DISUSUN OLEH:
Farah Hayati Hadrani
1102012082
PEMBIMBING:
dr. Fahmi Attaufany, Sp. THT-KL
LAPORAN KASUS
I. Identitas pasien
Nama : An. I
Usia : 10 tahun
Agama : Islam
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Sodong – Buninagara RT03 RW 05
Status : Belum menikah
No. Rekam medis : 533XXX
Pekerjaan : Tidak bekerja
Pendidikan : SD
Tanggal periksa : 14 September 2017
II. Anamnesis
Anamnesis : Autoanamnesis & Alloanamnesis (Ibu pasien)
Keluhan utama : Nyeri menelan
Riwayat penyakit sekarang
Pasien usia 11 tahun datang ke Poliklinik THT RSUD Soreang
diantar orangtuanya dengan keluhan nyeri menelan sejak 2 hari yang lalu.
Keluhan nyeri menelan sering dirasakan pasien hilang timbul sebanyak 4-5
kali dalam 1 tahun. Keluhan disertai dengan rasa mengganjal di
tenggorokan terus menerus. Demam hilang timbul dirasakan sejak 2 hari
yang lalu. Napas bau tidak enak (+). Nafsu makan berkurang sejak pasien
sakit. Pasien mengaku nyeri telinga kanan tanpa keluar cairan. Pasien
mengaku tidur tidak mendengkur. Keluhan seperti sulit membuka mulut,
liur berlebih disangkal pasien.
Riwayat keluhan seperti ini sudah sering dirasakan pasien selama 1
tahun terakhir. Pasien sering batuk dan pilek hilang timbul dalam 2 tahun
terakhir. Pasien mengaku jarang menggosok gigi. Riwayat alergi
disangkal. Pasien sudah pernah berobat ke bidan lalu diberikan antibiotik,
namun keluhan masih tetap ada.
III. PEMERIKSAAN
Kesadaran : Composmentis
Suhu : 370C
Status Generalis
Abdomen : datar, soepel, BU (+) nomal, hepar dan lien tidak teraba
membesar
TELINGA
Auris
Bagian Kelainan
Dextra Sinistra
Auricula
HIDUNG
Nasal
Pemeriksaan
Dextra Sinistra
Bentuk (normal), Bentuk (normal),
Keadaan Bentuk dan
hiperemis (-), nyeri tekan hiperemis (-), nyeri
Luar ukuran
(-), deformitas (-) tekan (-), deformitas (-)
Konka inferior Edema (-), hiperemis (-) Edema (-), hiperemis (-)
Mukosa Hiperemis
Besar T3 – T3
Mukosa Hiperemis
Pada inspeksi tidak terlihat pembesaran kelenjar getah bening dan pada palpasi tidak
teraba pembesaran kelenjar getah bening leher.
IV. RESUME
Pasien anak berusia 11 tahun datang ke Poliklinik THT RSUD Soreang diantar
orangtuanya dengan keluhan nyeri menelan sejak 2 hari yang lalu. Keluhan nyeri
menelan sering dirasakan pasien hilang timbul sebanyak 4-5 kali dalam 1 tahun.
Keluhan disertai dengan rasa mengganjal di tenggorokan terus menerus. Demam
dirasakan sejak 2 hari yang lalu. Napas bau tidak enak (+). Nafsu makan berkurang
sejak pasien sakit. Riwayat keluhan seperti ini sudah sering dirasakan pasien selama 1
tahun terakhir. Pasien sering batuk dan pilek hilang timbul dalam 2 tahun terakhir.
Pasien mengaku jarang menggosok gigi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsil
kanan&kiri membesar T3/T3, peritonsier hiperemis, kripta melebar (+),
V. DIAGNOSA BANDING
VIII. TATALAKSAN
A Medikamentosa
Non Medikamentosa
– Tonsilektomi
– Menjaga kebersihan mulut
– Konsumsi gizi yang cukup
IX. PROGNOSIS
I. Anatomi Fisiologi
A. Anatomi Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Sekelompok jaringan limfoid pada faring
membentuk komposisi menyerupai cincin yang tidak sempurna, yang dinamakan cincin
waldeyer ( the waldeyer ring). Cincin waldeyer dapat ditemukan pada jalan masuk dari
trakrus aerodigestivus atas. Cincin waldeyer terdiri dari:
1. Tonsila palatina
2. Tonsila faringeal (adenoid)
3. Tonsila lingualis
4. Tonsila tubal
5. Lateral pharyngeal bands
6. Pharyngeal granulations
7. Jaringan limfoid di ventrikel ke laryngeal
Ketiga tonsil yang disebutkan pertama (tonsila lingualis, tonsila faringeal atau
adenoid dan tonsila palatina) merupakan komponen terbesar. Sedangkan empat yang
lainnya merupakan jaringan--‐ jaringan limfoid yang kecil.
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut
tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau
kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di
bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.
Adenoid terletak pada nasofaring yaitu pada dinding atas nasofaring bagian
belakang. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan
posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius
Pada masa pubertas adenoid ini akan menghilang atau mengecil sehingga jarang sekali
dijumpai pada orang dewasa. Ukuran adenoid bervariasi pada masing--‐ masing anak.
Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 6--‐ 7 tahun
kemudian akan mengalami atrofi.
Apabila adenoid membesar maka akan tampak sebagai sebuah massa yang terdiri
dari 4--‐ 5 lipatan longitudinal anteroposterior serta mengisi sebagian besar atas
nasofaring. Berlainan dengan tonsil, adenoid mengandung sedikit sekali kripta dan letak
kripta tersebut dangkal. Tidak ada jaringan khusus yang memisahkan adenoid ini
dengan m. konstriktor superior sehingga pada waktu adenoidektomi sukar mengangkat
jaringan ini secara keseluruhan.
Adenoid mendapat darah dari cabang--‐ cabang faringeal A. Karotis interna dan
sebagian kecil dari cabang--‐ cabang palatina A. Maksilaris. Darah vena dialirkan
sepanjang pleksus faringeus ke dalam V. Jugularis interna. Sedangkan persarafan
sensoris melelui N. Nasofaringeal yaitu cabang dari saraf otak ke IX dan juga melalui N.
Vagus.
Tonsila Lingualis
Merupakan kumpulan jaringan limfoid yang tidak berkapsul dan terdapat pada
basis lidah diantara kedua tonsil palatina dan meluas ke arah anteroposterior dari
papilla sirkumvalata ke epiglottis. Jaringan limfoid ini menyebar ke arah lateral dan
ukurannya mengecil. Dipisahkan dari otot--‐ otot lidah oleh suatu lapisan jaringan fibrosa.
Jumlahnya bervariasi, antara 30--‐ 100 buah. Pada permukaannya terdapat kripta yang
dangkal dengan jumlah yang sedikit. Sel--‐ sel limfoid ini sering mengalami degenerasi
disertai deskuamasi sel--‐ sel epitel dan bakteri, yang akhirnya membentuk detritus.
Tonsila Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa
tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan
pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2--‐ 5 cm.
Permukaan tonsil merupakan permukaan bebas dan mempunyai lekukan yang
merupakan muara dari kripta tonsil. Jumlah kripta tonsil berkisar antara 20--‐ 30 buah,
berbentuk celah kecil yang dilapisi oleh epitel berlapis gepeng. Beberapa kripta ada
yang berjalan kearah dalam substansia tonsil dan berakhir dibawah permukaan kapsul..
Kripta dengan ukuran terbesar terletak pada pole atas tonsil dan disebut kripta superior,
normalnya mengandung sel--‐ sel epitel, limfosit, bakteri, dan sisa makanan. Kripta
superior sering menjadi tempat pertumbuhan kuman karena kelembaban dan suhunya
sesuai untuk pertumbuhan kuman, juga karena tersedianya substansi makanan di daerah
tersebut. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong
diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar
Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat, folikel
germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan
limfoid).
Fossa tonsilaris di bagian depan dibatasi oleh pilar anterior (arkus plalatina
anterior), sedangkan di bagian belakang dibatasi oleh pilar posterior (arkus palatina
posterior), yang kemudian bersatu di pole atas dan selanjutnya bersama--‐ sama dengan
m. Palatina membentuk palatum molle. Bagian atas fossa tonsilaris kosong dinamakan
fossa supratonsiler yang merupakan jaringan ikat longgar.
Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh kapsula fibrosa yang kuat dan
berhubungan dengan fascia faringobasilaris yang melapisi M. konstriktor faringeus.
Kapsul tonsil tersebut masuk ke dalam jaringan tonsil, membentuk septa yang
mengandung pembuluh darah dan saraf tonsil.
Kutub bawah tonsil melekat pada lipatan mukosa yang disebut plika triangularis,
dimana pada bagian bawahnya terdapat folikel yang kadang--‐ kadang membesar. Plika ini
penting karena sikatrik yang terbantuk setelah proses tonsilektomi dapat menarik
folikel tersebut ke dalam fossa tonsilaris, sehingga dapat dikelirukan sebagai sisa tonsil.
Pole atas tonsil terletak pada cekungan yang berbentuk bulan sabit, disebut
sebagai plika semilunaris. Pada plika ini terdapat massa kecil lunak, letaknya dekat
dengan ruang supratonsil dan disebut glandula salivaris mukosa dari Weber, yang
penting peranannya dalam pembentukan abses peritonsil. Pada saat tonsilektomi,
jaringan areolar yang lunak antara tonsil dengan fosa tonsilaris mudah dipisahkan.
Di sekitar tonsil terdapat 3 ruang potensial yang secara klinik sering menjadi tempat
penyebaran infeksi dari tonsil. Ketiga ruang potensial tersebut adalah :
Dalam ruang ini terdapat kelenjar salivarius Weber, yang bila terinfeksi dapat menyebar
ke ruang peritonsil, menjadi abses peritonsil.
2. Ruang retromolar
Terdapat tepat di belakang gigi molar 3, berbentuk oval, merupakan sudut yang
dibentuk oleh ramus dan korpus mandibula. Di sebelah medial terdapat m. Buccinator,
sementara pada bagian postero--‐ medialnya terdapat m. Pterygoideus internus dan
bagian atas terdapat fasikulus longus M. temporalis. Bila terjadi abses hebat pada
daerah ini akan menimbulkan gejala utama trismus disertai sakit yang amat sangat,
sehingga sulit dibedakan dengan abses peritonsilar.
Merupakan ruang yang lebih besar dan luas serta banyak terdapat pembuluh darah
besar, sehingga bila terjadi abses, berbahaya sekali. Adapun batas--‐ batas ruang ini adalah
Ruang parafaring ini terbagi 2 (tidak sama besar) oleh prosesus styloideus dan otot--‐ otot
yang melekat pada prosesus styloideus tersebut :
- Ruang pre--‐ styloid, lebih besar, abses dapat timbul oleh karena : radng tonsil,
mastoiditis, parotitis, karies gigi atau tindakan operatif.
- Ruang post--‐ styloid, lebih kecil, di dalamnya terdapat : A. karotis interna, V. Jugularis,
N. Vagus dan saraf--‐ saraf simpatis.
Ruang parafaring ini hanya dibatasi oleh fascia yang tipis dengan ruang retrofaring.
Ruang retrofaring
T0 : Post tonsilektomi
Vaskularisasi
B. Fisiologi Tonsil
Fungsi jaringan limfoid faring adalah memproduksi sel--‐ sel limfosit tetapi
peranannya sendiri dalam mekanisme pertahanan tubuh masih diragukan. Penelitian
menunjukkan bahwa tonsil memegang peranan penting dalam fase--‐ fase permulaan
kehidupan terhadap infeksi mukosa nasofaring dari udara pernafasan sebelum masuk
ke dalam saluran nafas bagian bawah.
Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel
membran), makrofag, sel dendrit, dan APCs yang berperan dalam transportasi antigen
ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B,
limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil merupakan jaringan limfoid yang
mengandung sel limfosit, 0,1--‐ 0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa.
Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55--‐ 75%:15--‐
30%.
Kuman--‐ kuman patogen yang terdapat dalam flora normal tonsil dan faring tidak
menimbulkan peradangan, karena pada daerah ini terdapat mekanisme pertahanan dan
hubungan timbal balik antara berbagai jenis kuman.
Bila ada alergen, maka alergen tersebut akan bereaksi dengan IgE sehingga
permukaan sel membrannya terangsang dan terjadilah proses degranulasi. Proses ini
akan menyebabkan keluarnya histamin sehingga timbul reaksi hipersensitivitas tipe 1,
yaitu atopi, anafilaksis, urtikaria, dan angioedema.
II. TONSILITIS
Definisi
Tonsilitis merupakan infeksi pada tonsil yang disebabkan oleh virus dan bakteri.
Klasifikasi
1. Tonsilitis Akut
Etiologi
Tonsillitis akut paling sering disebabkan oleh bakteri grup A Streptokokus beta
hemolitikus, pneumokokus, Pneumokokus, Streptokokus viridian dan Streptokokus
piogenes. Penyebab paling sering tonsillitis akibat virus adalah Epstein Barr, Haemofilus
Influenza.
Patofisiologi
Infeksi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi
radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear, sehingga terbentuk detritus.
Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas.
Secara klinis detritus mengisi kripta tonsil dan tampak sebagai bercak kuning. Bentuk
tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilits folikularis. Bila bercak--‐ bercak
detritus ini menjadi satu, membentuk alur--‐ alur, maka akan terjadi tonsilitis lacunaris.
Bercak detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk membran semu
(pseudomembran) yang menutupi tonsil.
Masa inkubasi 2--‐ 4 hari. Gejala dan tanda--‐ tanda yang ditemukan meliputi nyeri
tenggorok dan nyeri sewaktu menelan, nafas yang berbau, suara akan menjadi serak,
demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di persendian, tidak nafsu
makan, dan rasa nyeri di telinga (otalgia).
Infeksi dapat kambuh dan berulang yang dinamakan tonsilitis akut rekuren, dimana
kekambuhan terjadi 4 sampai 7 kali dalam setahun atau 5 kali kambuh dalam 2 tahun
berturut--‐ turut, atau tiga kali kambuh dalam 3 tahun berturut--‐ turut.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Penunjang
Komplikasi
Otitis media akut (pada anak--‐ anak), abses peritonsil, abses parafaring,
toksemia, septicemia, bronchitis, glomerulonefritis akut, miokarditis, dan arthritis.
Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien sulit bernafas melalui mulut, tidur
mendengkur, gangguan tidur karena terjadinya sleep apnea yang dikenal sebagai
obstructive sleep apnea syndrome (OSAS).
2. Tonsilitis Membranosa
Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium diphteriae yaitu suatu kuman gram
positif yang hidup di saluran pernapasan bagian atas yaitu hidung, faring dan laring.
Patofisiologi
Bakteri masuk melalui mukosa lalu melekat serta berkembang biak pada permukaan
mukosa saluran pernapasan atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke
sekeliling lalu selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalu pembuluh darah dan
limfe. Toksin ini merupakan suatu protein yang mempunyai 2 fragmen yaitu
aminoterminal sebagai fragmen A dan fragmen B, carboxyterminal yang disatukan
melalui ikatan disulfide.
Manifestasi klinis
Tonsillitis difteri sering ditemukan pada anak usia kurang dari 10 tahun dan
frekuensi tertinggi usia 2--‐ 5 tahun, walaupun penyakit ini masih mungkin terjadi
pada orang dewasa. Penularan melalui udara, benda atau makanan uang
terkontaminasai dengan masa in kubasi 2--‐ 7 hari.
1. Gejala umum dari penyaki ini adalah terjadi kenaikan suhu subfebris pada
38ºC, tidak lebih dari 39ºC, nyeri kepala, tidak nafsu makan, nyeri menelan.
badan lemah, dan nadi lambat.
2. Gejala local berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor makin
lama makin meluas dan menyatu membentuk membran semu. Membran ini
dapat meluas ke palatum molle, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus
yang dapat menyumbat saluran napas. .Jika menutupi laring akan
menimbulkan serak dan stridor inspirasi, bila menghebat akan terjadi sesak
nafas. Membran semu melekat erat pada dasarnya dan bila diangkat akan
timbul pendarahan. Bila infeksi tidak terbendung kelenjar limfa leher akan
membengkak menyerupai leher sapi (bull neck) atau Burgemeester’s hals.
3. Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan pada jantung berupa
miokarditis sampai decompensation cordis. Mengenai saraf kranial dapat
menyebabkan kelumpuhan otot pernafasan dan otot-otot mata. Pada ginjal
dapat menimbulkan albuminuria.
Diagnosis
Pemeriksaan
1) Tes Laboratorium
Pengobatan
3) Kortikosteroid : prednison 1,0--‐ 1,5 mg/kgbb/p.o tiap 6--‐ 8 jam pada kasus berat
selama 14 hari. diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran
nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.
Komplikasi
Laryngitis difteri, miokarditis, kelumpuhan otot palatum mole, kelumpuhan otot mata,
otot faring laring sehingga suara parau, kelumpuhan otot pernapasan, dan albuminuria.
Pencegahan
Untuk mencegah penyakit ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan pada diri
anak serta memberikan penyuluhan tentang penyakit ini pada anak--‐ anak. Selain itu
juga diberikan imunisasi yang terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan carrier. 3
Tes Kekebalan
2) Kekebalan pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap
diphtheria (sampai 6 bulan) dan suntikan antitoksin (2--‐ 3 minggu).
Etiologi
Manifstasi Klinis
Penyakit ini biasanya ditandai dengan demam sampai 39o celcius, nuyeri kepala,
badan lemah, dan terkadang terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut,
hipersalivasi, gigi, dan gusi mudah berdarah.
Pemeriksaan
Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membrane putih keabuan di atas
tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau dan kelenjar
submanibula membesar.
Pengobatan
3. Tonsilitis Kronis
Etiologi
Bakteri penyebab tonsillitis kronis sama halnya dengan tonsillitis akut, namun
terkadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan Gram negatif. Etiologi berdasarkan
Morrison yang mengutip hasil penyelidikan dari Commission on Acute Respiration
Disease bekerja sama dengan Surgeon General of the Army America dimana dari 169
kasus didapatkan data sebagai berikut :
Patofisiologi
Karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid
terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan
parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar yang akan
diisi oleh detritus (akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang
menutupi kripti berupa eksudat berwarna kekuning--‐ kuningan). Proses ini meluas
hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa
tonsillaris. Pada anak--‐ anak, proses ini akan disertai dengan pembesaran kelenjar
submandibula.
Manifestasi Klinis
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut
yang berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus--‐ menerus pada tenggorokan
(odinofagi), nyeri waktu menelan, rasa mengganjal di tenggorokan, tenggorok terasa
kering dan bau mulut, demam dengan suhu tubuh tinggi, rasa lesu, rasa nyeri pada sendi-
-‐ sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri pada telinga.
Pemeriksaan fisik :
1. Tampak pembesaran tonsil dengan permukaan yang tidak rata oleh karena
hipertrofi dan perlengketan ke jaringan sekitar, kriptus yang melebar dan
beberapa kripti terisi oleh detritus, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau
seperti keju.
2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti
terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripte yang melebar
dan ditutupi eksudat yang purulen.
Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan apus
tonsil. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan derajat
keganasan yang rendah, seperti Streptokokus hemolitikus, Streptokokus viridans,
Stafilokokus, atau Pneumokokus.
Diagnosa Banding
Terdapat beberapa diagnosa banding dari tonsilitis kronis adalah sebagai berikut :
a. Tonsilitis difteri
b. Angina plaut vincent (stomatitis ulseromembranosa)
c.Mononukleosis infeksiosa
a. Faringitis Tuberkulosa
Merupakan proses sekunder dari TBC paru. Keadaan umum pasien adalah
buruk karena anoreksi dan odinofagi. Pasien juga mengeluh nyeri hebat di
tenggorok, nyeri di telinga (otalgia) dan pembesaran kelenjar limfa leher.
b. Faringitis Luetika
c. Lepra (Lues)
Penyakit ini dapat menimbulkan nodul atau ulserasi pada faring kemudian
menyembuh dan disertai dengan kehilangan jaringan yang luas dan
timbulnya jaringan ikat.
d. Aktinomikosis Faring
Terjadi akibat pembengkakan mukosa yang tidak luas, tidak nyeri, bisa
mengalami ulseasi dan proses supuratif. Blastomikosis dapat mengakibatkan
ulserasi faring yang ireguler, superfisial, dengan dasar jaringan granulasi
yang lunak.
Penatalaksanaan
Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut dengan berkumur atau obat isap. Pengobatan
pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan pengangkatan tonsil
(Adenotonsilektomi). Tindakan ini dilakukan pada kasus--‐ kasus dimana
penatalaksanaan medis atau terapi konservatif yang gagal untuk meringankan gejala--‐
gejala. Penatalaksanaan medis termasuk pemberian antibiotika penisilin yang lama,
irigasi tenggorokan sehari--‐ hari dan usaha untuk membersihkan kripta tonsillaris
dengan alat irigasi gigi (oral).
Komplikasi
a. Peritonsilitis
Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus
dan abses.
c. Abses Parafaringeal
Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah bening
atau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus
paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os petrosus.
d. Abses Retrofaring
e. Krista Tonsil
Tonsilektomi
Indikasi absolute :
1. Episode tonsillitis akut berulang lebih dari 3 kali dalam 1 tahun
2. Tonsilitis kronis walaupun tanpa eksaserbasi akut tapi merupakan fokal infeksi
3. Pasca abses peritonsiler
4. Karier difteri
5. Tonsilitis yang menyebabkan kejang demam.
6. Pembesaran tonsil yang dapat menyebabkan obstruksi pernafasan/OSAS atau
gangguan menelan
7. Dicurigai adanya keganasan pada tonsil
Indikasi relatif :
1. Nyeri tenggorokan berulang
2. Otalgia berulang
3. Rhinitis kronis
4. Infeksi saluran napas berulang
5. Tonsil yang besar atau dengan debris
6. Limfadenopati servikal
7. Tonsillitis TBC atau adenitis TBC
8. Penyakit sistemik akibat infeksi streptococcus beta haemolyticus ( demam
rematik, penyakit jantung rematik).
Kontraindikasi
A. Kontraindikasi absolut:
B. Kontraindikasi relatif:
a. Palatoschizis
b. Anemia (Hb <10 gr% atau HCT <30%)
c. Infeksi akut saluran nafas atau tonsil (tidak termasuk abses peritonsiler)
d. Poliomielitis epidemik
e. Usia di bawah 3 tahun (sebaiknya ditunggu sampai 5 tahun)
Teknik Operasi
Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai
sekarang masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan
dan kekurangan. Penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi per sekundam.
Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri,
perdarahan perioperatif dan pasca operatif serta durasi operasi. Beberapa teknik
tonsilektomi dan peralatan baru ditemukan disamping teknik tonsilektomi
standar.
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah
teknik Guillotine dan diseksi . Beberapa teknik tonsilektomi diantaranya :
1. Guillotine
Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil secara cepat
dan praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk
melepas tonsil beserta kapsul tonsil dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari
tonsil karena tidak seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan yang hebat.
2. Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi.
Metode pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan
dalam anestesi. Tonsil digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan
ditarik kearah medial, sehingga menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan
menggunakan sickle knife dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
3. Teknik elektrokauter
Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai
kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi
berupa radiasi elektromagnetik untuk menghasilkan efek pada jaringan.
Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar
pada 0,1 hingga 4 Mhz. Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah
terjadinya gangguan konduksi saraf atau jantung.
4. Radiofrekuensi
Pada teknik ini radiofrekuensi elektrode disisipkan langsung kejaringan.
Densitas baru disekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuka
kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6
minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan
berkurang.
5. Skapel harmonik
Skapel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong
dan mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.
6. Teknik Coblation
Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang untuk
karena dapat memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi
untuk mengikis jaringan. Mekanisme kerja dari coblation ini adalah
menggunakan energi dari radiofrekuensi bipolar untuk mengubah sodium
sebagai media perantara yang akan membentuk kelompok plasma dan
terkumpul disekitar elektroda. Kelompok plasma tersebut akan mengandung
suatu partikel yang terionisasi dan kandungan plasma dengan partikel yang
terionisasi yang akan memecah ikatan molekul jaringan tonsil. Selain
memecah ikatan molekuler pada jaringan juga menyebabkan disintegrasi
molekul pada suhu rendah yaitu 40-70%, sehingga dapat meminimalkan
kerusakan jaringan sekitar.
7. Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsilektomi merupakan tonsilektomi parsial yang
dilakukan dengan menggunakan microdebrider endoskopi. Microdebrider
endoskopi bukan merupakan peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi,
namun tidak ada alat lain yang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat
ini dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya.
8. Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium
Titanyl Phosphat) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil.
Teknik ini mengurangi volume tonsil dan menghilangkan reses pada tonsil
yang menyebabkan infeksi kronik dan rekuren.
Komplikasi Tonsilektomi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi
lokal maupun umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan
gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi.
1. Komplikasi anestesi
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien.
Komplikasi yang dapat ditemukan berupa :
• Laringospasme
• Gelisah pasca operasi
• Mual muntah
• Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
• Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti
jantung
• Hipersensitif terhadap obat anestesi.
2. Komplikasi Bedah
a. Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus).
Perdarahan dapat terjadi selama operasi,segera sesudah operasi atau
dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35. 000 pasien.
sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan dalam
jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.
b. Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut
saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus
yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot
diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.
c. Komplikasi lain
Demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000),
aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal,
stenosis faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan pneumonia.
DAFTAR PUSTAKA
Brodsy L. Poje C. Tonsilitis, Tonsilectomy and Adeneidectomy. In: Bailey BJ. Johnson JT.
Head and Neck Surgery. Otolaryngology. 4rd Edition. Philadelphia: Lippinscott Williams
Wilkins Publishers. 2006. p1183--‐ 1208
Derake A. Carr MM. Tonsilectomy. Dalam: Godsmith AJ. Talaveran F. E--‐ medicine.com.inc.
2002:1--‐ 10
Netter, Frank H. 2006. Atlas of Human Anatomy 4th edition. Philadelphia : Saunders
Elsevier
Soepardi, Efiatyarsyad., dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Dan Leher Edisi Ketujuh. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia