Anda di halaman 1dari 21

Manajemen dan Terapi Paliatif Pada Perempuan penderita Kanker

Ovarium Stadium Lanjut

Kata kunci:

Terapi paliatif, rumah sakit darurat, kanker ovarium tingkat lanjut, bunuh diri

Inti

- Inisiasi terapi paliatif yang tepat pada waktunya terbukti mampu meningkatkan kualitas
hidup dan semangat untuk hidup pada kanker metastatis stadium lanjut
- Pendekatan praktis untuk nyeri, nafas memendek, ascites, dan obstruksi usus bisa
meningkatkan beban gejala pasien
- Hambatan terhadap implementasi konsultasi terapi paliatif yaitu kesalah pahaman
perbedaan antara terapi paliatif dengan hospice
- Tantangan baru dalam terapi paliatif memuat legalisasi bunuh diri-dibantu dokter,
peresepan opioid, dan manajemen gejala/prognosis bersamaan dengan terapi
target/biologis.

Pendahuluan

Kendati terapi dan peningkatan kelangsungan hidup seluruh kasus kanker ovarium
telah mengalami kemajuan, lebih dari 60% pasien didiagnosis kanker ovarium stadium
lanjut dan hanya kurang dari 30% mampu bertahan hidup hingga 5 tahun. Artikel ini
menjelaskan mengenai terapi paliatif dan standar terbaru dalam onkologi perihal
ekspektasi dalam inisiasi terapi paliatif sebaik manfaat dari penyebaran awal. Literatur saat
ini mendeskripsikan terapi paliatif pada pasien dalam populasi ini. Ditambah lagi, strategi
manajemen gejala dan nyeri yang umum, keadaan aktual bunuh diri terkait dokter
(physician-assisted suicide-PAS) di Amerika Serikat, dan tantangan terhadap manajemen
nyeri ditengah mewabahnya penggunaan opioid.

Definisi terapi paliatif

Menurut World Health Organization (WHO), “Terapi Paliatif adalah pendekatan


yang meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarganya dalam menghadapi masalah yang
berhubungan dengan penyakit yang mengancam jiwa, dengan pencegahan dan meringankan
penderitaan melalui identifikasi awal dan penilaian yang sempurna serta terapi terhadap
1
penyakit dan masalah-masalah lain, fisik, psikososial, dan spiritual.” Sedini tahun 2012,
American Society of Clinical Oncology (ASCO) merekomendasikan integrasi terapi paliatif
kepada terapi onkologi standar, terutama pada pasien dengan kanker tingkat lanjut,
berulang, dan metastatis. Pasien menerima terapi paliatif juga bisa menerima berbagai
macam terapi kanker, termasuk kemoterapi, radioterapi, immunoterapi, pembedahan, dan
transfusi darah. Dalam istilah praktis, terapi paliatif bisa diberikan oleh pelayanan konsultasi
rawat inap atau rawat jalan, dan penyedia layanan dalam subspesialis kesehatan apapun bisa
memulai dan memberikan komponen dasar terapi paliatif, termasuk petunjuk terapi tingkat
lanjut dan manajemen nyeri serta gejalanya.

Terapi paliatif

Inisiasi awal dan pemberian terapi paliatif menjadi prioritas langkah awal untuk
onkologi klinis seperti yang disetujui oleh ASCO. Pada tahun 2017, ASCO mendukung
rekomendasi tatalaksana inisiasi awal terapi paliatif sejajar dengan terapi modifikasi
penyakit untuk semua pasien dengan kanker tingkat lanjut. Terapi paliatif terbukti
meningkatkan kualitas hidup, perasaan, dan terapi akhir-kehidupan dengan beberapa
penelitian pada randomize trials, systematic review, dan meta-analyses.penggabungan
antara tim onkologi, spesialis terapi paliatif bisa memberi sumber tambahan untuk
dukungan, manajemen gejala, dan rencana terapi lanjutan. Pada populasi kanker Paru Sel
Kecil (Small Cell Lung Cancer), yang memiliki beban gejala yang berat, penelitian
menunjukkan peningkatan nilai kualitas hidup, penurunan gejala depresi, dan kemampuan
bertahan hidup yang semakin lama pada pasien yang diacak untuk mendapat terapi paliatif
awal referensi dalam tambahan standar terapi onkologi. Khususnya project, penelitian
random multisenter mengenai intervensi terapi paliatif kepada pasien kanker tingkat lanjut,
menunjukkan nilai lebih tinggi mengenai suasana hati dan kualitas hidup untuk pasien-
pasien tersebut yang telah diacak untuk menerima intervensi terapi paliatif sebagai
tambahan untuk terapi standar onkologi dibandingkan terapi onkologi standar saja. Peran
utama dan waktu untuk menginisiasi terapi paliatif untuk perempuan dengan kanker
ovarium, meskipun demikian belum dijelaskan.

Kesulitan dalam menginisiasi terapi paliatif pada perempuan dengan kanker


ovarium

Aspek penting dalam menentukan waktu dan inisiasi terapi paliatif adalah
memahami prognosis penyakit dan fluktuasi beratnya gejala yang disebabkan oleh

2
progresivitas penyakit dan terapi kanker. Saat ini, tidak ada penelitian yang menunjukkan
metode skrining yang efektif untuk pasien dengan kanker ovarium tanpa diketahui dulu
resiko yang meningkat. Mengingat bahwa pada tahap diagnosis secara rumit berhubungan
dengan kelangsungan hidup kanker ovarium, 75% perempuan didiagnosis dengan penyakit
tingkat lanjut, dan kelangsungan hidup 5 tahun secara keseluruhan hanya bersisa 45% dan
25% untuk pasien dengan kanker metastatis (tingkat III dan IV). Meskipun tingkat respon
terhadap kemoterapi dan pembedahan mencapai angka 80%, 60% perempuan terkena lagi
dalam 1 hingga 2 tahun setelah remisi dan membutuhkan terapi tingkat dua bahkan
terkadang harus melalui kemoterapi lini-lini selanjutnya. Sekali kanker berulang terjadi,
penyakit tersebut sangat jarang bisa disembuhkan. Beberapa pasien, tetapi mampu memberi
respon tahan lama terhadap beberapa lini kemoterapi, dan dengan pengenalan terhadap
imunoterapi dan terapi target, disarankan untuk menganggap kanker ovarium sebagai
penyakit yang lebih kronis. Dengan datangnya terapi modifikasi, meskipun demikian,
terdapat efek baru dan efek samping dan gejala sisa jangka lama. Mayoritas ahli dalam terapi
paliatif tidak menyarankan merubah rekomendasi untuk terapi paliatif meskipun terapi
target dan biologis telah maju. Kelangsungan hidup dari kanker ovarium telah meningkat
pada kelompok demografis tertentu selama 40 tahun terakhir, khususnya pada perempuan
yang lebih muda (usia kurang dari 60 tahun) dan perempuan non-Afrika Amerika.
Perempuan Afrika-Amerika terbukti lebih beresiko terhadap kematian akibat kanker
ovarium dibanding dengan wanita berkulit putih dan angka kelangsungan hidup rata-rata
dilaporkan kira-kira mencapai 1 tahun lebih pendek dibanding wanita kulit putih. Meskipun
data yang mendukung prognosis yang terlalu optimis dan prognosis yang dilaporkan oleh
intuisi-intuisi onkologi, berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan akurasi dengan
penggabungan metriks nasional, sebagaimana yang dihitung oleh skala status penampilan
Karnofsky, Eastern Cooperative Oncology Group Score, dan Skala Penampilan Paliatif.

Kanker ovarium bisa memiliki beban gejala yang tinggi namun fluktuatif sepanjang
perjalanan penyakit. Pasien bisa menunjukkan rasa kembung, rasa kenyang lebih cepat,
nyeri perut, perubahan kebiasaan buang air, gejala pada saluran kemih, atau mual namun
terkadang juga menunjukkan gejala yang lebih parah. Kelelahan yang signifikan sangat
umum selama diagnosis dan terapi awal, dan 67-92% pasien melaporkan gejala ini.
Penelitian terbaru pada 217 pasien kanker ovarium dengan simptom pada tahun terakhir
kehidupannya mengungkapkan bahwa kebanyak pasien melaporkan rasa kembung, nyeri
perut, nafsu makan rendah, kelelahan, mual, dan perubahan pada fungsi usus. Mayoritas

3
pasien mengalami gejala yang signifikan di sepanjang perjalanan penyakit, dengan
peningkatan keparahan dan jumlah gejala dalam 6 bulan hingga satu tahun terakhir
hidupnya. Terapi paliatif pada kanker ovarium dengan demikian merupakan bagian penting
dari perawatan pasien dengan penyakit ini. Penulis menampilkan informasi terbaru
mengenai manajemen gejala kanker ovarium tingkat lanjut.

Hospice pada Perempuan dengan Kanker Ovarium

Hospice adalah terapi filosofis yang diinisiasi ketika terapi modifikasi penyakit
dianggap sia-sia atau justru menyebabkan bahaya yang lebih besar dibanding manfaatnya.
Dalam konotasi praktis, pasien yang mendaftar masuk hospice telah memutuskan untuk
meninggalkan terapi modifikasi penyakit, termasuk kemoterapi, pembedahan, radiasi,
ataupun immunoterapi, kecuali untuk mengontrol gejala. Pertama kali dikenalkan di
Amerika Serikat pada tahun 1960, selama 40 tahun terakhir telah menunjukkan serapan
yang progresif dalm pelayanan hospice dan legislasi yang signifikan mengenai pembayaran
dan ketentukan pelayanan tersebut. Pasien yang telah mendaftar hospice dirawat di rumah
atau di fasilitas perawatan tergantung dari tingkat keparahan beban gejala. Tipikal pelayanan
hospice termasuk peralatan kesehatan yang tahan lama dan perawatan harian selama 4 jam
jika pada pengaturan rawat jalan. Mitos umum yang sering beredar mengenai hospice yaitu
anggapan bahwa pasien sudah tidak lagi menemui onkologis atau dokter utama, dimana
perumahan diberikan, dan perawatan diberikan selama hampir sekitar 24 jam. Perawatan
khususnya tersedia melalui telepon sekitar jam kecuali jika periode pelayanan akut diijinkan
oleh hospice. Lewin dan kawan-kawan melaporkan secara retrospektif bahwa pada pasien
dengan kanker ovarium lanjut yang terdafatar dalam hospice kelangsungan hidupnya
memanjang dibandingkan penderita yang tidak terdaftar. Meksipun perempuan dengan
kanker ovarium yang lebih tua mendapatkan perawatan hospice seiring waktu pada akhir
hidupnya, bukti menyarankan bahwa perempuan berpendapatan-rendah dan minoritas tidak
mendapatkan perawatan hospice yang sama dengan perempuan berpendapatan tinggi dan
berkulit putih.

Terapi paliatif pada perempuan dengan kanker ovarium dan ginekologis.

Ketelibatan terapi paliatif lebih awal memperlihatkan keuntungan pada populasi


kanker ginekologis, meskipun demikian, bukti terbaru menyarankan rujukan reaksioner
terus menerus untuk prognosis yang sangat jelek atau beban gejala yang berat dan biasanya
dalam 30 hari akan meninggal. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pasien kanker

4
ginekologis yang mendapatkan konsultasi terapi palitiaf lebih dari 30 hari sebelum
kematiannya hanya mendapatkan lebih sedikit pembedahan dan kemoterapi dalam 30 hari
akhir hidupnya lebih sedikit di kemoterapi. Bukti juga menunjukkan adanya peningkatan
dalam konseling direktif lanjutan dan pengambilan keputusan dengan perawatan paliatif
yang lebih awal. Pasien kanker ovarium yang tidak memiliki tujuan terapi rawat jalan dan
tidak membicarakan rencana terapi lebih lanjut menunjukkan langkah-langkah yang lebih
agresif pada akhir hidupnya. Rencana lebih lanjut tersebut tidak menunjukkan adanya
peningkatan gejala depresi maupun kekhawatiran pada pasien. Terlebih lagi, penelitian
baru-baru ini membuktikan turunnya biaya layanan kesehatan kepada pasien-pasien yang
menerima konsultasi terapi paliatif lebih awal. Ditambah lagi, tidak ada perbedaan
kelangsungan hidup meskipun terdapat perbedaan biaya.

Tabel 1
Mitos umum dan penjelasan praktis tentang pendaftaran dalam program tunjangan rumah
sakit di Amerika Serikat
Mitos Penjelasan
Seorang pasien harus memiliki status kode DNR Pasien yang memilih perawatan rumah sakit telah
yang akan diterima dalam perawatan rumah setuju untuk tidak kembali ke departemen gawat
sakit. darurat untuk masalah yang berkaitan dengan
kanker / penyakit primer mereka; Namun, status
kode DNR / DNI tidak wajib. Untuk tujuan
praktis, jika seorang pasien yang terdaftar di
rumah sakit belum memilih status DNR / DNI,
pasien dapat dikembalikan ke rumah sakit atau
ruang gawat darurat untuk resusitasi, yang
bertentangan dengan maksud dari memilih
perawatan rumah sakit.
Perawatan rumah sakit membayar semua biaya Pertanggungan asuransi pasien yang sudah ada
peduli medis sebelumnya bertanggungjawab untuk obat-
obatan terkait dengan kondisi yang tidak terkait
kanker (yaitu, insulin untuk perawatan diabetes).
Perawatan rumah sakit menyediakan tempat Perawatan rumah sakit dapat diberikan di rumah
untuk hidup sakit, fasilitas perawatan, atau rumah; Namun,
perawatan rumah sakit tidak membayar untuk
penginapan.
Rumah sakit menyediakan 24 jam perawatan Rumah sakit biasanya menyediakan 4 jam
pribadi. perawatan dan dapat meningkat untuk periode
waktu singkat hingga 24 jam perawatan berbasis
penyedia pribadi. Tanggung jawab perawatan
untuk sisa waktu ada pada keluarga pasien atau
pengasuh. Perawatan rumah sakit disediakan 24
jam sehari melalui akses telepon.
Seorang pasien harus meninggalkan dokter Pasien dapat terus bertemu dengan onkologis
perawatan primer atau ahli onkologi ketika atau dokter keluarga mereka meskipun terdaftar
terdaftar di rumah sakit. di rumah sakit.

5
Jika pasien menolak perawatan paliatif awal namun menunjukkan beban gejala yang
meningkat, terdapat peran konsultasi pada berbagai tingkatan gejala. Sebuah peneltian
menunjukkan peningkatan yang signifikan pada gejala selama 1 hari konsultasi terapi
paliatif pada pasien dengan keganasan ginekologi lanjutan.

Penelitian spesifik pada terapi paliatif terhadap perempuan dengan kanker ovarium
resonan dengan penelitian dari penyakit di tempat lain menunjukkan hasil adnaya
peningkatan tingkat pendaftaran pada hospice, peningkatan rentang waktu perawatan
hospice, dan prosedur yang lebih sedikit pada akhir kehidupan. Uppal and colleague
melaporkan adanya tren terapi paliatif antara 2004 hingga 2010, pada 106.2013 penerimaan
di rumah sakit secara acak terhadap perepmuan dengan kanker ovarium, dan didapatkan
peningkatan yang signifikan baik secara klinis maupun statistik pasien kanker ovarium
kepada terapi paliatif, dari 2.7% hingga 10.4%. Sayangnya, pengeluaran ke hospice
meningkat hanya dari 9% hingga 11%, dan mortalitas pasien menurun dari 10% menjadi
7%.

Pengasuh pasien dengan kanker ovarium menunjukkan penurunan kualitas hidup


dan kesulitan selama terapi, dengan peningkatan terapi pada pasien yang memiliki efek yang
signifikan terjadap kualitas hidup mereka. Konsultasi terapi paliatif juga meningkatkan
kualitas hidup pengasuh dan level penderitaannya. Sangat penting untuk melibatkan
pengasuh dan anggota keluarga dalam terapi paliatif serta diskusi mengenai perawatan akhir
hidup. Tanpa keterlibatan mereka dalam diskusi tersebut, pasien lebih mungkin
mendapatkan perawatan akhir hidup yang lebih agresif, dimana berhubungan dengan
penyesuaian berkabung pengaruh dan anggota keluarga yang lebih buruk. Penyedia layanan
memiliki perhatian dalam mengawali dan menginisiasi diskusi mengenai arahan lebih
lanjut, tujuan terapi, dan perawatan akhir hidup. Terdapat banyak sumber untuk situasi-
situasi menantang tersebut yang bisa digunakan untuk mendukung pasien dan penyedia
layanan (tabel 2).

Intervensi terhadap nyeri dan manajemen gejala

Pembedahan paliatif

Kebanyakan pasien dengan kanker ovarium tingkat lanjut berulang setelah terapi
awal mereka dengan pembedahan dan kemoterapi berbasis platinum. Mayoritas pasien
dirawat dengan kemoterapi lini selanjutnya dalam kondisi ini; meskipun demikian, saat ini,
pasien dipertimbangkan pembedahan citoreduktif sekunder. Bukti telah tercampur

6
mengenai efek debulking sekunder dalam pola kelangsungan hidup. Mayoritas bukti adalah
retrospektif dan kohort dengan jumlah pasien yang sedikit. Penelitian menyarankan pasien
dengan isolasi berulang dan kemampuan citoreduksi kurang dari 1 cm dari penyakit
makroskopis meningkatkan kelangsungan hidup secara keseluruhan. Selain itu, kemoterapi
sitotoksik sebelum pembedahan sekunder pada pasien tersebut terlihat memiliki efek
samping dalam kelangsungan hidup. Pasien dengan tumor ovarium berulang tingkat rendah
dan dalam garis batas menunjukkan perjalanan klnis yang berbeda dengan tumor
kemoresponsif lebih sedikit dan mungkin dapat mengambil manfaat dari terapi hormonal
atau terapi target atau bahkan pembedahan debulking sekunder.

Radiasi paliatif

Terapi radiasi dihindari secara khusus sebagai terapi primer kanker ovarium
sekunder karena tingkat respon yang jelek, toksisitas, biologis tumor, dan pola khusus dalam
penyebaran secara luas ke intraperiotoneal. Radiasi paliatif telah digunakan pada gejala
spesifik yang berulang dan tingkat lanjut, termasuk nyeri dan perdarahan dari lesi spesifik.
Review terbaru pada 64 pasien kanker ovarium yang mendapatkan radiasi paliatif
menunjukkan tingkat respon yang baik terhadap kontrol gejala berupa perdarahan dari
metastastis ke vagina (93%) dan nyeri akibat tumor (87%). Metastatis ke organ selain tulang
memiliki tingkat respon yang lebih tinggi dibanding metastatis ke tulang (93% lawan 75%),
dan secara histologi juga prediktor respon yang signifikan, dimana karsinoma sel clear
memiliki tingkat respon yang paling rendah (60%).

Tabel 2
Alat komunikasi tersedia online dan dalam aplikasi yang dianjurkan oleh VitalTalk.com dan
AAHPM.org untuk semua tingkat peserta pelatihan dan penyedia
Sumber Akses
American Academy of Hospice and http://aahpm.org/self-study/
Palliative Medicine
Serious Illness Conversation Guide https://www.ariadnelabs.org/resources/downloads/
VitalTalk http://www.vitaltalk.org
Framework models for communicating http://www.uptodate.com
serious news to patients and their families
STEPS Forward program https://www.stepsforward.org/modules/end-of-life-
planning

Ditambah lagi, metastatis ke otak, meskipun sangat jarang pada kanker ginekologis,
telah dilaporkan terjadi pada 1-2.5% pasien. Beberapa penlitian melaporka rata-rata
kelangsungan hidup paling pendek adalah 2 minggu dan paling lama adalah 4-9 bulan

7
setelah didiagnosis sebagai metastatis ke otak dan diterapi. Metastatis ke beberapa organ
mendatangkan prognosis yang buruk. Terapi dengan terapi radiasi target atau terapi radiasi
seluruh otak secara signifikan mampu memperbaiki gejala dan meningkatkan kelangsungan
hidup pasien tersebut. Kombinasi antara manajemen pembedahan dan terapi radiasi terlihat
sangat berguna dalam beberapa pasien. hal ini, meningkatakn kelangsungan hidup hingga
20 bulan. Pasien dengan penyakit ekstrakranial memiliki prognosis yang jauh lebih buruk

Kemoterapi paliatif/imunoterapi/terapi target

Kemoterapi paliatif bisa digunakan sebagai terapi kanker ovarium berulang, dan
beberapa peneliti memperdebatkan terapi “paliatif” karena kanker ovarium berulang jarang
bisa disembuhkan. Ketertarikan yang besar dalam bidang imunoterapi dan terapi target
terhadap keganasan telah ditunjukkan dalam beberapa tahun terakhir. Terapi-terapi tersebut
menunjukkan kemampuan untuk fokus terhadap penghambatan pos pemeriksaan imun agar
membiarkan sistem imun pasien sendiri untuk membantu dalam menyingkirkan keganasan
dan menghasilkan respon klinis atau mengontrol penyakit dalam jangka waktu yang lama.
Modalitas potensial untuk terapi termasuk antibodi monoklonal, vaksin, terapi seluler imun,
dan blokade pos pemeriksaan imun. Karena sebagian besar pasien dengan kanker ovarium
epitelian (EOC) berespon terhadap terapi lini pertama namun akhirnya menjadi resisten,
dibanding terhadap regimen yang lebih tidak toksik menjadi besar; manfaat manajemen
paliatif tersebut untuk kanker ovarium belum ditetapkan. Berbagai imunoterapi masih
dibawah penyelidikan untuk efektivitasnya terhadap EOC; tetapi, sampai sekarang tidak ada
terapi yang disetujui oleh Food and Drug Administratin (FDA) untuk digunakan pada
kanker ovarium. Inhibitor enzim poly (ADP-ribose) polymerase adalah terapi target yang
menunjukkan kemanjuran terhadap pasien dengan mutasi BRCA. Karena mereka adalah
obat-obatan oral, mereka lebih mudah untuk dilaksanakan dan bisa sesuai dengan gaya
hidup banyak pasien. Jika efek sampingnya bisa ditoleransi untuk pasien-pasien tersebut,
kelangsungan hidup seluruhnya terbukti meningkat. Dokter paliatif, ditentang dengan
strategi manajemen gejala yang jauh lebih kompleks karena obat-obatan paliatif lini pertama
yang sesuai standar tidak sepadan dengan agen-agen tersebut. Ditambah lagi, efek samping
baru, seperti pandangan kabur dan perubahan pada mata dengan inhibitor pos pemeriksaan
imun, menghadirkan tantangan baru.

8
Gejala

Nyeri

Meskipun rekomendasi untuk nyeri kanker dengan terapi agresif, nyeri akibat
keganasan masih tidak tersembuhkan. Secara khusus, perempuan dengan kanker ovarium
tingkat lanjut menunjukkan medikasi nyeri yang lebih sedikit pada akhir hidupnya. Nyeri
berhubungan dengan kanker yang tidak terkontrol mengakibatkan rendahnya kualitas hidup,
penderitaan, penurunan aktivitas fisik, dan depresi. Pasien mungkin merasakan nyeri
disebabkan oleh beban tumor, obstruksi usus, hepar, ataupun metastatis ke tulang, atau
gejala-gejala terkait lainnya yang menstimulasi rasa nyeri. Selain itu, pasien melaporkan
peningkatan nyeri pada 6 bulan terakhir hidupnya. Terdapat banyak pilihan untuk
mengontrol nyeri pada pasien dengan keganasan. Pendekatan multimodal, termasuk
pemberian acetaminofen, obat Anti-inflamasi Non-Steroid (AINS) disaat yang tepat, dan
medikasi nyeri dengan opioid, semua hal tersebut bisa dilakukan sebagai manajemen
farmakologis terhadap nyeri terkait kanker. Pada kanker ovarium tingkat lanjut, pelepasan
opioid yang diperpanjang bisa menjadi alat efektif dan tidak menunjukkan peningkatan efek
samping yang berarti. Banyak pedoman merinci pilihan untuk menginisiasi dan mentitrasi
medikasi opioid pada populasi tersebut. Beberapa pasien mungkin mengeluhkan gangguan
gastrointestinal karena pemberian opioid, khususnya mual, muntah, atau konstipasi. Patch
transdermal tidak menunjukkan penurunan gejala gastrointestinal jika dibandingkan dengan
pengobatan oral. Penting untuk melibatkan rejimen usus dalam manajemen pasien dengan
pemberian narkotik dalam jangka lama untuk mencegah terjadinya konstipasi, termasuk
baik pelunak feses maupun obat pencahar.

Pada pasien ketika nyeri refrakter muncul atau ketika gejala dari nyeri lainnya
modalitas manajemennya mungkin lebih terbatas, prosedur intervensi menjadi lebih
mungkin. Hambatan saraf dipandu gambar dan atau neurolosis bisa meningkatkan nyeri
secara signifikan serta kualitas hidup. Berbagai intervensi mungkin dilakukan untuk nyeri
terkait tumor spesifik, termasuk metastatis tulang dan nyeri perut yang sulit dikontrol.
Prosedur dipandu CT scan sering menjadi andalan dalam intervensi tersebut. Analgesia
neuraksial mungkin bisa layak via jalur spinal ataupun epidural. Hambatan saraf dan teknik
destruktif juga bisa digunakan. Konsultasi dengan kelompok intervensi atau kelompok
manajemen nyeri mungkin bisa mengidentifikasi pilihan yang tepat untuk prosedur
intervensi.

9
Resiko addiksi opioid

Banyak perhatian akhir-akhir ini tertarik terhadap epidemik opioid pada profesi
kesehatan dan media. Bukti terbaru mengindikasikan bahwa pasien cenderung menerima
lebih banyak medikasi opioid dibanding apa yang mereka butuhkan dalam pengaturan pasca
operasi. Bukti juga menyarankan pasien kanker ginekologis, namun, beresiko rendah
terhadap penyalahgunaan opioid. Pasien yang merasakan sakit akibat keganasan sebaiknya
tidak ada pengobatan yang ditahan, dan penggunaannya harus seimbang baik keamanan
maupun aksesabilitas.

Nafas yang memendek

Gejala pernafasan pada kanker ovarium tingkat lanjut mungkin bisa terjadi akibat
berbagai hal, termasuk beban tumor yang menekan volume paru, ascites, efusi pleura,
sumber infeksi, nyeri, dan lebih jarangnya lagi, metastatis paru. Pengurangan terhadap
gejala-gejala tersebut biasanya tercapai dengan intervensi bertarget. Ascites bisa didrainase
secara perkutan pada satu titik atau pada cara saat ini dengan kateter dalam (didiskusikan
kemudian). Penyebab infeksi, seperti pneumonia, bisa disembuhkan dengan antibiotik dan
terapi oksigen sebaik masukan dari terapi pernafasan. Kontrol nyeri bisa digunakan untuk
meningkatkan status pernafasan dengan pemberian analgesik opioid. Analgesik opioid bisa
juga digunakan untuk menurnkan sesak nafas pada akhir kehidupan.

Gejala efusi pleura bisa didiagnosis setelah pasien mengalami sesak nafas. Biasanya
mereka didiagnosis dengan radiografi thorkas dan penemuan pada pemeriksaan klinis
manajemen yang optimal tergantung dari tingkat penyakit pada pasien. Pasien pada tahap
awal bisa mendapatkan pertolongan dengan torakosentesis. Konsultasi kepada pulmonolis
atau radiologi intervensi tergantung dari pelayanan yang tersedia yang bisa melakukan
prosedur tersebut. Kadangkala pasien menerima terapi sitotoksik lebih lanjut yang mungkin
bisa menurnkan kebutuhan terhadap drainase ulang. Pasien menjelang akhir hidupnya bisa
mendapat keuntungan dari prosedur yang mengijinkan drainase berulang atau untuk
menghilangkan reakumulasi efusi.

Penempatan kateter drainase terowongan menunjukkan hasil yang efektif dan


tertoleransi dengan baik. Selain itu, kateter meningkatkan kualitas hidup karena mereka
mencegah prosedur berulang dan mengijinkan pasien mengontrol gejala mereka dan merasa
nyaman. Pembedahan torakoskopis dipandu video dengan pleurodesis menunjukkan efikasi

10
dan keamanan pada populasi tersebut. Konsultasi kepada bedah kardiotoraks mungkin bisa
membantu dan penentuan jika prosedur ini bisa menyelamatkan seorang pasien individu.

Ascites

Sesuai dengan penyebaran alamiah EOC, pasien biasanya pada awalnya


menunjukkan ascites keganasan dalam pengaturan karsinomatosis peritoneal. Patofisiologi
diduga berhubungan dengan penyebaran transkoelomik sel kanker ke peritoneum dan
sekresi langsung cairannya. Jarak ketiga cairan intravaskuler terjadi pada keganasan tingkat
lanjut, dimana berkontribusi secara skeunder terhadap perubahan permeabilitas membran
sel terhadap protein. Selain itu, faktor pertumbuhan sel endotel vaskuler (VEGF) (mitogen
glikosilat yang menginduksi proliferasi sel endotel, yang penting terhadap fungsi ovarium
normal) ekspresinya menunjukkan adanya hubungan dengan peningkatan produksi ascites
pada EOC.

Pasien dengan ascites simpotomatik sebagian besar merasa lega baik dengan
pembedahan debulking atau kemoterapi neoadjuvan dalam beberapa minggu. Pada EOC
berulang atau progresif, ascites bisa berulang. Jika pasien tidak lagi mendapatkan
kemoterapi atau penyakitnya tidak berespon, mereka bisa memunculkan gejala secara
signifikan. Gejala bisa termasuk distensi, mual, muntah, nafas pendek, dan nyeri perut.

Peran VEGF yang sering pada ascites akibat keganasan, kemoterapi umum terhadap
kanker ovarium primer dan berulang, bevacizumab (inhibitor VEGF), telah digunakan
secara sesifik sebagai terapi paliatif untuk ascites akibat keganasan. Telah dilaporkan
kesuksesan dan menurunkan atau menghilangkan kebutuhan untuk drainase ascites akibat
kegansan setelah terapi inisiasi dengan bevacizumab. Selain itu, penggunaan bevacizumab
intraperiotoneal masih dibawah penyelidikan dan telah dilaporkan bisa menurunkan ascites
pada kanker ovarium tingkat lanjut. Resiko dan manfaat terapi dengan bevacizumab harus
dipertimbangkan sebab efek samping yang jarang dan serius bisa terjadi, termasuk perforasi
usus, penyembuhan luka yang lambat, hipertensi, dan tromboemboli.

Kateter terowongan (paling umum PleurX) bisa diletakkan pada psien dengan ascites
simptomatik berulang untuk mencegah kebutuhan berulang terhadap prosedur mendrainase
cairan. Tingkat kesuksesan penempatan pada pasien tinggi, dilaporkan mencapai angka
100%. Pasien dan keluarganya bisa belajar untuk mendrainase kateter mereka dengan tas
yang tersedia di rumah atau mereka bisa mendrainase di fasilitas keperawatan yang terampil
atau hospice. Pasien kemudian bebas untuk mendrainase ascites ketika mereka merasakan

11
gejala dan tidak membutuhkan prosedur yang berulang. Resiko kompikasi rendah namun
bisa menyebabkan infeksi atau kecacatan

Kesulitan psikososial

Kanker tingkat lanjut berhubungan dengan peningkatan kesulitan dan beban gejala
dan buktinya sangat jelas dalam 6-12 bulan terakhir hidup. Penilaian terhadap kesulitan dan
gejala penting setiap pertemuan perawatan kesehatan. Seperti yang telah didiskusikan
sebelumnya, intervensi terapi paliatif telah menunjukkan penurunan kesulitan dan gejala
depresi. Selain itu, farmakoterapi tersedia untuk pasien yang terdiagnosis depresi dan
kecemasan.

