Anda di halaman 1dari 115

KONSEP PENDIDIKAN BUDI PEKERTI MENURUT

KI HADJAR DEWANTARA

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh:

Fathul Musthofa
NIM 1113011000027

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
LENIBAR PENGESAHAN PEMBIN'IBING SKRIPSI

Skripsi berjudul l(onsep Pcndiclikan Budi Pekerti N'{enurut Ki Iladjar


Dervantara clisusun oleli Fathul Nlusttrofa NIM 1113011000027, Jtttusan
pendidikan A-{a1ta Islam^ Fakultas Ilmu'I'arbiyah dan Keguruan, Universitas Islam

Negeri Syarii Hrdayatullah Jakarla. Telah melalui bimbingau dan diuyatakan sah
sebagai karya ilmiah yang berhak untr-rk diujikan pada sidang munaqasah sesuai
ketentuan yang ditetapkan oleh Fakultas.

Jakarta, 20 Agustus 2018

Yang Mengesahkan,

Pembimbing

Drs. H. Achmad Gholib.I\I.As

NIP. 1954101s 197902 1 001


LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH

Skripsi berjudul ooKonsep Pendidikan Budi Pekerti Menurut Ki Hadjar


Dewantara" disusun oleh Fathul Musthofa, NIM 11130i1000027, diajukan
kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian iVlunaqasah pada
tanggal 12 September 2018 di hadapan dewan penguji, karena itu, penulis berhak
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) dalam bidang Pendidikan Agama
Islam.

Jakarta, 12 September 201 8

Panitia Ujian Munaqasah

Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi) Tanggal


qr/
Dr. H. Abdul Majid Khon. M.Ag. -?'o*
NrP. 19580707 198703 | 00s /til .r-r,:
Sekretaris (Sekretaris Jurusan /Prodi)
Hj. Marhamah Saleh. Lc. MA "vlr\
NIP. 19720313 200801 2 010

Dosen Penguji I
Prof. Dr. H. AbuddinNata. MA 4w:add
NIP. 19s40802 198s03 1 002

Dosen Penguji II Zt / n^rd


Dr. Sururin. MA
NrP. 19710319 199803 2 001
t1

Keguruan
STIR{T PERNYATAAN KAR.l-.t ILltl,ttl

l"ang trertanela ta.nganr di bawah ili:


Nauna : Fathul.Musthofa

NIM :t1130110000?7

Noruor HP . 085328t)28235

.Jirusarr : Pendidrkan Agam a.lslanr

.A-laruat J1" Fer:nau'rjaya 06/0-l No,53 Kelru:ahan Popedan, Kecaru.atal


'I'onjong, Kabupaten Brehes, Jawa Tengah. 51271

NTENYATAKAN DENGAN SESUNGGUHNYA

Fahv+xr skripst yang boi'u&"rl K.on-sep Fendictjkan Budi Peherti Mentrrui.K{ tlnd}ar
Ilervantara adelatr bela hasil karl,a sendiri di bawah birnbingiur doseil.:

NamaPembirnbing : Drs. H. Aclulad Gholib, M.Ag

NJP . 19541015 197q02 I rJ01

Dernikian sn"rrat pernyataan iui saya truat dengan sesungguluil'a dan sa1,a siap fir€nerllTra

segala ko.nsekuensi apab.ila terbukti bahrva s.kripsi ini bukart lrastl kiu3,a sendir i.

Jakarta 20 Agusfus 2018

Yang Menyatakan

Irathui N{usthota
ABSTRAK
Fathul Musthofa (NIM. 1113011000027): Konsep Pendidikan Budi Pekerti
Menurut Ki Hadjar Dewantara
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep dan metode pendidikan
budi pekerti menurut Ki Hadjar Dewantara dan relevansinya dengan pendidikan zaman
sekarang. Penelitian ini memberikan manfaat yaitu memperkaya khazanah keilmuan
dalam dunia pendidikan, khususnya bagi peneliti, praktisi pendidikan, dan menjadi
sumber referensi bagi instansi pendidikan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualititatif dengan jenis penelitian
biografi naratif dengan metode pemaparan deskriptif. Jenis penelitian skripsi
menggunakan metode library research yaitu penelitian yang mengacu pada sumber
kepustakaan seperti buku, artikel, jurnal, catatan, dan media elektronik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut Ki Hadjar Dewantara, pusat
pendidikan yang meliputi keluarga, sekolah, dan masyarakat harus saling bekerja sama
dan mengetahui tugas dan fungsinya masing-masing. serta harus ada sosok pendidik
yang berkualitas baik dari sisi keilmuan maupun sisi kepribadian. Selain itu, untuk
membentuk peserta didik yang berkualitas perlu adanya metode yang tepat dalam
mengajar, serta adanya pemberian materi pendidikan yang sesuai menurut
tingkatannya. Intinya pendidikan budi pekerti memiliki cakupan yaitu, kepada Allah,
sesama manusia, dan dengan lingkungan masyarakat. Akhirnya bertujuan untuk
kebahagiaan dunia dan akhirat. Gagasan ini masih relevan dengan berbagai konstitusi
yang berkaitan dengan pendidikan yang ada Indonesia seperti dengan Undang-undang
No 20 Tahun 2003, Undang-undang No. 14 tahun 2005, Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional (Permendiknas) No. 16 tahun 2007 dan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Permendikbud) No 23 tahun 2015.

Kata kunci: Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan Budi Pekerti.

i
ABSTRACT
Fathul Musthofa (NIM. 1113011000027): Concept of Character Education
According to Ki Hadjar Dewantara
The purpose of this study is to find out the concepts and methods of character
education according to Ki Hadjar Dewantara's consideration, and its relevance to
education today. This study provides benefits that enrich knowledge in the world of
education, especially for researchers, education practitioners, and become a source of
reference for educational institutions.
This study uses a qualitative approach with the type of narrative biography
research with descriptive exposure methods. This type of thesis research uses library
research method which is a research that refers to library sources such as books,
articles, journals, notes, and electronic media.
The results of the study shows that according to Ki Hadjar Dewantara, an
education center that includes family school and community must work together and
know their respective duties and functions. and there must be qualified educators from
both the scientific and personality aspects. In addition, to form qualified students there
needs to be an appropriate method of teaching, as well as the provision of educational
materials according to their level. Essentially, character education has a scope that is
to God, fellow human beings, and to the environment. Finally aimed at the happiness
of the word and the hereafter. This idea is still relevant to various constitutions relating
to education in Indonesia such as Law Number 20 of 2003, Law Number. 14 of 2005,
Minister of National Education Regulation Number. 16 of 2007 and Meeting of the
Minister of Education and Culture Number 23 of 2015.

Keywords: Ki Hadjar Dewantara, Character Education.

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt, Tuhan semesta alam yang
telah memberikan petunjuk dan kekuatan serta nikmat dengan izin-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Konsep Pendidikan Budi
Pekerti Menurut Ki Hadjar Dewantara”. Tak lupa shalawat dan salam penulis
sampaikan kepada Nabi besar Muhammad SAW sebagai pembawa risalah dan
Revolusioner dunia juga pada para sahabat dan pengikutnya.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar Sarjana
Pendidikan (S.Pd) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh
banyak dukungan dan saran dari berbagai pihak, sehingga dengan segala kerendahan
hati ucapan terima kasih penulis sampaikan dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta .
2. Dr. Abdul Majid Khon, MA. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang
selalu memberikan kemudahan dalam setiap kebijakan yang beliau berikan
selama penulis menjadi mahasiswa di Jurusan PAI.
3. Marhamah Saleh, Lc, MA. Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam yang
juga memberikan bimbingan dan dukungannya kepada penulis untuk
menyelesaikan studi.
4. Drs. H. Achmad Gholib, M.Ag. Dosen Pembimbing Skripsi yang dengan penuh
kesabaran membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
5. Dosen-dosen civitas academica Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing penulis dari awal masuk hingga

iii
bisa menyelesaikan skripsi ini dan Staf-staf/Karyawan yang membantu proses
administrasi penulis .
6. Keluarga besar penulis, Ayahanda tercinta H. Syahid Irfanto dan Ibunda
tersayang Jamilah serta kedua kakak yang telah mencurahkan cinta luar biasa,
bantuan baik materil maupun moril, nasehat dan doa tak pernah henti sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Keluarga besar PAI 2013, terkhusus teman kelas PAI A yang selalu mendukung
semua kegiatan yang penulis lakukan dan telah bekerja sama dengan baik dalam
pembelajaran dan kegiatan lainnya.
8. Sahabat-sahabatku dari PMII dan grup Bulutangkis “Badminton Legend”
terkhusus M. Rizal Aziz, Ahmad Milki, Zianurrahman Arbi, Aldi Syarifullah
yang selalu memberikan semangat, motivasi dan bantuan kepada penulis.
9. Semua pihak yang penulis tidak bisa sebutkan satu-persatu terima kasih atas
bantuannya dalam penyusunan skripsi ini.
Demikian ucapan terimakasih penulis sampaikan. Penulis hanya bisa
berdo’a semoga bantuan dan bimbingan dari semua pihak dapat diterima oleh Allah
SWT sebagai amal ibadah yang bisa menolong di hari kiamat kelak. Aamiin.
Akhir kata, Tak ada gading yang tak retak, dalam istilah peribahasa
Indonesia. No body is perfect because the man is not angel, dalam istilah bahasa
Inggris. Penulis pun menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
skripsi ini selanjutya. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat
dijadikan rujukan penyusunan skripsi selanjutnya.

Jakarta, 16 Agustus 2018

Penulis

iv
DAFTAR ISI

COVER

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH

LEMBAR PERNYATAAN KARYA ILMIAH

ABSTRAK

ABSTRACT

KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1


B. Identifikasi Masalah ....................................................... 10
C. Pembatasan Masalah ....................................................... 10
D. Perumusan Masalah ....................................................... 11
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian …………………....…...… 11
F. Teknik Penulisan …………………....…...… 12

BAB II LANDASAN TEORI

A. Pengertian Pendidikan Budi Pekerti


1. Pengertian Pendidikan ........................................... 13
2. Pengertian Budi Pekerti ........................................... 16
B. Ruang Lingkup Pendidikan Budi Pekerti ................... 19
C. Metode Pendidikan Budi Pekerti ............................... 26
D. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti ............................... 34

v
E. Hasil Penelitian yang Relevan ........................................... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian .............................. 39


B. Metode Penelitian .......................................... 39
1. Jenis Penelitian………..................................................... 39
2. Sumber Data Penelitian .......................................... 40
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data .................. 41
1. Teknik Pengumpulan Data ........................................... 41
2. Teknik Pengolahan Data .......................................... 42
D. Analisis Data ...................................................... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Biografi Ki Hadjar Dewantara


1. Riwayat Hidup Ki Hadjar Dewantara ............................. 44
2. Latar Belakang Pendidikan Ki Hadjar Dewantara ..... 47
3. Riwayat Perjuangan Ki Hadjar Dewantara ................. 48
4. Karya-Karya Ki Hadjar Dewantara ............................. 52
B. Pembahasan
1. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Budi Pekerti ................. 53
2. Pusat Pendidikan Budi Pekerti
a. Keluarga ................................................................. 57
b. Sekolah ................................................................. 60
c. Masyarakat / Alam Pemuda ......................................... 62
3. Pendidik dan Peserta Didik ......................................... 64
4. Materi Pendidikan Budi Pekerti
a. Taman Indria ................................................................. 68
b. Taman Muda ................................................................. 71

vi
c. Taman Remaja ..................................................... 72
d. Taman Dewasa ..................................................... 72
5. Ruang Lingkup Pendidikan Budi Pekerti ............................. 74
6. Metode Pendidikan Budi Pekerti ......................................... 76
C. Relevansi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Terhadap Zaman
Sekarang ................................................................................ 78

BAB V Penutup

A. Kesimpulan ............................................................................. 87
B. Saran ......................................................................................... 89

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 91

LAMPIRAN-LAMPIRAN

vii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan pada hakikatnya adalah membentuk manusia ke arah yang dicita-
citakan. Sehingga pendidikan memiliki nilai yang sangat strategis dan dirasa sangat
penting dalam pembentukan suatu bangsa. Sebab lewat pendidikanlah akan
diwariskan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa tersebut, Karena itu
pendidikan tidak hanya berfungsi untuk how to know,how to do, dan how to live
together, tetapi juga sangat penting juga adalah how to be.1 Artinya pendidikan
bertujuan agar kita bagaimana untuk tahu, untuk dapat melakukan untuk hidup
bersama, dan untuk menjadi sesuatu.

Pendidikan juga merupakan proses pemanusiaan kembali manusia


(humanisasi) yang berorientasi pada terbentuknya individu yang mampu
memahami realitas dirinya dan masyarakat sekitar, serta mengembangkan
kelengkapan dari semua potensi yang ada pada manusia baik moral, intelektual,
maupun jasmani. Menurut Athiyah Al-Abrasyi dalam buku Ilmu Pendidikan Islam,
mengatakan bahwa tujuan utama dari pendidikan adalah pembentukan akhlak dan
budi pekerti yang mampu menghasilkan manusia-manusia bermoral, berjiwa
bersih, pantang menyerah, berakhlak mulia, dan mampu membedakan antara yang
baik dan buruk, serta selalu mengingat Tuhan nya dalam segala aktivitas yang
dijalani sehari-hari.2

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan pada hakikatnya
adalah membentuk manusia berkualitas bukan hanya dari sisi intelektual saja,
melainkan dari segala aspek yang meliputi kualitas akal, jasmani, dan rohani yang
baik. Artinya disamping seseorang diharapkan memiliki tubuh yang sehat,

1
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2012), Cet.III, h. 8.
2
Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam- Fakta Teoritis-Filosofis & Aplikatif-Normatif, (Jakarta:
Amzah, 2013), Cet. 1, h. 103.

1
2

kecerdasan intelektual yang tinggi, juga memiliki budi pekerti yang luhur dalam
hatinya yang tercermin dalam tingkah lakunya sehari-hari.

Namun dunia pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini memperlihatkan


fenomena yang tidak menyenangkan, serta dihadapkan dengan tantangan yang
sangat hebat. Berbagai masalah yang marak terjadi dan disoroti oleh media akhir-
akhir ini antara lain mulai dari sering terjadinya tawuran antar pelajar, perbuatan
asusila yang dilakukan guru terhadap murid, serta kasus kriminal yang dilakukan
murid terhadap gurunya. Tindakan kriminal tersebut tidak hanya terjadi di kota-
kota besar saja, namun sudah merambah ke daerah-daerah pedesaan juga. Seperti
contoh kasus tawuran pelajar di Sukabumi akhir November 2017 lalu yang sampai
menewaskan salah satu pelajar. Seperti yang diliput detiknews, yaitu :

Kabupaten Sukabumi – Nyawa Rayhan Jamal (17) tak


terselamatkan saat menjalani penanganan medis. Siswa kelas III SMK Lodaya
Sukabumi itu luka parah terkena bacokan senjata tajam di bagian paha. Korban
sempat terlibat tawuran dengan pelajar sekolah lain.
Tawuran pecah di jalan raya Sukabumi-Bogor, Desa Cibolangkaler,
Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, jumat (17/11/2017)
kemarin. Kapolsek Cisaat Kompol Budi Setiana menjelaskan sewaktu kejadian
itu korban bersama teman-temannya tengah melintas di kawasan tersebut.
Rupanya dari arah seberang jalan muncul segerombolan pelajar SMK lain,
kedua kubu itu terlibat aksi saling ledek. Rombongan korban kalah jumlah, aksi
saling kejar pun terjadi.
“Informasi yang kita peroleh dari saksi-saksi dua rombongan pelajar
ini sempat ledek-ledekan, akhirnya terjadi bentrok dan korban terjatuh lalu
dikeroyok SMK yang menjadi lawannya.” Kata Budi di RSUD R Syamsudin
SH, Kota Sukabumi, Sabtu (18/11/2017)
Berbagai senjata tajam menghujani tubuh korban. Setelah itu para
pelaku melarikan diri dan membiarkan tubuh korban tergeletak di pinggir jalan.
Setelah itu teman-teman korban kembali ke lokasi kejadian dan membawa
korban ke RS Bertha Medika Cisaat. Lantaran luka parah, korban dirujuk ke
RSUD R Syamsudin Sukabumi namun nyawanya tidak tertolong. Rayhan
menghembuskan nafas terakhirnya di RSUD R Syamsudin pada sabtu dini
hari.3

3
Syahdan Alamsyah, Tawuran Pelajar di Sukabumi, Rayhan Tewa Terkena Bacokan, 2017,
(https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-3732687/tawuran-pelajar-di-sukabumi-rayhan-tewas-
terkena-bacokan).
3

Selain kasus tawuran antar pelajar di atas, Dunia pendidikan dinodai oleh
tindakan kriminal pelajar terhadap gurunya, seperti kasus yang terjadi di kecamatan
Sekayu, Musi Banyuasin Sumatera Selatan pada akhir tahun lalu. Seperti diliput
oleh Sindonews, yaitu:

SEKAYU - AF (14) siswa Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu


Al Karim Noer nekat menikam gurunya sendiri Kurniasih Awaliyah (35) alias
Asih dengan menggunakan pisau sebanyak 13 kali. Dari informasi yang
dihimpun, peristiwa berdarah tersebut terjadi sekitar pukul 08.15 WIB di
Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu Al Karim Noer yang berada di
Jalan Kolonel Wahid Udi, Kelurahan Soak Baru, Kecamatan Sekayu, Selasa 8
November, penyebabnya adalah lantaran AF tersinggung karena ditegur
gurunya saat dia melakukan kesalahan.4
Dari dua contoh kasus di atas, tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja. Akan
menjadi generasi apa kelak anak-anak kita jika dibiarkan pada kondisi seperti itu.
Karena jika kita tidak segera mencari jalan keluarnya, maka yang ada hanya akan
menghasilkan generasi yang rusak, tidak bermoral dan tidak berbudi pekerti. Jika
generasi kini rusak, lalu bagaimana nasib bangsa ini kedepan. 5 Karena kita tahu
bahwa kasus-kasus di atas hanya segelintir masalah yang terjadi di dunia
pendidikan Indonesia saat ini. Masih banyak kasus kriminal yang dilakukan oleh
para peserta didik. Hal ini menunjukan bahwa telah terjadi kemerosotan moral atau
budi pekerti dalam kehidupan masyarakat kita.

Dari fenomena dan kenyataan di atas juga, sangatlah miris mengingat mereka
adalah manusia-manusia yang berpendidikan justru menodai dunia pendidikan itu
sendiri. Hal ini menjadikan perhatian dalam dunia pendidikan untuk
mengedepankan aspek pendidikan moral atau budi pekerti kepada peserta didiknya
agar kasus-kasus semacam itu tidak terjadi lagi dikemudian hari. Karena kasus
semacam itu adalah akibat dari moral dan budi pekerti yang kurang tertanam dalam

4
Amarullah Diansyah, Tersinggung, Siswa SMP Nekat Tikam Guru 13 Kali,2017,
(http://daerah.sindonews.com/read/1153906/190/tersinggung-siswa-smp-nekat-tikam-guru-13-
kali-1478666066).
5
Nurul Zuriah. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008), Cet. 2, h. 160.
4

hati seseorang sehingga kerap kali melakukan hal-hal yang buruk yang berujung
pada pelanggaran hukum.

Padahal dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional disebutkan : “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.6

Selanjutnya dalam bab II pasal 3 dijelaskan bahwa: “Sistem Pendidikan


Nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab”.7

Sungguh ideal sekali tujuan pendidikan nasional yang dicita-citakan oleh


bangsa kita ini, namun fenomena yang terjadi seperti kasus yang disebutkan di atas
menandakan bahwa tujuan pendidikan yang seharusnya menghasilkan peserta didik
yang berbudi pekerti baik belum dapat diwujudkan secara baik.

Di dalam Islam tujuan pendidikan juga disebutkan yaitu mendidik budi pekerti.
Oleh karenanya pendidikan budi pekerti atau akhlak merupakan jiwa dari
pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan
sesungguhnya dari proses pendidikan.8

Perlu diingat bahwa peristiwa-peristiwa di atas bukan hanya tanggung jawab


salah satu pihak saja, misalnya sekolah. Karena seperti kita ketahui bahwa
kehidupan peserta didik lebih banyak dilakukan di luar sekolah, yaitu di dalam
keluarga dan lingkungan masyarakat. Namun hal ini bukan berarti sekolah dapat

6
Tim Penyusun, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Jakarta: Depdiknas, 2003), Cet. I, h. 5.
7
Ibid., h. 4.
8
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004),
h. 171.
5

lepas tangan begitu saja, karena peristiwa-peristiwa semacam itu merupakan


gambaran buramnya pendidikan kita. Sekolah dianggap belum mampu merubah
sifat-sifat tercela yang ada pada peserta didik dengan menggantinya dengan sifat-
sifat terpuji sesuai dengan amanat undang-undang yang tujuannya menciptakan
manusia berbudi pekerti luhur.

Dari persoalan di atas, Abdul Majid dan Dian Andayani dalam bukunya yang
berjudul Pendidikan Karakter Perspektif Islam menghimpun beberapa pendapat
praktisi pendidikan dengan menyebutkan bahwa rendahnya budi pekerti, moral dan
karakter seseorang disebabkan oleh tiga faktor, yaitu:9

Pertama, kebiasaan diri sendiri. Menurutnya kebiasaan buruk yang ada pada
diri seseorang menyebabkan seseorang tersebut memiliki moral, akhlak yang buruk.
Kebiasaan kebiasaan buruk tersebut terbagi dalam beberapa bentuk, seperti
kebiasaan memperlakukan diri sendiri, kebiasaan memperlakukan lingkungan,
kebiasaan yang merugikan ekonomi, dan kebiasaan dalam bersosial. Kebiasaan-
kebiasaan tersebut antara lain seperti meremehkan waktu, membuang sampah
sembarangan, konsumtif, dan kebiasaan jarang mendengarkan pendapat orang lain.

Kedua, sistem pendidikan yang salah. Menurutnya sistem pendidikan yang


kurang menekankan pada pendidikan karakter melainkan lebih menekankan pada
pengembangan intelektual akan mengakibatkan degradasi moral pada seseorang

Ketiga, kondisi lingkungan yang buruk. Menurutnya kondisi lingkungan yang


buruk dan kurang mendukung pembangunan karakter yang baik akan berdampak
pada seseorang yang tinggal di lingkungan tersebut. Lingkungan yang buruk akan
mempengaruhi pergaulan seseorang sehingga memunculkan pergaulan bebas.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pada intinya rendahnya moral
seseorang disebabkan oleh diri sendiri, lingkungan, dan sistem pendidikan yang
kurang tepat. Selanjutnya pada jurnal pendidikan yang membahas tentang
kemerosotan moral dikalangan remaja, Diah Ningrum menyebutkan ada empat

9
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2011), h.54.
6

faktor yang menyebabkan kemerosotan moral, yaitu: Lingkungan baik sekolah


maupun tempat bermain, kemajuan teknologi, sifat keingintahuan remaja, dan
terakhir adalah faktor orang tua.10

Dari kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kemerosotan akhlak


seseorang disebabkan oleh faktor internal (dari dalam) dan faktor eksternal (dari
luar). Faktor internal yang dimaksud adalah faktor dari diri seseorang itu sendiri,
dan yang kedua faktor eksternal yang meliputi lingkungan sekolah, lingkungan
keluarga, dan lingkungan tempat bermain yang ketiganya juga dipengaruhi oleh
kemajuan teknologi yang semakin pesat.

Dari beberapa faktor tersebut maka akan menimbulkan sifat-sifat yang buruk
yang tentu akan merusak peradaban manusia yaitu sifat Al-Akhlaku al-
Madhmumah atau perbuatan buruk terhadap Tuhan, sesama manusia dan makhluk
makhluk yang lainnya.

Pendidikan budi pekerti atau akhlak memberikan peranan penting bagi


kehidupan, baik yang bersifat individual maupun kolektif, sehingga Allah SWT
mewahyukan kepada Rasulullah untuk memberikan pendidikan akhlak kepada
keluarga, sahabat dan umatnya. Sebagaimana diketahui bahwa misi diutusnya Rasul
adalah untuk menyempurnakan akhlak atau budi pekerti umat manusia.
Sebagaimana hadits Nabi, yaitu :

11
‫ت ِِلُتَِم َم َم َكا ِرَم ْاِلَ ْخ ََل ِق‬
ُ ْ‫إِ مَّنَا بُِعث‬
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.”
Misi keRasulan yang telah dijelaskan pada hadits di atas adalah untuk
memperbaiki akhlak umatnya. Akhlak yang dimaksud dalam hadits di atas sepadan
dengan budi pekerti. Oleh karena misinya sebagai pengemban perbaikan budi

10
Diah Ningrum, Kemerosotan Moral di Kalangan Remaja: Sebuah Penelitian Mengenai
Parenting Styles dan Pengajaran Adab, Jurnal UNISIA, Vol. XXXVII, 2015, h. 24
11
Imam Abi Bakar Ahmad bin al-Hussaini al Baihaqi, Sunan al-Kubro, (Lahore: Maktaba
Rahmania, t.t.) h. 450.
7

pekerti maka Rasulullah selalu menunjukan uswah hasanah, yaitu suri teladan yang
baik yang wajib diikuti oleh seluruh umatnya dalam segala aspek kehidupan.

Khusus dalam akhlak, Allah SWT. memuji beliau dengan diiringi sumpah :

‫ك لَ َعلَ ٰى ُخلُ ٍق َع ِظ ٍيم‬


َ ‫َوإِنم‬
“Dan Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang
luhur”(Q.S al-Qalam [68] : 4 )
Nabi Muhammad SAW. pun mengabarkan bahwa orang yang paling sempurna
keimanannya di antara umatnya adalah yang paling baik budi pekerti atau
akhlaknya. Dalam haditsnya beliau bersabda :

‫سنُ ُه ْم ُخلُاقا (رواه الرتمذ ى‬ ِ ِ‫اَ ْكمل الْم ْؤِمن‬


ْ ‫ْي ا ْْيَ ااًن أ‬
َ ‫َح‬ َْ ُ ُ َ
12)

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling bagus
akhlaknya” (H.R Tirmidzi)
Dengan demikian, sepatutnya seorang muslim berusaha dan bersemangat
untuk memiliki akhlak dan budi pekerti yang baik yang merujuk pada Rasulullah
SAW. sehingga tercipta pribadi yang dapat membedakan suatu perbuatan yang baik
dan buruk, perbuatan yang etis dan tidak etis, benar dan salah, dan hal lain yang
menyangkut etika individu maupun sosial.

Selain Nabi Muhammad SAW yang telah menjelaskan bahwa tujuan utama
dalam pendidikan adalah kesempurnaan akhlak, tokoh pendidikan barat seperti
Socrates juga berpendapat bahwa tujuan paling mendasar dari pendidikan adalah
untuk membentuk seseorang yang good dan smart. Hal ini dipertegas juga oleh
tokoh pendidikan barat yang sangat mendunia seperti Klipatrick, Lickona, Brooks,
dan Goble. Mereka seakan menggemakan kembali gaung yang disuarakan oleh
Nabi Muhammad SAW dan Socrates. Bahwa moral, akhlak, karakter, budi pekerti
adalah tujuan yang tak terhindarkan dari dunia pendidikan.13

12
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah at-Tirmidzi, Jami’u Tirmidzi, (Riyadh: International
Ideas Home Inc, t.t.), h. 206.
13
Abdul Majid, op. cit., h. 2.
8

Selaras dengan pendapat di atas, Ki Hadjar Dewantara sebagai tokoh


pendidikan Indonesia yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional dapat
dijadikan acuannya dalam upaya membentuk budi pekerti yang baik terhadap
peserta didik, karena ia telah meletakkan dasar yang kuat dalam bidang pendidikan
bangsa Indonesia serta mempunyai konsep yang ideal di bidangnya khususnya
tentang pendidikan budi pekerti.

Ki Hadjar Dewantara suskes mendirikan lembaga pendidikan Tamansiswa


yang sesuai dengan tujuan pendidikan yang dicita-citakannya. Konsep
pendidikannya adalah daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti
(kekuatan batin dan karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak. Sehingga
Tamansiswa sebagai lembaga pendidikan yang ia bangun tidak boleh dipisahkan
dari bagian-bagian itu.

Pandangan Ki Hadjar Dewantara di atas menunjukan bahwa ia memandang


pendidikan sebagai proses yang dinamis dan berkesinambungan, serta tersirat pula
wawasan kemajuan pada nya. Karena sebagai suatu proses pendidikan harus
mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Keseimbangan unsur cipta, rasa
dan karsa yang tidak dapat dipisahkan pun memperlihatkan bahwa Ki Hadjar
Dewantara tidak memandang pendidikan hanya sebagai proses penularan atau
transfer ilmu pengetahuan belaka.14

Ki Hadjar Dewantara juga dikenal sebagai tokoh Bumi Putera yang memiliki
dedikasi yang tinggi terhadap nasib bangsa Indonesia dengan membawa spirit
kerakyatan.15 Ajarannya yang terkenal ialah, ing ngarsa sung tulada (di depan
memberi contoh teladan yang baik), ing madya mangun karsa (di tengah
menciptakan peluang dan memberi semangat), dan tut wuri handayani (di belakang
memberi dorongan). Kontribusi pemikiran Ki Hadjar dewantara salah satunya
mengatakan bahwa lingkungan pendidikan dalam menginternalisasi nilai-nilai budi
pekerti kepada anak tidak hanya terbatas di lingkungan sekolah, melainkan lebih

14
Zuriah, op. cit., h. 122.
15
Haidar Musyafa, Sang Guru, Novel Biografi Ki Hadjar Dewantara, Kehidupan, Pemikiran,
dan Perjuangan Pendiri Tamansiswa (1889-1959), (Jakarta:Imania, 2015), h. 27.
9

luas yang mencakup keluarga dan masyarakat juga. Hal ini kemudian kita kenal
dengan istilah Tri Pusat Pendidikan.

Menurut Ki Hadjar Dewantara juga dalam salah satu karya fenomenalnya yang
berjudul Bagian Pertama : Pendidikan, mengatakan bahwa pendidikan merupakan
daya dan upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin,
karakter), pikiran (intelektual) dan tubuh anak agar dapat memajukan
kesempurnaan hidup yaitu kehidupan anak yang sesuai dengan dunianya.16
Menyadari hal tersebut, maka Ki Hadjar Dewantara berusaha menjadikan sekolah
Tamansiswa sebagai wahana kebebasan bagi anak-anak. Tujuannya agar anak-anak
yang belajar di sekolah Taman Siswa mendapatkan kebebasan untuk
mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Selain mengembangkan daya pikir dan nalar, sekolah di Tamansiswa Ki Hadjar


Dewantara juga menekankan pendidikan budi pekerti dengan tujuan agar karakter
anak dapat terbentuk dengan baik.17 Menurutnya bahwa pengajaran budi pekerti
tidak lain adalah “Menyokong perkembangan hidup anak-anak lahir dan batin, dari
sifat kodrati nya menuju arah peradaban dalam sifatnya yang umum. Pengajaran ini
berlangsung sejak anak-anak hingga dewasa dengan memperhatikan tingkatan
perkembangan jiwanya”.18

Menurut pandangan Ki Hadjar Dewantara, pendidikan budi pekerti


menekankan pada pembentukan karakter, perilaku dan kepribadian melalui suatu
pembiasaan berbuat baik yang dilakukan sejak kecil hingga dewasa. Artinya
pendidikan budi pekerti yang dimaksudkan Ki Hadjar Dewantara bukanlah
mengajarkan teori-teori tentang baik dan buruk berserta dalilnya yang sangat rumit.
Melainkan pembiasaan berbuat baik yang dilakukan setiap hari hingga perbuatan

16
Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, Cetakan IV, (Yogyakarta: MLPTS,2011),
h. 14.
17
Ibid., h. 290.
18
Ibid., h. 485.
10

tersebut mendarah daging pada jiwa seorang anak. Sehingga mengajarkan teori-
teori dan dalil bernilai sebagai penguat dan alat saja bukan tujuan.19

Berdasarkan paparan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana


sebuah konsep pendidikan budi pekerti dari tokoh Pendidikan Indonesia terkemuka,
memiliki pengaruh besar, memiliki sebuah karya tulis yang berkenaan dengan
pendidikan, serta berdasarkan latar belakang kebangsaaan Nasional sebagai warga
Indonesia. Sehingga kedepannya tercipta sebuah konsep pendidikan budi pekerti
yang dapat membentuk budi pekerti yang baik secara individu maupun
berkelompok sekaligus mengingatkan akan pentingnya tokoh serta karya
fenomenalnya tersebut sebagai pedoman untuk membentuk budi pekerti yang baik
yang akhirnya dapat memecahkan masalah-masalah moral yang terjadi di negeri
ini. Oleh karena itu penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul “Konsep
Pendidikan Budi Pekerti Menurut Ki Hadjar Dewantara”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka penulis


mengidentifikasi masalah yang ditemukan sebagai berikut :

1. Tujuan pendidikan yang seharusnya menghasilkan peserta didik yang


berbudi pekerti luhur belum terwujud secara baik.
2. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi memiliki dampak negatif
pada rendahnya budi pekerti seseorang.
3. Guru dipandang sebagai satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas
fenomena rendahnya budi pekerti siswa.
4. Belum banyak masyarakat yang mengetahui pemikiran Ki Hadjar
Dewantara tentang konsep pendidikan budi pekerti.
C. Pembatasan Masalah

Mengenai konsep pendidikan di Indonesia telah banyak dikemukakan oleh


tokoh pendidikan Indonesia itu sendiri, namun tentunya berbeda kontennya karena

19
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), h. 140.
11

perbedaan latar belakang dari masing-masing tokoh. Selain itu bahasan mengenai
konsep pendidikan memiliki ragam yang berbeda.

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka penulis membatasi masalah


yang akan diteliti yaitu hanya pada “Konsep pendidikan budi pekerti menurut Ki
Hadjar Dewantara” yang berkaitan dengan hakikat pendidikan budi pekerti serta
kewajiban pendidik dan peserta didik dalam pembentukan budi pekerti.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan Identifikasi dan Pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas,


maka penulis merumuskan masalah yang dikaji sebagai berikut :

1. Bagaimana konsep pendidikan budi pekerti menurut Ki Hadjar Dewantara?


2. Apa relevansi pemikiran Ki Hadjar Dewantara terhadap pendidikan zaman
sekarang?

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian


1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan Permasalahan di atas, maka dirumuskan tujuan


Penelitian sebagai berikut :

a. Mengetahui konsep pendidikan budi pekerti menurut Ki Hadjar


Dewantara
b. Mengetahui bagaimana relevansinya dengan pendidikan pada zaman
sekarang.
2. Manfaat Penelitian
Dengan diselesaikannya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan
manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.
1. Secara Teoritis
Dari penelitian ini diharapkan mendapatkan data dan fakta yang sesuai
dengan pokok-pokok konsep pendidikan budi pekerti perspektif Ki Hadjar
Dewantara sehingga dapat menjadi solusi alternatif untuk pendidikan budi
pekerti di Indonesia.
12

2. Secara Praktis
a. Bagi penulis, sebagai latihan dalam penulisan ilmiah sekaligus
memberikan tambahan khazanah atau wawasan keilmuan seorang Ki
Hadjar Dewantara mengenai pemikirannya terhadap pendidikan budi
pekerti.
b. Bagi civitas akademik, hasil penelitian ini dapat menjadi sumber
referensi perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sehingga hasil
penelitian ini dapat menjadi pustaka bagi para peneliti selanjutnya
yang ingin mengkaji tentang konsep pemikiran tokoh pendidikan
Indonesia.
c. Bagi masyarakat, untuk menambah wawasan literatur dan sumber
referensi mengenai konsep pendidikan budi pekerti dari tokoh
Indonesia.
d. Bagi Pemerintah, dapat berguna dalam menyusun dan
mengembangkan kerangka pendidikan yang menitikberatkan kepada
pembangunan Indonesia yang beradab dan bermartabat sesuai dengan
cita-cita bangsa Indonesia sendiri.
F. Teknik Penulisan

Teknik penulisan skripsi ini berpedoman kepada Buku Pedoman Skripsi


Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Tahun 2015, dengan pengecualian bahwa Al-
Qur’an dan terjemahnya tidak diberikan nama footnote, melainkan dikutip langsung
dari Al-Qur’an dan Terjemah terbitan Kementerian Agama Republik Indonesia
Tahun 2005, dan diketik dengan satu spasi.
BAB II
LANDASAN TEORITIS TENTANG BUDI PEKERTI

A. Pengertian Pendidikan Budi Pekerti


Untuk memahami pengertian dari pendidikan budi pekerti, terlebih dahulu
harus mengetahui masing-masing pengertian dari pendidikan dan pengertian dari
budi pekerti.
1. Pengertian Pendidikan
Dalam bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata “didik” dengan
memberikan awalan “pe” dan akhiran “an”, mengandung arti “perbuatan” (hal,
cara, dan sebagainya). Kata pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani
yaitu paedagogos yang berarti pergaulan dengan anak-anak.1 Dalam konteks
Islam, pendidikan secara bahasa (lughatan) ada tiga kata yang digunakan, ketiga
kata tersebut, yaitu (1) al-tarbiyah yang artinya bertambah, membimbing, dan
berkembang (2) al-ta’lim yang artinya mengajar dan (3) al-ta’dib yang artinya
memberi adab. namun dalam perkembangannya, kata tarbiyah dinilai lebih
banyak digunakan dalam istilah pendidikan.2
Walaupun dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara jelas mengenai pengertian
pendidikan, namun di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang mengarah
kepada pendidikan, seperti yang disebutkan dalam Q.S Al-Isra ayat 24 :

.‫ص ِغ ْي ًرا‬ ِ َّ ‫الذ ِِّل ِمن‬ ْ ‫َوا ْخ ِف‬


ِِّ ‫الر ْْحَة َوقُ ْل َّر‬
َ ْ‫ب ْار َْحْ ُه َما َك َما َربَياَِِّن‬ َ ُّ ‫اح‬ َ َ‫ض ََلَُما َجن‬
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah “Wahai Tuhanku, sayangilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka mendidik aku waktu kecil”. (Q.S. al-Isra : 24)
Berdasarkan ayat tersebut dapat diambil pengertian bahwa al-Tarbiyah adalah
proses pengasuhan pada fase permulaan pertumbuhan manusia, karena anak sejak
dilahirkan di dunia dalam keadaan tidak tahu apa-apa, tetapi ia sudah dibekali
Allah SWT berupa potensi dasar (fitrah) yang perlu dikembangkan. Maka

1
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), Cet ke-12, h. 30.
2
Ibid., h. 33.

13
14

pendidikan anak sangat penting mengingat untuk kelangsungan perkembangannya


menuju ke tahap selanjutnya.
Secara istilah pengertian pendidikan dalam Undang-Undang No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I dijelaskan bahwa pendidikan
adalah : “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.3
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan
ialah “Pengukuhan sikap dan tata perilaku seseorang atau kelompok orang dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses, cara,
dan perbuatan mendidik”.4
Pendidikan sering diartikan sebagai usaha yang dilakukan oleh seseorang
untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai budaya di masyarakat.
Juga diartikan sebagai bimbingan yang yang diberikan oleh seseorang atau
kelompok agar seseorang itu menjadi dewasa, artinya seseorang itu mampu
bertanggung jawab terhadap diri sendiri secara biologis, psikologis, pedagogis dan
sosiologis.5
Istilah pendidikan juga dikemukakan oleh banyak ahli pendidikan yang
mengartikan pendidikan. antara lain :6
a. Driyarkara mengatakan bahwa pendidikan adalah upaya memanusiakan
manusia muda sehingga mengangkat manusia itu sendiri ke taraf insani.
b. John Dewey, Pendidikan ialah suatu proses pembentukan kemampuan
dasar fundamental yang menyangkut kemampuan daya pikir (intelektual)
dan daya perasaan (emosional) ke arah alam dan sesama manusia.

3
Tim Penyusun, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Jakarta: Depdiknas, 2003), Cet. I, h. 5.
4
Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005),
cet. 3., h. 263.
5
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 1.
6
Ibid., h. 2.
15

c. J.J. Rosseau, Pendidikan adalah memberi kita perbekalan yang tidak ada
pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu
dewasa.
d. W.J.S Poerwadarmita, Pendidikan adalah proses perubahan sikap dan
tingkah laku pada diri seseorang atau kelompok orang yang dilakukan
dengan cara pengajaran dan latihan agar seseorang atau kelompok tersebut
menjadi manusia yang dewasa.7
e. Ahmad D. Marimba, Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara
sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si
terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama dengan
menggunakan alat dan metode tertentu.8
f. Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk
memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran
(intellect) dan tubuh anak. unsur-unsur tersebut dalam Tamansiswa tidak
boleh dipisahkan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni
kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan
dunianya.9
g. Menurut rumusan hasil seminar pendidikan Islam se-Indonesia pada tahun
1960, disebutkan bahwa hakikat pendidikan Islam adalah bimbingan
terhadap pertumbuhan jasmani dan rohani menurut agama Islam yaitu
berupa usaha mempengaruhi jiwa peserta didik yang dilakukan melalui
beberapa tingkatan dengan tujuan menanamkan ketakwaan dan akhlak
serta menegakkan kebenaran sehingga terbentuk manusia yang berpribadi
dan berbudi luhur.10
Berdasarkan beberapa rumusan yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan
di atas, serta beberapa pemahaman yang digali dari beberapa istilah dalam
pendidikan Islam, penulis menyimpulkan bahwa pendidikan dapat dipahami

7
Tatang S, Ilmu Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), Cet. I, h. 13.
8
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif; 1980), Cet.
IV, h. 19.
9
Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, (Yogyakarta: MLPTS, 2011), Cet. IV, h.
15.
10
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), Cet. V., h. 15.
16

sebagai suatu usaha sadar yang dilakukan pendidik terhadap peserta didik berupa
pengajaran dan bimbingan ilmu pengetahuan dan agama, dalam pertumbuhan
jasmani dan rohani untuk menghasilkan sikap dan tingkah laku yang baik guna
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
2. Pengertian Budi Pekerti
Esensi dan makna budi pekerti sama dengan pendidikan moral dan
pendidikan akhlak. Kata budi pekerti dalam kosakata Arab adalah akhlak, dalam
kosakata Latin/Yunani adalah ethos dan dalam kosakata Inggris adalah ethic.
Mengenai pengertian budi pekerti ini dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu :
secara epistimologi budi pekerti berarti penampilan diri yang berbudi. Secara
leksikal, budi pekerti berarti tingkah laku, perangai, akhlak, dan watak. Dan
secara operasional, budi pekerti berarti perilaku yang tercermin dalam kata,
perbuatan, pikiran, sikap, perasaan, keinginan dan hasil karya.11
Dalam bahasa Sansekerta, budi pekerti berarti tingkah laku, atau perbuatan
yang sesuai dengan akal sehat. Yaitu perbuatan yang sesuai dengan nilai-nilai
moralitas masyarakat yang terbentuk sebagai adat istiadat.12 Sedangkan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, budi pekerti terdiri dari dua kata, yaitu budi dan
pekerti yang tidak dapat dipisahkan, kedua kata tersebut adalah bagian integral
yang saling terkait. Budi berarti panduan akal dan perasaan untuk menimbang
baik buruk. Pekerti berarti perangai, tingkah laku, akhlak. dengan demikian budi
pekerti berarti kesadaran yang ditampilkan oleh seseorang dalam berperilaku.13
Menurut Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional yang dikutip oleh Heri
Gunawan dalam buku Pendidikan Karakter, budi pekerti diartikan sebagai sikap
atau perilaku sehari-hari seseorang, baik individu maupun kelompok yang
mengandung nilai-nilai yang berlaku dalam suatu sistem nilai moral, dan menjadi
pedoman perilaku manusia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

11
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2011), h. 13.
12
Sutardjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai Karakter Konstruktivisme dan VCT Sebagai Inovasi
Pendekatan Pembelajaran Aktif, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 55.
13
Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Depdiknas RI, 2008),
cet. 4., h. 215
17

dengan bersumber pada falsafah pancasila dan diilhami oleh ajaran agama serta
budaya.14
Pengertian tentang budi pekerti terkadang disandingkan dengan beberapa
istilah lain, seperti akhlak, moral, karakter, etika, adab, dan lain sebagainya.
Secara umum antara budi pekerti dan istilah-istilah lain itu memiliki persamaan
yang mendasar, yaitu sama-sama berbicara tentang baik dan buruk terhadap
tingkah laku seseorang. Namun dari istilah-istilah tersebut memiliki perbedaan
dari sisi tolak ukur atau sumbernya. Budi pekerti merupakan pendidikan nilai
yang bersumber dari adat istiadat atau budaya masyarakat, akhlak bersumber dari
Al-Qur’an dan hadits, moral bersumber dari norma-norma sosial masyarakat,
etika bersumber dari akal pikiran karena merupakan pandangan tentang tingkah
laku manusia dalam perspektif filsafat. Dan karakter bersumber norma-norma
agama, hukum tata krama, budaya dan adat istiadat.15
Dari pengertian pendidikan dan budi pekerti diatas, Nurul Zuriah menjelaskan
bahwa pendidikan budi pekerti dapat diartikan sebagai program pengajaran di
sekolah yang yang menekankan pada ranah afektif (perasaan dan sikap) melalui
penghayatan nilai-nilai moral dan keyakinan dalam masyarakat berupa aspek
kejujuran, dapat dipercaya, disiplin, kerjasama dan lainnya yang bertujuan
mengembangkan watak atau tabiat siswa tanpa meninggalkan ranah kognitif
(berfikir rasional) dan ranah skill/psikomotorik (keterampilan, terampil mengolah
data, mengemukakan pendapat, dan kerjasama)16
Sementara itu, pengertian pendidikan budi pekerti menurut Draft Kurikulum
Berbasis Kompetensi (2001) dapat ditinjau secara konsepsional dan operasional.
1. Pengertian pendidikan budi pekerti secara konsepsional mencakup hal-hal
sebagai berikut.

14
Heri Gunawan. Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasinya, (Bandung: Alfabeta,
2012), Cet. II, h. 13
15
Majid, op. cit., h. 8-14.
16
Nurul Zuriah. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008), Cet. II, h. 19-20.
18

a. Usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia


seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya
sekarang dan masa yang akan datang.
b. Upaya pembentukan, pengembangan, peningkatan pemeliharaan dan
perilaku peserta didik agar mereka mau dan mampu melaksanakan
tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi, seimbang (lahir batin,
material spiritual, dan individual sosial).
c. Upaya pendidikan untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi
seutuhnya yang berbudi pekerti luhur melalui kegiatan bimbingan,
pembiasaan, pengajaran dan latihan serta keteladanan.17
2. Pengertian pendidikan budi pekerti secara operasional adalah upaya yang
diberikan pendidik kepada peserta didik berupa bimbingan, pengajaran,
dan latihan guna membekali peserta didik di masa depannya agar memiliki
hati nurani yang bersih, berperilaku baik, serta menjaga norma kesusilaan
dan norma-norma yang lainnya yang dicerminkan dari perkataan,
perbuatan, sikap, perasaan yang baik yang berlandaskan nilai agama dan
norma sehingga tercipta hubungan yang baik dengan Tuhan nya dan
sesama manusia.18
Pendidikan budi pekerti memiliki makna yang sama dengan pendidikan
moral, pendidikan karakter, pendidikan akhlak, dan pendidikan nilai. Pendidikan
budi pekerti memuat tentang nilai-nilai luhur yang berakar pada agama, adat
istiadat, dan budaya bangsa Indonesia yang digunakan untuk mengembangkan
kepribadian manusia supaya menjadi manusia yang lebih baik.19
Dari pemaparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa pendidikan budi
pekerti ialah usaha sadar yang dilakukan pendidik terhadap peserta didik berupa
pengajaran, bimbingan dan sebagainya yang banyak menekankan pada ranah
afektif tanpa melupakan aspek kognitif dan psikomotorik yang bertujuan agar
peserta didik menjadi pribadi yang berbudi luhur, bertutur kata sopan, dan

17
Ibid.
18
Ibid.
19
Zubaedi, Pendidikan Berbasis Masyarakat Upaya Menawarkan Solusi Terhadap Berbagai
Problem Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 4.
19

berperangai baik dalam hubungannya dengan Allah dan sesama makhluk yang
lain sesuai dengan nilai-nilai agama, moral, dan budaya yang tidak bertentangan
dengan agama sehingga perbuatan-perbuatan baik yang ia lakukan mengantarkan
kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

B. Ruang Lingkup Pendidikan Budi Pekerti


Secara umum ruang lingkup pendidikan budi pekerti adalah penanaman dan
pengembangan nilai, sikap dan perilaku peserta didik yang sesuai dengan nilai-
nilai budi pekerti luhur. Sehingga materi-materi pendidikan budi pekerti harus
mengandung nilai-nilai budi pekerti luhur.20 Menurut Milan Rianto yang dikutip
Nurul Zuriah, ruang lingkup materi pendidikan budi pekerti secara garis besar
dapat dikelompokkan dalam tiga hal nilai akhlak yaitu sebagai berikut.
1. Akhlak terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Budi pekerti atau akhlak terhadap Allah SWT dapat diartikan sebagai
sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai
makhluk kepada Tuhan sebagai khalik. Sikap awal yang harus kita miliki
adalah adanya keimanan yakni meyakini bahwa segala sesuatu yang ada
dalam alam semesta adalah ciptaan Allah. Serta ketaqwaan yakni patuh dan
taat dengan segala ketentuan-ketentuan Allah baik berupa perintah maupun
berupa larangan.
Diantara cara yang dapat dilakukan dalam berakhlak kepada Allah
diantaranya dengan tidak menyekutukannya, Takwa kepada-Nya,
Mencintai-Nya, Ridha dan Ikhlas terhadap segala keputusan-Nya dan
bertaubat, mensyukuri nikmat-Nya, selalu berdoa kepada-Nya, beribadah,
meniru-niru sifat-Nya, dan selalu berusaha mencari keridhoan-Nya.21
Sedikitnya ada empat alasan mengapa manusia perlu berbudi
pekerti/berakhlak kepada Allah.
Pertama, karena Allah lah yang menciptakan manusia. Dia
menciptakan manusia dari tanah yang kemudian diproses menjadi benih

20
Ibid.
21
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013),
Cet. XII, h. 128.
20

yang disimpan di dalam tempat yang kokoh (rahim), setelah ia menjadi


segumpal darah, segumpal daging, dijadikan tulang dan dibalut dengan
daging, dan selanjutnya diberi roh.

ٍ ‫اْلنْسا َن ِم ْن ُس ََللَ ٍة ِم ْن ِط‬


ٍ ‫ ُُثَّ َج َعلْنَاهُ نُطْ َفةً ِِف قَ را ٍر َم ِك‬, ‫ني‬
‫ني‬ َ َ ِْ ‫َولََق ْد َخلَ ْقنَا‬
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu
sari pati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan sari pati itu air
mani (yang disimpan) dalam tempat yang kukuh (rahim)” (Q.S al-
Mu’minun [23]: 12-13)
Kedua, Karena Allah-lah yang telah memberikan perlengkapan
pancaindera, berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran, dan hati
sanubari, disamping anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada
manusia. Berdasarkan firman Allah :

َّ ‫ون أ َُّم َهاتِ ُك ْم ََل تَ ْعلَ ُمو َن َش ْي ئًا َو َج َع َل لَ ُك ُم‬ِ ُ‫اَّلل أَ ْخرج ُكم ِمن بط‬
‫ص َار‬
َ ْ‫الس ْم َع َو ْاْلَب‬ ُ ْ ْ َ َ َُّ ‫َو‬
‫َو ْاْلَفْئِ َدةَ ۙ لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُرو َن‬
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (Q.S an-Nahl [16]: 78)
Ketiga, Karena Allah-lah yang telah menyediakan berbagai bahan dan
sarana yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan
makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang ternak
dan sebagainya.

ْ َ‫ْك فِ ِيه ِِب َْم ِرهِ َولِتَ ْب تَ غُوا ِم ْن ف‬


‫ض ِل ِه َولَ َعلَّ ُك ْم‬ ِ
َ ‫َّر لَ ُك ُم الْبَ ْح َر لتَ ْج ِر‬
ُ ‫ي الْ ُفل‬ َ ‫اَّللُ الذي َسخ‬
ِ َّ َّ
‫ك‬ َ ِ‫َج ًيعا ِم ْنهُ ۚ إِ َّن ِِف ََٰذل‬
َِ ‫ض‬ ِ ‫ات َوَما ِِف ْاْل َْر‬ ِ ‫السماو‬
َ َ َّ ‫َّر لَ ُك ْم َما ِِف‬ َ ‫تَ ْش ُك ُرو َن َو َسخ‬
‫ت لَِق ْوٍم يَتَ َف َّك ُرو َن‬ ٍ ‫ََلَي‬
َ
“Allah-lah yang menundukkan laut untukmu supaya kapal-kapal
dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu dapat
mencari sebagian karunia-Nya, dan mudah-mudahan kamu bersyukur.
Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang
ada di bumi semuanya, (sebagian rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya,
21

pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan


Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Q.S al-Jatsiyah [45]: 12-13)
Keempat, Allah-lah yang telah memuliakan manusia dengan
diberikannya kemampuan menguasai daratan dan lautan.

ِ ‫اهم ِمن الطَّيِب‬


‫اه ْم‬ َّ َ‫ات َوف‬
ُ َ‫ضلْن‬ َِّ َ ْ ُ َ‫اه ْم ِِف الْبَ ِِّر َوالْبَ ْح ِر َوَرَزقْن‬ َ ‫َولََق ْد َك َّرْمنَا بَِِن‬
ُ َ‫آد َم َو َْحَلْن‬
ِ ‫َعلَ َٰى َكثِ ٍري ِِمَّن َخلَ ْقنَا تَ ْف‬
‫ض ًيَل‬ ْ
“Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari
yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang lebih
sempurna atas kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan”. (Q.S al-Isra’
[17]: 70)
2. Akhlak terhadap Sesama Manusia
a. Terhadap Diri Sendiri
Setiap manusia harus memiliki jati diri agar mampu menghargai
dirinya sendiri, mengetahui kelebihan dan kekurangan yang dimiliki.
Sehingga pada akhirnya akan memiliki konsep diri yang positif. Upaya
ini dapat diwujudkan dengan beberapa cara seperti berfikir yang positif
terhadap diri sendiri, memperbaiki kekurangan yang ada pada diri
sendiri, serta memanfaatkan kelebihan yang ada pada diri sendiri dengan
cara menghasilkan sebuah karya. Segala tindakan yang dilakukan ini
semata-mata dalam rangka berbuat baik terhadap diri sendiri serta
memberikan manfaat untuk orang lain, bangsa, dan negara.
b. Terhadap Orangtua
Orang tua adalah orang yang telah melahirkan, memelihara,
merawat, dan mendidik kita, maka sudah sepantasnya kita menghormati
dan mencintai orangtua serta taat dan patuh kepadanya. Dalam agama
juga dikatakan bahwa “Surga itu terletak di bawah telapak kaki ibu” oleh
karenanya kita harus berbakti, menghormati, dan setia kepada ibu,
begitupun ayah harus demikian juga.
Beberapa sikap yang perlu dilakukan kepada orangtua diantaranya:
22

1) Meminta izin, memberi salam, serta mencium tangannya ketika


berangkat dan pulang sekolah.
2) Meminta izin ketika hendak pergi
3) Tidak meminta uang jajan yang berlebihan dan tidak bersifat boros
4) Membantu pekerjaan yang ada di rumah, seperti membersihkan
rumah, memasak dll.
5) Memelihara barang-barang yang ada di rumah terlebih milik orangtua.
c. Terhadap Orang yang Lebih Tua
Sebagai orang yang lebih muda, kita harus bersikap menghormati,
dan menghargai kepada orang yang lebih tua. Di manapun kita bertemu
berikan salam dan datanglah ke tempat orang yang lebih tua dari kita. Di
lain hal kita haruslah meminta saran, pendapat dan bimbingan
kepadanya. Karena orang yang lebih tua dari kita, pengetahuannya,
pengalamannya, dan kemampuannya lebih dari kita. intinya lebih baik
kita merendah daripada bersikap sombong.
d. Terhadap Sesama
Melakukan tata krama dengan teman sebaya memang agak sulit
karena mereka adalah teman sederajat dan setiap hari berjumpa dengan
kita sehingga sering lupa memperlakukan mereka menurut tata cara dan
sopan santun yang baik. Namun kita harus tetap memperhatikan sikap-
sikap seperti tidak mengolok-olok sampai melewati batas, tidak
berprasangka buruk, tidak menyinggung perasaannya, serta tidak
memfitnah tanpa bukti. Agar hubungan pertemanan dengan sesama tetap
baik hendaknya kita bersikap tolong menolong dalam hal kebaikan,
selalu menjaga nama baik sesama, bergaul dengan semua teman tanpa
memandang asal-usul agama, suku bangsa, dan status sosial serta cara
yang tidak boleh dihilangkan yaitu memberikan sapaan dan senyum jika
kita bertemu dengan teman kita.
e. Terhadap orang yang Lebih Muda
Sebagai orang yang lebih tua, tidaklah kita berbuat seenaknya
terhadap orang yang lebih muda. Justru kita harus melindungi dan
23

membimbingnya. Berilah petunjuk dan saran yang baik kepada orang


yang lebih muda. Serta tidak memperlihatkan perangai yang buruk
kepada orang yang lebih muda dari kita, karena dikhawatirkan mereka
akan mencontoh dan mengikutinya.

Prof. Dr. Rosihon Anwar dalam bukunya yang berjudul Akhlak Tasawuf,
membagi secara singkat mengenai akhlak terhadap sesama manusia. Pembagian
tersebut terdiri dari 3 golongan, yaitu:22
1. Akhlak terhadap Diri Sendiri
Menurutnya, akhlak terhadap diri sendiri sangat penting dimiliki, yaitu
berbagai akhlak terpuji seperti diantaranya : Sabar, Syukur, Menunaikan
amanah, Benar atau jujur, Menepati janji, dan Memelihara kesucian diri.
2. Akhlak terhadap Keluarga
Sikap Berakhlak kepada keluarga meliputi dua aspek penting, yaitu
berbakti kepada orang tua, dan bersikap baik dengan saudara. Berbakti
kepada orang tua merupakan faktor diterimanya doa seseorang, juga
merupakan amal saleh yang paling utama yang dilakukan oleh seorang
muslim. Banyak ayat-ayat Alqur’an ataupun hadits yang menjelaskan
keutamaan berbuat baik kepada kedua orang tua. Allah sering
menghubungkan beribadah kepada-Nya dengan berbuat baik kepada
orangtua menunjukkan betapa mulianya kedudukan orangtua dan birrul
walidain (berbuat baik kepada kedua orangtua) disisi Allah SWT. Seperti
dalam firman-Nya :

ِ ‫ني أ‬ ِ ِ ِ
‫َن ا ْش ُك ْر ِِل‬ َ ‫سا َن بَِوال َديْه َْحَلَْتهُ أ ُُّمهُ َو ْهنًا َعلَ َٰى َو ْه ٍن َوف‬
ِ ْ ‫صالُهُ ِِف َع َام‬ ِْ ‫ص ْي نَا‬
َ ْ‫اْلن‬ َّ ‫َوَو‬
‫ري‬ ِ ََّ ِ‫ك إ‬
ُ ‫ِل ال َْمص‬ َ ْ‫َولَِوالِ َدي‬
“Dan Kami Perintahkan Kepada Manusia (agar berbuat baik)
kepada kedua orangtuanya, ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam
usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada orangtuamu.
Hanya kepada Aku kembalimu.” (Q.S Luqman : 14)

22
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 96.
24

Agama Islam memerintahkan untuk berbuat baik kepada sanak


saudara atau kaum kerabat sesudah menunaikan kewajiban kepada Allah,
dan ibu bapak. Hidup rukun dan damai dengan saudara dapat tercapai
apabila hubungan tetap terjalin dengan saling pengertian, tolong
menolong serta saling menghargai dan saling berbuat baik.
3. Akhlak terhadap Masyarakat
Masyarakat yang dimaksud adalah tetangga dan orang lain. Tetangga
adalah orang yang terdekat dengan kita. Dekat bukan karena pertalian
darah atau pertalian persaudaraan. Bahkan, mungkin tidak seagama dengan
kita. Dekat disini adalah orang yang tinggal berdekatan dengan rumah kita.
Para ulama membagi tetangga menjadi tiga macam. Pertama, tetangga
muslim yang masih mempunyai hubungan kekeluargaan, tetangga
semacam ini mempunyai tiga hak, yaitu sebagai tetangga, hak Islam, dan
hak kekerabatan. Kedua, tetangga muslim saja, tetapi bukan kerabat.
Tetangga semacam ini mempunyai dua hak, yaitu sebagai tetangga dan
hak Islam. Ketiga, tetangga kafir walaupun kerabat. Tetangga semacam ini
mempunyai satu hak, yaitu hak tetangga saja.
Dasar-dasar perintah berbuat baik kepada tetangga adalah sebagai
berikut:
Allah SWT. Berfirman :

‫س ًاًن َوبِ ِذي الْ ُق ْرَ ََٰب َوالْيَ تَ َام َٰى‬ ِ ِ ِ ِِ


َ ‫اَّللَ َوََل تُ ْش ِرُكوا به َش ْي ئًا ۖ َوِبل َْوال َديْ ِن إ ْح‬ َّ ‫َوا ْعبُ ُدوا‬
ِ ِ‫السب‬
‫يل‬ َّ ‫ب َوابْ ِن‬ ِ ‫ب ِِب ْْلَْن‬ ِ ‫الص‬
ِ ‫اح‬ َّ ‫ب َو‬ ِ ُ‫ني َوا ْْلَا ِر ِذي الْ ُق ْرَ ََٰب َوا ْْلَا ِر ا ْْلُن‬ ِ ِ‫َوال َْمساك‬
َ
‫ورا‬
ً ‫ب َم ْن َكا َن ُُمْتَ ًاَل فَ ُخ‬ ُّ ‫اَّللَ ََل ُُِي‬َّ ‫ت أ َْْيَانُ ُك ْم ۗ إِ َّن‬ ْ ‫َوَما َملَ َك‬
“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-
Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-
bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan
hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (Q.S. An- Nisa : 36)
Selain tetangga, masyarakat di sini termasuk juga orang lain, orang
mukmin apabila melihat orang lain tertimpa kesusahan akan tergerak
hatinya untuk menolong mereka sesuai dengan kemampuannya. Apabila
25

tidak ada bantuan berupa benda kita dapat membantu orang tersebut
dengan nasihat atau kata-kata yang dapat menghibur hatinya. Bahkan,
sewaktu-waktu bantuan jasa lebih diharapkan daripada bantuan-bantuan
lainnya.

