Anda di halaman 1dari 27

CASE REPORT

OTITIS MEDIA AKUT

DISUSUN OLEH:
Farah Hayati Hadrani
1102012082

PEMBIMBING:
dr. Fahmi Attaufany, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN


RSUD SOREANG
SEPTEMBER 2017
BAB I

LAPORAN KASUS

I. Identitas pasien
Nama : An. I
Usia : 10 tahun
Agama : Islam
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Sodong – Buninagara RT03 RW 05
Status : Belum menikah
No. Rekam medis : 533XXX
Pekerjaan : Tidak bekerja
Pendidikan : SD
Tanggal periksa : 14 September 2017

II. Anamnesis
Anamnesis : Autoanamnesis & Alloanamnesis (Ibu pasien)
Keluhan utama : Nyeri menelan
Riwayat penyakit sekarang
Pasien usia 11 tahun datang ke Poliklinik THT RSUD Soreang
diantar orangtuanya dengan keluhan nyeri menelan sejak 2 hari yang lalu.
Keluhan nyeri menelan sering dirasakan pasien hilang timbul sebanyak 4-5
kali dalam 1 tahun. Keluhan disertai dengan rasa mengganjal di
tenggorokan terus menerus. Demam hilang timbul dirasakan sejak 2 hari
yang lalu. Napas bau tidak enak (+). Nafsu makan berkurang sejak pasien
sakit. Pasien mengaku nyeri telinga kanan tanpa keluar cairan. Pasien
mengaku tidur tidak mendengkur. Keluhan seperti sulit membuka mulut,
liur berlebih disangkal pasien.
Riwayat keluhan seperti ini sudah sering dirasakan pasien selama 1
tahun terakhir. Pasien sering batuk dan pilek hilang timbul dalam 2 tahun
terakhir. Pasien mengaku jarang menggosok gigi. Riwayat alergi
disangkal. Pasien sudah pernah berobat ke bidan lalu diberikan antibiotik,
namun keluhan masih tetap ada.

III. PEMERIKSAAN

FISIK Tanda--‐ tanda Vital

Keadaan Umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Composmentis

Frekuensi nadi : 88 x/menit

Frekuensi nafas : 24 x/menit

Suhu : 370C

Status Generalis

Kepala : tidak ada kelainan

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Leher : tidak ditemukan pembesaran KGB

Thorax : B/G simetris

Pulmo : VBS kanan=kiri, tidak terdapat rhonki dan wheezing

Cor : BJ I dan II murni reguler, tidak ada suara jantung tambahan

Abdomen : datar, soepel, BU (+) nomal, hepar dan lien tidak teraba
membesar

Extremitas : akral hangat, CRT<2”, edema tidak ada

Status Lokalis THT

TELINGA

Auris
Bagian Kelainan
Dextra Sinistra

Preaurikula Kelainan kongenital --‐ --‐


Radang dan tumor --‐ --‐

Trauma --‐ --‐

Nyeri tekan tragus --‐ --‐

Kelainan kongenital --‐ --‐

Radang --‐ --‐


Aurikula
Tumor --‐ --‐

Trauma --‐ --‐

Edema --‐ --‐

Hiperemis --‐ --‐

Nyeri tekan --‐ --‐


Retroaurikula
Sikatriks --‐ --‐

Fistula --‐ --‐

Fluktuasi --‐ --‐

Kelainan kongenital --‐ --‐

Kulit Tidak hiperemis Tidak hiperemis

Sekret --‐ --‐


Canalis Acustikus
Serumen --‐ --‐
Externa
Edema --‐ --‐

Jaringan granulasi --‐ --‐

Massa --‐ --‐

Intak (+) (+)


Membran
Refleks cahaya Arah jam 5 Arah jam 7
Timpani
Perforasi (--‐ ) (--‐ )
Gambar

Auricula

Tes Pendengaran Dextra Sinistra

Tes Rinne (+) (+)

Tes Webber Lateralisasi (--‐) Lateralisasi (--‐)

Kesimpulan Telinga kanan dan kiri normal

HIDUNG

Nasal
Pemeriksaan
Dextra Sinistra
Bentuk (normal), Bentuk (normal),
Keadaan Bentuk dan
hiperemis (-), nyeri tekan hiperemis (-), nyeri
Luar ukuran
(-), deformitas (-) tekan (-), deformitas (-)

Cavum nasi Lapang Lapang

Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Sekret (-) (-)


Rhinoskopi
Krusta (-) (-)
anterior
Septum Deviasi (-), dislokasi (-)

Konka inferior Edema (-), hiperemis (-) Edema (-), hiperemis (-)

Pasase udara (+) (+)


TENGGOROKAN

Bagian Kelainan Keterangan

Mukosa mulut Tidak Hiperemis

Lidah Bersih, basah, gerakan normal ke segala


arah
Mulut
Caries (--‐ )
Gigi geligi
Ditengah
Uvula

Mukosa Hiperemis

Besar T3 – T3

Kripta : Melebar --‐ melebar

Detritus : (--‐ /--‐ )

Tonsil Perlengketan (--‐ /--‐ )

Mukosa Hiperemis

Faring Granula (--‐ )

Post nasal drip (--‐ )

Kelenjar Getah Bening bagian Leher

Pada inspeksi tidak terlihat pembesaran kelenjar getah bening dan pada palpasi tidak
teraba pembesaran kelenjar getah bening leher.
IV. RESUME

Pasien anak berusia 11 tahun datang ke Poliklinik THT RSUD Soreang diantar
orangtuanya dengan keluhan nyeri menelan sejak 2 hari yang lalu. Keluhan nyeri
menelan sering dirasakan pasien hilang timbul sebanyak 4-5 kali dalam 1 tahun.
Keluhan disertai dengan rasa mengganjal di tenggorokan terus menerus. Demam
dirasakan sejak 2 hari yang lalu. Napas bau tidak enak (+). Nafsu makan berkurang
sejak pasien sakit. Riwayat keluhan seperti ini sudah sering dirasakan pasien selama 1
tahun terakhir. Pasien sering batuk dan pilek hilang timbul dalam 2 tahun terakhir.
Pasien mengaku jarang menggosok gigi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsil
kanan&kiri membesar T3/T3, peritonsier hiperemis, kripta melebar (+),

V. DIAGNOSA BANDING

Tonsilitis Kronik Hipertrofi eksaserbasi akut

VI. DIAGNOSA KERJA

Tonsilitis Kronik Hipertrofi eksaserbasi akut

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Kultur dari sediaan apus swab tonsil

VIII. TATALAKSAN

A Medikamentosa

– Antibiotik Amoxicilin dan Clavulanac acid 3 x 625mg cap (per oral)


– Paracetamol 3 x 500mg tab (per oral)

Non Medikamentosa

– Tonsilektomi
– Menjaga kebersihan mulut
– Konsumsi gizi yang cukup

IX. PROGNOSIS

Quo Ad Vitam : Ad Bonam

Quo Ad sanam : Ad Bonam

Quo Ad Functionam : Dubia ad Bonam


TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi Fisiologi

A. Anatomi Tonsil

Gambar 1. Anatomi Lidah (Netter. 2006)

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Sekelompok jaringan limfoid pada faring
membentuk komposisi menyerupai cincin yang tidak sempurna, yang dinamakan cincin
waldeyer ( the waldeyer ring). Cincin waldeyer dapat ditemukan pada jalan masuk dari
trakrus aerodigestivus atas. Cincin waldeyer terdiri dari:

1. Tonsila palatina
2. Tonsila faringeal (adenoid)
3. Tonsila lingualis
4. Tonsila tubal
5. Lateral pharyngeal bands
6. Pharyngeal granulations
7. Jaringan limfoid di ventrikel ke laryngeal

Ketiga tonsil yang disebutkan pertama (tonsila lingualis, tonsila faringeal atau
adenoid dan tonsila palatina) merupakan komponen terbesar. Sedangkan empat yang
lainnya merupakan jaringan--‐ jaringan limfoid yang kecil.

Gambar. Cincin Waldeyer

Tonsila Faringeal (adenoid)

Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut
tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau
kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di
bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.

Adenoid terletak pada nasofaring yaitu pada dinding atas nasofaring bagian
belakang. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan
posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius
Pada masa pubertas adenoid ini akan menghilang atau mengecil sehingga jarang sekali
dijumpai pada orang dewasa. Ukuran adenoid bervariasi pada masing--‐ masing anak.
Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 6--‐ 7 tahun
kemudian akan mengalami atrofi.

Apabila adenoid membesar maka akan tampak sebagai sebuah massa yang terdiri
dari 4--‐ 5 lipatan longitudinal anteroposterior serta mengisi sebagian besar atas
nasofaring. Berlainan dengan tonsil, adenoid mengandung sedikit sekali kripta dan letak
kripta tersebut dangkal. Tidak ada jaringan khusus yang memisahkan adenoid ini
dengan m. konstriktor superior sehingga pada waktu adenoidektomi sukar mengangkat
jaringan ini secara keseluruhan.
Adenoid mendapat darah dari cabang--‐ cabang faringeal A. Karotis interna dan
sebagian kecil dari cabang--‐ cabang palatina A. Maksilaris. Darah vena dialirkan
sepanjang pleksus faringeus ke dalam V. Jugularis interna. Sedangkan persarafan
sensoris melelui N. Nasofaringeal yaitu cabang dari saraf otak ke IX dan juga melalui N.
Vagus.

Tonsila Lingualis

Merupakan kumpulan jaringan limfoid yang tidak berkapsul dan terdapat pada
basis lidah diantara kedua tonsil palatina dan meluas ke arah anteroposterior dari
papilla sirkumvalata ke epiglottis. Jaringan limfoid ini menyebar ke arah lateral dan
ukurannya mengecil. Dipisahkan dari otot--‐ otot lidah oleh suatu lapisan jaringan fibrosa.
Jumlahnya bervariasi, antara 30--‐ 100 buah. Pada permukaannya terdapat kripta yang
dangkal dengan jumlah yang sedikit. Sel--‐ sel limfoid ini sering mengalami degenerasi
disertai deskuamasi sel--‐ sel epitel dan bakteri, yang akhirnya membentuk detritus.

Tonsila lingualis mendapat perdarahan dari A. Lingualis, cabang dari A. Karotis


eksterna. Darah vena dialirkan sepanjang V. Lingualis ke V. Jugularis interna. Aliran
limfe menuju ke kelenjar servikalis profunda. Persarafannya melalui cabang lingual N.
IX.

Tonsila Palatina

Tonsil terletak di bagian samping belakang orofaring, dalam fossa tonsilaris,


berbentuk oval dengan ukuran dewasa panjang 20--‐ 25 mm, lebar 15--‐ 20 mm, tebal 15
mm, dan berat sekitar 1,5 gram. Berat tonsil pada laki--‐ laki berkurang dengan
bertambahnya umur, sedangkan pada wanita berat bertambah pada masa pubertas dan
kemudian menyusut kembali.

Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa
tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan
pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2--‐ 5 cm.
Permukaan tonsil merupakan permukaan bebas dan mempunyai lekukan yang
merupakan muara dari kripta tonsil. Jumlah kripta tonsil berkisar antara 20--‐ 30 buah,
berbentuk celah kecil yang dilapisi oleh epitel berlapis gepeng. Beberapa kripta ada
yang berjalan kearah dalam substansia tonsil dan berakhir dibawah permukaan kapsul..
Kripta dengan ukuran terbesar terletak pada pole atas tonsil dan disebut kripta superior,
normalnya mengandung sel--‐ sel epitel, limfosit, bakteri, dan sisa makanan. Kripta
superior sering menjadi tempat pertumbuhan kuman karena kelembaban dan suhunya
sesuai untuk pertumbuhan kuman, juga karena tersedianya substansi makanan di daerah
tersebut. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong
diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar

Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:

 Lateral : M. konstriktor faring superior


 Anterior : M. palatoglosus
 Posterior : M. palatofaringeus
 Superior : Palatum mole
 Inferior : Tonsil lingual

Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat, folikel
germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan
limfoid).

Fossa tonsilaris di bagian depan dibatasi oleh pilar anterior (arkus plalatina
anterior), sedangkan di bagian belakang dibatasi oleh pilar posterior (arkus palatina
posterior), yang kemudian bersatu di pole atas dan selanjutnya bersama--‐ sama dengan
m. Palatina membentuk palatum molle. Bagian atas fossa tonsilaris kosong dinamakan
fossa supratonsiler yang merupakan jaringan ikat longgar.

Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh kapsula fibrosa yang kuat dan
berhubungan dengan fascia faringobasilaris yang melapisi M. konstriktor faringeus.
Kapsul tonsil tersebut masuk ke dalam jaringan tonsil, membentuk septa yang
mengandung pembuluh darah dan saraf tonsil.

Kutub bawah tonsil melekat pada lipatan mukosa yang disebut plika triangularis,
dimana pada bagian bawahnya terdapat folikel yang kadang--‐ kadang membesar. Plika ini
penting karena sikatrik yang terbantuk setelah proses tonsilektomi dapat menarik
folikel tersebut ke dalam fossa tonsilaris, sehingga dapat dikelirukan sebagai sisa tonsil.

Pole atas tonsil terletak pada cekungan yang berbentuk bulan sabit, disebut
sebagai plika semilunaris. Pada plika ini terdapat massa kecil lunak, letaknya dekat
dengan ruang supratonsil dan disebut glandula salivaris mukosa dari Weber, yang
penting peranannya dalam pembentukan abses peritonsil. Pada saat tonsilektomi,
jaringan areolar yang lunak antara tonsil dengan fosa tonsilaris mudah dipisahkan.

Di sekitar tonsil terdapat 3 ruang potensial yang secara klinik sering menjadi tempat
penyebaran infeksi dari tonsil. Ketiga ruang potensial tersebut adalah :

1. Ruang peritonsil (ruang supratonsil)

Berbentuk hampir segitiga dengan batas--‐ batas :

--‐ Anterior : m. palatoglosus

--‐ Lateral & posterior : m. palatofaringeus

--‐ Dasar segitiga: pole atas tonsil

Dalam ruang ini terdapat kelenjar salivarius Weber, yang bila terinfeksi dapat menyebar
ke ruang peritonsil, menjadi abses peritonsil.

2. Ruang retromolar

Terdapat tepat di belakang gigi molar 3, berbentuk oval, merupakan sudut yang
dibentuk oleh ramus dan korpus mandibula. Di sebelah medial terdapat m. Buccinator,
sementara pada bagian postero--‐ medialnya terdapat m. Pterygoideus internus dan
bagian atas terdapat fasikulus longus M. temporalis. Bila terjadi abses hebat pada
daerah ini akan menimbulkan gejala utama trismus disertai sakit yang amat sangat,
sehingga sulit dibedakan dengan abses peritonsilar.

3. Ruang parafaring (ruang faringomaksila ; ruang pterygomandibula)

Merupakan ruang yang lebih besar dan luas serta banyak terdapat pembuluh darah
besar, sehingga bila terjadi abses, berbahaya sekali. Adapun batas--‐ batas ruang ini adalah

--‐ Superior : Basis kranii dekat foramen jugulare

--‐ Inferior : Os hyoid

--‐ Medial : M. Konstriktor faringeus superior

--‐ Lateral : Ramus ascendens mandibula, tempat m. Pterygoideus interna


dan bagian posterior kelenjar parotis

- ‐ Posterior : Otot--‐ otot prevertebra

Ruang parafaring ini terbagi 2 (tidak sama besar) oleh prosesus styloideus dan otot--‐ otot
yang melekat pada prosesus styloideus tersebut :

- Ruang pre--‐ styloid, lebih besar, abses dapat timbul oleh karena : radng tonsil,
mastoiditis, parotitis, karies gigi atau tindakan operatif.

- Ruang post--‐ styloid, lebih kecil, di dalamnya terdapat : A. karotis interna, V. Jugularis,
N. Vagus dan saraf--‐ saraf simpatis.

Ruang parafaring ini hanya dibatasi oleh fascia yang tipis dengan ruang retrofaring.