Gangguan/obstruksi usus

Gejala gastrointestinal sering ditemukan pada EOC. Konstipasi pada kanker


ovarium tingkat lanjut mungkin akibat dari beberapa faktor. Hal tersebut termasuk analgesik
opioid dan pengobatan lainnya sebaik dismotilitas usus sekunder akibat tumor. Terapi lini
pertama termasuk kombinasi pelunak feses dan obat pencahar serta mengeliminasi
pengobatan konstipasi yang tidak penting. Dosis bisa meningkat dengan target perpindahan
gerakan usus halus setiap 1-2 hari. Enema dapat diberikan kepada konstipasi atau impaksi.

Disebabkan oleh presentasi tipikal dan penyebaran EOC, pasien bisa menunjukkan
obstruksi usus akibat karsinomatosis dan implan tumor diseluruh abdomen dan permukaan
usus. Hal ini diestimasikan mempengaruhi antara 25-50% dari pasien EOC selama
perjalanan penyakit mereka, dan beberapa meninggal akibat atau dengan obstruksi usus.
Pasien bisa merasakan mual, muntah, ketidakmampuan untuk mentoleransi segala sesuatu
dengan mulut, disetnsi perut, nyeri, dan kembung, baik diawal atau saat kondisi berulang.
Diagnosis obstruksi biasanya bisa diduga dengan pemeriksaan abdomen dan
simptomatologi dan terkonfirmasi secara radiologi dengan radiografi abdomen dan atau CT
scan abdomen dan pelvis. Gejala obstruksi bisa mirip dengan ascites akibat keganasan yang
besar, konstipasi parah, dan beban tumor yang besar, dan demikian menjadi penting untuk
menyingkirkan kondisi alternatif pada saat evaluasi awal. Penting juga untuk melokalisasi
tempat obstruksi karena ini bisa membantu dalam penentuan manajamen selanjutnya.
Mayoritas obstruksi akibat keganasan pada pasien EOC pada bagian usus halus, tetapi 10-
30% bisa menunjukkan obstruksi usus besar. Selain itu, ileus fungsional dari penyebaran
karsinomatosis, yaitu tumor yang melapisi usus tanpa obstruksi sebenarnya, mungkin
menyerupai obstruksi akibat keganasan. Penting untuk membedakan wujud tersebut karena

12
itu bisa dimanajemen dengan terapi kesehatan yang lebih tepat dibandingkan dengan
prosedur.

Penelitian telah mengidentifkasi kelangsungan hidup setelah diagnsosi obstruksi


usus akibat kegansan pada kanker oavarium stadium lanjut dalam rentang waktu minggu
hingga bulan. Meskipun terapi yang optimal belum dinyatakan, namun secara umum,
mempertahankan kualitas hidup dan mengontrol gejala dan mencoba untuk mengembaikan
kemampuan untuk mentoleransi cairan dan atau beberapa makanan untuk kenyamanan
adalah tujuan manajemen pada pasien-pasien tersebut. Pada awalnya, pasien harus
mendapatkan dekompresi dengan tabung nasogastrik. Ini mungkin susah untuk
mentoleransi dan demikianlah solusi jangka pendek tetapi esensial di waktu awal untuk
mendekompresi usus dan menyediakan pertolongan simptomatis.

Beberapa penelitian mencoba untuk mengidentifikasi faktor-faktor prognostik yang


meungkin membantu dan memilih pasien yang akan bermanfaat dengan dilakukannya
pembedahan. Manajemen pembedahan termasuk laparotomi dan debulking tumor untuk
membebaskan dari osbtruksi atau pengalihan usus dengan ileostomi atau colostomi. Sebuah
peneltiian retrospektif pada 62 pasien sedang menjalani manjemen pembedahan terhadap
obstruksi usus akibat keganasan menemukan angka mortalitas 60 hari post-prosedur
mencapai 29%, dan kurang dari 2L ascites, pada usia yang lebih muda, dan angka albumin
yang lebih tinggi berhubungan dengan kelangsungan hidup yang lebih lama. Penelitian lain
mengutip mortalitas perioperatif pada rentang 10-40%, meski pada pasien yang dilaporkan
memiliki status penampilan yang bagus. Komplikasi bisa sangat luas, termasuk infeksi luka,
kembali ke ruang operasi, uleus, stoma output yang tinggi, fistula, dan infeksi perioperatif,
termasuk infeksi saluran kemih dan pneumonia.

Manjemen medis mungkin telah mencoba dengan pasien yang tepat dengan
somatostatin atau octreotide, kadang-kadang dengan kombinasi pemberian steroid, dan agen
promotilitas. Mengingat bahwa analog somatostatin menurnkan sekresi lambung, mereka
bisa memberikan kesembuhan simptomatik terhadap pasien atau mengurangi kebutuhan
akan tabung nasogastrik. Steroid diyakini bisa menurnkan edema tumor. Terdapat bukti
adanya batasan terhadap rejimen tersebut, bagaimanapun beberapa kesuksesan telah
dilaporkan pada beberapa kasus individu.

Pertolongan gejala dengan diberikannya tabung gastrostomi ventilasi telah


dilakukan sebagai pilihan manajemen paliatif yang telah sukses pada banyak pasien.

13
Kebanyakan pasien berhasil dalam penempatan tabung (lebih dari 90%), dan mayoritas
mampu mentoleransi sedikit cairan ataupun makanan. Pasien harus dikonsultasi berkaitan
dengan sifat paliatif penempatan ini sebelum penempatan lainnya. Kesembuhan dari gejala
mual dan muntah dilaporkan pada beberapa kasus lebih dari 90%. Tabung gastrostomi
mungkin diletakkan dengan endoskopi, secara perkutan, atau melalui laparotomi dan bisa
diletakkan oleh gastroenterologis, radiologis intervensi, atau onkologis ginekologi atau
bedah umum, bisa berbeda-beda tergantung institusi.

Obstruksi usus besar memiliki tantangan yang unik pada pasien kanker obarium
tingkat lanjut dengan kondisi valva ileocaecal yang kompeten. Kesembuhan yang minimal
pada dekompresi dari diletakkannya tabung nasogastrik, terkadang pasien membutuhkan
penentuan keputusan terkait manajemen dengan pemberi layanan mereka pada cara yang
lebih urgen. Pasien bisa mendapat manfaat dari kolostomi pengalihan atau ileostomi; tetapi,
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ini bisa mejadi prosedur yang tidak wajar untuk
banyak pasien. Beberapa kondisi mungkin membuat stenting endoskopi paliatif lebih
menarik. Konsultasi gastroenterologi bisa didapatkan untuk menentukan jika pasien
merupakan kandidat untuk setnting. Beberpaa penelitian melaporkan tingkat kesuksesan
klinis hingga mencapai sekitar 50%, sedangkan yang lain melaporkan hingga 90%.
Komplikasi bisa termasuk perforasi, migrasi, dan kegagalan, dan obstruksi ulang setelah
penempatan yang sukses. Jika terapi paliatif berhasil, namun, laparotomi dan atau ostomi
bisa dihindari. Jarang pasien dimanajemen dengan dekompresi tabung nasogastrik,
pengalihan usus, atau penempatan tabung gastrostomi dan mungkin kemudian mendapat
kemoterapi. Pasien yang memilki penyakit sensitif platinum bisa jauh lebih sukses pada
skenario ini.

Bunuh diri terkait dokter

PAS didefiniskan sebagai peresepan obat secara sengaja dengan dosis lethal sesuai
dengan permintaan pasien yang diberikan secara mandiri pada waktu dan tempat yang telah
pasien pilih. Hal ini berbeda dengan euthanasia, dimana pengobatan dosis lethal diberikan
oleh dokter. The American Academy of Hospice and Palliative Medicine mengambil posisi
untuk mempelajari netralitas pad akondisi sekarat yang dibantu dokter. Baru baru ini, di
Amerika Serikat, sekarat dibantu dokter legal di 6 negara, termasuk Oergon, Washington,
Vermont, Colorado, Montana, dan California, serta Washington DC. Legislasi kematian
alami dengan bermartabat diberlakukan di Oergon dan terdiri dari serangkaian langkah

14
prasyarat yang jika diikuti dengan membatalkan penyebab kematian adalah bunuh diri,
dengan demikian menghindari interfensi dengan manfaat asuransi jiwa yang ada
sebelumnya. Penyebab kematian pasien dicatat sebagai kanker primer/penyakit medis dan
bukan bunuh diri pada sertifikat kematian. Data terkait penggunaan PAS akhir-akhir ini
tidak menunjukkan disparitas antar ras/etnis, gender, atau kondisi sosial ekonomi. Meskipun
umum dipahami bahwa PAS adalah ilegal oleh legislasi federal, representasi paling akurat
oleh posisi Mahkamah Agung pada PAS di negara tersebut adalah otonom dalam legislasi
PAS. Dokter terlindung oleh legislasi, seperti yang telah dinyatakan: “tidak ada orang yang
bisa menjadi subjek tanggung jawab perdata atau pidana atau aksi penegak kedisiplinan
profesi untuk berpartisipasi dalam itikad baik kepatuhan dengan ORS 127.800-127.897. Ini
termasuk hadir ketika pasien terkualifikasi mendapat resep pengobatan untuk mengakhiri
hidupnya sebagai manusia secara bermartabat. Dokter konsultan harus setuju dengan
diagnosis yang dibuat dokter pertama yang mendatangi pasien dan penilian terhadap pasien
yang bertahan dari penyakit terminal atau juga mampu, bertindak secara sukarela, dan telah
membuat keputusan yang telah diinformasikan. Dalam kondisi dimana PAS tidak legal,
pemberi layanan bisa khawatir mengenai tindakan mempercepat kemarian tanpa alasan
menlalui pengobatan opioid. Dan kasus-kasus dengan simptom berulang yang ekstrim,
sedasi paliatif dan pemberian opioid dosis tinggi juga dilindungi oleh legislasi (sedasi
terminal) sebagaimana ditangani oleh mahkamah agung.

Kotak 1
Kematian Oregon dengan prasyarat bermartabat untuk resep hukum obat mematikan
 Untuk meminta resep obat-obatan mematikan, DWDA mensyaratkan bahwa seorang pasien harus
 Orang dewasa (berusia 18 tahun atau lebih)
 Seorang penduduk Oregon
 Mampu (didefinisikan sebagai mampu membuat dan mengomunikasikan keputusan
perawatan kesehatan)
 Didiagnosis dengan penyakit terminal yang akan menyebabkan kematian dalam waktu 6
bulan
 Untuk menerima resep obat mematikan, langkah-langkah berikut harus dipenuhi
 Pasien harus membuat 2 permintaan kepada dokternya, setidaknya dipisahkan oleh 15 hari
 Pasien harus memberikan permintaan tertulis kepada dokternya, yang ditandatangani di
hadapan 2 orang saksi
 Dokter yang meresepkan dan seorang dokter konsultan harus mengkonfirmasi diagnosis
dan prognosa
 Dokter yang meresepkan dan seorang dokter konsultan harus menentukan apakah pasien
mampu
 Jika salah satu dokter percaya penilaian pasien terganggu oleh psikiater atau psikolog,
pasien harus dirujuk untuk pemeriksaan psikologis
 Dokter yang meresepkan harus memberi tahu pasien tentang alternatif yang layak untuk
DWDA, termasuk perawatan kenyamanan, perawatan rumah sakit, dan kontrol rasa sakit.

15
 Dokter yang meresepkan harus meminta, tetapi mungkin tidak mengharuskan, pasien untuk
memberitahu keluarga terdekat dari permintaan resep
 Dokter harus melaporkan ke Otoritas Kesehatan Oregon semua resep obat-obatan
mematikan
 Apoteker harus diberi tahu tentang penggunaan obat yang diresepkan
 Dokter dan pasien yang mematuhi persyaratan DWDA dilindungi dari penuntutan pidana.
 Pilihan DWDA tidak dapat memengaruhi status kebijakan kesehatan atau asuransi jiwa
pasien.
 Dokter, apoteker, dan sistem perawatan kesehatan tidak berkewajiban untuk berpartisipasi
DWDA
Singkatan: DWDA, Death with Dignity Act.
Pelaporan tidak diperlukan jika pasien memulai proses permintaan tetapi tidak pernah
menerimaresep.
Data dari Otoritas Kesehatan Oregon. Death with Dignity Act. Statuta Revisi Oregon. Tersedia di:
http://www.oregon.gov/oha/PH/PROVIDERPARTNERRESOURCES/EVALUATIONRESEARC
H/ DEATHWITHDIGNITYACT / Halaman / ors.aspx. Diakses 30 Maret 2018.

Rangkuman

EOC dan keganasan yang tekait kadang didiagnosis pada tingkat-tingkat lanjutan
sehingga memiliki resiko tinggi untuk terulang. Ditambah lagi, mereka memiliki gejala yang
mengubah hidup tingkat tinggi. Dengan demikian tingkat kelangsungan hidup jangka
panjang dari EOC berulang adalah rendah, dan percakapan individu mengenai intervensi,
termasuk kemoterapi, pembedahan, dapengukuran paliatif, harus dilakukan pada setiap
pengaturan klinis. Konsultasi awal dengan tim perawat paliatif, menurunkan gejala depresi,
meningkatkan penggunaan perawatan akhir hidup yang agresif, sehingga rujukan layanan
hospice menjadi lebih awal, dan khususnya membantu dalam mengatasi, kualitas hidup, dan
penyesuaian berkabung pemberi layanan dan anggota keluarga. Rujukan ke hospice tidak
memperpendek kelangusngan hidup dan berhubungan dengan koontrol gejala yang lebih
baik. Pemanfaatan standar metode realistis dan multidispilin dalam mengoptimasi terapi
paliatif untuk pasien dengan kanker ovarium bisa menghasilkan kualitas hidup yang paling
optimal bagi pasien dan keluarganya.

