Anda di halaman 1dari 7

Kontroversi praktik pernikahan

1. Poligami
Salah satu persoalan fikih munakahat yang sampai saat ini masih
ramai menjadi bahan diskusi adalah persoalan poligami. Umumnya
hampir semua fikih yang dibuat oleh ulama empat mazhab menyoroti
kebolehannya saja tapa mengkritisi hakikat dibalik kebolehan tersebut
berdasarkan historis,sosiologis maupun anthropologis.

Dalam The Holy Quran Maulana Muhammad azad menyatakan “ayat


ini memperbolehkan poligami dalam kondisi-kondisi tertentu, tidak
menganjurkan tidak pula memperbolehkannya dalam segala kondisi”.
Dapat dilihat penekanannya adalah berbuat adil terhadap perempuan
pada umumnya , khususnya janda dan anak yatim.
(engineer,1994:221)

Seperti yang dikutip oleh al-Jurjawi, Muhammad abduh mengatakan


dalam fatwanya, bahwa syariat Nabi Muhammad saw. Memang
membolehkan laki-laki menikahi empat orang perempuan sekaligus,
hanya jika laki-laki tersebut mengetahui kemampuan dirinya untuk
berbuat adil. Jika tidak mampu berbuat adil maka beristeri lebih dari
satu tidak diperbolehkan. Pendapat tersebut menekankan pada
konsep keadilan yang bersifat kualitatif dan hakiki, seperti rasa
sayang, cinta dan perhatian. Hal ini sesuai dengan kata adalah dalam
al-quran yang mengarah pada makna yang kualitatif. Adapun
pendapat para ahli fikih konvensional lebih cenderung kepada konsep
keadilan kuantitatif yang bisa diukur dengan angka-angka.

Makna yang terkandung dalam QS. An-nisa ayat 3 adalah:


Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-
nisa ayat 3)

Dalam memahami ayat tersebut perlu memperhatikan beberapa


catatan dibawah.
Pertama, ayat tersebut diwahyukan untuk memberi bimbingan bagi
kaum Muslimin dapat menghadapi kondisi setelah Perang Uhud.
Banyak para sahabat yang gugur, sehingga sangat mengurangi
jumlah laki-laki yang pada waktu itu memang merupakan penopang
hidup kaum perempuan. Kedua, bilangan dua, tiga dan empat
merupakan langkah pembatasan sekaligus koreksi berdasarkan
historis, sosiologis dan anthropologis. Ketiga jika alasan poligami
didasarkan kepada kebutuhan laki-laki yang tidak terkendali dan tidak
terpuaskan hanya dengan satu istri daripada melakukan kegiatan
maksiat ataupun zina maka diperbolehkan untuk berpoligami.

Dari beberapa pembahasan diatas bisa dipahami bahwa kebolehan


poligami sesuai dengan ayat 3 Q.S. an-Nisa harus dimaknai latar
belaang diturunkannya ayat tersebut. Sementarapada prakteknya
sekarang poligami malah menimbulkan banyak permasalahan pada
keluarga. Dengan demikian terbentuknya keluarga yang berdasarkan
tuntunan al-quran bahwa keluarga harus memounyai rasa cinta dan
menyayangi untk mencapai keharmonisan sulit dicapai. Poligami bisv
dimaknai sebagai kebolehan (bukan anjuran maupun sunnah) harus
disesuaikan dengan kondisi zaman dan keadaan masing-masing
keluarga.

2. Pernikahan siri

Pernikahan atau nikah siri adalah nikah yang disembunyikan,


dirahasiakan dan tidak diketahui oleh masyarakat luar (az-zuhaili,
1989:71). Pernikahan dalam konteks fikih tersebut memang tersebut
memang tidak mensyaratkan adanya pencatatan. Adapun nikah siri
dalam konteks yuridis di Indonesia adalah pernikahan secara syar’i
(dalam konteks fikih) dengan diketahui oleh orang banyak hanya saja
tidak dicatatkan di Kantor Urusan agama, sehingga yang
membedakan antara nikah siri dengan pernikahan resmi adalah
adanya akta nikah sebagai bukti telah terjadinya penikahan.

