Anda di halaman 1dari 92

DAFTAR ISI:

PENYAKIT INFEKSI TROPIK


A. Infeksi Bakteri
Difteria 3
Tetanus 15
Demam Tifoid 26
B. Infeksi Virus
Morbili / Campak 39
Varisela 48
DHF & DSS 58

VAKSINASI
1. Hepatitis B 82
2. Polio 84
3. BCG 86
4. DTP 87
5. Campak 89
6. Varisela 91
7. MMR 92

1
PENYAKIT INFEKSI TROPIK

INFEKSI BAKTERI

2
DIFTERIA

Difteria: penyakit infeksi akut sangat menular → disebabkan Corynebacterium diphteriae,


ditandai (+) pseudomembran pada kulit dan atau mukosa.
Predileksi: faring, laring, hidung & kadang kulit, konjungtiva, genitalia & telinga.
Infeksi ini → gejala lokal & gejala sistemik, efek sistemik → karena eksotoksin

HISTORY:
1826 → Brettonueau pertama kali memperkenalkan gejala klinis difteria
1856 → pertama kali muncul istilah: Diphteria (Yunani) = kulit
1883 → Klebs menemukan basil difteria
1884 → Löffler berhasil membiakkan basil tersebut
1888 → Roux & Yersin menemukan penyebab difteria adalah toksin ekstraseluler
1891 → Von Behring pertama kali menyuntikan antitoksin
1900 → Dryer menggunakan campuran antitoksin dari kuda

Sifat-Sifat Kuman
Bentuk tambur batang gram +
(-) spora, bercambuk / kapsul, khas seperti korek api
Bila dibiakkan pada :
Medium Löffler
 Granul berwarna metakromatik dengan biru metilen
 Koloni krem
Agar tellurite
 Koloni berwarna abu-abu tua / hitam.
 Bentuk-bentuk koloni dlm agar tellurite,basil diklasifikasikan:
a) Gravis
b) Mitis
c) Intermedius
Ciri khas: produksi eksotoksin baik invivo & in vitro
In vivo : “dalam organisme hidup”; mengacu pada penelitian yang dilakukan
menggunakan subjek manusia atau hewan.
In vitro : “di kaca”; mengacu pada penelitian yang dilakukan dalam tabung uji atau media
kultur di laboratorium.
Kemampuan untuk produksi toksin dipengaruhi → bakteriofag
Toksin hanya dapat diproduksi oleh Corynebacterium diphteriae yang terinfeksi oleh
bakteriofag yang mengandung toxigene.

3
TOKSIN
Protein dengan BM 62.000 → terdiri dari rantai polipeptida tunggal dengan 2 jembatan sistem, bila
ditambah tripsin / protease, toksin pecah jadi:
• Fragmen A (fragmen aminoterminal) → aktivitas tinggi
Untuk penetrasi ke dalam sel secara endositosis
• Fragmen B (fragmen karboksiterminal) → (-) toksisitas pd sel
Untuk melekatkan molekul toksin yg teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif.
Bila Fragmen A + Fragmen B = (+) efek toksik
Toksin dibentuk oleh corynephage S7-X, kuman dengan corynephage → produksi toksin &
diekskresi

PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI


Kuman masuk hidung & mulut → menempel di mukosa sal.napas atas, kulit, mata, /
genitalia → inkubasi (2-4 hari) → kuman dengan corynephage produksi toksin → toksin
diabsorpsi membran sel → kuman produksi enzim penghancur NAD (Nicotinamide Adenine
Dinucleotide → Sintesis protein terputus → Nekrosis sel & jaringan → terbentuk eksudat
fibrin.
Toksin beredar dlm tubuh melalui darah setelah membran terbentuk → kerusakan jaringan
organ jantung, saraf, ginjal.
Setelah Toksin masuk dalam jaringan → terjadi variasi periode laten (blm timbul
manifestasi klinis).

MANIFESTASI KLINIS
Tergantung berbagai faktor : imunitas, virulensi, toksigenitas, lokasi penyakit secara
anatomis
Masa inkubasi : 2-5 hari (bervariasi bs 1 hari / 8 hr – 4 minggu)
Awal: sakit tenggorok ringan, panas tidak tinggi (37,8 - 38,9°C) ; Demam - Hipertermia
Tenggorok hiperemis, (+) membran putih / keabu-abuan menjalar & menutupi tonsil,
palatum molle, uvula.
Membran batas jelas, melekat dgn jaringan dibawahnya, diangkat mudah berdarah.
Difteri berat (+) bullneck (pembengkakan kelenjar leher)

DIFTERIA TONSIL & FARING


Gejala biasanya tidak khas: malaise, anoreksia, sakit tenggorok & panas subfebris.
Dalam 24 jam → (+) eksudat / membran di daerah fausial.
Membran dapat menutup 1 tonsil / kedua tonsil, uvula, palatum molle & faring.
Difteria tonsil & faring khas ditandai adanya adenitis / periadenitis servikal.
Kasus yang berat → (+) bullneck.
4
Beratnya penyakit sangat bergantung → beratnya toksemia.
Suhu normal / sedikit ↑ tapi nadi cepat.
Kasus ringan : membran hilang antara 7-10 hari & penderita tampak sehat
Kasus sedang : penyembuhan lambat + komplikasi (miokarditis & neuritis)
Kasus sangat berat : (+) gejala-gejala toksemia: lemah, pucat, nadi cepat & kecil,
stupor, koma & meninggal dalam 6-10 hari.

Ukuran Pembesaran Tonsil :


T0 : tonsil sudah diangkat
T1 : tonsil masih dalam fossa tonsilaris
T2 : tonsil sudah melewati pilar posterior, tapi belum melewati garis paramedian
T3 : tonsil melewati garis para median, belum melewati garis median (pertengahan uvula)
T4 : tonsil melewati garis median

Uvula ada ditengah / tidak ?


(+) Neuritis (komplikasi difteria) : paresa palatum molle (N.IX = Glossopharyngeus) → uvula
menunjuk ke arah sehat

DIFTERIA HIDUNG
Sulit dibedakan dengan common cold
Panas subfebris
Ditandai :
Sekret hidung tidak khas → mula-mula serous kemudian jadi serosanguinus.
Beberapa kasus jadi epistaksis
Sekret dapat unilateral / bilateral, dapat jadi mukopurulen disertai ekskoriasi
Hidung anterior & bibir atas → gambaran impetigo.
Sekret ini biasa menempel pd septum nasi.
Pemberian antitoksin → Infeksi cepat hilang
Bila tidak diobati sekret berlangsung berminggu-minggu → sumber utama penularan

5
DIFTERIA LARING
Sebagian besar krn penjalaran difteria faring.
SS sulit dibedakan dengan obstruksi laringitis akut infeksi lain.
Gejala klinis difteria laring : panas, batuk & suara serak
Gejala obstruksi : stridor inspiratoar, retraksi suprasternal, supraklavikular, &
retraksi subkostal
Perjalanan penyakit bergantung beratnya penyakit & derajat obstruksi
Kasus ringan : pemberian antitoksin → gejala obstruksi & membran hilang pada
hari ke 6-10.
Kasus sangat berat : penyumbatan diikuti anoksemia ditandai gelisah, sianosis,
lemah, koma & meninggal.
Obstruksi akut & kematian mendadak → kasus ringan dengan
sebagian membran terlepas & menyumbat saluran napas

Derajat dispnu laring progresif , 4 stadium (Jakson):


1. Stadium 1
(+) cekungan ringan suprasternal
(-) mengganggu & penderita tetap tenang
2. Stadium 2
Cekungan suprasternal menjadi lebih dalam + cekungan epigastrium
Penderita mulai tampak gelisah
3. Stadium 3
(+) cekungan suprasternal, supraklavikular, infraklavikular, epigastrium &
interkostal
Penderita sangat gelisah & sukar bernapas
4. Stadium 4
Gejala diatas semakin berat
Penderita sangat gelisah & berusaha sekuat tenaga untuk bernapas
Tampak seperti ketakutan & pucat / sianosis
Stadium 2 & 3 : indikasi trakeostomi
(+) Gambaran klinis difteria laring karena : obstruksi jalan nafas oleh membran,
kongesti, edema.
Difteria laring murni : gejala toksemia minimal ,karena absorbsi toksin pada mukosa jelek.
Sebagian besar difteria laring (65%) → kelanjutan difteria tonsil & faring, gejala berupa
toksemia & obstruksi.

6
DIFTERIA LAIN → jarang.
Difteria kulit : ulkus batas jelas dasar membran putih / abu-abu,
cenderung menahun
Difteria pada mata (konjungtiva) : kemerahan, edema & (+) membran di
konjungtiva palpebra
Difteria telinga : otitis eksterna , (+) sekret mukopurulen & berbau
Difteria vulvovaginal : ulkus batas jelas.

DIAGNOSIS
Dx ditegakkan : berdasarkan gejala klinis, keterlambatan pemberian ADS sangat
mempengaruhi prognosis penderita.
Membran difteria :
 Warna lebih gelap & keabu-abuan disertai >> fibrin & melekat pada mukosa
dibawahnya
 Bila membran diangkat terjadi perdarahan.
 Lokasi membran : dimulai dari tonsil & menyebar ke uvula.
Pemeriksaan bakteriologis : Diambil membran / bahan dibawah membran.
Bahan dibiakkan → media Löffler, Tellurite & Blood agar.
Pemeriksaan laboratorium : (-) spesifik.
Pada neuritis : CSF → sedikit pe↑ protein.

TES SHICK
Tujuan: menentukan status imunitas penderita, bukan untuk Dx dini
Cara:
Menyuntikkan cairan toksin 0,1 mL (1/50 MLD) intradermal. (sudut injeksi 10-15°)
Bila dalam tubuh penderita:
(-) antitoksin → pembengkakan, eritema & sakit 3-5 hari setelah penyuntikan.
(+) antitoksin → toksin dinetralisasi sehingga (-) rx kulit.

DD
1) Difteria hidung
Benda asing dlm hidung
Rinore
Lues kongenital

7
2) Difteria tonsil & faring (difteria fausial)
Tonsilitis folikularis / launaris
Angina plaut vincent
Mononukleus infeksiosa
Diskrasia darah
Membran pascatonsilektomi

3) Difteria laring
Laringitis akuta
Edema angioneurotik dari laring
Benda asing laring

KOMPLIKASI
1. Infeksi sekunder bakteri lain
Infeksi : kuman Streptokokus & Stafilokokus
Panas ↑ pada penderita dengan infeksi sekunder kuman Streptokokus
2. Lokal: obstruksi jalan napas akibat membran / edema jalan napas
Obstruksi jalan napas oleh membran difteria / karena edema tonsil, faring, daerah
submandibular & servikal.
3. Sistemik: efek eksotoksin
Miokarditis
 Makin luas lesi lokal, makin terlambat pemberian antitoksin → makin sering
terjadi miokarditis.
 Faktor lain : virulensi kuman.
 Miokarditis terjadi :
a) cepat → minggu ke-1
b) lambat → minggu ke-6
 Gejala :
Lemahnya S1 jantung / aritmia
EKG → PR memanjang, depresi / elevasi segmen ST yang bermakna /
adanya blok
 Miokarditis dapat diikuti gagal jantung → pembesaran hati & kongesti paru.
 Blok AV komplit : angka kematian 100%

8
Neuritis
 Komplikasi difteri berat
 Gejala klinis:
 Timbul setelah masa laten
 Lesi bilateral & motorik lbh dominan daripada sensorik
 Biasanya sembuh sempurna
Paresis / Paralisis palatum molle (minggu ke 3) [N.IX = Glossopharyngeus]
 Manifestasi saraf paling sering
 Khas : (+) suara hidung & regurgitasi hidung.
 Kelainan hilang sama sekali dalam 1-2 minggu
Ocular palsy (minggu ke 5-7)
 Khas : paralisis otot akomodasi (m. rektus eksternus) → penglihatan kabur.
Paralisis diafragma (minggu ke 5-7)
 Akibat paralisis N.frenikus
 Bila tidak segera diatasi → meninggal
Paresis / Paralisis anggota gerak (minggu ke 6-10)
 (+) lesi bilateral, refleks tendo hilang
 CSF : pe↑ protein mirip Sindrom Guillian Barre.
Nefritis

PENATALAKSANAAN
DIFTERI TANPA KOMPLIKASI
A. Pengobatan umum
Perawatan baik, total bed rest, isolasi penderita & makanan lunak mudah dicerna, cukup
protein & kalori.
Penderita diawasi ketat, kemungkinan komplikasi: pemeriksaan EKG hari ke 0,3,7 & tiap
minggu selama 5 minggu.

B. Pengobatan khusus
I. Antidifteria toksin (ADS)
Selama infeksi difteria terdapat 3 bentuk toksin:
1. Toksin bebas dalam darah
2. Toksin bergabung dengan jaringan secara tidak erat
3. Toksin bergabung erat dengan jaringan
Yang dapat dinetralisasi oleh antitoksin → bentuk 1 & 2
Sedangkan yang bergabung erat dengan jaringan → antitoksin (-) efek
Idealnya bila penderita (-) alergi → antitoksin intravena.

9
Keuntungan pemberian antitoksin iv :
Peak level serum antitoksin dicapai dalam 30 menit setelah pemberian iv, kalau im dicapai
dalam 4 hari.
Ekskresi antitoksin scr iv ≈ im
Antitoksin mencapai saliva segera setelah pemberian iv, sedangkan im dicapai dalam
beberapa jam - hari

Sebelum pemberian ADS harus dilakukan:


1. Anamnesis riwayat alergi
2. Harus tersedia adrenalin 1:1000 dalam semprit → untuk tx rx anafilaktik
3. Tes kulit & mata → cegah terjadinya syok anafilaktik
Tes kulit: penyuntikan 0,1 ml larutan 1 : 1000 antitoksin difteria dalam larutan garam faal
secara intrakutan.
(+) : bila 20 menit terjadi indurasi > 1 cm
Tes mata: Konjungtiva bagian bawah ditetesi 1 tetes larutan antitoksin 1/10 dalam larutan
garam faal.
(+) : 20 menit konjungtiva tampak kemerahan
Kesimpulan:
a. tes kulit & mata (+) → antitoksin diberikan secara bertahap besredka (desensitisasi)
b. tes kulit & mata (-) →antitoksin langsung im / iv

Pemberian ADS secara Besredka (Desensitisasi) :


Perlu observasi ketat Suhu, Nadi, Tensi & Pernapasan. Bila penderita panas, maka pemberian
distop dulu. Atasi panasnya dengan antipiretika / kompres dingin, setelah dingin, ADS dilanjutkan :

0,05 ADS murni dioplos dengan Aquadest sampai 1 cc, disuntikkan subkutan
sebesar 0,05 cc saja, sisanya buang
15 menit, sambil diobservasi
0,1 cc ADS murni oplos dengan Aquadest sampai 1cc, suntikkan subkutan
sebesar 0,1 cc saja, sisa buang
15 menit sambil observasi
0,1 cc ADS murni disuntikkan subkutan (tidak dioplos)
15 menit sambil observasi
0,2 cc ADS murni disuntikkan subkutan / im
15 menit sambil observasi
0,5 cc ADS murni disuntikkan subkutan / im
15 menit sambil observasi
2 cc ADS murni disuntikkan subkutan / im
10
Cara pemberian ADS secara intravena, ada beberapa macam :
1. Dengan melarutkan ADS dalam larutan garam faal 1:20 dengan tetesan 15 tetes/ menit
2. Dengan melarutkan ADS dalam larutan garam faal 1:20 dengan tetesan 20 tetes/menit
3. ADS dalam 200 cc larutan Dextrose 5% in 0,225% saline
ADS Secara Drip
ADS semua dosis dicampur dextrose 5%, ¼ saline, atau ½ saline, sebanyak 200cc, Lalu
diberikan secara drip selama 2-3 jam.
(Observasi TTV → bila (+) reaksi alergi, tetesan dipelankan s/d ADS habis, jangan
dihentikan.)

Dosis ADS disesuaikan dengan derajat berat penyakit (RSU Dr.Soetomo)


1. Difteria ringan → 20.000 IU (1 ampul) im
(Hidung, kulit, konjungtiva)
2. Difteria sedang → 40.000 IU iv
(pseudomembran terbatas pada tonsil, difteria laring)
3. Difteria berat → 100.000 IU iv
(pseudomembran meluas ke luar tonsil, keadaan anak toksik, (+) bullneck, (+) komplikasi)

II. Antibiotika → untuk stop produksi toksin


1. Penisilin Prokain
Cukup efektif
Dosis : 50.000 unit/kgBB/hari selama 10 hari
2. Eritromisin → efektivitas ≈ penisilin
Indikasi : alergi penisilin.
Dosis : 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis sehari, dosis max 1 gram. selama
10 hari
3. Linkomisin
Obat barisan ketiga dapat diberikan iv dosis 10-20 mg/KgBB/hari dibagi dalam 2
dosis / 10 mg/KgBB/hari im sekali sehari. Untuk oral dosis 30-50 mg/KgBB/hari
Kortikosteroid
Indikasi : difteria + obstruksi saluran napas bagian atas (dapat / tidak disertai bullneck) &
(+) komplikasi miokarditis.
Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu, kemudian dihentikan bertahap. (tappering off)

11
DIFTERI DENGAN KOMPLIKASI
Pengobatan obstruksi laring
Mengurangi sumbatan jalan napas
Pengisapan lendir
Sumbatan bertambah hebat & sebelum penderita sianosis & lemah → Trakeostomi

Pengobatan miokarditis
Total bed rest
Diet lunak & mudah dicerna
Bila (+) tanda-tanda dekompensasi jantung → Digitalis
Gangguan konduksi berat misal AV block komplit, disosiasi AV = fatal
Akhir-akhir ini telah digunakan alat pacu jantung intrakardial.
Bila pemasangan alat pacu jantung tidak memungkinkan, diberikan Alupent secara titrasi
yaitu mula-mula diberikan 1 ampul Alupent dalam 500 mL Glukosa 10% & tetesan
disesuaikan dengan respons, yaitu dijaga agar HR 60-100x/menit.
Bila respons kurang, tetesan dinaikkan / dosis Alupent ditambah

Pengobatan neuritis
Pemasangan sonde lambung → cegah aspirasi
Bila paralisis otot pernapasan → respirasi artifisial menggunakan intermittent positive
pressure respirator & jalan napas harus selalu dijaga
Paresis / paralisis anggota gerak → fisioterapi
Hasil pengobatan sangat baik → kerusakan / kelumpuhan saraf bersifat reversibel

Pengobatan kontak
Sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut terlaksana:
Biakan hidung & tenggorok
Sebaiknya dilakukan uji Shick
Gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlewati
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria :
 Td ke 6 : usia 10-12 tahun
 Td ke 7 : usia 18 tahun

12
Pengobatan karier
Karier: mereka yg tidak menunjukkan keluhan, uji Shick (-) tapi mengandung basil difteria
dalam nasofaringnya.
Pengobatan:
 Penisilin : 100 mg/kgBB/hari oral atau 50.000 u/KgBB/hari injeksi
 Eritromisin : 50 mg/kgBB/hari selama 1 minggu.
 Mungkin perlu tonsilektomi / adenoidektomi

PENCEGAHAN
1. Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi & dipulangkan setelah pemeriksaan kuman difteria 2x berturut-
turut (-) setelah masa akut terlampaui.
Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana:
Biakan hidung & tenggorok
Seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)
Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar berikan booster dengan toksoid
diphtheria

kultur (-) / Schick tes (-) : bebas isolasi


kultur (+) / Schick tes (-) : pengobatan karier
kultur (+) / Schick tes (+) / gejala (-) : anti toksin diphtheria + penisilin
kultur (-) / Schick tes (+) : toksoid (imunisasi aktif)

2. Pencegahan terhadap kontak


Anak yang kontak dengan penderita difteria harus diisolasi 7 hari.
Bila dalam pengamatan :
(+) gejala klinis → penderita harus diobati.
(-) gejala klinis → beri imunisasi difteria.

3. Imunisasi
Tes kekebalan
Schick test : menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap difteri.
Tes → menyuntikkan toksin difteri (dilemahkan) intrakutan.
Bila (-) kekebalan antitoksik → nekrosis jaringan sehingga tes +
Moloney test : menentukan sensitivitas terhadap produk kuman difteri.
Tes dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid diphtheria toxoid
secara intradermal
13
Rx (+) bila dalam 24 jam timbul eritema > 1 cm. Ini berarti :
Pernah terpapar basil diphtheria sebelumnya → (+) reaksi hipersensitivitas
Pemberian toxoid diphtheria bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang berbahaya

Kekebalan pasif : transplasental dari ibu yang kebal terhadap diphtheria (sampai 6 bulan)
& suntikan antitoksin (2-3 minggu)
Kekebalan aktif : diperoleh dengan cara sakit / inapparent infection & imunisasi
toksoid diphtheria.

PROGNOSIS
Bergantung pada:
1. Usia penderita
2. Waktu pemberian antitoksin
3. Tipe klinis difteria
4. Keadaan umum penderita

Menurut Krugman, kematian mendadak karena:


Obstruksi jalan napas mendadak → terlepasnya membran difteria
(+) miokarditis & gagal jantung
Paralisis diafragma → neuritis nervus frenikus

14
TETANUS

DEFINISI
Tetanus / lockjaw: penyakit akut menyerang CNS
Disebabkan racun tetanospasmin Clostridium tetani.
Ditandai kekauan otot (spasme) tanpa gangguan kesadaran.
Transmisi : luka, gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi telinga, bekas suntikan /
pemotongan tali pusat.
Dalam tubuh manusia, kuman ini berkembang biak & produksi eksotoksin (tetanospasmin)
→ kekakuan otot bergaris

SEJARAH
Tetanus dikenal sejak zaman Hipocrates
1884 : Carle & Rattone menggambarkan transmisi tetanus pada kelinci percobaan
1889 : Kitasato pertama kali mengisolasi Clostridium tetani.
1890 : Kitasato bersama von Behring melaporkan ada antitoksin spesifik pada serum
binatang yang telah disuntikkan toksin tetanus.
1926 : Mulai dikembangkan toksoid yang dapat merangsang pembentukan imunitas

ETIOLOGI
Kuman tetanus: Clostridium tetani
Karakteristik :
 Bentuk batang langsing → ukuran 2-5 mm & lebar 0,3-0,5 mm.
 Gram (+)
 Anaerob
 Dibedakan dari tipe lain berdasarkan antigen flagella
 Membentuk spora : lonjong, ujung bulat khas seperti batang korek api (drum stick)
Sifat spora:
 Tahan dalam air mendidih selama 4 jam & obat antiseptik
 Mati dalam autoclaf bila dipanaskan selama 15-20 menit pd suhu 121°C
 Dapat hidup berbulan-bulan dalam tanah
 Spora jadi bentuk vegetatif dalam keadaan anaerob & berkembang biak.
Juga merupakan flora normal usus kuda, sapi, babi, domba, anjing, kucing, tikus, ayam, &
manusia
Bentuk vegetatif → (-) tahan panas & beberapa antiseptik.
Kuman tetanus subur pd suhu 37°C : media kaldu daging, media agar darah & media
bebas gula, kuman tetanus (-) dapat memfermentasikan glukosa

15
Kuman tetanus (-) invasif, tapi produksi 2 macam eksotoksin :
1. Tetanospasmin / Neurotoksin :
 protein BM 150.000 dalton
 Larut dalam air
 Labil pada panas & cahaya
 Rusak dengan enzim proteolitik
 Stabil dalam bentuk murni & kering
 Toksin dapat mencapai CNS → gejala rigiditas, spasme otot & kejang-
kejang.
2. Tetanolisin → lisis SDM

PATOGENESIS
Clostridium tetani bentuk spora → masuk tubuh melalui luka terkontaminasi debu, tanah,
tinja binatang / pupuk.
Cara masuknya spora melalui luka terkontaminasi :
Luka tusuk (besi, kaleng), luka bakar, luka lecet, otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit yg
kronis, abortus, tali pusat, bahkan kadang luka hampir tidak terlihat.
Bila keadaan menguntungkan (tempat luka jadi hipoaerob - anaerob disertai jaringan
nekrosis, lekosit mati) → spora berubah bentuk vegetatif kemudian berkembang.
Kuman ini (-) invasif.
Bila dinding sel kuman lisis → dilepaskan eksotoksin (tetanospasmin & tetanolisin)

Tetanospasmin sangat mudah diikat oleh saraf & mencapai saraf melalui 2 cara:
1. Lokal: diabsorbsi melalui mioneural junction pada ujung-ujung saraf perifer / motorik
melalui aksis silindrik ke kornu anterior CNS & susunan saraf perifer.
2. Toksin diabsorbsi melalui pembuluh limfe → sirkulasi darah → CNS

Aktivitas tetanospasmin pada motor end plate → inhibisi pelepasan asetilkolin, tp (-) inhibisi α & γ
motor neuron → tonus otot ↑ & terjadi kontraksi otot (spasme otot).
Tetanospasmin jg mempengaruhi sistem saraf simpatis pada kasus labil, takikardi, keringat >> &
me↑ ekskresi katekolamin dalam urine.
Tetanospasmin yg terikat pada jaringan saraf → (-) dapat dinetralisir oleh antitoksin tetanus.

16
GEJALA KLINIS
Klinis pada :
 Neonatus → masa inkubasi & periode of onset
 Anak → periode of onset saja
Masa inkubasi : masa dari masuknya kuman ke gejala pertama
Periode of onset : masa dari gejala pertama ke kejangnya
Masa inkubasi : 3-21 hari (bervariasi dapat singkat 1-2 hari & kadang > 1 bulan)
Makin pendek masa inkubasi → makin jelek prognosisnya.
(+) hubungan antara jarak tempat invasi Clostridium tetani dengan CNS & interval antara
luka & permulaan penyakit.
Semakin jauh tempat invasi → masa inkubasinya makin panjang.

Secara klinis ada 3 macam bentuk tetanus:


1. Tetanus umum → paling sering dijumpai.
Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan luas dan dalamnya luka seperti luka
bakar yang luas, luka tusuk yang dalam, furunkulosis, ekstraksi gigi, ulkus dekubitus
dan suntikan hipodermis.
Kekakuan otot timbul mendadak baik menyeluruh / hanya sekelompok otot.
Kekakuan otot :
 Rahang (trismus)
 Leher (kaku kuduk).
50% penderita tetanus umum → trismus
Dalam 24-48 jam kekakuan otot → menyeluruh sampai ekstremitas.
Lock jaw : Kekakuan otot rahang (otot masseter), mulut sukar dibuka
Risus Sardonicus : Kekakuan otot muka, muka tampak meringis kesakitan
(alis tertarik atas, sudut mulut tertarik luar & ke atas,
bibir tertekan kuat pada gigi).
Kaku kuduk - opistotonus : Kekakuan otot-otot leher bagian belakang,
nyeri waktu fleksi leher & tubuh
Biasanya diikuti kejang umum tonik → baik spontan maupun dengan rangsangan
minimal (rabaan, sinar, bunyi)
Kejang menyebabkan lengan fleksi & aduksi serta tangan mengepal kuat & kaki
dalam posisi ekstensi (tubuh kaku seperti busur)
(-) Gangguan kesadaran : penderita gelisah & mudah terangsang.
Spasme otot laring & otot pernapasan : gangguan menelan, asfiksia & sianosis.
Spasme sfingter kandung kemih : retensi urin.

17
↑ suhu badan umumnya (-) tinggi tp dapat disertai panas ↑ → hati-hati komplikasi /
toksin yang menyebar luas & mengganggu pusat pengatur suhu.
Kasus berat : mudah terjadi aktivitas simpatis >>
(takikardi, hipertensi labil, keringat >>, panas ↑ & aritmia jantung)

Menurut berat ringannya, tetanus umum dibagi atas:


1. Tetanus ringan : trismus > 3 cm, (-) kejang umum walaupun dirangsang
2. Tetanus sedang : trismus < 3 cm & (-) kejang umum bila dirangsang.
3. Tetanus berat : trismus < 1 cm & (+) kejang umum spontan
Anak masuk status epileptikus

Cole & Youngman membagi tetanus umum atas:


1. Derajat I: ringan
Masa inkubasi > 14 hari
Period of onset > 6 hari
(+) Trismus tapi tidak berat
Sukar makan & minum tapi (-) disfagia
Spasme di sekitar luka & kekakuan umum terjadi dalam beberapa jam / hari
2. Derajat II: sedang
Masa inkubasi 10-14 hari
Period of onset 3 hari / <
(+) trismus & disfagia
Kekakuan umum terjadi dalam beberapa hari tetapi (-) dispnu & sianosis
3. Derajat III: berat
Masa inkubasi < 10 hari
Period of onset 3 hari / <
Trismus & Disfagia berat
(+) kekakuan umum, Gg pernapasan (asfiksia), ketakutan, keringat > &
takikardi

2. Tetanus lokal
Gambaran klinis (-) khas : nyeri & kekakuan otot-otot bagian proksimal
tempat luka
Tetanus lokal = bentuk ringan, kadang berkembang jadi tetanus umum.

18
3. Tetanus sefalik
 Salah satu varian tetanus lokal
 Bentuk ini bila luka mengenai mata, kulit kepala, muka, telinga, leher, otitis media
kronis & kadang akibat tonsilektomi
 Gejala : disfungsi saraf kranial : III,IV,VII,IX,X,XI dapat berupa
gangguan sendiri / kombinasi & menetap dalam beberapa hari
bahkan bulan
 Dapat berkembang jadi tetanus umum.
 Prognosis : jelek.

DIAGNOSIS
Anamnesa : cari port de entre
 Anak : luka tusuk, luka operasi, gigitan hewan, tindik telinga
 Neonatus : pemotongan tali pusar tidak steril
 Riwayat imunisasi ?
DTP usia 2 bulan,4 bulan,6 bulan,18-24 bulan, 5 tahun, 10-12 tahun (Td), 18 tahun
(Td)
Dx tetanus ditegakkan :
1. Riwayat adanya luka yang sesuai dengan masa inkubasi
2. Gejala klinis
3. Penderita biasanya belum imunisasi
Pemeriksaan Fisik :
 kekakuan lokal / trismus
 kaku kuduk, risus sardonikus, opisthotonus, perut papan
 Kekakuan ekstremitas khas : fleksi tangan, ekstensi kaki (busur)
 Ada penyulit
Pemeriksaan lab : kurang menunjang.
Pemeriksaan mikrobiologi : bahan dari luka berupa pus / jaringan nekrosis kemudian
dibiakkan pada kultur agar darah / kaldu daging.
Pemeriksaan CSF : normal, kadang tekanan ↑ akibat kontraksi otot.
Pemeriksaan elektroensefalogram N & pemeriksaan elektromiografi (-) spesifik.

19
DD
1. Meningitis bakterial:
Trismus (-) , kesadaran penderita biasanya ↓, Dx = pungsi lumbal, & didapati (+) kelainan
CSF → jumlah sel & kadar protein ↑ sedangkan glukosa ↓
2. Poliomielitis:
(+) paralisis flaksid (-) trismus.
Pemeriksaan CSF → lekositosis.
Virus polio diisolasi dr tinja & serologis : titer antibodi ↑
3. Rabies
Hidrofobia → spasme laring → sukar menelan
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing / hewan lain. Trismus jarang ditemukan & kejang
bersifat klonik.
4. Keracunan Strichnine
Trismus jarang ditemukan & gejala berupa kejang tonik umum.
5. Tetani
Etiologi: hipokalsemia & hipofosfatemia.
Bentuk spasme otot khas = spasme karpopedal & diikuti laringospasme, jarang trismus.
6. Abses retrofaringeal
Trismus selalu (+) , tp (-) kejang umum
7. Tonsilitis berat
Panas ↑ & trismus, tp (-) kejang
8. Efek samping fenotiasin
Ada riwayat minum obat fenotiasin.
Kelainan berupa sindrom ekstrapiramidal.
Adanya reaksi distonik akut, tortikolis, & kekakuan otot.
9. Mastoiditis, pneumonia lobaris atas, miositis leher & spondilitis leher
Gejala kaku kuduk

KOMPLIKASI
1. Saluran pernapasan
Spasme otot pernapasan & otot laring serta seringnya kejang → asfiksia.
Akumulasi sekresi saliva & sukarnya menelan air liur & makanan / minuman →
aspirasi penumonia.
Atelektasis → akibat obstruksi sekret.
Trakeostomi → Pneumotoraks & emfisema mediastinal

20
2. Kardiovaskuler
Komplikasi : aktivitas simpatis yang me↑ antara lain berupa takikardi, hipertensi,
vasokonstriksi perifer & rangsangan miokardium

3. Tulang & otot


Spasme otot berkepanjangan → perdarahan dalam otot.
Tulang → fraktur kolumna vertebralis akibat kejang terus menerus terutama pada
anak & orang dewasa.
Dapat terjadi miositis ossifikans sirkumskripta.

4. Komplikasi lain
Laserasi lidah akibat kejang
Dekubitus → krn penderita berbaring pada 1 posisi saja.
Panas ↑ → infeksi sekunder / toksin yg menyebar luas & mengganggu pusat
pengatur suhu.

Penyebab kematian penderita tetanus akibat komplikasi:


bronkopneumonia, cardiac arrest, septikemi, pneumotoraks

PENATALAKSANAAN
Pengobatan umum
Isolasi penderita untuk menghindari rangsangan. Ruangan perawatan harus tenang
Perawatan luka dengan rivanol, betadin,
Bila perlu diberikan oksigen, dan kadang diperlukan tindakan trakeostomi untuk
menghindari obstruksi jalan napas.
Jika > sekresi pada mulut akibat kejang / penumpukkan saliva → bersihkan dengan
penghisap lendir
Beri makanan & minuman melalui sonde lambung.
Bahan makanan yang mudah dicerna & cukup mengandung protein & kalori.

Pengobatan khusus
Anti tetanus toksin
Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk:
1. Toksin bebas dalam darah
2. Toksin yang bergabung dengan jaringan saraf
Yang dapat dinetralisasi antitoksin : toksin yang bebas dalam darah.
Sedangkan yang telah begabung dengan jaringan saraf (-) dapat dinetralisasi antitoksin.

21
Sebelum pemberian antitoksin harus dilakukan:
Anamnesis riwayat alergi
Tes kulit & mata
Harus selalu tersedia adrenalin 1:1000
Harus dilakukan karena antitoksin berasal dari serum kuda bersifat heterolog → dapat
menyebabkan syok anafilaksis

Tes mata
Pada konjungtiva bagian bawah diteteskan 1 tetes larutan antitoksin tetanus 1:10 dalam
larutan garam fisiologis, sedangkan pada mata yang lain hanya ditetesi larutan garam
fisiologis.
Dikatakan + bila dalam 20 menit tampak kemerahan & bengkak pada konjungtiva

Tes kulit
Suntikan 0,1 mL larutan 1 : 1000 antitoksin tetanus dalam larutan fisiologis secara
intrakutan.
Rx (+) bila dalam 20 menit pada tempat suntikan terjadi kemerahan & indurasi > 1 cm.
Bila tes mata & kulit keduanya (+) : antitoksin diberikan secara bertahap.

Dosis
Behrman & Grossman → dosis : 50.000-100.000 U , diberikan setengah dosis secara iv &
setengahnya im
Cara pemberian secara iv : melarutkannya dalam 100-200 mL glukosa 5% & diberikan
selama 1-2 jam.
Di FKUI ATS → dosis 20.000 U selama 2 hari
Manado ATS → dosis 10.000 U scr im 1x pemberian.

A : telah mendapat imunisasi dasar & booster dalam waktu 5 tahun


B : telah mendapat imunisasi dasar & booster dalam waktu > 5 tahun tapi < 10 tahun
C : telah mendapat imunisasi dasar booster > 10 tahun
D : belum menyelesaikan imunisasi dasar / tingkat kekebalan tidak diketahui

22
Antikonvulsan & sedatif
Relaksasi otot & ↓ kepekaan jaringan saraf terhadap rangsangan.
Obat ideal : obat yg dapat mengontrol kejang & me↓ spastisitas tanpa mengganggu
pernapasan, gerakan-gerakan voluntar / kesadaran.

Obat-obat yg lazim digunakan adalah:


1. Diazepam
 Bila penderita datang dalam keadaan kejang,
Dosis : 0,5 mg/kgBB/kali iv perlahan-lahan, dosis optimum 10 mg/kali diulang
setiap kali kejang.
 Diikuti pemberian diazepam peroral (sonde lambung)
Dosis : 0,5 mg/kgBB/kali diberikan 6x sehari
2. Fenobarbital
Dosis awal :
 < 1 tahun 50 mg im
 >1 tahun 75 mg im
Dilanjutkan dosis oral : 5-9 mg/kgBB/hari dibagi dlm 3 dosis
3. Largaktil
Dosis : 4 mg/kgBB/hari dibagi dlm 6 dosis

Antibiotika
1. Penisilin prokain
Untuk membasmi bentuk vegetatif Clostridium tetani
Dosis 50.000 U/kgBB/hari im selama 10 hari / sampai 3 hari setelah panas turun.
Dosis optimal 600.000 U/hari
2. Tetrasiklin & Eritromisin
Diberikan terutama bila penderita alergi terhadap penisilin
Tetrasiklin : 30-50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis
Eritromisin : 50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis
diberikan selama 10 hari

Oksigen : bila (+) asfiksia & sianosis


Trakeostomi jika :
Spasme berkepanjangan dari otot respirasi
Tidak ada kemampuan batuk / menelan
Obstruksi laring
Koma
Hiperbarik : diberikan oksigen murni pada tekanan 5 atmosfer
23
PENCEGAHAN
1. Perawatan luka
Terutama luka tusuk, kotor /luka yang tercemar dengan spora tetanus
Luka dibersihkan, jaringan nekrotik & benda asing dibuang
Luka ringan & bersih :
Imunisasi lengkap : tidak perlu ATS / tetanus imunoglobulin
Imunisasi (-) lengkap : imunisasi aktif DPT / DT
Luka sedang / berat & kotor :
Imunisasi (-) / tidak jelas : ATS 3000-5000 IU / tetanus imunoglobulin 250-500 IU.
Toksoid tetanus pada sisi lain
Imunisasi (+), lamanya sudah > 5 tahun : ulangan toksoid, ATS 3000-5000 IU,
tetanus immunoglobulin 250-500 IU

2. Imunisasi pasif
Diberikan antitoksin. Pemberian antitoksin ada 2 bentuk yaitu:
1. ATS dari serum kuda
Dosis yg dianjurkan, ada 2 bentuk:
1. 1500-3000 U im
2. 3000-5000 U im
Pemberian ini sebaiknya didahului dgn tes kulit & mata.

2. Tetanus Immunoglobulin human (TIGH)


 Dosis TIGH : 250-500 U im
 Kapan saatnya kita memberikan ATS / TIGH / toksoid tetanus maupun
antibiotika, bergantung pada kekebalan seseorang, apakah org tersebut
sudah pernah mendapat imunisasi dasar & berapa lama boosternya
diberikan antara pemberian toksoid dengan terjadinya luka

3. Imunisasi aktif
Imunisasi tetanus biasanya dapat diberikan dalam bentuk DPT, DT & TT
DPT → untuk imunisasi dasar
DT → untuk booster usia 5 tahun & anak dengan riwayat kejang demam
TT → pada ibu hamil, anak usia > 13 tahun
Sesuai dengan PPI, imunisasi dilakukan pada usia 2,4 & 6 bulan.
Sedangkan booster → usia 1,5 - 2 tahun & usia 5 tahun.
Dosis = 0,5 mL tiap kali pemberian secara im.

24
PROGNOSIS
Dipengaruhi oleh beberapa faktor
1. Masa inkubasi : makin panjang penyakit makin ringan, sebaliknya makin pendek penyakit
makin berat.
Umumnya bila masa inkubasi < 7 hari = berat
2. Umur : makin muda umur penderita seperti pada neonatus → prognosis jelek
3. Period of onset : waktu antara timbulnya gejala tetanus, mis trismus, sampai terjadinya
kejang umum. Bila < 48 jam → prognosis jelek
4. Panas pada tetanus tidak selalu ada febris, jika (+) hiperpireksia → prognosisnya jelek
5. Pengobatan terlambat → prognosis jelek
6. Ada tidaknya komplikasi
7. Frekuensi kejang : semakin sering kejang = prognosis jelek

25
DEMAM TIFOID
TYPHOID FEVER, TYPHUS ABDOMINALIS, ENTERIC FEVER

DEFINISI
Demam tifoid : penyakit infeksi akut pada usus halus dengan
gejala demam 1 minggu / > disertai gangguan saluran pencernaan
dengan / (-) gangguan kesadaran.
Etiologi : Salmonella typhosa, hanya pada manusia
Transmisi : makanan & minuman terkontaminasi
Demam paratifoid : patologis & klinis = demam tifoid, lebih ringan
etiologi : Salmonella enteridis.
3 bioserotipe Salmonella enteriditis:
1. Paratyphi A
2. Paratyphi B (Salmonella schottmuelleri)
3. Paratyphi C (Salmonella hirschfeldii)

SEJARAH
1813 : Bretoneau melaporkan pertama kali SS dan kelainan anatomis demam tifoid
1826 : Cornwalls Hewett melaporkan perubahan patologisnya
1829 : Piere Louis memberikan nama typhos yg dari bahasa Yunani artinya asap /
kabut karena umumnya pasien disertai gangguan kesadaran ringan - berat
1896 : Widal berhasil memperkenalkan diagnosis serologis demam tifoid

ETIOLOGI
Etiologi : Salmonella typhosa / Eberthella typhosa
Karakteristik :
 Kuman gram (-)
 Motil
 (-) menghasilkan spora.
 Hidup baik pd suhu tubuh manusia, mati pd suhu 70°C maupun oleh antiseptik.
Salmonella typhosa punya 3 macam antigen:
1. Antigen O = Ohne Hauch : antigen somatik (tidak menyebar)
2. Antigen H = Hauch (menyebar) : terdapat pada flagella & bersifat termolabil
3. Antigen = kapsul : kapsul yg meliputi tubuh kuman & melindungi
antigen O terhadap fagositosis

26
Ada 3 spesies utama:
1. Salmonella typhosa ( 1 serotipe)
2. Salmonella choleraesius (1 serotipe)
3. Salmonella enteretidis ( > 1500 serotipe)

PATOGENESIS & PATOLOGI


Kuman Salmonella masuk bersama makanan / minuman → dalam usus halus, kuman
invasi ke jaringan limfoid usus halus (plak peyer) & jaringan limfoid mesenterika →
peradangan & nekrosis setempat → kuman lewat pembuluh limfe masuk ke darah
(bakteremia primer) ke organ RES (hati & limpa) → kuman difagosit oleh sel-sel fagosit
RES & kuman yang (-) difagosit berkembang biak
Akhir masa inkubasi 5-9 hari, kuman kembali masuk ke darah menyebar ke seluruh tubuh
(bakteremia sekunder) & sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa,
kandung empedu → kuman tersebut dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga
usus → reinfeksi di usus.
Masa bakteremia : kuman mengeluarkan endotoksin, susunan kimianya = antigen somatik
(lipopolisakarida) yang semula diduga bertanggung jawab terhadap
terjadinya gejala-gejala dari demam tifoid
Endotoksin : membantu proses peradangan lokal, kuman berkembang.
Endotoksin → merangsang sintesis & pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yg
meradang. → zat pirogen beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulator di
hipotalamus → gejala demam.
Makrofag : menghasilkan substansi aktif (monokin) → menyebabkan nekrosis
seluler & merangsang sistem imun, instabilitas vaskuler, depresi sutul
& panas.
Perubahan histopatologi :
(+) infiltrasi jaringan oleh makrofag → mengandung eritrosit, kuman, limfosit yg sudah
berdegenerasi = sel tifoid. Bila sel-sel ini beragregasi, terbentuklah nodul.
Minggu 1 : kelainan utama terjadi di ileum terminale & plak peyer yg hiperplasi
Minggu 2 : nekrosis
Minggu 3 : ulserasi (minggu ketiga), bila sembuh (-) pembentukan jaringan parut.
Sifat ulkus : bulat lonjong sejajar dengan sumbu panjang usus & dapat menyebabkan
perdarahan bahkan perforasi.
Kasus demam tifoid bayi & tifoid kongenital : Gambaran tersebut (-)

27
Respon imunologis
Demam tifoid : (+) respons humoral maupun seluler, baik di tingkat lokal maupun sistemik.
Imunitas selular lebih berperan

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis : lebih ringan, lebih bervariasi dibandingkan penderita dewasa.
Masa inkubasi : ± 7-20 hari, terpendek 3 hari & terpanjang 60 hari.

Gejala-gejala yang timbul :


Demam 1 minggu / >
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran

Minggu pertama, keluhan & gejala ≈ penyakit infeksi akut pada umumnya :
 Demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi.
 Pemeriksaan fisik : suhu badan ↑

Setelah minggu kedua:


 Demam remiten
 Lidah tifoid
 Hepatosplenomegali
 Perut kembung mungkin
 Gangguan kesadaran (ringan-berat)

Gambaran klasik :
 stepwise pattern, dapat pula mendadak ↑ & remiten (39-41°C)
 Dapat pula irreguler terutama pada bayi & tifoid kongenital.

Lidah tifoid terjadi beberapa hari setelah panas me↑, tanda-tandanya :


 Lidah kering, dilapisi selaput tebal , bagian belakang lebih pucat, ujung & tepi lebih
kemerahan.
 Bila penyakit makin progresif → deskuamasi epitel, papila lebih prominen

Roseola (akhir minggu 1 & awal minggu 2)


 Nodul kecil sedikit menonjol, D : 2-4 mm, merah pucat serta hilang pada penekanan.
 Merupakan emboli kuman, didalamnya mengandung kuman Salmonella, & terutama
didapatkan di daerah perut, dada, kadang dibokong / dibagian fleksor lengan atas.

28
Limpa membesar (sering pada akhir minggu 1)
 Harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria.
 Demam tifoid : pembesaran limpa (-) progresif , konsistensi lebih lunak
 Pemeriksaan fisik : Limpa sering teraba

Tifoid kongenital
 didapatkan dari seorang ibu hamil yg menderita demam tifoid & menularkan kepada janin
melalui darah.
 Umumnya fatal

Pemeriksaan darah : leukositosis (20.000-25.000/ )


Pemeriksaan fisik : Limpa sering teraba
Perjalanan penyakitnya : lebih pendek, lebih bervariasi, sering tidak > 2 minggu
Diagnosis ditegakkan : (+) Salmonella typhosa dlm darah & feses

LABORATORIUM
Anemia ringan - sedang dengan pe↑ LED,
Gambaran eritrosit : normokrom normositer, diduga efek toksik supresi sutul /
perdarahan usus.
(-) selalu ditemukan lekopenia.
Sering hitung lekosit dalam batas normal & lekositosis bila disertai komplikasi lain.
Trombosit ↓
Diff count : limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right
bergantung pada perjalanan penyakitnya.
Gambaran sutul : normoseluler, eritroid & mieloid sistem N
Jmlh megakariosit : batas normal.

DIAGNOSIS
Susah menegakkan diagnosis pada penderita < 5 tahun.
Anak > 5 tahun gejala serta tanda klinis demam tifoid = penderita dewasa :
Demam 1 minggu / >, lidah tifoid, pembesaran limpa, hati, disertai diare maupun konstipasi.
Diagnosis pasti : pemeriksaan bakteriologis & serologis.

29
1. Pemeriksaan bakteriologis
 Diagnosis pasti → (+) kuman Salmonella typhosa pada salah satu biakan
darah, feses, urin, sutul / cairan duodenum.
 Waktu pengambilan sampel → menentukan keberhasilan pemeriksaan
bakteriologis
 Biakan darah : (+) pada minggu 1 perjalanan penyakit.
 Biakan urin & feses : (+) pada minggu 2 & 3
 Biakan sutul : paling baik karena (-) dipengaruhi waktu
pengambilan / pemberian antibiotika sebelumnya.
 Hasil pemeriksaan biakan (+) dari sampel darah → menegakkan diagnosis
Hasil pemeriksaan biakan (-) 2x berturut-turut pemeriksaan feses / urin untuk
menentukan penderita telah sembuh / belum / karier

2. Pemeriksaan serologis → sensitif pd awal minggu ke 2


Tes Widal : reaksi serologis untuk membantu menegakkan Dx demam tifoid.
Dasar tes Widal = rx aglutinasi antara antigen Salmonella typhosa & antibodi yg
terdapat dalam serum penderita
Ada 2 metode yg sampai saat ini dikenal:
1. Widal cara tabung (konvensional)
2. Salmonella slide test (cara slide)
Karena Tes Widal kurang sensitif & spesifik → tes Widal sebaiknya tidak dilakukan
1x saja, melainkan perlu 1 seri pemeriksaan, kecuali bila hasil tersebut sesuai /
melewati nilai standar setempat.

Beberapa faktor yang mempengaruhi reaksi Widal:


Faktor penderita:
Saat pemeriksaan perjalanan penyakit
Pengobatan dini antibiotika
KU gizi penderita
Penyakit tertentu yg inhibisi pembentukan antibodi : gama-globulinemia,
leukemia, tumor
Pemakaian obat imunosupresif & kortikosteroid
Vaksinasi
Infeksi subklinis
Reaksi anamnestik

30
Faktor teknis:
Reaksi silang
Konsentrasi suspensi antigen
Strain salmonella yg dipakai untuk suspensi antigen

Nilai standar tes Widal: Surabaya titer widal 1/200


↑ titer Widal pada satu seri pemeriksaan Widal / ↑ titer 4x pada pemeriksaan
berikutnya dapat membantu memastikan diagnosis demam tifoid

Ada beberapa teknik baru untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap Salmonella
typhosa pada serum penderita & adanya antigen Salmonella typhosa di dalam
darah & urin, antara lain:
Hemaglutination Inhibition test
Enzyme Linked Immunosorbent Assay
Complemen Fixation test
Staphylococcal protein A coaglutination assay

DIAGNOSA BANDING (DD)


Permulaan sakit harus dibedakan antara lain:
Bronkitis
Influenza
Bronkopneumonia

Stadium selanjutnya:
Demam paratifoid
malaria
TBC milier
Pielitis
Meningitis
Endokarditis bakterial
Rickettsia

Stadium toksik:
Leukemia
Limfoma
Penyakit Hodgkin

31
KOMPLIKASI
Komplikasi demam tifoid dibagi atas 2 bagian:
1. Komplikasi pada usus halus
Perdarahan
Perforasi
Peritonitis
2. Komplikasi diluar usus halus
Bronkitis
Bronkopneumonia
Ensefalopati
Kolesistitis
Meningitis
Miokarditis
Karier kronik

Perdarahan usus
Dilaporkan terjadi pada hari ke17 / awal minggu ke 3
Diagnosis ditegakkan dengan:
↓ tekanan darah
Denyut nadi bertambah cepat & kecil
Kulit pucat
↓ suhu tubuh
Mengeluh nyeri perut
Sangat iritabel
Darah tepi : sering diikuti pe↑ hitung lekosit dalam waktu singkat

Perforasi usus
Lebih jarang
Sering pada minggu 3
Lokasi paling sering → di ileum terminalis
Diagnosis ditegakkan → adanya tanda & gejala klinis serta pemeriksaan radiologis
Umumnya tanda / gejala peritonitis sering didapatkan, penderita mendadak tampak
kesakitan di daerah perut, perut kembung, tekanan darah ↓, suara bising usus melemah &
pekak hati berkurang.
Pada pemeriksaan darah tepi → pe↑ hitung lekosit dalam waktu singkat

32
Bronkitis & bronkopneumonia
Akhir minggu 1 dari perjalanan penyakit.
Pada kasus berat, bila disertai infeksi sekunder → (+) bronkopneumonia

Kolesistitis
Jarang pada anak.
Bila terjadi umumnya pada akhir minggu 2 dengan gejala & tanda klinis (-) khas.
Bila terjadi kolesistitis, penderita cenderung jadi seorang karier

Tifoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala & tanda klinis berupa:
kesadaran ↓, kejang, muntah , demam ↑ & pemeriksaan cairan otak masih normal.
Bila disertai kejang-kejang → prognosis jelek & bila sembuh, sering diikuti oleh gejala sisa
sesuai dengan lokasi yang terkena

Meningitis
Disebabkan Salmonella typhosa / Salmonella yang lain lebih sering didapatkan pada neonatus /
pada bayi dibandingkan pada anak, gejala klinis sering (-) jelas sehingga diagnosis sering
terlambat.
Etiologi : Salmonella havana & Salmonella oraneburg
Gejala klinis :
Bayi tidak mau menetek
Kejang
Letargi
Sianosis
Panas
Diare
Kelainan neurologis :
Opisthotonus, fontanella cembung, refleks memegang menurun, refleks menghisap ↓

Komplikasi tifoid meningitis:


Efusi subdural
Ventrikulitis
Hidrosefalus

33
Miokarditis
Jarang.
Gambaran klinisnya (-) khas.
Insidensi terutama pada anak umur > 7 tahun → pada minggu 2 & 3
Diagnosisnya secara klinis berdasarkan:
 Irama mendua
 Takikardi menetap
 Bunyi jantung melemah
 Bising sistolik di apex
 Pembesaran jantung
Gambaran EKG bervariasi antara lain :
Sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombang T, blok AV derajat I, aritmia,
takikardi supraventrikuler

Karier kronik
Tifoid karier : seseorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam tifoid, tetapi
mengandung kuman Salmonella typhosa di dalam sekretnya.
Karier sangat penting dalam hal penularan yang tersembunyi
Anak jarang menjadi karier
Mengingat ekskresi Salmonella dapat terjadi intermitten, paling sedikit diperlukan 3-6 kali
biakan sebelum hasilnya dapat dikatakan (-)
Pengobatan karier : masalah sulit, kadang-kadang dengan pemberian obat-obatan
antimikroba didapatkan kegagalan karena Salmonella Typhosa bersarang dalam saluran
empedu intrahepatik → diperlukan pengobatan kombinasi obat-obatan & operasi.

PENATALAKSANAAN
Ada 3 bagian:
1. Perawatan
Penderita demam tifoid perlu dirawat di RS untuk isolasi, observasi serta
pengobatan.
Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tp tidak harus tirah baring sempurna
seperti perawatan demam tifoid di masa lalu.
Mobilisasi sewajarnya, sesuai dengan situasi & kondisi penderita
Pada penderita dengan kesadaran ↓ harus diobservasi agar tidak terjadi aspirasi.
Tanda komplikasi demam tifoid yang lain → BAK & BAB perlu mendapat perhatian

34
2. Diet
Di masa lalu, penderita diberi diet yang terdiri dari bubur saring, kemudian bubur
kasar & akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kekambuhan penderita.
Diusahakan makanan rendah / bebas selulosa & hindari makanan sifatnya iritatif.
Pada penderita dengan gangguan kesadaran → perhatikan intake makanan
Pemberian makanan pada dini > keuntungan :
 menekan ↓ BB selama perawatan
 masa di RS lebih diperpendek
 menekan ↓ kadar albumin, dalam serum
 mengurangi kemungkinan kejadian infeksi lain selama perawatan

3. Obat-obatan
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan:
Kloramfenikol
Tiamfenikol
Kotrimoksasol
Ampisilin
Amoksisilin
Seftriakson
Sefotaksim
Siprofloksasin (usia > 10 tahun)

Kloramfenikol
Obat pilihan pada kasus demam tifoid.
Kekurangan : rx hipersensitifitas, rx toksik, grey Syndrome, kolaps & (-) bermanfaat untuk
pengobatan karier.
Dosis : 50-100 mg/kgBB/hari, selama 10-14 hari.
Untuk neonatus penggunaan obat ini sebaiknya dihindari & bila terpaksa
Dosis tidak boleh > 25 mg/kgBB/hari selama 10 hari.

Tiamfenikol
Efek Tiamfenikol ≈ Kloramfenikol → susunan kimianya hampir sama & hanya berbeda
pada gugusan Rnya.
Dengan pemberian Tiamfenikol, demam ↓ setelah 5-6 hari.
Komplikasi hematologi Tiamfenikol → jarang.
Dosis oral : 50-100 mg/kgBB/hari, selama 10-14 hari

35
Kotrimoksasol
Untuk kasus yang resisten terhadap kloramfenikol
Penyerapan di usus cukup baik & kemungkinan timbulnya kekambuhan pengobatan lebih kecil
dibandingkan kloramfenikol.
Kelemahannya : dapat terjadi skin rash, sindrom Steven Johnson, agranulositosis,
trombositopenia, anemia megaloblastik, hemolisis eritrosit pada penderita
defisiensi G6PD
Dosis oral : 30-40 mg/kgBB/hari Sulfametoksazol & 6-8 mg/kgBB/hari untuk Trimetoprim
dalam 2x pemberian selama 10-14 hari.

Ampisilin & Amoksisilin


Merupakan derivat Penisilin
Indikasi : untuk yang resisten Kloramfenikol.
Ampisilin : lebih lambat me↓ demam dibanding Kloramfenikol, tp lebih efektif mengobati
karier serta kurang toksis.
Kelemahan : (+) skin rash & diare.
Daya antibakteri Amoksisilin ≈ Ampisilin → tp penyerapan peroral lebih baik sehingga
kadar obat yg tercapai 2x lebih ↑ & lebih sedikit timbulnya kekambuhan & karier
Dosis yang dianjurkan:
Ampisilin : 100-200 mg/kgBB/hari selama 10-14 hari
Amoksisilin : 100 mg/kgBB/hari selama 10-14 hari
Pengobatan demam tifoid menggunakan obat kombinasi → (-) memberikan keuntungan lebih baik
dibandingkan obat tunggal

Seftriakson
Dosis : 50-100 mg/kgBB/hari, tunggal / dibagi dalam 2 dosis iv

Sefotaksim
Dosis : 150-200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis iv

Siprofloksasin
Dosis : 2x200-400 mg oral pada anak berumur > 10 tahun

Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi yg tepat karena dapat menyebabkan perdarahan usus &
relaps.
Kasus berat penggunaan kortikosteroid : ↓ angka kematian

36
PENCEGAHAN
Usaha pencegahan dapat dibagi atas:
1. Usaha terhadap lingkungan hidup:
Penyediaan air minum yg memenuhi syarat
Pembuangan kotoran manusia yg higienis
Pemberantasan lalat
Pengawasan terhadap penjual makanan
2. Usaha terhadap manusia:
Imunisasi
Menemukan & mengobati karier
Pendidikan kesehatan masyarakat

Imunisasi
Vaksin yang digunakan adalah:
1. Vaksin dari Salmonella typhosa yg dimatikan
 per oral ternyata (-) memberikan perlindungan yang baik
2. Vaksin dari strain Salmonella yang dilemahkan (Ty21a)
 per oral memberikan perlindungan 87-95% selama 36 bulan
 ES 0-5% berupa demam / nyeri kepala
3. Vaksin polisakarida kapsular Vi (Typhi Vi)
 sc / im 0,5 mL dengan booster 2-3 tahun
 ES demam 0-1%, sakit kepala 1,5-3% dan 7% pembengkakan & kemerahan pada
tempat suntikan.

PROGNOSIS
Tergantung umur, KU, gizi, derajat kekebalan penderita
Cepat & tepatnya pengobatan
Komplikasi

37
PENYAKIT INFEKSI TROPIK

INFEKSI VIRUS

38
MORBILI
CAMPAK ; MEASLES ; RUBEOLA

DEFINISI
Penyakit infeksi virus akut, sangat menular ditandai dengan 3 stadium:
1. Stadium inkubasi
2. Stadium prodromal
3. Stadium erupsi
Campak : sangat infeksius, menular sejak awal prodromal ± 4 hari setelah muncul ruam

ETIOLOGI
Genus morbili virus
Famili Paramyxoviridae
Virus single stranded DNA
Didalam virus : (+) nukleokapsid bulat lonjong terdiri dari bagian protein yg mengelilingi
asam nukleat (RNA)
Selubung luar = suatu protein bersifat hemagglutinin.

Transmisi : Airborne

EPIDEMIOLOGI
Campak biasa pada masa kanak-kanak & menyebabkan kekebalan seumur hidup.
Terutama golongan umur 5-9 tahun, di negara belum berkembang < 2 tahun.
Bayi yang dilahirkan oleh ibu yg pernah menderita morbili :
 Kekebalan pasif (melalui plasenta) sampai umur 4-6 bulan
 Setelah umur tersebut kekebalan ↓ sehingga bayi dapat menderita morbili.
Bila ibunya menderita morbili pada usia kehamilan 1-2 bulan :
 50% mengalami abortus
Bila ibu menderita morbili pada trimester 1, 2 & 3 :
 Anak dengan kelainan bawaan
 BBLR
 Lahir mati / anak yg kemudian meninggal < usia 1 tahun.

39
PATOFISIOLOGI
Transmisi : droplet lewat udara (airborne), menempel & berbiak pada epitel nasofaring.
3 hari setelah invasi → replikasi & kolonisasi berlanjut pada kelenjar limfe regional & terjadi
(viremia 1) → Virus menyebar pada semua RES & menyusul (viremia 2), setelah 5-7 hari
infeksi awal.
Giant Cells & proses keradangan = dasar patologik ruam & infiltrat peribronchial paru, juga
terdapat edema, bendungan & perdarahan yang tersebar pada otak.
Kolonisasi & penyebaran pada epitel & kulit menyebabkan 3C : coryza, cough &
conjunctivitis & demam makin lama makin ↑
Gejala panas, batuk, pilek makin lama makin berat
Pada hari ke 10 sejak awal infeksi (pada hari penderita kontak dengan sumber infeksi)
mulai timbul ruam makulopapuler warna kemerahan.
Virus dapat berbiak pada CNS : gejala klinik ensefalitis.
Setelah masa konvalesen pada panas ↓, hipervaskularisasi mereda & menyebabkan ruam
jadi makin gelap → desquamasi & hiperpigmentasi.
Proses ini disebabkan pada awalnya terdapat perdarahan perivaskuler & infiltrasi limfosit.

PATOLOGI
Morbili : infeksi umum dengan lesi patologis yang khas.
Stadium prodromal : (+) hiperplasi jaringan limfoid pada tonsil, adenoid, kelenjar limfe,
lien & apendiks.
Gambaran patologis yang karakteristik : distribusi luas multinucleated giant cell akibat
fusi sel-sel.
Sebagai reaksi terhadap virus, terjadi eksudat serous & proliferasi sel mononukleus serta
beberapa sel polimorfonukleus disekitar kapiler.
Kelainan ini terjadi pada kulit,selaput lendir nasofaring, bronkus, & konjungtiva.

GAMBARAN KLINIS
Morbili : self limitting disease ditandai 3 stadium:
1. Stadium inkubasi : 10-12 hari, (-) gejala.
2. Stadium prodromal : panas sampai sedang, coryza, batuk, konjungtivitis,
fotofobia, anoreksia, malaise & (+) Koplik spot mukosa bukalis.
3. Stadium erupsi : rash makulopapulous pada seluruh tubuh & panas ↑

Setelah masa inkubasi : mulai timbul gejala-gejala panas & malaise.


Dalam 24 jam : timbul 3C (Coryza, Conjunctivitis, Cough)

40
Gejala-gejala ini bertambah hebat secara bertahap & mencapai puncaknya, saat timbul erupsi
pada hari ke-4.
± beberapa jam sebelum timbulnya rash : (+) Koplik spot di mukosa bukalis pada sisi yang
berlawanan dengan gigi molar.
Panas & koplik spot : hilang 24 jam setelah timbul rash.
Coryza & konjungtivitis : hilang pada hari ke-3 rash.
Lamanya eksantema hilang : jarang > 5-6 hari.

Panas
Panas ↑ pada hari ke 5 / ke 6, saat puncak timbulnya erupsi.
Kadang-kadang temperatur bifasik :
 pe↑ awal yang cepat dalam 24-48 jam pertama diikuti dengan periode normal
selama 1 hari
 selanjutnya terjadi pe↑ yg cepat sampai 39-40,6 °C saat erupsi rash mencapai
puncaknya.
Pada morbili yang (-) komplikasi :
2 hari setelah timbulnya rash yang lengkap, panas biasanya ↓. Bila panas menetap →
kemungkinan (+) komplikasi.

Coryza
Tidak dapat dibedakan dari common cold.
Batuk & bersin diikuti hidung tersumbat & sekret yang mukopurulen & jadi profus saat
erupsi mencapai puncaknya serta menghilang bersamaan dengan menghilangnya panas

Konjungtivitis (mata merah)


Pada periode awal stadium prodromal → (+) trasnverse marginal line injection pada
palpebra inferior.
Dapat disertai adanya pe↑ lakrimasi & fotofobia.
Konjungtivitis hilang → setelah demam ↓

Batuk
Disebabkan reaksi inflamasi mukosa saluran pernapasan.
Intensitas batuk me↑ & mencapai puncaknya saat erupsi.
Batuk dapat bertahan lebih lama & hilang secara bertahap dalam waktu 5-10 hari

41
Koplik spot → 2 hari sebelum muncul ruam (hari ke 3-4)
Bercak-bercak kecil iregular sebesar ujung jarum / pasir berwarna merah terang & bagian
tengahnya berwarna putih kelabu.
Tanda patognomonik morbili.
Beberapa jam sebelum timbulnya rash → (+) Koplik spot & hilang dalam 24 jam- hari kedua
timbulnya rash.

Rash
Timbul setelah 3-4 hari panas.
Rash mulai sebagai eritema makulopapuler, mulai timbul dari belakang telinga pada batas
rambut → menyebar ke daerah pipi, leher, seluruh wajah & dada serta biasanya dalam 24
jam sudah menyebar sampai ke lengan atas & selanjutnya ke seluruh tubuh mencapai kaki
pada hari ke-3
Saat rash sudah sampai kaki, rash yang timbul duluan mulai berangsur-angsur
menghilang.

DIAGNOSIS
Dx ditegakkan:
 Gambaran klinis yg khas
 Pemeriksaan serologis
 Isolasi virus dari urin / swab nasofaringeal
Pemeriksaan darah tepi : hanya (+) lekopeni.
Sputum, sekresi nasal, sedimen urin : (+) multinucleated giant cells yg khas.
Pemeriksaan serologi dengan
ELISA IgM lebih sensitif bila diperiksa :
 antara hari ke 3 - hari ke 28 timbulnya rash.
Hemagglutinin inhibition test & complemen fixation test :
 (+) antibodi yg spesifik dalam 1-3 hari setelah timbulnya rash & mencapai
puncaknya pada 2-4 minggu kemudian.
 Tes ini cukup praktis dan spesifik untuk Dx morbili atipik / subklinik.

42
DIAGNOSIS BANDING
1. Eksantema Subitum
 Disebabkan : virus, timbul pada bayi berumur 6-36 bulan.
 Mirip morbili, bedanya rash timbul saat panas ↓.
2. German Measles
Gejala lebih ringan dari morbili, terdiri dari gejala infeksi saluran napas bagian atas, demam
ringan, pembesaran kelenjar regional di daerah occipital & post aurikuler.
Rash lebih halus → mula-mula pada wajah lalu menyebar ke batang tubuh & menghilang
dalam waktu 3 hari.
3. Rash karena obat-obatan
 Lebih bersifat urtikaria → rash lebih besar, luas, menonjol & umumnya (-) panas.
4. Ricketsia
 Gejala prodromal lebih ringan, rash (-) di wajah & Koplik spot (-)
5. Mononukleosis infeksiosa
 (+) limfadenopati umum & pe↑ jumlah monosit.
6. Demam skarlatina
 Timbul dalam 12 jam pertama sesudah demam.
 Batuk & muntah. Gejala prodromal berlangsung 2 hari.
7. Penyakit kawasaki
 Demam (-) spesifik disertai nyeri tenggorok mendahului penyaki ini selama 2-5 hari.
Biasa (+) eksantema → bersifat generalisata & makulopapuler.
 Telapak tangan & kaki bengkak merah & hilang dalam beberapa hari - minggu.
 Gejala klinik lain : bibir, mulut & lidah mengering & merah serta konjungtivitis non
purulen.

KOMPLIKASI
Akut
Pneumonia
Penyebab kematian utama morbili karena perluasan infeksi virus disertai infeksi sekunder.
Manifestasi klinis : bronkiolitis, bronkopneumoni & pneumonia lobaris.
Bakteri yang sering menimbulkan pneumonia pada morbili:
 Streptokokus, Pneumokokus, Stafilokokus, Haemofilus influenzae dan kadang
Pseudomonas & Klebsiela
 Harus dicurigai bila anak morbili menunjukkan → (+) gangguan pernapasan disertai
panas yang menetap.
 Foto toraks → memperkuat diagnosis.
Gastroenteritis → cukup banyak ditemukan
43
Ensefalitis
 Komplikasi yang berat & sering menyebabkan kematian.
 Timbul hari ke 2 - ke 6 setelah timbulnya rash.
 Manifestasi klinis : panas, sakit kepala, muntah, lemah, kejang, koma / kelelahan
umum.
 Perjalanan penyakit : bervariasi dari ringan - berat & berakhir kematian dalam
waktu 24 jam.
Otitis media
 salah satu komplikasi paling sering.
 Akibat invasi virus ke dalam telinga tengah (tuba eustachii).
 Bila disertai infeksi sekunder : Otitis media purulenta
Mastoiditis
 Komplikasi dari otitis media.
 Dicegah dengan pemberian antibiotik
Laringotrakheobronkitis
Cervical adenitis
Purpura trombositopenik
Aktivasi tuberkulosis
Ulkus kornea
Apendisitis

Kronik
SSPE (Subakut Sklerosing Panensefalitis) → kelainan degeneratif SSP jarang terjadi,
disebabkan infeksi virus campak persisten
Kebutaan
Malnutrisi : akibat intake yang kurang (anoreksia, muntah)

44
PENGOBATAN
Morbili : suatu self limitting disease sehingga pengobatannya hanya bersifat simptomatis:
Perbaiki KU
antipiretika bila suhu ↑
Sedativum
Obat batuk
Vitamin A :
 < 6 bulan: 50.000 IU/hari ≥ 2 hari
 6-11 bulan: 100.000 IU/hari ≥ 2 hari
 > 12 bulan: 200.000 IU/hari ≥ 2 hari
Antibiotika → (+) infeksi sekunder
Kortikosteroid dosis ↑
Pada morbili yg mengalami ensefalitis berikan :
 Hidrokortison : 100-200 mg/hari selama 3-4 hari
 Prednisone : 2 mg/kgBB/hari selama 1 minggu

Pengobatan pada campak tanpa komplikasi :


1. Hindari penularan
2. Tirah baring di tempat tidur
3. Vit A 100.000 IU apabila disertai malnutrisi lanjutkan 1500 IU tiap hari
4. Diet makanan cukup cairan, kalori memadai. Jenis makanan disesuaikan tingkat kesadaran
pasien & komplikasi

Campak terjadi defisiensi vitamin A karena :


Selama infeksi akut : kadar prealbumin, binding protein & Zinc ↓ padahal penting untuk
mobilisasi vitamin A
Kenapa perlu diberi vitamin A :
Mengatasi defisiensi vitamin A
Mempercepat penyembuhan kerusakan epitel & komplikasi yang terjadi
Meminimalisir peluang terjadi infeksi oleh bakteri

Indikasi MRS:
Bercak / eksantema merah kehitaman → deskuamasi, skuama lebar & tebal
Suara parau disertai tanda penyumbatan seperti laringitis & pneumonia
Dehidrasi berat
Kejang dengan Kesadaran ↓

45
PEM berat
PENCEGAHAN
1. Imunisasi aktif
Vaksin yang diberikan : Live Attenuated Measles Vaccine.
Sekarang digunakan strain Schwarz & Moraten & (-) diberikan bersama gamma
globulin.
Vaksin → subkutan & menimbulkan kekebalan berlangsung lama.
Tiap dosis yang sudah dilarutkan mengandung virus morbili ≥ 1000 TCID50 &
Neomisin B sulfat ≤ 50 mikrogram.
Vaksin ini diberikan secara subkutan sebanyak 0,5 mL pada umur 9 bulan.
Anak < 9 bulan → tidak memberikan kekebalan yang baik, karena gangguan dari
antibodi yg dibawa sejak lahir.
Pemberian vaksin → menyebabkan alergi tuberculin selama 2 bulan setelah
vaksinasi.
Bila anak telah mendapat immunoglobulin / transfusi darah sebelumnya, vaksin ini
harus ditangguhkan sekurang-kurangnya 3 bulan.
PPI mengajurkan pemberian vaksin campak → sebanyak dosis 1 pada usia 9
bulan.

Vaksin campak tidak boleh dilakukan bila:


Menderita infeksi saluran napas akut / infeksi akut lainnya yg disertai dengan
demam > 38°C
Riwayat kejang demam
Defisiensi imunologik
Sedang dapat pengobatan kortikosteroid & immunosupresif

ES imunisasi:
Hiperpireksia
Gejala infeksi saluran pernapasan bagian atas
Morbili form rash
Kejang demam
Ensefalitis
Demam

46
2. Imunisasi pasif
Globulin imun
Antibodi kekebalan bersifat sementara.
Biasanya antibiotik tersebut diberikan pada bayi usia < 1 tahun yang terpapar
campak, wanita hamil & anak dengan immunocompromise
Globulin imun intravena

PROGNOSIS
Morbili : self limitting disease & berlangsung 7-10 hari
Bila (-) komplikasi prognosis baik
Morbiditas morbili dipengaruhi oleh faktor seperti:
 Diagnosis dini, pengobatan yang adekuat terhadap komplikasi yang timbul
 Kesadaran & pengetahuan yang rendah dari ortu penderita
 Masih percaya tahayul
 Penggunaan fasilitas kesehatan kurang.

47
VARISELA (CACAR AIR, CHICKEN POX)

DEFINISI
Varisela : suatu penyakit infeksi virus akut & menular (self limitting disease) → disebabkan
Varicella Zoster Virus (VZV), menyerang kulit & mukosa,
Ditandai adanya vesikel-vesikel.
Penderita : Anak < 10 tahun (2-6 tahun), orang dewasa, serta bayi baru lahir.
bahkan varisela kongenital.
Transmisi : percikan ludah, kontak langsung, barang yang dipakai penderita &
udara (air borne).
Varisela : meninggalkan kekebalan / imunitas yang permanen, kecuali pasien leukemia,
pasien yg sementara terapi imunosupresif / penyakit imunodefisiensi.
Pencegahan : imunisasi baik aktif maupun pasif.

SEJARAH
1967 → Penyakit ini pertama kali dilaporkan Heberden
1875 → Steiner menginokulasikan virus varisela kepada sukarelawan.
1888 → von Bokay pertama kali melaporkan hubungan penyebab varisela & Herpes zoster.
1922 → Kundraitz → percobaan mengambil cairan vesikel dari erupsi zoster yang khas &
diinokulasikan
1917 → Paschen menemukan inclusion bodies dalam cairan vesikel & menyebut penyebab
varisela : virus
1953 → Willer menemukan pertumbuhan virus varisela & zoster pada kultur jaringan manusia &
didapatkan bahwa virus varisela identik dengan virus zoster.

ETIOLOGI
Varicella Zoster Virus (VZV) : kelompok Herpes Virus
Diameter :150-200 mm.
Inti virus : capsid, terdiri dari protein & DNA rantai ganda
Varicella Zoster Virus (VZV) :
 Dalam cairan vesikel & darah
 Mudah dibiakkan dalam media fibroblast paru embrio manusia
 Menyebabkan varisela & Herpes zoster.
Kontak pertama : varisela (infeksi primer)
Serangan kembali : Herpes Zoster

48
EPIDEMIOLOGI
Varisela :
 Sangat menular, sangat bergantung pada kekebalan seseorang.
 Menyerang individu yg (-) antibodi.
 Dapat menyerang semua umur, termasuk bayi baru lahir & dewasa.
 Neonatus tertular selama terjadi viremia pada tubuh ibu hamil.
 Masa penularan : mulai 2 hari sebelum timbul lesi kulit & berakhir bila telah terjadi
krusta, biasanya 5 hari kemudian.
Transmisi :
 Kontak langsung
 Percikan ludah / melalui udara
 Papul & vesikel tetapi bukan krusta, mengandung populasi virus cukup tinggi
 Transplasental
(-) perbedaan jenis kelamin maupun ras.

Faktor resiko terjadinya varisela berat dapat terjadi pada :


Neonatus umur 1 bulan, terutama lahir dari ibu dengan seronegatif.
Persalinan < masa gestasi 28 minggu : karena imunoglobulin G baru dapat masuk
transplasental ke bayi terjadi setelah umur 28 minggu.
Dewasa muda / dewasa
Terapi steroid dosis ↑(1-2 mg/kg/hari prednisolon) selama 2 minggu.
Walaupun dengan dosis sama dalam jangka waktu pendek terutama saat memasuki /
selama masa inkubasi
Keganasan → penderita leukemia, Hampir 30% penderita leukemia terdapat varisela
menyerang meluas ke dalam alat viscera & angka kematian 7%
Gangguan imunitas (obat kanker, HIV), gangguan pada imunitas seluler lebih mudah
menyebabkan varisela berat
Kehamilan.

IMUNITAS
Antibodi terhadap varisela zoster diperoleh dari ibu :
bertahan selama 6 bulan → bayi < 6 bulan umumnya bebas dari penyakit varisela.
Bayi lahir dari ibu dengan varisela ≤ 5 hari sebelum partus :
virus dapat ditransfer ke bayi melalui plasenta → varisela kongenital

49
Penderita yg rentan terhadap varisela & mempunyai faktor resiko tinggi, sering
kematian :
 Neonatus
 Bayi yang dirawat pada NICU
 Penderita keganasan (leukemia, limfoma malignum, imunodefisiensi)
 Yang sedang diberi obat imunosupresif.
Virus merangsang imunitas seluler & humoral :
Penderita memperoleh long lasting imunity
Terbentuk 4 subklas imunoglobulin G :
1. IgG1
2. IgG2
3. IgG3
4. IgG4
Anak dengan infeksi alamiah, > 2 minggu : IgG1 ↑ & ↓ setelah 1 bulan
IgG2 & IgG3 : kadar sedikit & ↓ secara bertahap,
> 10 tahun sudah (-) terdeteksi dengan ELISA.
Antibodi IgG4 : terdeteksi 2-4 minggu setelah infeksi.
Antibodi IgG1, IgG4 : masih dapat dideteksi setelah 10 tahun.
Pemeriksaan serologis untuk deteksi imunitas terhadap VZV dapat dengan :
 Complement Fixation Test (CF)
 Fluorescent Antibody to Membrane Antigen (FAMA)
 Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
 Immune Adherence Haemagglutination (IAHA)

PATOLOGI & PATOGENESIS


Virus varisela masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan & berkolonisasi di traktus
respiratorius bagian atas → virus bereplikasi dalam kelenjar limfe regional, 4-6 hari
kemudian terjadi viremia & menyebar melalui peredarah darah masuk ke dalam organ RES
(limpa, hepar)
Setelah seminggu terjadi viremia kedua → virus mulai menyebar ke dalam visera & kulit, &
berakhir dengan manifestasi lesi pada kulit yang khas.
Virus juga menyebar ke saluran pernapasan. Infeksi CNS / Hepar juga terjadi pada saat ini.
Lesi pada kulit terjadi akibat infeksi kapiler endotelial pada papil lapisan dermis kemudian
menyebar ke sel-sel epitel lapisan epidermis, folikel kulit, & glandula sebasea sehingga
terjadi pembengkakan.
Pada mulanya ditandai adanya makula & berkembang cepat jadi papula, vesikel & akhirnya
menjadi krusta.

50
Degenerasi sel diikuti terbentuknya Giant cell berinti banyak & kebanyakan dari sel tersebut
mengandung inclusion body intranuclear type A.
Lesi berkembang cepat, lekosit polimorfonuklear masuk ke dalam korium & cairan vesikel
→ mengubah cairan yang jelas & terang jadi berwarna keruh → terjadi absorbsi dari cairan
ini → krusta.
Terbentuknya lesi-lesi pada membran mukosa jg dengan cara yang sama tetapi tidak
langsung membentuk krusta. Vesikel-vesikel biasanya akan pecah & membentuk luka yang
terbuka, namun sembuh dengan cepat.
Bila terjadi ensefalitis pada pemeriksaan patologis → tampak gambaran demielinisasi
perivaskuler pada substansi alba. Meluasnya kerusakan sel otak anterior menyebabkan
paralisis permanen / sementara. Lesi-lesi serat saraf posterior ditandai adanya infiltrasi dari
sel-sel kecil & sel-sel darah merah, nekrosis dari serat & sel-sel saraf menyebabkan rx
inflamasi dari ganglion sheath.

GAMBARAN KLINIK
Masa inkubasi : bervariasi antara 10-21 hari, ± 10-14 hari.
Setelah masa inkubasi :
(+) gejala prodromal : panas tidak terlalu ↑, malaise, sakit kepala, anoreksia, rasa berat
pada punggung, & kadang disertai batuk kering diikuti eritema pada kulit dapat berbentuk
skarlatina form / mobiliform
Panas hilang dalam 4 hari, bila panas tubuh menetap → dicurigai (+) komplikasi /
gangguan imunitas
Eritema berkembang dengan cepat (dalam beberapa jam) berubah jadi makula kecil,
kemudian papula yg kemerahan jadi vesikel. Vesikel ini biasanya kecil, berisi cairan jernih,
tidak umbilicated dengan dasar eritematous, mudah pecah serta mengering membentuk
krusta. Bentuk sangat khas : tetesan embun / air mata (tears drops)
Lesi kulit mulai nampak di daerah badan, kemudian menyebar sentrifugal ke bagian perifer
seperti muka & ekstremitas.
Dalam perjalanan penyakit ini akan didapatkan tanda yang khas adanya bentuk papula,
vesikel, krusta dalam waktu bersamaan disebut polimorf.
Jumlah lesi pada kulit → dapat 250-500, namun kadang hanya 10 bahkan > sampai 1500.
Lesi baru tetap timbul selama 3-5 hari, lesi sering jadi krusta pd hari ke 6 (hari ke 2 - ke 12)
Sembuh lengkap → hari ke 16 (hari ke 7 - ke 34)
Penderita dengan gangguan imunitas seluler : Erupsi lama / terlambatnya berubah jadi
krusta & penyembuhan
Bila terjadi infeksi sekunder : sekitar lesi tampak kemerahan & bengkak serta cairan
vesikel yg jernih jadi pus disertai limfadenopati umum.

51
Vesikel tidak hanya terdapat pada kulit tp juga mukosa mulut, mata & faring.
Penderita varisela yg disertai defisiensi imunitas maupun penderita yang sedang
mendapat imunosupresif : sering timbul gambaran klinik khas = perdarahan, progresif &
menyebar menjadi infeksi sistemik. Hal ini disebabkan oleh terjadinya limfopenia.

Pada ibu hamil yang menderita varisela dapat menimbulkan beberapa masalah pada bayi
yang akan dilahirkan & bergantung pada masa kehamilan ibu antara lain :
Varisela neonatal
Varisela neonatal dapat merupakan penyakit serius → bergantung saat ibu kena varisela &
persalinan
Bila ibu hamil terinfeksi varisela 5 hari sebelum partus / 2 hari setelah partus :
 Bayi terinfeksi saat viremia kedua dari ibu, bayi terinfeksi transplasental, tetapi (-)
kekebalan dari ibu karena belum cukup waktu ibu untuk produksi antibodi →
varisela berat & menyebar.
 Perlu diberikan profilaksis / pengobatan : varicella-zoster immune globulin
(VZIG) & asiklovir.
 Bila (-) diobati adekuat : angka kematian sebesar 30%.
 Penyebab kematian utama : pneumonia berat & hepatitis fulminan
Bila ibu terinfeksi varisela > 5 hari antepartum :
 Ibu punyai waktu cukup untuk produksi antibodi & dapat diteruskan kepada bayi.
Bayi cukup bulan :
 varisela ringan karena pelemahan oleh antibodi transplasental dari ibu.
 Pengobatan VZIG (-), Asiklovir dapat dipertimbangkan bergantung keadaan bayi.

Sindrom varisela kongenital


Bayi dengan ibu yang menderita varisela pada umur kehamilan trimester 1 / 2 dengan
insidens 2%
Manifestasi klinik :
Retardasi pertumbuhan intrauterin, mikrosefali, atrofi kortikalis, hipoplasia ekstremitas,
mikroftalmia, katarak, korioretinitis, & scarring pada kulit.
Beratnya gejala pada bayi : tidak berhubungan dengan beratnya penyakit pada ibu.
Ibu hamil dengan zoster : tidak berhubungan dengan kelainan pada bayi.

Zoster infantil :
umur bayi 1 tahun pertama → karena infeksi varisela maternal > masa gestasi ke 20.
Sering menyerang saraf dermatom thoracis.

52
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
(-) untuk menegakkan diagnosa → gambaran klinis telah jelas.
3 hari pertama : Kebanyakan anak leukopenia kemudian diikuti leukositosis.
Leukositosis hebat : infeksi bakteri sekunder. (tidak mutlak)

DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis & gambaran klinis yang khas berupa :
1. Timbulnya erupsi papulo-vesikular bersamaan demam yg tidak terlalu ↑
2. Perubahan-perubahan cepat dari makula jadi papula kemudian jadi vesikel & akhirnya jadi
krusta
3. Gambaran lesi berkelompok dengan distribusi paling banyak pada tubuh lalu menyebar ke
perifer (muka, kepala & ekstremitas)
4. Membentuk ulkus putih keruh pada mukosa mulut
5. (+) gambaran polimorf

DIAGNOSIS BANDING
1. Variola (cacar)
Kasus varisela berat terutama perdarahan perlu dibedakan dengan variola
2. Impetigo
Lesi impetigo pertama : vesikel cepat menjadi pustula & krusta
Distribusi lesi impetigo : dimana saja
Impetigo (-) menyerang mukosa mulut.
3. Skabies
(+) papula yang sangat gatal
Lokasi : antara jari-jari kaki
Pemeriksaan laboratorium → (+) Sarcoptes Scabiei
4. Dermatitis herpetiform
Biasanya simetris terdiri dari papula, vesikular yg eritematosus
Ada riwayat penyakit kronik
Sembuh dengan meninggalkan pigmentasi.

53
KOMPLIKASI
Komplikasi varisela pada anak jarang, lebih sering pada orang dewasa
1. Infeksi sekunder
Disebabkan Stafilokok / Streptokok & menyebabkan selulitis, furunkel
Infeksi sekunder pada kulit → sebagian besar kelompok umur < 5 tahun
(+) infeksi sekunder bila manifestasi sistemik tidak menghilang dalam 3-4 hari /
bahkan memburuk.
2. Otak
Sering karena adanya gangguan imunitas
Acute postinfectious cerebellar ataxia : komplikasi otak yang paling ditemukan
Ataxia timbul tiba-tiba biasanya pada 2-3 minggu setelah varisela & menetap dalam
2 bulan
Klinis : ringan sampai berat, sedang sensorium tetap normal walau ataxia berat
Prognosis : baik, walaupun beberapa anak mengalami inkoordinasi / dysarthria
Ensefalitis memberikan gejala ataxia serebelar & biasanya timbul antara hari 1-3
sampai hari ke 8 setelah timbulnya rash. biasanya fatal.
3. Pneumonitis
Sering dijumpai pada penderita keganasan, neonatus, imundefisiensi, & orang
dewasa.
Gambaran klinis pneumonitis :
Panas yang tetap ↑, batuk, sesak nafas, takipnu & kadang sianosis serta hemoptoe
Pada pemeriksaan radiologi : gambaran nodular radioopak pada kedua paru.
4. Sindrom Reye → Jarang
Nausea & vomitus, hepatomegali
Pemeriksaan laboratorium didapatkan ↑ SGPT & SGOT serta ammonia
5. Hepatitis → jarang
6. Komplikasi lain
Arthritis, Trombositopenia purpura, miokarditis, keratitis

Penderita perlu dikonsulkan ke spesialis bila dijumpai gejala sbb :


Varisela progresif / berat
Komplikasi yang dapat mengancam jiwa → pneumonia, ensefalitis
Infeksi bakteri sekunder berat terutama dari golongan grup A Streptococcus yang dapat
memicu terjadinya nekrosis kulit dengan cepat serta terjadi Toxic Shock Syndrome (TSS)

54
Penderita dengan komplikasi berat perlu dirawat di RS / ICU
Indikasi rawat ICU / NICU :
↓ Kesadaran
Kejang
Sulit jalan
Respiratory Distress
Sianosis
Saturasi Oksigen ↓
Semua neonatus lahir dari ibu yang menderita varisela < 5 hari sebelum melahirkan / 2 hari
setelah melahirkan.

PENGOBATAN
Pengobatan varisela adalah simptomatik :
1. Obat topikal
Kalamin Lotion / Bedak salisil 1%
2. Antipiretik / Analgetik
Aspirin, Asetaminofen, Ibuprofen
3. Antihistamin
Diphenhydramine
Cair (12,5 mg/ 5 mL)
Kapsul (25 mg / 50 mg)
Injeksi (10 & 50 mg/mL)
Dosis 5 mg/kg/hari dibagi dalam 3 kali pemberian
4. Obat antivirus
Viradabin (adenosin arabinoside)
 Obat antivirus yang diperoleh dari fosforilase dalam sel & dalam bentuk trifosfat,
inhibisi polimerase DNA virus.
 Dosis : 10-20 mg/kgBB/hari, diberikan sehari dalam infus selama 12 jam, lama
pemberian 5-7 hari
 Pemberian Viradabin : vesikel menghilang secara cepat dalam 5 hari
 Efek samping :
Gangguan neurologi (tremor, kejang)
Gangguan hematologi (netropenia, trombositopia)
Gangguan gastrointestinal berupa muntah serta ↑ SGPT & SGOT

55
Asiklovir = 9 (2 Hidroksi etoksi metil) Guanine)
 Lebih baik dibanding vidarabin
 Mekanisme : Inhibisi polimerase DNA virus Herpes & mengakhiri replikasi virus.
 Mengurangi bertambahnya lesi pada kulit & lamanya panas, bila diberikan dalam 24
jam mulai timbulnya rash.
 Anak kecil (-) komplikasi : kurang bermanfaat & tidak direkomendasikan secara
rutin
Asiklovir lebih banyak digunakan pada penderita dengan komplikasi / penderita
dengan gangguan imunitas
 Obat ini (-) mengurangi rasa gatal pada kulit, komplikasi / penularan sekunder
 Dosis : 5-10 mg/kgBB dibagi dalam 4-5 dosis per hari,
secara oral / iv drip tiap 8 jam selama 5-7 hari.
Dengan dosis jangan > 3200 mg/hari
 Bentuk sediaan :
1. Kapsul (200 mg / 400 mg / 800 mg)
2. Cairan (400 mg/ 5 mL)
3. Injeksi (500 mg/ 5 mL)
5. Diet adekuat
Berikan makanan penuh & jangan dibatasi
Kadang penderita mengalami anoreksia, sebaiknya dimotivasi > minum untuk
mempertahankan status hidrasi.
Cairan yg cukup sangat diperlukan bila penderita diberikan Asiklovir → Asiklovir
dapat berkristalisasi dalam tubulus renalis bila penderita dehidrasi.
6. Aktivitas → (-) pembatasan aktivitas pada penderita tanpa komplikasi

PENCEGAHAN
Imunisasi pasif
Diberikan kepada kelompok penderita resiko ↑ setelah kontak dengan varisela
Pemberian sesegera mungkin tp bila diberikan dalam waktu 96 jam pascakontak, dapat
juga mencegah / mengurangi penyakit varisela
Dosis Zoster Imunoglobulin (ZIG) : 0,6 mL/kgBB im 72 jam setelah kontak
Indikasi pemberian zoster imunoglobulin :
 Neonatus yg lahir dari ibu menderita varisela 5 hari sebelum partus / 2 hari setelah
melahirkan
 Penderita leukemia / limfoma terinfeksi varisela yg sebelumnya (-) divaksinasi
 Penderita HIV / gangguan imunitas lainnya
 Penderita sedang mendapat pengobatan imunosupresan seperti kortikosteroid

56
Imunisasi aktif
Vaksin varisela : vaksin hidup yg dilemahkan (live attenuated) asal dari OKA Strain
Tingkat proteksi cukup ↑ ± 71- 100% mungkin lebih lama
Dapat diberikan pada → anak sehat / leukemia / imunodefisiensi
Penderita pascakontak : beri vaksin dalam waktu 72 jam, sebagai preventif / mengurangi
gejala penyakit
Dosis : 0,5 mL subkutan.
Dapat diberikan bersamaan dengan MMR dengan daya proteksi yang sama & ES hanya
rash ringan.
Efek samping : (-), tp bila ada = ringan.

PROGNOSIS
Anak sehat prognosis varisela lebih baik dibanding orang dewasa
Pada neonatus & anak leukemia, imunodefisiensi → sering (+) komplikasi & angka
kematian ↑
Sebagian besar penyebab kematian : akibat komplikasi pneumonitis & ensefalitis

57
DEMAM BERDARAH DENGUE (DHF) & SINDROM SYOK DENGUE (DSS)
DEMAM BERDARAH DENGUE

DEFINISI
Penyakit infeksi yang masih menimbulkan masalah kesehatan di negara sedang berkembang,
khususnya Indonesia.

Yang membedakan antara :


DF dengan DHF : ada plasma leakage (DHF)
DHF dengan DSS : tingkat plasma leakage yg bisa menimbulkan gangguan sirkulasi

EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini terdapat di daerah tropis
Disebabkan : virus dengue
Ditularkan : Nyamuk Aedes.
Di Indonesia dikenal 2 jenis nyamuk aedes :
1. Aedes Agypti → berlurik, berbintik-bintik putih
Paling sering ditemukan
Hidup di daerah tropis, hidup & berkembang biak dalam rumah terutama tempat
penampungan air jernih / tempat penampungan air di sekitar rumah
Menggigit : pada siang hari, terutama pagi & sore hari.
Jarak terbang : 100 m
2. Aedes Albopictus
Tempat habitatnya di air jernih. Biasanya disekitar rumah / pohon-pohon, tempat
yang menampung air hujan yang bersih seperti pohon pisang, pandan, kaleng
bekas.
Menggigit : waktu siang hari
Jarang terbang : 50 m

ETIOLOGI → Di Indonesia telah diisolasi 4 serotipe :


DEN-1
DEN-2
DEN-3
DEN-4

DEN-2 & DEN-3 : paling banyak sebagai penyebab.


Viremia : berakhir 4-5 hari setelah timbulnya panas.

58
INSIDEN
(-) perbedaan antara jenis kelamin penderita DHF
Kematian > anak perempuan daripada anak laki-laki.
Selalu terjadi tiap tahun di berbagai tempat di Indonesia & terutama musim hujan.

PATOGENESIS
Secondary Heterologous Infection Hypothesis / Sequential Infection Hypothesis :
DHF yang dialami seseorang setelah terinfeksi virus dengue pertama kali kemudian
mendapat infeksi ulangan dengan tipe virus dengue yang berlainan dalam waktu 6 bulan -
5 tahun.
Patogenesis syok berdasarkan The Secondary Heterologous Infection Hypothesis :
Akibat infeksi kedua oleh tipe virus yang lain pada seseorang penderita dengan kadar
antibodi antidengue ↓, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu
beberapa hari → mengakibatkan proliferasi & transformasi limfosit imun → menghasilkan
titer ↑ antibodi IgG anti dengue.
Replikasi virus dengue dalam limfosit yg bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus
dlm jumlah yang banyak → terbentuknya kompleks antigen-antibodi (virus-antibodi
kompleks) → mengaktivasi sistem komplemen (C3 & C5) → pelepasan C3a & C5a → me↑
permeabilitas pembuluh darah & menghilangnya plasma melalui endotel dinding itu.

Syok yang (-) ditanggulangi adekuat : anoksia jaringan, asidosis metabolik → kematian.

59
Terdapatnya kompleks virus-antibodi dalam sirkulasi darah → mengakibatkan trombosit
kehilangan fungsi agregasi & mengalami metamorfosis, sehingga dimusnahkan oleh sistem
RE → trombositopenia hebat & perdarahan.
Disamping itu trombosit yang mengalami metamorfosis → melepaskan faktor trombosit 3
yang mengaktivasi sistem koagulasi.
Akibat aktivasi faktor Hageman (faktor XII) → juga mengaktivasi sistem koagulasi →
pembekuan intravaskular yg meluas.
Dalam proses aktivasi ini, plasminogen akan berubah jadi plasmin yg berperan pada
pembentukan anafilaktosin & penghancuran fibrin menjadi fibrin degradation product (FDP)
Disamping aktivasi, faktor XII → menggiatkan sistem kinin yg berperan dalam proses me↑
permeabilitas dinding pembuluh darah.
↓ faktor koagulasi & kerusakan hati → menambah beratnya perdarahan.

60
MANIFESTASI KLINIK
Virus dengue : self limitting disease , berakhir ± 2-7 hari.
Panas
 Panas langsung ↑ & terus menerus 2-7 hari
sebab (-) jelas
hampir (-) bereaksi terhadap pemberian antipiretik
 Bila (-) syok : panas ↓ & penderita sembuh sendiri (self limitting)
 Keluhan lain : malaise, mual, muntah, sakit kepala, anoreksia & kadang batuk.
Tanda-tanda perdarahan
1. Karena manipulasi
Uji Torniquet / Rumpel Leede test +
Kriteria:
 (+) bila jmlh petekie ≥ 20
 (±) bila jmlh petekie 10-20
 (-) bila jmlh petekie < 10
2. Perdarahan spontan
Hepatomegali
Laboratorium:
 Hematokrit / PCV (Packed Cell Volume) ↑ ≥ 20%
 Normal: PCV / Hct = 3 x Hb
 Trombosit ↓ ≤ 100.000/
 Lekopeni, kadang lekositosis ringan
 Waktu perdarahan memanjang
 Waktu protrombin memanjang

61
DIAGNOSIS
4 kriteria klinik & 2 kriteria laboratorik → syarat bila kriteria laboratorik terpenuhi ditambah minimal
2 kriteria klinik (satu diantaranya = panas) [WHO]

Kriteria Klinik
1. Demam ↑ : mendadak & terus menerus selama 2-7 hari dengan sebab tidak jelas &
hampir (-) dipengaruhi oleh antipiretika maupun surface cooling
2. Manifestasi perdarahan
Manipulasi : uji torniquet +
Spontan : petekie, ekimose, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis /
melena
3. Hepatomegali
4. Syok : nadi yg lemah & cepat sampai (-) teraba
Diastolik : ↓ jadi 20 mmHg / sampai nol
Sistolik : ↓ jadi 80 mmHg / sampai nol
Kulit lembap & dingin, terutama pada ujung jari tangan, kaki & hidung
Penderita lemah, gelisah sampai ↓ kesadaran & (+) sianosis disekitar mulut.

Kriteria Laboratorik
1. Trombositopenia : jmlh trombosit ≤ 100.000/
2. Hemokonsentrasi : ↑ nilai hematokrit / Hb ≥ 20 % dibandingkan dengan nilai pada masa
konvalesen / dibandingkan dengan nilai Hct / Hb rata-rata pada anak
di daerah tersebut

Mengingat derajat beratnya penyakit bervariasi & sangat erat kaitannya dengan pengelolaan &
prognosis
WHO membagi DBD 4 derajat setelah kriteria laboratorik terpenuhi:
Derajat
1. I : Demam mendadak 2-7 hari disertai gejala (-) khas,
satu-satunya manifestasi perdarahan : tes torniquet +
2. II : Derajat I + perdarahan spontan di kulit / perdarahan yang lain
3. III : Derajat II + kegagalan sirkulasi ringan : denyut nadi cepat, lemah,
dengan tekanan nadi yang menurun (20 mmHg / kurang) / hipotensi (sistolik ≤ 80
mmHg) + kulit yang dingin, lembap, & penderita gelisah
4. IV : Derajat III + syok berat : nadi yang tidak teraba & tekanan darah yg
tidak terukur dapat disertai dengan pe↓ kesadaran, sianosis & asidosis

62
Derajat I & II: DHF / DBD tanpa renjatan, sedangkan derajat III & IV adalah DHF / DBD dengan
renjatan atau DSS

PENGOBATAN
Demam berdarah dengue tanpa disertai syok, pengobatannya hanya bersifat simptomatis &
supportif:
1. Pemberian cairan yg cukup
 Cairan untuk mengurangi rasa haus & dehidrasi akibat demam ↑, anoreksia &
muntah.
 Penderita perlu diberi minum >> mungkin (1-2 liter dalam 24 jam) sebaiknya oralit,
dapat juga : air teh dengan gula, jus buah, minuman ringan, sirup / susu.
 Pada beberapa penderita dapat diberikan oralit
2. Antipiretik
 Seperti golongan asetaminofen (parasetamol),
 Kontraindikasi antipiretik golongan salisilat → menyebabkan bertambahnya
perdarahan
3. Surface cooling
4. Antikonvulsan
Bila penderita kejang dapat diberikan:
 Diazepam (Valium)
 Fenobarbital (Luminal)

PROGNOSIS
Bila (-) renjatan, dalam 24-36 jam → prognosis jadi baik.
Kalau > 36 jam belum ada tanda perbaikan → kemungkinan sembuh kecil & prognosis
buruk.

63
DENGUE SHOCK SYNDROME

DEFINISI : Syok pada penderita DHF

INSIDEN
Sumarmo ; Jakarta (1973-1978) : penderita DSS terutama umur 1-4 tahun
Wong ; Singapur (1973) : penderita DSS terutama umur 5-10 tahun
Manado : penderita DSS terutama umur 4-6 tahun
1983 : penderita DSS terutama umur 6-8 tahun
(-) perbedaan antara jenis kelamin
Kematian > ♀ daripada ♂

PATOFISIOLOGI
↑ permeabilitas dinding pembuluh darah mendadak → perembesan plasma & elektrolit
melalui endotel dinding pembuluh darah & masuk ke ruang interstisial terjadi :
 Hipotensi
 Hemokonsentrasi
 Hipoproteinemia
 Efusi cairan ke rongga serosa
Syok hipovolemia bila tidak segera diatasi → anoksia jaringan, asidosis metabolik
sehingga terjadi pergeseran ion kalium intraselular ke ekstraselular.
Sebab kematian penderita DSS : perdarahan hebat saluran pencernaan, timbul setelah
syok berlangsung lama & (-) diatasi adekuat.
Perdarahan disebabkan oleh:
 Trombositopenia hebat : trombosit mulai ↓ pada masa demam & mencapai nilai
terendah pada masa syok
 Gangguan fx trombosit
 Kelainan sistem koagulasi, masa tromboplastin partial, masa protrombin
memanjang sedangkan sebagian besar penderita didapatkan masa trombin normal.
Beberapa faktor pembekuan ↓ (faktor II, V, VII, IX, X & fibrinogen)
 Disseminated Intravascular Coagulation / DIC
Pada masa dini DBD, peranan DIC tidak menonjol dibandingkan perembesan plasma.
Namun bila penyakit memburuk → terjadi syok & metabolik asidosis → syok mempercepat
DIC sehingga peranannya akan menonjol.
Renjatan & DIC → saling mempengaruhi sehingga terjadi renjatan yg irreversibel disertai
perdarahan hebat organ-organ vital → kematian.

64
MANIFESTASI KLINIK
DSS (klasifikasi WHO) : DHF derajat III & IV / DHF dengan tanda kegagalan sirkulasi
sampai tingkat syok

Syok
Biasa terjadi saat / setelah demam ↓ (antara hari ke 3 & ke 7) bahkan dapat terjadi pada
hari ke 10
Syok pada saat demam mulai ↓ → dapat diterangkan dgn hipotesis ↑ rx imunologis

Manifestasi klinik renjatan pada anak terdiri atas:


1. Kulit pucat, dingin, & lembap → pada ujung jari kaki, tangan & hidung
2. Anak rewel, cengeng, & gelisah lambat laun kesadarannya ↓ jadi apatis, sopor & koma
3. Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya
4. Diastolik ↓ ≤ 20 mmHg
5. Sistolik ↓ ≤ 80 mmHg
6. Oliguria - anuria

Berdasarkan gangguan sirkulasi diatas, sebagian ahli membagi renjatan atas:


1. Renjatan berat (profound shock):
BP (-) dapat diukur & nadi (-) teraba
2. Renjatan sedang:
Diastolik ↓ ≤ 20 mmHg & Sistolik ≤ 80 mmHg
3. Renjatan ringan:
Sistolik mulai ↓ , Diastolik tetap normal / sedikit rendah

Munir & Rampengan membagi renjatan jadi:


1. Syok ringan / tingkat 1 (impending shock) :
Gejala & tanda-tanda syok + Diastolik jadi 20 mmHg
2. Syok sedang / tingkat 2 (moderate shock) :
Tingkat 1 + Diastolik < 20 mmHg, tp belum sampai nol + ↓ tekanan sistolik jadi < 80
mmHg, tp belum sampai nol.
3. Syok berat / tingkat 3 (profound shock) :
BP tidak terukur / nol, tetapi (-) sianosis / asidosis
4. Syok sangat berat / tingkat 4 (moribund cases) :
BP tidak terukur lagi + sianosis & asidosis..

65
Panas
Penderita DSS → didahului oleh panas
Suhu penderita DSS → banyak dijumpai pada suhu ± 37°C
 terendah 36,2°C
 tertinggi 40,8°C
Panas : punya nilai prognostik pada penderita DSS
Bila syok terjadi pada suhu tubuh > 39°C → prognosis jelek.

Hepatomegali
Ada korelasi antara hepatomegali dengan derajat berat penyakit
Tapi pembesaran hati tidak sejajar beratnya penyakit.

MANIFESTASI PERDARAHAN
Bervariasi dari paling ringan berupa uji torniquet + sampai perdarahan spontan berupa
petekie dengan lokasi biasanya tersebar di seluruh tubuh, tersering di anggota gerak
terutama anggota gerak bawah, muka & axilla.
Ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran pencernaan berupa
hematemesis / melena

MANIFESTASI KLINIK LAIN


Nyeri perut : salah satu keluhan yang timbul sebelum syok, waspada akan gejala
nyeri perut, apalagi berat → seringkali mendahului terjadinya perdarahan
dalam slauran pencernaan.
Nyeri perut ini terutama di epigastrium
Anoreksia : kembalinya nafsu makan dapat dipakai sebagai tanda bahwa penderita
sudah sembuh.
Muntah-muntah
Diare / obstipasi
Kejang-kejang
Pleural efusion: adanya bendungan pembuluh darah paru (pulmonary vascular
congestion) dengan efusi pleura terutama pada paru sebelah kanan
Ascites
Cefalgia
Gambaran EKG yg abnormal

66
LABORATORIUM
Hemokonsentrasi:
 ↑ nilai hematokrit > 20%.
 ↑ hematokrit sangat berhubungan dengan beratnya syok.
 Hemokonsentrasi selalui mendahului perubahan BP & nadi
Pemeriksaan hematokrit secara berkala → menentukan saat tepat untuk
mengurangi / menghentikan pemberian cairan parenteral / saat pemberian darah.
Trombositopenia:
 ↓ trombosit ≤ 100.000/ .
 ↓ trombosit berkorelasi dengan beratnya penyakit
 Tetapi trombosit yang sangat rendah → tidak selalu berkorelasi dengan beratnya
perdarahan.
Sediaan hapusan darah tepi:
(+) fragmentosit → hemolisis.
Sumsum tulang:
(+) hipoplasi sistem eritropoetik disertai hiperplasi sistem RE & (+) makrofag dengan
fagositosis daripada bermacam-macam jenis sel.
Kelainan elektrolit:
 Hiponatremia kadar Natrium dalam darah 135 mEq/l.
75% penderita DSS terdapat hiponatremia.
hiponatremia akibat beberapa faktor → kebocoran plasma, anoreksia, keluarnya
keringat, muntah & intake yang kurang. Selain itu deplesi garam akibat metabolisme
yang ↑ selama demam & ekskresi urin <.
 Hiperkalemia
 Hipokloremia ringan
 Asidosis metabolik ringan dengan alkalosis kompensatoar
 Osmolalitas plasma sangat ↓
 Tekanan koloid onkotik ↓
 Protein plasma sangat ↓
 Serum transaminase sedikit ↑

DIAGNOSIS
Diagnosis DHF / DSS → patokan oleh WHO (4 kriteria klinik & 2 kriteria laboratorik) dengan syarat
bila kriteria laboratorik terpenuhi ditambah minimal 2 kriteria klinik ( 1 diantaranya ialah panas)
Derajat I & II : DHF tanpa renjatan
Derajat III & IV : DHF dengan syok / DSS

67
Tanda & gejala yang perlu diperhatikan dalam diagnosis klinik penderita DSS:
1. Clouding of sensorium
2. Tanda-tanda hipovolemia → akral dingin, tekanan darah menurun
3. Nyeri perut
4. Tanda-tanda perdarahan di luar kulit → epistaksis, hematemesis, melena, hematuri &
hemoptisis
5. Trombositopenia berat
6. (+) pleural efusion pada foto toraks
7. Tanda-tanda miokarditis pada EKG

PENGOBATAN / PENATALAKSANAAN PENDERITAAN


Dasar penatalaksanaan penderita DHF:
Penggantian cairan yg hilang akibat kerusakan dinding kapiler yg menimbulkan ↑
permeabilitas → mengakibatkan kebocoran plasma (plasma leakage).
Perlu juga obat penurun panas.

Pemberian cairan
Pemberian cairan oral: cegah dehidrasi.
Apabila oral tidak dapat diberikan → cairan iv rumatan perlu diberikan.
Antipiretik kadang diperlukan → antipiretik (-) mengurangi lama demam pada DHF.
Parasetamol → mempertahankan suhu < 39°C
Rasa haus & keadaan dehidrasi timbul sebagai akibat demam ↑, anoreksia & muntah.
Jenis minuman yg dianjurkan → jus buah, teh manis, sirup, susu, & larutan oralit.
Pasien perlu diberi minum : 50 mL/kg BB dalam 4-6 jam pertama
Setelah keadaan dehidrasi teratasi → diberi cairan rumatan 80-100 mL/kgBB dalam 24 jam
berikutnya.
Bila terjadi kejang demam di samping antipiretik → fenobarbital 5 mg/kgBB dibagi dalam 3
dosis selama masih demam.
Pasien harus diawasi secara ketat terhadap kemungkinan syok.
Periode krisis : waktu transisi saat suhu ↓ pada demam (hari ke 3 - ke 5)
Pemeriksaan kadar Hematokrit berkala :
pemeriksaan terbaik untuk pengawasan hasil pengobatan yaitu menggambarkan derajat
kebocoran plasma & pedoman kebutuhan cairan intravena.
Hemokonsentrasi → terjadi sebelum dijumpai perubahan BP & tekanan nadi.
Hematokrit harus diperiksa minimal 1 x dari hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali.
Bila pemeriksaan hematokrit (-) ada, pemeriksaan hemoglobin → dipergunakan walau tidak
terlalu sensitif

68
Penggantian volume cairan pada DHF
Dasar patogenesis DHF : perembesan plasma, pada fase pe↓ suhu
(fase afebris, fase kritis, fase syok)
Dasar pengobatannya : penggantian volume plasma yg hilang.
Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok
mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit).
Tetesan 24-48 jam berikutnya → harus selalu disesuaikan dgn :
 Tanda vital
 Kadar hematokrit
 Jumlah volume urin
Secara umum volume cairan yang dibutuhkan → jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%

Cairan intravena diperlukan apabila:


1. Anak terus-menerus muntah, (-) mau minum, demam ↑ sehingga tidak mungkin diberi
minum, ditakutkan terjadi dehidrasi yang mempecepat terjadi syok.
2. Nilai hematokrit cenderung me↑ pada pemeriksaan berkala.
3. Apabila terdapat ↑ hemokonsentrasi 20% / > → komposisi jenis cairan yg diberikan harus
sama dengan plasma.
Volume & komposisi tersebut dapat sesuai seperti cairan untuk dehidrasi pada diare ringan
sampai sedang = cairan rumatan + defisit 6% (5-8%) seperti tertera tabel 1 :

4. Pemilihan jenis & volume cairan yg dipelukan bergantung pada umur & berat badan pasien
serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi yang terjadi. Pada
anak yang gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal anak umur yg
sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungkan seperti pada tabel 2

5. Mis: anak dengan BB 40 kg, cairan rumatan : 1500 + (20x20) = 1900 mL.
Jumlah cairan rumatan diperhitungkan untuk 24 jam.

69
Oleh karena kecepatan perembesan plasma (-) konstan, (perembesan plasma terjadi lebih
cepat pada saat suhu ↓), volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan &
kehilangan plasma → yg diketahui dari pemantauan kadar Hematokrit.
Perlu diperhatikan bahwa penggantian volume yang berlebihan & terus menerus setelah
perembesan plasma berhenti → menyebabkan edema paru & distres pernapasan, karena
pada fase konvalesen terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskuler.
6. Pasien harus dirawat & segera diobati bila (+) tanda-tanda syok → gelisah, letargi / lemah,
ekstremitas dingin, berkeringat dingin, bibir sianosis, oliguri, nadi lemah, tekanan nadi
menyempit (20 mmHg / <) / hipotensi, pe↑ mendadak kadar Hematokrit / kadar Hematokrit
yg ↑ terus-menerus walaupun telah diberi cairan intravena.

Jenis cairan (yg direkomendasikan WHO)


Kristaloid:
Larutan ringer laktat (RL) / dekstrosa 5% dalam ringer laktat (D5/RL)
Larutan ringer asetat (RA) / Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)
Larutan NaCl 0,9% (garam faal = GF) / dekstrosa 5% dalam larutan garam faal (D5/GF)
Koloid:
Dekstran 40
Plasma

PENATALAKSANAAN PENDERITA TERSANGKA DHF


Awal perjalanan, penyakit tanda / gejala DHF (-) spesifik.
Gejala awal DHF: Demam ↑ mendadak tanpa sebab jelas, terus-menerus, badan lemah / lesu.
Pertama-tama ditentukan terlebih dahulu:
1. Adakah tanda kedaruratan → tanda syok (gelisah, napas cepat, bibir biru, tangan & kaki
dingin, kulit lembap), muntah terus-menerus, kejang, kesadaran ↓, muntah darah,
berak darah → pasien perlu dirawat
2. Apabila (-) tanda kedaruratan → periksa uji torniquet & hitung trombosit
Bila uji torniquet (+) dan atau trombosit > 100.000 mL / normal → pasien boleh pulang
dengan pesan untuk datang kembali setiap hari sampai suhu ↓.
Pasien dianjurkan minum banyak seperti teh manis, susu, sirup, oralit, jus buah & lain-lain
serta diberikan obat antipiretik (gol parasetamol)
Bila keadaan memburuk (gelisah, ujung jari kaki / tangan dingin) → segera bawa ke RS.
3. Jika dalam 2 hari demam (-) ↓ / timbul tanda / gejala lanjut seperti perdarahan, muntah,
gelisah, lemah → dianjurkan segera dibawa berobat ke dokter / ke puskesmas / RS

70
71
PENATALAKSANAAN PENDERITA DHF DERAJAT I
Pemberian cairan
Minum > 1,5 -2 L/ hari / 1 sendok makan tiap 3-5 menit.
Minuman berupa teh manis, sirup, susu, sari buah, soft drink / oralit

Obat-obatan lain atas indikasi:


Bila terdapat hiperpireksia (suhu > 39,5°C) → berikan obat antipiretik, dianjurkan
parasetamol
Kontraindikasi : asetosal / salisilat kontraindikasi
Kompres hangat
Bila kejang → Obat antikejang
Perhatikan tanda klinis, bila demam menetap setelah hari ketiga sakit,
Periksa Hb, Ht, trombosit berkala minimal tiap 24 jam, selama masih demam, terutama
pada hari ketiga sakit & seterusnya

Perawatan diperlukan bila:


(-) mau / (-) bisa minum
Muntah terus menerus
Hematokrit ↑ dan atau trombosit ↓ pada pemeriksaan berkala
Berikan cairan rumatan dekstrosa 5% + 1/2 larutan NaCl 0,9% 3-5 mL/kgBB/jam /
kebutuhan rumatan ditambah 5%

72
PENATALAKSANAAN PENDERITA DHF DERAJAT II

73
PENATALAKSANAAN PENDERITA DSS / DHF DERAJAT III & IV
DSS: DHF dengan gejala gelisah, napas cepat, nadi teraba kecil, lemah / tidak teraba,
tekanan nadi menyempit (misalnya, sistolik 90 & diastolik 80 mmHg, jadi tekanan nadi ≤ 20
mmHg), bibir biru, tangan kaki dingin, tidak ada produksi urin.

74
KOMPLIKASI
Gangguan keseimbangan elektrolit
Gangguan keseimbangan elektrolit biasanya dijumpai pada fase leakage / kritis
Paling sering : hiponatremia & hipokalsemia, hipokalemia sering pada fase konvalesen.
1. Hiponatremia :
 karena intake yang tidak cukup & mendapat cairan yang hipotonik misalnya N/2
atau N/3.
 Jika penderita (-) kejang → tidak perlu diberikan NaCl 3%, tetapi cukup diberikan
NaCl 0,9% / RL-D5% / RA-D5%
2. Hipokalsemia :
 karena leakage Ca mengikuti albumin ke ruangan peritoneum & pleura.
 Diobati dengan Ca glukonas 10% sebanyak 1 mL/kgBB/kali (maksimal 10 mL)
diencerkan & diberi iv perlahan-lahan dapat diulangi tiap 6 jam hanya pada
penderita resiko tinggi / yang mungkin akan mengalami komplikasi, mis: derajat IV
& penderita dengan overhidrasi

Overhidrasi
Komplikasi overhidrasi dapat dijumpai, baik pada fase kritis & fase konvalesen.
Komplikasi ini serius → karena dapat menyebabkan edema paru akut & atau gagal jantung
kongestif, yang berakhir dengan gagal napas & kematian.
Mencegah komplikasi → pengawasan ketat & sesuaikan kecepatan cairan iv ke jumlah
minimal untuk mempertahankan volume sirkulasi.

Penyebab tersering dari overhidrasi:


Terapi iv yang terlalu dini sejak fase demam
Penggunaan cairan hipotoni (N/2 , N/3)
(-) mengurangi kecepatan pemberian cairan iv & (-) menghentikan iv pada fase konvalesen
(-) menggunakan cairan koloid saat indikasi penggunaannnya
(-) menggunakan cairan koloid secara efektif (hiperonkotik / koloid plasma ekspander)
(-) memberikan transfusi darah saat diperlukan & hanya memberikan cairan kristaloid &
koloid
(-) menghitung jumlah cairan iv sesuai BB ideal pada penderita gemuk / overweight

75
Gejala & tanda overhidrasi:
Distress pernapasan, dispnea & takipnea
Abdomen sangat distended dengan asites yg masif
Nadi cepat (biasanya pengisiannya kuat)
Penyempitan tekanan nadi pada beberapa penderita disebabkan me↑ tekanan
intraabdominal & intratorakal.
Kebanyakan penderita overhidrasi → BP ↑ & tekanan nadi yang lebar.
Krepitasi dan atau ronki kedua lapangan paru.
Perfusi jaringan yang jelek / capillary refill lambat > 3 detik, ditemukan pada beberapa
penderita dengan ancaman gagal napas → disebabkan efusi pleura dan atau asites masif.

Penatalaksanaan penderita overhidrasi


Penatalaksanaan ideal overhidrasi :
mengeluarkan kelebihan jumlah cairan dalam rongga pleura & abdomen yang
menyebabkan distres pernapasan, tetapi cara ini hampir tidak mungkin dikerjakan.
Secara praktis diberikan diuretika iv, dianjurkan furosemida namun bila penderita masih
berada dalam fase aktif plasma leakage, dapat terjadi syok setelah pemberian furosemida.
Hal yg sangat penting dalam penanganan overhidrasi :
mengetahui secara tepat waktu setelah syok / leakage plasma. Jika penderita berada
dalam waktu 24 jam setelah syok / dalam 48 jam setelah leakage plasma, harus hati-hati →
dapat menyebabkan syok setelah pemberian furosemida.
Larutan koloid Dekstran 40% diberikan sebanyak 10 mL/kgBB/jam untuk 10-15 menit,
sebaiknya diberikan pada penderita syok. Jika penderita telah melewati fase leakage
plasma, penderita tersebut jarang terjun dalam syok & akan terjadi diuresis.
Pemberian diuretik yg terlalu sering → menimbulkan gangguan keseimbangan elektrolit,
tidak jarang terjadi hiponatremia & hipokalemia.
Kemungkinan terjadi perdarahan internal pada penderita overhidrasi harus selalu diingat.
Bila pada periode ini PCV jelas ↓ → transfusi PRC 5 mL/kgBB/kali.

76
Penderita dengan overhidrasi harus diobservasi ketat & intensif.
Langkah penatalaksanaannya adalah sbb:
1. Ganti cairan iv dengan dekstran 40 dengan kecepatan yg disesuaikan
2. Pasang kateter urin dengan sangat hati-hati
3. Berikan furosemida 1 mg/kg/dosis iv.
Tanda-tanda vital harus dimonitor tiap 15 menit paling lambat dalam 1 jam setelah
pemberian furosemida & observasi tanda-tanda syok → gelisah, nyeri perut mendadak,
muntah, gangguan perfusi jaringan.
4. Jika penderita menunjukkan gejala syok, Dekstran 40 diberikan 10 mL/kgBB/jam dalam
waktu 10-15 menit / sampai penderita stabil biasanya tidak > 30 menit.
5. Catat jumlah urin dalam mL/jam & sesuaikan kecepatan dekstran 40 sesuai dengan jumlah
urin (0,5 mL/kgBB/jam adalah cukup untuk periode leakage)
6. Furosemida dapat diulangi sebanyak diperlukan jika penderita masih menunjukkan problem
respirasi.
7. Pasang CVP → bila penderita tidak stabil & tidak beraksi terhadap furosemid.
8. Pasang intubasi bila distres pernapasan berat sebelum / sesudah pemberian furosemida
9. Pada penderita yang bahkan dengan bantuan ventilasi tidak dapat mempertahankan
oksigenasi yang adekuat diindikasikan untuk melakukan tap pleura / peritoneum.
Prosedur invasif ini hanya dianjurkan bila tidak ada pilihan lain → krn dapat menyebabkan
perdarahan masif & kematian

Manifestasi yg tidak lazim dari DHF / DSS


< 5% DHF / DSS disertai manifestasi yang tidak lazim berupa:
Ensefalopati / ensefalitis. Penderita biasanya gelisah, iritabel / koma. Pemeriksaan
neurologis menunjukkan hiperefleksia, Babinski +
Gagal hepar disertai ikterus
Gagal ginjal dapat disebabkan oleh syok lama, hepatorenal sindrom & hemoglobinuria
Infeksi kombinasi disebabkan oleh infeksi dengue disertai infeksi lain
Kondisi yang mendasari disebabkan oleh infeksi dengue pada penderita Thalasemia,
defisiensi G6PD & penyakit jantung kongenital

77
Penyebab ensefalopati yang sering:
Hepatik ensefalopati
 Syok berat menyebabkan hipoksia & iskemia, dapat terjadi bila penatalaksanaan
kurang baik, misalnya overhidrasi
 Inborn error of metabolisme misalnya sindrom Reye
 Penggunaan obat hepatotoksik
 Penyakit hepar yang mendasari, misalnya karier hepatitis B, talasemia
Imbalans elektrolit seperti hiponatremia, hipokalsemia
Gangguan metabolisme, misalnya hipoglikemia
Perdarahan intrakranial, trombosis / iskemia serebral.

Penanganan DHF / DSS dengan hepatik ensefalopati


Pertahankan airway & oksigenasi yang cukup. Penunjang ventilasi untuk penderita tidak
sadar
Cegah pe↑ TIK :
 Batasi jumlah cairan iv seminimal mungkin untuk pertahankan volume intravaskuler
 Berikan furosemid dan atau deksametason pada penderita dengan peningkatan
tekanan intrakranial
Cegah hipoglikemia → mempertahankan kadar glukosa darah > 60 mg%
Me↓ produksi ammonia :
 Laktulosa 5-10 mL 3-4 kali sehari untuk osmotik diare
 Neomisin 50 mg/kg/hari (maksimal 1 gram / hari), tidak perlu bila penderita
mendapat antibiotik sistemik
Vitamin 3-10 mg iv tiap hari selama 3 hari & dilanjutkan 2x seminggu
Koreksi metabolik asidosis bila ada
Koreksi gangguan keseimbangan cairan & elektrolit bila ada; sering berupa hipokalsemia &
hiponatremia
Transfusi PRC bila ada indikasi
Sistemik antibiotika bila infeksi bakteri tidak dapat disingkirkan
Berikan bloker pada penderita dengan perdarahan gastrointestinal
Hindari pemberian obat yg tidak perlu
Transfusi tukar bila klinis memburuk disertai peningkatan SGPT / SGOT
Plasmaferesis, hemodialisis, hemofiltrasi / dialisis peritoneal khusus pada penderita dengan
gagal ginjal & overhidrasi
Berikan asam amino rantai panjang dalam fase penyembuhan

78
Penderita DHF / DSS dengan gagal ginjal
Penyebab gagal ginjal pada penderita DHF / DSS :
Syok lama, hemolisis akuta dengan hemoglobinuria pada penderita defisiensi G6PD /
hemoglobinopati.
Pedoman penatalaksanaan penderita DHF / DSS dengan hemolisis akut & hemoglobinuri:
Transfusi darah jika diperlukan,PRC / WB bergantung pada tingkat penyakit. Pada fase
febris dianjurkan PRC. Pada fase krisis / leakage dianjurkan whole blood
Jumlah & kecepatan cairan iv disesuaikan dengan tingkat DHF / DSS
Alkalinisasi urin dilaksanakan pada penderita yang memerlukan

Infeksi penyerta
Infeksi dengue endemis terjadi dibanyak daerah sehingga bisa dijumpai penderita infeksi
dengue bersama dengan infeksi lain di daerah tersebut.
Diagnosisnya → lebih sulit karena kombinasi infeksi dengue dengan infeksi lain.
DHF / DSS lebih unik karena plasma leakage yang khas & trombositopenia.
Infeksi penyerta yang sering : campak, varisela, tifoid, infeksi saluran kemih,
mikoplasma pneumonia

Jika penderita DHF / DSS tetap panas tinggi setelah syok, harus dicari:
Infeksi penyerta sebelum dirawat
 Infeksi gastrointestinal, salmonela paling sering
 Infeksi saluran napas, misalnya penumonia
 Infeksi saluran kemih
 Infeksi kulit & jaringan lunak
Infeksi nosokomial
 Tromboflebitis
 Penumonia
 Infeksi saluran kemih, terutama yang berhubungan dengan kateter.
Lain-lain yang tidak langsung berhubungan dengan infeksi:
 Rx transfusi
 Hepatitis
 Perdarahan gastrointestinal yang masif
 Rx obat-obatan

Penyebab kematian pada DHF / DSS


Syok lama, Overhidrasi, Perdarahan masif, DHF / DSS dengan manifestasi yg tidak lazim

79
IMUNISASI

80
INTRO

Tujuan Pengembangan Program Imunisasi (PPI):


1. ERAPO (Eradikasi Polio)
2. MNTE (Maternal & Neonatal Tetanus Elimination)
3. RECAM (Reduksi Campak)
4. Pe↑ mutu pelayanan Imunisasi
5. Menetapkan standar pemberian suntikan yang aman
6. Keamanan Pengolahan Limbah Tajam

Strategi ERAPO
1. Mencapai cakupan imunisasi rutin yang tinggi & merata
2. Melaksanakan imunisasi tambahan (PIN) minimal 3 tahun berturut-turut
3. Mengadakan surveilans AFP (Acute Flaccid Paralysis) yang ditunjang dengan pemeriksaan
laboratorium
4. Melaksanakan mopping up (imunisasi polio massal)

Vaksin
Life attenuated : Campak, MMR, Polio oral (OPV), BCG, Thyphoid oral, Rotavirus
Inactivated : DPT, Hep B, IPV, Hepatitis A, Tetanus, Pneumococcus, Vaksin HiB
Rekombinan : Vaksin Hep B, Tifoid Ty-21a, Rotavirus

Saat Hamil, imunitas ↓ sehingga pemberian vaksin ditakutkan dapat membahayakan janin
namun American Academy of Pediatrics) menyatakan imunisasi untuk ibu hamil dapat
diberikan jika:
1. Vaksin tidak mengandung virus aktif yang dapat membahayakan janin
2. Resiko ibu & janin terekspos penyakit sangat ↑ (misal tinggal di daerah endemi)

Vaksin yg biasa diberikan untuk ibu hamil


1. Vaksin tetanus (Tetanus toxoid)
2. Vaksin influenza
3. Vaksin Hepatitis B

81
HEPATITIS B

Umur Pemberian : Lahir, 1 bulan, 6 bulan


Isi : Partikel HbsAg non infeksius
Sediaan : Cairan jernih & agak keruh dalam botol 5 ml
Dosis : 0,5 ml
Penyimpanan : Suhu 2-8°C , tidak beku

Pemberian :
Intramuskular
Neonatus : paha antero-lateral kanan
Anak : deltoid kanan

ES :
Demam ringan (1-2 hari)
Nyeri anafilaktik syok

Kontra Indikasi : (-) yang absolut

Sasaran vaksin :
1. Semua bayi tanpa memandang status HBV ibu
2. Individu yang kontak dengan pasien HBV (+)
3. Drug user
4. Pasien Hemodialisis dosis >>>
5. Kelainan seksual
6. Individu resiko tinggi tertular
7. Pasien penerima transfusi
8. Kelainan seksual (Homoseksual, Biseksual, Heteroseksual)

Tambahan :
HbsAg ibu tidak diketahui → bayi diberi vaksin Hepatitis B 24 jam pasca lahir
HbsAg ibu + → bayi diberi vaksin Hepatitis B + HbIg 0,5 ml pada sisi yang berlainan
HbsAg ibu - → bayi langsung diberi vaksin Hepatitis B
Jika setelah pemberian ke 1 putus berikan yang ke 2 segera & berikan yang ke 3 2 bulan
setelahnya. Bila dosis ke 3 terlambat berikan segera mungkin.
Bayi prematur → tunggu hingga berat 2000 g

82
Catch up immunization :
Upaya imunisasi pada anak / remaja yg belum pernah diimunisasi / terlambat > 1 bulan dari
jadwal
Non-respondent :
Tidak respon dengan vaksin primer, perlu vaksin tambahan, bila sudah 3x diberi vaksin
tambahan tidak terjadi serokonversi tidak perlu imunisasi lagi.
Imunisasi pasif (HbIg) → diberikan pada ibu HBsAg (+), kecelakaan jarum suntik,
paparan darah / seksual dengan pasien HBsAg (+) 0,6 ml/kg/x dalam 2 minggu, lama
proteksi 3-6 bulan

83
POLIO

Umur pemberian : lahir, 2 bulan, 4 bulan,


Isi :
1. OPV (Oral Polio Vaccine)
Virus polio tipe 1, 2, 3 dilemahkan
Dibiakkan di ginjal kera
Distabilkan dengan sukrosa, eritromisin, kanamisin
2. IPV (Inactivated Polio Vaccine)
Virus polio tipe 1, 2, 3 yang tidak hidup, neomisin, streptomisin, polimiksin β

Sediaan :

Dosis :
1. OPV (Oral Polio Vaccine) → 2 tetes, kocok dulu, ujung pipet jangan nyentuh mulut
2. IPV (Inactivated Polio Vaccine) → 0,5 cc sc , 3x dengan jarak 2 bulan

Penyimpanan :
1. OPV (Oral Polio Vaccine) → bila masih segel bisa tahan ≤ -20°C, Bila terbuka : 2-8 °C
2. IPV (Inactivated Polio Vaccine) → 2-8 °C

Pemberian :
1. OPV (Oral Polio Vaccine) → oral
2. IPV (Inactivated Polio Vaccine) → sc , im

ES : umumnya (-)

Kontraindikasi :
1. OPV (Oral Polio Vaccine)
Demam
Hamil < 4 bulan
Penyakit akut
Imunodefisiensi
Diare → vaksin tidak optimal
Keganasan
2. IPV (Inactivated Polio Vaccine)
Dapat diberikan pada anak sehat maupun immunocompromised
Dapat sebagai imunisasi dasar maupun ulangan
84
Keuntungan OPV
1. Merangsang terbentuknya imun lokal di saluran cerna
2. Merangsang sIgA (secretory IgA) dalam darah

Setelah OPV
1. Anak jangan minum ASI selama 2 jam setelah vaksin pemberian vaksin diharapkan
melindungi mukosa oral (Tempat masuknya virus polio)
2. Anak akan ekskresi virus selama 6 minggu & infeksius BAHAYA menular ke orang lain
Anak < 1 tahun belum vaksin lengkap ditawarkan OPV dari awal dengan interval 4-8 minggu

Kerugian IPV
Imunitas mukosa yang diberikan lebih lambat & rendah

85
BCG (Bacillus Calmett Guerin)

Umur pemberian : ≤ 2 bulan, Umur > 2 bulan mantoux tes dulu → (+) TB langsung tx OAT
Isi : Mycobacterium bovis yang dilemahkan
Sediaan : bubuk kering dalam botol coklat gelap
(agar tidak terkena sinar matahari)
Dosis :
< 1 tahun : 0,05 ml dilarutkan dalam 4 ml NaCl 0,9%
> 1 tahun : 0,1 ml dilarutkan dalam 2 ml NaCl 0,9%
Dapat dipakai 40-50 orang.
Bila dosis terlalu besar → Ulkus besar
Bila terlalu dalam → Ulkus retracted
Penyimpanan :
Suhu 2-8°C
(-) beku
(-) kena sinar matahari langsung maupun tidak langsung.
(-) boleh kena panas
Setelah dicampur bertahan 3 jam

Pemberian : Intrakutan ; lokasi 1/3 lengan atas kanan atau deltoid


ES :
BCGitis
Abses
Limfadenitis suppuratif

KontraIndikasi :
Uji Mantoux (+) → ≥ 5 mm
HIV / Immunodefisiensi
TB aktif / pernah TB
Gizi buruk
Demam ↑
Infeksi kulit luas
Ibu dengan TB saat hamil

Tujuan BCG :
Efek protektif → tidak untuk cegah terkena TB tp untuk efek proteksi komplikasi lebih lanjut
Screening TB → TB (+) jk ada rx kemerahan 3-7 hari pasca vaksin

86
DTP
(Difteri Pertusis Tetanus)

Umur Pemberian :
Usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 18-24 bulan, 5 tahun, 10-12 tahun (Td), 18 tahun (Td)

Isi :
Toxoid difteri
Toxoid tetanus
Bakteri pertusis dimatikan
Whole cell (DTwP) : demam
Aseluler (DtaP) : tidak demam (tidak ada endotoksin debris)

Sediaan :

Dosis : 0,5 ml

Penyimpanan : Suhu 2-8 °C, jangan beku, jangan kena panas, pertusis paling mudah rusak.

Pemberian : im lokasi :
1. Anak < 2 tahun → paha kiri
2. Anak > 2 tahun → pantat

Efek Samping :
Panas
Nyeri tempat suntikan
Kejang
Radang

Kontraindikasi :
DPT 1 panas > 38 °C
DPT 2 : rx berlebihan setelah imunisasi 1 → untuk imunisasi berikutnya beri DT saja.
Batuk rejan

87
Tambahan :
DPT tidak diberikan saat usia 2 bulan karena respon terhadap pertusis tidak optimal
Kenapa setelah vaksin pertama harus diulang? karena 1x vaksin tidak memberikan
kekebalan protektif
TT: diberikan untuk calon pengantin 2x. interval 4 minggu → saat hamil pertama (trimester
1,2,3) dan saat hamil berikutnya 1x saja dosis 0,5 cc im di pantat.
TT untuk mencegah tetanus neonatorum
Rekomendasi WHO : 5 dosis TT untuk kekebalan seumur hidup

88
CAMPAK

Umur Pemberian : usia 9 bulan, 24 bulan, 6 tahun


Isi :
1. Virus campak dimatikan dalam larutan formalin + garam aluminium
(sudah tidak dipakai lagi)
2. Virus campak dilemahkan (biakan dalam embrio ayam, distabilkan dengan albumin) +
neomisin + kanamisin → tipe edmonston B

Sediaan :
bubuk kering
Macam :
1. Monovalen (campak saja)
2. Kombinasi (MMR)

Dosis : 0,5 ml

Penyimpanan :
Suhu 2-8 °C / 0 °C jangan beku
Jangan kena sinar matahari
Jangan kena panas
Vaksin yang sudah dibuka & dilarutkan tahan 6 jam

Pemberian :
SC
Lokasi : deltoid kiri
Dilarutkan dalam aquabidest 5cc untuk vial 10 dosis

Efek Samping :
Demam
Ensefalitis
Ruam
Kejang
Alergi

89
Kontraindikasi :
Demam > 38 °C
Riwayat kejang
Hamil
Sensitif kanamisin
Tx immunosupresan
Alergi telur
Pemberian jangan bersama Ig dan transfusi darah (tunda)

Bagaimana kondisi remaja / orang dewasa yang tidak dapat tertular campak?
Pernah sakit campak
Ada Antibodi terhadap campak
Riwayat mendapat vaksin campak

90
VARICELLA

Umur Pemberian : 1 tahun - 18 tahun (1x saja)

Isi : Virus hidup varicella zoster yang dilemahkan (live attenuated varicella vaccine)

Sediaan : bubuk kering → kurang stabil

Dosis : 0,5 ml

Penyimpanan : Suhu 2-8 °C

Pemberian : sc
Anak 1 x
> 13 tahun & immunocompromised 2x dosis dengan interval 1-2 bulan
Dapat diberikan bersama MMR
Kontak dengan varicella :
Vaksin dalam 72 jam setelah penularan, syarat kontak dipisah.

Efek Samping :
Rx lokal ringan (ruam papul vesikel, demam)
Pasien immunocompromised terjadi varicella berat Tx: Acyclovir

Kontraindikasi :
Demam tinggi
Limfosit < 1200
Tx Kortikosteroid dosis ↑
Alergi neomisin
Radioterapi

91
MMR
[MUMPS, MEASLES, RUBELLA]

Umur Pemberian : 15 bulan, 5-6 tahun

Isi : 3 virus yang dilemahkan (Mumps, Measles, Rubella)

Sediaan : bubuk kering

Dosis : 0,5 ml

Penyimpanan :
Suhu 2-8°C / 0 °C
Jangan kena sinar matahari
Tidak stabil → potensi cepat hilang pada suhu kamar
Harus digunakan 1 jam setelah dilarutkan

Pemberian :
sc / im
Ditambah pemberian neomycin 25 µg / 0,5 ml dosis

Efek Samping :
Demam, malaise, ruam (setelah 7 hari imunisasi)
Kejang demam
Ensefalitis, Meningoensefalitis
Edukasi ke orang tua, setelah vaksin dapat timbul demam 5-12 hari setelah vaksin → Paracetamol

Kontraindikasi :
Keganasan yang tidak diobati, Tx Kortikosteroid / radioterapi
Alergi berat gelatin & neomycin
Demam akut
Mendapat vaksin hidup lain (ex : BCG) dalam 4 minggu → tunda vaksin 1 bulan
Pemberian Ig / Transfusi darah tunda vaksin 3 bulan
Perempuan yang vaksin MMR , dianjurkan tidak hamil 3 bulan setelah vaksin → congenital
rubella syndrome

92

Anda mungkin juga menyukai