Ruang retrofaring

Batas--‐ batasnya adalah sebagai berikut :

--‐ Anterior : fascia m. Konstriktor superior

--‐ Posterior : fascia prevertebralis

--‐ Superior : basis cranii

--‐ Inferior : mediastinum setinggi bifurkasio trakea

--‐ Lateral : parafaringeal space

Derajat Pembesaran Tonsil

T0 : Post tonsilektomi

T1 : Tonsil berada dalam fossa tonsil

T2 : Tonsil sudah melewati fossa tonsil tapi masih


berada diantara garis khayal yang terbentuk antara fossa tonsil dan uvula (Paramedian
line )

T3 : Tonsil sudah melewati Paramedian line dan menyentuh uvula

T4 : Sudah melewati garis median

Vaskularisasi

Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang a. karotis eksterna yaitu:


a.maksilaris eksterna (a. fasialis) yang mempunyai cabang a. tonsilaris dan a.
palatina asenden,a. maksilaris interna dengan cabangnya yaitu a.palatina
desenden, a. lingualis dengancabangnya yaitu a. lingualis dorsal dan a. faringeal
asenden. a. tonsilaris berjalan ke atas dibagian luar m. konstriktor superior dan
memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole.Arteri palatina asenden,
mengirim cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posteriormenuju tonsil.
Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui
bagianluar m. konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah
dan mengirimcabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri
palatina desenden atau a.palatina posterior atau lesser palatina artery member
vaskularisasi tonsil dan palatum moledari atas dan membentuk anastomosis
dengan a. palatina asenden. vena-vena dari tonsilmembentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring.

B. Fisiologi Tonsil

Fungsi jaringan limfoid faring adalah memproduksi sel--‐ sel limfosit tetapi
peranannya sendiri dalam mekanisme pertahanan tubuh masih diragukan. Penelitian
menunjukkan bahwa tonsil memegang peranan penting dalam fase--‐ fase permulaan
kehidupan terhadap infeksi mukosa nasofaring dari udara pernafasan sebelum masuk
ke dalam saluran nafas bagian bawah.

Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel
membran), makrofag, sel dendrit, dan APCs yang berperan dalam transportasi antigen
ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B,
limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil merupakan jaringan limfoid yang
mengandung sel limfosit, 0,1--‐ 0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa.
Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55--‐ 75%:15--‐
30%.

Tonsil merupakan organ limfotik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi


dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama
yaitu:
1. Menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif;
2. Sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan
antigen spesifik.

Hasil penelitian mengenai kadar antibodi pada tonsil menunjukkan bahwa


perenkim tonsil mempunyai kemampuan untuk memproduksi antibodi. Penelitian
terakhir menyatakan bahwa tonsil memegang peranan dalam memproduksi Ig--‐ A, yang
menyebabkan jaringan lokal resisten terhadap organisme patogen.

Sewaktu baru lahir tonsil secara histologis tidak mempunyai centrum


germinativum, biasanya ukurannya kecil. Setelah antibodi dari ibu habis, barulah mulai
terjadi pembesaran tonsil dan adenoid, yamg pada permulaan kehidupan masa kanak--‐
kanak dianggap normal dan dipakai sebagai indeks aktifitas sistem imun. Aktivitas
imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun. Pada waktu pubertas atau
sebelum masa pubertas, terjadi kemunduran fungsi tonsil yang disertai proses involusi.

Kuman--‐ kuman patogen yang terdapat dalam flora normal tonsil dan faring tidak
menimbulkan peradangan, karena pada daerah ini terdapat mekanisme pertahanan dan
hubungan timbal balik antara berbagai jenis kuman.

Terdapat 2 bentuk mekanisme pertahanan tubuh, yaitu :

1. Mekanisme pertahanan non spesifik

Kemampuan sel limfoid untuk menghancurkan mikroorganisme. Pada beberapa


tempat lapisan mukosa tonsil sangat tipis sehingga menjadi tempat yang lemah
terhadap masuknya kuman ke dalam jaringan tonsil. Dengan masuknya kuman ke dalam
lapisan mukosa, maka kuman ini akan ditangkap oleh sel fagosit, dalam hal ini adalah
elemen tonsil. Selanjutnya sel fagosit akan membunuh kuman dengan proses oksidasi
dan digesti.

2. Mekanisme pertahanan spesifik

Merupakan mekanisme pertahanan yang penting dalam mekanisme pertahanan


tubuh terhadap udaran pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bawah.
Tonsil dapat memproduksi IgA yang akan menyebabkan resistensi jaringan lokal
terhadap organisme patogen. Disamping itu, tonsil dan adenoid juga dapat
menghasilkan IgE yang berfungsi untuk mengikat sel basofil dan sel mastosit, dimana sel-
-‐ sel tersebut mengandung granula yang berisi mediator vasoaktif, yaitu histamin. Sel
basofil yang terutama adalah sel basofil dalam sirkulasi (sel basofil mononuklear) dan
sel basofil dalam jaringan (sel mastosit).

Bila ada alergen, maka alergen tersebut akan bereaksi dengan IgE sehingga
permukaan sel membrannya terangsang dan terjadilah proses degranulasi. Proses ini
akan menyebabkan keluarnya histamin sehingga timbul reaksi hipersensitivitas tipe 1,
yaitu atopi, anafilaksis, urtikaria, dan angioedema.

Dengan teknik immunoperoksida, dapat diketahui bahwa IgE dihasilkan dari


plasma sel terutama dari epitel yang menutupi permukaan tonsil, adenoid, dan kripta
tonsil. Sedangkan mekanisme kerja IgA, bukanlah menghancurkan antigen akan tetapi
mencegah substansi tersebut masuk ke dalam proses imunologi, sehingga dalam proses
netralisasi dari infeksi virus, IgA mencegah terjadinya penyakit autoimun. Oleh karena
itu, IgA merupakan barier untuk mencegah reaksi imunologi serta untuk menghambat
proses bakteriolisis.

II. TONSILITIS

Definisi
Tonsilitis merupakan infeksi pada tonsil yang disebabkan oleh virus dan bakteri.

Klasifikasi

Macam--‐ macam tonsillitis menurut (Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk,2007 ) yaitu :

1. Tonsilitis Akut

Etiologi

Tonsillitis akut paling sering disebabkan oleh bakteri grup A Streptokokus beta
hemolitikus, pneumokokus, Pneumokokus, Streptokokus viridian dan Streptokokus
piogenes. Penyebab paling sering tonsillitis akibat virus adalah Epstein Barr, Haemofilus
Influenza.

Patofisiologi

Infeksi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi
radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear, sehingga terbentuk detritus.
Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas.
Secara klinis detritus mengisi kripta tonsil dan tampak sebagai bercak kuning. Bentuk
tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilits folikularis. Bila bercak--‐ bercak
detritus ini menjadi satu, membentuk alur--‐ alur, maka akan terjadi tonsilitis lacunaris.
Bercak detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk membran semu
(pseudomembran) yang menutupi tonsil.

Gejala dan Tanda

Masa inkubasi 2--‐ 4 hari. Gejala dan tanda--‐ tanda yang ditemukan meliputi nyeri
tenggorok dan nyeri sewaktu menelan, nafas yang berbau, suara akan menjadi serak,
demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di persendian, tidak nafsu
makan, dan rasa nyeri di telinga (otalgia).

Infeksi dapat kambuh dan berulang yang dinamakan tonsilitis akut rekuren, dimana
kekambuhan terjadi 4 sampai 7 kali dalam setahun atau 5 kali kambuh dalam 2 tahun
berturut--‐ turut, atau tiga kali kambuh dalam 3 tahun berturut--‐ turut.
Pemeriksaan fisik

Tampak tonsil membengkak, hiperemis, dan terdapat detritus berbentuk


folikel, lacuna akan tertutup oleh membrane semu. Kelenjar submandibula
membengkak dan nyeri tekan.

Pemeriksaan Penunjang

Kultur tenggorokan atau uji rapid antigen strep untuk GAHBS


Terapi

Dengan menggunakan antibiotic spectrum luas penisilin, eritromisin, antipiretik,


dan obat kumur yang mengandung desinfektan.

Komplikasi

Otitis media akut (pada anak--‐ anak), abses peritonsil, abses parafaring,
toksemia, septicemia, bronchitis, glomerulonefritis akut, miokarditis, dan arthritis.
Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien sulit bernafas melalui mulut, tidur
mendengkur, gangguan tidur karena terjadinya sleep apnea yang dikenal sebagai
obstructive sleep apnea syndrome (OSAS).

2. Tonsilitis Membranosa

Ada beberapa macam penyakit yang termasuk dalam tonsillitis membranosa


beberapa diantaranya yaitu Tonsilitis difteri, Tonsilitis septic, Angina Plaut Vincent,
serta penyakit kelainan darah.

2.1 Tonsilitis Difteri

Etiologi

Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium diphteriae yaitu suatu kuman gram
positif yang hidup di saluran pernapasan bagian atas yaitu hidung, faring dan laring.

Patofisiologi

Bakteri masuk melalui mukosa lalu melekat serta berkembang biak pada permukaan
mukosa saluran pernapasan atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke
sekeliling lalu selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalu pembuluh darah dan
limfe. Toksin ini merupakan suatu protein yang mempunyai 2 fragmen yaitu
aminoterminal sebagai fragmen A dan fragmen B, carboxyterminal yang disatukan
melalui ikatan disulfide.

Manifestasi klinis

Tonsillitis difteri sering ditemukan pada anak usia kurang dari 10 tahun dan
frekuensi tertinggi usia 2--‐ 5 tahun, walaupun penyakit ini masih mungkin terjadi
pada orang dewasa. Penularan melalui udara, benda atau makanan uang
terkontaminasai dengan masa in kubasi 2--‐ 7 hari.

Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan, yaitu:

1. Gejala umum dari penyaki ini adalah terjadi kenaikan suhu subfebris pada
38ºC, tidak lebih dari 39ºC, nyeri kepala, tidak nafsu makan, nyeri menelan.
badan lemah, dan nadi lambat.
2. Gejala local berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor makin
lama makin meluas dan menyatu membentuk membran semu. Membran ini
dapat meluas ke palatum molle, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus
yang dapat menyumbat saluran napas. .Jika menutupi laring akan
menimbulkan serak dan stridor inspirasi, bila menghebat akan terjadi sesak
nafas. Membran semu melekat erat pada dasarnya dan bila diangkat akan
timbul pendarahan. Bila infeksi tidak terbendung kelenjar limfa leher akan
membengkak menyerupai leher sapi (bull neck) atau Burgemeester’s hals.
3. Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan pada jantung berupa
miokarditis sampai decompensation cordis. Mengenai saraf kranial dapat
menyebabkan kelumpuhan otot pernafasan dan otot-otot mata. Pada ginjal
dapat menimbulkan albuminuria.

Diagnosis

Diagnosis tonsillitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan


pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membrane semu dan akan didapatkan orynbacterium diptheriae.

Pemeriksaan

1) Tes Laboratorium

Dilakukan dengan cara preparat langsung kuman(dari permukaan bawah


membrane semu). Medium transport yang dapat dipaki adalah agar Mac conkey
atauLoffler.

2) Tes Schick (tes kerentanan terhapad difteria) 3

Pengobatan

Tujuan dari pengobatan adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat


secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi C.diphteria untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi
penyerta dan penyulit diphtheria. Secara umum dapat dilakukan dengan cara
istirahat selama kurang lebih 2 minggu serta pemberian cairan.

Secara khusus dapat dilakukakan dengan pemberian:

1) Antitoksin : serum anti diphtheria (ADS)


Anti difteri serum diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur dengan dosis
20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit itu.
2) Antibiotika: untuk menghentikan produksi toksin, yaitu penisilin prokain 25.000-
-‐ 50.000 KI/BB/hari i.m tiap 12 jam selama 14 hari, bila alergi diberikan
eritromisin 40--‐ 50 mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis maksimal 2 gr/hr p.o atau i.v
tiap 6 jam jam selama 14 hari.

3) Kortikosteroid : prednison 1,0--‐ 1,5 mg/kgbb/p.o tiap 6--‐ 8 jam pada kasus berat
selama 14 hari. diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran
nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.

4) Diet makanan lunak yang mudah dicerna dengan kalori tinggi.

Komplikasi

Laryngitis difteri, miokarditis, kelumpuhan otot palatum mole, kelumpuhan otot mata,
otot faring laring sehingga suara parau, kelumpuhan otot pernapasan, dan albuminuria.

Pencegahan

Untuk mencegah penyakit ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan pada diri
anak serta memberikan penyuluhan tentang penyakit ini pada anak--‐ anak. Selain itu
juga diberikan imunisasi yang terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan carrier. 3

Tes Kekebalan

1) Kekebalan aktif diperoleh dengan cara inapparent infection dan imunisasi


dengan toksoid diphtheria.

2) Kekebalan pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap
diphtheria (sampai 6 bulan) dan suntikan antitoksin (2--‐ 3 minggu).

2.2 Tonsilitis Septik

Penyebab dari tonsillitis ini adalah Streptokokus hemolitikus yang terdapat


dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemi. Oleh karena itu perlu adanya
pasteurisasi sebelum mengkonsumsi susu sapi tersebut. Penyakit ini jarang ditemukan.

2.3 Angina Plaut Vincent

Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh kuman spirochaeta atau triponema yang


didapatlan pada penderita dengan kurangnya hygiene mulut, defisiensi vitamin C.

Manifstasi Klinis

Penyakit ini biasanya ditandai dengan demam sampai 39o celcius, nuyeri kepala,
badan lemah, dan terkadang terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut,
hipersalivasi, gigi, dan gusi mudah berdarah.
Pemeriksaan

Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membrane putih keabuan di atas
tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau dan kelenjar
submanibula membesar.

Pengobatan

Memperbaiki hygiene mulut, antibiotika spectrum lebar selama 1 minggu, juga


pemberian vitamin C dan B kompleks.

2.4 Penyakit Kelainan Darah

a. Leukimia akut : gejala pertama berupa epistaksis, perdarahan di mukosa


mulut, gusi dan dibawah kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan. Tonsil
membengkak disertai membran semu tetapi tidak hiperemis dan rasa nyeri
hebat ditenggorok.
b. Angina agranulositosis : penyebabnya adalah keracunan obat dari golongan
amidopirin. Sulfa dan arsen. Tampak ulkus di mukosa mulut dan faring dan
sekitarnya radang.
c. Infeksi mononukleosis : terjadi tonsilofaringitis ulsero membranosa bilateral.
Membran semu menutupi ulkus dan mudah diangkat tanpa perdarahan.
Pembesaran KGB.

3. Tonsilitis Kronis

Etiologi

Bakteri penyebab tonsillitis kronis sama halnya dengan tonsillitis akut, namun
terkadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan Gram negatif. Etiologi berdasarkan
Morrison yang mengutip hasil penyelidikan dari Commission on Acute Respiration
Disease bekerja sama dengan Surgeon General of the Army America dimana dari 169
kasus didapatkan data sebagai berikut :

1. 25% disebabkan oleh Streptokokus β hemolitikus yang pada masa


penyembuhan tampak adanya kenaikan titer Streptokokus antibodi dalam
serum penderita.
2. 25% disebabkan oleh Streptokokus golongan lain yang tidak menunjukkan
kenaikan titer Streptokokus antibodi dalam serum penderita.
3. Sisanya adalah Pneumokokus, Stafilokokus, Hemofilus influenza

Adapula yang menyatakan etiologi terjadinya tonsilitis sebagai berikut

1. Streptokokus β hemolitikus Grup A


2. Hemofilus influenza
3. Streptokokus pneumonia
4. Stafilokokus (dengan dehidrasi, antibiotika)
5. Tuberkulosis (pada keadaan immunocompromise).
Faktor Predisposisi

Adapun beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu :

1. Rangsangan kronis (rokok, makanan)


2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah--‐ ubah)
4. Alergi (iritasi kronis dari alergen)
5. Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik)
6. Pengobatan Tonsilitis Akut yang tidak adekuat.

Patofisiologi

Karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid
terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan
parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar yang akan
diisi oleh detritus (akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang
menutupi kripti berupa eksudat berwarna kekuning--‐ kuningan). Proses ini meluas
hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa
tonsillaris. Pada anak--‐ anak, proses ini akan disertai dengan pembesaran kelenjar
submandibula.

Manifestasi Klinis

Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut
yang berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus--‐ menerus pada tenggorokan
(odinofagi), nyeri waktu menelan, rasa mengganjal di tenggorokan, tenggorok terasa
kering dan bau mulut, demam dengan suhu tubuh tinggi, rasa lesu, rasa nyeri pada sendi-
-‐ sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri pada telinga.

Pemeriksaan fisik :

1. Tampak pembesaran tonsil dengan permukaan yang tidak rata oleh karena
hipertrofi dan perlengketan ke jaringan sekitar, kriptus yang melebar dan
beberapa kripti terisi oleh detritus, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau
seperti keju.
2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti
terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripte yang melebar
dan ditutupi eksudat yang purulen.

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur


jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua
tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :
T0 : Tonsil masuk di dalam fossa

T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring T2

: 25--‐ 50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T3 : 50--‐ 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

Pemeriksaan Penunjang

Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan apus
tonsil. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan derajat
keganasan yang rendah, seperti Streptokokus hemolitikus, Streptokokus viridans,
Stafilokokus, atau Pneumokokus.

Diagnosa Banding

Terdapat beberapa diagnosa banding dari tonsilitis kronis adalah sebagai berikut :

1. Penyakit--‐ penyakit dengan pembentukan Pseudomembran atau adanya membran


semu yang menutupi tonsil (Tonsilitis Membranosa)

a. Tonsilitis difteri
b. Angina plaut vincent (stomatitis ulseromembranosa)
c.Mononukleosis infeksiosa

Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membran semu yang menutup


ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan, terdapat pembesaran kelenjar limfe
leher, ketiak dan regio inguinal. Gambaran darah khas, yaitu terdapat leukosit
mononukleosis dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain adalah kesanggupan serum
pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba (Reaksi Paul Bunnel).

2. Penyakit Kronik Faring Granulomatus

a. Faringitis Tuberkulosa
Merupakan proses sekunder dari TBC paru. Keadaan umum pasien adalah
buruk karena anoreksi dan odinofagi. Pasien juga mengeluh nyeri hebat di
tenggorok, nyeri di telinga (otalgia) dan pembesaran kelenjar limfa leher.

b. Faringitis Luetika

Gambaran klinis tergantung dari stadium penyakit primer, sekunder atau


tersier. Pada penyakit ini dapat terjadi ulserasi superfisial yang sembuh
disertai pembentukan jaringan ikat. Sekuele dari gumma bisa
mengakibatkan perforasi palatum mole dan pilar tonsil.

c. Lepra (Lues)

Penyakit ini dapat menimbulkan nodul atau ulserasi pada faring kemudian
menyembuh dan disertai dengan kehilangan jaringan yang luas dan
timbulnya jaringan ikat.

d. Aktinomikosis Faring

Terjadi akibat pembengkakan mukosa yang tidak luas, tidak nyeri, bisa
mengalami ulseasi dan proses supuratif. Blastomikosis dapat mengakibatkan
ulserasi faring yang ireguler, superfisial, dengan dasar jaringan granulasi
yang lunak.

Penyakit--‐ penyakit diatas umumnya memiliki keluhan berhubungan dengan nyeri


tenggorokan (odinofagi) dan kesulitan menelan (disfagi). Diagnosa pasti berdasarkan
pada pemeriksaan serologi, hapusan jaringan atau kultur, foto X--‐ ray dan biopsi jaringan.

Penatalaksanaan
Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut dengan berkumur atau obat isap. Pengobatan
pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan pengangkatan tonsil
(Adenotonsilektomi). Tindakan ini dilakukan pada kasus--‐ kasus dimana
penatalaksanaan medis atau terapi konservatif yang gagal untuk meringankan gejala--‐
gejala. Penatalaksanaan medis termasuk pemberian antibiotika penisilin yang lama,
irigasi tenggorokan sehari--‐ hari dan usaha untuk membersihkan kripta tonsillaris
dengan alat irigasi gigi (oral).

Komplikasi

Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke


daerah sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil.
Adapun berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut

1. Komplikasi sekitar tonsil

a. Peritonsilitis

Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus
dan abses.

b. Abses Peritonsilar (Quinsy)


Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber infeksi
berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi,
menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi.

c. Abses Parafaringeal

Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah bening
atau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus
paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os petrosus.

d. Abses Retrofaring

Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya terjadi


pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih
berisi kelenjar limfe.

e. Krista Tonsil

Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan


fibrosa dan ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil berwarna
putih dan berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel.

f. Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil)

Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan


tonsilyang membentuk bahan keras seperti kapur.

2. Komplikasi Organ jauh

a. Demam rematik dan penyakit jantung rematik


b. Glomerulonefritis
c. Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
d. Psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
e. Artritis dan fibrositis.

Tonsilektomi

Tonsilektomi adalah tindakan mengangkat tonsil palatina seutuhnya bersama


jaringan patologis lainnya, sehingga fossa tonsilaris bersih tanpa meninggalkan trauma
yang berarti pada jaringan sekitarnya seperti uvula dan pilar tonsil.

Indikasi absolute :
1. Episode tonsillitis akut berulang lebih dari 3 kali dalam 1 tahun
2. Tonsilitis kronis walaupun tanpa eksaserbasi akut tapi merupakan fokal infeksi
3. Pasca abses peritonsiler
4. Karier difteri
5. Tonsilitis yang menyebabkan kejang demam.
6. Pembesaran tonsil yang dapat menyebabkan obstruksi pernafasan/OSAS atau
gangguan menelan
7. Dicurigai adanya keganasan pada tonsil

Indikasi relatif :
1. Nyeri tenggorokan berulang
2. Otalgia berulang
3. Rhinitis kronis
4. Infeksi saluran napas berulang
5. Tonsil yang besar atau dengan debris
6. Limfadenopati servikal
7. Tonsillitis TBC atau adenitis TBC
8. Penyakit sistemik akibat infeksi streptococcus beta haemolyticus ( demam
rematik, penyakit jantung rematik).

Kontraindikasi

A. Kontraindikasi absolut:

a. Penyakit darah: leukemia, anemia aplastik, hemofilia dan purpura


b. Penyakit sistemik yang tidak terkontrol: diabetes melitus, penyakit jantung dan
sebagainya.

B. Kontraindikasi relatif:

a. Palatoschizis
b. Anemia (Hb <10 gr% atau HCT <30%)
c. Infeksi akut saluran nafas atau tonsil (tidak termasuk abses peritonsiler)
d. Poliomielitis epidemik
e. Usia di bawah 3 tahun (sebaiknya ditunggu sampai 5 tahun)

Teknik Operasi
Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai
sekarang masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan
dan kekurangan. Penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi per sekundam.
Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri,
perdarahan perioperatif dan pasca operatif serta durasi operasi. Beberapa teknik
tonsilektomi dan peralatan baru ditemukan disamping teknik tonsilektomi
standar.
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah
teknik Guillotine dan diseksi . Beberapa teknik tonsilektomi diantaranya :
1. Guillotine
Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil secara cepat
dan praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk
melepas tonsil beserta kapsul tonsil dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari
tonsil karena tidak seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan yang hebat.
2. Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi.
Metode pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan
dalam anestesi. Tonsil digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan
ditarik kearah medial, sehingga menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan
menggunakan sickle knife dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
3. Teknik elektrokauter
Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai
kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi
berupa radiasi elektromagnetik untuk menghasilkan efek pada jaringan.
Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar
pada 0,1 hingga 4 Mhz. Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah
terjadinya gangguan konduksi saraf atau jantung.
4. Radiofrekuensi
Pada teknik ini radiofrekuensi elektrode disisipkan langsung kejaringan.
Densitas baru disekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuka
kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6
minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan
berkurang.
5. Skapel harmonik
Skapel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong
dan mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.
6. Teknik Coblation
Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang untuk
karena dapat memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi
untuk mengikis jaringan. Mekanisme kerja dari coblation ini adalah
menggunakan energi dari radiofrekuensi bipolar untuk mengubah sodium
sebagai media perantara yang akan membentuk kelompok plasma dan
terkumpul disekitar elektroda. Kelompok plasma tersebut akan mengandung
suatu partikel yang terionisasi dan kandungan plasma dengan partikel yang
terionisasi yang akan memecah ikatan molekul jaringan tonsil. Selain
memecah ikatan molekuler pada jaringan juga menyebabkan disintegrasi
molekul pada suhu rendah yaitu 40-70%, sehingga dapat meminimalkan
kerusakan jaringan sekitar.
7. Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsilektomi merupakan tonsilektomi parsial yang
dilakukan dengan menggunakan microdebrider endoskopi. Microdebrider
endoskopi bukan merupakan peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi,
namun tidak ada alat lain yang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat
ini dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya.
8. Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium
Titanyl Phosphat) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil.
Teknik ini mengurangi volume tonsil dan menghilangkan reses pada tonsil
yang menyebabkan infeksi kronik dan rekuren.
Komplikasi Tonsilektomi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi
lokal maupun umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan
gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi.
1. Komplikasi anestesi
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien.
Komplikasi yang dapat ditemukan berupa :
• Laringospasme
• Gelisah pasca operasi
• Mual muntah
• Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
• Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti
jantung
• Hipersensitif terhadap obat anestesi.
2. Komplikasi Bedah
a. Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus).
Perdarahan dapat terjadi selama operasi,segera sesudah operasi atau
dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35. 000 pasien.
sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan dalam
jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.
b. Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut
saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus
yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot
diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.
c. Komplikasi lain
Demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000),
aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal,
stenosis faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan pneumonia.
DAFTAR PUSTAKA

Brodsy L. Poje C. Tonsilitis, Tonsilectomy and Adeneidectomy. In: Bailey BJ. Johnson JT.
Head and Neck Surgery. Otolaryngology. 4rd Edition. Philadelphia: Lippinscott Williams
Wilkins Publishers. 2006. p1183--‐ 1208

Derake A. Carr MM. Tonsilectomy. Dalam: Godsmith AJ. Talaveran F. E--‐ medicine.com.inc.
2002:1--‐ 10

George LA. Penyakit--‐ penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam:Adams, Boies,


Higler(eds).buku ajar penyakit THT edisi 6. Jakarta:EGC;1997.hal 327--‐ 337

Netter, Frank H. 2006. Atlas of Human Anatomy 4th edition. Philadelphia : Saunders
Elsevier

Rusmarjono,efiaty AS. Faringitis,Tonsilitis,dan Hipertrofi Adenoid. Dalam; Soepardi


EA,iskandar NH(eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher, Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2007. Hal 214--‐ 225

Soepardi, Efiatyarsyad., dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Dan Leher Edisi Ketujuh. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Supriyanto,B.,Deviani,R.. 2005. Obstructive Sleep Apnea pada Anak. Sari Pediatri


vol.7,no. 2: 77--‐ 84

Anda mungkin juga menyukai