16
REFERENCES
1. WHO j WHO Definition of Palliative Care. 2012. Available at: http://www.who.int/
cancer/palliative/definition/en/. Accessed February 12, 2018.
2. Smith TJ, Temin S, Alesi ER, et al. American Society of Clinical Oncology provisional
clinical opinion: the integration of palliative care into standard oncology care. J Clin
Oncol 2012;30(8):880–7.
3. Ferrell BR, Temel JS, Temin S, et al. Integration of palliative care into standard
oncology care: ASCO clinical practice guideline update summary. J Oncol Pract
2017;13(2):119–21.
4. Temel JS, Greer JA, Muzikansky A, et al. Early palliative care for patients with
metastatic non-small-cell lung cancer. N Engl J Med 2010;363(8):733–42.
5. Temel JS, Greer JA, El-Jawahri A, et al. Effects of early integrated palliative care in
patients with lung and gi cancer: a randomized clinical trial. J Clin Oncol 2017;
35(8):834–41.
6. Bakitas M, Lyons KD, Hegel MT, et al. Effects of a palliative care intervention on
clinical outcomes in patients with advanced cancer: the Project ENABLE II randomized
controlled trial. JAMA 2009;302(7):741–9.
7. Greer JA, Pirl WF, Jackson VA, et al. Effect of early palliative care on chemotherapy
use and end-of-life care in patients with metastatic non-small-cell lung cancer. J Clin
Oncol 2012;30(4):394–400.
8. El-Jawahri A, Greer JA, Temel JS. Does palliative care improve outcomes for patients
with incurable illness? A review of the evidence. J Support Oncol 2011;9(3): 87–94.
9. Higginson IJ, Evans CJ. What is the evidence that palliative care teams improve
outcomes for cancer patients and their families? Cancer J 2010;16(5):423–35.
10. Kavalieratos D, Corbelli J, Zhang D, et al. Association between palliative care and
patient and caregiver outcomes: a systematic review and meta-analysis. JAMA
2016;316(20):2104–14.
11. Barnholtz-Sloan JS, Schwartz AG, Qureshi F, et al. Ovarian cancer: changes in patterns
at diagnosis and relative survival over the last three decades. Am J Obstet Gynecol
2003;189(4):1120–7.
12. Goff BA, Mandel LS, Melancon CH, et al. Frequency of symptoms of ovarian cancer
in women presenting to primary care clinics. JAMA 2004;291(22):2705–12.
13. Price MA, Bell ML, Sommeijer DW, et al. Physical symptoms, coping styles and
quality of life in recurrent ovarian cancer: a prospective population-based study over
the last year of life. Gynecol Oncol 2013;130(1):162–8.
14. Buck J. Policy and the re-formation of hospice: lessons from the past for the future of
palliative care. J Hosp Palliat Nurs 2011;13(6):S35–43.
15. Lewin SN, Buttin BM, Powell MA, et al. Resource utilization for ovarian cancer
patients at the end of life: how much is too much? Gynecol Oncol 2005;99(2):261–6.
16. Fairfield KM, Murray KM, Wierman HR, et al. Disparities in hospice care among older
women dying with ovarian cancer. Gynecol Oncol 2012;125(1):14–8.
17. Nitecki R, Diver EJ, Kamdar MM, et al. Patterns of palliative care referral in ovarian
cancer: a single institution 5 year retrospective analysis. Gynecol Oncol
2018;148(3):521–6.
18. Fauci J, Schneider K, Walters C, et al. The utilization of palliative care in gynecologic
oncology patients near the end of life. Gynecol Oncol 2012;127(1):175–9.

17
19. Nevadunsky NS, Gordon S, Spoozak L, et al. The role and timing of palliative medicine
consultation for women with gynecologic malignancies: association with end of life
interventions and direct hospital costs. Gynecol Oncol 2014; 132(1):3–7.
20. Zakhour M, LaBrant L, Rimel BJ, et al. Too much, too late: aggressive measures and
the timing of end of life care discussions in women with gynecologic malignancies.
Gynecol Oncol 2015;138(2):383–7.
21. Wright AA, Zhang B, Ray A, et al. Associations between end-of-life discussions,
patient mental health, medical care near death, and caregiver bereavement adjustment.
JAMA 2008;300(14):1665–73.
22. Lowery WJ, Lowery AW, Barnett JC, et al. Cost-effectiveness of early palliative care
intervention in recurrent platinum-resistant ovarian cancer. Gynecol Oncol
2013;130(3):426–30.
23. Lefkowits C, Teuteberg W, Courtney-Brooks M, et al. Improvement in symptom
burden within one day after palliative care consultation in a cohort of gynecologic
oncology inpatients. Gynecol Oncol 2015;136(3):424–8.
24. Mullen MM, Divine LM, Porcelli BP, et al. The effect of a multidisciplinary palliative
care initiative on end of life care in gynecologic oncology patients. Gynecol Oncol
2017;147(2):460–4.
25. Uppal S, Rice LW, Beniwal A, et al. Trends in hospice discharge, documented inpatient
palliative care services and inpatient mortality in ovarian carcinoma. Gynecol Oncol
2016;143(2):371–8.
26. Le T, Leis A, Pahwa P, et al. Quality of life evaluations of caregivers of ovarian cancer
patients during chemotherapy treatment. J Obstet Gynaecol Can 2004;26(7): 627–31.
27. Munkarah A, Levenback C, Wolf JK, et al. Secondary cytoreductive surgery for
localized intra-abdominal recurrences in epithelial ovarian cancer. Gynecol Oncol
2001;81(2):237–41.
28. Gershenson DM. The life and times of low-grade serous carcinoma of the ovary. Am
Soc Clin Oncol Educ Book 2013. https://doi.org/10.1200/EdBook_AM.2013. 33.e195.
29. Jiang G, Balboni T, Taylor A, et al. Palliative radiation therapy for recurrent ovarian
cancer: efficacy and predictors of clinical response. Int J Gynecol Cancer 2018;
28(1):43–50.
30. Cohen ZR, Suki D, Weinberg JS, et al. Brain metastases in patients with ovarian
carcinoma: prognostic factors and outcome. J Neurooncol 2004;66(3):313–25.
31. Geisler JP, Geisler HE. Brain metastases in epithelial ovarian carcinoma. Gynecol
Oncol 1995;57(2):246–9.
32. Gressel GM, Lundsberg LS, Altwerger G, et al. Factors predictive of improved survival
in patients with brain metastases from gynecologic cancer: a single institution
retrospective study of 47 cases and review of the literature. Int J Gynecol Cancer
2015;25(9):1711–6.
33. Ogawa K, Yoshii Y, Aoki Y, et al. Treatment and prognosis of brain metastases from
gynecological cancers. Neurol Med Chir 2008;48(2):57–62 [discussion: 62–3].
34. Anupol N, Ghamande S, Odunsi K, et al. Evaluation of prognostic factors and treatment
modalities in ovarian cancer patients with brain metastases. Gynecol Oncol
2002;85(3):487–92.
35. Kim T-J, Song S, Kim CK, et al. Prognostic factors associated with brain metas- tases
from epithelial ovarian carcinoma. Int J Gynecol Cancer 2007;17(6): 1252–7.
36. Lee Y-K, Park N-H, Kim JW, et al. Gamma-knife radiosurgery as an optimal treatment
modality for brain metastases from epithelial ovarian cancer. Gynecol Oncol
2008;108(3):505–9.

18
37. Growdon WB, Lopez-Varela E, Littell R, et al. Extent of extracranial disease is a
powerful predictor of survival in patients with brain metastases from gynecological
cancer. Int J Gynecol Cancer 2008;18(2):262–8.
38. Wiggans AJ, Cass GKS, Bryant A, et al. Poly(ADP-ribose) polymerase (PARP) in-
hibitors for the treatment of ovarian cancer. Cochrane Database Syst Rev
2015;(5):CD007929.
39. Deandrea S, Montanari M, Moja L, et al. Prevalence of undertreatment in cancer pain.
A review of published literature. Ann Oncol 2008;19(12):1985–91.
40. Rolnick SJ, Jackson J, Nelson WW, et al. Pain management in the last six months of
life among women who died of ovarian cancer. J Pain Symptom Manage 2007;
33(1):24–31.
41. Mystakidou K, Tsilika E, Parpa E, et al. Psychological distress of patients with
advanced cancer: influence and contribution of pain severity and pain interference.
Cancer Nurs 2006;29(5):400–5.
42. Mesgarpour B, Griebler U, Glechner A, et al. Extended-release opioids in the
management of cancer pain: a systematic review of efficacy and safety. Eur J Pain
2014;18(5):605–16.
43. Bennett MI, Graham J, Schmidt-Hansen M, et al, Guideline Development Group.
Prescribing strong opioids for pain in adult palliative care: summary of NICE guidance.
BMJ 2012;344:e2806.
44. Wirz S, Wittmann M, Schenk M, et al. Gastrointestinal symptoms under opioid therapy:
a prospective comparison of oral sustained-release hydromorphone, transdermal
fentanyl, and transdermal buprenorphine. Eur J Pain 2009;13(7): 737–43.
45. Patti JW, Neeman Z, Wood BJ. Radiofrequency ablation for cancer-associated pain. J
Pain 2002;3(6):471–3.
46. Gangi A, Dietemann JL, Schultz A, et al. Interventional radiologic procedures with CT
guidance in cancer pain management. Radiographics 1996;16(6):1289–304
[discussion: 1304–6].
47. de Courcy JG. Interventional techniques for cancer pain management. Clin Oncol
2011;23(6):407–17.
48. Garcia C, Lefkowits C, Pelkofski E, et al. Prospective screening with the validated
Opioid Risk Tool demonstrates gynecologic oncology patients are at low risk for opioid
misuse. Gynecol Oncol 2017;147(2):456–9.
49. Lefkowits C, Duska L. Opioid use in gynecologic oncology; balancing efficacy,
accessibility and safety: an sgo clinical practice statement. Gynecol Oncol
2017;144(2):232–4.
50. Cabezo n-Gutierrez L, Khosravi-Shahi P, Custodio-Cabello S, et al. Opioids for
management of episodic breathlessness or dyspnea in patients with advanced disease.
Support Care Cancer 2016;24(9):4045–55.
51. Suzuki K, Servais EL, Rizk NP, et al. Palliation and pleurodesis in malignant pleural
effusion: the role for tunneled pleural catheters. J Thorac Oncol 2011; 6(4):762–7.
52. Monsky WL, Yoneda KY, MacMillan J, et al. Peritoneal and pleural ports for
management of refractory ascites and pleural effusions: assessment of impact on patient
quality of life and hospice/home nursing care. J Palliat Med 2009; 12(9):811–7.
53. Horn D, Dequanter D, Lothaire P. Palliative treatment of malignant pleural effusions.
Acta Chir Belg 2010;110(1):32–4.
54. Whitworth JM, Schneider KE, Fauci JM, et al. Outcomes of patients with gynecologic
malignancies undergoing video-assisted thoracoscopic surgery (VATS) and
pleurodesis for malignant pleural effusion. Gynecol Oncol 2012;125(3):646–8.

19
55. Kipps E, Tan DSP, Kaye SB. Meeting the challenge of ascites in ovarian cancer: new
avenues for therapy and research. Nat Rev Cancer 2013;13(4):273–82.
56. Garrison RN, Galloway RH, Heuser LS. Mechanisms of malignant ascites produc-tion.
J Surg Res 1987;42(2):126–32.
57. Zebrowski BK, Liu W, Ramirez K, et al. Markedly elevated levels of vascular endo-
thelial growth factor in malignant ascites. Ann Surg Oncol 1999;6(4):373–8.
58. Numnum TM, Rocconi RP, Whitworth J, et al. The use of bevacizumab to palliate
symptomatic ascites in patients with refractory ovarian carcinoma. Gynecol Oncol
2006;102(3):425–8.
59. Hamilton CA, Maxwell GL, Chernofsky MR, et al. Intraperitoneal bevacizumab for the
palliation of malignant ascites in refractory ovarian cancer. Gynecol Oncol
2008;111(3):530–2.
60. El-Shami K, Elsaid A, El-Kerm Y. Open-label safety and efficacy pilot trial of
intraperitoneal bevacizumab as palliative treatment in refractory malignant ascites. J
Clin Orthod 2007;25(18_suppl):9043.
61. Saiz-Mendiguren R, Gomez-Ayechu M, Noguera JJ, et al. [Permanent tunneled
drainage for malignant ascites: initial experience with the PleurX_ catheter]. Radiologia
2010;52(6):541–5.
62. Tapping CR, Ling L, Razack A. PleurX drain use in the management of malignant
ascites: safety, complications, long-term patency and factors predictive of success. Br
J Radiol 2012;85(1013):623–8.
63. Dvoretsky PM, Richards KA, Angel C, et al. Survival time, causes of death, and
tumor/treatment-related morbidity in 100 women with ovarian cancer. Hum Pathol
1988;19(11):1273–9.
64. Tunca JC, Buchler DA, Mack EA, et al. The management of ovarian-cancercaused
bowel obstruction. Gynecol Oncol 1981;12(2 Pt 1):186–92.
65. Bais JMJ, Schilthuis MS, Slors JFM, et al. Intestinal obstruction in patients with
advanced ovarian cancer. Int J Gynecol Cancer 1995;5(5):346–50.
66. Kolomainen DF, Daponte A, Barton DPJ, et al. Outcomes of surgical management of
bowel obstruction in relapsed epithelial ovarian cancer (EOC). Gynecol Oncol
2012;125(1):31–6.
67. Ferguson HJM, Ferguson CI, Speakman J, et al. Management of intestinal obstruction
in advanced malignancy. Ann Med Surg (Lond) 2015;4(3):264–70.
68. Castaldo TW, Petrilli ES, Ballon SC, et al. Intestinal operations in patients with ovarian
carcinoma. Am J Obstet Gynecol 1981;139(1):80–4.
69. Piver MS, Barlow JJ, Lele SB, et al. Survival after ovarian cancer induced intestinal
obstruction. Gynecol Oncol 1982;13(1):44–9.
70. Perri T, Korach J, Ben-Baruch G, et al. Bowel obstruction in recurrent gynecologic
malignancies: defining who will benefit from surgical intervention. Eur J Surg Oncol
2014;40(7):899–904.
71. Mangili G, Aletti G, Frigerio L, et al. Palliative care for intestinal obstruction in
recurrent ovarian cancer: a multivariate analysis. Int J Gynecol Cancer 2005;
15(5):830–5.
72. Larson JE, Podczaski ES, Manetta A, et al. Bowel obstruction in patients with ovarian
carcinoma: analysis of prognostic factors. Gynecol Oncol 1989;35(1): 61–5.
73. Sartori E, Chiudinelli F, Pasinetti B, et al. Bowel obstruction and survival in patients
with advanced ovarian cancer: analysis of prognostic variables. Int J Gynecol Cancer
2009;19(1):54–7.
74. Mercadante S, Ferrera P, Villari P, et al. Aggressive pharmacological treatment for
reversing malignant bowel obstruction. J Pain Symptom Manage 2004;28(4): 412–6.

20
75. Mangili G, Franchi M, Mariani A, et al. Octreotide in the management of bowel
obstruction in terminal ovarian cancer. Gynecol Oncol 1996;61(3):345–8.
76. Campagnutta E, Cannizzaro R, Gallo A, et al. Palliative treatment of upper intes-tinal
obstruction by gynecological malignancy: the usefulness of percutaneous endoscopic
gastrostomy. Gynecol Oncol 1996;62(1):103–5.
77. Rath KS, Loseth D, Muscarella P, et al. Outcomes following percutaneous upper
gastrointestinal decompressive tube placement for malignant bowel obstruction in
ovarian cancer. Gynecol Oncol 2013;129(1):103–6.
78. Pothuri B, Montemarano M, Gerardi M, et al. Percutaneous endoscopic gastrostomy
tube placement in patients with malignant bowel obstruction due to ovarian carcinoma.
Gynecol Oncol 2005;96(2):330–4.
79. DeEulis TG, Yennurajalingam S. Venting gastrostomy at home for symptomatic
management of bowel obstruction in advanced/recurrent ovarian malignancy: a case
series. J Palliat Med 2015;18(8):722–8.
80. Jutzi L, Russell D, Ho S, et al. The role of palliative colorectal stents in gynaecologic
malignancy. Gynecol Oncol 2014;134(3):566–9.
81. Nagula S, Ishill N, Nash C, et al. Quality of life and symptom control after stent
placement or surgical palliation of malignant colorectal obstruction. J Am Coll Surg
2010;210(1):45–53.
82. Jimenez-Perez J, Casellas J, Garcia-Cano J, et al. Colonic stenting as a bridge to surgery
in malignant large-bowel obstruction: a report from two large multinational registries.
Am J Gastroenterol 2011;106(12):2174–80.
83. American Academy of Hospice, Medicine P. Physician-Assisted Dying j AAHPM.
Available at: http://aahpm.org/positions/pad. Accessed February 8, 2018.
84. Oregon Health Authority: Oregon Revised Statute : Death with Dignity Act: State of
Oregon. Available at: http://www.oregon.gov/oha/PH/PROVIDERPARTNER
RESOURCES/EVALUATIONRESEARCH/DEATHWITHDIGNITYACT/Pages/ors.
aspx. Accessed March 30, 2018.
85. Meisel A, Snyder L, Quill T, American College of Physicians–American Society of
Internal Medicine End-of-Life Care Consensus Panel. Seven legal barriers to endof-life
care: myths, realities, and grains of truth. JAMA 2000;284(19):2495–501.

21

Anda mungkin juga menyukai