PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak dahulu penyakit Tuberkulosis oleh masyarakat dikenal sebagai
penyakit menular dan merupakan salah satu masalah utama kesehatan di
masyarakat indonesia. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya
penderita tuberkulosis yang ditemukan di masyarakat dan kematian yang
disebabkannya.
Pada tahun 1995, puskesmas merupakan ujung tombak dalam
pelayanan di masyarakat dengan menerapkan strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Short-course). Dengan berjalannya waktu strategi
DOTS telah mulai dikembangkan di Balai Pengobatan Paru-Paru dan di
Rumah Sakit, baik rumah sakit swasta maupun rumah sakit pemerintah.
Pada tahun 2004 survey prevalensi tuberkulosis menunjukkan
bahwa pola pencarian pengobatan tuberkulosis ke rumah sakit ternyata
cukup tinggi, yaitu sekitar 60%. Pasien tuberculosis ketika pertama kali
sakit mencari pengobatan ke rumah sakit. Melihat dari besarnya animo
masyarakat mencari pengobatan tuberkulosis ke rumah sakit, maka
Rumah Sakit Umum Daerah Harapan dan Do’a Kota Bengkulu membuka
pelayanan klinik TB DOTS yang bekerjasama dengan pemerintah dalam hal
ini adalah dinas kesehatan kota Bengkulu.
B. Tujuan
a. Tuberkulosis tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat
Indonesia.
b. Menurunkan angka kesakitan dan kematian tuberculosis untuk
mencapai millenium development goals.
c. Menurunkan resistensi terhadap OAT.
1
c. Menginformasikan dan atau mengirim pasien ke unit TB DOTS
puskesmas atau rumah sakit lain.
d. PKRS berfungsi sebagai pelaksana penyuluhan TB DOTS di rumah
sakit.
D. Batasan Operasional
Batasan operasional dalam pelayanan Tuberkulosis adalah memberi
asuhan keperawatan kepada pasien tuberculosis.
E. Landasan Hukum
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan.
3. Peraturan Pemerintah No 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor.
340/Menkes/PER/ III/2010 Tentang Klasifikasi Rumah Sakit.
5. Keputusan Menteri Kesehatan No. 129 Tahun 2008 Tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2014 Tentang Sistem
Informasi kesehatan
7. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun
2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis
2
BAB II
STANDAR KETENAGAAN
NO JABATAN KRITERIA
-Bersertifikat pelatihan TB DOTS
DOKTER -Minimal dokter umum
1.
-Bersertifikat pelatihan TB DOTS
PERAWAT -Minimal berijazah D3 Keperawatan
2.
-Bersertifikat pelatihan TB DOTS
FARMASI -Minimal berijazah D3 farmasi
3.
-Bersertifikat pelatihan TB DOTS
LABORATORIUM -Minimal berijazah analis
4.
5. RADIOLOGI -Minimal berijazah Radiograver
B. Distribusi Ketenagaan
Untuk distribusi ketenagaan di setiap instalasi ada satu orang
koordinator dan bergabung dalam tim TB DOTS. Untuk waktu kerja
masing-masing koordinator ini disesusaikan dengan kondisi masing-
masing instalasi dimana petugas/tim TB DOTS bekerja.
3
BAB III
STANDAR FASILITAS
A. Denah Ruang
(Ada pada lampiran)
B. Standar Fasilitas
Standart Peralatan Dan Pelaporan Tb Dots Di Instalasi Rawat
Jalan RSUD Harapan dan Do’a Kota Bengkulu
a. Alat keperawatan diruang klinik TB DOTS RSUD Harapan dan Do’a
Kota Bengkulu
1. MEJA 1
2. KURSI 3
3. TEMPAT TIDUR PERIKSA PASIEN 1
4. LEMARI ARSIP 1
5. BOX X-RAY 0
6 STETOSKOP 1
7 TENSIMETER 1
8 TIMBANGAN BADAN 1
9 MASKER 2
10 BUKU PELAPORAN TB 1
4
c. Standart Peralatan dan Pelaporan TB di Laboratorium RSUD Harapan
dan Do’a Kota Bengkulu
NO NAMA BARANG JUMLAH
1. MIKROSKOP 1
2. OBJEK GLASS 1 BOX
3. RAK PEWARNA 1
4. RAK PENGERING 1
5. BUNSEN 1
6. OSE 1
7. PIPET PEWARNA 1
8. HEMOSTAT / PENJEPIT OBJEK GLASS 1
9. LIDI 1
10. KOREK 1
11. REAGEN ZIEHL NEELSEN 1
12. BUKU PELAPORAN 2 ( TB 04,TB 05 )
13. GENE EXPERT 1
5
BAB IV
STRATEGI PELAYANAN
6
4. Memyiapkan tenaga medis, paramedis, laboratorium, rekam medis,
farmasi dan PKRS untuk dilatih DOTS.
5. Membentuk Tim DOTS di rumah sakit yang meliputi unit-unit
terkait dalam penerapan strategi DOTS di rumah sakit.
6. Menyediakan tempat untuk Tim DOTS di dalam rumah sakit sebagai
tempat koordinasi dan pelayanan terhadap pasien tuberkulosis
secara komprehensif (melibatkan semua unit di rumah sakit yang
menangani pasien tuberkulosis).
7. Menyediakan tempat/rak penyimpanan OAT di ruang DOTS.
8. Menyiapkan laboratorium untuk pemeriksaan mikrobiologis dahak
sesuai standar.
9. Mrnggunakan format pencatatan sesuai program tuberkulosis
nasional untuk memantau pelaksanaan pasien.
10. Menyediakan biaya operasional.
C. Pembentukan Jejaring
Rumah sakit memiliki potensi besar dalam penemuan pasien
tuberkulosis (case finding), namun memiliki keterbatasan dalam
menjaga keteraturan dan keberlangsungan pengobatan pasien (case
holding) jika dibandingkan dengan puskesmas. Karena itu perlu
dikembangkan jejaring rumah sakit baik internal maupun eksternal.
Suatu sistem jejaring dapat dikatakan berfungsi secara baik apabila angka
default rate <5% pada tiap rumah sakit.
a. Jejaring Internal Rumah Sakit
Jejaring internal adalah jejaring yang dibuat di dalam rumah sakit
yang meliputi seluruh unit yang menangani pasien tuberkulosis.
Koordinasi kegiatan dilaksanaan oleh Tim DOTS rumah sakit. Tim DOTS
rumah sakit mempunyai tugas perencanaan, pelaksanaan, monitoring
serta evaluasi kegiatan DOTS di rumah sakit. Tim DOTS berada
dibawah komite medik atau Direktur Pelayanan Medik Rumah Sakit dan
dikukuhkan dengan SK Direktur Rumah Sakit.
7
ALUR PENATALAKSANAAN PASIEN TUBERKULOSIS
DI RUMAH SAKIT
IGD Patologi
anatomi/
Patologi klinik
UNIT DOTS RS
Rekam medik
PKRS
Rawat Inap
8
8. PKRS berfungsi sebagai pendukung Tim DOTS dalam kegiatan
penyuluhan.
b. Jejaring Eksternal
Jejaring eksternal adalah jejaring yang dibangun antara dinas
kesehatan, rumah sakit, puskesmas dan UPK lainnya dalam
penanggulangan TB dengan strategi DOTS. Tujuan jejaring eksternal:
1) Semua pasien TB mendapatkan akses pelayanan DOTS yang
berkualitas, mulai dari diagnosis, follow up sampai akhir
pengobatan.
2) Menjamin kelangsungan dan keteraturan pengobatan pasien
sehingga mengurangi jumlah pasien yang putus berobat.
9
ALUR RUJUKAN PENDERITA
TUBERKULOSIS
Informasi Konfirmasi
Penderita, OAT,
TB01, Surat Rujukan
(TB09)
RUMAH PUSKESMAS
SAKIT
TB09
10
BAB V
TATA LAKSANA
11
a. Kontak erat dengan penderita TB BTA positif.
b. Reaksi cepat BCG (timbul kemerahan di lokasi suntikan dalam 3 (tiga) –
7 (tujuh) hari setelah imunisasi BCG.
c. Anoreksia atau nafsu makan menurun disertai gagal tumbuh, berat
badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan kurang yang tidak
naik dalam 1 (satu) bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi.
d. Demam lama (>2 minggu) atau berulang tanpa sebab yang jelas
(singkirkan dulu kemungkinan infeksi saluran kencing, Malaria, demam
typhoid, dan lain-lain).
e. Batuk lama (>3 minggu) dengan menyingkirkan kemungkinan penyebab
lain.
f. Pembesaran kelenjar limfe superficial yang spesifik (leher, axilla,
inguinal).
g. Skrofuloderma.
h. Tes tuberculin positif (> 10 mm)
i. Konjungtivitis fliktenularis.
B. Diagnosis TB
a) Diagnosis TB Paru Dewasa
Diagnosa TB Paru Dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman
TB melalui pemeriksaan dahak mikroskopis. Pada program TB nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan
diagnosa utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan, uji
kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai
dengan indikasi. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan
gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
Selain untuk diagnosis, pemeriksaan dahak digunakan juga untuk
menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 (tiga) spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua
12
hari kunjungan yang berurutan berupa dahak sewaktu- pagi-sewaktu
(SPS).
- S (Sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa
sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari
kedua.
- P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua,
segera setelah bangun tidur pagi, Pot dibawa dan diserahkan
sendiri kepada petugas laboratorium.
- S (Sewaktu): dahak dikumpulkan di laboratorium pada hari
kedua, saat menyerahkan dahak pagi.
Permintaan pemeriksaan dahak BTA SPS menggunakan formulir
TB05 dan dicatat di TB04 (laboratorium) dan TB06 (unit DOTS). Apabila
tidak tersedia formulir TB05, dapat menggunakan lembar permintaan
laboratorium rumah sakit dan akan dipindah ke formulir TB05 oleh
petugas laboratorium.
Semua suspek TB Paru dilakukan pemeriksaan dahak Sewaktu-Pagi-
Sewaktu (SPS), dengan kemungkinan hasil :
a. Semua spesimen atau 2 (dua) dari 3 (tiga) spesimen hasilnya BTA
positif adalah TB
b. Hanya 1 (satu) dari 3 (tiga) spesimen dahak hasilnya BTA positif,
maka pada kasus ini diperlukan foto toraks atau biakan kuman TB
untuk mendukung diagnosis TB atau bukan TB
c. Semua spesimen hasilnya BTA negatif, maka diberikan antibiotika
non OAT non Quinolon selama 2 minggu.
Apabila ada perbaikan gejala maka bukan kasus TB, jika tidak ada
perbaikan maka dilakukan pemeriksaan ulang dahak SPS.
a. 1 saja dari 3 spesimen dahak SPS ulangan hasilnya BTA positif:
TB.
b. Ketiga spesimen dahak SPS tetap negatif maka dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang lainnya termasuk foto thoraks. Dengan
mempertimbangkan hasil pemeriksaan penunjang dokter akan
mennetukan TB atau bukan TB.
Jika suspek TB menolak melakukan pemeriksaan BTA SPS, perlu
dikaji ulang alasan penolakan. Sering kali pasien menolak pemeriksaan
dahak karena alasan di bawah ini:
a. faktor biaya : sarankan pasien untuk melakukan pemeriksaan
dahak BTA SPS di puskesmas terdekat (dari rumah pasien). Jika
13
pasien setuju, beri surat pengantar ke puskesmas dan kalau
memungkinkan kontak petugas TB puskesmas tujuan.
b. Sulit mengeluarkan dahak: sarankan pasien untk banyak minum,
KIE cara berdahak yang efektif (tarik dan keluarkan nafas dalam
beberapa kali, batukkan dahak sekuatnya, dan keluarkan dahak
yang telah dibatukkan dengan cara di-hoek-kan ke pot spulum,
kalau dirasa perlu dapat diberikan mukolitik untuk mempermudah
pengeluaran dahak. Jika dengan cara tersebut masih kesulitan,
diijinkan untuk melakukan pemeriksaan dahak pagi semua.
14
b) Diagnosis TB Anak
Diagnosis TB pada anak adalah hal yang sulit sehingga sering
terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis.
Pada anak yang dapat mengeluarkan dahak, penegakakan diagnosis
TB anak juga harus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis SPS.
Sedangkan pada anak yang tidak memungkinkan untuk dilakukan
pemeriksaan dahak mikroskopis, digunakan kriteria lain berupa
system skor.
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan
system skor. Pasien dengan skor lebih atau sama dengan 6 (enam)
harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (Obat Anti
Tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan
ke arah TB kuat, maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lain
sesuai indikasi untuk memperkuat diagnosis TB seperti bilas
lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang
dan sendi, funduskopi, CT scan , dan lain-lain.
15
(KMS) atau
BB/U <
80%
Demam > 2 minggu
tanpa sebab
jelas
Batuk* > 3 minggu
Pembesaran > 1 cm,
kelenjar jumlah >
limfe koli, 1, tidak
aksila, nyeri
inguinal
Pembengkak Ada
an pembengk
tulang/sendi akan
panggul,
lutut, falang
Foto toraks Nor Kesan TB
mal/
tidak
jelas
Jumlah
16
Seorang pasien TB ekstra paru sangat mungkin juga menderita
TB Paru. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan dahak. Jika
hasil pemeriksaan dahak negatif, dapat dilakukan foto toraks.
C. Pengobatan TB
a. Prosedur dan Tata Cara Pengobatan TB
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai
penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Tidak diperkenankan menggunakan OAT Tunggal
(monoterapi). Penggunaan OAT Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT)
lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh
pengawas menelan obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 (dua) tahap, yaitu tahap awal
(intensif) dan tahap lanjutan.
Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia adalah :
1. Kategori 1 : 2HRZE/4 (HR)3
2. Kategori 2 : 2HRZES/(HRZES)/5(HR)3E3
3. OAT sisipan : HRZE
4. OAT Anak : 2HRZ/4HR
OAT Dewasa
Jenis OAT Sifat Dosis yang
direkomendasikan (mg/kg)
Harian 3x
seminggu
Isiniazid (H) Bakterisid 5 10
(4-6) (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 10
(8-2) (8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 35
(20-30) (30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15
17
(12-18)
Ethambutol (E) 15 30
Bakteriostatik
(15-20) (20-35)
18
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
> 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
20
Isonoasid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampicin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirasinamid 150 300 mg 300 mg
mg
22
universal precaution. Pengobatan TB-HIV sebaiknya dilakukan
dalam 1 UPK untuk menjaga kepatuhan pengobatan.
5. Pasien TB dengan hepatitis akut
Pemberian Oat pada pasien TB dengan hepatitis akut dan
atau klinis ikterik ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami
penyembuhan. Pada keadaan di mana pengobatan TB sangat
diperlukan dapat diberikan Streptomicyn dan Etambutol maksimal
selam 3 (tiga) bulan sampai hepatitisnya menyembuhkan dan
dilanjutkan dengan Rifampicin dan Isoniasid selama 6 (enam)
bulan.
6. Pasien TB dengan kelainan hati kronik
Apabila terdapat peningkatan SGOT dan SGPT lebih dari 3
(tiga) kali normal, OAT tidak diberikan, dan bila telah dalam
pengobatan harus dihentikan.
Apabila peningkatan SGOT dan SGPT kurang dari 3 (tiga)
kali pengobatan dapat dilaksanakan dengan pengawasan ketat.
Pasien dengan kelainan hati pirazinamide tidak boleh digunakan.
Paduan OAT yang dapat digunakan adalah 2RHES/6RH atau
2HES/10HE.
7. Pasien TB dengan gagal ginjal
Isoniasid, Rifampicin, dan Pirazinamid dapat diekskresi
melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa non
toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada
pasien-pasien dengan gangguan ginjal. Strepromycin dan
Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh Karena itu hindari
penggunannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Paduan OAT
yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah
2HRZ.4HR.