Pernikahan sirri yang meski sah secara syar’i, namun karena tidak
mempunyai bukti tertulis berupa akta nikah maka tetap illegal menurut
hukum negara. Akibatnya muncul berbagai masalah dikemudian hari

Di sisi lain, pada dasarnya al-quran menganjurkan mencatatkan


tentang sesuatu yang berhubungan dengan akad. Namun, oleh
mayoritas fukaha hal tersebut hanya dianggap sebagai anjuran, bukan
kewajiban. Hal itu dilakukan untuk menjaga agar masing-masing pihak
tidak lupa dengan apa yang sudah diakadkan (Q.S. al-baqarah,2:282).

Pernikahan adalah suatu proses hukum, sehingga hal-hal atau


tindakan yang muncul akibat pernikahan adalah tindakan hukum yang
mendapat perlindungan secara hukum. Bila perkawinan tidak
dicatatkan secara hukum, maka hal-hal yang berhubungan dengan
akibat pernikahan tidak bisa diselesaikan secara hukum. Sebagai
contoh, hak isteri untuk mendapatkan nafkah lahir dan batin, akta
kelahiran anak tidak bisa diurus hak pengasuhan anak, hak
pendidikan anak, hak waris isteri, hak perwalian bagi anak perempuan
yang akan menikah dan masih banyak masalah lainnya.

Masalah-masalah tersebut hanya akan membawa dampak negatif


bagi kaum perempuan sebagai pihak yang dinikahi, sementara pihak
laki-laki tidak terbebani tanggung jawab formail dan mudah untuk
melakukan pengingkaran pada pernikahan dan tidak mendapat sanksi
hukum karena tidak ada bukti otentik yang ada. Hal ini
melatarbelakangi kekerasa pada perempuan. Ketika terjadi keretakan
dan perselisihan di kemudian hari, perempuanlah yang akan
menanggung beban moral, fisik maupun psikis lebih berat, karena
yang bersangkutan tidak memiliki bukti formal sebagai isteri.

Satu-satunya solusi bagi pasangan yang sudah terlanjur melakukan


nikah siri adalah dengan mengajukan itsbat nikah ke pengadilan
agama setempat. Itsbat nikah tersebut diajukan untuk memperoleh
akta nikah sebagai bukti formal telah terjadinya suatu pernikahan.
Dengan demikian, perkawinan akan memperoleh perlindungan
hukum, pihak perempuan terlindungi dan jika suatu hari nanti timbul
permasalahan akan dapat dipecahkan melalui jalur hukum

3. Pernikahan Mut’ah

Perkawinan mut’ah adalah kontrak perkawinan sementara yang


dinyatakan sah hanya di kalangan Syiah Itsna Asy’ariyah atau dikenal
dengan Syiah Imamiyah.Dalam pernikahan mut’ah, masa berlakunya
kontrak disebutkan dan setelah masa kontrak berakhir pernikahan
tersebut berakhir.Kalangan ulama Syiah Itsna Asy’ariyah bersandar pada
Al Qur’an Q.S An-Nisa,4:24 dan meyakini bahwa pernikahan mut’ah sah.

Az-Zamakhsyari dalam kitabnya, Al-Kasysyaf, menolak bahwa Q.S An-


Nisa ayat 24 tersebut berkenaan dengan bolehnya pernikahan
mut’ah.Menurutnya Mut’ah berarti kesenangan atau keuntungan.Yang
berarti bahwa dalam pernikahan mut’ah laki-laki mendapat keuntungan
dalam hal dipenuhinya hasrat seksual, sedangkan wanita mendapat
keuntungan dari mahar yang berupa materi atau harta.Az-Zamakhsyari
juga mengutip dalam hadist nabi yang menyatakan : “Saya pernah
memperbolehkanmu melakukan nikah mut’ah, tetapi Allah telah
melarangnya sampai hari akhir pengadilan.”( Az-Zamakhsyari,
1977:159).Sehingga, para jumhur ulama menolak praktek pernikahan
tersebut.

Jadi kesimpulannya penikahan mut’ah menurut beberapa ulama menolak


karena pernikahan mut’ah jauh dari tujuan perkawinan yang hakiki yaitu
terwujudnya misaqan galidan atau ikatan kuat yang mewujudkan keluarga
yang sakinah, mawadah, dan rahmah.Meskipun dilakukan secara sah dan
ada kerelaan dari masing-masing pihak.Namun yang terkesan hanya
menguntungkan lelaki dan merugikan wanita dimana lelaki
memperlakukan wanita hanya sebatas keinginan untuk kesenangan
sesaat.

Dalam Q.S Al-A’raf, 7:189 dan Q.S Ar-Rum, 30:21 mengandung suatu hal
yang saling berkaitan dalam satu kesatuan yang hakiki (min anfusikum),
merupakan landasan yang akan diwujudkan dalam kesatuan rasa saling
menyayangi serta saling memberi rasa aman dan tentram antara satu
dengan yang lain.

4. Pernikahan Sesama Jenis

Menurut KBBI, homoseks didefinisikan sebagai hubungan seks dengan


pasangan sejenis.Pelaku homoseks tersebut biasa disebut gay (laki-laki)
dan lesby (perempuan).Dalam islam perilaku gay atau lesby tersebut
dibagi menjadi 2 golongan yaitu a) orang yang berjenis kelamin laki-laki
tetapi berperangai seperti perempuan disebut mukhannas atau
sebaliknya, orang dengan kelamin perempuan tetapi berperangai seperti
laki-laki disebut mutarajjilah, b) khunsa musykil yakni orang yang memiliki
dua jenis kelamin.

Mukhannas dan Mutarajjilah hukumnya adalah berdosa sebagaimana


hadist Nabi SAW, yang artinya “Rasulullah SAW melaknat mukhannas,
laki-laki yang berperangai sebagai perempuan dan mutarajjilah,
perempuan yang berperangai seperti laki-laki.”(H.R Bukhari)

Perilaku homoseksual dalam Al Qur’an disebut liwaath, sedang lesby


dalam kitab fiqih disebut sihaaq.Dalam Q.S Al-Isra, 17:32 menyatakan
bahwa zina termasuk perbuatan keji (fahisyah).Sehingga perbuatan zina
dilarang keras.Selain itu dalam Q.S Al-A’raf, 7:80 dan 81 mengatakan
bahwa liwaath (homoseks) yang dilakukan kaum Nabi Luth juga
merupakan perbuatan yang keji (fahisyah).Selain itu dalam Q.S An-Naml,
27:54 dan 55 menerangkan bahwa Allah swt menyiksa kaum Luth atas
perbuatan mereka itu yang suka berhubungan seksual sesama jenis
(homoseks).Adapun beberapa hadist yang menerangkan mengenai
lesbian yaitu hadist riwayat Abu Ya’la dan hadist riwayat Ath-Thabrani.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pernikahan sejenis yaitu pernikahan yang


terjadi antara jenis kelamin laki-laki dengan laki-laki, atau perempuan
dengan perempuan adalah diharamkan.Muhammad Ibnu Umar Ar-Razi
mengatakan bahwa Allah swt telah menumbuhkan rasa cinta kasih
terhadap isteri dan anak dalam hati manusia.Sehingga pernikahan
harusnya dijalani oleh mempelai pria dan mempelai wanita , dan mereka
lah yang dapat membina hubungan rumah tangga.(Ar-Ruum, 30:21 ; UU
No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 ; KHI Pasal 1,2,3 ; dan lain-lain).Selain itu
pernikahan sejenis ini juga sudah difatwakan oleh MUI dalam
keputusannya No 57 Tahun 2014 tentang Lesbian, Gay, Sodomi, dan
Pencabulan.Dalam rekomendasinya MUI juga menghimbau kepada
pemerintah untuk segera menyusun perundang-undangan yang mengatur
aktivitas homoseksual dan perilaku menyimpang di masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai