Anda di halaman 1dari 9

Putusan Nomor : 66/G/2017/PTUN.

SMG
Tingkat Proses : Pertama
Tanggal Register : 12-10-2017
Tahun Register : 2017
Jenis Perkara : Tata Usaha Negara
Sub Klasifikasi : - , Lain lain termasuk Piutang
Klasifikasi : TUN
Jenis Lembaga : PTUN
Peradilan
Lembaga : PTUN SEMARANG
Peradilan
Para Pihak :Penggugat:
Nicko Bayu Bima Sakti
Tergugat :
Gubernur Akademi Kepolisian Republik Indonesia
Tanggal : 08-03-2018
Musyawarah
Tahun : 2018
Tanggal : 08-03-2018
Dibacakan
Amar : Ditolak
Catatan Amar MENGADILI :
I. DALAM EKSEPSI :
- Menyatakan Eksepsi Tergugat tidak diterima.
II. DALAM POKOK PERKARA :
1. Menolak Gugatan Penggugat.
2. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.
262.500, - (Dua ratus enam puluh dua ribu lima ratus rupiah).
Hakim : Majelis
Hakim Ketua : Hakim Ketua: SARJOKO, S.H., M.H.
Hakim Anggota : Hakim Anggota
1.
2. OKTOVA PRIMASARI, S.H.
Hakim Anggota 2: EKA PUTRANTI, SH.,MH.
Panitera : Panitera Pengganti: SRI HERMIN, SH
Berkekuatan : Tidak Tetap
Hukum
Gugatan
Penggugat : Nicko Bayu Bima Sakti
Tergugat : Gubernur Akademi Kepolisian Repubkik Indonesia
Pengadilan Tata Usaha Negara Kota Semarang
Obyek gugatan : Keputusan Tata Usaha Negara yang berupa Keputusan Gubernur Akademi
Kepolisian Republik Indonesia Nomor: Kep/126/VII/2017, tanggal 28 Juli 2017 tentang
Pemberhentian Dengan Hormat Taruna Akademi Kepolisian Tingkat II,Angkatan 50, Detasemen
Wicaksana Adhimanggala, a.n. Brigdatar Nicko Bayu Bima Sakti, NO. AK.14.191
Tenggat waktu :
tenggang waktu Penggugat mengajukan Gugatan ke PTUN Semarang berdasarkan Pasal 55
Undang-undang No.5 Tahun 1986, Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
hal ini terhitung sejak Penggugat menerima Surat Keputusan Gubernur Akademi Kepolisian
Republik Indonesia, tanggal 28 Juli 2018 tentang Pemberhentian Dengan Hormat Taruna
Akademi Kepolisian Tingkat II, Angkatan 50, Detasemen Wicaksana Adhimanggala, a.n.
Brigdatar Nicko Bayu Bima Sakti, NO AK. 14.191.
Orang tua menerima kabar pemberhentian kamis, 27 Juli 2017 pada malam hari
Nicko Bayu Bima Sakti menerima Surat Keputusan Gubernur Akademi Kepolisian Republik
Indonesia tertanggal 28 Juli 2017
Penggugat mengajukan gugatan pada tanggal 12 Oktober 2017 di Kepanitaraan Pengadilan Tata
Usaha Negara Semarang
oleh karenanya tenggang waktu pengajuan Gugatan ini telah sesuai dengan ketentuan Undang
Undang yang berlaku;
(28 Juli 2018 – 12 Oktober 2017 = …. Hari)
Pasal 55 UU Nomor 5 Tahun 1986, Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu
sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara. Penjelasan : Bagi pihak yang namanya tersebut dalam Keputusan
Tata Usaha Negara yang digugat, maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung sejak
hari diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat. Dalam hal yang hendak digugat itu
merupakan keputusan menurut ketentuan:
a. Pasal 3 ayat (2), tenggang waktu sembilan puluh hari itu di hitung setelah lewatnya tenggang
waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya
permohonan yang bersangkutan;
b. Pasal 3 ayat (3), maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung setelah lewatnya batas
waktu empat bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.
Dalam hal peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu keputusan itu harus diumumkan, maka
tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung sejak hari pengumuman tersebut.
Legal Standing : Penggugat mendaftarkan surat gugatannya tanggal 12 Oktober 2017 di
Kepaniteraan Pengadilan Tata UsahaNegara Semarang pada tanggal 12 Oktober 2017 di bawah
register Nomor: 66/G/2017/PTUN.SMG
Kewenangan PTUN
Dan Penggugat yang merasa kepentingannya dirugikan atas dikeluarkanya Keputusan Gubernur
Akpol a quo belum pernah melakukan mekanisme sebagaimana diatur Pasal 48 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986, yaitu mengajukan keberatan kepada Gubernur Akpol;
Menimbang, bahwa aturan dasar (legaliteit beginsel) untuk menilai apakah Pengadilan Tata
Usaha Negara berwenang memeriksa dan mengadili perkara a quo, Majelis Hakim
mempedomani Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, yang mengatur :
Ayat (1) : ”Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa
Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan
melalui upaya administratif yang tersedia”;
Ayat (2) : ”Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata
Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang
bersangkutan telah digunakan”;
Bahwa di dalam Penjelasan Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara pada pokoknya disebutkan :
Upaya administratif adalah suatu prosedur yang ditempuh oleh seseorang atau badan hukum
perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara. Prosedur tersebut
dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri dan terdiri atas dua bentuk. Dalam hal
penyelesaiannya itu harus dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang
mengeluarkan keputusan yang bersangkutan, maka prosedur tersebut dinamakan “banding
administratif”.
Ini bahas keputusan gubernur akpol
Dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya
keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dapat dilihat apakah terhadap suatu Keputusan
Tata Usaha Negara itu terbuka atau tidak terbuka kemungkinan untuk ditempuh suatu upaya
administratif.
Bahwa di dalam Penjelasan Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara pada pokoknya disebutkan:
Apabila seluruh prosedur dan kesempatan tersebut pada penjelasan ayat (1) telah ditempuh dan
pihak yang bersangkutan masih tetap belum merasa puas, maka barulah persoalannya dapat
digugat dan diajukan ke Pengadilan;
setelah Majelis Hakim memeriksa dan meneliti peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara obyek sengketa tidak temukan ketentuan
yang mengatur ada terbukanya upaya administratif yang harus dilakukan Penggugat sebelum
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara;
Dasar Keputusan Gubernur AKPOL RI
Menimbang,
bahwa oleh karena di dalam peraturan perundang undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara obyek sengketa yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003
tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Keputusan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia No.Pol.: KEP/74/XI/2003 tanggal 10 Nopember 2003
tentang Pokok-pokok Penyusunan Lapis-lapis Pembinaan Sumber Daya Manusia Polri, Peraturan
Gubernur Akademi Kepolisian Nomor 02 Tahun 2014 tanggal 1 September 2014 tentang
Pedoman Evaluasi Pendidikan Berbasis Karakter Pada Akademi Kepolisian, Peraturan Gubernur
Akademi Kepolisian Nomor 03 Tahun 2016 tanggal 18 Juli 2016 tentang Perubahan atas
Peraturan Gubernur Akademi Kepolisian Nomor 02 Tahun 2014 tanggal 1 September 2014
tentang Pedoman Evaluasi Pendidikan Berbasis Karakter PadaAkademi Kepolisian, Peraturan
Gubernur Akademi Kepolisian Nomor 01 Tahun 2014 tanggal 1 September 2014 tentang Dewan
Akademi, Peraturan Gubernur Akademi Kepolisian Nomor 04 Tahun 2016 tanggal 9 Nopember
2016 tentang Kehidupan Taruna Akademi Kepolisian, tidak temukan ketentuan yang mengatur
ada terbukanya upaya administratif yang harus dilakukan Penggugat sebelum mengajukan
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, maka eksepsi Tergugat yang pada pokoknya
menyebutkan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Tidak berwenang memeriksa, mengadili
dan memutus perkara a quo, dinilai sebagai Eksepsi yang tidak berdasar menurut hukum dan
haruslah dinyatakan tidak diterima, berikutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan dan
menilai dalam pokok perkaranya;
Kewenangan pejabat yang mengeluarkan SK:
Gubernur AKPOL RI berwenang mengeluarkan atas dasar Atribusi (Kewenangn atas dasar
Undang – Undang)
Substansi SK
Surat Keputusan Nomor Polisi: Skep/22/IV/2017/KTS Hukuman Disiplin kepala korps Taruna
dan siswa selaku atasan yang berhak menghukum, Brigdatar Nicko Bayu Bima Sakti telah
terjaadi pelanggaran berupa rokok, minuman keras, dan narkotika dan obat terlarang dilarang
membawa, menyimpan, memiliki, menguasai, menggunakan dan atau
mengkonsumsi rokok, minuman keras;
4.9 -Bahwa pada tanggal 02 April 2017 berdasarkan Surat Keputusan Nomor Polisi:
Skep/36/V/2017/KTS Hukuman disiplin kepala korps taruna dan siswa selaku atasan yang
berhak menghukum, Brigdatar Nicko Bayu Bima Sakti telah terbukti terjadi pelanggaran berupa
menggunakan notebook atau laptop selain untuk kepentingan dinas
dan/atau proses pembelajaran;
4.10 -Bahwa pada tanggal 1 Mei 2017 berdasarkan surat keputusan Nomor Polisi:
Skep/34/V/2017/KTS Hukuman disiplin kepala korps taruna dan siswa selaku atasan yang
berhak menghukum, Brigdatar Nicko Bayu Bima Sakti telah terbukti terjadi pelanggaran berupa
membawa, menyimpan, memiliki, menguasai, menggunakan dan atau
mengkonsumsi rokok didalam ksatrian taruna akademi kepolisian;
4.11 -Bahwa pada tangal 30 Juni 2017 berdasarkan Surat Keputusa n Nomor Polisi:
Skep/41/VIII/2017/KTS tentang Hukuman Disiplin Kepala Korps Taruna dan siswa selaku
atasan yang berhak menghukum, Brigdatar Nicko Bayu Bima Sakti telah terbukti terjadi
pelanggaran berupa taruna dalam hal pelaksanaan cuti hari raya, tidak kembali ke
ksatrian akpol tepat waktu;
4.12 -Bahwa pada tanggal 27 Juli 2017 diadakan sidang dewan akademik (WANAK) dengan
keputusan Brigdatar Nicko Bayu Bima Sakti tidak dinaikkan pangkat dan tingkat III
dengan konsekuensi harus keluar dari Angkatan Polisi tersebut; -
4.13 -Bahwa Kombes Pol. Drs. Supriyadi selaku Kabag Jas Angkatan Polisi tersebut
mengatakan sebab tidak naik pangkat dan tingkat III Brigdatar Nicko Bayu Bima Sakti
yakni bukan karena nilai gatra jasmani tetapi nilai gatra karakter sehingga harus
dikeluarkan dari akademi kepolisian;
Pembuktian
Putusan
Menolak gugatan penggugat dalam artian penggugat tetap dipecat secara hormat dari akadami
kepolisian republik Indonesia, penggugat juga diwajibkan membayar biaya perkara.
Analisis
Surat keputusan pemberhentian atas diri penggugat yang diterbitkan gubernur Akpol
sudah memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terkait keberatan penggugat
karena tidak pernah ada pembelaan terhadapnya saat pelaksanaan sidang Dewan Akademik,
hakim menilai, hal tersebut tidak serta merta menyebabkan surat keputusan pemberhentian
tersebut cacat hukum.
Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) huruf g Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur, 'untuk diangkat menjadi
anggota Polri, seorang calon harus memenuhi syarat tidak pernah dipidana karena melakukan
suatu kejahatan.'
Pasal 268 ayat (1) KUHAP mengatur permintaan Peninjauan Kembali (PK) atas suatu
putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut. Selain
itu, Pasal 92 ayat (4) huruf b Peraturan Gubernur Akpol Nomor 4 Tahun 2016 tentang
Kehidupan Taruna Akademi Kepolisian disebutkan bahwa 'melakukan perbuatan pelanggaran
berat dan/atau tindak pidana yang didukung dengan alat bukti yang cukup berdasarkan hasil
keputusan Sidang Wanak tidak dapat dipertahankan untuk tetap mengikuti pendidikan.'
Mengenai ketentuan terkait penganiayaan, Anda dapat melihat pada Pasal 351 – Pasal
358 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Mengenai yang dimaksud penganiayaan,
tidak dijelaskan dalam KUHP. Pasal 351 KUHP hanya menyebutkan mengenai hukuman yang
diberikan pada tindak pidana tersebut:
Pasal 351 KUHP:
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Mengenai penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP, R. Soesilo dalam bukunya yang
berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap
Pasal Demi Pasal, mengatakan bahwa undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang
diartikan dengan “penganiayaan” itu. Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan dengan
“penganiayaan” yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau
luka. Menurut alinea 4 pasal ini, masuk pula dalam pengertian penganiayaan ialah “sengaja
merusak kesehatan orang”. R. Soesilo dalam buku tersebut juga memberikan contoh dengan apa
yang dimaksud dengan “perasaan tidak enak”, “rasa sakit”, “luka”, dan “merusak kesehatan”:
1. “perasaan tidak enak” misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah,
menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan sebagainya.
2. “rasa sakit” misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya.
3. “luka” misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan lain-lain.
4. “merusak kesehatan” misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka jendela
kamarnya, sehingga orang itu masuk angin.
Menurut R. Soesilo, tindakan-tindakan di atas, harus dilakukan dengan sengaja dan tidak
dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan. Umpamanya seorang dokter gigi
mencabut gigi dari pasiennya. Sebenarnya ia sengaja menimbulkan rasa sakit, akan tetapi
perbuatannya itu bukan penganiayaan, karena ada maksud baik (mengobati). Seorang bapak
dengan tangan memukul anaknya di arah pantat, karena anak itu nakal. Inipun sebenarnya
sengaja menyebabkan rasa sakit, akan tetapi perbuatan itu tidak masuk penganiayaan, karena ada
maksud baik (mengajar anak). Meskipun demikian, maka kedua peristiwa itu apabila dilakukan
dengan “melewati batas-batas yang diizinkan”, misalnya dokter gigi tadi mencabut gigi sambil
bersenda gurau dengan isterinya, atau seorang bapa mengajar anaknya dengan memukul
memakai sepotong besi dan dikenakan di kepalanya maka perbuatan ini dianggap pula sebagai
penganiayaan.
Berdasarkan uraian di atas, jika perbuatan isteri menggosok cabe di wajah pacar suami
dilakukan dengan sengaja, dan menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau
luka bagi orang lain (dalam hal ini, pacar suami), maka perbuatan tersebut dapat dipidana
sebagai tindak pidana penganiayaan.
Ketentuan Pasal 351 ayat 1 KUHP tentang Penganiayaan, yang ancaman pidana paling
lama 2 tahun 8 bulan ataupidana denda paling banyak Rp4500,- (empat ribu lima ratus rupiah),
maka saya perlu menginformasikan kepada Anda mengenai adanya Peraturan Mahkamah
Agung (“Perma”) No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan
dan Jumlah Denda Dalam KUHP (“Perma No. 2 Tahun 2012”).
Dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Perma No. 2 Tahun 2012, Mahkamah Agung telah memberikan
penyesuaian atas jumlah besarnya pidana denda dalam KUHP, sebagaimana berikut:
Pasal 3 Perma No. 2 Tahun 2012
Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal
303 ayat 1 dan Ayat 2 , 303 bis ayat 1 dan ayat 2 , dilipatgandakan menjadi 1.000
(seribu kali)
Pasal 4 Perma No. 2 Tahun 2012
Dalam menangani perkara tindak pidana yang didakwa dengan pasal-pasal KUHP yang
dapat dijatuhkan pidana denda, Hakim wajib memperhatikan Pasal 3 di atas.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka denda dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP
tersebut dilipatgandakan menjadi 1000 kali lipat, sehingga menjadi Rp4.500.000,- (empat juta
lima ratus ribu rupiah).
Oleh karena hukuman pidana dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP tersebut sifatnya alternatif
(“atau”) dan bukan kumulatif (“dan”), hal mana terdapat “pilihan” penjatuhan hukuman pidana
penjara atau hukuman pidana denda, maka hal ini sepenuhnya bergantung pada bagaimana
tuntutan (requisitor) dari jaksa penuntut umum dan putusan yang dijatuhkan oleh hakim
(Vide: Pasal 30 KUHP)
1. Pengaturan hukuman pidana “atau” oleh pembuat Undang-Undang dimaksudkan agar dalam
memutus suatu perkara, hakim tidak serta merta menjatuhkan pidana penjara kepada seorang
terdakwa, melainkan ada alternatif pidana pokok yang disediakan Undang-Undang , yaitu
pidana denda.
2. Mengingat Penganiayaan dalam KUH Pidana bukanlah tindak pidana yang sifatnya definitif
(mencubit, menjewer, memukul, menempeleng, dan seterusnya), serta besar-kecilnya
kerugian di sisi korban yang dapat berujung pada hilangnya nyawa seseroang , maka dalam
hal Penganiayaan menimbulkan luka atau menyebabkan kematian, pembuat Undang-Undang
tidak mengatur adanya pidana denda (Vide: Pasal 351 ayat 2 dan 3 KUH Pidana).
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) Staatsblad Nomor 732
Tahun 1915
2. Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana
Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP

Anda mungkin juga menyukai