8. Pasien TB dengan Diabetes Mellitus
Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampicin dapat
mengurangi efektivitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea)
sehingga dosis obat oral anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin
dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai
pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Hati-hati
pemberian Etambutol karena dapat memperberat kejadian
Retinopathy diabetika.
23
c. Efek Samping OAT dan Penatalaksaannya
Efek Samping Ringan OAT
Efek Samping Penyebab Tata Laksana
Tidak ada nafsu Rifampicin Semua OAT di
makan, mual, sakit minum malam
perut sebelum tidur
Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin
Kesemutan sampai INH Bri vitamin B6
dengan rasa terbakar (piridoxin) 100 mg
di kaki per hari
Warna kemerahan Rifampicin Tidak perlu diberi
pada urin apa-apa, KIE
kepada pasien
25
Tindak lanjut hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
26
Pengobatan Positif Gagal, ganti
(AP) dengan OAT
kategori 2 (dua)
mulai dari
awal. Lakukan
biakan, tes
resistensi atau
rujuk ke
layanan TB
MDR
Pasien baru BTA Akhir Intensif Negatif Berikan
negatif dan foto pengobatan
thoraks tahap lanjutan
mendukung TB sampai
(Kategori 1) dinyatakan
Pengobatan
Lengkap
Positif Gagal, ganti
dengan OAT
kategori 2 (dua)
mulai dari
awal. Lakukan
biakan, tes
resistensi atau
rujuk ke
layanan TB
MDR
Pasien BTA Positif Akhir Intensif Negatif Teruskan
(Kategori 2) pengobatan
dengan tahap
lanjutan
27
Positif Beri sisipan 1
(satu) bulan.
Jika setelah
sisipan BTA
tetap positif :
1. 1.Tahap
lanjutan tetap
diberikan.
2. Lakukan
biakan, tes
resistensi atau
rujuk ke
layanan TB
MDR
Sebulan Negatif Teruskan
sebelum khir pengobatan
Pengobatan Positif Pengobatan
dihentikan,
rujuk ke
layanan TB
MDR
Akhir Negatif Sembuh
Pengobatan Positif Pengobatan
(AP) dihentikan,
rujuk ke
layanan TB
MDR
28
Tatalaksana Pasien Yang Berobat Tidak Teratur
Tindakan pada pasien yang putus berobat kurang dari 1
(satu) bulan
a. Lacak pasien
b. Diskusikan dengan pasien untuk mencarai penyebab
berobat tidak teratur
c. Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai
Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1 (satu) – 2
(dua) bulan
Tindakan 1 Tindakan 2
a. Lacak pasien Bila hasil BTA Lanjutkan
b. Diskusikan dan negatif atau TB pengobatan
cari masalah ekstra paru sampai seluruh
c. Periksa 3 (tiga) dosis selesai
kali dahak Bila 1 atau lebih Lama pengobatan
(SPS) dan hasil BTA positif sebelumnya
lanjutkan kurang dari 5
pengobatan bulan: lanjutkan
sementara pengobatan
sampai seluruh
dosis selesai.
Lama pengobatan
sebelumnya lebih
dari 5 bulan :
Kategori 1 : mulai
kategori 2 (dua)
Kategori 2 : rujuk,
mungkin kasus
TB resistan obat.
Tindakan pada pasien yang putus berobat lebih dari 2 bulan
(Default)
29
a. Periksa 3 kali Bila hasil BTA Pengobatan
dahak (SPS) negatif atau TB dihentikan, pasien
b. Diskusikan dan ekstra paru diobservasi.bila
cari masalah gejala semakin
c. Hentikan parah perlu
pengobatan dilakukan
sambil pemeriksaan
menunggu kembali (SPS dan
hasil atau biakan)
pemeriksaan Bila 1 (satu) atau a. Kategori 1 :
dahak. lebih hasil BTA mulai
positif kategori 2
(dua)
b. Kategori 2 :
rujuk,
kasus TB
resitan
obat.
31
f. Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
32
BAB VI
DOKUMENTASI
33
BAB VII
MONITORING DAN EVALUASI
34
BAB VIII
PENUTUP
35
36