Anda di halaman 1dari 19

RANGKUMAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : sdr. A
Usia : 20 th
Jenis Kelamin : laki-laki
Alamat : karangsari
Status perkawinan : belum menikah
Pekerjaan : Karyawan toko
Agama : islam
Suku : Jawa
Tanggal Masuk poli RS : 11 Januari 2017

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama : Kontrol riwayat kejang
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang pasien laki laki datang ke poli syaraf untuk melakukan control rutin
setiap bulan karena keluhan kejang. Pasien mengatakan bahwa pertama kali
mengalami kejang pada tahun 2014. Setelah pasien kejang pasien diperiksakan
oleh keluarganya di puskesmas setempat dan dirujuk ke rumah sakit umum
untuk penanganan lebih lanjut. Pada saat ini pasien megatakan sudah
menegenali tanda tanda apabila akan kejang, menurut pasien ketika akan
kejang pasien merasa jantungnya berdebar debar tanpa sebab. Ketika mulai
kejang pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak menyadari
lingkungannya dan merasa hilang ingatan. Menurut pasien ketika kejang tubuh
pasien merasa tegang (tonik) lalu diikuti dengan kejang yang tidak terkontrol,
sehingga lidah pasien pernah tergigit ketika kejang. Pasien menceritakan
bahwa serangan kejangnya hanya berlangsung selama 10 – 15 detik. Setelah
kejang mereda ingatan pasien berangsur angsur membaik dan mulai
menyadarai keadaaan lingkungan sekitar pasien dengan keadaan tubuh yang
lemas dan biasanya pasien akan tertidur setelah mengalamai kejang. Pasien

1
menceritakan bahwa pasien sudah meminum obat rutin sejak 2014 sebelum
pasien minum obat pasien pernah mengalami kejang dengan frekuensi yang
lumayan sering terjadi, pasien mengatakan bahwa dia mengalami kejang
terakhir pada bulan November 2016 dengan gejala, bentuk, dan durasi waktu
yang sama dengan yang terdahulu pada tahun 2014.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menyangkal adanya penyakit penyerta / bawaan. Pasien tidak memiliki
penyakit kronis lainnya. Pasien belum pernah mondok di rumah sakit.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Dari keluarga pasien tidak ada yang mengalami harl serupa
5. Riwayat Personal Sosial
Pasien memiliki riwayat pendidikan terakhir pada SMK dan bekerja sehari
hari sebagai karyawan toko. Pasien merupakan perokok aktif dan mengaku
jarang berolahraga.

C. Diagnosis Kerja

Diagnosis Klinis : Kejang


Diagnosis Topis : Fokus Epileptikus pada seluruh hemisferium otak
Diagnosis Etiologi : idiopatik

D. Terapy

Phenytoin 2 X 1
Gabapentin 3 x 1

2
PERASAAN TERHADAP PENGALAMAN

A. Bagaimanakan patofisiologi kejang pada pasien tersebut?

B. Penanganan yang dapat dilakukan pada pasien tersebut?

EVALUASI

A. Definisi
Epilepsi adalah Cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang terjadi
sewaktu-waktu, mendadak, dan sangat cepat yang dapat mengakibatkan serangan
penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau
emosional yang intermiten dan stereotipik. Pelepasan aktifitas listrik abnormal
dari sel-sel neuron di otak terjadi karena fungsi sel neuron terganggu. Gangguan
fungsi ini dapat berupa gangguan fisiologik, biokimia, anatomi dengan
manifestasi baik lokal maupun general. Epilepsi adalah suatu kelainan di otak
yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode).
epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor
predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan Epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, psikologis, dan adanya konsekuensi sosial yang
diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan
epileptik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda
dan atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang
berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.

