Anda di halaman 1dari 38

Tugas Akhir Blok Manajemen Fisioterapi Musculosceletal

PAPER MANAJEMEN FISIOTERAPI


OA, RA DAN GOUT ARTHRITIS PADA KNEE JOINT

Oleh
1. Putri Ayuninda Yusri (C041171504)
2. Nur Afifah (C041171507)
3. Ferial Imran Nur (C041171515)

PROGRAM STUDI S1 FISIOTERAPI


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL………………………………………………… i
DAFTAR ISI ………………………………………………………….. ii
DAFTAR TABEL……………………………………………………… iii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………… iv
BAB I PENDAHULUAN …………………………………….. 1-3
BAB II PEMBAHASAN ……………………………………..... 4
A. ANATOMI & FISIOLOGI……………………….... 4-10
B. BIOMEKANIK …………………………………..... 10-12
C. EPIDEMIOLOGI………………………………….. 12-13
D. ETIOLOGI ………………………………………... 13-15
E. PATOLOGI ……………………………………….. 15-18
BAB III PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI……………… 19
A. ANAMNESIS…………………………………….... 19
B. INSPEKSI………………………………………….. 20
C. TES ORIENTASI…………………………...……… 20
D. PFGD ………………………………………………. 20-22
E. TES SPESIFIK…………………………………….. 22-28
F. DIAGNOSA FISIOTERAPI...…………………….. 28
G. PROBLEM FISIOTERAPI……………………….. 29
H. PLANNING....…………………………………….. 29
I. INTERVENSI FISIOTERAPI…………………….. 29-30
J. EVALUASI....…………………………………….. 31
BAB IV PENUTUP……………………… …………………….. 32
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………. 33-34

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Kriteria untuk Artritis Reumatoid…………………………….. 16-18


Tabel 3.1. Intervensi Fisioterapi pada Kasus OA………………………… 29-30
Tabel 3.2. Evaluasi Setelah 3x Intervensi ………………………………… 31

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Anatomi Knee Joint………………………………………… 4


Gambar 2.2. Anatomi Femur bagian Distal……………………………… 5
Gambar 2.3. Anatomi Fibula dan Tibial………………………………… 6
Gambar 2.4. Anatomi Patella…………………………………………… 7
Gambar 2.5. Susunan Ligamen pada Lutut...…………………………… 8
Gambar 2.6. Struktur Meniskus pada Sendi Lutut……………………… 9
Gambar 3.1. Pemeriksaan Ligamen Collateral Lateral………………… 23
Gambar 3.2. Pemeriksaan Ligamen Collateral Medial………………… 24
Gambar 3.3. Pemeriksaan Ligamen Crusiatum Anterior.……………… 24
Gambar 3.4. Apley Compression Test.…....…………………………… 25
Gambar 3.5. Apley Traction Test.……………………………………… 26
Gambar 3.6. Fluctuation Test.………………………………………… 27
Gambar 3.7. Ballotement Test.………………………………………… 28

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Sendi lutut merupakan sendi terbesar di tubuh manusia, dikarenakan sendi ini
bertanggung jawab terhadap berat badan manusia sehingga sendi ini harus besar
oleh karena itu ia mudah cedera. Terbuat dari bagian bawah tulang paha (femur),
yang memutar pada bagian atas dari tulang kering (tibia), dan tempurung lutut
(patella), yang menggeser pada sebuah alur di ujung tulang paha (Meyer et al.,
2017). Pada sendi dapat terjadi penyakit “Arthritis”. Arthritis
adalah peradangan pada satu atau lebih persendian, yang disertai dengan rasa sakit,
kebengkakan, kekakuan, dan keterbatasan gerak.
Arthritis dapat terjadi akibat infeksi maupun tanpa infeksi. Pelepasan
mediator inflamasi dari leukosit, kondrosit, sinoviosit menyebabkan kehilangan
proteoglikan dan matriks ektraselular kartilago, sehingga terjadi kerusakan tulang.
Kerusakan dan hilangnya kolagen dan kondrosit dapat menyebabkan perubahan
yang tidak dapat kembali. Terdapat lebih dari 100 bentuk arthritis. Bentuk yang
paling umum, yakni osteoarthritis disebabkan oleh trauma pada persendian, infeksi
pada persendian, atau usia. Arthritis lainnya yaitu arthritis rheumatoid, arthritis
psoriatik, dan penyakit autoimun. Arthritis sepsis disebabkan oleh infeksi pada
sendi (Espinosa & Gottlieb, 2012). Pada essai ini kami akan membahas mengenai
OA, RA dan Gout pada knee joint.
Sensus penduduk Indonesia tahun 2010, jumlah lansia sebanyak 18,1 juta dan
diperkirakan akan terus meningkat, sedangkan berdasarkan hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) 2013, pada lansia prevalensi penyakit sendi (24,7%) berada
diurutan ketiga penyakit tidak menular setelah stroke (57,9%) dan hipertensi
(36,8%), yang meningkat seiring bertambahnya umur. Osteoarthritis merupakan
penyakit sendi degeneratif ditandai dengan kerusakan tulang rawan sendi,
meningkatnya ketebalan serta sklerosis lempeng tulang (Hikmatyar & Larasati,
2017). Osteoarthritis merupakan penyakit degeneratif dan progresif yang mengenai
dua per tiga orang yang berumur lebih dari 65 tahun, dengan prevalensi 60,5% pada
pria dan 70,5% pada wanita. Seiring bertambahnya jumlah kelahiran yang

1
mencapai usia per-tengahan dan obesitas serta peningkatannya dalam populasi
masyarakat osteoarthritis akan berdampak lebih buruk di kemudian hari. Karena
sifatnya yang kronik progresif, osteoarthritis berdampak sosioekonomi yang besar
di Negara maju dan di Negara berkembang (Pratiwi, 2015). Penyakit ini ditandai
oleh adanya pengikisan rawan sendi dan terdapat pembentukan tulang baru yang
irregular pada permukaan persendian. Nyeri menjadi gejala utama terbesar pada
sendi yang mengalami osteoarthritis. Rasa nyeri diakibatkan setelah melakukan
aktifitas dengan penggunaan sendi dan rasa nyeri dapat diringankan dengan
istirahat.
Reumatoid Arthritis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh reaksi
autoimun yang terjadi di jaringan persendian. Salah satu gejalanya adalah nyeri
pada persendian sehingga akan mengganggu kemandirian lansia dalam melakukan
aktifitas kehidupan sehari-harinya. Nyeri, kelelahan, dan keterbatasan aktifitas fisik
pada arthritis rheumatoid dianggap sebagai faktor stres yang kemudian dapat
menyebabkan tekanan psikologis, yaitu kecemasan, depresi, atau keduanya.
Kecemasan merupakan suatu respon manusia terhadap kejadian yang mengancam
kesejahteraan hidupnya, seperti keadaan ekonomi, pekerjaan yang terganggu, dan
keterbatasan aktifitas fisik (Chintyawati, 2014). Di seluruh dunia, kejadian tahunan
RA adalah sekitar tiga kasus per 10.000 penduduk, dan tingkat prevalensi sekitar
1%. Remisi klinis spontan brsifat jarang, sekitar 5-10%). RA terjadi 2-3 kali lebih
sering pada wanita dibandingkan pada pria. Frekuensi AR puncaknya terjadi pada
usia 35-50 tahun. Pada pasien RA terjadi penurunan harapan hidup 5-10 tahun,
meskipun angka kematian mungkin lebih rendah pada mereka yang merespon
tehadap terapi (Zairin Noor Helmi, 2013).
Gout arthritis atau disebut orang awam dengan asam urat merupakan
pembentukan kristal pada persendian, akibat tingginya kadar asam urat dalam tubuh
yang dimanifestasikan sebagian oleh hiperurisemia, yang secara bervariasi
didefinisikan sebagai kadar urat serum lebih besar dari 6,8 atau 7,0 mg / dl (1, 2)
(Khanna et al., 2012). Kejadian gout arthritis yang sering ditemukan pada usia 50
tahun keatas. Hampir 85-90% penderita yang mengalami serangan pertama
biasanya hanya mengenai satu persendian dan umumnya pada sendi atau ruas tulang

2
telapak kaki dengan jari kaki (Fajriyah, Sani, &Winarsih, 2013). Dinas Kesehatan
Kota Pekanbaru (2016) menyatakan bahwa gout arthritis termasuk 10 jenis penyakit
terbesar di puskesmas berada diurutan ke-10 sebesar 8.449 orang.
Fisioterapi sebagai profesi kesehatan yang menangani gerak dan fungsi gerak
juga memiliki penatalaksanaan pada kasus OA, RA, dan Gout Arthritis khususnya
pada Knee Joint (Page, Hinman, & Bennell, 2011).

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Anatomi dan Fisiologi Knee Joint


Knee Joint adalah salah satu sendi terbesar dalam tubuh. Knee joint
terbentuk dari bagian distal tulang femur dan bagian proksimal tulang tibia.
Selain kedua tulang tersebut, terdapat pula tulang fibula yang terletak pada
sebelah lateral tulang tibia dan patella yang ikut membentuk knee joint (Web
MD, 2010).

Gambar 2.1. Anatomi Knee Joint

Sumber: Web MD, 2010

Knee Joint merupakan bagian dari extremitas inferior yang menghubungkan


tungkai atas (paha) dengan tungkai bawah. Fungsi dari sendi lutut ini adalah
untuk mengatur pergerakan dari kaki.
1. Tulang-tulang pembentuk Knee Joint:
a. Os. Femur (bagian distal)

4
Merupakan tulang pipa terpanjang dan terbesar di dalam tulang
kerangka pada bagian pangkal yang berhubungan dengan acetabulum
membentuk kepala sendi yang disebut caput femoris. Di sebelah atas
dan bawah dari columna femoris terdapat taju yang
disebut trochantor mayor dan trochantor minor, di bagian ujung
membentuk persendian lutut, terdapat dua buah tonjolan yang disebut
condylus medialis dan condylus lateralis, di antara kedua condylus ini
terdapat lekukan tempat letaknya tulang tempurung lutut (patella) yang
disebut dengan fosa condylus (Syaifuddin, 1997).

Gambar 2.2. Anatomi Femur Bagian Distal

Sumber: Medical Look, 2007


Bagian-bagian tulang femur (distal):
1) Body (shaft)
2) Epicondylus lateralis
3) Epicondylus medialis
4) Condylus lateralis
5) Condylus medialis
6) Pattelar surface
7) Adductor tubercle

5
8) Distal line of capsular pattern
b. Os. Tibia (Proximal)
Tulang tibia bentuknya lebih kecil, pada bagian pangkal melekat
pada os fibula, pada bagian ujung membentuk persendian dengan tulang
pangkal kaki dan terdapat taju yang disebut os maleolus medialis.
(Syaifuddin, 1997).

Gambar 2.3. Anatomi Tibia dan Fibula

Sumber: Sobotta, 2013


Bagian-bagian tulang tibia:
1) Medial intercondylar tubercle of intercondylar eminence
2) Lateral intercondylar tubercle of intercondylar eminence
3) Lateral condylar
4) Superior articular surface (Medial and Lateral facet)
5) Semimembranosus tendon
6) Posterior intercondylar area
c. Os. Fibula (Proximal)
Merupakan tulang pipa yang terbesar sesudah tulang paha yang
membentuk persendian lutut dengan os femur pada bagian ujungnya.

6
Terdapat tonjolan yang disebut os maleolus lateralis atau mata kaki luar.
(Syaifuddin, 1997).
Bagian-bagian tulang fibula (proximal):
1) Apex of fibula
2) Head of fibula
3) Neck of fibula
d. Os. Patella
Pada gerakan fleksi dan ekstensi patella akan bergerak pada tulang
femur. Jarak patella dengan tibia saat terjadi gerakan adalah tetap dan
yang berubah hanya jarak patella dengan femur. Fungsi patella di
samping sebagai perekatan otot-otot atau tendon adalah sebagai
pengungkit sendi lutut. Pada posisi fleksi lutut 90 derajat, kedudukan
patella di antara kedua condylus femur dan saat ekstensi maka patella
terletak pada permukaan anterior femur (Syaifuddin, 1997).
Gambar 2.4. Anatomi Patella

Sumber: Medical Look, 2007


Bagian-bagian Patella:
1) Base

7
2) Articular surface
3) Apex
2. Ligamen
Stabilitas sendi lutut salah satunya adalah ligamentum. Ada beberapa
ligamentum yang terdapat pada sendi lutut antara lain:
a. Ligamentum collateral berfungsi untuk menahan beban baik dari
medial ataupun lateral. Sedangkan arah ligamentum collateral lateral
dan medial akan memberikan gaya yang bersilang, sehingga akan
memperkuat stabilitas sendi lutut terutama pada posisi extensi.
b. Ligamentum cruciatum terdiri dan dua jenis, yaitu ligamentum
cruciatum anterior berfungsi untuk menahan gerak translasi os tibia
terhadap os femur ke arah anterior dan ligamentum cruciatum posterior
berfungsi untuk menahan gerak translasi os tibia terhadap os femur ke
arah posterior. Pada posisi endorotasi kedua ligamentum ini saling
bersilangan.

Gambar 2.5. Susunan Ligamen pada Lutut

Sumber: SSOR, 2008

8
Sedangkan stabilitas aktifnya berupa otot-otot disekitar sendi lutut
antara lain: m. Quadriceps femoris, m. Biceps femoris, m. Gastrocnemius,
m. Popliteus, m. Gracilis, m. Sartorius, m. Semimembranosus dan m.
Semitendinosus.
3. Meniskus
Selain keberadaan ligamen dan otot-otot disekitarnya yang menjadi
stabilisator sendi lutut, terdapat pula meniskus yang berfungsi sebagai
bantalan sendi yaitu meniskus medialis dan meniskus lateralis.
Diantara os tibia dan femur terdapat sepasang meniskus (meniskus
medialis dan meniskus lateralis). Dengan adanya meniskus ini menambah
luas permukaan sendi pada tibia plateu, sehingga memungkinkan gerakan
send lutut lebih bebas.

Gambar 2.6. Struktur Meniskus pada Sendi Lutut

Sumber: Fisioterapi Makassar, 2014.

Pada prinsipnya gerak meniskus mengikuti gerak dari condylus


femoralis, sehingga waktu fleksi maka bagian posterior dan kedua meniskus
terdesak/tertekan yang memberikan regangan ke arah posterior sepanjarig 6

9
mm untuk meniskus medialis dan sepanjang 12 mm untuk meniskus
lateralis.
Pada gerakan rotasi juga terjadi hal yang sama, yaitu pada gerak
eksorotasi os tibia terhadap os femur maka meniskus medialis terdesak ke
arah posterior, sedang meniskus lateralis terdesak ke arah anterior dan
sebaliknya untuk gerakan internal rotasi os tibia terhadap os femur.
Sehingga pada penggunaan tes cidera pada meniskus, maka apabila gerakan
eksorotasi timbul nyeri ada kemungkinan indikator cidera untuk meniskus
medialis, dan berlaku sebaliknya.

B. Biomekanik Knee Joint


Sendi lutut terdiri dari hubungan antara:
1. Os femur dan os tibia (tibiofemoralert joint).
2. Os femur dan os patella (patello lemoralis joint).
3. Os tibia dan os fibula tibiofibu1aris proximalis joint).
a. Art. Tibiofemoralis
Dibentuk oleh condylus femoralis lateralis dan medialis (convexi
cembung) dan tibia plateu (concaf/cekung). Permukaan sendi dan
condylus medialis lebih lebar dibanding condylus lateralis. Bentuk
kroming kedua condylus pada bagian anterior lebih kecil dibanding
pada bagian posterior. Selain itu juga tibia plateu mempunyai bentuk
permukaan yang berbeda, yang mana bagian medial permukaan
anterior posterior dalam arah medio lateral concaf. Namun bagian
lateral permukaan anterior-posterior sedikit convex dan arah medio
lateral relatif datar. Konsekuensi dan keadaan tadi maka fase-fase
terjadi gerak rolling dan sliding yang mengikuti arah dan permukaan
sendi.
Pada fleksi knee, dan fleksi ke full ekstensi terjadi gerakan sliding
pada condylus femur pada bidang sagital ke arah posterior terhadap
tibia plateu, yang mana pada fase akhir dan gerakan tersebut terjadi
gerakan rotasi femur terhadap os tibia. Diantara os tibia dan femur

10
terdapat sepasang meniscus (meniscus medialis dan meniscus
lateralis). Dengan adanya meniscus ini menambah luas permukaan
sendi pada tibia plateu, sehingga memungkinkan gerakan sendi lutut
lebih bebas.
Pada prinsipnya gerak meniscus mengikuti gerak dari condylus
femoralis, sehingga waktu fleksi maka bagian posterior dan kedua
meniscus terdesak/tertekan yang memberikan regangan ke arah
posterior sepanjang 6 mm untuk meniscus medialis dan sepanjang 12
mm untuk meniscus lateralis.
Pada gerakan rotasi juga terjadi hal yang sama, yaitu pada gerak
eksorotasi os tibia terhadap os femur maka meniscus medialis terdesak
ke arah posterior, sedang meniscus lateralis terdesak ke arah anterior
dan sebaliknya untuk gerakan internal rotasi os tibia terhadap os
femur.
b. Art. Patellofemoralis
Facet sendi ini terdiri dari tiga perrnukaan pada bagian lateral pada
satu permukaan pada bagian medial. M. vastus lateralis menarik
patella ke arah proximal sedangkan m. vastus medialis menarik patella
ke medial, sehingga posisi patella stabil.
Pada posisi akhir antara 30°- 40° dari ekstensi, patella tertarik oleh
mekanisme gaya kerja otot ekstensor, sehingga kedudukannya sangat
kuat. Pada posisi ini apabila patella kita dorong ke distal kemudian
diberikan kontraksi quadriceps femoris, maka permukaan patella
menggores epicondylus femoralis. Jika terjadi pada chondromalacia,
maka akan terasa nyeri sekali.
c. Art. Tibiofibularis
Hubungan tulang tibia dan fibula merupakan syndesmosis yang
ikut memperkuat beban yang diterima sendi lutut sebesar l/l6 dari
berat badan.
d. Ligamentum

11
Ligamentum merupakan bagian dari stabilitas pasif sendi, yang
mana stabilitas sendi lutut sangat dipengaruhi oleh kekuatan dan
ligamentum collateral, lig. cruciatum, capsul sendi, meniscus dan
tendon. Sedangkan stabilitas aktifnya berupa otot-otot disekitar sendi
lutut.
e. Otot-otot
Otot disekitar sendi lutut mempunyai fungsi sebagai stabilitas aktif
sekaligus sebagai penggerak dalam aktiftas sendi lutut, otot tersebut
antara lain; m. quadriceps femoris (vastus medialis, vastus lateralis,
vatus intermedius dan rectus fernoris).
Keempat otot tersebut bergabung sebagai group extensor
sedangkan group flexor terdiri dari; m. gracilis, sartorius dan semi
tendinosus. Otot semimembranosus pada akhir perlekatannya
bercabang menjadi tiga bagian yang mana semuanya melekat pada
capsul sendi dan meniscus medialis.
Untuk gerak rotasi pada sendi lutut dipelihara oleh otot-otot group
flexor baik medial group maupun lateral group. Medial group tediri
dari m. semitendinosus, semimembranosus, sartorius, gracilis dan
popliteus. Kelompok ini berfungsi sebagai penggerak endorotasi knee,
sedangkan lateral group atau exorotasi group terdiri dari m. biceps
femoris dan tensor fascialata.
Osteokinematika yang memungkinkan terjadi adalah gerakan fleksi dan
ekstensi pada bidang sagital dengan lingkup gerak sendi fleksi antara 120-130
derajat, untuk gerakan ekstensi, lingkup gerak sendi antara 0 – 10 derajat.
Sedangkan Artrokinematikanya, saat gerakan fleksi maka os.tibia sliding
kearah posterior dan saat ekstensi os.tibia sliding ke arah anterior.

C. Epidemiologi
1. Osteoarthritis
Dari sekian banyak sendi yang dapat terserang OA, lutut merupakan
sendi yang paling sering dijumpai terserang OA. Osteoarthritis lutut

12
merupakan penyebab utama rasa sakit dan ketidakmampuan dibandingkan
OA pada bagian sendi lainnya. Data Arthritis Research Campaign
menunjukkan bahwa lebih dari 550 ribu orang di Inggris menderita OA
lutut yang parah dan 2 juta orang mengunjungi dokter praktek umum
maupun rumah sakit karena OA lutut. Lebih dari 80 ribu operasi
replacement sendi lutut dilakukan di Inggris pada tahun 2000 dengan biaya
405 juta Poundsterling.
2. Rheumatoid Arthritis
Di seluruh dunia, kejadian tahunan RA adalah sekitar tiga kasus per
10.000 penduduk, dan tingkat prevalensi sekitar 1%. Frekuensi AR
puncaknya terjadi pada usia 35-50 tahun. Data epidemiologi di Indonesia
tentang penyakit RA masih terbatas. Data terakhir dari Poliklinik
Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah kunjungan
penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203 dari
jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 pasien.
3. Gout Arthritis
Pada tahun 2009 di Maluku Tengah ditemukan 132 kasus, dan
terbanyak ada di Kota Masohi berjumlah 54 kasus (Talarima et al, 2012).
Prevalensi artritis gout di Desa Sembiran, Bali sekitar 18,9%, sedangkan
di Kota Denpasar sekitar 18,2%. Tingginya prevalensi artritis gout di
masyarakat Bali berkaitan dengan kebiasaan memakan makanan tinggi
purin seperti lawar babi yang diolah dari daging babi, betutu ayam/itik,
pepes ayam/babi, sate babi, dan babi guling (Hensen, 2007).
Menurut (Talarima et al, 2012), jumlah kejadian artritis gout di
Indonesia masih belum jelas dikarenakan data yang masih sedikit. Hal ini
disebabkan karena Indonesia memiliki berbagai macam jenis etnis dan
kebudayaan, jadi sangat memungkinkan jika Indonesia memiliki lebih
banyak variasi jumlah kejadian artritis gout.

D. Etiologi
1. Osteoarthritis

13
Penyebab osteoarthritis bermacam-macam, beberapa faktor resiko
terjadinya osteoarthritis antara lain sebagai berikut: umur, jenis kelamin,
faktor metabolik, dan trauma (Rasjad, 2009).
Terdapat hubungan terbalik antara osteoarthritis dan osteoporosis.
Pada penderita OA, perempuan maupun laki-laki mengalami peningkatan
kepadatan mineral tulang pada beberapa tempat di tulang kerangka.
Hubungan tersebut timbul karena kondisi kedua penyakit diatas sama-
sama dipengaruhi oleh berat badan. Orang gemuk mempunyai densitas
tulang yang lebih tinggi, tetapi juga meningkatkan risiko terjadinya OA.
Walaupun pasien OA umumnya berisiko rendah terhadap osteoporosis,
mereka tidak terlindungi dari retak tulang. Pasien OA tubuhnya tidak stabil
dan cenderung mudah jatuh. Dengan demikian meskipun kepadatan
tulangnya cukup tinggi, risiko terjadinya fraktur sama dengan pasien
osteoporosis.
2. Rheumatoid Arthritis
Faktor risiko yang berkaitan dengan peningkatan terjadinya
rheumatoid arthritis adalah jenis kelamin perempuan, ada riwayat keluarga
yang menderita rheumatoid arthritis, umur lebih tua, paparan salisilat,
kondisi sosial ekonomi rendah dan merokok. Beberapa keadaan berkaitan
dengan penurunan risiko seperti mengkonsumsi vtamin D, konsumsi teh,
dan penggunaan kontrasepsi oral. Tiga dari empat perempuan dengan
rheumatoid arthritis mengalami perbaikan gejala yang bermakna selama
kehamilan dan biasanya akan kambuh kembali setelah melahikan
(Suarjana, 2014).
3. Gout Arthritis
Etiologi dari arthritis gout meliputi usia, jenis kelamin, riwayat
medikasi, obesitas, konsumsi purin dan alkohol. Pria memiliki tingkat
serum asam urat lebih tinggi daripada wanita, yang meningkatkan resiko
mereka terserang artritis gout. Perkembangan artritis gout sebelum usia 30
tahun lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan wanita. Namun angka
kejadian artritis gout menjadi sama antara kedua jenis kelamin setelah usia

14
60 tahun. Prevalensi artritis gout pada pria meningkat dengan
bertambahnya usia dan mencapai puncak antara usia 75 dan 84 tahun
(Weaver, 2008).

E. Patologi
1. Osteoarthritis
Osteoarthritis biasanya mengenai sendi penopang berat badan (weight
bearing) misalnya pada panggul, lutut, vertebra, tetapi dapat juga
mengenai bahu, sendi-sendi jari tangan, dan pergelangan kaki (Carlos,
2013). Terdapat 2 kelompok osteoarthritis, yaitu osteoarthritis primer dan
osteoarthritis sekunder. Osteoarthritis primer tidak memiliki hubungan
dengan penyakit sistemik maupun perubahan lokal pada sendi.
Osteoarthritis sekunder adalah osteoarthritis yang didasari adanya faktor
patologi predisposisi (Bronner et al., 2007 ).
Diagnosis osteoarthritis biasanya gambaran berupa penyempitan
celah sendi yang asimetris, peningkatan densitas tulang subkondral, kista
tulang, osteofit pada pinggir sendi, dan perubahan struktur anatomi sendi
dapat ditemukan pada pemeriksaan radiologis yang menggunakan
pemeriksaan foto polos ( Haq et al., 2003).
Prognosis pada pasien dengan osteoarthritis tergantung pada sendi
yang terlibat dan pada keparahan kondisi. Pasien dengan osteoarthritis
yang telah menjalani penggantian sendi memiliki prognosis yang baik,
dengan tingkat keberhasilan untuk pinggul dan lutut artroplasti umumnya
melebihi 90%.
2. Rheumatoid Arthritis
Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun terutama terjadi dalam
jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam
sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi
edema, poliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus.
Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang.
Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan menganggu

15
gerak sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami
perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas otot dengan
kekuatan kontraksi otot (Brunner&Suddarth, 2002).
Menurut Arnett (1988), dalam “The American Rheumatism
Association (1987)”, apabila menunjukkan 4 gejala dari 7 gejala yang ada
minimal selama 6 minggu, maka seseorang bisa dikatakan menderita
Rheumatoid Arthritis, yaitu:

Tabel 2.1 Kriteria untuk Artritis Reumatoid (The American


Rheumatism Association, 1987 Revised)
Kriteria Definisi
Kaku pagi hari (Morning Kekakuan di pagi hari pada
stiffness) persendian dan disekitarnya,
sekurangnya selama 1 jam
sebelum perbaikan maksimal.
Arthritis pada 3 daerah Pembengkakan jaringan lunak
atau persendian atau lebih efusi
(bukan pertumbuhan tulang),
sekurang-kurangnya 3 sendi
secara bersamaan yang
diobservasi oleh seorang tenaga
medis. Dalam kriteria ini terdapat
14 persendian yang memenuhi
kriteria, yaitu: PIP, MCP,
pergelangan tangan, siku
pergelangan kaki serta MTP kiri
dan kanan.
Arthritis pada persendian tangan Sekurang-kurangnya terjadi
pembengkakan satu persendian
tangan.

16
Arthritis simetris Keterlibatan sendi yang sama
(seperti yang tertera pada kriteria 2
di kedua belah sisi, keterlibatan
PIP, MCP atau MTP blateral dapat
diterima walaupun tidak mutlak
bersifat simetris.
Nodul rheumatoid Nodul subkutan pada penonjolan
tulang atau permukaan ekstensor
atau daerah juksta artikular yang
diobservasi oleh seorang tenaga
medis.
Faktor rheumatoid serum Terdapatnya titer abnormal faktor
rheumatoid serum yang diperiksa
dengan cara yang memberika hasil
positif kurang dari 5% kelompok
kontrol yang diperiksa.
Perubahan gambaran Perubahan gambaran radiologis
khas bagi rheumaoid arthritis pada
pemeriksaan sinar X, tangan
posteroanterior atau pergelangan
tangan yang harus menunjukkan
adanya erosi atau dekalsifikasi
tulang yang berlokasi pada sendi
atau daerah yang berdekatan
dengan sendi (perubahan akibat
osteoarthritis saja tidak memenuhi
persyaratan).

Prognosis RA, jika didiagnosis dan diobati dini, secara signifikan


lebih baik daripada 20-30 tahun yang lalu dan banyak orang memiliki

17
kualitas hidup yang jauh lebih baik meskipun memiliki RA (Gabriel
Panayi, 2003).
3. Gout Arthritis
Histopatologis dari tofus menunjukkan granuloma dikelilingi oleh
butir kristal monosodium urat (MSU). Reaksi inflamasi di sekeliling
kristal terutama terdiri dari sel mononuklir dan sel giant. Erosi kartilago
dan korteks tulang terjadi disekitar tofus. Kristal dalam tofus berbentuk
jarum (needle shape) dan sering membentuk kelompok kecil secara radier
(Tehupeiory, 2006).
Komponen lain yang penting dalam tofus adalah lipid
glikosaminoglikan dan plasma protein. Pada 95% kasus artritis gout akut,
cairan sendi juga mengandung kristal monosodium urat monohidrat. Pada
cairan aspirasi dari sendi yang diambil segera pada saat inflamasi akut
akan ditemukan banyak kristal di dalam leukosit. Hal ini disebabkan
karena terjadi proses fagositosis (Tehupeiory, 2006)

18
BAB III
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI

A. Anamnesis
1. Anamnesis Umum
Nama : Raihana Aurelia
Jenis kelamin : Wanita
Umur : 44 tahun
Pekerjaan : Pembantu rumah tangga
Hobi : Bersepeda dan senam
Status : Menikah
2. Anamnesis Khusus
a. Keluhan utama : Nyeri dan kaku pada lutut kanan
b. Riwayat penyakit
1) Sejak kapan mulai nyeri?
2) Nyeri seperti apa yang dirasakan?
3) Apa yang menyebabkan sehingga terjadi nyeri?
4) Nyeri yang dirasakan menjalar atau tidak?
5) Saat kegiatan apa intensitas nyerinya bertambah?
6) Apa yang dilakukan saat nyeri muncul atau bertambah?
7) Sudah ke dokter?
8) Ada obat yang diberikan?
9) Bagaimana perasaan Ibu setelah meminum obat?
10) Pernah foto rontgen?
11) Apa yang dokter katakan terkait hasil fotonya?
12) Pernah cek laboratorium?
13) Apakah aktifitas sehari-hari Ibu terganggu karena sakit ini?
14) Bagaimana perasaan Ibu?
15) Apakah ada keluhan lain?

19
B. Inspeksi
1. Inspeksi Statis
a. Wajah meringis kesakitan.
b. Bahu kanan lebih tinggi dari bahu kiri.
c. Pelvic kanan lebih tinggi dari yg kiri.
d. Lutut kanan agak menekuk.
e. Kaki kanan sedikit jinjit.
2. Inspeksi Dinamis
Saat berjalan, pasien sedikit membungkuk dan terlihat pincang karena
kehilangan fase heel strike. Fase berjalan tidak normal.

C. Tes Orientasi
Mengarahkan pasien untuk berdiri ke jongkok, duduk ke berdiri dan berjalan
Interpretasi : Pasien tidak mampu melakukannya, pasien sangat kaku dan ROM
terbatas karena nyeri.

D. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar (PFGD)


1. PFGD Aktif
a. Gerakan Fleksi Knee
Prosedur pelaksanaan :
1) Atur posisi pasien sebelum dilakukan pemeriksaan, yaitu berdiri
di lantai.
2) Minta pasien mengangkat kaki kanan ke arah belakang paha.
3) Lihat ekspresi dan pergerakan pasien, apakah pasien merasa
kesakitan dan pergerakannya terbatas atau tidak.
Interpretasi : Gerakan fleksi pasien terbatas akibat nyeri dan terasa
kaku.
b. Gerakan Ekstensi Knee
Prosedur pelaksanaan :
1) Atur posisi pasien sebelum dilakukan pemeriksaan, yaitu berdiri
di lantai.

20
2) Minta pasien menurunkan atau meluruskan kaki kanan dari
belakang paha ke posisi sejajar dengan kaki kiri.
3) Lihat ekspresi dan pergerakan pasien, apakah pasien merasa
kesakitan dan pergerakannya terbatas atau tidak.
Interpretasi : Gerakan ekstensi pasien terbatas.
2. PFGD Pasif
a. Gerakan Fleksi Knee
Prosedur pelaksanaan :
1) Atur posisi pasien sebelum pemeriksaan dilakukan, yaitu dengan
posisi tidur terlentang di atas tempat tidur.
2) Posisi kaki kanan pasien lurus, letakkan tangan kiri fisioterapis di
bawah lutut pasien dan tangan kanan fisioterapis di bawah tumit
pasien.
3) Lakukan gerakan fleksi lutut. Fisioterapis mengangkat kaki kanan
pasien ke atas kemudian tekuk lutut ke arah dada.
4) Tanyakan kepada pasien terkait batas nyeri yang dirasakan.
Apabila pasien tidak dapat melanjutkan gerakan, hentikan
gerakan dibatas nyeri tersebut.
Interpretasi : Gerakan fleksi pasien terbatas dan nyeri, soft endfeel.
b. Gerakan Ekstensi Knee
Prosedur pelaksanaan :
1) Atur posisi pasien sebelum pemeriksaan dilakukan, yaitu dengan
posisi tidur terlentang di atas tempat tidur.
2) Posisi kaki kanan pasien lurus, letakkan tangan kiri fisioterapis di
bawah lutut pasien dan tangan kanan fisioterapis di bawah tumit
pasien.
3) Lakukan gerakan ekstensi lutut untuk kembali ke posisi semula.
Fisioterapis menurunkan kaki pasien ke bawah ke arah tempat
tidur dan luruskan lutut.

21
4) Tanyakan kepada pasien terkait batas nyeri yang dirasakan.
Apabila pasien tidak dapat melanjutkan gerakan, hentikan
gerakan dibatas nyeri tersebut.
Interpretasi : Gerakan ekstensi pasien terbatas dan nyeri, hard endfeel.
3. TIMT
a. Gerakan Fleksi Knee
Prosedur pelaksanaan :
1) Atur posisi pasien sebelum pemeriksaan dilakukan, yaitu dengan
posisi tidur terlentang di atas tempat tidur.
2) Pasien diminta untuk melakukan gerakan fleksi kemudian
fisioterapis memberikan tahanan.
3) Perhatikan batas nyeri pasien. Apabila pasien tidak dapat
melakukan gerakan dengan tahanan yang diberikan, kurangi
tahanan ataupun hentikan gerakan.
Interpretasi : Pasien dapat melakukannya.
b. Gerakan Ekstensi Knee
Prosedur pelaksanaan :
1) Atur posisi pasien sebelum pemeriksaan dilakukan, yaitu dengan
posisi tidur terlentang di atas tempat tidur.
2) Pasien diminta untuk melakukan gerakan ekstensi kemudian
fisioterapis memberikan tahanan.
3) Perhatikan batas nyeri pasien. Apabila pasien tidak dapat
melakukan gerakan dengan tahanan yang diberikan, kurangi
tahanan ataupun hentikan gerakan.
Interpretasi : Pasien dapat melakukannya.

E. Tes Spesifik
1. VAS
Interpretasi :
a. Nyeri diam : 3
b. Nyeri gerak : 9

22
c. Nyeri tekan : 6
2. Tes Hipermobilitas Varus
a. Tujuan : untuk mengetahui lesi pada ligamentum collateral lateral.
b. Prosedur :
1) Posisi pasien terlentang diatas bed tungkai yang akan diperiksa
berada disamping luar bed dan tungkai yang lain lurus di bed.
2) Salah satu tangan terapis berada disisi medial lutut sebagai fiksasi
dan tangan yang lain berada di sisi lateral dari pergelangan kaki
untuk memberikan dorongan ke arah dalam.
c. Interpretasi : negatif, tidak ada gangguan pada LCL.

Gambar 3.1. Pemeriksaan Ligamen Collateral Lateral

Sumber: de Wolf, 1994

3. Tes Hipermobilitas Valgus


a. Tujuan : Tes ini untuk mengetahui lesi ligamentum collateral medial.
b. Prosedur :
Caranya hampir sama dengan hipermobilitas varus hanya saja
posisi tangan terapis yang berfungsi sebagai fiksasi berada disisi
lateral sendi lutut sementara tangan yang lain disisi medial dari
pergelangan kaki untuk memberikan dorongan ke arah luar
c. Interpretasi : negatif, tidak ada gangguan pada MCL.

Gambar 3.2. Pemeriksaan Ligamen Collateral Medial

23
Sumber: de Wolf, 1994

4. Tes hiperekstensi
a. Tujuan : untuk mengetahui adanya kelainan lig. crusiatum anterior.
b. Prosedur : lakukan gerakan hiperekstensi secara pasif pada knee joint.
c. Interpretasi : tidak ada gangguan pada lig. Crusiatum anterior.

Gambar 3.3. Pemeriksaan Ligamen Crusiatum Anterior

Sumber: de Wolf, 1994

5. Apley Compression Test


a. Tujuan : mengetahui adanyan kelainan pada meniscus.

24
b. Prosedur :
1) Pasien tengkurap dengan knee fleksi 90o.
2) Lakukan fiksasi pada paha dengan menggunakan lutut/tangan
pemeriksa.
3) Lakukan gerakan rotasi medial dan lateral dikombinasikan
dengan compressi.
c. Interpretasi : positif, ada kelainan pada meniscus
Gambar 3.4. Apley Compression Test

Sumber: McGraw, 2011

6. Apley Traction Test


a. Tujuan : mengetahui kelainan pada lig. Collateral lateral dan
Collateral medial knee.
b. Prosedur :
1) Posisi pasien seperti diatas.
2) Lakukan gerakan rotasi lateral dan medial dikombinasikan
dengan traksi pada knee joint.
c. Interpretasi : negatif (pasien merasa nyeri berkurang), tidak ada
gangguan pada ligament sekitar knee (LCL dan MCL).
Gambar 3.5. Apley Traction Test

25
Sumber: McGraw, 2011

7. Fluctuation Test
a. Prosedur :
1) Ibu jari dan jari telunjuk dari satu tangan diletakkan disebelah kiri
dan disebelah kanan patella.
2) Sesekali proc. Suprapetellaris dikosongkan memakai tangan lain,
maka ibu jari dan jari telunjuk seolah-olah terdorong oleh
perpindahan cairan itu.
3) Bila ada cairan dalam lutut yang melebihi normal maka tes
tersebut akan positif
b. Interpretasi : positif, ada penumpukan cairan yang melebihi normal
pada knee

Gambar 3.6. Fluctuation Test

26
Sumber: Medisavvy, 2016

8. Ballotement Test
a. Prosedur :
1) Ressesus patellaris dikosongkan dengan menekan menggunakan
satu tangan, sementara jari-jari tangan lainnya menekan patella
kebawah.
2) Bila banyak cairan dalam lutut maka patella akan terangkat dan
memungkinkan sedikit ada cairan.
b. Interpretasi : positif, ada penumpukan cairan yang melebihi normal
pada knee

Gambar 3.7. Ballotement Test

27
Sumber: Medisavvy, 2016

9. MMT regio HIP : nilai 5


Interpretasi : mampu melawan full tahanan
10. MMT regio Knee: nilai 3
Interpretasi : mampu melawan gravitasi
11. ROM test (knee)
a. Dektsra : S. 0o . 0o . 30o
b. Sinistra : S. 0o . 0o . 135o
12. Circumferencia
Hasil : dekstra: 10cm, sinistra :10,5 cm
Interpretasi : tidak terjadi atropi otot
13. Mengukur panjang tungkai (LLD)
Hasil: dekstra: 130, sinistra : 132
14. Menilai tingkat kecemasan : nilai 18
Interpretasi : Kecemasan ringan
15. Test ADL modifikasi : nilai 6
Interpretasi : ketergantungan sedang

F. Diagnosa Fisioterapi
Gangguan fungsi gerak regio knee dekstra et causa osteoarthritis 3 bulan yang
lalu.
G. Problem Fisioterapi
1. Primer : nyeri

28
2. Sekunder : menurunnya kepercayaan diri, stiffness knee joint, kelemahan
otot, keterbatasan ROM
3. Kompleks : gangguan ADL walking, toileting.

H. Planning
1. Planning jangka panjang :
Mengembalikan kemampuan fungsional ekstremitas inferior (Knee)
2. Planning jangka pendek :
a. Mengurangi nyeri
b. Mengurangi rasa cemas
c. Mengurangi stiffness joint
d. Meningkatkan ROM
e. Meningkatkan kekuatan otot-otot tungkai
f. Mencegah kontraktur
g. Mencegah deformitas
h. Menormalkan pola jalan

I. Intervensi Fisioterapi
Tabel 3.1 Intervensi Fisioterapi pada Kasus OA
No. Problem FT Modalitas terpilih Dosis
F= 3x sehari
I= selama pasien fokus
1. Kecemasan Komunikasi terapeutik
T= wawancara
T=3-5 menit
F : 2-3x/minggu
I : CEM
2. Nyeri SWD T : Contraplanar,
Intermitten
T : 10 menit

29
F = 1x1 hari
Manual Therapy (ROM I = 8 repetisi
3. Stiffnes joint
) T = AROMEX PROMEX
T = 3 menit
F= Setiap Hari
I= Ditingkatkan
4. Meningkatkan ROM ROM exercise
T= AROMEX
T= 8-10 x repetisi
F = Setiap hari
Meningkatkan kekuatan I = 15 hit/ 3x rep
5. Exc therapy
otot-otot tungkai T = isometric exercise
T = 10 menit
F = setiap hari
I = 8 hit/ 3x rep
6. Mencegah kontraktur Exc therapy
T= passive stretching
T = 3 menit
F = setiap hari
I=
7. Gangguan ADL walking Latihan fase berjalan
T= non weight bearing
T=
F = 1x1 hari
I = 8 repetisi
8. Gangguan ADL toileting PNF Exercise
T = PNF
T = 3 menit

30
J. Evaluasi
Tabel 3.2 Evaluasi Setelah 3x Intervensi
Intervensi 3x Terapi
No. Problem FT Parameter Keterangan
Sebelum Sesudah
Kecemasan
1. Cemas HARS 18 10
menurun
Nyeri diam : 3 Nyeri diam : 1
Nyeri
2. Nyeri VAS Nyeri gerak : 9 Nyeri gerak : 5
menurun
Nyeri tekan : 6 Nyeri tekan : 2
Keterbatasan ROM
3. Goniometer S. 0o . 0o . 30o S. 0o . 0o . 135o
ROM meningkat
Kekuatan
4. Kelemahan Otot MMT Nilai 3 Nilai 5 otot
meningkat

31
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pasien dengan nama Ibu Raihana Aurelia, umur 44 tahun dengan kasus nyeri
dan kaku pada lutut kanan akibat osteoarthritis 3 bulan yang lalu, setelah
dilakukan pelaksanaan fisioterapi dengan modalitas SWD, Komunikasi
Terapeutik, dan Terapi Latihan selama 3 kali didapatkan hasil sebagai berikut:
1. Nyeri berkurang
2. Kecemasan berkurang
3. ROM meningkat
4. Terjadi peningkatan kekuatan otot
Pemberian ketiga modalitas tersebut sangat berpengaruh terhadap kondisi
osteoarthritis sendi lutut yaitu dapat membantu mencegah dan menangani
permasalahan berupa:
1. Mengurangi nyeri gerak pada lutut dengan menggunakan skala VAS.
2. Meningkatkan kekuatan otot dengan MMT.
3. Meningkatkan aktivitas fungsional pasien.
4. Meningkatkan ADL toileting menggunakan PNF.
5. Meningkatkan kemampuan berjalan dengan latihan fase berjalan.
6. Mencegah terjadinya kontraktur.

32
DAFTAR PUSTAKA

Albar, Z. (2007). Gout: Diagnosis and management. Medical Journal of


Indonesia, 16(1), 47-54.

Arnett FC, Edworthy SM, Bloch DA,. The American Rheumatism Association
1987, Revised Criteria for the Classification of Rheumatoid of Rheumatoid
Arthritis. 1988

Bronner, Felix, Mary C. Farach-Carson . 2007.Bone and Osteoarthritis. Spinger.


USA

Brunner & Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volum 3.
Jakarta : EGC. 2002

Carlos, LJ .2013. Training Program. Clinical Medicine. Department of Medicine,


Division of Rheumatology and Immunology. University of Miami. Terjemahan
Leonard M Miller. Editors Herbert S Diamond. 2013 School of Medicine. USA

Chintyawati, C. (2014). Hubungan antara nyeri Reumatoid Artritis dengan


kemandirian dalam aktivitas kehidupan sehari-hari pada lansia di Posbindu Karang
Mekar wilayah kerja Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan.

Espinosa, M., & Gottlieb, B. S. (2012). Juvenile idiopathic arthritis. Pediatrics in


review, 33(7), 303-313.

Haq I, E Murphy, J Dacre. 2003. Osteoarthritis. Academic Centre for Medical


Education 4th Floor Holborn Union Buildingn Archway Campus. 18 December
2003: 377–383. London

Hensen, P. T. (2007). Hubungan konsumsi purin dengan hiperurisemia pada Suku


Bali di daerah pariwisata pedesaan. J Peny Dalam, 8(1), 37-43.

Hikmatyar, G., & Larasati, T. (2017). Penatalaksanaan Komprehensif Arthritis


Gout dan Osteoarthritis pada Buruh Usia Lanjut. J Medula Unila, 7(3), 1-8.

Khanna, D., Fitzgerald, J. D., Khanna, P. P., Bae, S., Singh, M. K., Neogi, T., . . .

33
Meyer, J. J., Obmann, M. M., Gießler, M., Schuldis, D., Brückner, A.-K., Strohm,
P. C., . . . Spittau, B. (2017). Interprofessional approach for teaching functional
knee joint anatomy. Annals of Anatomy-Anatomischer Anzeiger, 210, 155-159.

Page, C. J., Hinman, R. S., & Bennell, K. L. (2011). Physiotherapy management of


knee osteoarthritis. International Journal of Rheumatic Diseases, 14(2), 145-151.

Panayi, Gabriel. 2003. What is RA?.


http://www.nras.org.uk/about_rheumatoid_arthritis/what_is_ra/what_is_ra.asp,
(diakses pada 10 Maret 2019 pukul 12.10 WITA)

Prakash, S. (2012). 2012 American College of Rheumatology guidelines for


management of gout. Part 1: systematic nonpharmacologic and pharmacologic
therapeutic approaches to hyperuricemia. Arthritis care & research, 64(10), 1431-
1446.

Pratiwi, A. I. (2015). Diagnosis and treatment osteoarthritis. Jurnal Majority, 4(4).

Rasjad, chaeruddin. 2009. Pengantar ilmu bedah orthopedic. Jakarta: Yarsif


Watampone

SSOR. 2008. Knee Medial Collateral Ligament Rehab.


http://www.ssorkc.com/knee-medial-collateral-ligament-mcl-rehab/ (diakses pada
tanggal 07 Maret 2019 pukul 21:16)

Suarjana, I. N. (2014). Imunopatogenesis Lupus Eritematosus Dalam Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Interna Publishing, 3331-41.

Syaifuddin, 1997. Anatomi dan Fisiologi untuk Siswa Perawat Edisi 2. Jakarta:
EGC.

Talarima, B., Amiruddin, R., & Arsin, A. A. (2012). Faktor risiko “gouty arthritis”
di kota masohi kabupaten Maluku tengah tahun 2010. Makara Kesehatan, 16(2),
89-94.

Tehupeiory, E. S. (2006). Artritis Gout dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

34

Anda mungkin juga menyukai