Anda di halaman 1dari 45

Massa Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersiap

melakukan aksi seusai sholat jumat di Masjid Istiqlal, Jumat (28/4). (FOTO : Republika/
Yasin Habibi)

-
In Picture: Protes Tuntutan Jaksa, GNPF Gelar Aksi Damai Usai Shalat Jumat
Jumat , 28 April 2017, 19:20 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Majelis
Ulama Indonesia (MUI) menggelar aksi simpatik menjaga independensi hakim dalam kasus
dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, pada Jumat
(28/4).

Ratusan massa aksi simpatik tersebut berkumpul di Masjid Istiqlal untuk melaksanakan
Shalat Jumat, setelah itu berangkat ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara di Jalan Gajah Mada,
Jakarta Pusat

Mohamad Amin
Redaktur:
Madani

Jumat , 28 April 2017, 17:28 WIB

Majelis Mujahidin Solo: Ada Kongkalikong Kasus Ahok


Rep: Andrian Saputra/ Red: Agus Yulianto
Republika/Yasin Habibi

Terdakwa kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok (Ilustrasi)
REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Ketua Majelis Mujahidin Solo Irfan Suryahardi Awwas
menilai, adanya politisasi dalam persidangan kasus penistaan agama yang menjerat Gubernur
DKI Jakarta, Basuki Tjahtja Purnama alias Ahok. Kata dia, ada pihak-pihak yang mencoba
‘bersekongkol’ dalam upaya membebaskan Ahok dari jerat hukum.

“Ada kongkalikong, ada politisasi jahat yang merekayasa supaya Ahok terbebas,” kata Irfan
saat menyampaikan orasi dalam akai damai menjaga independensi hakim dalam persidanvan
kasus penistaan Alquran yang berlangsung di bundaran Gladak pada Jumat (28/4) siang.

Dia pun mengungkapkan kekecewaannya terhadap tuntutan jaksa yang hanya menuntut Ahok
dengan tuntutan satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Selain itu, jaksa juga
dianggap telah mengabaikan kesaksian Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf
Amin dalam persidangan.

Sebab itu pula, dalam aksi tersebut Komisi Kejaksaan diminta untuk memeriksa Jaksa
Penuntut Umum karena didugga adanya tekanan dan kepentingan lain selain penegakan
hukum dalam kasus tersebut. “Kita tidak akan berhenti meneriakan kebenaran. Kita serahkan
kepada pengadilan tapi sayang, Jaksa telah mengkhianati keadilan dan rakyat,” katanya.

Sementara aksi tersebut melibatkan berbagai organisasi kemasyarakatan Islam seperti Dewan
Syariah Kota Solo (DSKS), Majelis Mujahidin Indonesia Solo Raya, hingga Dewan Dakwah
Jawa Tengah. Usai shalat Jumat, masa aksi berjalan kaki dari Masjid Kota Barat Solo hingga
Bundaran Gladak di Jalan Slamet Riyadi. Di Bundaran Gladak, masa mendengarkan orasi
dari beberapa tokoh ormas Solo.
Ketua GNPF MUI Bachtiar Nasir bersama anggota GNPF MUI menggelar jumpa pers Aksi
Simpatik 55 di AQL Center, Jakarta, Selasa (2/5). (FOTO : Republika/Yasin Habibi)

-
In Picture: Dukung Independensi Hakim, GNPF Gelar Aksi Simpatik 55
Selasa , 02 Mei 2017, 19:46 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua GNPF MUI Bachtiar Nasir bersama anggota


GNPF MUI menggelar jumpa pers Aksi Simpatik 55 di AQL Center, Jakarta, Selasa (2/5).
gnpf mui, bachtiar nasir, aksi 55, aksi bela islamGerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF)
MUI akan melakukan aksi 5 Mei 2017. Aksi besar-besaran dengan mengundang massa
alumni 212 ini guna mengawal vonis Ahok terdakwa penista agama.

Mohamad Amin
Redaktur:
Madani

Sabtu , 29 April 2017, 16:56 WIB

Ini Kejanggalan JPU yang Menuntut Ahok


Rep: Umar Mukhtar/ Red: Ilham
Republika/Yasin Habibi

Terdakwa kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menyerahkan nota
pembelaaan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat sidang lanjutan di Auditorium
Kementerian Pertanian, Jakarta pada Selasa (25/4), lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Komisioner Komisi Kejaksaan RI, Kaspudin


Nor menyatakan, semestinya jaksa penuntut umum (JPU) dalam kasus dugaan penistaan
agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menuntut mantan bupati Belitung Timur itu dengan
hukuman maksimal. Kalau soal berapa hukumannya, nanti itu masalah hakim.

"Mestinya kejaksaan profesional. Karena mereka ada ruang yang bisa dijadikan dasar untuk
mengambil tuntutan maksimal. Ya ambil aja maksimal. Toh itu ranah hakim yg nanti
mengambil kebijakan. Apakah nanti itu dipertimbangkan pasal 156-nya atau 156a-nya, itu
ranah hakim," ujar dia usai menghadiri diskusi "Ahok, Jaksa dan Palu Hakim," di bilangan
Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (29/4).

Dalam proses pengadilan kasus Ahok tersebut, tutur Kaspudin, jaksa memang sudah tidak
mungkin untuk diganti. Sebab, proses penuntutan pun sudah selesai. Namun, bisa saja nanti
jika perkara ini ada upaya hukum lagi, jaksa tersebut bisa diganti. "Bisa diganti, tapi kalau
perkara ini ada upaya hukum lagi. Tapi repotnya nanti, tuntutan yang seperti itu tidak bisa
lagi bertambah, kecuali hakim (yang menambah hukuman). Jadi satu-satunya jalan adalah
hakim yang menengahi keadilan ini. Jadi jaksa sudah tak bisa lagi. Itu persoalannya," kata
dia.

Kaspudin pun meminta kepada pihak kejaksaan untuk profesional dalam kasus Ahok ini. Hal
ini akan membuat publik percaya terhadap institusi kejaksaan. Namun, jika kejaksaan
memperlihat ketidaprofesionalan, maka akan timbul ketidakpercayaan dari publik.

Menurut Kaspudin, tuntutan jaksa tersebut janggal karena pengenaan pasalnya berbeda
dengan kasus-kasus penodaan agama sebelumnya. Dalam konteks kasus Ahok ini, ada
toleransi yang diberikan jaksa melalui tuntutan tersebut.

"Ada kejanggalan dalam hal penahanan. Kenapa, karena ada toleransi karena ini tidak seperti
kasus-kasus yang lain yang sebelumnya," kata dia.

Kaspudin juga meragukan profesionalisme jaksa dalam mempertimbangkan seluruh alat bukti
yang ada. Sebab, Ahok dikenakan pasal 156 KUHP sebagai salah satu dari pasal alternatif
lainnya, yakni pasal 156a KUHP. "Kenapa alat bukti yang mendukung pasal penodaan
agama, kemudian malah kena pasal 156. Nah ini juga satu kejanggalan yang harus diperiksa.
Ada apa?" kata dia.

Rabu , 03 May 2017, 13:01 WIB

JK Nilai Aksi 55 tidak Perlu Dilakukan


Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Angga Indrawan
ROL/Abdul Kodir
Wakil Presiden Republika Indonesia Jusuf Kalla

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla


menyatakan, rencana aksi 55 sebetulnya tidak perlu lagi dilakukan karena sudah menjadi
urusan pengadilan. Akan tetapi jika tetap akan ada aksi turun ke jalan, pemerintah berharap
aksi tersebut bisa dilakukan dengan tertib dan sesuai aturan.

"Kalau urusan perlu tak perlu pemerintah menganggap tak perlu lagi, karena urusannya sudah
di pengadilan. Cuma orang yang mau turun ke jalan merasa perlu dan ini bagian kebebasan
dalam demokrasi, bahwa unjuk rasa itu dibolehkan," ujar Jusuf Kalla di Jakarta, Rabu (3/5).

Untuk diketahui, aksi 55 ini digagas oleh oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF)
MUI. Mereka akan melakukan long march Mahkamah Agung dan meminta hakim yang akan
memvonis terdakwa kasus penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) diawasi. Sidang
vonis akan digelar di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta pada 9 April 2017.

Jusuf Kalla menjelaskan, pemerintah tidak melarang masyarakat untuk menyampaikan


pendapat. Akan tetapi penyampaian pendapat tersebut harus mematuhi aturan yang berlaku.
"Ada aturannya, jamnya terbatas, jalannya terbatas, juga jumlahnya juga dibatasi, gaduhnya
tak boleh dan keamanan kalau melanggar ditangkap," kata Jusuf Kalla.
Sabtu , 29 April 2017, 16:23 WIB

Dahnil: Dari Penista ke Pendusta Agama


Rep: Fuji EP/ Red: Ilham
istimewa

Dahnil Anzar Simanjuntak

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil


Anzar Simanjuntak mengatakan, selain terjadi kasus penodaan agama oleh Gubernur DKI
Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), kini terjadi perampasan hak orang-orang fakir,
miskin, dan yatim oleh para pendusta agama melalui praktik korupsi.

"Kawan kita marah luar biasa terhadap sang penista dan kita kawal terus sampai proses
hukum akhir. Tapi kawan, ada juga yang sangat mengerikan nan merusak peradaban, yakni
para pendusta agama, sejenak tengoklah Alquran, Surat Al-Maun," kata Sabtu (29/4).

Ia mengungkapkan, kini para pendusta agama melalui praktik korupsi merampas hak-hak
orang fakir, miskin, yatim dan mustad'afin. Praktik korupsi tersebut terstruktur, masif, dan
sistematis. Para pendusta agama tersebut juga melakukan perlawanan balik dengan berbagai
cara untuk melemahkan agenda pemberantasan korupsi.

Ia menerangkan, saat ini, KPK telah dilemahkan secara sistematis dari dalam. Kuda Troya
yang dikirimkan ke dalam KPK sukses memporakporandakan KPK dari dalam. KPK juga
dihajar kuat dari luar dengan berbagai cara. Sehingga terjadi penurunan kepercayaan dan
dukungan publik. Ia menegaskan, konstelasi ini berbahaya bagi pemberantasan korupsi di
Indonesia.

"Kasus Novel Baswedan yang sejatinya bisa mengungkap kejahatan-kejahatan bandit politik
yang bersembunyi dibalik kata mulia hukum dan praktik ternak terorisme terhadap semua
yang membahayakan sumber rente dan kekuasaan, tidak dituntaskan dengan segera. Kasus
Tama S Lakun semoga tidak terulang terhadap Novel Baswedan, dilupakan dan selesai tanpa
penyelesaian hukum, gelap siapa pelakunya," jelasnya.

Dahnil sekali lagi menegaskan, bandit politik bersatu, kenapa publik yang mengharapkan
Indonesia bebas korupsi tidak bersatu? Dia meminta semua orang tidak membiarkan
Indonesia menjadi bangsa yang bertoleransi terhadap korupsi. Lawan korupsi sampai akar-
akarnya.

"Mari bersama ekspresikan berbagai bentuk kontribusi perlawananmu kawan. Mari


berjamaah lawan korupsi, kawal KPK berani. Tuntaskan semua kasus korupsi, lawan angket
DPR RI," katanya.

Kamis , 20 April 2017, 17:15 WIB

Amien Rais Berorasi di Sidang Ahok, Tapi Harapannya


tak Terbukti
Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Teguh Firmansyah
Republika/Raisan Al Farisi
Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tiba untuk
mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Auditorium Kementerian
Pertanian, Jakarta, Kamis (20/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan ketua umum PAN, Amien Rais turut


berpartisipasi dalam orasi masyarakat saat sidang kasus dugaan penodaan agama dengan
terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di depan Gedung Kementrian Pertanian,
Ragunan, Jakarta Selatan pada siang tadi.

Dalam orasinya Amien Rais mengajak seluruh umat Islam bersyukur kepada Tuhan karena
lancarnya gelaran putaran kedua Pilkada DKI pada Rabu (19/4) kemarin. "Alhamdulillah
kemarin rakyat Jakarta telah menentukan pilihannya, rakyat Jakarta tidak bisa diberondong
dengan sembako," kata Amien Rais.

Menurut mantan Ketua MPR RI itu, keinginan umat Islam untuk memiliki gubernur Muslim
akan terwujud karena berdasarkan beberapa hitung cepat pasangan Anies Baswedan dan
Sandiaga Uno unggul atas pasangan pejawat Ahok dan Djarot Saiful Hidayat. "Kemenangan
ini harus kita terima dengan rasa syukur. Kalau bisa puasa senin-kamis, terus berdzikir, Insya
Allah kita akan dimenangkan Allah SWT," ujarnya.
Selain itu, ia juga menyoroti ihwal sidang pembacaan tuntutan agar JPU memberikan
tuntutan sesuai dengan perbuatan Ahok yang diduga melakukan penodaan agama. "Mudah-
mudahan Pak Ahok diberikan hukuman yang maksimal, saya akan mengoreksi bapak-bapak
Polri apabila ada hal tidak kondusif" ujarnya.

Namun harapan Amien tak terbukti. Pada persidangan agenda pembacaan tuntutan menurut
Jaksa Penuntut Umum terdakwa Ahok justru tidak terbukti melakukan penodaan agama
seperti dalam dakwaan pasal 156 a KUHP.

Ahok dituntut dakwaan alternatif pasal 156 KUHP karena melakukan tindak pidana di muka
umum, menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap satu
golongan dengan tuntuan pidana satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.

Baca juga, Tuntutan Ringan Ahok Dianggap tak Logis.

Menurut tim JPU , berdasarkan dari fakta hukum selama persidangan berlangsung,
disimpulkan tidak adanya niat pejawat tersebut melakukan penodaan agama seperti yang
didakwakan oleh JPU.

Salah satu faktanya dapat disimpulkan dari rangkaian perbuatan terdakwa seperti pengalaman
terdakwa ketika mengikuti pemilihan gubernur Provinsi Bangka Belitung 2007 sampai
dengan Pilkada DKI 2017-2022. Menurut JPU tampak bahwa niat terdakwa adalah lebih
ditujukan pada orang lain atau elit politik dalam kontes Pilkada.

"Mengingat kesengajaan Pasal 156 a huruf a KUHP adalah dengan maksud untuk memusuhi
dan menghina agama, maka pembuktian Pasal 156 a huruf a KUHP tidak tepat diterapkan
dalam kasus a quo," jelas Ketua JPU Ali Mukartono di dalam ruang persidangan, Auditorium
Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Kamis (20/4).

Kamis , 20 April 2017, 14:29 WIB

Tuntutan Ringan Ahok Dianggap tidak Logis


Rep: Dadang Kurnia/ Red: Esthi Maharani
Republika/Raisan Al Farisi
Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok berbincang
bersama kuasa hukumnya seusai menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta
Utara, Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis (20/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul


Fickar Hajar menganggap, tuntutan yang dilayangkan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam kasus penistaan agama tidak logis. Apalagi, dalam
unsur memberatkan yang dibacakan jaksa disebut, perbuatan Ahok dapat meresahkan
masyarakat menimbulkan kesalahpahaman antargolongan.

"Tuntutan ini menjadi tidak logis, jika melihat unsur yang memberatkan dari tuntutan, yaitu
perbuatan terdakwa dapat meresahkan di masyarakat dan dapat menimbulkan
kesalahpahaman antar golongan," kata Fickar saat dihubungi Republika, Kamis (20/4).

Fickar juga merasa, tuntutan tersebut tidak adil dijatuhkan terhadap seseorang yang dirasa
mengoyakan rasa perdamaian dalam masyarakat. Terlebih, nilai kerugian akibat keresahan
dalam masyarakat tersebut tidak bisa dihitung karena tidak terhitung.