B. Epidemiologi

Kejang merupakan kelainan neurologi yang paling sering terjadi pada


anak, di mana ditemukan 4 –10 % anak-anak mengalami setidaknya satu kali

3
kejang pada 16 tahun pertama kehidupan. Studi yang ada menunjukkan bahwa
150.000 anak mengalami kejang tiap tahun, di mana terdapat 30.000 anak yang
berkembang menjadi penderita epilepsy.
Epilepsi paling sering terjadi pada anak dan orang lebih tua (di atas 65
tahun). Pada 65 % pasien, epilepsi dimulai pada masa kanak-kanak. Puncak
insidensi epilepsi terdapat pada kelompok usia 0-1 tahun, kemudian menurun
pada masa kanak-kanak, dan relatif stabil sampai usia 65 tahun. Menurut data
yang ada, insidensi per tahun epilepsi per 100000 populasi adalah 86% pada tahun
pertama, 62% pada usia 1–5 tahun, 50% pada 5–9 tahun, dan 39% pada 10–14
tahun.dan terus menurun dan stabil hingga berada diatas usia 65 tahun.

C. Etiologi

Epilepsi disebabkan oleh beberapa kondisi yang dapat mempengaruhi otak,


antara lain:
A. Idiopatik: penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai
predisposisi genetik.
B. Kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui
termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan
epilepsi mioklonik. Gambaran klinik sesuai dengan ensefalopati difus.
C. Simtomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat.
Misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak
ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik,
kelainan neurodegeneratif.
Penyebab epilepsi pada berbagai kelompok usia:
1. Neonatal
Kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia, kelainan
metabolik (hipokalsemia, hipoglisemia, defisiensi vitamin B6, defisiensi
biotinidase, fenilketonuria).
2. Bayi (1-6 bulan)
Kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia, kelainan
metabolik, spasme infantil, Sindroma West.

4
3. Anak (6 bulan – 3 tahun)
Spasme infantil, kejang demam, kelainan saat persalinan dan anoksia,
infeksi, trauma, kelainan metabolik, disgenesis kortikal, keracunan obat-
obatan.
4. Anak (3-10 tahun)
Anoksia perinatal, trauma saat persalinan atau setelahnya, infeksi,
thrombosis arteri atau vena serebral, kelainan metabolik, Sindroma
Lennox Gastaut, Rolandic epilepsi.
5. Remaja (10-18 tahun)
Epilepsi idiopatik, termasuk yang diturunkan secara genetik, epilepsy
mioklonik juvenile, trauma, obat-obatan.
6. Dewasa muda (18-25 tahun)
Epilepsi idiopatik, trauma, neoplasma, keracunan alkohol atau obat
sedasi lainnya.
7. Dewasa (35-60 tahun)
Trauma, neoplasma, keracunan alkohol atau obat lainnya.
8. Usia lanjut (>60 tahun)
Penyakit vascular (biasanya pasca infark), tumor, abses, penyakit
degeneratif, trauma.

C. Klasifikasi

Epilepsi diklasifikasikan menjadi:


1. Bangkitan Parsial
Bangkitan parsial diklasifikasikan menjadi 3 yakni,
A. Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus
3. Dengan gejala autonom
4. Dengan gejala psikis
B. Parsial Kompleks (kesadaran menurun)
1. Berasal sebagai parsial sederhana dan berekambang menjadi
penurunan kesadaran

5
2. Dengan penurunan kesadaran sejak awaitan
C. Parsial yang menjadi umum sekunder
1. Parsial sederhana yang menajdi umum tonik-konik
2. Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan menjadi umum
tonik-klonik
2. Bangkitan Umum
A. Absence / lena / petit mal
Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak
(absence) dalam beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana motorik
terhenti dan penderita diam tanpa reaksi. Seragan ini biasanya timbul
pada anak-anak yang berusia antara 4 sampai 8 tahun. Pada waktu
kesadaran hilang, tonus otot skeletal tidak hilang sehingga penderita tidak
jatuh. Saat serangan mata penderita akan memandang jauh ke depan atau
mata berputar ke atas dan tangan melepaskan benda yang sedang
dipegangnya. Pasca serangan, penderita akan sadar kembali dan biasanya
lupa akan peristiwa yang baru dialaminya. Pada pemeriksaan EEG akan
menunjukan gambaran yang khas yakni “spike wave” yang berfrekuensi 3
siklus per detik yang bangkit secara menyeluruh.
B. Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan
pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Kejang klonik
fokal berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi , tidak disertai gangguan
kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini
dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi
besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
C. Tonik
Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum
dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau
ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.

6
D. Tonik-klonik /Grand mal
Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan
terhenti sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu
muncul gerakan kejang tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai dengan
relaksaki). Pada saat serangan, penderita tidak sadar, bisa menggigit
lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan,
penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa
lemas dan biasanya akan tertidur setelahnya.
E. Mioklonik
Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar
sekelompok otot skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya
berlangsung sejenak. Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan
ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang
dan terjadinya cepat.
F. Atonik
Bangkitan ini jarang terjadi. Biasanya penderita akan kehilangan
kekuatan otot dan terjatuh secara tiba-tiba.

D. Patofisiologi
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih
dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen,
disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel
opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal
inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh
konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan
keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron.
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik
yang berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel
neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut
diduga disebabkan oleh;

7
1. kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan
muatan listrik yang berlebihan.
2. berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat
(GABA).
3. meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat
melalui jalur eksitasi yang berulang. Status epileptikus terjadi oleh karena
proses eksitasi yang berlebihan berlangsung terus menerus, di samping
akibat ilnhibisi yang tidak sempurna.

E. Gejala Klinis

Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari


epilepsi, yaitu :
1)Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak
atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian
tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik.

a.Kejang parsial sederhana


Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena halusinatorik,
psikoilusi, atau emkompleks. Pada kejang parsial sederhana, kesadaran
penderita masih baik.
b.Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi
yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme.

2)Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak atau
kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran
penderita umumnya menurun.

8
a.Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai amnesia.
Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau halusinasi,
sehingga sering tidak terdeteksi.
b.Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan,
leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.
c.Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat.
Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d.Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat
dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata
mengalami deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10-detik dan diikuti oleh
fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak
jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air
liur, dan peningkatan denyut jantung.
e.Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik,tetapi kejang
yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f.Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami
jatuh akibat hilangnya keseimban

F. Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan
hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan
melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat
ditegakkan.

9
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh,
karena pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang
dialami penderita. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi
sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya
serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan
kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang
trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis,
gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.
Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi:
a. Pola / bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama dan paska serangan
d. Frekwensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat serangan terjadinya pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan Fisik
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan
dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus,
gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus.
Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan
dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan.
Pada anak- anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan
perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh
dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.

10
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium darah yang dilakukan pemeriksaan
darah tepi rutin. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai indikasi, misal
pemeriksaan gula darah dan elektrolit.
b. Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan
untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada
EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak,
sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolic. Selain itu
EEG juga membantu dalam menentukan prognosis pada kasus
tertentu, mempertimbangkan pengehentian obat anti epilepi,
membantu menentukan letak fokus, dan bila ada perubahan bentuk
bangkitan dari bangkitan sebelumnya
c. Pemeriksaan radiologis
Indikasi pemeriksaan radiologi pada pasien epilepsi adalah pada
semua bangkitan pertama yang diduga kelainan structural, adanya
perubahan bentuk bangkitan, terdapatnya defisit neurologis fokal,
epilepsi dengan bangkitan parsial, bangkitan pertama diatas usia 25
tahun, dan untuk persiapan tindakan pembedahan epilepsy

G. Penatalaksanaan
Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk epilepsi
yakni,
1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi
sudah dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun.
Selain itu pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi
penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan efek samping dari
pengobatan tersebut.
2. Terapi dimulai dengan monoterapi.
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara
bertahap samapai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek

11
samping obat.
4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat
mengontrol bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila
sudah mencapai dosis terapi, maka OAE pertama dosisnya
diturunkan secara perlahan.
5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti
bangkitan tidak terkontorl dengan pemberian OAE pertama dan
kedua.
Penatalaksanaan untuk epilepsy dibedakan menjadi 2, medika mentosa dan
non medika mentosa
1. Medikamentosa
a. Obat-obat yang menginaktivasi kanal Na+
Inaktivasi kanal Na dapat menurunkan kemampuan saraf unruk
menghantarkan muatan listrik. Contoh obatnya adalah, fenitoin,
karbamazepin, lamotrigin, okskarbazepin, dan valproat.
b. Obat-obat yang meningkatkan transmisi inhibitor GABAnergik
1) Agonis reseptor GABA : meningkatkan transmisi inhibitor
dengan meningkatkan kerja reseptor GABA, contoh :
benzodiazepine, barbiturate.
2) Menghambat GABA transaminase : meningkatkan konsentrasi
GABA, contoh : Vigabatrin
3) Menghambat Gaba Transporter : untuk memperlama aksi
GABA, contoh : tiagabin
4) Meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan cerebrospinal :
menstimulasi pelepasan GABA dari non-vesikula pool, contoh :
gabapentin

c. Penatalaksanaan pada status epileptikus

12
2. Nonmedikamentosa
a. Hindari faktor pemicu (jika ada)
b. Tidak memasukan makanan dan minuman ketika kejang dan
beberapa saat setelah kejang
c. Pengawasan oleh keluarga.
d. Awasi tanda vital

Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan
tanpa kekambuhan. Pada anak-anak dengan epilepsi, pengehntian sebaiknya
dilakukan secara bertahap setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang. Sedangkan
pada orang dewasa penghentian membutuhkan waktu lebih lama yakni sekitar 5
tahun. Ada 2 syarat yang penting diperhatika ketika hendak menghentikan OAE
yakni,

1. Syarat umum yang meliputi :

a. Penghentian OAE telah diduskusikan terlebih dahulu dengan


pasien/keluarga dimana penderita sekurang-kurangnya 2 tahun
bebas bangkitan.
b. Gambaran EEG normal
c. Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula
setiap bulan dalam jangka waktu 3-6bulan.
d. Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian
dimulai dari 1 OAE yang bukan utama.
2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE

a. Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.


b. Epilepsi simtomatik
c. Gambaran EEG abnormal

13
d. Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.
e. Penggunaan OAE lebih dari 1
f. Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
g. Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.
h. Kekambuhan akan semaikn kecil kemungkinanya bila penderita
telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila
bangkitan timbul kembali maka pengobatan menggunakan dosis
efektif terakhir, kemudian evaluasii.

H. Prognosis

1. Umumnya baik, 70-80% pasien yang mengalami epilepsi akan sembuh,


dan kurang daril 50%-nya akan bisa lepas obat.
2. 20-30% mungkin akan berkembang menjadi epilepsi kronis, pada
keadaan ini pengobatan menjadi semakin sulit, dan 5% diantaranya akan
tergantung pada orang lain dalam kehidupan sehari-hari.
3. Pasien dengan lebih dari satu jenis epilepsi, mengalami retardasi mental
dan gangguan psikiatri neurologik, pada keadaan seperti ini prognosis
epilepsi dikatakan buruk.

14
ANALISIS

Seorang pasien datang ke poliklinik syaraf berniat untuk mengontrol sakit yanf
dideritanya sejak lama, pasien tersebut sudah melakukan kontrol rutin selama 2
tahun terakhir karena sakit kejang berulang yang dialamainya. Pasien bercerita
bahwa pada bulan November tahun 2016 pasien mengalami serangan kejang
kembali dengan pola yang sama pada tahun 2014. Pada saat ini pasien sudah dapat
mengenali tanda jika akan mengalami serangan kejang. Berdasarkan anamnesis
kepada pasien menimbulkan beberapa pertanyaan diantaranya:

A. Bagaimanakan patofisiologi kejang pada pasien tersebut?

Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan
dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen,
disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion
channel opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya
dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik Dalam keadaan
normal membrane neuron mudah dilalui oleh ion kalium dan ion klorida,
tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian
konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi
ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean
(Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini
memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium. Bangkitan atau
kejang epilepsi terjadi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak
yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari
impuls. Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di
otak secara serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi oleh karena:
1. Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan
Glisin) kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara
berlebihan.

15
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan
Aspartat) berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik
berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi
GABA ( gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang
menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA
dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik. Suatu hipotesis mengatakan
bahwa aktifitas epileptik disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh
GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak.
Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan
keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan
heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin.
Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau
meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada
rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada
abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan
kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan
kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang
lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu
didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak
mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di
lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal
epilepsi dapatan.

C. Penanganan yang dapat dilakukan pada pasien tersebut?

1. Medikamentosa
a. Obat-obat yang menginaktivasi kanal Na+
Inaktivasi kanal Na dapat menurunkan kemampuan saraf unruk
menghantarkan muatan listrik. Contoh obatnya adalah, fenitoin,
katbamazepin, lamotrigin, okskarbazepin, dan valproat.
b. Obat-obat yang meningkatkan transmisi inhibitor GABAnergik

16
5) Agonis reseptor GABA : meningkatkan transmisi inhibitor
dengan meningkatkan kerja reseptor GABA, contoh :
benzodiazepine, barbiturate.
6) Menghambat GABA transaminase : meningkatkan konsentrasi
GABA, contoh : Vigabatrin
7) Menghambat Gaba Transporter : untuk memperlama aksi
GABA, contoh : tiagabin
8) Meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan cerebrospinal :
menstimulasi pelepasan GABA dari non-vesikula pool, contoh :
gabapentin
2. Nonmedikamentosa
a. Hindari faktor pemicu (jika ada)
b. Tidak memasukan makanan dan minuman ketika kejang dan
beberapa saat setelah kejang
c. Pengawasan oleh keluarga
d. Awasi tanda vital

KESIMPULAN

Epilepsy merupakan suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor
predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan Epileptik, perubahan

17
neurobiologis, kognitif, psikologis, dan adanya konsekuensi sosial yang
diakibatkannya. 150.000 anak mengalami kejang tiap tahun, di mana terdapat
30.000 anak yang berkembang menjadi penderita epilepsy. Epilepsi paling sering
terjadi pada anak dan orang lebih tua (di atas 65 tahun). Untuk mendiagnosis
kejang epilepsy paling tidak dibutuhkan kejang epileptic yang berulang lebih dari
1 episode. Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh,
karena pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami
penderita. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan
sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi
yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Pemeriksaan fisik dapat
dilakukan dengan melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan
dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan
kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Selain anamnesis dan
pemeriksaan fisik pemeriksaan EEG juga harus dilakukan pada semua pasien
epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan
untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Pada penderita epilepsy dapat diberikan
Obat-obat yang menginaktivasi kanal Na+ Contoh obatnya adalah fenitoin,
karbamazepin. Dapat pula memberikan obat-obat yang meningkatkan transmisi
inhibitor GABAnergik contoh obatnya seperti benzodiazepine, barbiturate, dan
gabapentin.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S. Pendahuluan, definisi, klasifikasi,


etiologi, dan terapi. Dalam: Pedoman Tata Laksana Epilepsi. Jakarta:
PERDOSSI 2011 hal.1-13
2. Price, S. A. dan Wilson, L. M. Patofisiologi Konsep klinis Proses Proses
Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta : EGC. 2006 Hal.1158-1164
3. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press; 2005.
4. Pellegrino TR. Seizures and status epilepticus in adult. Dalam: Tintinali JE,
Ruiz E, Krom RL, editors. Emergency Medicine. 4thed . New York. Mc Graw
Hill; 1996. hal.135-7.
5. Widjaya D. Pathophysiology and neuropathology of epilepsy. Kumpulan
Makalah PIN (Pertemuan Ilmiah Nasional) I Epilepsi. Semarang: Balai
Penerbitan UNDIP; 2004: 94-119.
6. Wibowo S, Gofir A. Interaksi obat antiepilepsi. Dalam: Buku obat anti
epilepsi. Yogyakarta: Penerbit pustaka cendekia press; 2006. Hal. 41-50
7. Tjahjadi P, Dikot Y, Gunawan D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. Dalam
: Harsono, penyunting. Kapita Selekta Neurologi. Edisi Ke-2. Yogyakarta :
Gajahmada University Press; 2007.h.119.-133.
8. Hawari, Irawaty, 2012. Epilepsi di Indonesia. Available from: http://www.ina-
epsy.org
9. Rudzinski, Leslie A. and Shih, Jerry J., 2011. The Classification of Seizures
and Epilepsy Syndromes. Novel Aspects on Epilepsy: 69-88.

19

Anda mungkin juga menyukai