3. Akhlak terhadap Lingkungan


Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang
disekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda
tak bernyawa.
Manusia tidak mungkin bertahan hidup tanpa adanya dukungan
lingkungan alam yang sesuai, serasi seperti yang dibutuhkan. Untuk itulah
harus mematuhi aturan dan norma demi menjaga kelestarian dan keserasian
hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya. Terlebih hewan dan
tumbuhan adalah ciptaan Tuhan, oleh karena itu kita wajib melestarikan,
dengan cara tidak merusaknya karena keduanya memberikan manfaat
kepada kita.
Binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya
diciptakan oleh Allah SWT, dan menjadi milik-Nya, serta semuanya
memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan seorang
muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah umat Tuhan yang harus
diperlakukan secara wajar dan baik.
Berkenaan dengan ini dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 38
ditegaskan bahwa binatang melata dan burung-burung pun adalah umat
seperti manusia juga , sehingga semuanya seperti ditulis al Qurthubi dalam
tafsirnya “tidak diperlakukan secara aniaya”
Jangankan dalam masa damai, dalam saat peperangan pun terdapat
petunjuk Al-Qur’an yang melarang melakukan penganiayaan. Jangankan
terhadap manusia dan binatang, bahkan mencabut atau menebang
pepohonan pun terlarang, kecuali kalau terpaksa tetapi itu pun harus seizin
Allah, dalam arti harus sejalan dengan tujuan-tujuan penciptaan dan demi
kemaslahatan terbesar. Allah berfirman:
26

ِِ ِ َِّ ‫وَلا فَبِِإ ْذ ِن‬


ِ ‫ما قَطَعتم ِمن لِينَ ٍة أَو تَرْكتموها قَائِمةً َعلَ َٰى أ‬
‫ني‬ َ ‫اَّلل َوليُ ْخ ِا‬
َ ‫ي الْ َفاسق‬ َ ‫ُص‬ ُ َ َ ُُ َ ْ ْ ْ ُْ َ
“Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang
kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka
(semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak
memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik” (Q.S. al-Hasyr : 5)
Uraian tersebut di atas memperlihatkan bahwa pembahasan budi pekerti
atau akhlak sangatlah komprehensif, menyeluruh, mencakup berbagai
makhluk ciptaan Allah SWT, tidak hanya berbicara tentang hubungan
dengan Tuhan dan antar sesama manusia saja, melainkan berbicara pula
tentang hubungan manusia dengan binatang, tumbuh-tumbuhan, dan
makhluk yang tidak bernyawa sekalipun.

C. Metode Pendidikan Budi Pekerti


Terciptanya budi pekerti luhur merupakan harapan besar dari setiap pendidik
maupun orang tua peserta didik. tetapi pembentukan dan pembinaan akhlak atau
budi pekerti merupakan tugas dan tanggung jawab yang sangat besar bagi setiap
pendidik. untuk membentuk dan membina budi pekerti yang baik itu diperlukan
adanya metode yang efektif agar tujuan pendidikan yaitu terbentuknya budi
pekerti luhur itu dapat tercapai.
Kata metode berasal dari bahasa Yunani yang secara bahasa kata ini berasal
dari dua kata, yaitu meta dan hodos. Meta berarti melalui, dan Hodos berarti jalan
atau cara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia metode diartikan sebagai cara
teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai
dengan yang dikehendaki atau cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Sedangkan
dalam bahasa Arab, metode dikenal dengan istilah thariqoh yang berarti langkah-
langkah strategis yang harus dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan.23
Secara terminologi atau istilah, Muhammad Athiyah Al-Abrasyi
mendefinisikan metode sebagai jalan yang digunakaan pendidik dalam upaya
memberi pemahaman kepada peserta didik dalam segala macam pelajaran baik

23
Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam- Fakta Teoritis-Filosofis & Aplikatif-Normatif, (Jakarta:
Amzah, 2013), Cet. I, h. 138.
27

ketika pendidik sudah di dalam kelas maupun sebelum memasuki kelas.


Abdurrahim Ghunaimah menyebut metode sebagai cara yang diikuti oleh guru
untuk menyampaikan sesuatu kepada anak didik. Sedangkan Edgar Bruce Wesley
mendefinisikan metode sebagai kegiatan terarah bagi guru yang menyebabkan
terjadinya proses belajar mengajar yang berkesan.24
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa metode dalam konteks
pembelajaran merupakan strategi atau cara yang digunakan pendidik dalam proses
pembelajaran yang bertujuan memperoleh pemahaman peserta didik.
Mengenai metode pembinaan akhlak atau budi pekerti menurut M. Athiyah
Al Abrasyi dalam bukunya “Dasar-Dasar Pokok pendidikan Islam” menyatakan
metode yang paling tepat untuk menanamkan akhlak atau budi pekerti ada 3
macam yaitu:25
1. Pendidikan secara langsung, yaitu dengan cara mempergunakan petunjuk,
tuntunan, nasihat, menyebutkan manfaat dan bahaya-bahayanya sesuatu
dimana pada murid dijelaskan hal-hal yang bermanfaat dan yang tidak,
menentukan kepada amal-amal baik, mendorong mereka berbudi pekerti
yang tinggi dan menghindari hal-hal tercela. Untuk pendidikan moral ini
sering dipergunakan sajak-sajak, syair-syair maupun kata mutiara yang
terdapat dalam buku-buku islam dalam bidang sastra. Cara-cara ini sudah
banyak ditirukan oleh orang-orang barat dalam mengajarkan pendidikan
budi pekerti kepada bangsanya. Diantara kata-kata yang berhikmah yang
berisi wasiat-wasiat yang baik adalah “ Sopan santun adalah warisan yang
terbaik dan budi pekerti yang baik adalah teman yang sejati”.
2. Pendidikan akhlak secara tidak langsung, yaitu dengan jalan sugesti seperti
mendiktekan sajak-sajak yang mengandung hikmat kepada anak-anak
memberikan nasihat-nasihat dan berita-berita berharga, mencegah mereka
membaca sajak-sajak yang kosong termasuk yang menggugah soal-soal
cinta dan pelakon-pelakonnya. Tidaklah mengherankan, karena ahli-ahli
pendidik dalam Islam yakin akan pengaruh kata-kata berhikmat, nasihat-

24
Ibid,. h. 139.
25
Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pendidikan Pendidikan Islam, ( Jakarta: Bulan
Bintang, 1969), h. 111-113.
28

nasihat dan kisah-kisah nyata itu dalam pendidikan akhlak anak-anak.


Karena kata-kata mutiara itu dapat dianggap sebagai sugesti dari luar.
Didalam ilmu jiwa (psikologi) kita buktikan bahwa sajak-sajak itu sangat
berpengaruh dalam pendidikan anak-anak, mereka membenarkan apa yang
didengarnya dan mempercayai sekali apa yang mereka baca dalam buku-
buku pelajarannya. Sajak-sajak, kata-kata berhikmat dan wasiat-wasiat
tentang budi pekerti itu sangat berpengaruh terhadap mereka. Juga seorang
guru dapat menyugestikan kepada anak-anak beberapa contoh pekerjaan,
adil dalam menimbang begitu pula sifat suka terus terang, berani dan ikhlas.
3. Mengambil manfaat dari kecenderungan dan pembawaan anak-anak-anak
dalam rangka pendidikan akhlak. Sebagai contoh mereka memiliki
kesenangan meniru ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, gerak-gerik orang-
orang yang berhubungan erat dengan mereka. oleh karena itu maka filosof-
filosof islam mengharapkan dari setiap guru supaya mereka itu berhias
dengan akhlak yang baik, mulia dan menghindari setiap yang tercela.
Menurut Paul Suparno, dkk. yang dikutip oleh Nurul Zuriah dijelaskan
mengenai metode-metode yang digunakan untuk pendidikan budi pekerti secara
rinci sebagai berikut :
1. Metode Demokratis
Metode ini dapat digunakan untuk menanamkan nilai-nilai diantaranya
keterbukaan, kejujuran, menghargai pendapat orang lain, sportivitas, rendah
hati, dan toleransi. Metode ini menekankan pencarian bebas dan
penghayatan nilai-nilai hidup dengan cara memberikan kebabsan anak untuk
memberikan tanggapan, pendapat, terhadap nilai-nilai yang ditemukan.
Guru tidak bersikap sebagai pemberi informasi tunggal melainkan guru
sebagai penjaga garis atau koridor dalam penemuan hidup tersebut.
2. Metode Pencarian Bersama
Metode ini menekankan pada pencarian bersama yang melibatkan
siswa dan guru. Dengan cara siswa diminta mencari dan menemukan tema
yang sedang berkembang dan menjadi perhatian bersama yang aktual yang
29

sedang terjadi di lingkungan masyarakat kemudian mendiskusikannya


bersama dengan guru.
Dengan metode ini diharapkan peserta didik dapat mengambil nilai-
nilai yang ada dan menerapkannya dalam kehidupan mereka. Di lain sisi
anak menjadi pribadi yang berpikir kritis, analitis, sistematis, argumentatif
dan tidak gampang mengambil kesimpulan dari suatu permasalahan.
3. Metode Siswa Aktif
Metode siswa aktif ini menekankan pada proses yang melibatkan anak
sejak awal pembelajaran. Dengan cara guru memberikan pokok bahasan
kemudian peserta didik diminta mengembangkan proses selanjutnya berupa
pengamatan, pembahasan analisis, hingga penyimpulan atas kegiatan yang
dilakukan. Metode ini ingin mendorong anak untuk mempunyai kreativitas,
ketelitian, kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, kerja sama, kejujuran, dan
daya juang.
4. Metode Keteladanan
Ada pepatah yang mengatakan “guru kencing berdiri, murid kencing
berlari”. Apa yang dilakukan oleh guru atau orang tua akan ditiru oleh anak
didiknya. Sehingga diharapkan seorang pendidik dapat menunjukan budi
pekerti yang baik kepada anak didiknya baik dari segi perkataan maupun
perbuatan. Sehingga nantinya tercipta pendidik sebagai teladan yang baik
dan peserta didik yang berbudi pekerti luhur.26
Metode keteladan adalah memberikan teladan atau contoh yang baik
kepada peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Metode ini secara
sederhana merupakan cara memberikan contoh teladan yang baik, tidak
hanya memberi di dalam kelas, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan begitu peserta didik tidak segan-segan meniru dan mencontohnya,
seperti sholat berjamaah, kerja sosial, dan partisipasi kegiatan masyarakat.27
Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh
dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk moral,

26
Zuriah, op. cit., h. 91-94.
27
Sri Minarti. op.cit., h. 142.
30

spiritual, dan etos sosial anak. Hal ini karena pendidik adalah figur terbaik
dalam pandangan anak yang tindak-tanduk dan sopan-santunnya disadari
atau tidak akan ditiru seorang anak.
Masalah keteladanan menjadi faktor penting dalam menentukan baik
buruknya anak. Karena jika seorang anak mendengar dari orangtuanya atau
pendidik nya kata-kata yang kotor, kasar dan tercela, maka tidak diragukan
lagi ia akan meniru dan mengulangi ucapan-ucapan negatif tersebut, hal ini
berlaku bukan hanya dari ucapan melainkan juga dari segala sikap dan
tindakan yang nantinya akan ditiru oleh seorang anak.28 Dengan demikian
jika pendidik jujur, dapat dipercaya, berakhlak mulia, berani, dan
menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan agama,
maka si anak akan tumbuh dalam kejujuran, terbentuk dengan akhlak mulia,
berani dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan
dengan agama.
Allah SWT. Juga telah mengajarkan bahwa Rasulullah diutus untuk
menyampaikan risalah samawi kepada umat manusia, dan Rosulullah
merupakan peletak metode samawi yang tiada taranya karena memiliki
sifat-sifat yang luhur, baik spiritual, moral maupun intelektual. Sehingga
umat manusia meneladaninya, belajar darinya, memenuhi panggilannya,
menggunakan metodenya dalam hal kemuliaan, keutamaan dan akhlak yang
terpuji. Allah menyebutkan dalam al-Qur’an yaitu :

ِ َّ ‫اَّلل والْي وم ْاَل ِخر وذَ َكر‬ ِ ِ


ِ ‫اَّلل أُسوةٌ ح‬
‫ريا‬
ً ‫اَّللَ َكث‬ َ َ َ ْ َّ ‫لََق ْد َكا َن لَ ُك ْم ِِف َر ُسول‬
َ َ َ َ ْ َ َ ََّ ‫سنَةٌ ل َم ْن َكا َن يَ ْر ُجو‬
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah
dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Q.S al-
Ahzab [33] : 21)
Dari uraian di atas, salah satu cara yang dinilai ampuh dalam
pembinaan akhlak adalah keteladan, sehingga sebagai seorang pendidik
diwajibkan mengikuti teladan Rasulullah yang sudah jelas sebagai panutan

28
Abdullah Nasihin Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, Pemeliharaan Kesehatan Jiwa
Anak , Terj. dari Tarbiyatul Aulad Fil Islam oleh Khalilullah Ahmas Masykur Hakim, (Jakarta:
Remaja Rosydakarya, 1990), h.181-182.
31

dan menjadikan dirinya sebagai teladan bagi muridnya. Karena seorang


pelajar akan selalu mengikuti dan meniru apa yang dilakukan pendidiknya,
baik yang baik maupun yang tidak baik. Maka dari itu seorang pendidik
diharapkan tidak menampakkan sisi kurang baiknya di hadapan pelajarnya
karena takut ditiru dan dicontoh tentang sikapnya tersebut.
5. Metode Live In
Metode Live In dimaksudkan agar peserta didik mempunyai
pengalaman hidup bersama orang lain langsung dalam situasi yang sangat
berbeda dari kehidupan sehari-harinya. Metode ini dapat dilakukan secara
periodik tidak harus berhari-hari secara berturut-turut dilaksanakan.
Misalnya anak diajak berkunjung dan membantu di suatu panti asuhan anak-
anak cacat. Selanjutnya diajak terlibat untuk melaksanakan tugas-tugas
harian yang mungkin dijalankannya, tidak membutuhkan keahlian khusus,
dan tidak berbahaya untuk kedua belah pihak. Dengan cara ini anak diajak
untuk mensyukuri hidupnya jauh lebih baik dari orang yang dilayani.
Dimana peserta didik tadi lebih baik dari segi fisik maupun kemampuan
dibanding anak-anak di panti asuhan tersebut.
6. Metode Penjernihan Nilai
Latar belakang kehidupan manusia membawa perbedaan dalam
pemahaman dan penerapan nilai-nilai hidup. Untuk itulah perlu dibutuhkan
proses penjernihan nilai dengan cara dialog afektif dalam bentuk sharing
ataupun diskusi yang mendalam dan intensif, hal ini digunakan untuk
memberikan arahan kepada peserta didik tentang perbedaan nilai-nilai
kehidupan.29
7. Pendidikan dengan Pembiasaan
Metode pembiasaan adalah membiasakan anak untuk melakukan
sesuatu yang baik sejak ia kecil yang dilakukan secara berulang-ulang
hingga menjadi kebiasaan. Pada peserta didik misalnya peserta didik
dibiasakan melakukan hal kebaikan hari ini, dan keesokan harinya juga
peserta didik tersebut melakukan hal yang sama dan seterusnya. Metode ini

29
Zuriah, op. cit., h. 91-95.
32

akan semakin nyata manfaatnya jika didasarkan pada pengalaman. Artinya


peserta didik dibiasakan untuk melakukan hal-hal yang bersifat terpuji
seperti membiasakan mengucap salam sebelum memasuki ruangan kelas..30
Membiasakan dengan mencium tangan kedua orangtua ketika hendak
berangkat dan pulang sekolah merupakan contoh nyata metode pembiasaan
ini. Dari kebiasaan ini akan membentuk akhlak yang baik sehingga seorang
anak mempunyai budi pekerti dan sopan santun terhadap kedua
orangtuanya.
Seperti kata pepatah yang mengatakan “Bisa karena Biasa, Biasa
karena Dipaksa”. Menjelaskan bahwa segala sesuatu akan tercipta dari
suatu proses pembiasaan, walaupun kerapkali pembiasaan itu berawal dari
suatu paksaan. Maka dari itu untuk menumbuhkan budi pekerti yang baik
pada pribadi seseorang perlunya suatu tindakan positif yang dilakukan
secara berulang-ulang agar tertanam budi pekerti yang baik pada diri
seseorang tersebut.
8. Pendidikan dengan Nasihat
Metode lain yang penting dalam pendidikan, pembentukan keimanan,
mempersiapkan moral, spiritual, dan sosial anak, adalah pendidikan dengan
pemberian nasihat. Sebab nasihat itu bisa membukakan mata-anak tentang
hakikat sesuatu dan mendorongnya menuju situasi luhur, menghiasinya
dengan akhlak mulia, serta membekalinya dengan prinsip-prinsip Islam. 31

Allah menjelaskan tentang pemberian nasihat ini dalam firman-Nya :

‫َح َس ُن ۚۖ إِ َّن‬ ِ ِ ۖ ِ ‫يل ربِك ِِب ْْلِكم ِة والْمو ِعظ ِة ا ْْل‬


ْ ‫سنَة ۖ َو َجاد َْلُ ْم ِِبلَِّت ه َي أ‬ َ َ َ َْ َ َ ْ َ َِّ ِ ِ‫ا ْدعُ إِ َ َٰل َسب‬
ِ ۖ ِِ ِ
‫ين‬ َ ‫ك ُه َو أَ ْعلَ ُم ِِبَ ْن‬
َ ‫ض َّل َع ْن َسبيله ۖ َو ُه َو أَ ْعلَ ُم ِِبل ُْم ْهتَد‬ َ َّ‫َرب‬
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa

30
Sri Minarti, op.cit., h. 143.
31
Abdullah Nasihin Ulwan, op.cit., h. 66.
33

yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-
orang yang mendapat petunjuk”. (Q.S an-Nahl : 125)
Di dalam jiwa seseorang terdapat pembawaan untuk terpengaruh oleh
kata-kata yang didengar. Pembawaan itu biasanya tidak tetap, dan oleh
karena itu kata-kata harus diulang-ulangi. Namun nasihat saja tidaklah
cukup bila tidak dibarengi dengan teladan dan perantara yang
memungkinkan teladan itu diikuti dan diteladani. Bila tersedia teladan yang
baik, maka nasihat akan sangat berpengaruh di dalam jiwa, dan akan
menjadi suatu sangat besar dalam pendidikan rohani.32

Nasihat sangat erat kaitannya dengan keteladan. Teladan yang baik juga
kadang-kadang belum bisa menjadikan orang menjadi baik. Maka dari itu
nasihat diperlukan sebagai metode lain. Sebagai contoh ada seorang
pendidik yang berakhlak mulia, selalu menampakkan sifatnya yang baik,
mulai dari jujur, bersikap lemah lembut, sopan dan sebagainya yang
menjadikan dirinya pantas untuk ditiru oleh anak didiknya , namun
kenyataannya anak didiknya tidak bersikap demikian, dirinya malah sering
berbohong, bersikap kasar dan sebagainya. Maka dari itu disini nasihat
diperlukan sebagai cara lain yang dilakukan oleh pendidik. Yaitu dengan
terus menerus memberikan nasihat dengan lemah lembut namun membekas
agar peserta kembali bersikap baik dan berakhlak mulia.
9. Pendidikan dengan Pemberian Hukuman
Pendidikan yang lembut memang seringkali membuahkan hasil yang
baik, peserta didik menjadi pribadi yang lembut dan maksud penyampaian
pun diterima dengan baik. Namun pendidikan terlalu lembut terkadang
malah membuat pengaruh jelek bagi peserta didik mulai dari bersikap
semaunya sendiri, tidak sopan santun dan lain sebagainya. Maka dari itu
bila nasihat dan keteladanan tidak mampu mengatasi persoalan tersebut,
diperlukan suatu metode yang lebih tegas dalam pembentukan akhlak yaitu
pemberian hukuman.

32
Salman Harun, Sistem Pendidikan Islam Muhammad Quthb, (Bandung: Al Maarif, 1988),
Cet. II, h. 334.
34

Hukuman sesungguhnya tidaklah mutlak diperlukan, ada orang-orang


baginya teladan dan nasihat saja sudah cukup, tidak perlu lagi adanya
hukuman dalam hidupnya. Namun manusia semuanya tidaklah sama, Di
antara mereka ada yang perlu dikerasi sekali-kali. namun hukuman bukan
pula tindakan yang pertama kali terbayang oleh seorang pendidik, dan tidak
pula cara yang didahulukan.33
Selain hukuman terdapat pula bentuk lain yang lebih lembut itu, yaitu
berupa ancaman hukuman pada suatu waktu. Allah SW Berfirman :

ۚ ِ‫الدنْيَا َو ْاَل ِخ َرة‬


ُّ ‫يما ِِف‬ِ َّ ‫َوإِ ْن يَتَ َولَّ ْوا يُ َع ِِّذبْ ُه ُم‬
ً ‫اَّللُ َع َذ ًاِب أَل‬
“Dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka
dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat” (Q.S al-Taubah : 74)

Dari pemaparan di atas, hukuman memang diperlukan dalam proses


pembentukan akhlak namun bukan jalan pertama dan satu-satunya.
Melainkan cara terakhir jika berbagai cara yang telah dilakukan tidak
berhasil. Disamping itu mengingat tingkatan seseorang yang berbeda maka
pemberian hukuman juga dirasa tidak bisa disamakan antar satu sama lain.
Seorang anak-anak tidak bisa dihukum dengan hukuman orang dewasa,
seorang perempuan tidak bisa dihukum dengan hukuman untuk laki-laki dan
sebagainya.
Selain itu hukuman yang diberikan tidaklah langsung kepada hukuman
yang berat, melainkan hukuman itu juga harus dimulai dari hukuman yang
lembut dan ringan terlebih dahulu. Seperti memberikan ancaman hukuman
terhadap peserta didik. Sebagai catatan terakhir dalam pemberian hukuman,
sebaik-baik nya hukuman adalah hukuman yang bersifat mendidik yang
mengarah pada perubahan tingkah laku (akhlak) yang baik.

D. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti


Suatu pendidikan tidak akan lepas dari adanya suatu tujuan pendidikan.
Tujuan merupakan hasil akhir atau segala sesuatu yang hendak dicapai. Ahli-ahli

33
Ibid., h. 341.
35

pendidikan telah sependapat bahwa suatu ilmu yang tidak akan membawa kepada
fadhilah dan kesempurnaan tidak selayaknya diberi nama ilmu.
Pendidikan budi pekerti yang terintegritasi dalam sejumlah mata pelajaran
yang relevan dalam dunia persekolahan secara umum bertujuan untuk
memfasilitasi siswa agar mampu menggunakan pengetahuan, mengkaji dan
menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai, mengembangkan keterampilan
sosial agar akhlak mulia dalam diri siswa dapat tumbuh dan berkembang serta
diwujudkan dalam perilaku sehari-hari, dalam berbagai konteks sosial budaya
yang berbhineka sepanjang hidupnya.34
Secara rinci Nurul Zuriah mengemukakan tujuan pendidikan budi pekerti
adalah sebagai berikut :
1. Siswa memahami nilai-nilai budi pekerti di lingkungan keluarga, lokal,
nasional, dan internasional melalui adat istiadat, hukum, undang-undang,
dan tatanan antarbangsa.
2. Siswa mampu mengembangkan watak dan tabiatnya secara konsisten
dalam mengambil keputusan budi pekerti ditengah-tengah rumitnya
kehidupan masyarakat saat ini.
3. Siswa mampu menghadapi masalah nyata dalam masyarakat secara
rasional bagi pengambilan keputusan yang terbaik setelah melakukan
pertimbangan sesuai dengan norma budi pekerti.
4. Siswa mampu menggunakan pengalaman budi pekerti yang baik bagi
pembentukan kesadaran dan pola perilaku yang berguna dan bertanggung
jawab atas tindakannya.35

Menurut Andewi yang dikutip Abdul Majid dan Dian Andayani, pendidikan
budi pekerti bertujuan sebagai bimbingan/latihan untuk membentuk tingkah laku
yang baik yang merupakan ungkapan/ ekspresi dari nilai-nilai mulia. pendidikan
budi pekerti itu ialah pendidikan yang membentuk perilaku berdasarkan nilai
nilai universal.36 Sedangkan Haidar Putra Daulay berpendapat bahwa tujuan
pendidikan budi pekerti adalah untuk mengembangkan nilai, sikap, dan perilaku
siswa yang memancarkan akhlak mulia/berbudi luhur. Dengan kata lain dalam
pendidikan budi pekerti nilai-nilai yang ingin dibentuk adalah nilai-nilai akhlak

34
Zuriah, op. cit., h. 64.
35
Ibid., h. 67.
36
Majid, op. cit., h. 14.
36

yang mulia, yaitu tertanamnya nilai-nilai akhlak yang mulia ke dalam diri peserta
didik yang kemudian terwujud dalam tingkah lakunya.37
Menurut Prof. Dr. Mohd Athiyah Al-Abrasyi, tujuan utama dari pendidikan
Islam adalah pembentukan akhlak dan budi pekerti yang sanggup menghasilkan
orang-orang yang bermoral dan tujuan dari pendidikan moral dan akhlak dalam
Islam adalah untuk membentuk orang-orang yang bermoral baik, keras kemauan,
sopan dalam bicara dan perkataan, serta mulia dalam tingkah laku dan perangai,
bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur, dan suci.38
Menurut Cahyoto yang dikutip nurul zuriah mengatakan bahwa tujuan
pendidikan budi pekerti dapat dikembalikan kepada harapan masyarakat terhadap
sekolah yang menghendaki siswa memiliki kemampuan dan kecakapan berpikir,
menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat, dan memiliki kemampuan yang
terpuji sebagai anggota masyarakat.39
Dari pendapat di atas nampak jelas bahwa tujuan dari adanya pendidikan budi
pekerti atau akhlak adalah menciptakan seseorang yang insan kamil yang
memiliki budi pekerti luhur, perilaku yang baik sesuai norma agama dan
masyarakat sehingga orang tersebut dapat memunculkan sikap dan perilaku yang
baik terhadap Allah SWT sebagai penciptanya dan juga terhadap sesama
makhluk.
Para ahli mengatakan bahwa tujuan pendidikan islam termasuk pendidikan
budi pekerti atau akhlak adalah membimbing manusia agar menjadi seseorang
yang bertaqwa kepada Allah, yakni melaksanakan segala perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya dengan penuh kesadaran dan ketulusan.40 Tujuan ini
muncul dari hasil pemahaman terhadap ayat Al-Qur’an yaitu :

‫اَّللَ َح َّق تُ َقاتِِه َوََل َتَُوتُ َّن إََِّل َوأَنْ تُ ْم ُم ْسلِ ُمو َن‬
َّ ‫آمنُوا اتَّ ُقوا‬
َ ‫ين‬
ِ َّ
َ ‫ََي أَيُّ َها الذ‬

37
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2012), Cet. III, h. 198.
38
Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, op.cit., h. 109
39
Zuriah, op. cit., h. 65.
40
Abuddin Nata. Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005),
h. 166-168.
37

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-


benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam keadaan beragama Islam” (Q.S Ali Imron : 102)
Tujuan ini tampaknya didasarkan pada salah satu sifat dasar yang terdapat
dalam diri manusia, yakni sifat dasar yang cenderung menjadi orang yang baik,
yakni kecenderungan untuk melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya, di samping kecenderungan untuk menjadi orang yang jahat.
Sejalan dengan pendapat di atas, Prof Abuddin Nata juga mengacu pada
hadits berikut ini :

‫ص َرانِِه أ َْو‬ ِ ِ ِ ِ ٍ
ِِّ َ‫ فَأَبَ َواهُ يُ َه ِِّو َدانِه أ َْو يُن‬،ُ‫سانُه‬ َ ‫ َح ََّّت يُ ْع ِر‬،‫ُك ُّل َم ْولُْود يُ ْولَ ُد َعلَى الْفط َْرة‬
َ ‫ب َع ْنهُ ل‬
‫سانِِه‬ ِ
َ ‫ْيَُ ِّج‬
“Tiap orang dilahirkan membawa fitrah, ayah dan ibunyalah yang
menjadikannya yahudi, nasrani dan majusi. (H.R. Bukhari dan Muslim)41
Dari kedua pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan budi
pekerti adalah membentuk seseorang yang berperilaku baik baik dari segi
perkataan maupun perbuatan terhadap sesama makhluk, dan membentuk
seseorang yang semakin bertaqwa kepada Allah SWT sebagai khalik, dengan
selalu menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

E. Hasil Penelitian yang Relevan


Skripsi Moh. Afif Efendi (UIN Sunan Ampel Surabaya, 2017) yaitu: “Konsep
Pendidikan Budi Pekerti Perspektif Hamka.” Menyimpulkan bahwa budi pekerti
ialah suatu persediaan yang telah ada dalam batin. Kalau persediaan itu
menimbulkan perangai yang terpuji, itulah yang dinamakan budi pekerti yang
baik. Tetapi, kalau tumbuh perangai yang tercela maka dinamakan dengan budi
pekerti yang jahat. Dan pendidikan sekarang kurang menunjang pendidikan budi
pekerti melainkan mengedepankan aspek kognitif atau hafalan sehingga perlunya
metode penanaman budi pekerti seperti metode keutamaan, metode keteladanan,
dan metode Live In.

41
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al- Jami’u Shahih lil Bukhari, (Kairo: Al-Matba’ah as-
Salafiyyah, 1400 H), Juz I, h. 424.
38

Skripsi Puji Nur Utami (IAIN Salatiga, 2017) yaitu: “Konsep Pendidikan
Karakter Menurut Ki Hajar Dewantara”, menyimpulkan bahwa dalam konteks
pengajaran budi pekerti atau karakter adalah orang yang senantiasa memikir-
mikirnya, merasa-rasakan dan selalu memakai ukuran, timbangan, dan dasar
yang pasti dan tetap dalam perkataan dan perbuatannya yang terpuji terhadap
sesama dan lingkungannya. Serta pendidikan merupakan daya dan upaya yang
disengaja secara terpadu dalam rangka memerdekakan aspek lahiriah dan batiniah
manusia yang melibatkan 3 pelaksana pendidikan yaitu keluarga, sekolah, dan
masyarakat yang ketiganya disebut “Tri Pusat Pendidikan”
Skripsi Andriana Kusumawati (STAIN Ponorogo, 2015) yaitu : “Konsep
Pendidikan Budi Pekerti Perspektif ki Hadjar Dewantara dan Relevansinya
dengan Pendidikan Akhlak dalam Islam”. Menyimpulkan bahwa pendidikan budi
pekerti adalah memberikan nasihat, materi, anjuran yang dapat mengarahkan anak
pada keinsyafan dan kesadaran akan perbuatan baik sesuai dengan tingkatan
perkembangannya agar terbentuk watak dan kepribadian yang baik sehingga
tercipta kebahagiaan lahir dan batin.
Skripsi Robiatul Adawiyah (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017) yaitu:
“Konsep Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih” menyimpulkan bahwa berbagai
ilmu yang diajarkan janganlah semata-mata karena ilmu itu sendiri, atau tujuan
akademik semata, tetapi lebih kepada tujuan yang hakiki yaitu akhlak yang mulia.
dengan demikian semakin tinggi ilmu seseorang maka diharapkan semakin tinggi
pula akhlaknya. Guru dianggap lebih berperan dalam mendidik kejiwaan peserta
didik sehingga posisi guru sangat penting sehingga guru berkualitas sangat
diperlukan.
Skripsi Fatma Samal (UIN Sunan Kalijaga, 2016) yaitu: “Studi Komparasi
Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ki Hadjar Dewantara dan Hamka Serta
Implikasinya terhadap Pendidikan Islam”. Menyimpulkan bahwa konsep
pendidikan Akhlak adalah pendidikan Budi Pekerti yaitu kebaikan dari pikiran
dan perbuatan serta keduanya menekankan pendidikan akhlak (budi pekerti) yang
berorientasi pada keluarga dan masyarakat.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian yang berjudul Konsep Pendidikan Budi Pekerti Menurut Ki
Hadjar Dewantara dilakukan di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini dilaksanakan pada 17 November 2017
sampai dengan 20 Agustus 2018.
B. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian dapat diartikan sebagai cara ilmiah untuk
mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat ditemukan,
dikembangkan dan dibuktikan suatu pengetahuan tertentu sehingga pada
gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan dan
mengantisipasi masalah dalam bidang pendidikan.1
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati, artinya penelitian
ini tidak menggunakan prosedur analisis perhitungan angka (statistik)
dengan maksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll.2
Lincoln dan Guba menyatakan bahwa penelitian Kualitatif disebut
sebagai “Naturalistik Inquiry” yaitu penelitian yang cara pengamatan dan
pengumpulan datanya dilakukan dalam latar/ setting alamiah, artinya tanpa
memanipulasi subjek yang diteliti. Creswell mengelompokkan penelitian

1
Sugiono, metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2014), cet. XXI, h.2.
2
Rexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016), cet.
XXXVIII., h. 6-11.

39
40

kaulitatif ke dalam lima pendekatan, yaitu : 1) biografi, 2) fenomenologi, 3)


grounded theory, 4) etnografi, dan 5) studi kasus. 3
Penelitian dalam skripsi ini merupakan jenis penelitian biografi, yaitu
studi tentang individu yang meliputi pemikiran tokoh, gagasan, dan konsep
yang dituliskan kembali dengan mengumpulkan dokumen, arsip, dalil, atau
hukum yang berhubungan dengan masalah penelitian. Denzin
menambahkan sebagaimana yang dikutip oleh Emzir mendefinisikan
pendekatan biografi sebagai “studies used and collection of life document
that describe turningpoint moment an individual’s life”. Pendekatan
biografi menggunakan bahan kajian dan koleksi dokumentasi dari/tentang
kehidupannya untuk mendeskripsikan (menggambarkan) suatu peristiwa
atau pemikiran dalam kehidupan tokoh tersebut.4
Dalam memperoleh data, fakta, dan informasi yang terkait untuk
melengkapi dan menjelaskan permasalahan dalam penulisan skripsi ini,
penulis menggunakan metode deskriptif dimana data yang dikumpulkan
berupa kata-kata bukan angka yang diperoleh melalui penelitian
kepustakaan atau library research. Penelitian library research yakni
mengumpulkan, menelaah dan mengkaji data atau karya tulis ilmiah yang
bertujuan dengan objek penelitian atau pengumpulan data yang bersifat
kepustakaan.5
2. Sumber Data Penelitian
Untuk mendapatkan data yang valid, maka diperlukan sumber data
penelitian yang valid pula. Dilihat dari sumber datanya, maka penelitian ini
menggunakan data primer dan data sekunder. Sumber data primer adalah
data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti. Dalam hal ini, karya-
karya Ki Hadjar Dewantara baik berupa buku maupun jurnal.

3
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, (Jakarta:
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015). h. 61-62.
4
Emzir, Analisis Data: Metodologi penelitian Kualitatif (Jakarta: Rajawali Press, 2010), h. 26.
5
Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h.60-
61.
41

Sedangkan data sekunder merupakan data-data yang mendukung data


primer, yaitu buku-buku dan literatur yang relevan dengan penelitian ini.
Data sekunder yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah buku,
jurnal dan sumber literatur lainnya yang mengkaji tentang pemikiran Ki
Hadjar Dewantara mengenai pendidikan Budi Pekerti.
a. Sumber Primer yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah :
1) Bagian Pertama Pendidikan karya Ki Hadjar Dewantara.
2) Bagian Kedua Kebudayaan karya Ki Hadjar Dewantara.
3) Menuju Manusia Merdeka Karya Ki Hadjar Dewantara
b. Sumber Sekunder yang dipakai penulis dalam penelitian ini diantaranya
: Ki Hadjar Dewantara Biografi Singkat 1889-1959 karya Suparto
Rahardjo (2010), Ki Hadjar Dewantara karya Darsiti Soeratman
(1985), Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara karya Bartolomeus
Samho (2013), dan sumber yang ditulis oleh penulis lain yang berkaitan
dengan pembahasan.
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk
memperoleh data yang diperlukan, dalam hal ini akan selalu ada hubungan
antara teknik pengumpulan data dengan masalah penelitian yang ingin
dipecahkan. Pengumpulan data tidak lain adalah suatu proses penyediaan
data untuk keperluan penelitian.
Untuk memudahkan pengumpulan data, fakta dan informasi yang
mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini,maka
peneliti menggunakan metode penelitian studi dokumentasi, yaitu
mengumpulkan data, fakta dan informasi berupa literatur-literatur dengan
bantuan bermacam-macam materi yang terdapat di ruangan perpustakaan.6
Metode dokumentasi ini merupakan sumber non manusia, sumber ini
adalah sumber yang sangat bermanfaat sebab telah tersedia sehingga akan

6
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D,
(Bandung: Alfabeta, 2008), h. 329.
42

relatif murah pengeluaran biaya untuk memperolehnya, dokumentasi ini


juga merupakan sumber yang stabil dan akurat sebagai cermin
situasi/kondisi yang sebenarnya serta dapat dianalisis secara berulang-ulang
dengan tidak mengalami perubahan.7
Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mempelajari literatur
yang berkaitan dengan masalah yang diteliti dengan mengumpulkan data-
data melalui bahan bacaan (text book) yang bersumber pada buku-buku
primer, sekunder.
2. Teknik Pengolahan Data
Untuk mendapatkan data yang valid, maka dari literature-literatur baik
primer maupun sekunder dikelola secara sistematis dalam bentuk
dokumentasi yang setidaknya dapat memberikan informasi penting tentang
pendidikan budi pekerti menurut Ki Hadjar Dewantara. Setelah data-data
diperoleh, peneliti mengolah data-data tersebut kemudian didapat suatu
kesimpulan.
Secara sederhana pada langkah ini dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu: pertama, dengan cara induktif yang merupakan suatu pola berpikir
yang menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang
bersifat individual. Pola induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-
pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam
menyusun argumentasi dan diakhiri dengan penyimpulan yang bersifat
umum. Kedua, dengan cara deduktif yang merupakan pola berpikir yang
bertitik tolak pada pernyataan yang bersifat umum, dan menarik kesimpulan
yang bersifat khusus.8
Dari kedua macam teknik data di atas, penulis dalam penelitian ini
menggunakan teknik pola pikir deduktif, yaitu dengan cara berangkat dari
pernyataan umum mengenai konsep pendidikan budi pekerti menurut Ki
Hadjar Dewantara, kemudian menyusun dan mengumpulkan data yang

7
Tim Penyusun, op.cit., h. 67.
8
Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2012)
Cet. 4, h. 38-40.
43

bersifat khusus yang berkenaan dengan konsep pendidikan budi pekerti


menurut Ki Hadjar Dewantara
D. Analisis Data
Menurut Kerlinger, yang dikutip oleh Prof, Drs. H. Moh. Kasiram,
Analisis data dilakukan dengan tujuan untuk meringkas data dalam bentuk
yang mudah dipahami dan mudah ditafsirkan, sehingga hubungan antar
problem penelitian dapat dipelajari dan diuji.9
Dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan sejak awal penelitian
dan selama proses penelitian tersebut dilaksanakan. Data diperoleh dan
dikumpulkan untuk diolah secara sistematis. Reliabilitas penelitian kualitatif
pada penelitian ini juga dipengaruhi oleh pendekatan analisis konsep. Analisis
konsep merupakan suatu analisis tentang istilah (kata-kata) yang mewakili
konsep atau gagasan.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik analisis data (content
analysis) dalam bentuk deskriptif, yaitu berupa catatan informasi faktual yang
menggambarkan segala sesuatu apa adanya dan mencakup penggambaran
secara rinci dan akurat terhadap berbagai dimensi yang terkait dengan semua
aspek yang diteliti.10 Maka, di sini penulis menggambarkan permasalahan yang
dibahas dengan mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan
yang dikaji, kemudian dianalisis dan dipadukan menjadi satu kesimpulan yang
utuh.

9
Moh. Kasiram, Metodologi Penelitian, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 128.
10
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu
Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, cet. III, 2009), h.159.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN TENTANG BUDI
PEKERTI MENURUT KI HADJAR DEWANTARA

A. Biografi Ki Hadjar Dewantara


1. Riwayat Hidup Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara terlahir dengan nama Raden Mas Suwardi Suryaningrat


pada tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Ia berasal dari lingkungan keluarga
keraton, tepatnya putra Pakualam Yogyakarta dan merupakan cucu dari Sri
Pakualam III. Raden Mas merupakan gelar bagi bangsawan Jawa yang otomatis
melekat pada seorang laki-laki keturunan ningrat mulai dari keturunan kedua
hingga ketujuh dari raja maupun pemimpin yang terdekat yang pernah memegang
pemerintahan. Gelar ini biasanya dipakai oleh semua kerajaan di Jawa pewaris
Mataram. Sedangkan ayahnya bernama K.P.H. Suryaningrat dan ibunya bernama
Raden Ayu Sandiyah yang merupakan buyut dari Nyi Ageng Serang yaitu seorang
keturunan dari Sunan Kalijaga.1

Ayah Ki Hadjar Dewantara merupakan orang yang taat menjalankan agama


Islam dan memiliki berpengetahuan yang luas serta memiliki jiwa yang humoris.
Ayahnya pernah memberi Paraban atau nama julukan kepada Ki Hadjar
Dewantara sewaktu kecil dengan sebutan “Jemblung” karena kondisi Ki Hadjar
Dewantara sewaktu bayi itu sangat kecil, berperut buncit dan ringkih. Namun
pemilik pondok pesantren di Prambanan yaitu Kyai Haji Soleman mengusulkan
kepada ayahnya untuk menambahkan nama “Trunogati” di belakang “Jemblung”,
sehingga lengkapnya menjadi “Jemblung Trunogati.” Jadi ketika kecil Ki Hadjar
Dewantara sering dipanggil dengan sebutan “Raden Mas Jemblung Trunogati.”2

1
Suparto Raharjo, Ki HadjarDewantara Biografi Singkat 1889-1959, (Yogyakarta:Garasi
House Of Book, 2014), cet. 2, h.9.
2
Haidar Musyafa, Sang Guru, Novel Biografi Ki HadjarDewantara, Kehidupan, Pemikiran,
dan Perjuangan Pendiri Tamansiswa (18889-1959), (Jakarta: Imania, 2015), h. 32-33.

44
45

Ki Hadjar Dewantara hidup di dalam keluarga yang tekun dalam hal sastra
serta lingkungan yang religius. Ini terlihat dari adanya langgar dan masjid di dekat
rumahnya yang berguna dalam mempertebal keyakinan agamanya. Setiap hari
jum’at ayahnya menjalankan sholat di masjid bersama ulama-ulama lain. Dari
seorang ayah yang tingkat keagamaannya tinggi inilah, beliau menerima ajaran
agama islam. Ayahnya berpegang pada ajaran yang menyatakan bahwa “syariat
tanpa hakikat adalah kosong”, dan “Hakikat tanpa syariat adalah batal.” Selain
ajaran agama Islam, Ki Hadjar Dewantara juga mendapat pelajaran berupa ajaran
lama yang dipengaruhi oleh filsafat Hindu yang tersirat dalam cerita wayang.
Pengaruh Hindu ini terlihat dari wayang yang dibuat oleh Ki Hadjar Dewantara
berbentuk manusia serta cerita-cerita yang dibawakan diambil dari kisah
Ramayana dan kisah-kisah Hindu lainnya. Hal ini menjadikan Tokoh Pendidikan
bernama Dr Tagore menganggap bahwa Ki Hadjar Dewantara adalah orang Jawa
yang lebih pandai mewujudkan cerita Hindu dibandingkan dengan orang Hindu
itu sendiri.3 Selain pelajaran ajaran lama, pelajaran seni dan sastra, gending dan
seni suara juga diberikan secara mendalam oleh ayahnya. Oleh sebab itu, Ki
Hadjar Dewantara tumbuh menjadi pribadi yang berjiwa religius yang sangat
mahir dalam bidang sastra karena seperti yang dijelaskan di atas bahwa sejak kecil
Ki Hadjar Dewantara telah dididik dalam suasana religius dan dilatih untuk
mendalami soal-soal sastra tersebut. 4

Dari latar belakang keluarga yang diuraikan di atas, dapat dipahami bahwa Ki
Hadjar Dewantara merupakan seorang sastrawan sekaligus orang yang religius
yang taat dalam menjalankan perintah agamanya. Kemahirannya tersebut
terbentuk dari sosok ayahnya yang juga sastrawan dan religius serta lingkungan
yang mendukung dalam pembentukan jiwa religiusnya karena terdapat banyaknya
tempat beribadah dan ulama-ulama yang dapat dijadikan panutan dalam
memperdalam ilmu agama Islam.

3
Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan
Tamansiswa, 2011), Cet. IV, h. 133.
4
Darsiti Soeratman. Ki HadjarDewantara, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1985), h.9.
46

Suwardi Suryaningrat menikah dengan Raden Ayu Sutartinah Sasraningrat


pada 1907. Ia adalah cucu dari Sri Paku Alam III dan merupakan sepupu Suwardi
sendiri. Kelak Sutartinah dikenal sebagai Nyi Hajar Dewantara. Ketika genap
berusia 40 tahun, menurut hitungan tahun Saka, ia berganti nama menjadi Ki
Hajar Dewantara. Nama Raden Mas Suwardi Suryaningrat ditinggalkan pada 23
Februari 1928. Nama Ki Hajar Dewantara ditemukan dalam rangkaian-rangkaian
diskusi yang sering diikutinya. Suwardi diakui oleh teman-temannya sebagai
orang yang paling mahir dalam tema pendidikan, keguruan, dan pengajaran.
Pergantian nama ini berawal dari Raden Mas Sutatmo Suryakusumo yang
merupakan anggota Volksraad dari Budi Utomo yang secara spontan memanggil
Suwardi dengan sebutan Ki Ajar. Dari situlah nama Ki Hadjar ditemukan. Nama
“Ki” sendiri merupakan sebutan untuk orang tua atau guru yang menjadi panutan.
Hal ini mengakibatkan Suwardi tidak menggunakan gelar kebangsawanannya
yang dimaksudkan agar ia dapat dengan bebas dekat dengan rakyat, baik secara
fisik maupun batin.5

Tepat pada tanggal 26 April 1959 pukul 19:30 Ki Hadjar Dewantara wafat di
tempat kediamannya di Yogyakarta. Beliau wafat dalam usia 70 tahun.
Jenazahnya dimakamkan di pekuburan keluarga Tamansiswa yang disebut
“Taman Langgeng” artinya Taman Abadi yang sekarang bernama “Taman Wijaya
Brata”. Ki Hadjar dimakamkan dengan penghormatan secara militer dimana
Panglima Tetorium IB Letkol Soeharto bertindak sebagai inspektur upacara
pemakamannya. Beribu-ribu orang dari berbagai tempat dan daerah datang
menghadiri upacara pemakaman beliau.6

Sejak wafatnya Ki Hadjar Dewantara, Rakyat Indonesia dirasa sangat


kehilangan seorang pemimpin, tokoh kebudayaan, tokoh pendidikan, yang
sederhana, jujur dan berani. Rakyat Indonesia kehilangan seorang bapak yang
memiliki jiwa nasionalis yang tinggi serta orang yang berpengaruh dalam
pendidikan di Indonesia melalui gagasan-gagasan yang dikemukakannya. Untuk

5
Rahardjo, op. cit., h. 18.
6
Sagimun. M.D. Ki HadjarDewantara, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983), Cet. II, h. 50.
47

mengetahui pendidikan yang dilalui Ki Hadjar Dewantara serta konsep


pendidikan yang diajarkannya, akan diuraikan pada ulasan selanjutnya di bawah
ini.

2. Latar Belakang Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Suwardi mendapatkan pendidikan agama dari Pesantren Kalasan dibawah


asuhan K.H Abdurrahman. Sejak awal, pengasuh pesantren telah melihat adanya
keistimewaan pada sosok Suwardi. Beliaulah yang menjuluki Suwardi sebagai
“Jemblung Trunogati” atau anak mungil berperut buncit, tetapi mampu
menghimpun pengetahuan yang luas.7

Ki Hadjar Dewantara mendapat pendidikan sekolah dasarnya di Sekolah


Dasar Belanda III (Eruopeesche Lagere School). Sekolah ini letaknya di
kampung Bintaran Yogyakarta, tidak jauh dari tempat kediamannya. Di sekolah
itu banyak terdapat anak-anak Ambon dan Indo-Belanda. Seringkali sesudah
sampai di rumah, Suwardi menceritakan pengalamannya. pada waktu itu ia pulang
sekolah dan terpaksa harus berkelahi dengan kawan-kawannya karena mereka
menghinanya.8 ELS menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
Awalnya, Sekolah Dasar ini hanya terbuka bagi warga Belanda di Hindia
Belanda. Namun sejak 1903, kesempatan belajar juga diberikan kepada orang-
orang pribumi yang mampu dan warga Tionghoa.

Sesudah tamat Sekolah Dasar tersebut, Suwardi meneruskan pendidikannya


di sekolah Kweek School, yaitu Sekolah Guru Belanda yang didirikan oleh
pemerintah Hindia Belanda yang dimaksudkan sebagai persiapan untuk
mendirikan sekolah-sekolah bumi putera, namun Suwardi hanya menjalani
pendidikannya selama satu tahun saja untuk kemudian pindah ke STOVIA yaitu
Sekolah Dokter Bumiputera di Jakarta dimana di sekolah tersebut Suwardi
mendapatkan beasiswa karena disebabkan oleh kecerdasan yang dimiliki Suwardi
serta penguasaan bahasa Belanda yang dinilai sangat baik.

7
Rahardjo, op cit., h.10.
8
Soeratman, op. cit., h.11.
48

Suwardi masuk di STOVIA dengan bantuan sang kakak, yaitu Surjopranoto


untuk bersekolah selama lima tahun, Namun ia tidak sampai lulus dan terpaksa
keluar. Awalnya Suwardi menderita sakit selama empat bulan yang tentunya
mengganggu proses belajarnya sehingga pada akhirnya dia tidak naik kelas
sehingga beasiswanya dicabut. Namun sebenarnya ada alasan lain dibalik kasus
pencabutan beasiswa tersebut. Penyebabnya lebih bersifat politis. Pencabutan
beasiswa tersebut dilayangkan sesaat setelah Suwardi mendeklamasikan sebuah
sajak dalam sebuah pertemuan. Sajak itu menggambarkan keperwiraan Ali Basah
Sentot Prawirodirdjo, panglima perang andalan Pangeran Diponegoro. Suwardi
dituduh telah membangkitkan semangat memberontak terhadap pemerintahan
kolonial Hindia Belanda.9

Setelah keluar dari STOVIA, Suwardi mengalami masa pembuangan bersama


kedua temannya di Belanda yaitu Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo
disebabkan oleh tulisannya yang berisi kritikan tajam terhadap pemerintah
Belanda. Masa pembuangan di Belanda dilakukannya sesaat ia menikah dengan
Raden Ayu Sutartinah. Masa pembuangan ini dipergunakan oleh Suwardi untuk
mendalami masalah pendidikan dan pengajaran. Artinya pendidikan Suwardi
berlanjut di negeri Belanda ini. Di Belanda pula Suwardi menggagas
kemerdekaan Indonesia melalui pembangunan bidang pendidikan nasional.
Selama di pengasingan, ia memang memperdalam ilmu pendidikan hingga
mendapatkan sertifikat sebagai pendidik (Europeesche Akte), bahkan teori tentang
kontinuitas, konvergensi, konsentrisme telah dipraktikkan oleh Suwardi sejak ia
menuntut ilmu pendidikan di Belanda.10

3. Riwayat Perjuangan Ki Hadjar Dewantara

Sesudah meninggalkan Sekolah Dokter Bumiputera, Suwardi bekerja di


pabrik gula di Bojong Purbalingga. Kemudian pada 1911 pindah ke Yogyakarta
dimana ia bekerja sebagai pembantu apoteker di Rathkamp.11 Namun dunia

9
Rahardjo, op cit., h. 10-12.
10
Ibid., h. 16.
11
Sagimun, op. cit., h. 4.
49

jurnalistik dirasa Suwardi lebih menarik dan lebih cocok dengan dirinya. Oleh
karena itu ia menjadi jurnalis dan membantu beberapa surat kabar, antara lain:
Sedyotomo (berbahasa Jawa) Midden Java (berbahasa Belanda), De Express
(berbahasa Belanda), Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timur, dan
Poesara. Ia juga menerbitkan koran Goentoer Bergerak dan Hindia Bergerak.

Selain aktif sebagai seorang wartawan muda, Suwardi juga berkiprah dalam
organisasi sosial-politik. Terlihat pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda
organisasi Budi Utomo yang bertugas dalam mensosialiasikan akan pentingnya
persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara sehingga kesadaran
masyarakat akan bangsa nya sendiri dapat terbentuk denga baik.

Karena keaktifan Suwardi dalam dunia jurnalistik di samping segala kegiatan


Suwardi mulai diawasi secara tajam oleh pemerintah Belanda, maka Douwes
Dekker meminta kepada Suwardi untuk pindah ke Bandung. Disana ia diminta
untuk memimpin surat kabar De Expres. Selama di Bandung Suwardi aktif dalam
partai Serikat Islam cabang Bandung. Bahkan pada waktu itu ia menjabat sebagai
ketua Serikat Islam cabang Bandung yang dibantu oleh Abdul Muis yang juga
merupakan bekas pelajar STOVIA dan A.Wignyadisastra yang merupakan
pemimpin redaksi surat kabar Kaoem Moeda di Bandung. 12

Pada tanggal 25 Desember tahun 1912, ia bersama kedua temannya yaitu


Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan Dr. Cipto Mangunkusumo yang
ketiganya dikenal dengan sebutan “Tiga Serangkai” mendirikan partai politik
pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia. Tujuannya tidak lain adalah
mewujudkan Indonesia merdeka. Partai politik yang Suwardi dan kedua temannya
bentuk bernama Indische Partij. Namun dalam usaha mendaftarkan Indische
Partij untuk memperoleh badan hukum pada pemerintah kolonial, Gubernur
Jenderal Alexander Willem Frederik Idenburg berusaha menghalangi kehadiran
partai ini dengan menolak pendaftarannya tersebut pada 11 Maret 1913.

12
Ibid., h. 5.
50

Menyusul ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij,


Suwardi ikut membentuk Komite Bumi Putera pada November 1913. Komite ini
sekaligus sebagai komite tandingan komite perayaan seratus tahun kemerdekaan
bangsa Belanda. Suwardi lewat Komite Bumi Putera ini mengkritik terhadap
pemerintahan Belanda yang bermaksud merayakan kemerdekaan dengan cara
menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.

Suwardi mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander


(Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een
(Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisannya tersebut ia muat di
dalam surat kabar de Expres milik Douwes Dekker. Dalam tulisannya tersebut,
antara lain berbunyi :

“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan


pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas
kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil,
melainkan juga tidak pantas menyuruh si inlander memberikan
sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan
perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula
kantungnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalo aku
seorang Belanda apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan
sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan
ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada
kepentingannya sedikit pun.”13
Akibat tulisan yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was tersebut,
pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jenderal Idenburg menjatuhkan
hukuman tanpa proses pengadilan kepada Suwardi, berupa hukuman internering
(hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal
yang boleh bagi seseorang untuk bertepat tinggal. Hukuman ini dia dapatkan
bersama dengan Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo yang menghendaki
dibuang ke negeri Belanda karena disana mereka bisa mempelajari banyak hal
dari pada di daerah terpencil.

Masa pembuangan di Belanda dipergunakan oleh Suwardi untuk mendalami


masalah pendidikan dan pengajaran. Namun keterbatasan biaya hidup ia alami

13
Rahardjo, op cit., h. 14
51

disana karena pemerintah Belanda hanya memberikan bantuan biaya hidup untuk
satu orang saja sedangkan selama di Belanda Suwardi tinggal bersama istrinya.
Namun hambatan itu bisa ia lalui dengan cara menjadi jurnalis guru Taman
Kanak-Kanak (Frobel School) sehingga kebutuhan sehari-hari di Belanda bisa
sedikit tercukupi. Dalam masa pengasingan inilah Suwardi memperdalam ilmu
pendidikan hingga mendapatkan sertifikat sebagai pendidik yang disebut
Europeesche Akte.

Pada tahun 1919 Suwardi berhasil mengumpulkan uang untuk kembali ke


Indonesia bersama istri dan seorang putrinya, yaitu Ni Asti. Setibanya di
Indonesia ia bersama rekan-rekan seperjuangannya lalu mendirikan sebuah
perguruan yang bercorak nasional yaitu Nationaal Onderwijs Instituut
Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) yaitu pada 3 juli 1922. Perguruan
ini sangat menekankan pendidikan kebangsaan kepada peserta didiknya agar
mereka mencintai bangsa dan negara sehingga memiliki semangat juang guna
memperoleh kemerdekaan bangsa Indonesia. Sekolah ini juga menawarkan
pendidikan berorientasi kepada kebudayaan Timur dan mengedepankan nilai-nilai
kerohanian yang dibarengi kekuatan intelektual.

Enam tahun setelah berdirinya Tamansiswa, terbitlah majalah Wasita. Ini


merupakan majalah yang diterbitkan oleh Tamansiswa. Ki Hadjar berperan
sebagai pengarang dan salah satu dewan redaksinya. Melalui majalah ini,
gagasan-gagasan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan dan pengajaran yang ia
coba terapkan di Tamansiswa dan coba disebarkan kepada khalayak umum,
khususnya masyarakat pribumi sebagai sarana pencerahan pikiran, tampak secara
jelas. Walaupun semenjak itu beliau mencurahkan perhatian dalam dunia
pendidikan di Tamansiswa, ia tetap rajin menulis. Hanya saja orientasi tulisannya
banyak beralih dari politik menjadi ke arah pendidikan dan kebudayaan yang
berwawasan kebangsaan. Tulisannya ini berjumlah ratusan buah.14

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, Ki Hadjar tetap melanjutkan


kegiatan di bidang politik dan pendidikan. Ketika pemerintah pendudukan Jepang
14
Ibid., h. 20.
52

membentuk pusat tenaga rakyat (putera) pada 1943, Ki Hadjar Dewantara menjadi
salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, dan
K.H. Mas Mansur. Setelah zaman kemerdekaan, ia menjabat sebagai Menteri
Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang pertama. Hingga akhirnya pada
tahun 1957 Ki Hadjar Dewantara menerima gelar Doctor Honoris Causa dari
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Namun, pada 26 April 1959, Ki Hadjar
Dewantara meninggal dunia. 15

4. Karya-Karya Ki Hadjar Dewantara


a. Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan Bagian Kesatu
b. Ki Hadjar Dewantara, Kebudayaan Bagian Kedua
c. Ki Hadjar Dewantara, Politik dan Kemasyarakatan Bagian Ketiga
d. Ki Hadjar Dewantara, Riwayat dan Perjuangan Hidup Penulis Bagian
Keempat
e. Ki Hadjar Dewantara, Menuju Manusia Merdeka
f. Tahun 1912 mendirikan surat kabar harian “De Exspres” (Bandung),
Sedyotomo (Yogyakarta) Midden Java (Yogyakarta), Kaoem Moeda
(Bandung), Oetoes Hindia (Surabaya), Tjahaja Timur (Malang),
Poesara, koran Goentoer Bergerak dan Hindia Bergerak.
g. Monumen Nasional Tamansiswa yang didirikan pada tanggal 3 Juli 1922
h. Tahun 1913 mendirikan Boemi Putra bersama Cipto Mangunkusumo.
i. Mendirikan IP (Indische Partij) pada tanggal 16 September 1912 bersama
Douwes Dekker dan Sudjipto Mangunkusumo
j. Tahun 1918 mendirikan kantor berita Indonesische Persbureau di
Nederland.
k. Tahun 1944 diangkat menjadi anggota Naimo Bun Kyiom Yoku
SanyoKantor Urusan Pengajaran dan Pendidikan)
l. Pada tanggal 8 Maret 1955 ditetapkan pemerintah sebagai Perintis
Kemerdekaan Nasional Indonesia

15
Ibid., h. 21.
53

m. Pada tanggal 19 Desember 1956 mendapat gelar kehormatan Honoris


Kausa dalam Ilmu Kebudayaan dari Universitas Gajah Mada
n. Pada tanggal 17 Agustus dianugerahi oleh Presiden atau Panglima
Tertinggi Angkatan Perang RI Bintang Mahaputra Tingkat 1
o. Pada tanggal 20 mei 1961 menerima tanda kehormatan Satya Lantjana
Kemerdekaan.

B. Pendidikan Budi Pekerti Menurut Ki Hadjar Dewantara


1. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Budi Pekerti
Menurut Ki Hadjar Dewantara di dalam bukunya yang berjudul
“Bagian Pertama: Pendidikan” mengatakan bahwa “pendidikan
merupakan daya dan upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti
(kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual) dan tubuh anak (jasmani)
dengan tujuan memajukan kesempurnaan hidup yaitu kehidupan anak
yang sesuai dengan dunianya.”16 Dari pengertian ini terlihat bahwa Ki
Hadjar Dewantara memandang pendidikan sebagai proses yang dinamis,
berkesinambungan serta berwawasan maju, karena sebagai proses
pembentukan anak, pendidikan harus mampu menyesuaikan dengan
tuntutan perkembangan zaman.
Sedangkan “Budi” menurut beliau berarti pikiran perasaan, kemauan
dan “Pekerti” berarti tenaga. Budi pekerti itu sifatnya jiwa manusia, mulai
angan-angan sampai menjelma sebagai tenaga. Jadi yang dimaksud budi
pekerti menurut beliau adalah bersatunya gerak pikiran, perasaan dan
kehendak atau kemauan yang akhirnya menimbulkan tenaga.17
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa Ki Hadjar Dewantara
menegaskan pendidikan budi pekerti tidak lain artinya menyokong
perkembangan hidup anak-anak, lahir, batin dan sifat kodrati nya menuju
kearah peradaban dalam sifatnya yang umum. Selain itu dapat dipahami
pula sebagai usaha pembentukan, pengembangan, peningkatan,

16
Dewantara, op.cit., h. 14.
17
Ibid., h. 25.
54

pemeliharaan, dan perbaikan setiap individu terhadap kemampuan-


kemampuan bawaan yang telah dimiliki setiap individu untuk dapat
mempertahankan hidup, yang tertuju pada pencapaian kemerdekaan lahir
dan batin, sehingga memperoleh keselamatan dalam hidup lahiriah dan
kebahagiaan dalam hidup batiniah.
Dalam hal ini, Ki Buntarsono yang dikutip oleh Nurul Zuriah di dalam
bukunya yang berjudul Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam
Perspektif Perubahan, memiliki pandangan yang sama dengan Ki Hadjar
Dewantara, dimana pendidikan diarahkan agar tidak hanya mengejar
intelektual saja. Akan tetapi moral dan didikannya harus diperkuat. Jika
yang diperkuat hanya intelektualnya saja maka dinamakan pengajaran,
tetapi jika yang dikejar intelektual dan moralnya mala hal itu bisa
dikatakan sebagai pendidikan.18 Hal ini terlihat jelas bahwa pendidikan
merupakan upaya mendidik seseorang untuk cerdas secara intelektualnya
juga baik secara perilaku dan moralnya.
Adapun mengenai tujuannya, Ki Hadjar Dewantara menyebutkan
bahwa pemberian pendidikan itu bermaksud agar anak didik sebagai
anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya.19 Selain itu pengajaran pendidikan budi pekerti
bertujuan untuk menjadikan anak didik menjadi orang yang beriman,
bertaqwa, terampil, menjadi manusia yang luhur serta pada akhirnya
menjadi orang yang berguna bagi masyarakat.20
Dari penjelasan di atas, penulis memahami bahwa tujuan pendidikan
budi pekerti yang disebutkan oleh Ki Hajdar Dewantara lebih
mengedepankan pada tujuan keluhuran budi pekerti atau tingkah laku
seseorang dibandingkan dengan kecerdasan inetelektualnya. Hal ini
sangatlah tepat mengingat banyak sekali seseorang yang cerdas tetapi
tidak dibekali dengan budi pekerti yang baik sehingga seseorang tersebut

18
Nurul Zuriah. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008), Cet. 2, h. 123.
19
Dewantara, op. cit., h. 20.
20
Zuriah, op. cit., h. 132.
55

kerap kali menggunakan kecerdasannya untuk merugikan orang lain.


Contohnya seperti para koruptor dan hacker. Tujuan ini tentunya sangatlah
mulia mengingat pendidikan budi pekerti ini diberikan untuk menggapai
keselamatan dan kebahagiaan seseorang serta menjadikannya seseorang
yang berguna di masyarakat.
Dari pendidikan budi pekerti yang gagas oleh Ki Hadjar Dewantara
nantinya memiliki dasar atau landasan yang melatarbelakangi semangat
dalam mewujudkan pendidikan budi pekerti itu sendiri. Landasan itu
disebut sebagai Panca Dharma, dimana isinya adalah sebagai berikut:21
a. Azas Kebangsaan, mengandung arti adanya rasa satu bangsa dalam
suka dan duka, serta kehendak untuk mencapai kebahagiaan lahir
dan batin seluruh bangsa. Azas kebangsaan ini dirasa memiliki
alasan yang sama dengan dasar sikap nasionalisme dan patrotisme.
Azas kebangsaan ini menurut beliau bukan berarti bahwa bangsa
Indonesia harus mengasingkan diri dan memusuhi bangsa lain.
Artinya dasar kebangsaan ini tidak boleh bertentangan dengan azas
kemanusiaan, dimana membenci bangsa lain bertentangan dengan
kemanusiaan.
Azas Kebangsaan yang dipelopori Ki Hadjar Dewantara, bahwa
Allah menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan perempuan
dan kemudian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling
mengenal. Dalam hal ini pendidikan budi pekerti diajarkan dengan
memberi pengetahuan tentang sikap seseorang terhadap orang lain
yang berbeda agama dan berbeda suku, bagaimana bersikap sopan
santun dalam pergaulan antar bangsa dengan didasari takwa agar
tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
b. Azas Kebudayaan, mengandung arti untuk memelihara nilai dan
bentuk kebudayaan nasional. Dimana pendidikan budi pekerti dapat
diberikan melalui bimbingan dan anjuran-anjuran anak didik tetap
mengembangkan kebudayaan sendiri dan boleh menerima

21
Sagimun, op. cit., h. 35-38.
56

kebudayaan bangsa lain, asal tidak bertentangan dengan nilai-nilai


agama. Selain itu sebagaimana banyak diketahui bahwa budaya
Indonesia adalah budaya Timur yang nilai nilai budi pekerti, sopan
santun, dan moralnya dirasa kuat, sehingga dasar kebudayaan inilah
yang menjadi alasan agar orang Indonesia lebih memperhatikan
akan pentingnya pendidikan budi pekerti.
c. Asas kemerdekaan, mengandung arti bahwa kemerdekaan sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia yang memberikan
kepadanya hak untuk mengatur hidupnya sendiri dengan selalu
mengingat syarat tertib damainya hidup bermasyarakat.
Kemerdekaan harus menjadi dasar untuk mengembangkan pribadi
yang kuat dan sadar dalam suasana keseimbangan dan keselarasan
dengan kehidupan masyarakat. Dengan kemerdekaan seseorang
dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrahnya. Sehingga
seorang pendidik dapat menentukan sendiri dan menyesuaikan
dengan keadaan masing-masing anak didik sesuai dengan fitrahnya.
d. Azas Kemanusiaan, dalam hal ini pendidikan budi pekerti dapat
diberian dengan cara memberikan pengertian dan penjelasan
mengenai bagaimana cara hidup bermasyarakat yang baik itu, agar
kelak nantinya anak didik jika bertindak diorientasikan untuk
kepentingan dan kemaslahatan bersama sesuai dengan nilai-nilai
agama.
Selain itu kemanusiaan adalah darma tiap manusia yang timbul
dari keluhuran akal budinya. Keluhuran akan budi menimbulkan
rasa dan laku cinta kasih terhadap sesama manusia dan terhadap
makhluk Tuhan Yang Maha Esa seluruhnya yang bersifat
keyakinan akan adanya hukum kemajuan yang meliputi alam
semesta. Karena itu rasa dan laku cinta kasih harus tampak sebagai
tekad untuk berjuang melawan segala sesuatu yang merintangi
kemajuan yang selaras dengan kehendak alam.
57

e. Azas Kodrat Alam, pendidikan budi pekerti dapat diberikan dengan


cara memberikan pengertian-pengertian tentang semua yang ada di
dunia ini merupakan ciptaan Tuhan, dan bagaimana memelihara,
mengolah dan memanfaatkan kekayaan alam yang ada di dunia ini
untuk kemakmuran umat sesuai dengan aturan-aturan yang telah
ditetapkan.
Sebagai perwujudan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa
mengandung arti bahwa pada hakikatnya manusia sebagai makhluk
Tuhan adalah satu dengan alam semesta ini. Karena itu manusia
akan mengalami kebahagiaan jika ia meyelaraskan diri dengan
kodrat alam yang mengandung segala hukum kemajuan. Dengan
demikian pentingnya pendidikan budi pekerti dengan harapan
seseorang manusia mengingat kodratnya sebagai hamba yang harus
berbudi pekerti luhur terhadap Penciptanya dan makhluk-makhluk
ciptaan-Nya.

2. Pusat Pendidikan Budi Pekerti


Dalam dunia pendidikan, Ki Hadjar Dewantara dikenal sebagai Bapak
Pendidikan Nasional. Beliau adalah tokoh pendidikan yang sangat
berperan dalam dunia pendidikan Indonesia, karena ide-ide cemerlangnya
masih dipakai dalam Pendidikan Nasional Indonesia. Salah satu ide
cemerlang yang dikemukakan oleh beliau adalah tentang konsep “Tri
Pusat Pendidikan.” Yaitu suatu istilah yang digunakan olehnya untuk
menggambarkan lembaga atau lingkungan yang ada di sekitar manusia
yang mempengaruhi perilaku peserta didik dan berperan dalam
pendidikan. Ki Hadjar menyebutnya dengan istilah “Trisentra”. Beliau
menyatakan:
“Didalam hidupnya anak-anak adalah tiga tempat pergaulan yang
menjadi pusat pendidikan yang amat penting baginya, yaitu: alam-
keluarga, alam-perguruan, dan alam-pergerakan pemuda.” 22

22
Dewantara, op. cit., h. 70.
58

Berikut ini akan dijelaskan mengenai ketiga pusat pendidikan tersebut:


a. Keluarga
Pendidikan keluarga adalah fundamen atau dasar dari pendidikan
anak selanjutnya. Hasil-hasil pendidikan yang diperoleh anak dalam
keluarga itu menentukan pendidikan anak itu selanjutnya, baik di
sekolah maupun dalam masyarakat.23
Keluarga juga merupakan tempat pertama dalam pembentukan
akhlak, moral dan budi pekerti anak. Karena di dalam keluarga
biasanya terjadi proses meniru dalam berperilaku, dimana orang tua
sebagai pemimpin keluarga, dari tutur kata dan perilakunya
seharusnya menjadi teladan yang dapat dicontoh oleh anak. Ki Hadjar
Dewantara dalam hal ini menyatakan sebagai berikut :

“Alam Keluarga adalah pusat pendidikan yang pertama dan


yang terpenting, oleh karena sejak timbulnya adab kemanusiaan
hingga kini, hidup keluarga itu selalu mempengaruhi
bertumbuhnya budi pekerti dari tiap-tiap manusia. pendidikan
budi pekerti terdapatlah di dalam hidup keluarga dalam sifat yang
kuat dan murni, hingga tak akan dapat pusat-pusat pendidikan
lainnya, menyamainya.”24
Gagasan Ki Hadjar Dewantara mengenai pentingnya keluarga ini
berdasarkan pada ilmu psikologi dan pendidikan, adat istiadat dan
tentunya dari Islam.

Berdasarkan ilmu psikologi dan pendidikan yang beliau


kemukakan, bahwa alam keluarga adalah alam pendidikan yang
pertama, dimana terdapat tiga alasan, yaitu: Pertama, orangtua
merupakan seseorang yang memiliki kedudukan sebagai guru
(penuntun), pengajar dan pemimpin pekerjaan. Kedua, di dalam
keluarga tiap-tiap anak terjadi proses saling mendidik, apalagi dalam
keluarga yang agak besar. Namun pada kasus anak tunggal, peran
orangtua dan anggota keluarga lain yang bertugas dalam kegiatan

23
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2014), Cet. XXI, h. 79.
24
Dewantara, op. cit., h. 71.
59

saling mendidik ini. Ketiga, di dalam keluarga inilah anak-anak


berkesempatan mendidik diri sendiri, karena di dalam keluarga itu
mereka tidak berbeda kedudukannya seperti orang hidup di
masyarakat.

Berdasarkan adat istiadat, Ki Hadjar Dewantara menganggap


bahwa pendidikan pada zaman sekarang seorang anak lebih senang
berhubungan dengan sekolahnya. Setiap hari berada di sekolah bahkan
pada hari minggu pun terkadang seorang anak tidak sempat bergaul
dengan keluarganya. Beliau menginginkan dalam setiap harinya ada
waktu bersama keluarga, kembalikan si anak ke dalam keluarganya,
jangan merampas anak dari keluarganya. Hal ini untuk memberikan
hak keluarga dalam memberi pengaruh kepadanya. Karena di dalam
keluarga inilah biasanya terjalin sikap gotong royong dalam kegiatan
membersihkan rumah, dan lain sebagainya. Selain itu faktor keluarga
menjadi penting karena biasanya seseorang mewarisi sikap dari orang
tuanya. Pembawaan inilah yang biasanya terjadi di masyarakat
walaupun tidak semuanya demikian.25

Dari konsep yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara di atas,


dapat dipahami bahwa keluarga adalah pusat pendidikan pertama dan
utama dalam pembentukan karakter, akhlak maupun budi pekerti
anak. Karena di dalam keluarga ini lah, seorang anak dapat belajar
membentuk akhlaknya dari ayah, ibu, kakek, nenek, paman, bibi,
maupun dengan kakak dan adik. Dari keluarga inilah, seorang anak
belajar mengenai konsep baik dan buruk, pantas dan tidak pantas,
benar dan salah, yang sudah bisa mereka terima sejak dini. Selain itu,
pendidikan keluarga juga dinilai sebagai salah satu faktor penyebab
baik buruknya akhlak seorang anak karena di lingkungan keluarga
jugalah akhlak seorang anak mulai terbentuk.

25
Dewantara, op. cit., h. 380-391.
60

Selain kedua dasar itu, tentunya Ki Hadjar Dewantara memiliki


dasar agama yang kuat. Karena seperti yang sudah dijelaskan di
penjelasan sebelumnya bahwa Ki Hadjar Dewantara berasal dari
keluarga yang taat dalam beragama, serta mempunyai pegangan yang
kuat yang selalu merujuk pada agama. Walaupun hal ini tidak beliau
jelaskan secara implisit, namun secara eksplisit dari arah berfikirnya
memiliki kesesuaian dengan Al-Qur'an dan Hadits.

Hal ini dapat dilihat dalam hadits yang menjelaskan mengenai


pentingnya keluarga dalam pendidikan budi pekerti. Rasulullah SAW
bersabda:

‫ص َرانِِه أ َْو‬ ِ ِ ِ ِ ٍ
ِِّ َ‫ فَأَبَ َواهُ يُ َه ِِّو َدانِه أ َْو يُن‬،ُ‫سانُه‬ َ ‫ َح ىَّت يُ ْع ِر‬،‫ُك ُّل َم ْولُْود يُ ْولَ ُد َعلَى الْفط َْرة‬
َ ‫ب َع ْنهُ ل‬
‫سانِِه‬ ِ
َ ‫ُيَُ ِّج‬
“Tiap orang dilahirkan membawa fitrah, ayah dan ibunyalah yang
menjadikannya yahudi, nasrani dan majusi. (H.R. Bukhari dan
Muslim)26
Dari penjelasan konsep Ki Hadjar Dewantara dan Hadits di atas,
dapat dipahami bahwa semakin baik kualitas dari keluarga keluarga
tersebut, maka kemungkinan semakin besar pula akan menumbuhkan
anak-anak yang berkualitas. Akan tetapi sebaliknya, jika kualitas dari
keluarga itu buruk, maka kemungkinan semakin besar pula
menumbuhkan anak-anak yang kurang berkualitas.

b. Sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang memegang peranan
penting dalam pembentukan perilaku peserta didik. Karena tidak
semua tugas mendidik dapat dilakukan oleh orang tua dalam keluarga,
maka sekolah merupakan lembaga yang bertanggung jawab atas
pendidikan peserta didik selama orang tua sudah menyerahkan kepada
sekolah tersebut. Disamping bertugas dalam mengembangkan

26
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al- Jami’u Shahih, (Kairo: Al-Matba’ah as-Salafiyyah,
1400 H), Juz I, h. 424.
61

kecerdasan intelektual dan ilmu pengetahuan, sekolah pun mempunyai


fungsi sebagai pusat pendidikan untuk pembentukan pribadi peserta
didik. karena di sekolah juga diberikan pelajaran akhlak, moral, sopan
santun, keagamaan, dan sebagainya.
Ki Hadjar Dewantara menganggap bahwa alam perguruan atau
sekolah adalah pusat pendidikan yang teristimewa berkewajiban
mengusahakan kecerdasan pikiran (perkembangan intelektual) beserta
pemberian ilmu pengetahuan. Selain itu, sekolah sebagai pusat dari
persatuan ketiga pusat itu, yakni menjadi perantaranya keluarga dan
anaknya dengan masyarakat.27
Ki Hadjar Dewantara memberikan lima gagasan terhadap sekolah
sebagai lembaga pendidikan agar dapat berjalan dengan baik sesuai
dengan fungsi sekolah secara penuh.
Pertama, dalam proses pendidikan haruslah selalu dalam rangka
memanusiakan manusia secara seutuhnya, artinya aktivitas pendidikan
selalu dirancang guna membangun dimensi lahiriah dan batiniah
manusia.
Kedua, senantiasa meningkatkan sarana dan prasarana sebagai
prasyarat dasar bagi pelaksanaan pendidikan yang memadai.
Ketiga, sekolah harus menyiapkan tenaga pendidikan yang
profesional dan berintegritas tinggi.
Keempat, menerapkan visi pendidikan yang hakikatnya sebagai
proses untuk membebaskan dimensi “lahiriah dan batiniah” peserta
didik artinya harus dapat mengembangkan potensi-potensi peserta
didik.
Kelima, pendidikan di sekolah tidaklah didominasi oleh
pengembangan intelektual saja, melainkan adanya sinergi antara

27
Ibid., h. 74.
62

intelektualitas dengan spritualitas, emosionalitas, sosialitas,


kolegalitas dan kesadaran ekologis.28
Dari pandangan di atas, sekolah sebagai lembaga pendidikan dan
salah satu pusat pendidikan tidaklah ideal jika hanya mengembangkan
potensi intelektual dan ilmu pengetahuan saja, karena hal demikian
tidaklah merupakan bagian memanusiakan manusia secara utuh,
karena sekolah yang baik adalah sekolah yang menerapkan adanya
keseimbangan antara proses pengembangan intelektual dan moralitas.
Karena tujuan dari sekolah sendiri adalah menciptakan peserta didik
yang tidak hanya cerdas, pandai, melainkan juga peserta didik yang
bermoral.
c. Masyarakat / Alam Pemuda
Ki Hadjar Dewantara menyebutkan Alam Pemuda, karena pada
masa itu gerakan pemuda mempunyai peran dan pengaruh yang besar.
beliau mengatakan :
“Pergerakan pemuda itu penyokong besar untuk pendidikan,
baik yang menuju kecerdasan jiwa atau budi pekerti, maupun
yang menuju kelakuan sosial, maka perlulah pergerakan pemuda
itu diakui sebagai pusat pendidikan dan dimasukkan di dalam
rencana pendidikan.” 29
Masyarakat merupakan lingkungan selain keluarga dan sekolah
yang turut berperan penting dalam proses pendidikan peserta didik,
tidak terkecuali dalam pembentukan akhlak budi pekerti. karena
dalam keseharian setiap peserta didik tidak bisa terlepas dari ketiga
tempat tersebut, yaitu keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial atau
masyarakat.

