Diajukan dalam rangka praktek klinis dokter internsip sekaligus bagian dari persyaratan
menyelesaikan program internsip dokter Indonesia
di RSUD Simo Boyolali
Disusun oleh :
KABUPATEN BOYOLALI
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun oleh :
dr.Muthia Rachmanita
Pembimbing,
Hasil Pembelajaran :
1. Sirosis Hepatis dengan Varises Esofagus
2. Penegakan diagnosis Sirosis Hepatis dengan Varises Esofagus
3. Tatalaksana Sirosis Hepatis dengan Varises Esofagus
Keterangan Umum :
Nama : Tn. S
Usia : 74 tahun
No RM : 120205xxxx
Alamat : Gunung Mijil 3/1 Gondanglegi, Klego
Agama : Islam
Suku : Jawa
Warga Negara : Warga Negara Indonesia (WNI)
Pekerjaan : Petani
Status pernikahan : Menikah
A. ANAMNESIS
SUBJEKTIF
Keluhan Utama : Muntah darah
Pasien seorang lansia usia 74 tahun datang dengan keluhan muntah darah sejak tadi
malam. Keluhan muntah darah dirasakan setelah makan malam sebanyak 3 kali,
jumlah banyak, warna hitam pekat dan bau. Muntah darah terjadi kembali pagi hari 1x
dengan jumlah yang lebih sedikit. Sebelum SMRS pasien merasa badannya lemas,
nafsu makan menurun dan nyeri perut kanan atas dan teraba semakin keras. Keluhan
tersebut sudah dirasakan 2 tahun terakhir. Pasien mengaku mempunyai penyakit
kuning yang sudah lama. Pasien rutin berobat ke dokter spesialis penyakit dalam
RSUD Simo dan mendapatkan obat teratur.
Keluhan nyeri kepala (+), demam (-), mual muntah (+), mimisan (-),sesak (-), BAB
dan BAK tidak ada keluhan.
B. PEMERIKSAAN FISIK
OBJECTIVE
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Composmentis
Vital sign
o Tekanan Darah : 136/64 mmHg
o Nadi: 90x/menit
o RR: 22x/menit
o Temp: 36,5 C
Kepala leher:
o Mata : Reflek pupil +/+ , Pupil isokor 3mm/3mm , konjungtiva anemis -/-, ikterus
-/-.
o THT :
Abdomen:
o Inspeksi : agak cembung, distensi (-), caput medusa (-)
o Auskultasi : bising usus (+) normal
o Palpasi : nyeri hipogastrik dextra (+), nyeri epigastrik (+), Hepar teraba
keras, lien tidak teraba.
o Perkusi : timpani (+), batas hepar mengecil, shifting dullness (+)
o Turgor (+) baik
o Undulasi (+)
Ekstrimitas : Akral hangat, Capillary Refill Time < 2 detik , udem (-), sianosis (-)
Hb 9,9 g/dl
Leukosit 14,40 x 103sel/mm3
D. DIAGNOSIS KERJA
Haematemesis e.c varises esofagus
E. PENATALAKSANAAN
a) Planning Therapy
1. Infus RA 10 tpm
2. Inj. Furosemid 1A/24 jam
3. Inj. Pantoprazol 1 vial/24jam
4. Inj. Cefotaxim 1gr/8jam
5. Inj. Kalnex 500mg/8jam
6. Spironolakton 1 x 100 mg
7. Propanolol 1 x 20 mg
8. Sucralfat syr 3 x 1C
9. Curcuma 3x1
10. Laxadin syr 1x 2C
b) Planning Monitoring
1. Keluhan subyektif
2. KU, vital sign
3. Diuresis
F. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
PERKEMBANGAN PASIEN DI BANGSAL
I. Sirosis Hepatis
A. Definisi
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya
pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses
peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha
regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro
dan makro menjadi tidak teratur akibat perubahan jaringan ikat dan nodul tersebut
(Sjaifoelah, 1996). Selanjutnya, distorsi arsitektur hepar dan peningkatan vaskularisasi
ke hati menyebabkan varises atau pelebaran pembuluh darah di daerah gaster maupun
esophagus (Widjaja & Karjadi, 2011).
B. Prevalensi
Di amerika, sirosis hepatis menjadi penyebab kematian ke 12 dengan 29.165
kematian pada tahun 2007 dan rata-rata angka mortalitas 9,7 per 100.000 orang (Starr
& Rainess, 2011). Angka kejadian di Indonesia menunjukkan pria lebih banyak
menderita sirosis dari wanita (2 - 4: 1), terbanyak didapat pada usia dekade kelima
(Sjaifoelah, 1996). World Health Organization (WHO) tahun 2002 memperkirakan
783 000 pasien di dunia meninggal akibat sirosis hati. Sirosis hati paling banyak
disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol dan infeksi virus hepatitis. Di Indonesia
sirosis hati banyak dihubungkan dengan infeksi virus hepatitis B dan C karena
penyalahgunaan alkohol lebih jarang terjadi dibandingkan negara-negara barat. Sekitar
57%, pasien sirosis hati terinfeksi hepatitis B atau C (Perz, Armstrong, Farrington,
Hutin, & Bell, 2006). South East Asia Regional Office (SEARO) tahun 2011
melaporkan sekitar 5,6 juta orang di Asia Tenggara adalah pembawa hepatitis B,
sedangkan sekitar 480.000 orang pembawa hepatitis C (WHO, 2011).
C. Etiologi dan Klasifikasi
Sirosis hepatis bisa disebabkan oleh banyak faktor. Penyalahgunaan alkohol
dan infeksi virus merupakan penyebab yang paling sering (Starr & Rainess, 2011).
Tabel 1. Etiologi Sirosis Hepatis
Etiologi Sirosis Hepatis
Inflamasi Genetik/Kongenital
Viral Sirosis bilier primer
Hepatitis B (15%) Defisiensi α1 antitripsin
Hepatitis C (47%) Hemokromatosis
Schistosomiasis NAFLD
Autoimun (tipe 1,2,3) Wilson Disease
Sarcoidosis Gagal Jantung Kongestif
Toxic Veno-occlusive Disease
Alkohol (18%) Budd-Chiari syndrome
Metrotrexat Unknown (14%)
Untuk penentuan derajat keparahan dan prognosis pembedahan, maka
klasifikasi derajat keparahan yang sering digunakan adalah klasifikasi Child-Turcotte-
Pugh (Garcia-Tsao & Bosch, 2010).
Tabel 2. Klasfikasi Child-Turcotte-Pugh
Kriteria Klinis Nilai
dan Biokimia 1 12 3
E. Manifestasi Klinis
Secara umum, meskipun memiliki banyak etiologi dan pola, namun hampir
semua jenis sirosis memiliki gambaran klinis yang sama. Masa ketika sirosis
bermanifestasi sebagai masalah klinis hanya sepenggal waktu dari perjalanan klinis
selengkapnya. Sirosis bersifat laten selama bertahun-tahun dan perubahan patologis
yang terjadi berkembang lambat hingga akhirnya gejala yang timbul menyadarkan
akan kondisi ini dan dalam waktu yang sama terjadi kemunduran fungsi hati secara
bertahap (Price & Wilson, 2006).
Fase Kompensasi Sempurna
Pada fase ini pasien tidak mengeluh sama sekali atau bisa juga keluhan samar-
samar tidak khas seperti pasien merasa tidak sehat, merasa kurang kemampuan kerja,
selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, kadang mencret atau
konstipasi, berat badan menurun, kelemahan otot dan perasaan cepat lelah akibat
deplesi protein (Price & Wilson, 2006). Keluhan dan gejala tersebut tidak banyak
bedanya dengan pasien hepatitis kronik aktif tanpa sirosis hati dan tergantung pada
luasnya kerusakan parenkim hati (Sjaifoelah, 1996).
Fase Dekompensasi
Manifestasi klinis pasien sirosis pada fase dekompensasi secara garis besar dibagi
menjadi 2 yaitu (Price & Wilson, 2006) :
1. Manifestasi Gagal Hepatoseluler
Ikterus terjadi pada 60 % penderita selama perjalanan penyakitnya dan
biasanya hanya minimal. Hiperbilirubinemia tanpa ikterus lebih sering terjadi.
Penderita dapat menjadi ikterus selama fase dekompensasi disertai gangguan
reversibel fungsi hati. Gangguan endokrin sering terjadi pada sirosis. Hormon
korteks adrenal, testis, dan ovarium dimetabolisme dan diinaktifkan oleh hati.
Gangguan pada hati juga akan mengganggu proses metabolime dan inaktivasi
dari hormon-hormon tersebut. Spider nevy yang terdiri dari arteriola terlihat
pada kulit terutama di bagian leher, dada, dan bahu. Spider nevy, atrofi testis,
ginekomastia, alopesia pada dada dan aksila, serta eritema palmaris diduga
disebabkan oleh kelebihan estrogen dalam sirkulasi. Peningkatan pigmentasi
kulit juga diduga disebabkan oleh aktivitas hormon perangsang melanosit
(Melanocyt-stimulating Hormone) yang bekerja secara berlebihan. Gangguan
hematologik yang sering terjadi pada sirosis adalah kecenderungan
perdarahan, anemia, leukopenia dan trombositopenia. Penderita sering
mengalami perdarahan hidung, gusi, menstruasi berat, dan mudah memar.
Masa protrombin dapat memanjang. Manifestasi ini dapat terjadi akibat
berkurangnya pembentukan faktor-faktor pembekuan oleh hati. Anemia,
leukopenia, dan trombositopenia diduga disebabkan oleh hipersplenisme.
Limpa tidak hanya membesar, tetapi juga lebih aktif menghancurkan sel-sel
darah dari sirkulasi. Mekanisme lain yang juga menyebabkan anemia adalah
defisiensi besi, asam folat, dan vitamin B 12 yang terjadi sekunder akibat
kehilangan darah dan peningkatan hemolisis eritrosit. Penderita juga akan
lebih mudah terserang infeksi.
Edema perifer umumnya terjadi setelah timbulnya asites dan dapat dijelaskan
akibat hipoalbuminemia serta retensi garam dan air. Kegagalan hati untuk
inaktivasi aldosteron dan hormone anti diuretik merupakan penyebab retensi
natrium dan air. Fetor hepatikum merupakan bau apek manis yang terdeteksi
dari napas penderita dan diyakini terjadi akibat ketidakmampuan hati dalam
memetabolisme metionin. Gangguan neurologis yang paling serius pada
sirosis lanjut adalah ensefalopati hepatikum yang diyakini akibat kelainan
metabolisme ammonia dan peningkatan kepekaan otak terhadap toksin.
2. Manifestasi Hipertensi Portal
Hipertensi portal didefinisikan sebagai peningkatan tekanan vena porta yang
menetap di atas nilai normal (6-12 cm H2O). Tanpa memandang penyakit
dasarnya, mekanisme primer penyebab hipertensi portal adalah peningkatan
resistensi terhadap aliran darah melalui hati. Selain itu biasanya terjadi
peningkatan aliran arteria splanknikus. Kombinasi kedua faktor yaitu
menurunnya aliran keluar melalui vena hepatica dan meningkatnya aliran
masuk bersama-sama menghasilkan beban berlebihan pada sistem portal.
Pembebanan yang berlebihan sistem portal ini merangsang timbulnya aliran
kolateral guna menghindari obstruksi hepatik (varises). Tekanan balik pada
sistem portal mengakibatkan splenomegali dan sebagian bertanggung jawab
terhadap tertimbunnya asites. Asites merupakan penimbunan cairan encer
intraperitoneal yang mengandung sedikit protein. Faktor utama patogenesis
asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus (Hipertensi
Portal) dan penurunan tekanan osmotik koloid akibat hipoalbuminemia. Faktor
lain yang berperan adalah retensi natrium dan air serta peningkatan sintesis
dan aliran limfe hati. Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan
hipertensi portal terdapat pada esophagus bagian bawah. Pirau darah melalui
melalui saluran ini ke vena kava menyebabkan dilatasi vena-vena ini (Varises
Oesofagus) varises ini terjadi sekitar 70% pada pasien dengan sirosis lanjut.
Perdarahan pada varises ini sering menyebabkan kematian. Sirkulasi kolateral
juga melibatkan vena superficial dinding abdomen dan timbulnya sirkulasi ini
mengakibatkan dilatasi vena-vena skitar umbilicus (Caput Medusae). Sistem
vena rectal membantu dekompensasi tekanan portal sehingga vena-vena
berdilatasi dan dapat menyebabkan berkembangnya hemorrhoid interna,
perdarahan pada hemorhhoid yang pecah biasanya tidak hebat, karena tekanan
di daerah ini tidak setinggi tekanan pada esophagus karena jarak yang lebih
jauh dari vena porta. Splenomegali pada sirosis dapat dijelaskan berdasarkan
kongestif pasif kronis akibat aliran balik dan tekanan darah yang lebih tinggi
pada vena lienalis.
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah
Bisa dijumpai Hb rendah, anemia normokrom normositer, hipokrom
mikrositer atau makrositer. Anemia bisa, akibat hipersplenisme dengan
leukopenia dan trombositopenia.
a) Kenaikan enzim transaminase / SGOT, SGPT tidak merupakan petunjuk
tentang berat dan luasnya kerusakan parenkhim hati. Kenaikan kadarnya
didalam serum timbul akibat kebocoran dari sel yang mengalami kerusakan.
Peninggian kadar gama GT sama dengan transaminase, ini lebih sensitif tetapi
kurang spesifik. Pemeriksaan bilirubin, transaminase dan gama GT tidak
meningkat pada sirosis inaktif.
b) Albumin. Penurunan kadar albumin dan peningkatan kadar globulin
merupakan tanda kurangnya daya hati dalam menghadapi stress.
c) Pemeriksaan CHE. Bila terjadi kerusakan sel hati, kadar CHE akan turun.
d) Pemeriksaan kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretik dan
pembatasan garam dalam diet.
e) Pemanjangan masa protombin merupakan petunjuk adanya penurunan
fungsi hati. Pemberian vit. K parenteral dapat memperbaiki masa protrombin.
f) Peninggian kadar gula darah pada sirosis hati fase lanjut disebabkan
kurangnya kemampuan sel hati membentuk glikogen.
g) Pemeriksaan marker serologi pertanda virus seperti HBS Ag/ HBS Ab,
HbeAg/ HbeAb, HBV DNA, HCV RNA.
Pada pemeriksaan darah, saat ini dapat ditentukan apakah pada pasien
mengalami sirosis atau tidak dengan menghitung dengan rumus P2/MS yakni
ratio jumlah platelet dan fraksi monosit serta fraksi segmentasi neutrofil.
2. Pemeriksaan AFP
Pemeriksaan AFP penting dalam menentukan apakah telah terjadi transformasi
kearah keganasan. Nilai AFP > 500 – 1000 mempunyai nilai diagnostik suatu
kanker hati primer.
3. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
EGD, USG, CT-Scan, ERCP, Angiografi.
G. Penatalaksanaan
Terapi dan prognosis sirosis hati tergaantug pada derajat komplikasi kegagalan
hati dan hipertensi portal (Sjaifoelah, 1996).
Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang cukup baik, dilakukan kontrol
yang teratur, istirahat yang cukup, susunan diet tinggi kalori dan protein,
lemak secukupnya (DH III-IV). Bila timbul ensefalopati hepatikum, protein
dikurangi (DH I).
Pasien sirosis hati dengan penyebab diketahui, seperti alkohol,
hemokromatosis, penyakit Wilson, diobati penyebabnya.
Ada keadaan lain dilakukan terapi terhadap komplikasi yang timbul.
1. Untuk asites, diberi rendah garam 0,5 gr/hari dan total cairan 1,5
l/hr. spironolakton dimulai dengan dosis awal 4 x 25 mg/hr dinaikkan
sampai total dosis 800 mg sehari. Idealnya penurunan berat badan 1
kg/hr. Bila perlu dikombinasikan dengan furosemid.
2. Perdarahan varises esofagus. Pasien dirawat dirumah sakit sebagai
kasus perdarahan saluran cerna atas.
3. Untuk ensefalopati dilakukan koreksi faktor pencetus seperti
pemberian KCL pada hipokalemia, mengurangi pemasukan protein
makanan dengan memberi diet DH I, aspirasi cairan lambung bagi
pasien yang mengalami perdarahan pada varises, dilakukan klisma
untuk mengurangi absorpsi bahan nitrogen dan pemberian duphalac 2
x C II.
4. Peritonitis bacterial spontan diberi antibiotik pilihan, seperti
cefotaxim 2 gr/8 jam iv.
H. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin dialami oleh penderita sirosis adalah :
Kegagalan hati
Hipertensi portal
Varises Esofagus
Asites
Ensefalopati
Peritonitis bacterial spontan.
Sindrom hepatorenal.
Transformasi kearah kanker hati primer.
I. Prognosis
Prognosis tidak baik bila :
Ikterus yang menetap atau bilirubin darah > 1,5 mg%
Asites refrakter atau memerlukan diuretik dosis besar
Kadar albumin rendah (< 2,5 gr%)
Kesadaran menurun tanpa faktor pencetus
Hati mengecil
Perdarahan akibat varises esofagus
Komplikasi neurologis
Kadar protrombin rendah
Kadar natrium darah rendah (< 120 meq/i), tekanan systole < 100 mmHg
B. Patogenesis
Varises gastroesofagus merupakan akibat langsung hipertensi porta karena
peningkatan tahanan aliran porta dan peningkatan aliran darah yang masuk ke vena
porta. Hal tersebut sejalan dengan hukum Ohm yang menyebutkan bahwa tekanan
vena porta adalah hasil dari tahanan vaskular (R) dan aliran darah (Q) pada bagian
porta (P = Q x R) (Dib, Oberti, & Cales, 2006). Peningkatan tahanan (R) terjadi
melalui dua cara: mekanik dan dinamik. Tahanan mekanik disebabkan oleh gangguan
struktur vaskular hati akibat fibrosis, nodul regeneratif dan deposisi kolagen di ruang
disse, sedangkan tahanan dinamik dikarenakan peningkatan tonus vaskular hati yang
dimodulasi oleh vasokontriksi endogen seperti norepinefrin, endotelin I, angiotensin II,
leukotrien dan tromboksan A2. Peningkatan vasokonstriktor endogen diakibatkan oleh
disfungsi endotel serta penurunan bioavaibilitas nitrit oksida. (Garcia-Tsao & Bosch,
2010). Penyebab peningkatan aliran darah (Q) adalah peningkatan curah jantung dan
penurunan tahanan vaskuler sistemik. Hal tersebut mengakibatkan sirkulasi meningkat
dengan vasodilatasi arteri sistemik dan splanknik, yang semakin memperburuk
hipertensi porta. Selain itu, sebagai usaha mendekompresi sistem vena porta, faktor-
faktor angiogenik akan membentuk pembuluh darah kolateral sehingga terjadi
hubungan antara sirkulasi sistemik dengan porta. Hal tersebut justru menambah aliran
darah yang akan memperburuk hipertensi porta (Dib, Oberti, & Cales, 2006).
Peningkatan tekanan porta (hipertensi porta) menyebabkan dilatasi pembuluh
darah terutama yang berasal dari vena azygos, yang kemudian menyebabkan varises.
Varises terjadi jika terdapat peningkatan perbedaan tekanan antara vena porta dan vena
hepatika lebih dari 10 mmHg. Varises akan semakin berkembang akibat peningkatan
aliran darah ke tempat varises dan terjadi rupture (Garcia-Tsao & Bosch, 2010).
Ruptur dari varises sangat sulit untuk diprediksi dari penanda sistemik seperti
trombositopenia, splenomegaly, atau ascites (Okamoto, et al., 2008). Dibet al
menuliskan tiga hal yang membuat risiko perdarahan VGE, yaitu (1) peningkatan
hipertensi porta: kerusakan hati yang ditimbulkan penyakit, asupan makanan, asupan
etanol, irama sirkadian, olahraga fisik dan peningkatan tekanan intraabdomen; (2)
Faktor yang melemahkan dinding varises, seperti asam asetilsalisilat dan OAINS; (3)
infeksi bakteri yang dapat membuat perdarahan awal dan berulang (Dib, Oberti, &
Cales, 2006).
Adanya RCS pada varises esophagus diketahui sebagai faktor resiko local
perdarahan varises. Meskipun vaarises esophagus dengan RCS banyak terbentuk di
dinding posterior, pada penelitian tentang lokasi rupturnya varises esophagus dengan
RCS diketahui bahwa RCS yang berada di dinding anterior kanan esophagus menjadi
faktor resiko tinggi terjadinya ruptur varises esophagus. Mekanisme mengapa varises
esfagus dengan derajat yang tinggi pada dinding anterior kanan esophagus memiliki
resiko yang tinggi untuk pecah belum sepenuhnya diketahui dengan pasti. Pengaruh
dari peningkatan vena porta bukan faktor yang diduga menjadi penyebabnya karena
peningkatan tekanan vena porta lebih cenderung mempengaruhi pembentukan varises
pada dinding posterior kanan. Ada 2 mekanisme yang dpat menjelaskan terjadinya
fenomena ini. Alasan yang pertama, diketahui bahwa kerusakan mukosa seperti erosi
dan ulkus pada reflux esofagitis derajat rendah sering ditemukan pada dinding anterior
kanan pada mukosa esophagus bawah yang mungkin karena waktu kontak asam yang
lama pada dinding anterior kanan pada esophagus bagian bawah. Waktu kontak asam
yang lama pada dinding anterior kanan dapat menyebabkan kerusakan pada mukosa
esophagus dan mungkin meningkatkan resiko ruptur pada varises.
Pada pasien dengan sirosis hepatis dan varises esophagus, aktivitas motorik
dari esophagus menurun sehingga menyebabkan hambatan pada pembersihan refluks
asam lambung. Di penelitian yang lain dituliskan bahwa prevalensi penyakit refluks
gastroesofageal meningkat pada pasien sirosis. Alasan yang kedua, tekanan intralumen
berhadapan dengan mukosa esofaagus dengan tekanan yang berbeda-beda sesuai
lokasinya. Dinding posterior esophagus menghadapi tekanan intraluminal yang besar
sedangkan dinding anterior menghadapi tekanan intraluminal yang kecil. Karena itu
gradien tekanan antara varises dengan lumen esophagus diduga lebih besar pada
varises yang terbentuk pada dinding anterior. Tekanan varises yang lebih besar ini
mungkin menjadi mekanisme yang mungkin mengapa varises pada dinding anterior
esophagus memiliki resiko yang lebih besar untuk ruptur. Spekulasi ini sesuai dengan
teori eruptive yang dipercaya secara luas sebagai mekanisme daru perdarahan varises
esophagus (Okamoto, et al., 2008).
Lee et al mempelajari faktor risiko terjadinya perdarahan berulang enam
minggu setelah terjadinya pecah VGE pada pasien dengan sirosis hati. Faktor risiko
yang ditemukan berkaitan dengan pecah VGE adalah insidens infeksi bakteri yang
tinggi, terutama pneumonia dan jumlah ligasi akibat kerusakan mukosa pada
permukaan yang lebih luas dan ulkus setelah ligasi. Parameter seperti usia, jenis
kelamin, etiologi dan beratnya sirosis hati, asites, diameter lien yang panjang, kadar
hemoglobin, sel darah putih, albumin yang rendah, karsinoma hepatoseluler ataupun
thrombosis vena porta dikatakan tidak menjadi risiko perdarahan berulang (Lee, Lee,
& Chang, 2009).
Pada studi retrospektif untuk mengetahui faktor risiko perdarahan berulang
dengan gambaran klinis dan endoskopi ditemukan perdarahan berulang meningkat
pada pasien dengan total bilirubin >2mg/ dL, asites, hepatoma, klasifikasi Child-Pugh
kelas C atau red color sign pada endoskopi. Usia, trombosit, albumin, waktu
protrombin, varises di fundus dan grade varises esophagus tidak meningkatkan risiko
perdarahan berulang (Hidayat, Djojoningrat, Akbar, & Sabarinah, 2004).
C. Diagnosis
Pasien dengan perdarahan varises esofagus biasanya memberikan gejala yang
khas berupa hematemesis, hematoskezia, atau melena, penurunan tekanan darah, dan
anemia. Perlu dipahami bahwa adanya tanda-tanda sirosis hati yang khas dengan
dugaan telah terjadi hipertensi portal, tidak serta merta menyingkirkan penyebab
pendarahan lain seperti gastropati hipertensi portal. Oleh sebab itu, pemeriksaan
endoskopi menjadi penting dalam mendiagnosis perdarahan varises esofagus.
Penderita sirosis hati sebaiknya dilakukan endoskopi pada saat diagnosis dibuat. Bila
pada saat endoskopi pertama tidak ditemukan varises, maka dilakukan endoskopi
berkala dengan jarak 3 tahun. Namun bila pada endoskopi pertama ditemukan varises
kecil, maka endoskopi berkala dilakukan setiap tahun. Klasifikasi varises esophagus
dibagi menjadi 4 tingkatan (Kusumobroto, Adi, & Setiawan, 2007), yaitu :
I. Dilatasi vena (< 5mm), masih tertutup dengan jaringan sekitarnya.
II. Dilatasi vena (> 5 mm) terdapat penonjolan ke jaringan sekitar namun belum
menutup lumen esofagus.
III.Vena besar, tegang dan sudah meyebabkan obstruksi lumen.
IV. Hampir menutup lumen secara total dengan stigmata endoskopik terutama cherry
red spots (bintik kemerahan).
Gambaran perdarahan pada endoskopi dapat berupa oozing atau spurting,
dimana perdarahan terlihat nyata, atau dapat juga terlihat white nipple sebagai tanda
perdarahan baru. Batasan perdarahan varises adalah perdarahan dari varises esophagus
atau lambung yang tampak pada saat endoskopi, atau ditemukan adanya varises yang
besar dengan darah di lambung tanpa ditemukan sumber perdarahan lain. Perdarahan
dikatakan bermakna bila membutuhkan transfusi 2 unit dalam 24 jam disertai tekanan
darah dibawah 100 mmHg, atau penurunan tekanan darah >20 mmHg dengan
perubahan posisi, atau nadi > dari 100 x/mnt.
Saat ini telah ditemukan cara sederhana untuk mengetahui apakah pada pasien
sudah terbentuk varises atau belum yakni dengan menghitung rasio P2/MS.
Keterangan :
Bila rasio P2/MS < 8.0 maka beresiko tinggi terbentuk Varises Esofagus dan bila > 21
tidak beresiko tinggi menderita Varises Esofagus. Bila Rasio P2/MS < 13.0 berarti
sudah terbentuk Varises Esofagus, dan bila >39.0 berarti tidak terdapat Varises
Esofagus. (Gentile & Thabut, 2012)
D. Penatalaksanaan
Sama halnya dengan kasus kegawatan lainnya, hal yang pertama dilakukan
dalam menangani pasien perdarahan varises esofagus adalah memastikan patensi jalan
nafas, mencegah aspirasi, dan resusitasi cairan termasuk transfusi bila diperlukan.
Perlu diingat overtransfusi pada kasus perdarahan varises esofagus dapat
meningkatkan tekanan porta dan perburukan control perdarahan, sehingga transfusi
harus dievaluasi secara cermat. Pemberian antibiotik berspektrum luas ternyata secara
bermakna mengurangi resiko infeksi dan menurunkan mortalitas. Jika memungkinkan,
dapat dilakukan endoskopi segera untuk menentukan sumber perdarahan dan
memberikan terapi secara tepat. Apabila perdarahan masih berlangsung dan besar
kecurigaan adanya hipertensi portal, dapat diberikan obat vasopressin IV dalam dosis
0,1-1 U/menit ditambah nittrogliserin IV 0,3 mg/mnt untuk mengurangi efek konstriksi
pada jantung dan pembuluh darah perifer. Octeotrid, suatu analog somatostatin, dapat
menurunkan tekanan portal tanpa menimbulkan efek samping seperti vasopressin.
Obat ini diberikan secara bolus IV 50-100 mcg dilanjutkan dengan drip 25-200
mcg/jam.
Penatalaksanaan definitif yang utama adalah dengan ligasi varises secara
endoskopik (LVE). Apabila LVE sulit dilakukan karena perdarahan yang masif dan
terus berlangsung, atau teknik yang tidak memungkinkan, maka dapat dilakukan
skleroterapi endoskopik (STE). STE adalah menyuntikan zat sklerosan (1,5% sodium
tetradecyl sulfate atau 5% ethanolamine oleat) ke daerah varises dengan harapan
pembuluh darah yang melebar tersebut tertutup dan perdarahan berhenti. Kondisi akan
semakin sulit bila pada endoskopi juga ditemukan varises gaster.
Apabila endoskopi tidak memungkinkan, maka obat-obat vasokonstriktor
seperti dijelaskan sebelumnya atau pemasangan balon tamponade (Sangestaken-
Blakemore tube) dapat dikerjakan sampai terapi definitif dapat dilakukan. Pada kasus-
kasus dimana endoskopi tidak dapat menghentikan perdarahan, jalan terakhir adalah
dilakukan tindakan bedah Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS).
Tindakan ini hampir pasti dapat mengatasi perdarahan, namun pada penderita dengan
penyakit hati lanjut dan kegagalan multiorgan dapat menimbulkan bahaya ensefalopati
sampai kematian. Saat ini untuk hipertensi portal dan perdarahan varises esophagus
terus berkembang luas. Banyak jenis modalitas pengobatan menunjukkan bahwa tidak
ada terapi tunggal yang memberikan kepuasan pada seluruh pasien dengan seluruh
kondisi klinis.
Operasi Shunt dan devaskularisasi merupakan metode dasar bedah untuk
penyakit ini. Operasi Shunt lebih sering digunakan di negara-negara barat sedangkan
prosedur devaskularisasi lebih sering digunakan di china. Prosedur bedah ideal sebagai
terapi perdarahan pada hipertensi portal harus bisa mengontrol perdarahan,
menghindara rekurensi dengan kerusakan fungsi liver yang minimal dan sebisa
mungkin menurunkan resiko ensefalopati. Teknik laparoskopi telah menjadi gold
standard untuk menghilangkan limpa baik yang normal ataupun yang mengalami
pembesaran. Biarpun begitu, teknik laparoskopi memiliki lebih banyak tantangan saat
digunakan pada pasien dengan sirosis, hipertensi portal dan splenomegali. Komplikasi
intraoperasi selama proses operasi ini adalah perdarahan yang menjadi alasan utama
konversi operasi menjadi laparotomi. Pasien yang telah dilakukan operasi mengalami
penyembuhan dengan perlahan. Setelah dilakukan observasi 3 bulan sampai 5 tahun,
tidak ada kejadian kegagalan fungsi hepar, ensefalopati atau perdarahan berulang dan
semua pasien yang melakukan operasi ini mengalami peningkatan kualitas hidup.
E. Profilaksis Primer
Pencegahan perdarahan varises merupakan tujuan utama pengelolaan sirosis,
seiring dengan data yang memperlihatkan peningkatan mortalitas karena perdarahan
aktif dan menurunnya survival secara progresif sesuai dengan indeks perdarahan.
Apabila pada pasien sirosis ditemukan varises tingkat 3, pasien harus mendapatkan
profilaksis primer tanpa melihat beratnya gangguan faal hati. Pasien dengan varises
tingkat 2 pun perlu mendapatkan profilaksis primer jika gangguan faal hatinya Child
kelas B atau C.
Profilaksis primer dapat dilakukan dengan medikamentosa berupa beta bloker
(propranolol, atenolol, atau nadolol). Propranolol bekerja sebagai vasokonstriktor
arteriol mesenterika sehingga diharapkan dapat menurunkan tekanan portal. Dosis
dimulai dengan 2 x 40 mg/hari, kemudian dinaikan menjadi 2 x 80 mg. penggunaan
beta bloker long acting dapat memperbaiki ketaatan. Pada kasus dimana beta bloker
menjadi kontraindikasi, LVE menjadi pilihan utama. Apabila beta bloker dan LVE
tidak dapat digunakan, maka dapat diberikan isosorbide mononitrat sebagai pilihan
utama dengan dosis 2 x 20 mg. Terapi kombinasi antara beta bloker dengan isosorbide
mononitrate secara bermakna dapat menekan perdarahan lebih baik dibandingkan
dengan beta bloker tunggal, tetapi tidak berbeda dalam angka mortalitas. Menjadi
pemahaman umum, jika peningkatan tekanan vena porta menjadi faktor penyebab
utama terbentuknya kolateral portosistemik dan varises esophagus. Kolateral ini
terbentuk sebagai akibat dari vena tersebut. Sebagai tambahan, angiogenesis aktif
dapat juga berpartisipasi pada proses ini.
Dalam sebuah penelitiaan diketahui bahwa meskipun vena porta menurun
secara signifikan, tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap angka kejadian varises
esophagus. Lebih jauh lagi, perbedaan yang tidak bermakna ini diluar faktor peran
neoangiogenesis dalam pembentukan varises esophagus. Hal ini menunjukkan
penggunaan obat-obat penurun tekanan pada hipertensi portal tidak banyak berfungsi
pada pasien sebelum terbentuk varises esophagus (Alatsakis, et al.,2009).
F. Pengelolaan Pencegahan Perdarahan Berulang
Dengan tingkat rekurensi tinggi, pasien yang masih dapat bertahan karena
perdarahan varises akut harus mendapat terapi untuk mencegah rekurensi sebelum
pasien dipulangkan dari rumah sakit (Garcia-Tsao & Bosch, 2010).
* Hanya satu penghambat-b dengan ligasi yang sebaiknya digunakan. Terapi yang
tidak digunakan untuk pencegahan tahap pertama perdarahan varises berulang adalah
penghambat-b nonselektif saja, skleroterapi varises endoskopi, ligasi varises endoskopi
saja, dan ligasi varises endoskopi dengan skleroterapi varises endoskopi.
# Terapi ini sedang diteliti. Direkomendasikan pada pasien yang tidak dapat dilakukan
ligasi.
Terapi farmakologis kombinasi (penghambat β nonselektif ditambah nitrat) atau
kombinasi ligasi varises endoskopi ditambah terapi obat perlu diberikan karena tingkat
kekambuhan yang tinggi, walaupun efek samping menjadi lebih tinggi dibandingkan terapi
tunggal. Terapi tunggal hanya direkomendasikan untuk profilaksis primer. Kedua cara
tersebut dibandingkan dalam suatu randomized controlled trial dan hasilnya menunjukkan
adanya penurunan perdarahan berulang varises yang bermakna pada kombinasi ligasi varises
dengan endoskopi dan terapi obat (penghambat beta nonselektif ditambah nitrat)
dibandingkan terapi obat saja. Angka terjadinya perdarahan dari tempat lain, seperti dari
ulkus esofagus yang diinduksi oleh ligasi varises, tidak berbeda bermakna (Garcia-Tsao &
Bosch, 2010).
Kesulitan pemberian terapi farmakologis untuk profilaksis sekunder VGE adalah
intoleransi pasien terhadap obat, ketidak patuhan pasien, dan kurangnya bukti (Cheung,
Wong, Zandieh, Leung, Lee, & Ramji, 2006). Intoleransi pasien terhadap obat tertentu perlu
mendapatkan perhatian penting jika pasien mengeluhkan hal yang berhubungan dengan efek
samping. Selain itu, pasien juga perlu diberikan edukasi untuk kontrol teratur dan minum
obat secara rutin. Risiko terjadinya perdarahan berulang perlu dipaparkan secara jelas,
terutama jika pasien tidak melakukan terapi sesuai dengan petunjuk dokter.
Lo (Lo, 2006) membuat algoritme sederhana untuk pencegahan perdarahan berulang
pada VGE. Lo juga menyarankan jika pasien menyandang sirosis hati dengan kelas Child-
Pugh kelas C dengan perdarahan varises berulang, sebaiknya direncanakan transplantasi hati.
Untuk pasien dengan perdarahan berulang yang terkontrol, tes penyaring karsinoma
hepatoseluler sebaiknya dilakukan.
1. Alatsakis, M., Ballas, K., Pavlidis, T., Psarras, K., Rafailidis, S., Tzioufa-
Asimakopoulou, V., et al. (2009). Early Propanolol Administration Does Not Prevent
development of Esophageal Varices in Cirrhotic Rats. European Surgical Research ,
11-16.
2. Bosch, J., & Garcia-Pagan, J. (2003). Prevention of Variceal Rebleeding. Lancet 952-
954.
3. Cheng, L., Wang, Z., Li, C., Cai, F., Huang, Q., & Linghu, E. (2007). Treatment of
gastric varices by endoscopic schlerotherapy using butyl cyanoacrylate: 10 years
experience of 645 cases. China Medical Journal , 2081-2085.
4. Cheung, J., Wong, W., Zandieh, I., Leung, Y., Lee, S., & Ramji, A. (2006). Acute
management and secondary prophylaxis of esophageal variceal bleeding: A western
Canadian survey. Can J Gastroenterol , 531-534.
5. Cipoletta, L., Zambelli, A., Bianco, M., De Grazia, F., Meucci, C., & Lupinacci, G.
(2009). Acrylate glue injection for acutely bleeding oesophageal varices: a
prospective cohort study. Dig Liver Dis , 1729-1734.
6. Dib, N., Oberti, F., & Cales, P. (2006). Current Management of The Complications of
Portal Hypeertension: Variceal Bleeding and Ascites. CMAJ , 1433-1443.
7. Escorsell, A., Banares, R., Garcia-Pagan, J., Gilabert, R., Moitinho, E., & Piqueras, B.
(2002). TIPS versus drug therapy in preventing variceal rebleeding in advanced
cirrhosis: a randomizad controlled trial. Hepatology , 385-392.Franchis, R., &
Faculty, T. B. (2010). Revising consensus in portal hypertensio: Report of the Baveno
V consensus workshop on methodology of diagnosis and therapy in portal
hypertension. Hepatology , 762-768.
8. Garcia-Pagan, J., Villanueva, C., Albillos, A., Banares, R., Morillas, R., & Abraldes,
J. (2009). Nadolol plus isosorbide mononitrate alone or associated with band ligation
in the prevention of recurrent bleeding: a multicentre randomised controlled trial. Gut
, 1144-1150.
9. Garcia-Tsao, G., & Bosch, J. (2010). Management of Varices and Variceal
Hemorrhage in Cirrhosis. N Engl J Med , 823-832.
10. Garcia-Tsao, G., Sanyal, A., Grace, N., & Carey, W. (2007). Prevention and
Mahagement of Gastroesophageal Varices and Variceal Hemorrhage in Cirrhosis.
Hepatology , 922-938.
11. Gentile, I., & Thabut, D. (2012). Noninvasive prediction of oesophageal varices : as
simple as blood count ? Liver International , 1091-1093.
12. Gonzales, R., Zamora, J., Gomez-Camarero, J., Molinero, L., Banares, R., & Albillos,
A. (2008). Meta-analysis: combination endoscopic and drug. Ann Intern Med , 109-
122.
13. Hidayat, S., Djojoningrat, D., Akbar, N., & Sabarinah. (2004). Risk Factors for
Recurrent Upper Gastrointestinal Tract Bleeding After Esophageal Varices Ligation
on Patients with Liver Cirrhosis. The Indonesian Journal of Gastroenterohepatology
Hepatology and Digestive Endoscopy , 79-88.
14. Kusumobroto, H., Adi, P., & Setiawan, P. (2007). Panduan Penatalaksanaan
Perdarahan Varises Pada Sirosis Hati. Surabaya: Perkumpulan Gastroenterologi
Indonesia.
15. Lee, J., Yoon, J., Myung, S., Keam, B., Kim, B., Chung, G., et al. (2008). Complete
Blood Count Reflects The Degree Of Oesophageal Varices and Liver Fibrosis in
Virus Related Chronic Liver Disease Patient. Journal Of Viral Hepatitis , 444-452.
16. Lee, S., Lee, T., & Chang, C. (2009). Independent Factors Associated With Recurrent
Bleeding in Cirrhotic Patients With Esophageal Variceal Hemorrhage. Dig Dis Sci ,
1128-1134.
17. Lo, G. (2006). Prevention of Esophageal Variceal Rebleeding. J Chin Med Assoc,
553-560.
18. Lo, G., Chen, W., Wang, H., Lin, C., Chan, H., & Tsai, W. (2009). Low-dose
terlipressin plus banding ligation versus low-dose terlipressin alone in the prevention
of very early rebleeding of oesophageal varices. Gut , 1275-1280.
19. Nidegger, D., Ragot, S., Berthelemy, P., Masliah, C., Pilette, C., & Martin, T. (2003).
Cirhhosis and Bleeding: The Need for Very Early Management. Journal of
Hepatology , 509-514.
20. Okamoto, E., Amano, Y., Fukuhara, H., Furuta, K., Miyake, T., Sato, S., et al. (2008).
Does Gastroesophageal Reflux Have an Influence on Bleeding from Esophageal
Varices? Journal of Gastroenterology , 803-808.
21. Perz, J., Armstrong, G., Farrington, L., Hutin, Y., & Bell, B. (2006). The
Contributions of Hepatitis B Virus dan Hepatitis C Virus in Infections to Cirrhosis
and Primary Liver Cancer Worlwide. Hepatology , 529-538.
22. Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
23. Salerno, F., & Cazzaniga, M. (2009). Prevention of early variceal rebleeding adding
banding to terlipressin therapy. Gut , 1182-1183.
24. Sjaifoelah, N. (1996). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FK-
UI.
25. Starr, P., & Rainess, D. (2011). Cirrhosis: Diagnosis, Management and Prevention.
American Family Physician , 1353-1359.
26. Sulaiman, H., Julitasari, Srie, A., Rustam, M., Melani, W., & Corwin, A. (1995).
27. Prevalence of Hepatitis B and C Viruses in Healthy Indonesian Blood Donors. Trans
R Soc Trop Med Hyg , 167-170.
28. Tjokroprawiro, A., Setiawan, P. B., Santoso, D., & Soegiarto, G. (2009). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Universitas Airlangga. Surabaya: Airlangga Press.
29. Wang, Y. D., Ye, H., Ye, Z. Y., Zhu, Y. W., Xie, Z. J., Zhu, J. H., et al. (2008).
30. Laparoscopic Splenectomy And Azygoportal Disconnection for Bleeding Varices
With Hypersplenism. Journal of Laparoendoscopic and Advanced Surgical
Techniques , 37-41.
31. Wang, Y., Cheng, L., Li, N., Wu, K., Zhai, J., & Wang, Y. (2009). Study of glue
extrusion after endoscopic N-butyl-2-cyanoacrylate injection on gastric variceal
bleeding. World J Gastroeneterology , 4945-4951. WHO. (2011). Viral Hepatitis in
The WHO South-East Asia Region. New Delhi: WHO. Widjaja, F. F., & Karjadi, T.
(2011). Pencegahan Perdarahan Berulang Pada Pasien Sirosis Hati. Indonesian
Medical Association , 417-424.