LAPORAN PROYEK
Oleh:
Offering G/Kelompok 8
I Kade Karisma Gita Ardana (150342601699)
Ike Anggraini (150342601952)
Dengan segenap rasa syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
senantiasa memberikan anugerah dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan laporan proyek dengan judul “Pemetaan Kromosom Dengan
Metode Crossing Over Menggunakan Persilangan Drosophila melanogaster
Strain bvg × cl Dan bcl × dp” sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Laporan proyek ini merupakan salah satu bukti dan syarat menempuh matakuliah
Genetika II Jurusan biologi Universitas Negeri Malang. Dalam penulisan laporan
ini , penulis banyak memperoleh bantuan baik secara moril dan materil dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang tulus kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Siti Zubaidah, M. Pd dan Bapak Andik Wijayanto, M. Si, S.
Si selaku dosen Pembina matakuliah Genetika
2. Kedua orang tua beserta seluruh keluarga atas doa yang diberikan kepada
penulis.
3. Seluruh asisten dosen dan rekan mahasiswa kelas Genetika II Jurusn
Biologi Universitas Negeri Malang.
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
DAFTAR TABEL..................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................v
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian...............................................................................................3
1.4 Manfaaat Penelitian...........................................................................................4
1.5 Asumsi Peneliti..................................................................................................4
1.6 Ruang Lingkup Batasan Masalah......................................................................4
1.7 Definisi Operasional..........................................................................................5
BAB II KAJIAN PUSTAKA................................................................................6
2.1 Kajian Pustaka...................................................................................................6
2.2 Kerangka Konseptual.......................................................................................14
2.3 Hipotesis..........................................................................................................15
BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................16
3.1 Rancangan Penelitian.......................................................................................16
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian...........................................................................16
3.3 Populasi dann Sampel......................................................................................16
3.4 Instrumen Penelitian........................................................................................16
3.5 Prosedur Kerja.................................................................................................17
3.6 Teknik Pengumpulan Data...............................................................................19
3.7 Teknik Analisis Data........................................................................................19
BAB IV DATA PENGAMATAN DAN ANALISIS DATA................................21
4.1 Data Pengamatan.............................................................................................21
4.2 Analisis Data....................................................................................................22
BAB V PEMBAHASAN......................................................................................42
5.1 Persilangan b vg >< cl......................................................................................41
5.2 Persilangan b cl >< dp.....................................................................................42
BAB VI PENUTUP..............................................................................................44
6.1 Simpulan..........................................................................................................44
6.2 Saran................................................................................................................44
DAFTAR RUJUKAN...........................................................................................45
LAMPIRAN..........................................................................................................48
3
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
4
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
5
6
BAB I
PENDAHULUAN
1
ini diakibatkan oleh pindah silangnya suatu alel dari kromosom homolog non –
sister saat meiosis(Snustad & Simmons, 2012).
Berbagai pekerjaan seperti yang dilakukan oleh McClung (1902), Sutton,
Morgan, dan juga Bovery di tahun yang sama membawa Sturtevant ke sebuah
penelitian di tahun 1913. Rekombinasi sifat yang terjadi pada anakan dari
Drosophila hanya bisa terjadi jika terjadinya suatu crossing over dimana, suatu
materi alel dari suatu kromosom cenderung berpindah terpaut menyilang dengan
kromosom lain yang sama (homolog non – sister). Sturtevant kemudian
menemukan sebuah hipotesis bahwa jumlah dari nilai pindah silang dapat
menentukan jarak dari suatu indeks jarak dari dua factor (alel). Sturtevant
mengungkapkan bahwa jarak dari dua faktor AC merupakan jarak AB + BC atau
jarak AB – BC (Sturtevant, 1913; Snustad & Simmons, 2012). Perhitungan
matematika ini memungkinkan bahwa jarak dari ketiga sifat didasarkan pada
seberapa banyak pindah silang terjadi. Suatu perhitungan alellomorphic seperti
jarak AB dan BC hanya merupakan factor pembatas untuk jarak dari AC sehingga
diperlukan individu dengan tiga factor (trihibrid) atau lebih yang dimana ketiga
factor tersebut ( A, B, dan C) bisa mengalami pindah silang (Sturtevant, 1913).
Pindah silang sendiri bisa terjadi hanya pada satu faktor seperti A ataupun C
secara independen atau lebih dari satu faktor seperti A – C secara simultan, A- B
maupun B – C (Snustad & Simmons, 2012)
Frekuensi dari pindah silang dapat diketahui dengan mendapatkan anakan
F2 terlebih dahulu dari individu yang dikaji, dalam hal ini digunakan Drosophila
melanogaster. Drosophila melanogaster termasuk ke dalam genus Drosophila
anggota dari golongan Diptera. Sifat pindah silang akan nampak jika terjadi
crossing over yang telah terjadi ketika pembentukan sel gamet, dimana khususnya
pindah silang ini hanya bisa terjadi pada individu betina (Snustad & Simmons,
2012; Hawley, 2002). Untuk mendapatkan 3 sifat yang berbeda maka diperlukan
persilangan antara 2 sifat (dihibrid) dan 1 sifat (monohibrid) dimana akan
menghasilkan individu dengan lokus yang memiliki 3 sifat berbeda secara
genotip. Individu dengan 3 sifat ini akan disilangkan kembali dengan sesamanya
untuk mendapatkan sifat fenotipik dari pindah silang yang terjadi. Sifat yang
menjadi penanda juga harus terdapat di dalam kromosom yang sama, karena jarak
2
baru dapat ditentukan pada gen yang cis terhadap gen determinan jarak lainnya
(Strutevant, 1913; Snustad & Simmons, 2012; Watson, 2012; Russel, 2010).
Penanda haruslah berbeda dari sifat umum pada individu D. melanogaster
normal sehingga dipilihlah kondisi mutan (strain mutan). Strain bvg adalah strain
D. melanogaster dengan mutasi pada kromosom 2, bvg merupakan mutasi yang
terjadi pada gen di lokus b dan lokus vg. Mutan bvg menunjukkan sayap yang
tidak berkembang (vestigial) dan tubuh hitam legam (black), sayap pendek yang
bahkan tidak berkembang melampaui scutellum (Coulthard et al, 2005; Sylwester
& Nicolas, 2013) tubuh yang hitam bahkan menutupi bagian inferior dari tubuh.
Strain dp juga merupakan strain dengan mutasi pada gen untuk pembentukan
sayap yang terdapat pada kromosom 2. Strain dumpy ditandai dengan sayap
pendek dengan ujung melekuk dan beberapa perubahan pada bristle di bagian
thorax (Carmon et al, 2010; Sylwester & Nicolas, 2013). Strain bcl (black clot)
ditandai dengan mata cokelat kekuningan (Giordano et al, 2003) dan juga tubuh
hitam. Semua alel untuk sifat diatas baik cl , vg, b, dan dp semua terdapat pada
kromosom yang sama yaitu kromosom 2 (Corebima, 2013; Watson, 2012; Brown,
2002; Bridges, 1921) sehingga dapat dijadikan suatu studi tentang pemetaan
kromosom akibat dari pindah silang yang mungkin terjadi baik single crossing
over maupun double crossing over. Berdasarkan uraian tersebut dilakukan
penelitian dengan judul “Pemetaan Kromosom dengan Metode Crossing Over
Menggunakan Persilangan Drosophila melanogaster Strain bvg × cl dan bcl ×
dp”.
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah
“Mengetahui pemetaan kromosom pada lokus dp, b, vg, dan cl kromosom 2
Drosophila melanogaster pada persilangan bvg × cl dan bcl × dp”
3
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1.4.1 menambah informasi pembaca tentang pemetaan kromosom pada D.
melanogaster
1.4.2 untuk menginformasikan jarak alel antar peta dari lokus dp, cl, vg, dan b
dari D. melanogaster dengan persilangan bvg × cl dan bcl × dp
menggunakan metode crossing over
1.6.1 lokasi penelitian ini hanya terbatas di Laboratorium Genetika ruang 310
Jurusan Biologi FMIPA UM.
1.6.2 jenis strain D. melanogaster yang digunakan dalam penelitian ini adalah
strain bcl, dp, bvg, dan cl yang stoknya didapatkan dari laboratorium
genetika FMIPA UM.
1.6.3 pengamatan ini hanya dilakukan sebatas pada pengamatan fenotipe (warna
mata, faset mata, warna tubuh, keadaan sayap) dan rasio/jumlah keturunan
F2.
1.6.4 persilangan F1 dan F2 dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali ulangan.
1.6.5 D. melanogaster yang dapat disilangkan adalah yang berumur kurang dari
tiga hari, terhitung sejak menetasnya pupa.
1.6.6 pemindahan D. melanogaster betina setelah disilangkan sebanyak empat
kali yaitu ke botol A, B,C dan D.
4
1.7 Definisi Operasional
Beberapa deskripsi operasional yang digunakan antara lain :
1.7.1 fenotipe adalah suatu sifat ekspresi karakter dari suatu individu yang
muncul dan dapat dipengatuhi oleh lingkungan atau aspek eksternal
1.7.2 genotipe adalah suatu informmasi genetic yang diturunkan dam membentuk
suatu pawakan yang dalam hal ini bersifat tetap dan pawakan yang
diturunkan
1.7.3 kromosom (chromo:some) merupakan kondensasi dari DNA akibat adanya
baerbagai komponen protein baik histon, non-histon, dan chromosomal
protein yang hanya muncul atau terlihat saat pembelahan sel
1.7.4 mutasi adalah kondisi pengurangan, penambahan, penyisipan, pembalikan,
atau perpindahan suatu pasang basa atau lebih atau kromosom akibat dari
suatu kondisi internal yang spontan maupun eksternal akibat induksi
mutagen yang umumnya terjadi secara acak atau tidak terprediksi
1.7.5 F1 atau filial satu adalah progeny anakan pertama suatu persilangan
1.7.6 F2 atau filial dua adaalah progeny anakan yang muncul dari persilangan
yang dilhasilkan antar anakan (progeny) F1.
1.7.7 pemetaan kromosom adalah analisis letak dan lokasi suatu lokus gen dan
juga intepretasi terhadap jarak diantaranya
1.7.8 lokus (locus) adalah letak suatu gen pengkode suatu sifat dalam suatu
kromosom
1.7.9 alel (allele) adalah suatu bagian gen dari kromosom yang mengkode sebuah
sifat yang sangat spesifik, letaknya digambarkan dalam lokus – lokus
1.7.10 gen adalah komponen DNA yang mengkode suatu sifat spesifik
1.7.11 genom adalah semua gen yang menyusun unit genetic suatu individu
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Drosophila melanogaster
6
panjang sayap melebihi panjang tubuh. Tubuh umumnya ditumbuhi oleh rambut
(macrochaeta dan microchaeta) panjang yang menutupi hampir semua permukaan
(Sylwester & Nicolas, 2013).
7
Catatan : A, B, dan C merupakan regulasi morogenesis sayap. Gambar C
merupakan regulasi morfogenesis sayap yang telah terbentuk morfologi
sayap vg
Strain bcl adalah strain yang selain black juga clot. Lokus cl terletak di 16.5
cM peta kromosom parsial (Corebima, 2013). Gen cl memiliki panjang basa
sekitar 1.248 panjang basa dan terletak di basa ke 5520135 hingga ke basa
5521382 (NCBI, 2017; FlyBase, 2017). Gen cl memiliki 4 ekson yang dimana gen
cl sendiri diekspresikan menjadi Protein DUF953 yang fungsinya masih belum
diketahui serta protein Thierodoksin (Giordano et al, 2003). Thierodoksin ini
mengambil peranan dalam pengubahan H2- NTP menjadi Sepiapterin dan H2 –
NTP menjadi PGA. Kegalatan dari pengubahan H2- NTP ini menyebabkan warna
mata menjadi kecoklatan (clot) Gambar. 2.4 (Giordano et al, 2003). Strain dp
(dumpy) merupakan strain dengan mutadi pada gen dpy yang terletak di lokus
8
13.0 peta kromosom parsial (Corebima, 2013). Gen dp memiliki panjang 136839
pasang basa yang terletak di basa komplemen ke 4477462 hingga panjang basa ke
4614300 kromosom 2. Gen dp memiliki 85 ekson dimana gen ini memiliki fungsi
yang sangat kompleks. Mutasi yang paling nampak secara fenotipik pada gen dp
adalah pembentukan margin sayap posterior yang gagal (Prout et al, 1997;
Carmon et al, 2010; Ray et al, 2015). Gen dp sendiri mengkode banyak protein
baik structural maupun fungsional, salah satu proteinnya adalah EGF yang
merupakan Epidermal Growth Factor.
EGF menjadi factor penting dalam pemanjangan dari wing blade saat
pembentukan sayap (Ray et al, 2015). Malfungsi dari EGF ini akan mengarah
kepada tidak terbentuknya sayap pada pembentukan sekunder sehingga sayap
cenderung nampak terpotong dan sedikit terangkat keatas Gambar. 2.5 (Sylwester
& Nicolas, 2013).
9
Gambar. 2.5 Menunjukkan kenampakan Strain dpy D. melanogaster.
Gambar A menunjukkan tubuh lalat dp (Sylwester & Nicolas,
2013) dan gambar B menunjukkan sayap dari dp (Ray et al,
2015)
Coding gene terdiri atas gen yang dikode menjadi protein, gen yang hanya
menghasilkan suatu RNA, dan juga gen yang tidak di transkripsikan sama sekali.
Gen coding ini biasanya terdapat dalam suatu lokasi khusus dari seluruh panjang
untai DNA yang juga terbatas. Benang panjang ini kemudian akan mengalami
kondensasi menjadi suatu benang kromatin dengan membentuk nukleosome.
Untai DNA ini saat mendekati fase M dari suatu siklus sel akan dikondensasi
dengan berbagai macam komponen protein kromosomal menjadi suatu
kromosom. Disaat suatu DNA sel mengalami kondensasi menjadi suatu
kromosom maka sel tersebut sudah dikatakan masuk kedalam fase mitosis
khusunya profase menjelang metaphase. Gen dengan panjang untai tertentu
tersebut kemudian akan terkondensasi dimana gen – gen khusus akan menempati
suatu bagian daerah di kromosom tersebut. Secara tematik, daerah ini disebut
dengan lokus yang kemudian daerah tersebut akan mengkode suatu sifat spesifik
yang daripadanya diberi nama alel (Snustad & Simmons 2012; Corebima, 2013).
10
Ujung awal dari DNA tersebut (5’- Basa ke 0) dan juga ujung akhir dari
DNA tersebut (3’- Basa ke x) akan membentuk suatu terminal loop untuk menjaga
ujung dari DNA tersebut tidak terdegradasi oleh suatu DNAse. Terminal loop ini
melibatkan berbagai komponen protein. Terminal loop ini dikenal sebagai
telomere yang berada di kedua ujung kromosom (Snustad, 2012). Gen yang
berada di daerah telomere umumnya merupakan non-coding DNA. Gen – gen
spesifik yang menempati lokus spesifik dalam kromosom ini menjadi kajian
khusus yang sangat penting dalam berbagai studi termasuk genomic analysis,
mutation, dan sebagainya sehingga sangat penting bagi studi biologi, khususnya
biologi molecular yang mencakup gen khususnya untuk mengetahui letak dan
sifat dari lokus tersebut. Cara yang paling baik untuk mengetahui letak gen
tersebut adalah dengan memetakannya. Berbagai studi biologi modern telah
memiliki analisa yang lebih maju dimana pemetaan lokus pada kromosom ini
didasarkan pada sequencing, barcoding, dan sebagainya (Viktor & Langkah,
2006), namun pemetaan kromosom sendiri ditinjau dalam sejarahnya dilakukan
pertama kali pada tahun 1913 oleh Sturtevant yang bisa diketahui belum terdapat
alat – alat demikian pada tahun tersebut.
11
yang terjadi pada kromosom tersebut dapat dijadikan acuan daerah mana yang
mengalami pindah silang. Frekuensi dari pindah silang ini menentukan letak dari
dimana alel yang megalami pindah silang tersebut. Dapat dirumuskan suatu
hipotesis bahwa jika suatu gen berdekaran satu sama lain, maka frekuensi crossing
over akan semakin kecil frekuensiya antar kedua genn tersebut, namun jika jarak
antar gen semakin jauh maka akan terjadi peningkatan frekuensi pindah silang
antar kedua gen tersebut. Sturtevant (1913) merumuskan secara matematis bahwa
jarak A – C sama dengan jarak A – B ditambah dengan jarak B – C atau A – B
dikurangi dengan jarak B – C. Dimana jarak antara A – B – C merupakan
determinan dari jarak A – C. Jika frekuensi dari pindah silang semakin tinggi
maka kemungkinan alel tersebut berada di A atau C dan jika frekuensi ditemukan
pada suatu jarak yang jarang terjadi maka mungkin alel tersebut berada di B atau
mungkin terjadi pindah silang ganda pada A dan C (Trudy et al, 2012; Stutervant,
1913; Watson, 2012; Russel, 2010; Brown, 2002; David, 2006).
12
Metode perhitungan dari suatu pemetaan kromosom didasarkan pada jumlah
rekombinasi yang terjadi. Jumlah rekombinasi ini akan diubah menjadi frekuensi
rekombinasi. Frekuensi inilah yang menjadi titik determinan dari dimana alel
tersebut berada. Dua sifat yang berbeda dari pindah silang ganda dijadikan titik
jarak batas terjauh dimana kemudian frekuensi pindah silang selanjutnya bisa
berada di dalam rentang tersebut atau di luarnya. Seperti yang dikatakan
sebelumnya bahwa semakin dekat jarak antar kedua gen maka semakin jarang
frekuensi pindah silang terjadi begitu juga sebaliknya, sehingga semakin
seringnya rekombinasi ini dijadikan titik terjauh dari poin pemetaan. Peritungan
digunakan metode 5 sifat dan juga 8 sifat. 5 sifat ini didasarkan dari 5 sifat fenotip
yang dihasilkan paska rekombinasi genetic sementara 8 titik dihasilkan dari 8 sifat
fenotip persilangan F2. Metode yang digunakan hampir sama hanya saja titik
determinasi penentuannya yang berbeda. Semakin banyak titik pembanding maka
semakin mudah pemetaan dilakukan karena metode perhitungan yang dilakukan
merupakan metode perhitungan yang langsung dan interpresional (Sturtevant,
1913).
13
antar alel apakah mereka dekat atau berjauhan. Stutervant bahkan tidak menunggu
untuk hipothesis tersebut dibuktikan secara sitologis dan lanngsung mmelakukan
pemetaan yang kemudian disusul oleh B. Bridges dan T. M. Olbrycht pada tahun
1921 – 1943 yang menemukan pemetaan pada kromosom 2 – 3 dan melengkapi
peta kromosom 1 yang dibuat oleh Sturtevant.
14
spesifik. Suatu titik lokasi pada kromosom yang mengkode suatu protein spesifik
disebut dengan allele (alel). Alel ini menjadi poin penting dalam kromosom
karena alel ini memungkinkan terjadinya rekombinasi genetik. Sehingga
dilakukan penelitian yang berjudul pemetaan kromosom dengan metode crossing
over menggunakan persilangan Drosophila melanogaster strain bvg x cl dan bcl x
dpy. Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui pemetaan
kromosom pada lokus dp, b, vg, dan cl kromosom 2 Drosophila melanogaster
pada persilangan bvg × cl dan bcl × dp.
Penyimpangan rasio
fenotip anakan F2
dibandingkan dengan
hukum Mendel
15
Terjadinya perbedaaan didebabkan crossing over (pindah silang) suatu alel dari
kromosom homolog non-sister (Sinustad, 2012). Crossing over terjadi secara
spesifik, dengan frekuensi tergantung jarak antar alel
Fenomena Linkage
Pemetaan Kromosom
16
BAB III
METODE PENELITIAN
17
Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah seluruh populasi D.
melanogaster, dengan sampel D. melanogaster strain bvg, bcl,dp, dan cl yang
disediakan laboratorium
18
Diambil satu ekor D. melanogaster dari botol stok dan dimasukkan kedalam
plastik.
Diamati fenotip D. melanogaster menggunakan mikroskop stereo.
pengamatan meliputi warna tubuh, warna mata, keadaan sayap
3.5.2 Peremajaan Stok
Disiapkan botol selai yang telah berisi medium.
Dimasukkan minimal 3 pasang D. melanogaster untuk setiap stok strain
pada botol selai yang berbeda.
Diberi label pada botol selai sesuai strain yang diremajakan dan tanggal
dilakukannya peremajaan.
Peremajaan dilakukan secara berkala untuk menyediakan stok selama
penelitian berlangsung
3.5.4 Pengampulan
Setelah didalam botol selai stok peremajaan terdapat pupa yang berwarna
hitam, pupa diambil dengan kuas yang telah dibasahi air.
Dimasukkan kedalam selang ampul yang telah diberi potongan pisang.
Ditunggu hingga pupa menetas menjadi imago (maksimal sampai 3 hari).
3.5.5 Persilangan F1
Dipilih ampulan yang sudah menetas.
D. melnogaster strain cl dan bvg disilangkan dan strain dp dan bcl
disilangkan dengan persilangan cl ˃˂ bvg dan dp ˃˂ bcl
Dimasukkan kedalam botol selai dengan satu pasang persilangan setiap
botol
Diberi label persilangan dan tanggal dilakukannya persilangan
Jantan dilepas setelah 2 hari persilangan.
Setelah muncul larva induk dipindah ke botol B dan berlanjut hingga botol
D
Ditunggu hingga ada pupa hitam untuk diampul digunakan sebagai
persilangan P2.
3.5.6 Persilangan P2
Diambil pupa hitam dari botol persilangan P1
D. melnogaster hasil persilangan P1 cl ˃˂ bvg dan dp ˃˂ bcl Disilangkan
sesamanya (♂N ˃˂ ♀N )
19
Dimasukkan kedalam botol selai dengan satu pasang persilangan setiap
botol
Diberi label persilangan dan tanggal dilakukannya persilangan
Jantan dilepas setelah 2 hari persilangan.
Setelah muncul larva induk dipindah ke botol B dan berlanjut hingga botol
D
Ditunggu hingga menetas dan dihiitung anakannya selama hari.
20
3.6 Teknik Pengambilan Data
Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara menghitung hasil
anakan persilangan P2 selama 7 hari dengan mengamati fenotip anakan yang muncul
dan menghitung sesuai dengan fenotipnya selama 7 hari, hasil anakan yang muncul
diasumsikan dengan frekuensi indah silang ada yang single crossing over dan ada yang
double crossing over (%). Kemudian dihitung jarak antar kromosom
Tabel. 3.1. Pengamatan hasil persilangan F2 botol A sampai botol D ulangan 1 sampai 3
Teknik analisis data yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan membuat
tabel rekontruksi kromosom untuk mengetahui rasio perbandingan F1 dan F2 pada
persilangan D. melanogaster cl ˃˂ bvg dan dp ˃˂ bcl dan menghitung jarak kromosom
21
D.melanogaster. Letak gen pada kromosom ditentukan dengan cara studi literatur.
Kemudian dilakukan perhitungan hasil pemetaan dengan metode perhitungan atas dasar
jumlah rekombinasi yang terjadi, yang selanjutnya dikonfersikan menjadi bentuk
persen (%). Frekuensi yang diperoleh merupakan titik determinan dimana alel berada.
Batasan alel kemudian dihitung dengan metode 5 titik. 5 titik didasarkan dari 5 sifat
yang dihasilkan dari rekombinasi. Setelah mengetahui urutan gen kemudian
menentukan tipe rekombinan mana yang single crossover, dan mana yang tergolong
double crossover. Selanjutnya menghitung jumlah anakan yang termasuk double
crossover yaitu b, cl, vg, dan dp
Metode pemetaan yang digunakan adalah metode pemetaan yang sama dengan
yang dilakukan oleh Stutervant (1913) dan juga B. Bridges dan T. M. Olbrycht (1942;
1921). Metode perhitunga lima titik dengan single – double point testcross diserupakan
dengan metode three point testcross dimana awalnya dibentuk rekonstruksi crossing
over degan urutan gen sementara. Selannjutnya dibuat table amatan tentang gen – gen
yang saling berekombinasi satu sama lain. Dimisalkan A yang berekombinasi terhadap
B dan C, B yang berekombinasi terhadap A dan C serta, C yang berekombinasi
terhadap A dan B. Langkah selanjutnya adalah membuat perimbangan antara frekuensi
fenotip anakan terhadap jumlah seluruh tipe fenotip dalam satu progeny rekombinasi
alel tertentu terhadap alel lainnya nilai ini disebut sebagai nilai anggapan yang
kemudian dicari frekuensi fenotip sesungguhnya berdasarkan jumlah rekombinan
anakan tersebut dengan cara eliminasi garis algebra sederhana. Anakan yang didapat
kemudian dipetakan menggunakan penjumlahan silang fenotip frekuensi rekombinan.
Peta kemudian diintepretasikan dalam bentuk gambar garis pemetaan.
22
BAB IV
23
4.1.1 Pengamatan Fenotipe P1
4.1.1.1 Strain cl
4.2.1.1 Strain b vg
- Sayap tereduksi kecil dengan sudut kurang dari 90o terhadap abdomen
4.3.1.1 Strain dp
4.4.1.1 Strain b cl
24
Keturunan F1 pada persilangan bvg >< cl menunjukkan fenotip yang sama yaitu
strain N yang bisa jantan maupun betina. Adapun keturunan F2 merupakan persilangan
linier anakan F1 menghasilkan anakan dengan lima fenotip yang berbeda yaitu N, cl,
vg, b, dan b vg yang keduanya bisa jantan maupun betina. Untuk persilangan bdp >< cl
menunjukkan anakan F1 terdiri dari strain N yang bisa jantan maupun betina. Untuk
persilangan F2 dari persilangan linier anakan F1 menghasilkan anakan yang terdiri dari
lima fenotip yang berbeda yaitu N, dp, cl, b, dan b cl yang bisa jantan dan juga betina.
Terlampir
Terlampir
25
B. Bridges dan T. M. Olbrycht menyilangkan antara D. melanogaster trihibrid
dengan fenotip sc – ec – cv dimana sc adalah Scute, ec adalah echinus, dan cv adalah
crossveinless. Awalnya lalat betina sc – ec – cv disilangkan dengan lalat wild type
jantan yang kemudian anakan F1nya adalah 100% lalat wild type. Anakannya
kemudian disilangkan sesamanya dan didapatkan anakan dengan rekonstruksi sebagai
berikut pada Tabel 4.1 :
sc ec cv
2 Scute,echinus, crossveinless
Persilangan sesama F1
P : N >< sc – ec – cv
F : N, sc – ec – cv
26
crossveinless
5 scute, echinus sc ec cv+ 192
6 crossveinless sc+ ec+ cv 148
7 scute, crossveinless sc ec+ cv 1
8 echinus sc+ ec cv+ 1
Total 3248
Dari data diatas yang dapt dilihat pada Tabel 4.2 kemudian dianalisis bagaimana
urutan gen sesungguhnya dimana urutan sc – ec – cv adalah urutan sementara atau
urutan anggapan. Untuk mengetahui urutan gen sebenarnya maka dengan cara
mengetahui lalat yang mengalami double cross-over dimana dapat dipastikan bahwa
individu tersebutlah yang memiliki frekuensi paling kecil. Dari data yang didapat oleh
B. Bridges dan T. M. Olbrycht menunjukkan bahwa lalat tersebut adalah yang memiliki
fenotip Scute, Crossveinless dan juga Echinus dari keduanya dipatikan bahwa alel sc
dan cv berpindah relative terhadap alel ec sehingga dapat dikatakan bahwa urutan gen
yang benar adalah sc – ec – cv yang kemudian dianalisis frekuensi terjadinnya pindah
silang.
27
Tabel diatas menunjukkan frekuensi antara crossing over sc dan ec dimana hal ini
berarti alel sc dan ec terlibat dalam suatu pindah silang. Anakan yang menunjukkan
fenotip tersebut kemudian dijumlah dan jumlah anakan rekombinan sc dan ec tersebut
dibagi degan seluruh jumlah total anakan untuk mendapatkan frekuensi pindah silang
sehingga didapatkan (295 / 3248) sehingga menjadi 0.091 Morgan atau sejumlah 9.1
centiMorgan. Dapat dilihat bahwa anakan yang mengalami pindah silang ganda juga
ikut dihitung mengingat pada pindah silang ganda juga melibatkan pindah silang antara
sc dan ec.
sc – 9.1 – ec – 10.5 – cv
jika dihitung maka jarak total antara sc dan cv adalah 9.1 + 10.5 yang sama dengan
19.6. Untuk mengetahui validitas hasil mapping maka dibandingkann dengan frekuensi
anggapan (average frequency). Frekuensi harapan dihitung dengan cara menentukan
tipe pindah silang yang terjadi menurut jumlah pindah silangnya yaitu terbagi menjadi
single, double, dan juga triple crossing over yang ditentukan dengan melihat genotip
dari anakan tersebut berdasarkan rekonstruksi sehingga didapatkan pada Tabel 4.5
28
Tabel 4.5 Hasil anakan berdasarkan tipe pindah silang
Non – Crossing Over Single – Crossing Over Double – C. Over
scute,echinus,
Scute crossveinless
crossveinless
Normal echinus, crossveinless echinus
- scute, echinus -
- crossveinless -
2613 631 2
Setelah diketahui jumlah anakan tiap tipe pindah silang maka kemudian jumlah
anakann tiap tipe tersebut dibangi dengan jumlah total progeny yang didapatkan. Untuk
non crossing over dikalikan dengan koevisien (0) Jika terjadi single crossing over maka
dikalikan dengan koefisien (1), sedangka untuk double crossing over dikalikan dengan
koefisien (2) sehingga diperoleh
Jika dibandingkan maka kedua hasil menunjukkan angka yang tidak berbeda dimana
perhitungan secara jarak jika dijumlah total semua jarak menunjukkan angka 0.196
begitu juga angka annggapan yang juga 0.196.
29
0.0006
c= =0.063
0.0095
sementara interferensi dihitung sengan cara mengurangi angka (1) dengan c dsehingga
didapatkan I = 1 - 0.063 sama dengan 0.937.
Dapat diketahui bahwa seluruh total anakan F1 adalah N 100% yang bisa saja
jantan maupun betina. Asumsi terjadinya crossing over pada oogonia direkonstruksikan
b+ vg+ cl b+ vg+ cl
NON -
CO
b vg cl+ b vg cl+
b+ vg+ cl b vg+ cl
SG –
CO 1
b vg cl+ b+ vg cl+
30
b+ vg+ cl b+ vg+ cl+
SG –
CO 2
b vg cl+ b vg cl
b+ vg+ cl b+ vg cl
DB -
CO
b vg cl+ b vg+ cl+
Oogonia hasil crossing over terebut kemudian disilangkan dengan sesamanya yang
dalam hal ini adalah jantan sehingga didapatkan anakan F2 dengan rekonstruksi :
Setelah didapatkan anakan F2 kemudian dicari frekuensi tiap macam persilangan yang
dimaksud disini adalah frekuensi yang anakan dimana alela – alelanya saling
mengalami pindah silang. Jika diasumsikan bahwa urutan gennya adalah b vg cl maka
yang saling mengalami pindah silang adalah b terhadap vg dan juga vg terhadap cl
sehingga didapatkan table persamaan :
Tabel 4.9 Tabel rekonstruksi rekombinan antar allele persilangan F2 (bvg x cl)
f CO Genotip b+ vg+ cl b vg cl+
P b+ vg+ cl cl N
31
b vg cl+ N b vg
b terhadap b vg+ cl cl b
b+ vg cl+ N vg
vg dan cl
cl terhadap b+ vg+ cl+ N N
b vg cl cl b vg
vg dan b
vg terhadap b+ vg cl cl vg
b vg + cl+ N b
b dan cl
Untuk perhitungan kita dapat menggunnakan table amatan diatas. Tabel amatan diatas
merujuk kearah pindah silang yang terjadi antar gen tertentu sehingga dapat
dikesesuaikan dengan pengamatan oleh B. Bridges dan T. M. Olbrycht penyesuaian
dilakukan dengan metode persamaan garis dimana :
Tabel 4.10 Tabel frekuensi tipe fenotip anakan per – rekombinan (bvg >< cl)
N vg cl b bvg
P 4 2 0 1 0 1
fb 4 1 1 1 1 0
fvg 4 1 1 1 1 0
fcl 4 2 0 1 0 1
Tabel 4.11 Tabel frekuensi anggapan anakan per – rekombinan beserta jumlah (bvg >< cl)
f rekombinan
Fenotip P fb fvg fcl
32
cl 217 0.25 0.25 0.25 0.25
P fb fvg fcl
1504 = 1 0 0 1
1504 = 439.0 0
1065.0 = fcl
P fb fvg fcl
vg 64 = 0 0.25 0.25 0
410 = 0 1 1 0
410 - fb = fvg
33
vg 64 = 0 0.25 0.25 0
256 = 0 1 1 0
410 = 0 1 1 0
154 = - 2fb
-77 = fb
setelah diketahui fb dan fcl maka dimasukan ke persamaan cl untuk mencari fvg
P fb fcl fvg
-214.75 = 0.25
fvg = -859
Tabel 4.12 Tabel peritungan jarak berdasarkan frekuensi rekombinan (bvg >< cl)
Phen Total Rekombina f' f(M) cM
n
N 439.0 - - - -
fb -77 b - cl 988.0 1.125285 112.5285
fvg -859 cl - vg 206.0 0.234624 23.46241
fcl 1065.0 b - vg -936.0 -1.06606 -106.606
568.0
34
Terdapat kegalatan pemetaan persilangan b vg >< cl dimana hasil peta
menunjukkan bahwa b – cl memiliki jarak sebesar 112.5285 cM melampaui 50,
sementara cl – vg menunjukkan angka sebesar 23.46241. Jarak b – vg juga
menunjukkan angka tak lazim dimana mencapai -106.606 cM. Karena kegalatan
tersebut maka koevisien koinsiden (c) dan interferensi (I) tidak dapat dihitung.
Dapat diketahui bahwa seluruh total anakan F1 adalah N 100% yang bisa saja jantan
maupun betina. Asumsi terjadinya crossing over pada oogonia direkonstruksikan :
b+ cl+ dp b+ cl+ dp
NON –
CO
b cl dp+ b cl dp+
SG – b+ cl+ dp b cl+ dp
CO 1
b cl dp+ b+ cl dp+
35
b+ cl+ dp b+ cl+ dp+
SG –
CO 2
b cl dp+ b cl dp
b+ cl+ dp b+ cl dp
DB –
CO
b cl dp+ b cl+ dp+
Oogonia hasil crossing over terebut kemudian disilangkan dengan sesamanya yang
dalam hal ini adalah jantan sehingga didapatkan anakan F2 dengan rekonstruksi :
Setelah didapatkan anakan F2 kemudian dicari frekuensi tiap macam persilangan yang
dimaksud disini adalah frekuensi yang anakan dimana alela – alelanya saling
mengalami pindah silang. Jika diasumsikan bahwa urutan gennya adalah b cl dp maka
yang saling mengalami pindah silang adalah b terhadap cl dan juga cl terhadap dp
sehingga didapatkan table persamaan :
Tabel 4.16 Tabel rekonstruksi rekombinan antar allele persilangan F2 (b cl >< dp)
f CO Genotip b+ cl+ dp b cl dp+
P b+ cl+ dp dp N
36
b cl dp+ N b cl
b terhadap b cl+ dp dp B
b+ cl dp+ N Cl
cl dan dp
dp terhadap b+ cl+ dp+ N N
b cl dp dp b cl
cl dan b
cl terhadap b+ cl dp dp Cl
b cl + dp+ N B
b dan dp
Untuk perhitungan kita dapat menggunnakan table amatan diatas. Tabel amatan diatas
merujuk kearah pindah silang yang terjadi antar gen tertentu sehingga dapat
dikesesuaikan dengan pengamatan oleh B. Bridges dan T. M. Olbrycht disesuaikan
dengan metode persamaan garis dimana :
Tabel 4.17 Tabel frekuensi tipe fenotip anakan per – rekombinan (b cl >< dp)
N cl dp b bcl
P 4 2 0 1 0 1
fb 4 1 1 1 1 0
fcl 4 1 1 1 1 0
fdp 4 2 0 1 0 1
Tabel 4.18 Tabel frekuensi anggapan anakan per – rekombinan beserta jumlah (b cl >< dp)
f rekombinan
Fenotip P fb fcl fdp
37
dp 217 0.25 0.25 0.25 0.25
P fb fcl fdp
864 = 1 0 0 1
864 = 151.5 0
712.5 = fdp
P fb fcl fdp
cl 7 = 0 0.25 0.25 0
b 51 = 0 0.25 0.25 0
×2 58 = 0 0.5 0.5 0
116 = 0 1 1 0
116 - fb = fcl
38
cl 7 = 0 0.25 0.25 0
28 = 0 1 1 0
116 = 0 1 1 0
88 = - 2fb
-44 = fb
setelah diketahui fb dan fdp maka dimasukan ke persamaan dp untuk mencari fcl
P fb fcl fdp
151.5 3 712.5
12 = 216.75 0.25
-204.75 = 0.25
fcl = -819
Tabel 4.19 Tabel peritungan jarak berdasarkan frekuensi rekombinan (b cl >< dp)
Rekombina
Phen Total n f' f(M) cM
N 151.5 - - - -
39
Fdp 712.5 b – dp 668.5 2.206271 220.6271
48.0
Tabel 4.20 Tabel jumlah fenotip anakan F2 persilangan (vg b pr ♀>< N♂) (Gogoi & Tazid, 2016)
No Fenotip Genotip Jumlah
1 vestigial, black, purple vg b pr 1779
2 Normal vg+ b+ pr+ 1654
3 black, purple vg+ b pr 252
4 Vestigial vg b+pr+ 241
5 Black vg+ b pr+ 131
6 vestigial, purple vg b+ pr 118
7 vestigial, black vg b pr+ 13
8 Purple vg+ b+ pr 9
Setelah didapatkan data tersebut maka perhitungan yang dilakukan adalah perhitungan
menggunakan 8 type anakan atau menggunakan metode Three Point Testcross.
Perhitungan ini sama persis dengan yang dikemukakan oleh B. Bridges dan T. M.
Olbrycht dimana tahap pertama adalah rekonstruksi susunan gen yang bisa saja urutan
gennya adalah vg – b – pr atau b – vg – pr atau b – pr – vg. Pengurutan gen dilakukan
dengan cara melihat jumlah anakan terkecil yang dimana frekuensi anakan terkecil
didapati pada fenotip vestigial, black (13) dan purple (9). Jika mengikuti interferensi
dan juga keterpautan (linkage) maka kejadian double crossing over (DBCO) lah yang
memungkinkan jumlah anakan terkecil sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa dari
fenotip yang muncul yaitu vestigial black (vg b pr+) dan juga purple (vg+ b+ pr) ael pr
40
berpindah relative terhadap vg dan b yang kemudian dapat ditentukan urutan gen
sebenarnya adalah b pr vg. untuk lebih jelas bisa diamati pada table 4. 20
Setelah diketahui urutan gen maka dibuat rekontruksi (anakan F1 Tabel. 4.20
yang 100% WT (vg b pr / vg b pr) >< (vg+ b+ pr+ / vg+ b+ pr+) = (vg+ b+ pr+ / vg b pr)
Tabel 4.21 Tabel rekonstruksi genotip anakan F1 persilangan (vg b pr ♀>< N♂)
No Fenotip Genotip
b+ pr+ vg+
1 Wild Type
b pr vg
Sehingga jika direkonstruksi crossing over yang terjadi :
b+ pr+ vg b+ pr+ vg
SG –
CO 2
b pr vg+ b pr vg+
b pr+ vg b pr+ vg
DB –
CO
b+ pr vg+ b+ pr vg+
41
Langkah selanjutnya adalah membentuk table persilangan F2 yang dimana anakan
normal heterozigot dari F1 disilangkan dengan anakan mutan b pr vg sehingga didapat :
Tabel 4.23 Tabel jumlah fenotip dan rekonstruksi anakan F2 persilangan N♀ >< b pr vg♂
No b pr vg Fenotip Jumlah
1 b pr vg b pr vg vestigial,black, 1779
purple
2 b+ pr+ vg+ N Normal 1654
3 b pr+ vg+ b black 131
4 b+ pr vg pr vg vestigial, purple 118
5 b+ pr+ vg vg vestigial 241
6 b pr vg+ b pr black purple 252
7 b pr+vg b vg vestigial, black 13
8 b+ pr vg+ pr purple 9
Jumlah 4197
DBCO juga dihitung mengingat didalam DBCO juga terjadi rekombinasi antara b
terhadap pr dan vg. angka 271 kemudian dibagi dengan total seluruh anakan untuk
42
mendapatkan f rekombinasi antara b terhadap pr dan vg. Sehingga 271 / 4197 =
0.0645. yang jika dikonversikan menjadi satuan cM menjadi 6.45 cM. Untuk anakan
rekombinasi antara pr terhadap b dan vg maka dibuat rekonstruksi sebagai berikut :
dengan cara yang sama jumlah anakan rekombinan yang dalam kasus ini pr terhadap b
dan vg yaitu 515 dibagi jumlah total seluruh anakan yaitu 515 / 4197 = 0.123 yang jika
dikonversikan menjadi satuan cM menjadi 12.3 cM. Jika keduanya telah dihitung maka
dapat dipetakan menjadi :
b 6.45 cM pr 12.3 cM vg
18.75 cM
Tabel 4.26 Tabel jumlah fenotip anakan F2 frekuensi berdasarkan tipe crossing over
No Tipe crossing over Jumlah Frekuensi
1 Non 3424 0.8158
2 Single 742 0.1768
3 Double 22 0.0052
43
jarak total peta dan frekuensi anggapan akan sama yaitu 0.1875 dan 0.1873 APK
(Angka Perbedaan terKecil) diakibatkan oleh reduksi angka penting.
crossing
frekuensi terduga double
¿
crossing
frekuensi observasi double ¿
¿
c=¿
0.0052
c= =0.6554484149
0.0079335
BAB V
44
PEMBAHASAN
Nilai yang tidak tentu (ambigu) ini diakibatkan karena untuk mendapatkan
individu yang mengalami crossing over antara gen b terhadap vg dan vg terhadap cl
digunakan persamaan linear perbandingan algebra sederhana dengan penganggapan
koevisien sebagai penentu jumlah individu rekombinan tersebut. Misalnya dianggap
jumlah rekombinan b (fb) dalam seluruh populasi N adalah ¼ (0.25). Angka ¼ dari
seluruh populasi tersebut tidak benar – benar sama dengan angka sesungguhnya jumlah
individu rekombinan b dalam progeny pindah silang tersebut, karena angka ¼
45
hanyalah anggapan (expectation) hal ini juga berlaku untuk frekuensi rekombinan yang
lain. Nilai individu crossing over juga tidak pernah akan melampaui 50% hal ini
disebabkan oleh linkage yang dimana dapat diketahui melalui koevisien koinsiden (c)
dan juga nilai interferensi (I) (Watson et al, 2012; Snustad; 2012, Russel; 2010; Brown,
2002; Corebima, 2013). Menurut Snustad (2012) angka koefisien koinsiden yang
rendah menggambarkan kejadian double crossing over yang kecil dibandingkan angka
ekspektasi sehingga, dapat dipastikan bahwa kejadian crossing over di suatu alel akan
menghalangi alel lain untuk menngalami crossing over yang dimana akan diukur
berdasarkan interferensi. Menurut Watson (2012) juga dikatakan bahwa nilai
Interferensi ini menunjukkan bahwa ada disturbansi suatu alela yang mengalami
crossing over terhadap alela lainnnya. Pembentukan synaptonemal complex sangat
menentukan nilai interferensi dimana synaptonemal complex akan spesifik terjadi pada
suatu daerah kromosom saja (Zhang et al, 2014). Menurut Richard (1978) dan Roeder
(1998) mengatakan bahwa kehadiran protein sinaptonemal menentukan interferensi
pada suatu kromosom baik itu meningkatkan nilainya atau justru menurunkan, sesuai
dengan Watson et al (2012) yang mengatakan Interferensi bisa saja meningkatkan atau
menurunkan nilai crossing over.
46
maupun fungsional, salah satunya adalah EGF dimana disfungsi EGF salah satunya
adalah cunditas dan juga disfungsi structural (Ray et al, 2015) Jika kemudian progeny
persilangan menunjukkan rasio yang berbeda nyata dengan 6:4:2:2:2 akan jauh
meningkatkan nilai ambiguitas Test cross. Nilai ambiguitas tersebut meningkat karena
untuk mengetahui nilai perimbangan digunakan metode eliminasi angka ekspektasi
rekombinan. Perbedaan angka rekombinan dengan rasio akan menyebabkan munculnya
angka negatif akibat dari nilai obeservasi yang rendah saat dikalikan dengan frekuensi
anggapan rekombinan. Rekombinan ini akan menunjukkan angka yang sangat kecil dan
berpengaruh terhadap pengurangan algebra saat eliminasi. Peta seharusnya menurut
Brown (2002) dan Corebima (2013) adalah sebagai berikut :
dp – 3.5 – cl – 32 – b
BAB VI
47
PENUTUP
6.1. Simpulan
Perhitungan peta kromosom hasil persilangan D.melanogaster bvg >< cl dan bcl
>< dp yang dilakukan dengan metode perhitungan 8 titik, jarak yang didapatkan antara
alel b dan vg adalah -106.606 cM, dan jarak antara alel b dan cl adalah 112.5285 cM,
sedangkan jarak yang didapatkaan antara alel vg dan cl adalah 23.46241 cM. Pada
persilangan bcl >< dp jarak antar alel b dan dp yang didapatkan adalah -269.307 cM,
sementara dp dan cl adalah -19.637 cM. Kegalatan hasil peta kromosom yang diperoleh
pada persilangan bcl >< dp dan bvg >< cl ini disebabkan oleh berbagai factor
diantaranya disturbansi lingkungan, selain itu juga dipengaruhi karena mutasi pada
lokus b juga membawahi sifat seperti gangguan proliferasi sel, vg membawahi sifat
cunditas, dan mutasi pada gen dp mengakibatkan disfungsi EGF sehingga
menyebabkan cunditas dan juga disfungsi struktural
6.2. Saran
1. Dalam melakukan penelitian, peneliti harus lebih teliti dalam melakukan
pengamatan fenotip F1 dan F2 maupun penghitungan jumlah F 1 dan F2 agar data
yang dihasilkan lebih akurat.
2. Medium untuk peremajaan strain bvg lebih baik dalam keadaan tidak terlalu cair
karena strain ini mudah sekali tenggelam.
3. Dalam melakukan pengamatan fenotip, hendaknya ditempat yang terang agar
dapat teramati semua ciri.
4. Saat melakukan pengampulan, hendaknya menggunakan selang yang ukurannya
minimal 8 cm agar mempermudah dalam melakukan persilangan
5. Dalam melakukan pemindahan betina, peremajaan ataupun pengampulan,
hendaknya menggunakan cotton bud yang berbeda.
DAFTAR RUJUKAN
48
Bridges. B. C. Current Maps of the Location of the Mutant Genes of Drosophila
melanogaster. Proc. N. A. S. 1921. Vol : 7 (4). Pp : 127 – 132.
Brown. T. A. 2002. Genomes : 2nd Edition. Oxford : Willey – Liss.
Carmon. A., Michael J. G., Olga. G., Brad. M., & Ross. M. A Molecular Analysis of
Mutations at the Complex dumpy Locus in Drosophila melanogaster. PLoS One.
2010. Vol : 5 (8). Pp : 1 – 12.
Corebima. A. D. 2013. Genetika Mendel. Surabaya : Airlangga University Press.
Coulthard. B. A., Nadia. N., John. B. B., & Arthur. J. H. The Genetics Society of
Amerika. 2005. Vol : 170 (1). Pp : 1711 – 1721.
David. F. 2006. Genetic Mapping and Manipulation: Chapter 1-Introduction and
Basics. (Online) (http://www.wormbook.org/chapters/www_introandba
sics/introandbasics.html) diakses tanggal 11 - 12 – 2017 pukul : 8 : 45 WIB.
Delanoue. R., Alain. Z., Raynald. C., Annie. D., & Joel. S. Interaction Between
Apterous and Early Expression of vestigial in Formation of the Dorso-Ventral
Compartments in the Drosophila Wing Disc. Genes to Cells. 2002. Vol : 7 (1).
Pp : 1255 – 1266.
Dixit. R., Jayanand., Rai. D. V., Rashi. A., & Aditya. P. Physical Mapping of Genome
and Genes. Journal of Biological Engineering Research and Reviw. 2014.
Vol : 1 (1). Pp : 06 – 11.
Giordano. E., I. Peluso., R. Rendina., A. Digilio.,& M. Furia. The clot Gene of
Drosophila melanogaster Encodesba Conserved Member of the
Thioredoxin-like protein superfamily. Mol Gen Genomics. 2003. Vol : 268. Pp :
692–697.
Gogoi. J. & Ali. T. A Mathematical Model for Solving Four Point Test Cross in
Genetics. International Journal of Computer Applications. 2016. Vol : 153 (5). Pp
: 45 – 48.
FlyBase. 2017. Gene Dmel/vg. (Online). (http://flybase.org/reports/FBgn0 003975.html
: Diakses Pada Tanggal 4 Oktober 2017).
FlyBase. 2017. Gene Dmel/cl. (Online). (http://flybase.org/reports/FBgn0
002069.html : Diakses Pada Tanggal 4 Oktober 2017).
FlyBase. 2017. Gene Dmel/dpy. (Online). (http://flybase.org/reports/FBgn0
000153.html : Diakses Pada Tanggal 4 Oktober 2017).
FlyBase. 2017. Gene Dmel/b. (Online). (http://flybase.org/reports/FBgn0 053196.html :
Diakses Pada Tanggal 4 Oktober 2017).
Garg. A., Ajay. S., Monica. M. D., Sandra. L. O., Leola. C., & John. B. B. Antagonizing
Scalloped With a Novel Vestigial Construct Reveals and Important Role for
Scalloped in Drosophila melanogaster Leg, Eye and Optic Lobe Development.
The Genetics Society of America. 2007. Vol : 175 (1). Pp : 650 – 660.
49
L. A. Baena-Lopez. & A. Garcia-Bellido. Control of Growth and Positional Information
by the Graded vestigial Expression Pattern in the Wing of Drosophila
melanogaster. PNAS. 2006. Vol : 103 (37). Pp : 13734 – 13739.
NCBI. 2017. cl clot Drosophila melanogaster fruit fly. (Online).
(https://www.ncbi.nlm.nih.gov/gene/43938 : Diakses Pada Tanggal 4 Oktober
2017)
NCBI. 2017. dpy dumpy Drosophila melanogaster fruit fly. (Online).
(https://www.ncbi.nlm.nih.gov/gene/318824 : Diakses Pada Tanggal 4 Oktober
2017)
NCBI. 2017. b black Drosophila melanogaster fruit fly. (Online).
(https://www.ncbi.nlm.nih.gov/gene/34791 : Diakses Pada Tanggal 4 Oktober
2017)
NCBI. 2017. vg vestigial Drosophila melanogaster fruit fly. (Online).
(https://www.ncbi.nlm.nih.gov/gene/36421 : Diakses Pada Tanggal 4 Oktober
2017)
Prout. M., Zubin. D., Julie. S., Dianne. F., & James. W. F. Autosomal Mutations
Affecting Adhesion Between Wing Surfaces. Genetics Society of America. 1997.
Vol :146 (1). Pp : 275 – 285.
Ray. P. R., Matamoro-Vidal. A., Paulo S. R., Tapon. N., David. H., Salazar-Ciudad. I.,
& Barry. J. T. Patterned Anchorage to the Apical Extracellular Matrix Defines
Tissue Shape in the Developing Appendages of Drosophila. Developmental Cell.
2015. Vol : 34 (1). Pp : 310 – 322.
Richard. E. Synaptonemal Complex and Crossing - Over: Structural Support or
Interference?. Heredity : Nature. 1978. Vol 41 (1). Pp : (233 – 237).
Roeder. G. S. & Sym. M. Crossover Interference is Abolished in the Absence of a
Synaptonemal Complex Protein. CellPress. 1994. Vol :79 (2). Pp : 283 – 292.
Russel. P. J. 2010. iGenetics A Molecular Approach : Third Edition . San Francisco :
Benjamin Cummings.
Silverthorn. D. U. 2010. Human Physiology : An Integrated Approach. San Francisco :
Pearson.
Simmonds. A., Hughes. S., Tse. J., Cocquyta., & Bella. J. The Effect of Dominant
vestigial Alleles Upon vestigial-Mediated Wing Patterning During Development
of Drosophila melanogaster. Mechanism of Development. 1997. Vol : 67 (1).
Pp : 17 – 33.
Snustad. P. D. & Simmons. M. J. 2012. Principles of Genetics : Sixth Edition. San
Francisco : John Wiley & Sons, Inc.
Sturtevant. A. H. The Linear Arrangement of Six Sex-Linked Factors in Drosophila as
Shown by Their Mode of Association. Journal of Experimental Zoology. 1913.
Vol : 14 (1). Pp : 43 – 59.
50
Stocker. J. A., Bosco. B. Rusuwa., Mark. J. B., Francesca. D. F., Sullivan. M., Bradley.
R. Foley., Beatson. S., Ary. A. Hoffmann., & Stephen. F. Chenoweth. Physical
and Linkage Maps for Drosophila serrata, a Model Species for Studies of Clinal
Adaptation and Sexual Selection. Genes Genomes Genetics. 2012. Volume : 2
(2). Pp : 287 – 297.
Sylwester. C. & Nicholas. G. 2013. Atlas of Drosophila Morphology. Chenai :
Elsevier.
Trudy F. C., Mackay. S. R., Eric A. S., et al. The Drosophila melanogaster Genetic
Reference Panel. Nature. Vol : 482 (1). Pp : 173 – 178.
Viktor. L. & Langkah. G. 2012. Genetika : Molekular dan Filogeni. Jakarta : Erlangga.
Watson. J. D., Tania. A. B., Bell. P. S., Gann. A., Levine. M. & Losick. R. 2012.
Molecular Biology of The Gene : Seventh Edition. New York : Pearson
Education, Inc.
Wittkopp. J. P., Emma. E. S., Lisa. L. A., Adam. H. N., Belinda. K. H., Elizabeth. M. T.,
Saleh. A., et al. Intraspecific Polymorphism to Interspecific Divergence: Genetics
of Pigmentation in Drosophila. Science. 2009. Vol : 326 (540). Pp : 540 – 544.
Wittkopp. J. P., Sean B. C., & Artyom. K. Evolution in Black and White: Genetic
Control of Pigment Patterns in Drosophila. Trends in Genetics. 2003. Vol : 19
(9). Pp : 495 – 505.
Zhang. L., Espagne. E., Muyt. B. A., Zickler. D., & Nancy. E. Kleckner. 2014.
Interference - Mediated Synaptonemal Complex Formation with Embedded
Crossover Designation. PNAS. 2014. Vol : 111 (47). Pp : 5059 – 5068.
51
LAMPIRAN
52
fh)2
54.875 N 6 518 329.25 188.75 35626.56 108.2052 248.8276 9.488
cl 4 142 219.5 -77.5 6006.25 27.36333
b 2 141 109.75 31.25 976.5625 8.898064
vg 2 64 109.75 -45.75 2093.063 19.07118
bvg 2 13 109.75 -96.75 9360.563 85.28986
53