"Pertanyaannya, berapa nilai kerugian akibat keresahan dalam masyarakat dan


kesalahpahaman yang timbul? Saya kira unliterer, sulit menghitungnya karena tak terhitung.
Jadi tuntutan itu terasa tidak adil bagi seorang yang dirasa mengoyakan rasa perdamaian
dalam masyarakat," kata Fickar.

Seperti diketahui, terdakwa kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok
dituntut hukuman satu tahun penjara dengan dua tahun masa percobaan oleh JPU. Tuntutan
percobaan ini dibacakan JPU dalam sidang ke-20 kasus di auditorium gedung Kementerian
Pertanian RI, Ragunan, Jakarta Selatan, Kamis (20/4).

Selasa , 02 May 2017, 16:26 WIB

Tanggapi Kasus BLBI, JK Anggap Aturan tak Salah


Rep: Rizky Jaramaya / Red: Nur Aini
Republika/ Wihdan Hidayat

Wakil Presiden Jusuf Kalla

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla


mengatakan, kasus dugaan korupsi surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) bukan salah peraturannya. Namun, yang dipersalahkan adalah pihak yang
tidak melaksanakan aturan tersebut dengan baik.

"Ini kan benar yang dikatakan presiden, ini kan dua hal aturan yang dibikin dalam Perpres
dan macam-macam, pasti ada yang berbeda dengan aturan dan pelaksanaan. Tapi yang salah
bukan pengaturannya, tapi pelaksanaannya," ujar Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden,
Jakarta, Selasa (2/5).

Menurut JK, apabila terjadi penyimpangan pada pelaksanaan maka pihak yang bertanggung
jawab adalah pelaksana dari aturan tersebut. "Nah, karena itu yang bertanggung jawab siapa
itu yang melaksanakan, aturan-aturan clean and clear itu. Dan itu masalahnya karena release
and charge. Orang itu dianggap selesai, dikeluarkan dari daftar. Padahal dia belum lunas.
Kalau sudah bayar, ya diputihkan. Jadi bukan aturannya yang salah, tapi pelaksanaannya,"
kata Jusuf Kalla.

Dalam kasus BLBI ini, JK menyatakan, SKL diberikan padahal debitor tersebut belum
melunasi kewajibannya. Oleh karena itu, kesalahan bukan pada aturannya namun pihak yang
bertanggung jawab. Dalam kasus ini, KPK menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka.

Kasus ini berawal pada Mei 2002, Syafruddin menyetujui Komite Kebijakan Sektor
Keuangan (KKSK) atas proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi
atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun. Pada April
2004, Syafruddin malah mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban atau yang disebut SKL
terhadap Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional
Indonesia (BDNI) yang memiliki kewajiban kepada BPPN. SKL tersebut dikeluarkan
mengacu pada Inpres Nomor 8 Tahun 2002 yang dikeluarkan pada 30 Desember 2002 oleh
Megawati Soekarno Putri yang ketika itu menjabat sebagai presiden.

"BLBI ini hanya ada satu hal, adanya blanket guarantee bahwa semua perbankan dijamin
pemerintah jika ada masalah. Itu awalnya sehingga terjadi kebocoran yang luar biasa, akibat
blanket guarantee itu, dan sekarang kita tanggung semuanya," kata Jusuf Kalla.

SKL adalah pemberian jaminan kepastian hukum kepada obligor yang telah menyelesaikan
kewajibannya atau tindakan hukum kepada obligor yang tidak menyelesaikan kewajibannya
berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham. Hal ini juga dikenal dengan Inpres
tentang release and discharge. Berdasarkan Inpres tersebut, BLBI dianggap sudah
menyelesaikan utang walaupun hanya 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham
(JKPS) dalam bentuk tunai, dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

"Pak Rizal Ramli jadi saksi atau ahli, karena dia jadi Menko ekuin di tahun (pemerintahan)
Gus Dur. Padahal ini terjadi di tahun pada pemerintahan Pak Habibie, Gus Dur, dan
Megawati. Tapi itu semua hanya membuat kebijakannya saja. Dan dimulai dari Pak Harto,"
ujar Jusuf Kalla.

Jumat , 28 April 2017, 17:17 WIB

Umat Islam Diminta tak Lelah Mengawal Kasus


Penistaan Alquran
Rep: Andrian Saputra/ Red: Agus Yulianto
Republika/Andrian Saputra

Umat Muslim se-Solo Raya menggelar aksi simpatik menjaga independensi hakim dalam
persidangan kasus penistaan Al Qur’an yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahtja Purnama alias Ahok.

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Dewan Dakwah Jawa Tengah Aris Munandar mengajak umat
Islam untuk tidak lelah dalam mengawal kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki
Tjahaja Purnama atau Ahok. Dia berharap independensi majelis hakim tetap terjaga, sebab
dia menilai, banyak pihak yang mencoba memolitisasi kasus tersebut untuk membebaskan
terdakwa dari jerat hukum.

Seperti di ketahui Majlis hakim Pengadilan Negri Jakarta menjadwalkan sidang pembacaan
putusan kasus tersebut pada Selasa (9/5). “Kita ingin hukum ini ditegakkan, jangan sampai
orang yang mempunyai kedudukan ini seolah dilindungi,” kata Aris dalam orasinya, saat aksi
damai menjaga independensi hakim dalam persidangan kasus penistaan Alquran yang
berlangsung di bundaran Gladak, Jumat (28/4) siang.

Aksi tersebut bertujuan mendorong tegaknya keadilan dalam kasus penistaan Alquran yang
dilakukan Ahok. Peserta aksi mendesak majelis hakim untuk memberikan putusan makaimal
atas kasus tersebut.

Sekretaris Jendral DSKS Tengku Azzar mengatakan, umat Muslim Solo Raya kecewa dengan
tuntutan jaksa yang hanya menuntut Ahok dengan tuntutan satu tahun penjara dengan masa
percobaan dua tahun. Selain itu, jaksa dianggap telah mengabaikan kesaksian Ketua Majlis
Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin dalam persidangan. Padahal, ketua MUI lebih
mengerti tentang sikap keagamaan berkaitan dengan tindakan Ahok yang dinilai telah
menistakan Alquran.

Sebab itu pula, masa meminta komisi Kejaksaan untuk memeriksa jaksa penuntut umum. Dia
menduga adanya tekanan dan kepentingan lain selain penegakan hukum dalam kasus
tersebut.

Dalam kesempatan itu, umat Islam juga diajak untuk memegang teguh dan mengamalkan
ajaran Islam besertta hukumnya. Umat Islam juga diajak untuk membangun kekuatan sosial
dan politik agar mampu mengatur bangsa dan negara dengan keadilan.

“Kita tidak pernah capek untuk menuntut keadilan, kita tak akan lelah sampai yang
menistakan Alquran itu di hukum seberat-beratnya,” kata dia.

Jumat , 28 April 2017, 17:28 WIB

Majelis Mujahidin Solo: Ada Kongkalikong Kasus Ahok


Rep: Andrian Saputra/ Red: Agus Yulianto
Republika/Yasin Habibi
Terdakwa kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Ketua Majelis Mujahidin Solo Irfan Suryahardi Awwas


menilai, adanya politisasi dalam persidangan kasus penistaan agama yang menjerat Gubernur
DKI Jakarta, Basuki Tjahtja Purnama alias Ahok. Kata dia, ada pihak-pihak yang mencoba
‘bersekongkol’ dalam upaya membebaskan Ahok dari jerat hukum.

“Ada kongkalikong, ada politisasi jahat yang merekayasa supaya Ahok terbebas,” kata Irfan
saat menyampaikan orasi dalam akai damai menjaga independensi hakim dalam persidanvan
kasus penistaan Alquran yang berlangsung di bundaran Gladak pada Jumat (28/4) siang.

Dia pun mengungkapkan kekecewaannya terhadap tuntutan jaksa yang hanya menuntut Ahok
dengan tuntutan satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Selain itu, jaksa juga
dianggap telah mengabaikan kesaksian Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf
Amin dalam persidangan.

Sebab itu pula, dalam aksi tersebut Komisi Kejaksaan diminta untuk memeriksa Jaksa
Penuntut Umum karena didugga adanya tekanan dan kepentingan lain selain penegakan
hukum dalam kasus tersebut. “Kita tidak akan berhenti meneriakan kebenaran. Kita serahkan
kepada pengadilan tapi sayang, Jaksa telah mengkhianati keadilan dan rakyat,” katanya.
Sementara aksi tersebut melibatkan berbagai organisasi kemasyarakatan Islam seperti Dewan
Syariah Kota Solo (DSKS), Majelis Mujahidin Indonesia Solo Raya, hingga Dewan Dakwah
Jawa Tengah. Usai shalat Jumat, masa aksi berjalan kaki dari Masjid Kota Barat Solo hingga
Bundaran Gladak di Jalan Slamet Riyadi. Di Bundaran Gladak, masa mendengarkan orasi
dari beberapa tokoh ormas Solo.

Sabtu , 29 April 2017, 15:55 WIB

DPR Ingin Hak Angket KPK, Oce Madril: Buka Data


Hukum Bisa Dipidana
Rep: Singgih Wiryono/ Red: Nur Aini
ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Anggota Komisi III dari Fraksi Nasdem Taufiqulhadi (kanan) memberikan surat usulan
pengajuan hak angket KPK kepada pimpinan DPR dalam Rapat Paripurna di Kompleks
Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (28/4).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli hukum tata negara, Oce Madril mengatakan,
memaksa membuka data-data penegakan hukum adalah sebuah pidana. Larangan membuka
informasi tindak pidana, kata dia, sudah tertuang dalam undang-undang. Hal itu untuk
menanggapi adanya hak angket dari DPR yang ingin meminta KPK membuka data
penyidikan kasus korupsi KTP-elektronik.

"Itu dilarang oleh undang-undang, undang-undang KIP melanggar informasi penegakan


hukum itu dibuka kepada pihak-pihak yang tidak berwenang, itu sudah dinyatakan dalam
undang-undang," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (29/4).

Madril menjelaskan, undang-undang yang dilanggar dalam memaksa membuka informasi


tindak pidana sudah tertuang dalam undang-undang MD3 (Undang-undang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD). Memaksa membuka informasi tindak pidana pada yang tidak berwenang
juga melanggar undang-undang keterbukaan informasi.

"Jadi kalau memaksa menyerahkan data-data tersebut, pertama adalah melanggar Undang-
undang MD3 juga melanggar undang-undang keterbukaan informasi. Pihak-pihak yang
memaksa meminta data penegakan hukum, itu bisa dipidana," ujarnya.

Sebelumnya, pada sidang paripurna DPR RI Jumat (28/4) lalu, telah diputuskan untuk
membuat pansus pembentukan hak angket. Hak angket ditunjukan bagi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyiarkan rekaman Berita Acara Perkara (BAP) dari
Miryam.

Sidang tersebut diwarnai aksi walk out oleh beberapa fraksi. Aksi walk out tersebut
ditenggarai keputusan diambil oleh wakil ketua DPR RI, Fahri Hamzah di saat anggota
dewan masih mengajukan interupsi.

Sabtu , 29 April 2017, 15:22 WIB

Hak Angket KPK Dinilai Gambarkan Konflik


Kepentingan di Internal DPR
Rep: Fauziah Mursid/ Red: Nur Aini
ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Anggota Komisi III dari Fraksi Nasdem Taufiqulhadi bersiap membacakan surat usulan
pengajuan hak angket KPK dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan,
Jakarta, Jumat (28/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Andi
Syafrani menilai bergulirnya hak angket KPK semata-mata karena adanya konflik
kepentingan yang berkaitan dengan DPR RI. Jika tidak berkaitan, ia meyakini tidak akan
sampai DPR menggulirkan hak angket.

"Di sini persoalan serius hak angket ini mengandung conflict of interest kalau kasus itu tidak
menyangkut internal DPR, saya pasti bisa lihat objektif itu pengawasan, kalau misalnya KPK
salah prosedur saya setuju diselidiki tapi karena terkait nama-nama yang punya persoalan ini
makanya ada hak angket," kata Andi.

Hal sama diungkapkan Peneliti dari Formappi Lucius Karus bahwa yang dilakukan Komisi
III DPR RI juga tak mencerminkan mitra yang patuh hukum. Hal ini karena salah satu alasan
hak angket lantaran keinginan Komisi III DPR RI agar KPK membuka rekaman BAP
Miryam. Menurut Lucius, hal ini jelas menyalahi peraturan perundangan mengingat kasus
Miryam saat ini tengah berproses di persidangan.
"Komisi III DPR RI katanya paham hukum tapi kita nggak melihat mereka nampak paham.
Orang hukum di luar sana saja tahu," kata Lucius.

Selain itu, DPR dinilai menerapkan standar ganda dalam menggulirkan hak angket kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini karena alasan DPR yang hendak melakukan
pengawasan hanya berlaku kepada KPK.

Padahal kata Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Donal Fariz,
mitra kerja Komisi III DPR RI yang perlu diawasi tidak hanya KPK tetapi juga Polri dan
Kejaksaan. Ia menilai sejumlah kasus yang ada di tubuh internal kepolisian dan Kejaksaan
lebih tepat untuk dilakukan penyelidikan lantaran berdampak kepada masyarakat luas.

"Kalau alasan mau mengawasi KPK, kok polisi dan jaksa juga nggak ada. Kalau terkait
persoalan anggaran, itu kenapa kasus simulator SIM di Polri tidak diangkat juga, saya setuju
memang diawasi tapi jangan DPR menggunakan standar ganda," kata Donal di Kawasan
Menteng, Jakarta pada Sabtu (29/4).

Menurutnya, dasar alasan lain DPR terkait usulan hak angket berkaitan kasus penegakan
hukum kepada anggota DPR RI Miryam S Haryani dalam kasus dugaan korupsi KTP
Elektronik. Menurutnya, jika kasus tersebut dinilai layak untuk dijadikan angket DPR, masih
banyak kasus lainnya yang lebih pas untuk diperjuangkan DPR RI.

"Ada Siyono yang tewas terduga teroris kemudian dipulangkan dengan tidak bernyawa dan
100 juta penembakan di Palembang kenapa nggak diangket. Apakah BAP Miryam lebih
berharga dibandingkan nyawa," kata Donal.

Rabu , 26 April 2017, 16:16 WIB

Potensi Korupsi di Lingkungan Polri Tinggi, Ini Alasan


Kapolri
Rep: Rizma Riyandi/ Red: Ilham
Republika/Edi Yusuf
Kapolri Jenderal Tito Karnavian.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Kapolri Jendral Tito Karnavian membenarkan tingginya


potensi korupsi di lingkungan kepolisian. Menurutnya, akar permasalahan tersebut terjadi
berasal dari sistem penganggaran yang tidak ideal.

"Celah suap itu ada. Ini memang permasalahan nasional," ujar Tito di Graha Sabha Pramana
UGM, Rabu (26/4).

Menurutnya, selama ini ada sekitar 62 persen anggaran Polri dialokasikan untuk gaji personel
yang mencapai 430 ribu orang. Sedangkan 25 persennya untuk kegiatan operasional. Lalu
sisanya untuk pengadaan alat dan jasa.

Selain gaji, personel juga membutuhkan rumah dan berbagai sarana penunjang kebutuhan
lain. Namun negara belum bisa menyediakan rumah dinas dan berbagai jaminan penunjang
kehidupan. "Dari struktur ini kita bisa lihat potensi korupsi begitu besar," kata Tito.

Menurutnya, anggaran di setiap Polda saja pas-pasan. Begitupun di Polres dan Polsek yang
sering kali kekurangan anggaran. Di sisi lain, jika anggaran untuk penyidikan kurang, pasti
polisi bisa menyalahgunakan kewenangan. Hal tersebut dilakukan untuk menutupi biaya
penyidikan kasus hingga tuntas.

Tito menjelaskan, saat ini penganggaran sebuah kasus di Polri menggunakan sistem indeks,
dengan kategori kasus sangat sulit, sulit, sedang, dan ringan. Adapun indeks untuk kasus
sangat besar senilai Rp 70 juta.

Karena itu, polisi pun membuat prioritas penyelesaian kasus dan seolah-olah menunjukkan
bahwa pihak kepolisian hanya mengurusi kasus-kasus besar yang disorot media. Padahal,
sering kali polisi harus menyelesaikan sebuah kasus dengan uang pribadinya sendiri.

"Misalnya di Yogyakarta ada pembunuhan, indeksnya kasus sulit, atensi masyarakat pun
besar. Nah itu pasti Kapolda harus cari (anggaran) kiri kanan untuk menyelesaikan kasus
tersebut," ujar Tito.

Maka itu, agar bisa menghilangkan potensi korupsi yang ada ia ingin anggaran Polri dibuat
seperti KPK, yakni berdasarkan sistem at cost. Di mana seluruh biaya penyidikan dibebankan
pada negara seluruhnya.

"Kami sebenarnya hanya minta tolong agar negara memberi kami anggaran at cost," kata
Tito. Namun, ia mengakui bahwa permintaan tersebut sulit direalisasikan lantaran jumlah
kasus yang ditangani Polri sangat banyak. Sementara anggaran negara terbatas.

Sabtu , 29 April 2017, 15:22 WIB

Hak Angket KPK Dinilai Gambarkan Konflik


Kepentingan di Internal DPR
Rep: Fauziah Mursid/ Red: Nur Aini
ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Anggota Komisi III dari Fraksi Nasdem Taufiqulhadi bersiap membacakan surat usulan
pengajuan hak angket KPK dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan,
Jakarta, Jumat (28/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Andi
Syafrani menilai bergulirnya hak angket KPK semata-mata karena adanya konflik
kepentingan yang berkaitan dengan DPR RI. Jika tidak berkaitan, ia meyakini tidak akan
sampai DPR menggulirkan hak angket.

"Di sini persoalan serius hak angket ini mengandung conflict of interest kalau kasus itu tidak
menyangkut internal DPR, saya pasti bisa lihat objektif itu pengawasan, kalau misalnya KPK
salah prosedur saya setuju diselidiki tapi karena terkait nama-nama yang punya persoalan ini
makanya ada hak angket," kata Andi.

Hal sama diungkapkan Peneliti dari Formappi Lucius Karus bahwa yang dilakukan Komisi
III DPR RI juga tak mencerminkan mitra yang patuh hukum. Hal ini karena salah satu alasan
hak angket lantaran keinginan Komisi III DPR RI agar KPK membuka rekaman BAP
Miryam. Menurut Lucius, hal ini jelas menyalahi peraturan perundangan mengingat kasus
Miryam saat ini tengah berproses di persidangan.
"Komisi III DPR RI katanya paham hukum tapi kita nggak melihat mereka nampak paham.
Orang hukum di luar sana saja tahu," kata Lucius.

Selain itu, DPR dinilai menerapkan standar ganda dalam menggulirkan hak angket kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini karena alasan DPR yang hendak melakukan
pengawasan hanya berlaku kepada KPK.

Padahal kata Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Donal Fariz,
mitra kerja Komisi III DPR RI yang perlu diawasi tidak hanya KPK tetapi juga Polri dan
Kejaksaan. Ia menilai sejumlah kasus yang ada di tubuh internal kepolisian dan Kejaksaan
lebih tepat untuk dilakukan penyelidikan lantaran berdampak kepada masyarakat luas.

"Kalau alasan mau mengawasi KPK, kok polisi dan jaksa juga nggak ada. Kalau terkait
persoalan anggaran, itu kenapa kasus simulator SIM di Polri tidak diangkat juga, saya setuju
memang diawasi tapi jangan DPR menggunakan standar ganda," kata Donal di Kawasan
Menteng, Jakarta pada Sabtu (29/4).

Menurutnya, dasar alasan lain DPR terkait usulan hak angket berkaitan kasus penegakan
hukum kepada anggota DPR RI Miryam S Haryani dalam kasus dugaan korupsi KTP
Elektronik. Menurutnya, jika kasus tersebut dinilai layak untuk dijadikan angket DPR, masih
banyak kasus lainnya yang lebih pas untuk diperjuangkan DPR RI.

"Ada Siyono yang tewas terduga teroris kemudian dipulangkan dengan tidak bernyawa dan
100 juta penembakan di Palembang kenapa nggak diangket. Apakah BAP Miryam lebih
berharga dibandingkan nyawa," kata Donal.

Jumat , 28 April 2017, 17:17 WIB

Umat Islam Diminta tak Lelah Mengawal Kasus


Penistaan Alquran
Rep: Andrian Saputra/ Red: Agus Yulianto
Republika/Andrian Saputra
Umat Muslim se-Solo Raya menggelar aksi simpatik menjaga independensi hakim dalam
persidangan kasus penistaan Al Qur’an yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahtja Purnama alias Ahok.

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Dewan Dakwah Jawa Tengah Aris Munandar mengajak umat
Islam untuk tidak lelah dalam mengawal kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki
Tjahaja Purnama atau Ahok. Dia berharap independensi majelis hakim tetap terjaga, sebab
dia menilai, banyak pihak yang mencoba memolitisasi kasus tersebut untuk membebaskan
terdakwa dari jerat hukum.

Seperti di ketahui Majlis hakim Pengadilan Negri Jakarta menjadwalkan sidang pembacaan
putusan kasus tersebut pada Selasa (9/5). “Kita ingin hukum ini ditegakkan, jangan sampai
orang yang mempunyai kedudukan ini seolah dilindungi,” kata Aris dalam orasinya, saat aksi
damai menjaga independensi hakim dalam persidangan kasus penistaan Alquran yang
berlangsung di bundaran Gladak, Jumat (28/4) siang.

Aksi tersebut bertujuan mendorong tegaknya keadilan dalam kasus penistaan Alquran yang
dilakukan Ahok. Peserta aksi mendesak majelis hakim untuk memberikan putusan makaimal
atas kasus tersebut.
Sekretaris Jendral DSKS Tengku Azzar mengatakan, umat Muslim Solo Raya kecewa dengan
tuntutan jaksa yang hanya menuntut Ahok dengan tuntutan satu tahun penjara dengan masa
percobaan dua tahun. Selain itu, jaksa dianggap telah mengabaikan kesaksian Ketua Majlis
Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin dalam persidangan. Padahal, ketua MUI lebih
mengerti tentang sikap keagamaan berkaitan dengan tindakan Ahok yang dinilai telah
menistakan Alquran.

Sebab itu pula, masa meminta komisi Kejaksaan untuk memeriksa jaksa penuntut umum. Dia
menduga adanya tekanan dan kepentingan lain selain penegakan hukum dalam kasus
tersebut.

Dalam kesempatan itu, umat Islam juga diajak untuk memegang teguh dan mengamalkan
ajaran Islam besertta hukumnya. Umat Islam juga diajak untuk membangun kekuatan sosial
dan politik agar mampu mengatur bangsa dan negara dengan keadilan.

“Kita tidak pernah capek untuk menuntut keadilan, kita tak akan lelah sampai yang
menistakan Alquran itu di hukum seberat-beratnya,” kata dia.

Jumat , 28 April 2017, 16:50 WIB

Peserta Aksi Ingin Hukum Ditegakkan Terhadap Penoda


Agama
Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Agus Yulianto
Republika/Fuji EP
Ribuan massa GNPF MUI di Masjid Istiqlal berangkat ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara
untuk melakukan aksi simpatik, Jumat (28/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ribuan massa yang tergabung dalam Gerakan Nasional


Pengawal Fatwa (GNPF) Majelis Ulama Indonesia (MUI) memadati Jalan Gajah Mada di
depan Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Mereka menggelar aksi simpatik menjaga
independensi hakim. Aksi tersebut digelar sebagai bentuk protes karena penoda agama tidak
dihukum dengan adil.

Seorang peserta aksi simpatik dari Tanggerang Selatan, Andi (26 tahun) mengatakan, ikut
aksi simpatik bersama GNPF MUI untuk meminta agar hukum ditegakkan seadil-adilnya.
Ikut serta dalam aksi ini juga tidak ada maksud yang berkaitan dengan politik atau yang
lainnya. Ikut aksi hanya ingin keadilan di negeri ini ditegakan.

"Sudah banyak contohnya yang menistakan agama, tapi kenapa yang ini tidak dihukum
dengan adil, yang lain bisa dihukum sampai lima tahun, kenapa yang ini tidak," kata Andi
kepada Republika.co.id, di Jalan Gajah Mada, Jumat (28/4).

Dikatakan Andi, penista agama sebelumanya seperti Lia Eden dan penista agama lainnya
dihukum sesuai Undang-undang (UU). Jadi, harapannya, ingin penegakan hukum di
Indonesia ditegakan kepada penista agama.

Andi mengaku, dari Tanggerang Selatan ada sekitar 150 orang yang ikut aksi simpatik. Ada
yang naik mobil, kereta dan lain sebagainya. Dia mengungkapkan, ikut aksi simpatik bukan
karena ikut ormas Islam, tetapi karena ingin hukum ditegakan.

"Saya tidak ikut ormas apa-apa, saya masyarakat, ini agama saya, agama saya dinistakan saya
masih sakit hati," ujarnya.

Dari pantauan Republika.co.id, di depan Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Jumat (28/4)
pukul 15.30 WIB, aksi simpatik berlangsung tertib. Aksi simpatik tersebut bertujuan untuk
meminta majelis hakim mengambil putusan maksimal terhadap penista agama. Aksi tersebut
juga digelar sebagai bentuk protes kejahatan Jaksa yang membela penista agama.

Jumat , 28 April 2017, 16:29 WIB

Majelis Mujahidin Solo Sebut Ada Kongkalikong Kasus


Ahok
Rep: Andrian Saputra/ Red: Andi Nur Aminah
Republika/Andrian Saputra
Umat Muslim se-Solo Raya menggelar aksi simpatik menjaga independensi hakim dalam
persidangan kasus penistaan Al Qur’an yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahtja Purnama alias Ahok.

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Ketua Majelis Mujahidin Solo Irfan Suryahardi Awwas


menilai, adanya politisasi dalam persidangan kasus penistaan agama yang menjerat Gubernur
DKI Jakarta Basuki Tjahtja Purnama alias Ahok. Dia menilai, ada pihak-pihak yang mencoba
‘bersekongkol' dalam upaya membebaskan Ahok dari jerat hukum.

“Ada kong kalikong, ada politisasi jahat yang merekayasa supaya Ahok terbebas,” kata Irfan
saat menyampaikan orasi dalam akai damai menjaga independensi hakim dalam persidanvan
kasus penistaan Alquran yang berlangsung di Bundaran Gladak, Jumat (28/4) siang.

Dia mengungkapkan kekecewaannya terhadap tuntutan jaksa yang hanya menuntut Ahok
dengan tuntutan satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Selain itu, jaksa juga
dianggap telah mengabaikan kesaksian Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf
Amin dalam persidangan.
Sebab itu pula, dalam aksi tersebut Komisi Kejaksaan diminta untuk memeriksa jaksa
penuntut umum (JPU) karena diduga adanya tekanan dan kepentingan lain selain penegakan
hukum dalam kasus tersebut.

“Kita tidak akan berhenti meneriakan kebenaran. Kita serahkan kepada pengadilan tapi
sayang, jaksa telah mengkhianati keadilan dan rakyat,” katanya.

Sementara aksi tersebut melibatkan berbagai organisasi kemasyarakatan Islam seperti Dewan
Syariah Kota Solo (DSKS), Majelis Mujahidin Indonesia Solo Raya, hingga Dewan Dakwah
Jawa Tengah.

Usai shalat Jumat, masa aksi berjalan kaki dari Masjid Kota Barat Solo hingga Bundaran
Gladak di Jalan Slamet Riyadi. Di Bundaran Gladak, massa mendengarkan orasi dari
beberapa tokoh ormas Solo.

Jumat , 28 April 2017, 13:36 WIB

Polisi Kerahkan 4.600 Personel Amankan Longmarch


GNPF-MUI
Rep: Alfan Tiara Hilmi/ Red: Bilal Ramadhan
Republika/Fuji EP
Massa aksi longmarch yang akan dilakukan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF)
MUI, Jumat (28/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepolisian Resor (Polres) Jakarta Pusat kerahkan 4600


personel untuk mengamankan aksi longmarch yang akan dilakukan Gerakan Nasional
Pengawal Fatwa (GNPF) MUI. Aksi tersebut dilakukan dari Masjid Istiqlal menuju
Pengadilan Negeri Jakarta Utara, di Jalan Gadjah Mada, Jakarta Pusat.

Kepolisian menyatakan jumlah ribuan personil tersebut akan di terjunkan sepanjang rute
longmarch yang akan dilalui massa. "Ada 4.600 personel dari Istiqlal sampai Pengadilan
Jakut juga ada," kata Kapolres Jakarta Pusat, Kombes Suyudi Ario Seto, di Masjid Istiqlal
Jakarta Pusat, Jumat (28/4).

Menurut prediksi kepolisian, ada 1.500 massa yang ikut aksi menuntut hukuman seberat -
beratnya untuk terdakwa kasus penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama. Namun Suyudi
berujar, pihaknya akan berusaha untuk menciptakan suasana aman di tengah ribuan massa
tersebut.

"Prediksi masih 1.500 massa, tetap melakukan antisipasi dengan persiapan semaksimal
mungkin," kata dia.
Suyudi mengatakan, area di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat dikosongkan. Selain itu, ada
beberapa ruas jalan yang dialihkan. Jalan di depan pintu Gereja Katedral akan dialihkan
mengarah ke Jalan Hayam Wuruk dan langsung diarahkan menuju Jalan Gadjah Mada,
Jakarta Pusat.

"Kami melakukan sterilisasi di wilayah Istana Negara. Dari pintu Katedral terus arah
Pecenongan, mengarah Hayam Wuruk nanti langsung masuk ke wilayah pengadilan," kata
Suyudi.

Selasa , 25 April 2017, 08:52 WIB

Penasihat Hukum Ahok Siapkan 634 Halaman Pleidoi


Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Esthi Maharani
Republika/Raisan Al Farisi

Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Salah satu tim penasihat hukum terdakwa kasus dugaan
penodaan agama Basuki Tjahja Purnama, I Wayan Sudirta, mengungkapkan, timmya
menyiapkan ratusan halaman untuk pleidoi terdakwa kasus dugaan penodaan agama Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) dalam sidang lanjutan yang digelar PN Jakarta Utara di Auditorium
Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (25/4). Agenda sidang kali ini
adalah pembacaan pleidoi dari Ahok, setelah sebelumnya pada Kamis (20/4) jaksa penuntut
umum membacakan tuntutannya.

"Kami membacakan 634 halaman (pleidoi) hari ini di luar Pak Basuki. Pak Basuki sendiri,
kami enggak tahu berapa. Orang yang cerdas biasanya pasti tidak panjang-panjang. Orang
yang cerdas pendek bisa mengungkap persoalan. Kami yang tidak terlalu cerdas terpaksa
membikin pleidoi 634 halaman," kata Wayan di gedung Kementerian Pertanian, Ragunan,
Jakarta Selatan, Selasa (25/4).

Wayan menuturkan, dalam menyusun pleidoi, Ahok juga menyusun sendiri pleidoi lantaran
penasihat hukum dan Ahok akan membacakan pleidoi secara terpisah.

"Kami masih kerja dan pada begadang untuk (menyusun) pleidoi itu, merapikan, menyusun,
dan penyempurnaan. Untuk Ahok, dia buat (pleidoi) sendiri," katanya.

Sebelumnya, Wayan sedikit membocorkan tiga materi dalam pleidoi. Dalam pleidoi,
penasihat hukum akan menyoroti alat-alat bukti yang disinggung Pasal 184 ada lima alat
bukti ternyata alat bukti itu tak ditemukan untuk mendukung dakwaan jaksa penuntut umum.

"Keterangan saksi, keterangan ahli, petunjuk, itu tidak memenuhi yang disampaikan jaksa itu
tidak memnuhi syarat KUHAP itu sehingga jadi tidak terbukti," ujarnya.

Kedua, kata dia, apa yang dikerjakan Ahok tidak ada yang bersifat melawan hukum. "Sebuah
tindak pidana tidak bisa didakwa pada terdakwa jika tidak ada melawan hukum pada
perbuatan itu. Justru dia melaksanakan tugas, sedang menyejahterakan rakyat. Tapi kan
nggak ada sifat melawan hukum, itu kedua," katanya.

"Ketiga, poin-poin aja ya, antara lain di sana (Kepulauan Seribu) kan sedang membwa
program budi daya ikan kerapu. Artinya untuk kesejahteraan rakyat. Kalau dia meningkatkan
kesejahteraan rakyat kan sesuai dengan ketentuan Pasal 31 undang-undang pemerintah
daerah. menjalani perintah UU. kalau orang sedang menjalani perintah uu, tidak dapat
dihukum sesuai dengan Pasal 50 KUHP. Itu tiga poin pokok," katanya.

Jaksa sebelumnya menyatakan Ahok bersalah dan melanggar Pasal 156 KUHP. Jaksa
menuntut Ahok satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Dalam tuntutannya,
JPU menganggap Ahok tak terbukti melakukan penodaan agama seperti dalam dakwaan
Pasal 156 a KUHP.

Kamis , 30 March 2017, 13:48 WIB

Ini Perkiraan Jumlah Massa yang Ikut Aksi 313


Rep: Muhyiddin/ Red: Nur Aini
Foto : Gumanti Awaliyah
Sekjen Forum Umat Islam (FUI) Muhammad al Khaththath (tengah) memimpin konferensi
pers Aksi 313, di Aula Masjid Baiturrahman, Jl. Dr. Sudarsono No. 100, Jakarta Selatan,
Kamis (30/3)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Umat Islam (FUI) akan melakukan longmarch


dalam aksi 313 yang akan digelar pada Jumat (31/3) besok. Aksi tersebut merupakan lanjutan
dari aksi serupa sebelumnya yang menuntut agar terdakwa kasus penistaan agama, Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) diberhentikan dari jabatannya. Jumlah peserta aksi tersebut ditarget
panitia bisa 100 ribu orang.

Sekretaris Jenderal FUI, Muhammad Al Khaththath mengatakan, pihaknya sudah melakukan


koordinasi dengan pihak kepolisian empat hari yang lalu. Ia pun yakin tidak ada masalah
dengan Polda dan Mabes Polri. Sementara, kata dia, jumlah massa yang hadir tak dapat
diprediksi dengan pasti.

"Berapa banyak, kita sampaikan kepada Mabes Polri targetnya 100 ribu. Mabes Polri tidak
percaya, karena bisa 500 ribu sampai 1 juta. Karena ini masalah hati nurani tidak bisa
diperkirakan. Aksi bela Islam tidak bisa dipisahkan dari aksi-aksi sebelumnya," ujarnya saat
konferensi pers di Masjid Baiturrahman, Jakarta Selatan, Kamis (30/3).
Massa nantinya akan dipusatkan di Masjid Istiqlal, kemudian akan longmarch melewati Jalan
Merdeka Timur, Kedubes Amerika Serikat, Jalan Merdeka Selatan, kemudian depan Balai
Kota, Patung Kuda, Jalan Merdeka Barat, hingga sampai ke Istana Negara. Khaththath
mengatakan, dalam aksi 313 itu beberapa tuntutan akan disuarakan oleh umat Islam di depan
Istana Negara dan akan mengirimkan delegasi untuk untuk mengingatkan Presiden Joko
Widodo.

Poin-poin tuntutan yang akan disampaikan massa aksi 313 tersebut setidaknya ada empat,
yaitu pertama, terdakwa penista Alquran, Ahok masih bebas berkeliaran, padahal terdakwa
kasus serupa segera ditangkap dan dijebloskan dalam penjara. Tuntutan kedua, Ahok bahkan
dinilai masih jumawa dengan tetap menjabat sebagai Gubemur DKI Jakarta, padahal
terdakwa seharusnya langsung dicopot dari Jabatannya.

Ketiga, dengan dua poin tersebut telah melecehkan masyarakat Islam dan menghilangkan
rasa keadilan, sehingga ini tidak bisa dibiarkan. Keempat, Aksi Bela Islam 313 dibuat oleh
para pimpinan ormas dan seluruh komponen alumni 212 untuk menuntut kepada presiden
Joko widodo agar melaksanakan undang-undang dengan mencobot Gubernur terdakwa, Ahok
(BTP) dari Jabatan Gubernur DKI Jakarta.

Kamis , 30 March 2017, 12:08 WIB

Delegasi Aksi 313 akan Temui Jokowi untuk Berhentikan


Ahok
Rep: Muhyiddin/ Red: Nur Aini
Foto : Gumanti Awaliyah
Sekjen Forum Umat Islam (FUI) Muhammad al Khaththath (tengah) memimpin konferensi
pers Aksi 313, di Aula Masjid Baiturrahman, Jl. Dr. Sudarsono No. 100, Jakarta Selatan,
Kamis (30/3)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Umat Islam (FUI) akan menggelar aksi 313 di
Masjid Istiqlal, Jumat (31/3) besok. Massa aksi akan melakukan longmarch dari Masjid
Istiqlal melewati Jalan Merdeka Timur, Kedubes Amerika Serikat, Jalan Merdeka Selatan,
kemudian depan Balai Kota, Patung Kuda, Jalan Merdeka Barat, hingga sampai ke Istana
Negara.

Sekretaris Jenderal FUI Muhammad Al-Khathtath mengatakan, dalam aksi tersebut pihaknya
akan mengirimkan delegasi untuk berdialog dengan Presiden Joko Widodo.

"Kita kirimkan delegasi untuk berdialog dengan bapak Presiden Jokowi untuk menyampaikan
tuntutan rakyat Indonesia," ujar Al-Khathtath saat menggelar konferensi pers di Masjid
Baiturrahman, Jakarta Selatan, Kamis (30/3).

Ia menuturkan, delegasi yang akan dikirimkan tersebut akan menyampaikan bahwa kepada
Jokowi berkewajiban untuk memberhentikan terdakwa kasus penistaan agama, Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta.
"Kita menyampaikan Presiden berkewajiban menjalani undang-undang, seorang terdakwa
harus diberhentikan. Sudah ada contohnya Ratu Atut," ucapnya.

Ia menegaskan bahwa aksi 313 merupakan aksi damai, sehingga ia pun meminta agar aparat
kemanan menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya. Menurut dia, jika massa aksi
menginginkan kericuhan pasti akan dilakukan diam-diam.

"Kita nggak mau ricuh. Kita transparan. Aksi ini mudah-mudahan damai lancar. Aparat
keamanan menjalani fungsinya. Unjuk rasa dilindungi undang-undang. Dalam perspektif
Islam amal maruf munkar," kata dia.

"Tegakkan keadilan dan kebenaran. Kalau tidak dicopot NKRI bakal jadi negara kesatuan
republik terdakwa," ujarnya.

Kamis , 27 April 2017, 18:52 WIB

Legislator Gerindra Nilai Kejaksaan tak Netral di Kasus


Ahok
Rep: Singgih Wiryono/ Red: Bayu Hermawan
Singgih Wiryono/Republika
Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Syafi'i

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Syafi'i menilai,


jaksa dalam kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)
tidak netral. Menurut Syafi'i, semenjak dipimpin Jaksa Agung Prasetyo, kejaksaan mulai
diragukan netralitasnya.

"Apa yang dilakukan oleh jaksa yang saat ini dipimpin Prasetyo memang tidak pernah netral,
karena dia memang kader partai," ujarnya saat ditemui di gedung DPR RI Nusantara I, Kamis
(27/4).

Politikus Partai Gerindra itu mengatakan, penunjukan Prasetyo sebagai jaksa agung,
sebelumnya sudah sangat mencoreng penegakan hukum. Hal tersebut, kata dia, memalukan
insan pencari keadilan republik ini.

"Menistakan aturan-aturan hukum yang harusnya dijadikan standar dalam memproses pelaku-
pelaku pelanggar-pelanggar hukum," katanya.
Syafi'i menjelaskan, kasus penistaan agama sangat sensitif, karena indonesia memiliki
kebhinekaan dalam suku, agama, dan ras. Oleh karena itu, kata dia, pemerintah sejak awal
tidak ingin ada penistaan agama.

"Maka pada tahun 1994, Mahkamah Agung sudah mengeluarkan surat edaran Mahkamah
Agung Nomor 11 Tahun 1964 untuk menghindari guncangan terhadap kebinekaan yang
sudah dirawat hari ini, MA menginstruksikan terhadap penista agama harus dihukum seberat-
beratnya," katanya.

Jadi, kata dia, seharusnya tuntutan yang begitu ringan terhadap Ahok ini harus dirubah
seberat-beratnya. Kasus Ahok, menurut dia, justru menghinakan pencari keadilan dan malah
menistakan aturan-aturan hukum.

"Lebih daripada itu, sudah mengabaikan bahwa republik ini adalah negara hukum," ujarnya.

Kamis , 27 April 2017, 10:50 WIB

Ahok Dinilai Konsisten Hina Umat Islam


Rep: Singgih Wiryono/ Red: Andi Nur Aminah
Singgih Wiryono/Republika
Anggota Komisi III DPR RI, Muhammad Syafi'i

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI, Muhammad Syafi'i


menilai, Terdakwa kasus dugaan penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) konsisten
menghina umat Islam. Syafii menjelaskan, bukan hanya sekali Ahok menyakiti perasaan
umat Islam, namun hal tersebut dilakukan Ahok secara berulang-ulang.

"Yang dilakukan Ahok bukan hanya di Kepulauan Seribu, dia bahkan sudah mengatakan lagi
akan membuat akun wifi dengan nama Almaidah 51 dengan password kafir. Dia (Ahok)
kampanye di medsos (video) menggambarkan betapa brutalnya umat Islam, sehingga
menimbulkan ketakutan-ketakutan khususnya warga Tionghoa. Saya kira Ahok konsisten
menunjukan betapa dia sangat menghina umat Islam," katanya saat ditemui di gedung
Nusantara I DPR RI, Kamis (27/4).

Syafii mengatakan, keanehan-keanehan juga muncul dalam kasus dugaan penistaan agama
saat Ahok yang menjadi terdakwa. Beberapa di antaranya, Syafi'i mengatakan, Ahok tidak
ditahan sebagai terdakwa dan tidak dinonaktifkan sebagai gubernur padahal berstatus
terdakwa.
"Kemudian tuntutan hukumnya bisa ditunda atas permintaan Kapolda Metro Jaya, dan
akhirnya tidak dituntut dengan pasal 165 a seperti yang dituntutn pada pelaku-pelaku
sebelumnya," jelasnya.

Syafii menilai, jika masih ada yang beranggapan bahwa Ahok belum menistakan agama, ini
adalah pandangan yang sangat keliru. "Dia memang penista agama Islam," ujarnya.

Kamis , 27 April 2017, 10:22 WIB

Din Syamsuddin: Jangan Anggap Remeh Kasus Ahok


Rep: Fuji EP/ Red: Ilham
Republika/ Yasin Habibi

Din Syamsuddin.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia


(MUI) Din Syamsuddin menyampaikan, Indonesia sangat majemuk sehingga memerlukan
toleransi dan kerukunan sejati. Maka tidak boleh ada seseorang atau sekelompok orang
memasuki wilayah keyakinan orang lain guna menjaga kerukunan dan toleransi di negara
yang sangat majemuk.

"Masyarakat Indonesia yang majemuk ini, berdasar agama, suku, bahasa, dan budaya itu
memerlukan toleransi tinggi, memerlukan kerukunan sejati, bukan toleransi dan kerukunan
basa-basi," kata Din usai rapat pleno ke-17 di Kantor MUI, Rabu (26/4) sore.

Ia menerangkan, yang dimaksud kerukunan dan kemajemukan sejati adalah setiap elemen
dan setiap orang harus menghargai orang lain dengan tidak ikut campur keyakinan orang lain.
Sebab, itu merusak kemajemukan dan antikebhinekaan yang nyata.

Namun, Din mengaku sangat sedih ketika ada yang memutarbalikkan kebenaran. Mereka
yang mempersoalkan orang yang melakukan ujaran kebencian dianggap sebagai
antikebhinekaan. Tentu ini merupakan nalar yang rancu.

"Sekali lagi, dalam alam kemajemukkan tidak boleh ada yang memasuki wilayah keyakinan
yang sensitif itu, dalam bentuk apapun," ujarnya.

Ia mengungkapkan, oleh karena itu yang melakukan ujaran kebencian harus diproses dalam
proses hukum. Namun, saat proses hukum atas kasus penodaan agama oleh Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) sudah berjalan sangat lama sampai menguras waktu dan pikiran, tiba-tiba
menyaksikan dagelan penundaan tuntutan tanpa alasan. Bahkan, tuntutannya cenderung
untuk membebaskan.

"Ini kami nilai sebagai permainan terhadap hukum, maka Dewan Pertimbangan MUI tadi
dalam Tausiyah Kebangsaan, jangan menganggap remeh persoalan penistaan agama ini.
Kalau ini dibiarkan dibebaskan itu akan ada ujaran-ujaran kebencian, potensial menimbulkan
perpecahan bangsa ini," katanya.

Kamis , 27 April 2017, 08:32 WIB

Pengamat: Vonis Ahok Jadi Pertimbangan Jokowi


Sebelum Reshuffle
Red: Bilal Ramadhan
Antara/Widodo S. Jusuf
Presiden Joko Widodo (kanan) dan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Lingkar Madani Indonesia Ray


Rangkuti berpendapat, Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih mempertimbangkan putusan
perkara penistaan agama, sebelum memasukkan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada
bursa calon anggota kabinet. "Terkait isu Ahok diangkat jadi menteri, Pak Jokowi pasti akan
lihat hasil persidangan dahulu," kata Ray, dalam diskusi "Reshuffle Jilid III: Konsolidasi
Terakhir Jokowi", di Jakarta, Rabu (27/4).

Menurut dia, hasil putusan perkara tersebut kelak akan memengaruhi kebebasan serta citra
Ahok, sehingga hal itu menjadi salah satu faktor penilaian penting bagi kepala negara. "Ini
makanya kita pahami kalau Pak Jokowi bilang tidak ada perombakan hari ini, dan tidak bulan
ini. Bisa jadi karena masih menunggu," ujar dia.

Kendati demikian, Ray menilai, Ahok tetap memiliki kesempatan yang besar untuk diangkat
menjadi salah satu pembantu kepala negara. "Dia (Ahok) cukup memadai untuk diangkat jadi
anggota kabinet, apalagi keduanya sudah lama bekerjasama saat mengurus DKI Jakarta,"
ujarnya.
Selain pengalaman kolaborasi, kedekatan Ahok dengan Presiden Jokowi juga memberikan
peluang yang besar kepada Ahok untuk diangkat menjadi menteri. "Pak Jokowi juga sudah
tahu tingkah laku Ahok. Jadi, kalau dilihat dari aspek kedekatan, pengenalan, dan kerja sama
itu sudah tidak ada masalah. Satu-satunya adalah masih mempertimbangkan putusan hakim,"
kata Ray.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjadwalkan sidang pembacaan putusan
perkara penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, pada Selasa
(9/5), di auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai