Anda di halaman 1dari 33

Portofolio Kasus Emergency

SYOK ANAFILAKTIK

Disusun oleh:

dr. Afifah Alfyanita

Pendamping:

dr. Eko Roza Mardian

PROGRAM DOKTER INTERNSIP

KEMENTERIAN KESEHATAN REOUBLIK INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PARIAMAN

2018
PORTOFOLIO KASUS EMERGENCY

Nama Peserta : dr. Afifah Alfyanita

Nama Wahana : RSUD Pariaman

Topik : Kasus Emergency

Nama : Ny. LHR

Tanggal Presentasi : 26 September 2018

Nama Pendamping : dr. Eko Roza Mardian

Tempat Presentasi : Ruang konferensi RSUD Pariaman

Objektif Presentasi : Keilmuan, Diagnostik, Manajemen

Bahan Bahasan : Kasus

Cara Membahas : Presentasi dan diskusi


PORTOFOLIO
SYOK ANAFILAKTIK
Topik : Kasus Emergency
Tanggal (Kasus) : 26 September 2018 Presenter : dr. Afifah Alfyanita
Tanggal Presentasi : 15 Oktober 2018 Pendamping : dr. Eko Roza M.
Tempat Presentasi : RSUD Pariaman
Objektif Presentasi :
ѵ Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia
Deskripsi : Pasien perempuan, 31 tahun datang dengan keluhan badan terasa
lemas sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit.
Tujuan : Diagnosis, tatalaksana, dan mengkaji kasus emergency.
Bahan Bahasan Tinjauan Riset Kasus Audit
: Pustaka
Cara Diskusi Presentasi dan Email Pos
membahas : Diskusi
Data Pasien Nama : Ny. LHR No. Reg : 14-86-74
Umur : 31 tahun
:
Pekerjaan : Karyawan
Alamat : Pariaman
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Nama Rumah Sakit: RSUD Pariaman Telp : Terdaftar
sejak :
Data utama untuk bahan diskusi :
1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
Perempuan, 31 tahun, datang dengan keluhan badan terasa lemas sejak 1 jam
sebelum masuk rumah sakit.
2. Riwayat Pengobatan : Belum diberikan pengobatan sebelumnya
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit :
Riwayat alergi obat TB 6 bulan yang lalu dan dirawat di RS Unand. Riwayat
didiagnosis dengan TB Paru 6 bulan yang lalu tapi tidak lanjut pengobatan
setelah menderita alergi rifampisin. Tidak pernah menderita penyakit hati,
jantung, paru, ginjal, diabetes mellitus, dan hipertensi.
4. Riwayat Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit keturunan, menular, dan
kejiwaan. Riwayat alergi di keluarga (+), yaitu adik pasien dengan riwayat
alergi obat TB.
5. Riwayat Pekerjaan : Pasien adalah seorang karyawan RS Swasta
6. Lain-lain : Kebiasaan merokok (-), alkohol (-)
Daftar Pustaka:
1. Anonym. Anafilaksis (Reaksi Alergi Akut). 2009. Available at:
http://medicastore.com/penyakit/150/Anafilaksis_reaksi_alergi_akut.html .
Accessed on October 1, 2018.
2. Longecker, DE. Anaphylactic Reaction and Anesthesia dalam Anesthesiology.
2008; Chapter 88, hal 1948-1963.
3. Mustafa, SS. Anaphylaxis. April 8, 2013. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/135065-overview . Accessed on
October 1, 2018.
4. Balentine, JR. Severe Allergic Reaction (Anaphylactic Shock). 2008. Available
at:
http://www.emedicinehealth.com/severe_allergic_reaction_anaphylactic_shock
/page2_em.htm . Accessed on October 1, 2018.
5. Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies; 1998. BMJ. Vol 316. Hal
1442-1445.
6. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Perioperative and Critical Care
Medicine. In: Belval B, Lebowitz H. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. 5th edition. United States: McGraw-Hill; 2013. p. 1217-22.
7. Sampson HA, et al. Clinical Immunology and Allergy. Margaret and Fremantle
Hospitals, Western Australia; 2006.
8. Brown SGA. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis. Allergy
Clinical Immunology. Hobart, Australia; 2004. p.371-376.
9. Simons FER, Camargo Jr CA. Anaphylaxis: Rapid recognition and Treatment.
In: Bochner BS. August 8, 2013. Available at:
http://www.uptodate.com/contents/anaphylaxis-rapid-recognition-and-
treatment . Accessed on October 1, 2018.
10. Mullins RJ, Gold MS, Brown SGA. Anaphylaxis: Diagnosis and Management.
2006. Available at: https://www.mja.com.au/journal/2006/185/5/2-
anaphylaxis-diagnosis-and-management . Accessed on October 1, 2018.
Hasil Pembelajaran
1. Diagnosis syok anafilaktik
2. Penatalaksanaan syok anfilaktik

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio

1. Subjektif :
- Badan terasa lemas sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya
pasien baru saja meminum obat TB Rifampisin 1 tablet sebelum makan
pagi. Os kemudian merasakan badannya terasa lemas. Keluhan dirasakan
semakin meningkat dan disertai kepala terasa pusing, nafas terasa berat,
dan nyeri perut.
- Nyeri perut (+) seperti rasa mulas sejak 15 menit SMRS
- Nafas terasa berat (+)
- Mual (+), muntah (-)
- Gatal-gatal pada kulit seluruh tubuh (+) sejak 1 jam SMRS namun tidak
disertai adanya bercak kemerahan
- Kaki dan tangan teraba dingin (+) baru disadari saat di rumah sakit
- Demam (-)
- BAB dan BAK sebelumnya biasa
- Riwayat didiagnosa dengan TB Paru 6 bulan yang lalu, pernah
mengkonsumsi OAT 1 kali namun langsung muncul reaksi alergi dan
dirawat di RS Unand. Setelah itu os belum ada melanjutkan pengobatan
OAT nya dalam 6 bulan ini.
- Riwayat berobat ke RS Paru Lubuk Alung 1 hari sebelumnya dan diberikan
OAT hanya 1 jenis Rifampisin untuk mengetahui Os alergi OAT jenis apa.
2. Objektif :
Status Generalis:
 Keadaan Umum : Sedang
 Kesadaran : Komposmentis kooperatif
 Tekanan Darah : 95/80 mmHg
 Nadi : 125 x/menit, halus
 Nafas : 25 x/menit
 Suhu : 36,0 oC
Status Internus:
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Pupil isokor ϕ 2 mm = 2 mm, refleks cahaya (+/+) normal
Mulut : Mukosa mulut dan bibir basah
Paru :
 Inspeksi : simetris dalam keadaan statis dan dinamis
 Palpasi : fremitus kiri = kanan
 Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
 Auskultasi : bronkovesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung :
 Inspeksi : iktus tidak terlihat
 Palpasi : iktus teraba 1 jari lateral LMCS RIC V
 Perkusi : batas jantung kiri 1 jari lateral LMCS RIC V,
batas jantung kanan LSD, batas atas RIC II
 Auskultasi : irama teratur, HR 83 x/menit, gallop (-)
Abdomen :
 Inspeksi : tidak tampak membuncit
 Palpasi : supel, nyeri tekan (+) epigastrium, hepar tidak teraba,
lien tidak teraba
 Perkusi : timpani
 Auskultasi : bising usus (+) meningkat
Punggung : nyeri tekan CVA (-/-), nyeri ketok CVA (-/-)
Ekstremitas : akral dingin, refilling kapiler > 2 detik, udem (-/-)

Pemeriksaan Penunjang
 Hematologi
Hb : 11,9 g/dl
Leukosit : 12.610 / mm3
Trombosit : 286.000 / mm3
Hematokrit : 34 %
GDR : 141 mg/dl
Ureum : 15 mg/dl
Creatinin : 0,3 mg/dl
Na/ K/ Cl : 135/ 4.7/ 98 mmol/L
3. Assessment :
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang
diperantarai oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai
dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini
disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera
setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok
anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang
merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat
vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada
sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian.
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3
tipe dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit
sampai 1 jam setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1
sampai 24 jam setelah terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi
lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.7
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat,
tetapi kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan,
anafilaksis juga dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan
sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak di mulut
dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan
periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala
dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan. Derajat sedang dapat
mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan edema
jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan,
hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala sama
dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak
dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan
diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema laring,
dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada
abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang
terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau
renjatan yang irreversible.
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat
terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi,
gastrointestinal, kulit, mata, susunan saraf pusat dan sistem saluran kencing,
dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan
ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan
kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.
Pada anamnesis didapatkan keluhan badan terasa lemas sejak 1 jam
sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien baru saja meminum obat TB
Rifampisin 1 tablet sebelum makan pagi. Os kemudian merasakan badannya
terasa lemas. Keluhan dirasakan semakin meningkat dan disertai kepala terasa
pusing, nafas terasa berat, nyeri perut, gatal-gatal, dan kaki tangan teraba
dingin. Riwayat didiagnosa dengan TB Paru 6 bulan yang lalu, pernah
mengkonsumsi OAT 1 kali namun langsung muncul reaksi alergi dan dirawat
di RS Unand. Setelah itu os belum ada melanjutkan pengobatan OAT nya
dalam 6 bulan ini. Riwayat berobat ke RS Paru Lubuk Alung 1 hari
sebelumnya dan diberikan OAT hanya 1 jenis Rifampisin untuk mengetahui
Os alergi OAT jenis apa.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 95/80 mmHg, nadi teraba halus
dengan frekuensi 125 kali/menit, nafas 125kali/ menit dan suhu 36.0 oC. Pada
mata tidak ditemukan konjungtiva anemis dan sklera ikterik. Pada
pemeriksaan toraks, suara jantung reguler, bising (-), suara nafas
bronkovesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-). Pada pemeriksaan abdomen,
ditemukan adanya nyeri tekan pada epigastrium dan bising usus meningkat.
Pemeriksaan pada organ lainnya tidak ditemukan kelainan.
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan leukosit
12.610/ mm3. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan
laboratorium serta penunjang ditegakkan diagnosis syok anafilaktik ec
Rifampisin.
4. Plan :
Diagnosis : Syok Anafilaktik ec Rifampisin
Penatalaksanaan :
IGD :
- NRM O2 10 L/ menit
- IVFD RL guyur 200 ml  TD 92/80 mmHg  dilanjutkan 1 kolf 
TD 89/70  dilanjutkan guyur dan kontrol TD tiap 15 menit dan urin
dan bendungan paru  setelah 4 kolf TD pasien membaik menjadi
107/70 mmHg, dilanjutkan dengan IVFD RL 28 tpm (kolf ke-5).
- Inj. Epinefrin 0,3 mg (iv)
- Inj. Dexamethasone 1 amp (iv)
- Pasang kateter urin
- Inj. Ranitidin 1 amp (iv)
- Rawatan :
 O2 4 L/’
 IVFD NaCl 0,9 %28 tpm
 Inj. Dexamethasone 3x1 amp (iv)
 Inj. Ranitidine 2 x 1 amp (iv)
 Sucralfat syr 3 x 1 cth (po)
 Neurodex 2 x 1 tab (po)
 Kontrol TD dan urin

Edukasi :
- Pasien dan keluarga dijelaskan mengenai penyakitnya, faktor risiko dan
penatalaksanaan lebih lanjut pada penyakit ini
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan
phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya
melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari
pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).1, 2
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah
jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya
suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang
sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi
klinis dari anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya
hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan
disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya
kematian.2
II.2 Etiologi dan Faktor Resiko

Reaksi anafilaksis terjadi ketika sistem imun tubuh berekasi dengan


antigen yang dianggap sebagai penyerang atau benda asing oleh tubuh. Sel darah
putih kemudian memproduksi antibodi dalm hal ini adalah IgE yang bersirkulasi
pada peredaran darah dan bereaksi dengan benda asing yang masuk. Perlekatan
antigen-antobodi ini merangsang pelepasan mediator-mediator seperti histamin
dan menyebabkan berbagai reaksi dan gejala pada berbagai organ dan jaringan. 4

Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis


adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting,
kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah
makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang
bisa menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi
intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-

10
lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga
bisa menyebabkan anafilaksis. 2

Table 1 : Penyebab reaksi anafilaksis dan anafilaktoid 6

Sedangkan faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko


anafilaksis antara lain: 3

 Atopi
Pada studi berbasis populasi di Olmsted County, 53% dari pasien
anafilaksis memiliki riwayat penyakit atopi. Penelitian lain menunjukkan
bahwa atopi merupakan faktor risiko untukreaksi anfilaksis terhadap
makanan, reaksi anafilaksis yang diinduksi olehlatihan fisik, anafilaksis
idiopatik, reaksi terhadap radiokontras, dan reaksi terhadap latex.
Sementara, hal ini tidak didapati pada reaksi terhadap penisilin dan gigitan
serangga.
 Cara dan waktu pemberian
Berpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis. Pemberian secara oral
lebih sedikit kemungkinannya menimbulkan reaksi dan kalaupun ada
biasanya tidak berat, meskipun reaksi fatal dapat terjadi pada seseorang
yang memang alergi setelahmenelan makanan. Selain itu, semakin lama

11
interval pajanan pertama dan kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi
anafilaksis akan muncul kembali. Hal ini berhubungan dengan
katabolisme dan penurunan sintesis dari IgE spesifik seiring waktu.
 Asma
Merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90%
kematian karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma.
 Penundaan pemberian epinefrin juga merupakan faktor risiko yang
berakibat fatal.

II.3 Patofisiologi

Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam

hipersensitivitas tipe I (Immediate type reaction). Reaksi hipersensitivitas tipe I

diklasifikasikan menjadi reaksi atopi dan non-atopi. Kelainan atopi biasanya

menyerang kulit atau traktus respiratorius contohnya pada rhinitis alergi,

dermatitis atopi, dan asma alergi. Kelainan hipersensitivitas non-atopi contohnya

urtikaria, angioedema, dan anafilaksis. Ketika reaksi yang terjadi ringan, maka

hanya akan menyerang kulit (urtikaria) atau jaringan subkutan (angioedema),

namun ketika reaksi yang terjadi berat maka akan berakibat menyeluruh

(generalisata) dan bersifat life-threatening medical emergency (anafilaksis).6

Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi.

Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E

sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil.

Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang

dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala.2,3,5

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran

makan ditangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen

tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)

12
yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel

plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada

reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.2,5

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang

menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen

yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik

dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara

lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula

yang di sebut dengan istilah preformed mediators.2,5

Gambar 1 : Patofisiologi Reaksi Anafilaksis

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari

membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG)

yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed

mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks

(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan

aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek

13
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya

menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan

permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.

Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan

permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor

kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang

dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.2,5

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan

terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini

menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang

diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan

perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi

pada keaadan syok yang membahayakan penderita. Hipotensi dan syok dapat

terjadi sebagai akibat dari kehilangan volume intravaskular, vasodilatasi, dan

disfungsi miokard. Peningkatan permeabilitas vaskuler dapat menyebabkan

pergeseran 50 % volume vaskuler ke ruang extravaskuler dalam 10 menit. 3

Gambar 2 : Patofisiologi Reaksi Anafilaksis

14
II.4 Manifestasi Klinik

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3

tipe dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai

1 jam setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24

jam setelah terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam

setelah terpapar dengan alergen.7

Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi

kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga

dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan

keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak di mulut dan tenggorok.

Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-

bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah

pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah

15
bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan

mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi.

Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan

yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti

yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospame,

edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada

abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang

terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau

renjatan yang irreversible.7,8

Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat

terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi,

gastrointestinal, kulit, mata, susunan saraf pusat dan sistem saluran kencing, dan

sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa

takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada

tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.2,5

Tabel 2 : Manifestasi Klinik Reaksi Anafilaksis

Organ Systems Signs and Symptoms


Cardiovascular Hypotension, tachycardia, arrhytmias
Pulmonary Bronchospasm, cough, dyspnea,

pulmonary edema, laryngeal edema,

hypoxia
Dermatogical Urticaria, facial edema, pruritus
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang

berlebihan. Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di

bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pada kulit terdapat

16
eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan

diaphoresis.5

Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun,

penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan

penurunan volume tidal. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab

kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran

napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa. 5

Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran

sampai terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem

kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda

iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya

edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi

ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri)

akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal

akut. 5,7

Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis

sel sentral, peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul

pada sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan

spasme otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. 5,6,7

Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati,

gangguan fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi.

Sementara gangguan pada system neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi

kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental.

17
Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob

sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi

keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran

sel.5,7

II.5 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium jarang diperlukan untuk membantu menentukan

diagnosis pada reaksi anafilaktik karena reaksi anafilaksis umumnya didiagnosis

secara klinis, namun jika diperlukan penegasan diagnosis terutama pada sindrom

yang berulang atau untuk mengeliminasi kelainan lainnya, maka pemeriksaan

penunjang ini menjadi salah satu indikasi. Hitung eosinofil darah tepi dapat

normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali

menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE

spesifik dengan RAST (radioimmunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked

Immunosorbent Assay test ), namun memerlukan biaya yang mahal.2,3,5

Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen

penyebab yaitu denganuji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji

intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point

titration/ SET). Pemeriksaan lainnya antara lain analisa gas darah, elektrolit, dan

gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi,

rontgen thorak, dan lain-lain.2,5

II.6 Diagnosis

Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ

atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan

18
diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah

membuat suatu kriteria.7

Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit

hingga beberapajam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya

(misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan,

pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory compromise

(misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing , penurunan PEF,

hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan

disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).7

Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak

setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit

hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-

bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-

lidah-uvula); Respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme,

stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan darah atau

gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala

gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).7

Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada

alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik).

Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau

penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan

darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%

dari tekanan darah awal.7

19
Gambar 3 : Mekanisme Penegakan Diagnosis

Sedangkan kriteria dari Syok Anafilaksis sebagai berikut 9:

1. Secara tiba-tiba onsetnya dan progresfi yang cepat dari gejala


- Pasien terlihat baik atau tidak baik
- Kebanyakan reaksi terjadi dalam beberapa menit, jarang reaksi terjadi

lebih lambat dari onset


- Onset reaksi anfilaksis tergantung tipe trigger. Trigger intravena akan

lebih cepat onsetnya daripada sengatan, dan cenderung disebabkan

lebih cepat onsetnya dari trigger ingesti oral.


- Pasien biasanya cemas dan dapat mengalami “sense of impending”
2. Life-threatening Airway and/or Breathing and/or Circulation Problems

Pasien dapat mengalami masalah A atau B atau C atau kombinasinya.

Airway Problem :

20
- Pembengkakan jalan nafas seperti tenggorokan dan lidah membengkak

(faring/laring edem). Pasien sulit bernafas dan menelan dan merasa

tenggorokan tertutup.
- Suara Hoarse
- Stridor, tingginya suara inspirasi karena saluran nafas atas yang

mengalami obstruksi.

Breathing Problems :

- Nafas pendek, pengingkatan frekuensi nafas


- Wheezing
- Pasien menjadi lelah
- Kebingungan karena hipoksia
- Sianosis (muncul biru), ini biasanya pada late sign
- Respiratory arrest

Circulation Problems:

- Tanda syok, pucat, berkeringat.


- Peningkatan frekuensi nadi (takikardi)
- Tekanan darah rendah (hipotensi), merasa ingin jatuh (dizziness),

kolaps.
- Penurunan tingkat kesadaran atau kehilangan kesadaran
- Anafilaksi dapat menyebabkan iskemik myokardial dan ECG berubah

walaupun individu dengan normal arteri kononer.


- Cardiac arrest
3. Perubahan Kulit dan/atau Mukosa

Sering muncul gambaran pertama dan muncul lebih dari 80% dari

reaksi anafilaksis.

- Dapat berlangsung halus atau secara dramatis.


- Mungkin hanya perubahan kulit, hanya perubahan mukosa, atau

keduanya
- Mungkin eritema setengahnya atau secara general, rash merah.

21
- Mungkin urtikaria yang muncul dimana saja pada tubuh, berwarna

pucar, merah muda, atau merah dan mungkin menunjukan seperti

sengatan.
- Angioedema mungkin seperti urtikaria tetapi termasuk pada jaringan

lebih dalam sering pada kelopak mata dan bibir, kadang pada mulut

dan tenggorokan.

II. 7 Diagnosis Banding

Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis

yang tidak spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan

dengan penyakit lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena

anafilaksis mempengaruhi seluruh system organ pada tubuh manusia sebagai

akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan basofil, dimana

masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap

reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis

dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi

hipoglikemik, reaksi histeris, Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome,

asma bronkiale, dan rhinitis alergika.2,3

Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan.

Pasien tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi

anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis.

Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak

terlalu rendah seperti anafilaktik. Sementara infark miokard akut, gejala yang

menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering

22
diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas.

Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.2,3

Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau

sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan

darah kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran

napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas.

Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas,

hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya

sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.2,3

Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan,

nyeri kepala, diare, serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant

syndrome, dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah

pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan

lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan denyut

nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan

tanpa MSG.2,3

Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk

berdahak, dan suara napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor

pencetus seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada

pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin,

buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan

karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin.2,3

23
II. 8 Penatalaksanaan

Jika terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik

peroral maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan

adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga

menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras.

Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik

vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.2,5,10

Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation

dari tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup

dasar.

o Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar

tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi

kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan

napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi

kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan

sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif,

melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.

o Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak

ada tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut

ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat

mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.

24
Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong

dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10

liter/menit.

o Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a.

karotis atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.2,5,10

Obat-obatan

Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk

mengobati syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan

darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan

aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin

dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan

cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi

serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Adrenalin selalu akan dapat

menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan

kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan

berakhir dalam waktu pendek.5,9,10

Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun

sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada

penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah

pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi

intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan

0,5 ml larutan 1:1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk

25
anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan

darah dan nadi menunjukkan perbaikan.5,9,10

Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan

tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama

anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi

dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin

mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5ml

dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100

mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat

diberi dosis 10 mcg/kg BB(0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin

1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Individu yang

mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaksis perlu membawa

adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan yang

benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain

dapat memberikan adrenalin tersebut.9,10

Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-

obat yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan

bronkodilator. Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses

vasodilatasi dan peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan

oleh pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator

tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Tergantung beratnya

penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan

anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti

26
simetidin (300 mg) atau ranitidin (150mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl

0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi

teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin.

Antihistamin yang juga dapat diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg

secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48 jam.9,10

Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan,

kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan

hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode

anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru

diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg

intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya

tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan

dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.9,10

Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin

intravena 4-7 mg/KgBB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6

mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-6mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc

dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit.

Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan

salbutamol atau agonis β2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl

0,99% diberikan melalui nebulisasi.9,10

Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat

diberikan vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin

1:1000 dalam 250 ml dextrose (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4

27
mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan

dosis dapat dinaikan sampai dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg

bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5%

dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus

dengan dextrose 5%. 9,10

Terapi Cairan.

Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena

untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular

sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan

meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.

Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan

mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada

dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali

dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat

diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan

bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan

perkiraan kehilangan volume plasma.10

Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan

pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume

intravaskuler, volume nterstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti

plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler. 10

Observasi

28
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok

anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan.

Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian harus

seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita

harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang

dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan

cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6

jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik.

Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum,

kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi,

dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest.

Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria

dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan

gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin

lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.10

29
Gambar 4 : Algoritme Resusitasi Syok Anafilaksis

30
Pencegahan

31
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok

anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis

riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan

etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit

asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat,

mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok

anafilaktik.10

Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian

bahwa tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian

obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi

anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif

mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan

kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.10

Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila

pemberian dengan jalur subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena

dan observasi selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi

yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik.

Catat obat penderita pada status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada

penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal

yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi

reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi

alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.10

II. 9 Prognosis

32
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan prinsip

kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi

anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang

sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah terjadinya serangan

anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi

anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu

umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis,

asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi

seperti β-blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh

alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.

33

Anda mungkin juga menyukai