Anda di halaman 1dari 9

Patogenesis Dermatitis Atopi

W. Peng and N. Novak

Kesimpulan

Dermatitis atopi (AD) adalah penyakit alergi pada kulit yang paling sering dijumpai. Interaksi genetik,
lingkungan, dan faktor imunologi berperan dalam inisiasi dan proses AD. Meskipun gambaran
klinisnya tampak dalam bentuk akut yaitu ekzema, lesi pruritus pada kulit kering, predileksi terdapat
pada lipatan fleksura, faktor pemicu penyakit dapat berbeda-beda dan memiliki patofisiologi yang
kompleks. Oleh karena itu, hal pertama yang dilakukan adalah mengklasifikasikan berdasarkan
subtipe AD yang paling sesuai dengan masing-masing pasien. Untuk mengoptimalkan stratifikasi
pada pasien, perlu pengetahuan secara detail mengenai co-faktor yang mengakibatkan timbulnya
manifestasi AD sehingga perbaikan penyakit dapat diatasi. AD menyebabkan kerusakan barier secara
umum dan inflamasi kulit dengan penyakit inflamasi pada kulit lainnya seperti psoriasis atau
dermatitis kontak alergi, tetapi kebanyakan penyakit genetic spesifik, imunologi, dan faktor
lingkungan teridentifikasi pada AD. Hal ini bertujuan untuk mengilustrasikan konsep dari
pathogenesis AD. Penemuan penting beberapa tahun terakhir akan disimpulkan dan co-faktor
patogenesis akan dibahas secara controversial. Kami akan membahas pengetahuan mengenai faktor
patogenesis pada tingkat imunologi yang berperan pada disfungsi barier kulit pada AD dan pola
mikrobiomolekuler sebagai pertahanan lini pertama. Selanjutnya, kami akan menjelaskan bagaimana
sel-sel limfoid bawaan pada AD dan sel T helper menunjukkan gejala pada kulit pada AD di tahap
yang berbeda.

Pendahuluan

Dermatitis Atopi (AD) adalah penyakit kronis pada kulit akibat kerusakan barier kulit, yang
disebabkan oleh faktor lingkungan dan perubahan pada sistem imun menjadi ekzema dan lesi yang
gatal pada lipatan fleksura dan distribusi lainnya. Kekambuhan akut dan eksaserbasi sama halnya
pada lesi ekzema kronis pada kulit kering disertai gatal yang intensif atau sering. Derajat AD
bervariasi mulai dari bentuk yang ringan, menjadi sedang, dan berat dan diagnosis keparahan dapat di
tentukan dari criteria standarisasi dan system skoring. AD terjadi hanya pada anak-anak, dapat
berlangsung hingga dewasa atau bahkan bermanifestasi untuk pertama kalinya pada saat dewasa.
Sejauh ini telat diidentifikasi beberapa tipe yang berbeda. Meskipun pada gambaran klinis ditandai
dengan kekambuhan akut dari ekzema, lesi pruritus pada kulit kering di lipatan fleksura cukup sama,
namun faktor pemicu timbulnya penyakit dan patofisiologi yang terjadi cukup kompleks. Oleh karena
itu, hal pertama yang dilakukan adalah mengklasifikasikan berdasarkan subtipe AD yang paling
sesuai dengan masing-masing pasien. Untuk mengoptimalkan stratifikasi pada pasien, perlu
pengetahuan secara detail mengenai co-faktor yang mengakibatkan timbulnya manifestasi AD
sehingga perbaikan penyakit dapat diatasi. Beberapa faktor epidemiologi seperti faktor nutrisi, jumlah
saudara, status sosial, penataan kota, atau aspek iklim memiliki dampak terhadap resiko terjadinya
AD. Belakangan ini telah diperoleh pengetahuan mengenai mekanisme imunologi yang terlibat dalam
patofisiologi AD. Peningkatan infiltrasi sel T, subtipe sel dendritik (DC), makrofag (Mϕs), sel mast
(MCs), dan eosinofil dapat diobservasi melalui lesi AD bersamaan dengan peningkatan jumlah
diferensiasi sitokin dan kemokin. Interaksi sitokin dan reaksi silang dari sel telah ditunjukkan pada
beberapa penelitian. Pada artikel ini, kami akan berdiskusi mengenai penemuan baru dan isu
kontroversial patogenesis AD.

Barier Kulit

Kerusakan barier kulit adalah faktor patogen utama pada AD

Barier kulit pada patogenesis AD menjadi hal penting yang diperdebatkan dalam waktu yang panjang.
Dalam hal ini, asosiasi genetik terkuat dengan AD sejauh ini berhubungan dengan mutasi gen
filaggrin (FLG) yang mengkode barier penting yaitu protein pro-filaggrin. Pasien AD di Eropa,
ditemukan mutasi yang paling sering berhubungan dengan penyakit ini adalah mutasi gen FLG R501x
dan 2282del4. Selain itu, telah ditunjukkan bahwa khususnya pasien AD dengan mutasi gen FLG
menderita tipe AD yang berat dengan gejala kronis. Paparan dari alergen lingkungan, seperti alergen
dari kucing dimana pada tahap awal akan meningkatkan resiko terjadinya ekzema pada mutasi FLG
karier. Selain itu, mutasi FLG memberikan pengaruh besar terhadap pasien AD dengan asma. Data
dari mencit dengan mutasi homozigot pada gen FLG menunjukkan infiltrasi sel yang kuat dan
peningkatan IgE setelah terpapar alergen.

Filagrin memiliki peran pada patofisiologi AD dimana menjelaskan mengapa ekspresi


komponen tunggal dari diferensiasi epidermal yang rendah memiliki pengaruh besar terhadap fungsi
dari barier kulit.

Filagrin mengagregasi filamen keratin menjadi ikatan kompleks dan memodifikasi komposisi
dari keratinosit dan lapisan sel granular. Dia berinteraksi dengan badan lamelar dan mengurangi
ketersediaan metabolit filagrin, seperti faktor pelembab alami, yang dapat merubah hidrasi dan pH
kulit. Peningkatan pH kulit juga meningkatkan aktivitas protease serin dan kalikrein, disusul
dimulainya degradasi korneodesmosom dan interselular aderen, tetapi di sisi lain menurunkan
aktivitas enzim yang bertanggung jawab terhadap sintesis ceramide sehingga ceramide menjadi lebih
rendah. Akhirnya, mekanisme inilah yang akan meningkatkan inflamasi Th2 dan tingginya penetrasi
alergen terhadap kulit.

Filagrin tidak di ekspresikan di mukosa epitel nasal atau bronkial, jadi walaupun dapat
mensensitisasi secara relevan terhadap saluran pernapasan atas dan bawah, hal itu merupakan hasil
dari mutasi gen FLG dan terjadi terutama dalam kerusakan barier kulit. Genetik sama halnya seperti
penelitian pada mutasi FLG telah diketahui bahwa kerusakan barier kulit secara genetik menjadi
faktor kuat pada AD. Namun, kerusakan barier kulit pada AD telah diobservasi secara independen
dari genotip FLG yang menunjukkan bahwa faktor genetik dan imunologi lainnya juga berdampak
pada fungsi barier kulit. Beberapa penelitian asosiasi genomewide sebelumnya mengenai AD
memberikan bukti bahwa asosiasi lokus gen yang berbeda terlibat pada fungsi barier epidermis pada
AD. Selain itu, modifikasi epigenetik dalam bentuk perubahan metilasi DNA telah diamati pada
bagian tertentu gen S100 dari diferensiasi kompleks epidermal dan gen yang mengkode keratin.

Disamping kehilangan fungsi mutasi pada gen FLG, beberapa faktor lainnya, seperti metilasi
DNA atau variasi nomor salinan FLG, faktor lingkungan termasuk iritasi kulit dan kerusakan
mekanik, kelembaban rendah, sitokin di kulit dengan penurunan ekspresi filagrin oleh sitokin Th2, IL-
17, IL-22, IL-25, atau IL-31 sama halnya kolonisasi mikroorganisme kulit dan pengobatan topikal
maupun sistemik mampu memodulasi ekspresi filagrin kedua. Hal ini dapat menjelaskan mengapa
kehilangan fungsi mutasi FLG hanya tampak pada 1/3 orang Eropa yang menderita AD tetapi
kerusakan barier kulit berdasarkan pada penurunan ekspresi filagrin dan mekanisme lainnya
menunjukkan secara umum hampir pada setiap pasien AD. Pada sitokin Th2, IL-4, dan IL-13 dan juga
IL-25 dan IL-33 sama seperti faktor terlarut seperti thymic stromal lymphopoietin (TLSP), dimana
rspon Th2 telah dideteksi terdapat peningkatan jumlah pada AD. Faktor-faktor ini mampu
memodulasi fungsi keratinosit dan intergritas barier kulit. Sitokin Th2 yang tinggi pada AD,
meningkatkan protease serin kalikrein 7 (KLK7) dan peningkatan protease serin akan menyebabkan
kerusakan barier kulit. Selanjutnya, faktor TNF-α bersama sama dengan sitokin Th-2, IL-4, IL-13, dan
IL-31 meningkatkan sekresi TSLP dari keratinosit dan merusak lapisan lemak dengan mengurangi
produksi ikatan panjang asam lemak bebas (FFAs) dan ester berikatan dengan seramid ω-hidroksi
(EO) pada kulit (Gambar 1). Pada mencit, sindrome seperti AD dapat diinduksi dengan mediasi dari
kerusakan dan disfungsi barier kulit, seperti pengulangan sensitisasi oleh alergen pada kulit setelah
kerusakan tape-stripped, defisiensi filagrin, penurunan ekspresi komponen lemak pada barier kulit,
dan ekspresi berlebihan dari TSLP di sel epidermal. Selain itu, penurunan ekspresi protein tight
junction (TJ) seperti claudin-1 telah diketahui pada AD.

Bahkan, TNF-α bersama-sama dengan penginduksi TNF-like lemah pada apoptosis


(TWEAK) pada kulit AD menginduksi apoptosis keratinosit dan lesi kulit. Selanjutnya, sinyal
epidermal yang tidak teratur mendukung proses pathogenesis AD. Mencit yang kekurangan ADAM17
(disintegrin dan metalloproteinase 17) dapat berkembang menjadi AD. Pada penelitian lain, delesi
epidermal spesifik pada ADAM17 dapat menurunkan sinyal notch epidermal dan memicu sel Th2
dan/atau Th17 yang akan menyebabkan gejala seperti AD.

Penurunan ekspresi sitokin utama Th1, IFN-γ, dan reseptor-reseptornya telah tampak pada
kulit DCs dan prekursor darah mereka. Nukleotida polimorfik tunggal (SNPs) pada IFNG dan
IFNGR1 secara signifikan telah berasosiasi dengan ekzema herpetikum, dimana berdasarkan dari
tingginya kerentanan pada infeksi HSV pada subgrup pasien AD.

Keratinosit pada pasien AD menunjukkan peningkatan penginduksi apoptosis IFN-γ


dibandingkan dengan keratinosit dari orang sehat. Tiga gen yang berkaitan dengan apoptosis (NOD2,
DUSP1, dan ADM) dan delapan gen yang diekspresi berlebihan pada lesi AD (CCDC109B, CCL5,
CCL8, IFI35, LYN, RAB31, IFITM1, dan IFITM2) telah diinduksi oleh IFN-γ pada keratinosit
primer. Ekspresi gen yang termodifikasi dari filagrin, loricin, involucrin, korneodesmosin, atau
protein envelope cornified late mengganggu diferensiasi keratinosit.

Tidak hanya kulit itu sendiri, tetapi juga mikroba berkolonisasi pada kulit yakni pada lapisan
pertama dari barier kulit. Interaksi mikroba dengan sistem imun kulit sangat penting dalam
pathogenesis AD. Karena faktor yang berbeda-beda, seperti pH tinggi dan Th2 yang dominan,
peningkatan jumlah Stapyhlococcus aureus (S. aureus), telah terdeteksi pada kulit AD. Selanjutnya, S.
aureus mengurangi fungsi barier kulit dengan melepaskan faktor virulensi seperti toksin α untuk
menginduksi sel-sel keratinosit yang telah mati dan meningkatkan inflamasi Th2. Setelah pengobatan
dan perbaikan pada lesi kulit, Propionbacteria, Corynobacteri, dan Streptococcus telah dideteksi
adanya peningkatan jumlah pada kulit AD. Disamping mikrobiom kulit, mikrobiom usus juga
memiliki peran. Dalam hal ini, cara melahirkan, urutan kelahiran, jumlah saudara dan menyusui telah
diidentifikasi sebagai faktor potensial yang dapat berdampak pada mikrobiom usus. Sementara
kolonisasi dengan Lactobacilli dan Bacteroid meningkat dengan jumlah saudara, kolonisasi Clostridia
menurun. Kolonisasi dengan Clostridia pada waktu awal menjadi poin penting dalam peningkatan
resiko AD.

Sekarang ini, data mengenai mikrobiom kulit dan usus sudah premature, dan tidak ada
pengetahuan lebih mengenai perbedaan mikrobio kulit dan usus pada derajat AD yang berbeda dan
komponen mana saja yang mendukung terjadinya penyakit.
Fig. 1. Graphic summary of effects of skin barrier on the pathogenesis of atopic dermatitis (AD). Genetic and immunologic as
well as mechanical factors such as scratching induce skin barrier damage, allowing contact of skin resident antigen-presenting
cells to allergens, bacterial and viral antigens as well as other environmental factors. Activated antigen-presenting cells migrate
to lymph nodes and prime naive T cells into Th2 cells. Elevated Th2 cytokines together with TNF-a and IFN-c further damage
skin barrier functions by inducing apoptosis of keratinocytes as well as impair the function of tight junctions and promote Th2
responses by enhancing TSLP expression of epithelial cells. Moreover, colonizing pathogens such as Staphylococcus aureus
impair barrier function through the release of virulence factors to induce keratinocyte death and to boost Th2-type inflammation.
Together, genetic and immunological factors contribute to the skin barrier dysfunction and play a major role in the pathogenesis
of AD.

Reaktivitas Imun

Imunitas bawaan pada Patogenesis AD

Ekspresi dan fungsi reseptor pada sel kulit dengan AD telah berubah karena modifikasi genetik tetapi
juga akibat faktor sekunder seperti sitokin dan kemokin pada lingkungan mikro. Sinyal TLR tidak
hanya penting dalam mekanisme pertahanan sistem imunitas bawaan dari host tetapi juga untuk fungsi
barier epidermal. Selain itu, aktivasi TLR2 pada monosit dan Mϕs pada pasien AD menyebabkan
perbedaan respon sitokin dan kemokin jika dibandingkan dengan individu yang sehat. Sejauh ini, hal
tersebut tidak dibahas secara tuntas, dimana mekanisme kontrol dari perkembangan AD akut menjadi
kronis. Penelitian baru-baru ini membahas aktivasi TLR2 pada DCs mengubah tipe Th2 pada
dermatitis menjadi inflamasi kronis kulit pada tikus. Mengenai TLR4, dalam penginduksi alergen
tikus, mencit dengan defisiensi TLR4 memiliki gejala seperti AD yang lebih parah dan inflamasi
kulit.
Dengan mengakumulasi bukti-bukti telah diketahui bahwa inflammasome berperan dalam
pathogenesis AD. Telah ditunjukkan bahwa aktivasi inflammasome pada keratinosit oleh alergen dan
S. aureus, sama halnya pada Mϕs setelah terpapar alergen dari serbuk sari ragweed. Pengetahuan
terkini menunjukkan inflammasome menimbulkan mediasi inflamasi Th1 atau Th17 yang penting
dalam AD akut.

Fungsi dari sel imun kulit pada pathogenesis AD

Inflamasi AD mengandung sejumlah besar infiltrasi sel imun seperti LCs, inflamasi sel dendritik
epidermal (IDECs), Mϕs, MCs, neutrofil, basofil, eosinofil, sel limfoid bawaan, sel natural killer,
fibroblast, dan berbagai macam sel T. Interaksi fungsi sel imun kulit penting dalam patogenesis AD.

Peran IgE pada AD masih diperdebatkan, karena hal tersebut belum jelas apakah ia berperan
utama dalam pathogenesis AD atau hanya sebagai pengamat saja. Faktanya, alergen IgE spesifik pada
makanan atau aeroallergen terdeteksi pada pasien anak-anak dengan AD dan paparan alergen dalam
bentuk oral maupun epikutan dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan lesi kulit.

Antara sel imun kulit, DCs adalah tipe sel paling penting yang menginisiasi respon imun Th2.
Tanda DCs epidermal dan dermal pada AD adalah adanya tingginya ekspresi afinitas reseptor IgE
(FсԑRI) pada permukaan sel. Ekspresi reseptor meningkatkan keparahan lesi kulit dan memungkinkan
sel untuk mengambil IgE dan alergen IgE. Setelah terjadi paparan alergen atau onset peradangan
akibat faktor pemicu lainnya, jumlah Langerin- FсԑRI+ DCs meningkat di epidermis dan dermis.
Inflamasi DCs dianggap sebagai penguat utama dari inflamasi alergi pada level DCs. Penelitian in
vitro menjelaskan bahwa paparan alergen pada inflamasi DC meningkatkan pelepasan sitokin dan
kemokin pro-inflamasi. Hasilnya, sel T alergen spesifik mengekspresikan faktor CLA yang terdeteksi
pada lesi kulit pasien AD dengan sensitisasi yang relevan secara klinis setelah paparan alergen.

Kesamaan struktur antara protein eksogen beberapa diantaranya telah teridentifikasi dan
protein endogen telah diperkenalkan pada konsep autoreaktivitas IgE pada pasien AD. Pembahasan
sistematik delapan penelitian pada akhir-akhir ini menunjukkan 634 pasien AD dan 173 subjek
kontrol, penurunan auto-IgE menjadi keratinosit self-antigen telah diobservasi pada 38,2% pasien,
kebanyakan dari mereka adalah pasien dewasa dengan derajat sedang persisten sampai yang parah.
Dengan demikian, waktu perkembangan autoreaktivitas IgE dan kontribusinya dalam kronisitas AD
perlu diteliti lebih jauh.

Penelitian struktur kulit 3D akhir-akhir ini telah diketahui pada kulit AD, LCs tampak pada
lapisan tertinggi dari epidermis dan mempenetrasi TJ dari kulit untuk merasakan antigen dari luar
dengan dendritnya, ketika inflamasi DC berada pada bagian terbawah, menyebabkan perbedaan fungsi
patofisiologi dari LCs dan inflamasi DCs. Bersama-sama, hasil saat ini mendukung dimana LCs
memiliki fungsi yang penting dalam pengaturan kondisi yang stabil, sementara mereka juga mampu
berkontribusi terhadap respon sel T ketika aktivasi.

Monosit manusia dianggap sebagai prekursor Mϕs dan DCs dalam waktu yang lama karena
monosit membedakan antara Mϕs dan DCs dibawah lingkungan yang terinflamasi. Penelitian baru-
baru ini menambah informasi baru dengan memperlihatkan jaringan normal LCs dan Mϕs diturunkan
secara embrionik dan memperbarui diri mereka dengan proliferasi dan dalam keadaan stabil, monosit
bermigrasi dari darah ke jaringan untuk tetap mempertahankan karakter monositik dan menyajikan
antigen jaringan dalam pengeringan kelenjar getah bening ke T Sel. (LNs) [64]. Oleh karena itu,
melemahnya sinyal IFN-γ dan TGF-β dan respon monosit manusia dari pasien AD dapat
meningkatkan respon imun Th2 oleh karena penurunan sinyal TGF-β di satu sisi dan kerusakan
stimulasi Th1 sitokin IFN-γ di sisi lainnya.

MCs adalah kunci dari sel-sel tersebut bermediasi menjadi reaksi hipersensitivitas tipe I. Hasil
dari percobaan binatang menunjukkan MCs dibutuhkan dalam perkembangan lesi kulit yang
menyerupai AD. Jumlah MCs pada lesi AD meningkat, sel mast melepaskan IL-31, yang dimana
mendukung hipotesis bahwa MCs menyebabkan infalamasi kulit di AD. Pada AD, toksin-δ dilepaskan
oleh S. aureus yang menstimulasi degranulasi MC, dimana menimbulkan inflamasi local dengan
dilepasnya mediator proinflamasi. Peran basofil pada AD masih belum jelas.

Akhir-akhir ini, ILCs telah diobservasi dalam infiltrate lesi AD dan pelepasan sitokin Th2, IL-
5, IL-9, dan IL-13 dalam menimbulkan inflamasi local setelah stimulasi dengan alergen, TSLP, atau
IL-33.

IL-4 dan IL-13 adalah mediator utama dari respon imun Th2 dan memberi sinyal pada kedua
sitokin melalui reseptor α IL-4 (IL-4Rα). IL-4Rα memediasi sejumlah mekanisme produksi IgE oleh
sel B, diferensiasi DC, aktivasi dari sel T seperti halnya dengan pengerahan eosinofil. Akibatnya,
inhibisi dari IL-4Rα memediasi mekanisme yang akan mewakili target terapetik, dimana ini masih
dibawah tahap investigasi pada penelitian yang sedang berjalan.

Pengaruh Respon Imun dalam Patogenesis AD

Ketika terjadi stimulasi dengan alergen, barier kulit turunan TSLP menstimulasi DCs menjadi respon
Th2. Infiltrasi sel T Th2 menjadi lesi AD akut, bersama dengan infiltrasi sedang dengan Th22 dan
beberapa Th17 telah diobservasi. Data dari test patch atopi dan penelitian telah membuktikan bahwa
AD kronis dapat berhubungan dengan respon imun campuran dari sel Th2/Th1/Th22 dalam
menginfiltrasi kulit.

Sebenarnya ditunjukkan adanya jumlah kecil dari sel Th-17 pada AD, tetapi fungsi IL-17
pada pathogenesis AD belum jelas. Berdasarkan observasi bahwa IL-17A mensupresi ekspresi dari
TSLP dan sitokin Th2, dan Th2 IL-4 mensupresi fungsi IL-17A dalam kulit manusia dan disini
menunjukkan bahwa terdapat korelasi pathway Th17 dan Th2 satu sama lain. Bagaimanapun,
defisiensi IL-17A pada mencit menurunkan respon Th2 pada fase akut inflamasi kulit. Hasil lainnya
dari binatang lain dan manusia dibutuhkan untuk menjelaskan peran Th17 pada AD.

Yang menarik, IL-25 (IL-17E), bagian dari IL-17 yang penting dan berbeda, meningkatkan
mediasi inflamasi sel Th2 dengan mengaktifkan sel memori Th2 bersama-sama dengan TSLP yang
mengaktivasi DCs. Selanjutnya, IL-25 menurunkan sintesis filagrin pada keratinosit.

IL-33 dan TSLP adalah jaringan turunan sitokin yang penting dalam pathogenesis AD dengan
meningkatkan inflamasi turunan sel Th2 lokal.

Bahkan, histamine yang dilepaskan oleh MCs saat paparan alergen dan juga oleh sel kulit
lainnya, dapat mengaktivasi makrofag-like cells dan meningkatkan pelepasan sitokin inflamasi
melalui ekspresi reseptor histamine pada permukaan sel. Pola kemokin dalam DC sangat berbeda
antara AD akut, kronis dan non-lesi. Kemokin seperti CCL17, CCL22 meningkat selama inflamasi
dan menyebabkan pengumpulan inflamatori DC seperti infiltrasi sel T. Data dari penelitian in vitro
dengan DCs mengindikasikan adanya DCs yang tidak terstimulasi oleh pasien AD mampu mendorong
respon Th1, Th2, atau Th17, sedangkan dampak lingkungan mikro terjadi pada polarisasi sel T secara
in vivo.

Mikrobiologi

Faktor resiko untuk komplikasi

Subgrup pasien AD beresiko dalam perkembangan keparahan infeksi virus dari induksi kulit oleh
virus herpes simpleks, yang disebut eczema herpeticum (EH). Dari gambaran klinis, pasien
menunjukkan jumlah yang spesifik tinggi dan total pada serum IgE. Selanjutnya, SNPs pada IFNG
dan IFNGR1 seperti faktor regulator interferin (IRF)2 telah bergabung dengan EH. Penurunan
responsifitas DCs dari lesi AD oleh fosforilasi STAT1 yang rendah dan induksi regulasi IFN-γ telah
ditunjukkan dan memberikan hasil dari dominan Th2 sama seperti dominan Th2 pada AD. Tingginya
IL-25 pada pasien AD yang bergantian dari satu episode ke episode yang lain dalam EH telah
diidentifikasi sebagai faktor resiko lainnya. In vitro, IL-25 dikombinasikan dengan IL-4 atau IL-13
menambah replikasi HSV dan menurunkan kerusakan produk filagrin, yang telah membuktikan untuk
menetralkan replikasi HSV dan vaksinnya. Peningkatan jumlah Tregs sama seperti CD14 CD16
monosit dengan penurunan kapasitas produksi sitokin inflamasi telah ditunjukkan pada EH akut.
Fig. 2. Summary of pathogenic mechanisms in acute and chronic atopic dermatitis (AD). (a). In the acute phase of AD, high
amount of invading allergens through damaged skin barrier stimulates mast cells to degranulate and to release inflammatory
mediators such as histamine, PGD2, IL-6, IL-8 and TNF-a as well as IL-31. Damaged skin epithelial cells release TSLP which
further enhances Th2 type skin inflammation. In response to invading allergens and antigens, skin resident LCs and
keratinocytes release inflammatory cytokines including IL-12 and IL-18 as well as chemokines to attract other types of immune
cells, such as Mɸs, basophils, eosinophils and neutrophils as well as T cells. Although Th1, Th2, Th17 and Th22 responses co-
exist in acute AD skin, Th2 type responses contribute mainly to the pathogenesis of acute AD by mediating type 2 skin
inflammation. (b). Th1, Th2, Th17 and Th22 responses are involved in the pathogenesis of chronic AD. Proinflammatory
cytokines such as IL-12 and IL-18 secreted by skin dendritic cells support Th1 activation. IFN-c secreted by Th1 cells induces
keratinocyte apoptosis, while activation of Th22 cells induces skin remodelling and thickness of chronic AD skin.

Kesimpulan

Patogenesis AD adalah hasil dari genetik, lingkungan, dan faktor imunologi. Tipe sel imun yang luas
secara berkoordinasi satu sama lain dalam proses inflamasi pada AD. Identifikasi lebih lanjut pada
pengaruh organic, selular, dan tingkat molecular akan membantu dalam pengembangan terapi baru.

Konflik

Tidak terdapat konflik yang menarik

Anda mungkin juga menyukai