Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

MANAJEMEN KEGUGURAN BERULANG

Disusun oleh:
Ayuningtyas Tri Handini
1102013050

Pembimbing:
dr. H. Dadan Susandi, Sp.OG

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN BAGIAN ILMU


OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD DR. SLAMET GARUT
Garut, September 2017
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan kekuatan dan
kemampuan kepada penyusun sehingga penyusunan Referat yang berjudul
“MANAJEMEN KEGUGURAN BERULANG” ini dapat diselesaikan.

Referat ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti dan
menyelesaikan kepaniteraan klinik SMF Obsetri dan Ginekologi di RSU Dr.Slamet
Garut. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :

1. dr. H. Dadan Susandi, Sp.OG, selaku dokter pembimbing.

2. Para Bidan dan Pegawai di Bagian SMF Obstetri dan Ginekologi RSUD
Dr.Slamet Garut.

3. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RSUD Dr.Slamet Garut.

Segala daya upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan referat yang baik
dan bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan berpikir
penulis. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar
dapat menghasilkan tulisan yang lebih baik di kemudian hari.

Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca, khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan dalam
menjalani aplikasi ilmu.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Garut, September 2017

Penulis

2
PENDAHULUAN

Secara umum, diagnosa keguguran berulang tidak ditegakkan sampai seorang


wanita kehilangan setidaknya tiga kehamilan. Sekitar 20% kehamilan berakhir
dengan keguguran karena penyebab non-rekuren. Jadi, risiko dua keguguran
berturut-turut adalah 20% dari 20% atau 4% wanita akan mengalami dua
keguguran. Kemungkinan tiga keguguran akan menjadi 0,16%. Ini berarti bahwa
jika seorang wanita mengalami tiga kali keguguran, sangat tidak mungkin hal ini
disebabkan oleh tiga penyebab yang berbeda. Kemungkinan terdapat satu kelainan
spesifik atau kondisi yang mendasari yang mengakibatkan ketiga keguguran
tersebut. Dan jika tidak terdeteksi atau tidak diobati, kemungkinan besar wanita
tersebut berisiko mengalami keguguran pada kehamilan berikutnya.

ABORTUS

I. DEFINISI
Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum janin dapat hidup di dunia
luar, tanpa persoalan penyebabnya. Bayi baru mungkin hidup di dunia luar
bila berat badannya telah mencapai >500 gr atau umur kehamilan >20
minggu.

II. KLASIFIKASI
1. Abortus spontan adalah keluarnya hasil konsepsi tanpa intervensi medis
maupun mekanis.
2. Abortus buatan, abortus provocatus (disengaja, digugurkan), yaitu:
a. Abortus buatan menurut kaidah ilmu (abortus provocatus artificialis
atau abortus therapeuticus). Indikasi abortus untuk kepentingan ibu,
misalnya: penyakit jantung, hipertensi esensial, dan karsinoma
serviks. Keputusan ini diputuskan oleh tim ahli yang terdiri dari
dokter ahli kebidanan, penyakit dalam dan psikiatri, atau psikolog.
b. Abortus buatan criminal (abortus provocatus criminalis) adalah
pengguguran kehamilan tanpa alasan medis yang sah atau oleh

3
orang yang tidak berwenang dan dilarang oleh hukum atau
dilakukan oleh yang tidak berwenang.
Kemungkinan adanya abortus provocatus kriminalis harus
dipertimbangkan bila ditemukan abortus fibrilis.
Aspek hukum dari tindakan abortus buatan harus diperhatikan.
Bahaya abortus buatan kriminalis:
 infeksi
 infertilitas sekunder
 kematian

Gambaran klinis abortus spontan:

 Abortus iminens (keguguran mengancam)


Abortus ini baru mengancam dan masih ada harapan untuk
mempertahankannya, ostium uteri tertutup, uterus sesuai umur
kehamilan.
 Abortus insipiens (keguguran berlangsung)
Abortus ini sedang berlangsung dan tidak dapat dicegah lagi, ostium
terbuka, teraba ketuban, berlangsung hanya beberapa jam saja.
 Abortus inkompletus (keguguran tidak lengkap. Sebagian dari buah
kehamilan telah dilahirkan, tetapi sebagian (biasanya jaringan plasenta)
masih tertinggal di dalam Rahim, ostium terbuka teraba jaringan.
 Abortus kompletus (keguguran lengkap)
Seluruh buah kehamilan telah dilahirkan dengan lengkap, ostium
tertutup, uterus lebih kecil dari umur kehamilan atau ostium terbuka
kavum uteri kosong.
 Abortus tertunda (missed abortion)
Keadaan dimana janin telah mati sebelum minggu ke-20, tetapi tertahan
di dalam Rahim selama beberapa minggu setelah janin mati. Batasan ini
berbeda dengan Batasan ultrasonografi.
 Abortus habitualis (keguguran berulang)

4
Abortus yang telah berulang dan berturut-turut terjadi, sekurang-
kurangnya 3 kali berturut-turut.

Gambar 1. Klasifikasi Abortus Spontan

Menurut Saifuddin (2007), ada beberapa kriteria dugaan abortus spontan


(keguguran) sebagai berikut :
1. Terjadi perdarahan
2. Disertai sakit perut
3. Dapat diikuti oleh pengeluaran hasil konsepsi
4. Pemeriksaan hasil tes kehamilan dapat masih positif atau sudah
negatif.

Hasil pemeriksaan fisik terhadap penderita bervariasi :


1. Pemeriksaan fisik bervariasi tergantung jumlah perdarahan
2. Pemeriksaan fundus uteri :
a. Tinggi dan besarnya tetap dan sesuai dengan umur kehamilan
b. Tinggi dan besarnya sudah mengecil
c. Fundus uteri tidak teraba diatas simfisis
3. Pemeriksaan dalam :
a. Serviks uteri masih tertutup.
b. Serviks sudah terbuka dan dapat teraba ketuban dan hasil konsepsi
dalam kavum uteri atau pada kanalis servikalis.
c. Besarnya rahim (uterus) telah mengecil.
d. Konsistensinya lunak.

5
III. PATOFISIOLOGI
Menurut Sastrawinata dan kawan-kawan (2005), kebanyakan abortus
spontan terjadi segera setelah kematian janin yang kemudian diikuti dengan
perdarahan ke dalam desidua basalis, lalu terjadi perubahan-perubahan
nekrotik pada daerah implantasi, infiltrasi sel-sel peradangan akut, dan
akhirnya perdarahan per vaginam. Buah kehamilan terlepas seluruhnya atau
sebagian yang diinterpretasikan sebagai benda asing dalam rongga rahim.
Hal ini menyebabkan kontraksi uterus dimulai, dan segera setelah itu terjadi
pendorongan benda asing itu keluar rongga rahim (ekspulsi). Perlu
ditekankan bahwa pada abortus spontan, kematian embrio biasanya terjadi
paling lama dua minggu sebelum perdarahan.
Oleh karena itu, pengobatan untuk mempertahankan janin tidak
layak dilakukan jika telah terjadi perdarahan banyak karena abortus tidak
dapat dihindari. Sebelum minggu ke-10, hasil konsepsi biasanya
dikeluarkan dengan lengkap. Hal ini disebabkan sebelum minggu ke-10 vili
korialis belum menanamkan diri dengan erat ke dalam desidua hingga telur
mudah terlepas keseluruhannya. Antara minggu ke-10 hingga minggu ke-
12 korion tumbuh dengan cepat dan hubungan vili korialis dengan desidua
makin erat hingga mulai saat tersebut sering sisa-sisa korion (plasenta)
tertinggal kalau terjadi abortus. Pengeluaran hasil konsepsi didasarkan 4
cara:
 Keluarnya kantong korion pada kehamilan yang sangat dini,
meninggalkan sisa desidua.
 Kantong amnion dan isinya (fetus) didorong keluar, meninggalkan
korion dan desidua.
 Pecahnya amnion terjadi dengan putusnya tali pusat dan pendorongan
janin ke luar, tetapi mempertahankan sisa amnion dan korion (hanya
janin yang dikeluarkan).
 Seluruh janin dan desidua yang melekat didorong keluar secara utuh.
Kuretasi diperlukan untuk membersihkan uterus dan mencegah
perdarahan atau infeksi lebih lanjut.

6
IV. MEKANISME
Mekanisme awal terjadinya abortus adalah lepasnya sebagian atau seluruh
bagian embrio akibat adanya perdarahan minimal pada desidua. Kegagalan
fungsi plasenta yang terjadi akibat perdarahan subdesidua tersebut
menyebabkan terjadinya kontraksi uterus dan mengawali proses abortus.
Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, embrio rusak atau cacat yang masih
terbungkus dengan sebagian desidua dan villi chorialis cenderung
dikeluarkan secara in toto , meskipun sebagian dari hasil konsepsi masih
tertahan dalam kavum uteri atau di kanalis servikalis. Perdarahan
pervaginam terjadi saat proses pengeluaran hasil konsepsi.
Pada kehamilan 8 – 14 minggu, mekanisme diatas juga terjadi atau diawali
dengan pecahnya selaput ketuban lebih dulu dan diikuti dengan pengeluaran
janin yang cacat namun plasenta masih tertinggal dalam kavum uteri.
Plasenta mungkin sudah berada dalam kanalis servikalis atau masih melekat
pada dinding kavum uteri. Jenis ini sering menyebabkan perdarahan
pervaginam yang banyak.

Pada kehamilan minggu ke 14 – 22, Janin biasanya sudah dikeluarkan dan


diikuti dengan keluarnya plasenta beberapa saat kemudian. Kadang-kadang
plasenta masih tertinggal dalam uterus sehingga menyebabkan gangguan
kontraksi uterus dan terjadi perdarahan pervaginam yang banyak.
Perdarahan umumnya tidak terlalu banyak namun rasa nyeri lebih menonjol.
Dari penjelasan di atas jelas bahwa abortus ditandai dengan adanya
perdarahan uterus dan nyeri dengan intensitas beragam (Prawirohardjo,
2014).

7
MANAJEMEN KEGUGURAN BERULANG

I. DEFINISI
Keguguran berulang ialah keguguran yang terjadi hingga tiga kali berturut-
turut dengan berat janin kurang dari 500 gram. Diperkirakan setiap tahun,
satu dari enam kehamilan berakhir dengan keguguran. Sekitar 15 persen
terjadi sebelum janin berusia 20 minggu. Pada wanita dibawah 20 tahun,
angka keguguran mencapai 12%. Risikonya meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Wanita yang pernah mengalami keguguran, mempunyai
risiko 10-20 persen untuk keguguran lagi pada kehamilan berikutnya
(Vitahealth, 2007).

II. EPIDEMIOLOGI

Insidensi dua kali keguguran adalah sekitar 5% dan hanya 1% mengalami


tiga atau lebih keguguran dari semua kehamilan (Rai dan Regan, 2006).
Angka keguguran spontan di Indonesia adalah 10-15% dan ada sekitar 5
juta kehamilan per tahun di Indonesia yang mengalami keguguran spontan
dan diperkirakan sekitar 500.000-7.500.000 per tahun (Azhari, 2002;
Baziad et al, 2010). Angka keguguran per tahun adalah sekitar 37 per 1000
wanita usia reproduksi di Indonesia, angka ini cukup tinggi dibandingkan
dengan Negara Negara lain di Asia secara keseluruhan: regional sekitar 29
per 1000 wanita usia reproduksi (Guttmacher, 2008). Keguguran berulang
adalah sekitar 3-5% di Indonesia (Harijanto, 2010). Di RS Dr.Hasan Sadikin
Bandung, kejadian 2 kali keguguran adalah 1,79% (Ningrum et al, 2004).

Sementara itu di HFC Medan, jumlah kasus keguguran berulang adalah 123
pasien dari seluruh 2876 pasien infertilitas yang berobat, diperkirakan
sekitar 4,28% (HFC, 2011).

8
III. ETIOLOGI

Gambar 2. Penyebab Keguguran Berulang

a. Genetik / kromosom penyebab.

Analisis kromosom yang dilakukan dari darah orang tua


mengidentifikasi kelainan genetik yang diturunkan kurang dari 5% dari
pasangan. Tampaknya kemungkinan etiologi ini akan meningkat pada
kelompok dengan: pasangan dengan usia ibu yang rendah <35 tahun,
riwayat tiga atau lebih keguguran dari garis keluarga tingkat satu (orang tua
atau saudara kandung) (Toth et al, 2010). Translokasi adalah kelainan
kromosom yang paling umum diwariskan. Meskipun orang tua dengan
kromosom translokasi sering terlihat normal, embrio yang mereka hasilkan
dapat menerima materi genetik terlalu banyak atau terlalu sedikit yang dapat
mengakibatkan keguguran. Bertolak belakang dengan penemuan yang
jarang terjadi dari penyebab genetik yang diwariskan, banyak keguguran
terjadi karena kelainan kromosom acak pada embrio (Franssen et al, 2005).
Bahkan, 50-75% atau lebih dari keguguran dini disebabkan oleh kelainan
kromosom secara acak, kelainan kromosom ini biasanya numerik (Fritz dan
Speroff, 2005). Aberasi kromosom janin dan adanya kelainan kromosom
yang tumbuh pada janin misalnya pada trisomi 16 atau trisomi 21 (sindroma
Down) merupakan penyebab terjadinya abortus. Pada kelainan monosomi

9
X (45 X atau sindroma Turner) juga dapat memberikan kegagalan janin
yang berakhir dengan abortus.

b. Usia ibu yang lanjut.


Pada usia 40, lebih dari sepertiga dari seluruh kehamilan, pada usia 43,
setengah dari seluruh kehamilan dan setelah usia 45, hampir semua
kehamilan akan mengalami keguguran. Sebagian besar embrio memiliki
jumlah abnormal kromosom (Fritz dan Speroff, 2005; ASRM 2008).
c. Kelainan hormonal.
Progesteron yang dihasilkan dari korpus luteum sangat diperlukan untuk
keberhasilan implantasi dan pemeliharaan dari awal kehamilan sampai
produksi progesteron diambil alih oleh plasenta.
Masih ada kontroversi mengenai kondisi yang disebut dengan defek fase
luteal dimana kadar progesteron rendah selama kehamilan dan ini
dinyatakan dapat menyebabkan keguguran (Erdem et al, 2009). Pertanda
adanya defek fase luteal ialah bila ditemukan kadar progesteron <10 ng/ml
satu minggu menjelang haid yang akan datang, atau 5-7 hari setelah puncak
luteinizing hormone (LH). Gangguan fase luteal bisa menyebabkan
disfungsi tuba dengan akibat transport ovum terlalu cepat, motilitas uterus
yang berlebihan, dan kesukaran dalam nidasi karena endometrium tidak
dipersiapkan dengan baik.
d. Kelainan metabolik.
Diabetes yang tidak terkontrol meningkatkan risiko keguguran pada wanita.
Obesitas (Clark et al, 1998) dan Sindrom Ovarium polikistik (PCOS),
memiliki resiko yang lebih tinggi terjadinya keguguran karena adanya
resistensi insulin (Wang et al, 2001) atau karena meningkatnya kadar
androgen dan LH (Clifford, 1996). Pasien dengan gangguan tiroid yang
tidak diobati juga dapat mengakibatkan keguguran berulang (Abalovich et
al, 2002).
e. Kelainan uterus.
Distorsi rongga rahim dapat ditemukan pada sekitar 10% sampai 15% dari
wanita dengan keguguran berulang. Kelainan bawaan seperti uterus

10
didelphys, bicornis, unicornis, septum uterus, hingga sindrom ashermann,
fibroid dan polip rahim yang merupakan kelainan yang didapat bisa juga
menyebabkan keguguran berulang (Salim et al, 2003).

Gejala Ashermann syndrome dapat berupa gangguan menstruasi seperti


hypomenorrhea, amenorrhea dan infertilitas serta abortus berulang.

Faktor kelainan anatomi uterus yang didapat ini disebabkan karena


kerusakan endometrium yang luas akibat kuretase berulang pada waktu
infeksi, missed abortion atau post partum, sehingga tidak terjadi implantasi.
Keadaan ini terjadi karena sulitnya mengontrol kedalaman saat melakukan
kuretase pada wanita hamila karena uterus lembek. Akibatnya lapisan
basalis endometrium terlepas sehingga pertumbuhan endometrium
terhambat dan adanya proses kontraksi uterus post partum maka uterus
saling melekat.

Pada serviks inkompeten terjadi kelemahan mekanisme sfingter, sehingga


bila terjadi peningkatan tekanan intra uteri karena kehamilan dapat
menyebabkan prolaps dan ballooning membran ke dalam vagina, melalui
serviks yang berdilatasi tanpa disertai rasa mulas pada trimester kedua atau
awal trimester ketiga kemudian peristiwa ini diikuti oleh pecahnya ketuban
dan selanjutnya ekspulsi janin imatur, sehingga kemungkinan besar janin
akan meninggal.

f. Sindrom antifosfolipid.
Sindrom antifosfolipid adalah suatu kumpulan gejala berupa trombosis atau
komplikasi dalam kehamilan yang ditandai dengan hadirnya sekelompok
antibodi yang bereaksi dengan fosfolipid bermuatan negatif. (HIFERI-
POGI, 2010).
Antibodi antifosfolipid secara langsung mencegah pembentukan fosfolipid
yang merupakan komponen utama membran sel yaitu penting untuk fusi
membran sel dan berbagai fungsi seluler seperti sintesis prostasiklin dan
aktivitas protein C. Mekanisme yang terjadi ialah antibodi antifosfolipid

11
dapat menyebabkan penambahan tromboksan dan pengurangan sintesis
prostasiklin yang menyebabkan penempelan trombosit pada pembuluh
darah yang ada di plasenta.

Antibodi antifosfolipid terkait dengan banyak penyakit termasuk kelainan


vaskuler endotel dan abortus dini. Secara klasik antibodi ini terkait dengan
kematian intrauterin, solusio, IUGR dan Preeklamsi

Tes darah untuk antibodi anticardiolipin, β2 glicoprotein dan lupus


antikoagulan dapat mengidentifikasi wanita dengan sindrom antifosfolipid,
yang menyebabkan trombosis pasokan darah ke konsepsi. Sekitar 3%
sampai 15% dari keguguran berulang disebabkan oleh kondisi ini (Empson,
2002).
g. Trombofilia.
Kelainan bawaan yang meningkatkan risiko pembekuan darah yang serius
(trombosis) juga dapat meningkatkan risiko kematian janin pada semester
kedua kehamilan. Namun, tidak ada manfaat yang terbukti untuk
pemeriksaan atau pengobatan dengan trombofilia pada keguguran berulang
semester pertama kehamilan (Mico dan D'uva, 2009).
h. Rhesus tidak cocok.
Sekarang diketahui bahwa tanpa profilaksis, ada kemungkinan 15% dari
imunisasi rhesus menyebabkan konsekuensi bencana keguguran pada
kehamilan berikutnya untuk wanita Rhesus negatif dengan suami Rhesus
positif (ACOG, 1996).
i. Tidak diketahui
Pada 50-70% pasangan dengan keguguran berulang umumnya tidak
diketahui penyebabnya (ASRM, 2008).
j. Infeksi bakteri, virus dan parasit semua bisa mengganggu perkembangan
awal kehamilan, tetapi tidak ada yang tampaknya menjadi penyebab
signifikan keguguran berulang. Penapisan Toksoplasmosis - Rubella -
Cytomegalovirus - Herpes (TORCH) oleh karenanya mempunyai nilai

12
terbatas dalam penyelidikan keguguran berulang, di luar sebuah episode
infeksi akut (Charles dan Larsen, 1990).
k. Lingkungan yang mengandung racun seperti pestisida, logam berat seperti
air raksa dan timah, pelarut organik, dan konsumsi alkohol yang berlebihan,
radiasi pengion (Korrick et al, 2001). Perokok berat, kafein, dan hipertermi
juga diduga menyebabkan keguguran berulang (Gardella dan Hill, 2000).
l. Faktor laki-laki.
Ada penemuan dari studi yang kontroversial bahwa kerusakan DNA sperma
dapat mempengaruhi perkembangan embrio dan kemungkinan dapat
menyebabkan keguguran. Namun, data ini masih awal dan tidak diketahui
seberapa sering cacat sperma berkontribusi pada keguguran berulang
(Hankel et al, 2004).

IV. DIAGNOSIS
Berdasarkan definisinya, seorang perempuan dapat dikatakan mengalami
abortus habitualis jika saat wawancara memang telah ditentukan telah
mengalami paling tidak 3 kali keguguran.

Untuk menegakkan diagnosis dan mengetahui etiologi keguguran berulang


dapat dilakukan serangkaian pemeriksaan yaitu:
a. Pemeriksaan status Koagulasi darah.
Wanita dengan riwayat tiga atau lebih keguguran sebelum 10 minggu, atau
kematian janin ≥ 10 minggu yang tidak dapat dijelaskan dengan janin
morfologis normal, atau lahir prematur ≤ 34 minggu dengan preeklamsia
berat atau insufisiensi plasenta, harus ditawarkan tes Lupus Antikoagulan,
antibodi anticardiolipin, antibodi ß2 glycoprotein-1 untuk memastikan
diagnosa sindroma antifosfolipid (Micco and D’uva ,2009; Empson et al,
2002) . Hubungan wanita yang mengalami keguguran <10 minggu dengan
trombofilia yang diturunkan, termasuk Faktor V Leiden, defisiensi
resistensi protein C teraktivasi, prothrombin G20210A dan defisiensi
protein S masih simpang siur. Studi epidemiologi yang lebih besar jelas
diperlukan untuk membenarkan pengujian penapisan trombofilia

13
diwariskan dalam praktek klinis rutin (Dawood et al 2003; Bohlmann et al,
2004).
b. Pemeriksaan endokrinologi.
Data-data epidemiologi awal telah menunjukkan hubungan antara
keguguran berulang dengan hipotiroidisme atau diabetes mellitus.
Meskipun bukti saat ini menunjukkan bahwa hipotiroidisme dan diabetes
yang terkendali tidak berkaitan dengan keguguran berulang, tes fungsi tiroid
dan pengukuran HbA1c yang akurat dan murah masih dapat dianggap
sebagai bagian dari evaluasi keguguran berulang (Mills, dkk, 1994;
Abalovich et al, 2002). Obesitas dikaitkan dengan peningkatan risiko yang
signifikan secara statistik dengan keguguran berulang semester pertama.
Hubungan Sindrom Ovarium Polikistik (PCOS) dan keguguran berulang
telah ditunjukkan, dan dapat merupakan akibat dari hubungan antara
obesitas dan keguguran (Clark et al, 1998). Gangguan endokrinologi
lainnya seperti hipersekresi LH (Regan et al, 1990), resistensi insulin tinggi,
hiperandrogenemia (Rai et al, 2000), hiperprolaktinemia (Hukum, 2005)
dan defek fase luteal telah dikaitkan dengan keguguran berulang
(Karamadian dan Grimes, 1994).
c. Pemeriksaan imunologis .
Respon imun yang berlebihan terhadap antigen ayah sehingga
menghasilkan sel-sel imun yang abnormal dan produksi sitokin telah dan
masih dianggap sebagai salah satu penyebab keguguran berulang. Secara
khusus, perhatian saat ini difokuskan pada hubungan antara keguguran
berulang dan sel Natural Killer (NK). Meskipun banyak bukti-bukti yang
bertentangan, studi ini menunjukkan perbedaan kadar darah perifer-sel NK
pada wanita dengan keguguran berulang (Tang et al, 2011). Perbedaan
fenotipik dan fungsional antara sel-sel darah perifer NK, dan tes untuk
mengukur sel-sel NK dalam darah perifer tidak memberikan informasi yang
berguna mengenai jumlah sel NK uterus . Dalam konteks ini, pengujian
sel darah perifer NK tidak boleh dilakukan secara rutin dalam evaluasi
keguguran pada keguguran spontan secara umum dan keguguran berulang

14
pada khususnya (Jauniaux et al, 2006). Keseimbangan antara sitokin Th1
dan sitokin Th2 adalah penting untuk menunjang berlanjutnya kehamilan.
Sitokin Th1 membantu penolakan allograft dan sitokin Th2 menghambat
respon Th1 (Piccinni, 2006).
d. Pemeriksaan sitogenetika orang tua.
Insiden kelainan struktur kromosom, biasanya berupa translokasi seimbang
meningkat pada pasangan dengan keguguran berulang. Semua empat faktor,
yaitu usia ibu muda pada keguguran kedua, riwayat tiga atau lebih
keguguran, riwayat dari dua atau lebih keguguran pada seorang saudara atau
saudari, dan sejarah dari dua atau lebih keguguran pada orangtua pasangan
baik dari istri maupun suami akan meningkatkan probabilitas status karier
bila ada empat faktor yang digabungkan. Setelah satu keguguran, secara
umum masih dapat diterima untuk menahan diri dari pemeriksaan analisa
kromosom. Insiden status karier setelah satu keguguran adalah 2,2%.
Dengan demikian disarankan untuk merujuk untuk kariotipe orangtua hanya
bila probabilitas status carrier ≥ 2,2% (Franssen et al, 2005).
e. Pemeriksaan histopatologi dan sitogenetika.
Sementara ini merupakan praktik rutin mengirim produk dari konsepsi
untuk pemeriksaan histologis, terutama untuk menyingkirkan kemungkinan
penyakit trophoblastik gestasional, kegunaan pemeriksaan histopatologi
jaringan plasenta dan / atau janin pada kasus keguguran berulang untuk
kepentingan penanganan kehamilan di masa yang akan datang masih harus
dipelajari . Secara keseluruhan, tidak tepatnya dalam laporan morfologi vili
dan keterbatasan klinis yang bermakna dari temuan tentang adanya
aneuploidi pada keguguran sporadis telah membuat banyak penulis
menyimpulkan bahwa klasifikasi histologis adalah pemeriksaan klinis yang
tidak berharga (Fox et al, 1993).
f. Pemeriksaan kelainan anatomi.
Prevalensi dan dampak malformasi uterus terhadap fungsi reproduksi pada
populasi umum belum jelas dapat dipastikan. Secara tradisional,
laparoskopi, Histerosalpingografi (HSG) dan / atau histeroskopi telah

15
digunakan untuk mendiagnosa malformasi uterus pada wanita dengan
keguguran berulang. USG, USG 3D khususnya, cukup akurat,hasilnya
terpercaya , non-invasif, dengan basis rawat jalan untuk diagnosis kelainan
kongenital rahim. Telah dilaporkan bahwa wanita dengan rahim ber septum
memiliki insiden yang lebih tinggi keguguran trimester pertama, sedangkan
wanita dengan rahim arkuata lebih sering terjadi keguguran pada trimester
kedua dan kelahiran prematur (Salim et al, 2003).
g. Pemeriksaan infeksi.
Sangat kecil kemungkinan infeksi pada ibu dapat menyebabkan keguguran
berulang. Tidak ada hasil positif dan korelasi keguguran berulang dengan
TORCH (Toxoplasmosis - Rubella - Cytomegolavirus - Herpes) dan
pemeriksaan klamidia. Di Inggris, sebagian besar unit di rumah sakit telah
berhenti melakukan tes ini (Li et al, 2002). Vaginosis bakterial adalah
infeksi vagina yang dapat menyebabkan kelahiran prematur dan kematian
janin tetapi tidak terkait dengan keguguran dini (Hay et al, 1994; Trabert
dan Misra, 2007; Waters et al, 2008).

Pemeriksaan keguguran berulang dini


Yang diusulkan pemeriksaan untuk keguguran berulang dini untuk
menemukan penyebabnya adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan sitogenetika orangtua
Semua empat faktor, yaitu usia ibu yang masih muda pada keguguran
kedua (<35 tahun), riwayat tiga atau lebih keguguran, riwayat dari dua
atau lebih keguguran pada seorang saudara atau saudari, dan sejarah dari
dua atau lebih keguguran pada orangtua dari istri maupun suami dapat
meningkatkan kemungkinan status karier yang diperoleh saat ini bila
empat faktor digabungkan. Setelah satu keguguran, secara umum
diterima untuk menahan diri dari pemeriksaan analisa kromosom.
Insiden status karier setelah satu keguguran adalah 2,2%. Dengan
demikian disarankan untuk melakukan pemeriksaan untuk kariotipe

16
orangtua hanya bila probabilitas status carrier ≥ 2,2% (Franssen et al,
2005).
b. Gangguan metabolik
Hanya diabetes yang tidak terkontrol dapat menyebabkan keguguran
berulang. Kadar gula darah puasa atau HBA1c cukup untuk penapisan
diabetes (Mills et al,1994). Hipotiroidisme sebagai penyebab keguguran
dapat disaring dengan pengujian kadar TSH (Abalovich et al, 2002).
c. Gangguan endokrin reproduksi
Beberapa gangguan endokrin reproduksi adalah:
 PCOS dapat didiagnosis dari kriteria Rotterdam yang memenuhi
setidaknya 2 dari berikut: oligo / anovulasi, tanda biokimia dan /
atau klinis hiperandrogenisme; ovarium Polikistik setelah eksklusi
gangguan terkait (Wang et al, 2001).
 Hiperprolakinemia dapat didiagnosis dari tes kadar prolaktin jika>
25 mIU / Ml diidentifikasi sebagai hiperprolaktinemia (UU, 2005).
 Defek Fase luteal ini dapat didiagnosis dari riwayat menstruasi
yang singkat di mana periode menstruasi kurang dari 26 hari atau
dengan uji progesteron mid luteal yang <10 ng / dl dianggap
sebagai tanda defek fase luteal (Karamadian dan Grimes, 1994).
d. Gangguan imunologi
Wanita dengan riwayat tiga atau lebih keguguran dengan usia
kehamilan sebelum 10 minggu, atau kematian konsepsi yang tidak
dapat dijelaskan pada ≥ 10 minggu dengan janin morfologis normal,
atau lahir prematur ≤ 34 minggu dengan preeklampsia berat atau
insufisiensi plasenta, harus ditawarkan tes Antibodi LupusAnti-
koagulan (LAC) dan Anti-cardiolipin (ACL), anti β2 glikoprotein-1
antibodi untuk mengkonfirmasi diagnose sindrom antifosfolipid (APS)
(Micco dan D'Uva, 2009).
e. Idiopatik
Ketika semua pemeriksaan di atas dinyatakan normal.

17
V. TATALAKSANA

18
Manajemen keguguran berulang berdasarkan pada etiologi nya (Baziad et al,
2010):
a) Konseling mengenai masalah kelainan kromosom dan genetika perlu
diberikan, apabila dari hasil analisa kariotipe didapatkan suatu kelainan.
Pemeriksaan prenatal bisa dilakukan dengan menggunakan metode
chorionic villi sampling (CVS) atau amniosentesis. Hal ini penting untuk
informasi orang tua yang bersangkutan terkait dengan pola penurunan
kelainan kromosom tersebut. Perlu diberikan informasi terkait
kemungkinan berulang dan ketidaktersediaan terapi. Tidak ada pengobatan
khusus untuk kelainan genetik yang diturunkan kecuali dengan donor
embrio atau sel gamet.
b) Gangguan metabolik
 Diabetes mellitus, gula darah harus dikontrol dengan menggunakan obat
antidiabetik oral seperti kelompok sulfonilurea atau metformin.
Metformin tergolong dalam obat biguanid oral yang terbukti dapat
digunakan untuk pengobatan kasus Diabetes Melitus (DM) tipe 2.
Metformin dapat memperbaiki resistensi insulin melalui mekanisme
peningkatan ambilan glukosa oleh otot dan lemak, serta meningkatan
ikatan dengan reseptor insulin. Pemberian metformin dapat memicu
efek samping pada saluran cerna berupa timbulnya rasa mual. Oleh
karena itu amat penting untuk memulai pengobatan metformin dengan
dosis rendah yang kemudian dinaikkan hingga mencapai dosis
pengobatan, yaitu 3 x 500 mg per hari atau 2 x 850 mg per hari.
 Hipotiroidisme dapat diobati dengan suplemen tiroksin.
c) Gangguan endokrin reproduksi
 PCOS dan defek fase luteal dapat diobati dengan induksi ovulasi dan
obat penyokong fase luteal.
Stimulasi ovarium dapat menggunakan preparat anti-estrogen
(clomiphene citrate), rekombinan FSH atau aromatase inhibitor.
Sementara untuk luteal support dapat menggunakan preparat
progestogen atau progesteron. Luteal support dapat dilakukan dengan

19
pemberian didrogesteron (Duphaston) 2x10 mg per hari, atau diberikan
preparat progesteron supositoria dengan dosis 1x400 mg per hari selama
masa luteal (14 hari). Sebaiknya tidak menggunakan MPA, 17 hidroksi
progesteron kaproat karena dapat memicu kelainan janin dan virilisasi
janin, dan tidak menyarankan untuk menggunakan preparat alilestrenol.
 Hiperprolaktinemia dapat diobati dengan dopamine agonis seperti
bromokriptin.
Awalnya perlu disingkirkan kemungkinan kelainan hormon tiroid
(hipotiroid), penggunaan obat-obatan yang dapat memicu peningkatan
kadar hormon prolaktin, atau adanya massa di hipofisis (mikroadenoma,
makroadenoma atau tumor stalk). Pemberian dopamin agonis
(bromokriptin) dapat diberikan mulai dengan dosis yang rendah hingga
tercapai dosis terendah yang dapat ditoleransi oleh pasien dan mampu
menurunkan kadar hormon prolaktin. Dosis maksimum bromokriptin
adalah 7.5 mg per hari. Apabila pasien tidak dapat mentoleransi
penggunaan bromokriptin, maka dapat menggunakan preparat
kabergolin dengan dosis mulai dari 0.25 mg per minggu.
d) Gangguan imunologi
Sindrom antifosfolipid dapat diobati dengan kombinasi antikoagulan
seperti heparin dan agen anti trombotik seperti aspirin dosis rendah.
Pemberian aspirin dosis rendah (80 mg per hari) dapat diberikan segera
setelah pasien positif hamil. Selanjutnya pemberian heparin dapat
diberikan setelah dikonfirmasi adanya detak jantung janin. Heparin dapat
diberikan dengan dosis sebagai berikut: Unfractionated heparin (UFH)
dapat diberikan 2x5000 iu per hari sub kutan. Sementara Low Molecular
Weight Heparin (LMWH) seperti enoxoparin dapat diberikan 40 mg per
hari sub kutan. Pemeriksaan kadar trombosit dapat dilakukan tiap minggu
dalam 2 minggu pertama pemberian, namun selanjutnya dapat dipantau
tiap 4 minggu sekali untuk memantau terjadinya Heparin Induced
Thrombocytopenia (HIT). Pemberian heparin memiliki target untuk
mempertahankan aPTT paling tidak 1.5 x kontrol. Untuk mencegah

20
terjadinya osteopenia, maka dapat diberikan suplemen kalsium dengan
dosis 2x600 mg per hari. Penggunaan aspirin harus dihentikan paling tidak
3 minggu sebelum persalinan. LMWH harus dihentikan paling tidak 5 hari
sebelum persalinan, dan diganti dengan UFH hingga 1 hari sebelum
persalinan. Sementara UFH dihentikan paling tidak 1 hari sebelum
persalinan.
e) Gangguan hematologi
Trombofilia dapat diobati dengan antikoagulan seperti heparin.
f) Kelainan anatomi
Kelainan rahim dapat dikelola dengan operasi khusus seperti septum dapat
diobati dengan reseksi histeroskopi. Rahim bikornuat dapat diobati dengan
metroplasti. Mioma dapat diobati dengan miomektomi, Sindrom
Ashermann bisa diobati dengan histeroskopi adhesiolisis. Serviks
inkompeten dapat dikelola dengan circlage serviks dengan menggunakan
teknik Shirodkar atau McDonald.
g) Infeksi bakteri vaginosis dapat diobati dengan antibiotik tertentu seperti
metronidazol atau klindamisin (tidak dianjurkan jika sudah hamil).
h) Gaya hidup
Gaya hidup seperti perokok berat, peminum alkohol berlebihan atau
peminum kopi yang berlebihan harus mengurangi atau berhenti dari
kebiasaan itu. Bagi mereka yang bekerja dengan pestisida, logam berat atau
lingkungan panas yang berlebihan harus diubah dan menghindari
lingkungan seperti itu.
i) Idiopatik
(penyebab tidak diketahui) dapat dicoba untuk melakukan pemberian obat
kombinasi secara empirik. Dari suatu penelitian didapatkan pemberian
obat kombinasi ini dapat meningkatkan angka kelahiran hidup
dibandingkan dengan pasien keguguran berulang yang tidak diterapi.
Kombinasi obat tersebut adalah sebagai berikut: Prednison 20 mg per hari
dan Progestogen (didrogesteron (Duphaston)), 20 mg per hari hingga usia

21
kehamilan 12 minggu, Aspirin 80 mg per hari hingga usia kehamilan 28
minggu, dan asam folat 5 mg tiap 2 hari sekali selama masa kehamilan.

VI. KOMPLIKASI
Menurut Nugroho (2011), komplikasi yang berbahaya pada abortus adalah
perdarahan, perforasi, infeksi dan syok.
 Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil
konsepsi dan jika perlu transfusi darah. Kematian karena perdarahan
dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada waktunya.
 Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam
posisi hiperretrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini penderita perlu diamati
dengan teliti jika ada tanda bahaya, perlu segera dilakukan laparatomi,
dan tergantung dari luas dan bentuk perforasi, penjahitan luka perforasi
atau bila perlu histerektomi.
Perforasi uterus pada abortus yang dikerjakan oleh orang awam
menimbulkan persoalan gawat karena perlukaan uterus biasanya luas,
mungkin pula terjadi pada kandung kemih dan usus. Dengan adanya
dugaan atau kepastian terajdinya perforasi, laparatomi harus segera
dilakukan untuk menentukan luasnya cedera, untuk selanjutnya
mengambil tindakan-tindakan seperlunya guna mengatasi komplikasi.
 Infeksi
Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi atau pada tiap abortus
inkompletus dan telah sering pada abortus buatan yang dikerjakan tanpa
memperhatikan asepsis dan antisepsis. Apabila infeksi menyebar lebih
jauh, terjadilah perioritis umum atau sepsis dengan kemungkinan diikuti
oleh syok.
 Syok
Syok pada abortus biasa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik)
dan karena infeksi berat (syok endoseptik).

22
VII. PROGNOSIS

Prognosis individu tertentu akan bergantung pada penyebab penyebab


kehilangan kehamilan dan jumlah kerugian sebelumnya. Koreksi gangguan
endokrin, APA, dan anomali anatomis menikmati tingkat keberhasilan
tertinggi (60% -90%). Pasien dengan basis cytogenetic untuk kehilangan
mengalami berbagai keberhasilan (20% -80%) yang bergantung pada jenis
kelainan yang ada. Namun, prognosisnya memburuk dengan bertambahnya
usia ibu dan jumlah keguguran sebelumnya.

23
DAFTAR PUSTAKA

Ford HB, Schust DJ. 2009. Recurrent Pregnancy Loss: Etiology, Diagnosis, and
Therapy. MedReviews. 2(2):76-83

Georgia Reproductive Specialists: Diagnosis and Management of Recurrent


Pregnancy Loss. Available at: http://www.ivf.com/recurrent.html (17/08/17)

HIFERI-POGI. 2010. Panduan Tatalaksana Keguguran Berulang

Oner Gokalp. 2011. Thrombophilia and Recurrent Pregnancy Loss. Turkey: Intech.

Regan L, Backos M, Rai R. 2011. The Investigation and Treatment of Couples


with Recurrent First-trimester and Second-trimester Miscarriage. Royal College
of Obstetricians and Gynaecologists. Green-top Guideline No. 17.

Tulandi T dan Al-Fozan HM. 2011. Management of Couples with Recurrent


Pregnancy Loss. Available at: http://cursoenarm.net/UPTODATE/contents/
mobipreview.htm?10/31/10736?view=print# (31/08/17)

Vitahealth. 2007. Infertil Edisi Pertama, halaman 25. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

24

Anda mungkin juga menyukai