memantau terjadinya varises berulang (Garcia-Tsao, Sanyal, Grace, & Carey,
2007).
Rekomendasi di atas berlaku untuk mencegah perdarahan berulang pada pasien yang
belum mendapat profilaksis primer sebelumnya. Jika profilaksis primer menggunakan
penghambat β dengan dosis yang sesuai gagal, penghambat β tidak boleh dilanjutkan sebagai
terapi tunggal dan ligasi varises sebaiknya dilakukan. Jika dosis penghambat β tidak sesuai,
optimalisasi dosis atau ligasi varises dapat dilakukan. Bila ligasi gagal sebagai profilaksis,
TIPS dapat menjadi pilihan berikut. Transplantasi hati dapat dipikirkan pada semua kasus,
khususnya pasien dengan sirosis berat (Child kelas B atau C) (Dib, Oberti, & Cales, 2006).
Baveno I sampai V merupakan lokakarya yang berfokus pada perdarahan varises dan
hipertensi porta. Baveno V diadakan pada tahun 2010 dan merupakan konsensus terbaru.
Konsensus Baveno V merekomendasikan hal yang sama dengan panduan dari American
Association for the Study of Liver Diseases dan American College of Gastroenterology
bahwa terapi kombinasi penghambat β nonselektif dan ligasi varises menjadi pilihan terbaik.
Namun sebagai tambahan, Baveno V juga merekomendasikan penambahan ISMN pada
penghambat β nonselektif terutama pada pasien yang menolak atau tidak dapat dilakukan
ligasi. Tetapi jika pasien mempunyai kontraindikasi penghambat β nonselektif, ligasi dapat
menjadi pilihan utama. (Franchis & Faculty, 2010).
Konsensus Baveno V juga menjelaskan definisi dan kriteria pro-filaksis sekunder
dikatakan gagal. Gagal terhadap pencegahan perdarahan berulang didefinisikan sebagai
episode tunggal perdarahan berulang yang bermakna secara klinis yang berasal dari
hipertensi porta setelah hari ke-5. Perdarahan berulang yang bermakna tersebut adalah
melena berulang atau hematemesis yang mengakibatkan salah satu hal berikut: masuk ke
rumah sakit, transfusi darah, Hb turun 3 g/dL, atau kematian dalam enam minggu (Franchis
& Faculty, 2010).
Terapi tambahan seperti antasid dan penghambat pompa proton mungkin dapat
berguna pada pasien sirosis hati karena ulkus peptikum dan refluks esofagitis merupakan
salah satu penyebab perdarahan pada saluran cerna bagian atas. Refluks asam lambung
mungkin dapat menyebabkan ruptur varises karena supresi yang kuat dengan penggunaan
proton pump inhibitor dapat menurunkan angka rupture varises esophagus dengan jumlah
yang signifikan. Penggunaan H2 Blocker tidak memiliki efek sebaik penggunaan proton
pump inhibitor. Ini mungkin disebakan adanya toleransi yang terbentuk untuk efek antasida
pada reseptor antagonis histamine akibat penggunaan dalam waktu lama. Karena itu
penggunaan proton pump inhibitor lebih disukai daripada H2 blocker (Okamoto, et al., 2008).
Pada RSUD AWS, terdapat prosedur tetap penatalaksanaan pasien varises esophagus post
ligasi yakni (1) Puasa 4 jam, (2) Diet Cair/susu 24 jam, (3) Diet Bubur Saring 3x24 jam, (4)
Diet Bubur biasa 3x24 jam (5) Injeksi As. Tranexamat 500mg/8jam (6) Vit K 1 amp/12 jam
(7) Bed Rest, dilarang mengejan, dilarang angkat berat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Alatsakis, M., Ballas, K., Pavlidis, T., Psarras, K., Rafailidis, S., Tzioufa-
Asimakopoulou, V., et al. (2009). Early Propanolol Administration Does Not Prevent
development of Esophageal Varices in Cirrhotic Rats. European Surgical Research ,
11-16.
2. Bosch, J., & Garcia-Pagan, J. (2003). Prevention of Variceal Rebleeding. Lancet 952-
954.
3. Cheng, L., Wang, Z., Li, C., Cai, F., Huang, Q., & Linghu, E. (2007). Treatment of
gastric varices by endoscopic schlerotherapy using butyl cyanoacrylate: 10 years
experience of 645 cases. China Medical Journal , 2081-2085.
4. Cheung, J., Wong, W., Zandieh, I., Leung, Y., Lee, S., & Ramji, A. (2006). Acute
management and secondary prophylaxis of esophageal variceal bleeding: A western
Canadian survey. Can J Gastroenterol , 531-534.
5. Cipoletta, L., Zambelli, A., Bianco, M., De Grazia, F., Meucci, C., & Lupinacci, G.
(2009). Acrylate glue injection for acutely bleeding oesophageal varices: a
prospective cohort study. Dig Liver Dis , 1729-1734.
6. Dib, N., Oberti, F., & Cales, P. (2006). Current Management of The Complications of
Portal Hypeertension: Variceal Bleeding and Ascites. CMAJ , 1433-1443.
7. Escorsell, A., Banares, R., Garcia-Pagan, J., Gilabert, R., Moitinho, E., & Piqueras, B.
(2002). TIPS versus drug therapy in preventing variceal rebleeding in advanced
cirrhosis: a randomizad controlled trial. Hepatology , 385-392.Franchis, R., &
Faculty, T. B. (2010). Revising consensus in portal hypertensio: Report of the Baveno
V consensus workshop on methodology of diagnosis and therapy in portal
hypertension. Hepatology , 762-768.
8. Garcia-Pagan, J., Villanueva, C., Albillos, A., Banares, R., Morillas, R., & Abraldes,
J. (2009). Nadolol plus isosorbide mononitrate alone or associated with band ligation
in the prevention of recurrent bleeding: a multicentre randomised controlled trial. Gut
, 1144-1150.
9. Garcia-Tsao, G., & Bosch, J. (2010). Management of Varices and Variceal
Hemorrhage in Cirrhosis. N Engl J Med , 823-832.
10. Garcia-Tsao, G., Sanyal, A., Grace, N., & Carey, W. (2007). Prevention and
Mahagement of Gastroesophageal Varices and Variceal Hemorrhage in Cirrhosis.
Hepatology , 922-938.
11. Gentile, I., & Thabut, D. (2012). Noninvasive prediction of oesophageal varices : as
simple as blood count ? Liver International , 1091-1093.
12. Gonzales, R., Zamora, J., Gomez-Camarero, J., Molinero, L., Banares, R., & Albillos,
A. (2008). Meta-analysis: combination endoscopic and drug. Ann Intern Med , 109-
122.
13. Hidayat, S., Djojoningrat, D., Akbar, N., & Sabarinah. (2004). Risk Factors for
Recurrent Upper Gastrointestinal Tract Bleeding After Esophageal Varices Ligation
on Patients with Liver Cirrhosis. The Indonesian Journal of Gastroenterohepatology
Hepatology and Digestive Endoscopy , 79-88.
14. Kusumobroto, H., Adi, P., & Setiawan, P. (2007). Panduan Penatalaksanaan
Perdarahan Varises Pada Sirosis Hati. Surabaya: Perkumpulan Gastroenterologi
Indonesia.
15. Lee, J., Yoon, J., Myung, S., Keam, B., Kim, B., Chung, G., et al. (2008). Complete
Blood Count Reflects The Degree Of Oesophageal Varices and Liver Fibrosis in
Virus Related Chronic Liver Disease Patient. Journal Of Viral Hepatitis , 444-452.
16. Lee, S., Lee, T., & Chang, C. (2009). Independent Factors Associated With Recurrent
Bleeding in Cirrhotic Patients With Esophageal Variceal Hemorrhage. Dig Dis Sci ,
1128-1134.
17. Lo, G. (2006). Prevention of Esophageal Variceal Rebleeding. J Chin Med Assoc,
553-560.
18. Lo, G., Chen, W., Wang, H., Lin, C., Chan, H., & Tsai, W. (2009). Low-dose
terlipressin plus banding ligation versus low-dose terlipressin alone in the prevention
of very early rebleeding of oesophageal varices. Gut , 1275-1280.
19. Nidegger, D., Ragot, S., Berthelemy, P., Masliah, C., Pilette, C., & Martin, T. (2003).
Cirhhosis and Bleeding: The Need for Very Early Management. Journal of
Hepatology , 509-514.
20. Okamoto, E., Amano, Y., Fukuhara, H., Furuta, K., Miyake, T., Sato, S., et al. (2008).
Does Gastroesophageal Reflux Have an Influence on Bleeding from Esophageal
Varices? Journal of Gastroenterology , 803-808.
21. Perz, J., Armstrong, G., Farrington, L., Hutin, Y., & Bell, B. (2006). The
Contributions of Hepatitis B Virus dan Hepatitis C Virus in Infections to Cirrhosis
and Primary Liver Cancer Worlwide. Hepatology , 529-538.
22. Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
23. Salerno, F., & Cazzaniga, M. (2009). Prevention of early variceal rebleeding adding
banding to terlipressin therapy. Gut , 1182-1183.
24. Sjaifoelah, N. (1996). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FK-
UI.
25. Starr, P., & Rainess, D. (2011). Cirrhosis: Diagnosis, Management and Prevention.
American Family Physician , 1353-1359.
26. Sulaiman, H., Julitasari, Srie, A., Rustam, M., Melani, W., & Corwin, A. (1995).
27. Prevalence of Hepatitis B and C Viruses in Healthy Indonesian Blood Donors. Trans
R Soc Trop Med Hyg , 167-170.
28. Tjokroprawiro, A., Setiawan, P. B., Santoso, D., & Soegiarto, G. (2009). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Universitas Airlangga. Surabaya: Airlangga Press.
29. Wang, Y. D., Ye, H., Ye, Z. Y., Zhu, Y. W., Xie, Z. J., Zhu, J. H., et al. (2008).
30. Laparoscopic Splenectomy And Azygoportal Disconnection for Bleeding Varices
With Hypersplenism. Journal of Laparoendoscopic and Advanced Surgical
Techniques , 37-41.
31. Wang, Y., Cheng, L., Li, N., Wu, K., Zhai, J., & Wang, Y. (2009). Study of glue
extrusion after endoscopic N-butyl-2-cyanoacrylate injection on gastric variceal
bleeding. World J Gastroeneterology , 4945-4951. WHO. (2011). Viral Hepatitis in
The WHO South-East Asia Region. New Delhi: WHO. Widjaja, F. F., & Karjadi, T.
(2011). Pencegahan Perdarahan Berulang Pada Pasien Sirosis Hati. Indonesian
Medical Association , 417-424.

Anda mungkin juga menyukai