Abdul Majid di dalam bukunya yang berjudul Pendidikan


Karakter Perspektif Islam, menguatkan dasar akan pentingnya

28
Bartolomeus Samho, Visi Pendidikan Ki HadjarDewantara, (Yogyakarta: Kanisius, 2013),
h. 104-105.
29
Dewantara, op. cit., h. 73.
63

masyarakat dalam pembentukan akhlak dan pengembangan


pendidikan peserta didik yaitu berdasarkan 2 alasan :30

1) Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003,


pasal 6-11 disebutkan bahwa : “Penyelenggaraan pendidikan
merupakan hak dan tanggung jawab bersama antara warga negara,
orangtua, masyarakat, dan pemerintah.”
2) Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2 sebagai berikut

ِ ‫اْل ِْْث والْع ْدو‬


‫ان ۚ َواتى ُقوا ى‬
ۖ َ‫اَّلل‬ ِِّ ِ‫َوتَ َع َاونُوا َعلَى ال‬
َ ُ َ ِْ ‫ْب َوالتى ْق َو ٰى ۖ َوََل تَ َع َاونُوا َعلَى‬
‫اب‬ِ ‫اَّللَ َش ِدي ُد ال ِْع َق‬
‫إِ ىن ى‬
“Dan saling tolong menolonglah kamu sekalian dalam berbuat
kebaikan dan takwa. Dan janganlah kamu sekalian saling tolong
menolong dalam berbuat dosa dan kemungkaran. Dan takutlah
kamu sekalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya.”

Dari ketiga pusat pendidikan yang telah dijelaskan di atas, Ki


Hadjar Dewantara mengemukakan bahwa tiap-tiap pusat pendidikan
harus mengetahui kewajibannya sendiri-sendiri dan mengakui hak
terhadap pusat pendidikan yang lainnya, yaitu :
a) Keluarga : untuk mendidik budi pekerti dan perilaku sosial
b) Sekolah : sebagai Balai-wiyata, yaitu mencari dan memberikan
ilmu pengetahuan disamping pendidikan intelektual.
c) Masyarakat : mengajarkan akan kemampuan dalam penguasaan diri
yang amat diperlukan dalam pembentukan watak.31
Dari uraian di atas juga, penulis memahami bahwa demi
membentuk akhlak yang baik terhadap anak atau peserta didik, ketiga
unsur yang dinilai sebagai pusat pendidikan (Keluarga, Sekolah, dan
Masyarakat) harus terjalin hubungan yang baik, artinya ketiganya
harus tercipta suatu kerjasama yang baik. Karena jika antar unsur

30
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2011), cet. 1, h. 160.
31
Dewantara, op. cit., h. 74.
64

lingkungan pendidikan tersebut tidak terjalin hubungan yang baik,


maka pembentukan akhlak pada peserta didik tidak akan berhasil
dengan baik. Singkatnya, semua unsur tersebut di atas sama-sama
sangat diperlukan kontribusinya dalam pembentukan akhlak atau budi
pekerti yang baik.
Ketiga unsur pusat pendidikan tersebut di atas memiliki titik
fokus yang berbeda-beda. Keluarga memiliki titik fokus pada
mendidik budi pekerti bukan mengajar karena mengajar merupakan
tugas seseorang yang memiliki kewenangan sebagai pengajar. Sekolah
memiliki titik fokus pada mengajarkan pengetahuan dan mengajarkan
budi pekerti sehingga peserta didik memiliki pengetahuan yang baik
serta intelektual yang tinggi guna dapat berfikir dan membedakan
mengenai perilaku yang baik dan buruk. Lingkungan masyarakat
memiliki titik fokus pada pengendalian diri dan pengontrol peserta
didik dalam berinteraksi sosial di luar rumah dan sekolah.

3. Pendidik dan Peserta Didik


Di dalam hidup bermasyarakat, tidak dapat dipungkiri bahwa antar
satu orang dengan yang lainnya akan timbul rasa ketergantungan ataupun
saling membutuhkan. Demikian juga di dalam sekolah sebagai lingkungan
pendidikan. antara pendidik dan peserta didik juga memiliki rasa
ketergantungan dan saling membutuhkan satu sama lain. Peserta didik
sebagai orang yang bergantung dan pendidik sebagai tempat bergantung
dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang sesungguhnya.
Untuk mencapai tujuan pendidikan yang baik, hal yang perlu dimiliki
oleh pendidik adalah penguasaan mengenai ilmu pendidikan. Ki Hadjar
Dewantara mengatakan bahwa pendidik sama hal nya dengan tukang
pengukir kayu. Karena pendidik pada hakikatnya adalah mengukir
manusia. Untuk mendapatkan hasil ukiran yang baik maka pengukir kayu
harus mengetahui keadaan kayu mana yang keras dan mana yang halus,
dan ilmu tentang keindahan mengukir kayu. singkatnya ia harus
65

mengetahui ilmu tentang kayu. Begitu juga dengan pendidik untuk


mendapatkan hasil didikan yang baik, maka seorang pendidik harus
mengetahui keadaan peserta didiknya terlebih dahulu, bagaimana keadaan
lahir dan batinnya serta ilmu keindahan dalam mengajar. Singkatnya
seorang pendidik harus menguasai ilmu pendidikan dan pengajaran karena
seorang peserta didik memiliki keadaan lahir dan batin yang berbeda-
beda.32 Gagasan mengenai membandingkan seorang pendidik dengan
pengukir kayu dirasa berlatar belakang dari lingkungan Jawa yang banyak
terdapat barang-barang ukiran kayu terutama di lingkungan keraton.
Dari pendapat di atas, dapat dipahami bahwa dalam proses
pembelajaran, pendidik tidak boleh menggunakan cara semaunya sendiri,
akan tetapi harus memahami peserta didik dari segala aspeknya, baik fisik
maupun batinnya. Maka dari itu seorang pendidik juga harus menguasai
ilmu psikologi untuk mengetahui jiwa atau batin peserta didik dan ilmu
fisiologi untuk mengetahui fisik peserta didiknya di samping ilmu
pendidikan yang lain. Pemahaman ini tidak lain agar tujuan pendidikan
dapat tercapai dengan baik.
Selanjutnya pendidik haruslah orang yang benar-benar memiliki jiwa
teladan dan pantas untuk diteladani, artinya dari segala perkataan dan
perbuatannya, seorang pendidik dapatlah ditiru oleh peserta didiknya.
Pendidik yang demikian itu, selain menjadikan model tiruan yang baik,
juga dapat menentramkan perasaan peserta didik serta membangkitkan
semangat belajarnya. Sehingga akan menjadikan peserta didik giat dan
rajin dalam menimba ilmu di sekolah.33
Selain menjadi teladan, seorang pendidik juga harus memiliki
integritas moral, artinya seorang pendidik harus memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi peserta didik dalam proses perubahan tingkah laku yang
lebih baik, dan yang tidak kalah penting adalah seorang pendidik harus

32
Ibid., h. 27.
33
Samho, op cit., h. 106.
66

mampu menciptakan dan memberikan peluang yang optimal kepada


peserta didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya.34
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang
pendidik haruslah menjadi teladan yang patut dicontoh oleh anak didiknya,
baik dari segi perkataan maupun perbuatannya, sehingga diharapkan
seorang pendidik untuk menjaga tingkah lakunya dari perbuatan yang
tidak baik. Serta cerdas dalam pembelajaran, artinya mampu menggali dan
mengembangkan potensi-potensi yang ada pada diri peserta didik secara
maksimal.
Dalam wasita Jilid I/No.2 Edisi November 1928, Ki Hadjar menulis
artikel yang berjudul “Azas Taman Siswo” beliau mengemukakan bahwa :
“Hanya dengan kesucian hati dan keterikatan lahir dan batin lah usaha
pendidikan dan pengajaran dapat berhasil.”35
Menurut Ki Hadjar Dewantara yang dikutip oleh Haidar Musyafa,
mengatakan bahwa: Sistem pendidikan yang cocok bagi anak-anak adalah
sistem pendidikan yang menekankan pada kebudayaan dan karakter
bangsa Indonesia yang tidak mengenal paksaan. sehingga Ki Hadjar
Dewantara cenderung berpandangan bahwa anak-anak akan mudah
berkembang jika dididik dengan nilai-nilai tradisional yang berangkat pada
kehausan rasa, penuh kasih sayang, cinta damai, penuh kejujuran, dan
berlaku sopan santun dalam melakukan tindakan dan perkataan.36
Dari pandangan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa dalam
proses pendidikan, peserta didik seharusnya dijadikan subjek pendidikan.
Yaitu guru memandang seorang peserta didik adalah manusia yang
mempunyai potensi-potensi yang dengannya itulah potensi-potensi
tersebut dikembangkan. Baik dari segi kecerdasan maupun dari aspek
tingkah lakunya menjadi lebih baik, bukanlah objek pendidikan yang dapat
diperlakukan seenaknya dan diperintah-perintah semaunya.

34
Ibid,
35
Rahardjo, op cit., h. 61.
36
Musyafa, op cit., h. 287.
67

Untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu menghasilkan insan yang


merdeka lahir batin, Ki Hadjar Dewantara merumuskan 3 semboyan dalam
pendidikan yang sangat populer karena sudah diterapkan di dalam sekolah
Tamansiswa. Ketiga semboyan itu adalah :37
Pertama, Ing Ngarsa Sung Tuladha, artinya di depan memberikan
keteladanan. Yaitu sebagai pendidik baik itu orangtua di rumah, guru di
sekolah, maupun pemimpin di masyarakat haruslah memberikan contoh
yang baik. Karena setiap peserta didik, anak, atau bawahan akan
memperhatikan tingkah laku orang tua, guru atau pimpinannya.
Kedua, Ing Madya Mangun Karsa, artinya di pertengahan memberi
semangat. Yaitu seorang guru adalah pendidik yang selalu di tengah-
tengah anak didiknya sehingga ketika peserta didik sedang menjalankan
hal-hal yang benar, maka pendidik harus terus memberikan dorongan dan
semangat kepada anak didiknya. Karena peserta didik perlu diberi
semangat agar dirinya tetap dalam jalur yang baik dan benar.
Ketiga, Tut Wuri Handayani, artinya di belakang memberi dukungan.
Yaitu ketika peserta didik mulai menemukan kepercayaan dirinya, maka
pendidik harus mendorong untuk peserta didik agar berada di depan.
Sehingga dengan cara demikian peserta didik diberikan kesempatan untuk
berkiprah dan terus maju dengan adanya dorongan dari belakang yang
dilakukan oleh pendidik.
Dari uraian di atas mengenai pendidik dan peserta didik, dapat kita
pahami bahwa dalam upaya tercapainya peserta didik yang berakhlak baik,
maka perlu adanya kerjasama antara pendidik dengan peserta didik. Yaitu
pendidik harus menjadikan dirinya contoh yang baik di depan anak
didiknya serta memiliki kemampuan yang mumpuni dalam mengarahkan
anak didiknya untuk tetap berperilaku yang baik. Dan sebagai peserta
didik juga harus adanya kemauan yang keras untuk tetap melakukan hal-
hal yang baik, serta menjadikan pendidik baik orang tua, guru, maupun
pemimpin masyarakat sebagai panutannya dalam bertingkah laku.

37
Rahardjo, op cit., h. 74.
68

4. Materi Pendidikan Budi Pekerti


Setelah dipaparkan tentang pendidik dan peserta didik dalam
pendidikan budi pekerti di atas, selanjutnya akan dibahas tentang materi
pendidikan budi pekerti menurut Ki Hadjar Dewantara. Dalam hal ini, Ki
Hadjar Dewantara berprinsip bahwa materi pendidikan budi pekerti
merupakan hal yang utama untuk menjadikan manusia yang bahagia. Ia
menilai bahwa pendidikan Bangsa Barat yang hanya mengedepankan ilmu
pengetahuan yang akan menimbulkan sifat buruk yaitu sifat egois dan
materialis. Menurutnya dengan hanya mengajarkan materi tentang ilmu
pengetahuan maka perasaan seseorang tidak diindahkan, oleh karenanya
hanya membuat budi pekerti seseorang tidak berkembang. Lain halnya
Bangsa Timur yang masih tampak jelas adanya semangat pendidikan
dalam memperkembangkan budi pekerti. 38
Dalam pemberian materi pendidikan budi pekerti, Ki Hadjar
Dewantara merumuskannya berdasarkan tingkatan umur atau
perkembangan anak, yaitu sebagai berikut:39
a. Taman Indria (antara 5-8 tahun)
Pada masa anak-anak, materi yang diberikan berupa segala
permainan yang mendidik tubuh dan panca indera. Seperti gobag,
geritan, trembung, obrok, raton, dll. Sedangkan yang mendidik panca
indera seperti menyulam, menggambar, menyanyi, mendengarkan
cerita, baik dongeng maupun puisi. Cerita yang diambil sebaiknya dari
kehidupan sekitar, karena hafal dengan cerita bukanlah tujuannya,
tetapi tujuan terpenting adalah pada geraknya jiwa dan membiasakan
menerima keindahan pada sanubarinya melalui lagu-lagu yang indah.
Intinya adalah mengajaknya bermain namun dapat mendidik, tubuh,
rasa, dan pikirannya.

38
Dewantara, op. cit., h. 474.
39
Ibid., h. 486
69

Jenis permainan yang diberikan diberikan dibagi kedalam tiga


jenis. Pertama, permainan yang ditujukan untuk anak perempuan.
Kedua, permainan yang ditujukan untuk anak laki-laki. Ketiga,
permainan yang ditujukan untuk keduanya. Hal ini dikarenakan sifat
dan bentuk tiap permainan yang berbeda-beda.40
Apabila kita cermati, maka hal demikian sangatlah tepat.
Contohnya permainan "tembak-tembakan", sepak bola, gasing cocok
untuk anak laki-laki namun tidak cocok untuk anak perempuan.
Permainan "masak-masakan", boneka, bola bekel cocok untuk anak
perempuan namun tidak cocok untuk anak laki-laki. Kemudian
permainan seperti gobag, cublek-cublek sueng, gambaran, dan
bentengan cocok untuk keduanya.
Dari permainan-permainan tersebut, terdapat nilai pendidikan
yang dapat diambil, seperti melatih fokus, pengertian perhitungan dan
pengiraan, mendidik kuatnya fisik anak, kecekatan, keberanian,
sportifitas, ketertiban dan keteraturan.41
Selain itu, pada masa ini seorang guru dalam memberikan materi
akhlak berupa pembiasaan semata-mata yang bersifat global dan
spontan, yakni belum berupa teori yang terbagi-bagi menurut jenisnya
kebaikan dan keburukan. Artinya dalam hal ini asalkan bentuk
pembiasaan baik berupa anjuran maupun perintah yang bersifat positif
seperti : Ayo, duduk yang baik, jangan ramai-ramai, dengarkan
suaraku, bersihkan tempatmu, jangan mengganggu teman-temanmu,
dan lain sebagainya.
Ki Hadjar Dewantara mengungkapkan bahwa pada masa “syariat”
ini kuncinya adalah cukuplah seorang pendidik memberikan
kebebasan sesuai kodratnya sebagai anak-anak kepada peserta
didiknya namun tetap jangan sampai menyalahi norma yang ada,
karena apa yang telah diberikan kepada anak-anak tersebut adalah

40
Ibid., h. 244.
41
Ibid., h. 242.
70

latihan untuk pembiasaan berbuat dan berlaku tertib, guna


menyempurnakan perkembangan jiwa dan raga anak-anak kearah
kecerdasan budi pekerti kelaknya.
Menurutnya, pada masa anak-anak ini peran ibu sangatlah
penting. Dimana anak-anak masih sangat membutuhkan hubungan
batin dengan ibu. Beliau menilai bahwa setiap orangtua berperanlah
sesuai kodratnya. Seorang ibu dianggap lebih memiliki peran yang
sangat besar pada masa ini, karena untuk memenuhi kemauan dan
keinginan anak, untuk melayani nafsu anak-anak, untuk memelihara
badan tubuh anak-anak dan untuk bergaul sehari-hari dengan anak,
seorang perempuan lah yang lebih pandai dari seorang laki-laki.42
Jika melihat kodrat seorang ibu sebagai perempuan yang
demikian, maka seorang ayah sebagai laki-laki juga memiliki kodrat
sebagai pemimpin dalam keluarga. Ki Hadjar Dewantara
menyebutkan bahwa seorang bapak berperan dalam bidang
penumbuhan intelektual, artinya berkewajiban dalam memberikan
pengetahuan kepada anak tentang pentingnya budi pekerti yang baik.
Sehingga mewujudkan tumbuhnya sifat berfikir dahulu sebelum
bertindak.43
Selain itu seorang ayah berperan dalam melindungi dan
membantu seorang anak dengan menggunakan kekuatan. Contohnya
seperti membantu mengangkat barang-barang berat yang ada di rumah
sehingga hal ini mengajarkan seorang anak dalam sikap tolong
menolong. Dengan demikian sebagai seorang bapak harus memiliki
fisik yang lebih kuat, gagah perkasa, dari seorang ibu.44
Dari penjelasan di atas, penulis melihat pokok gagasan Ki Hadjar
Dewantara berpusat pada perbuatan yang dilakukan sesuai dengan
kodratnya. Artinya peran ibu dan bapak harus disesuaikan dengan

42
Ki Hadjar Dewantara, Bagian Kedua Kebudayaan, (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan
Tamansiswa, 2011), Cet. III, h. 248.
43
Ibid., h. 249.
44
Ibid., h. 253.
71

kodratnya sebagai perempuan dan laki-laki. Sebagai seorang


perempuan ibu berperan dalam mendidik anak dengan menyentuh
aspek jiwa nya, karena sesuai kodratnya hati dan jiwa seorang anak
akan lebih dekat dengan ibunya. Sebagai seorang laki-laki ayah
berperan dalam mengajarkan kepemimpinan dan penumbuhan
intelektual, serta berkewajiban dalam memberikan nafkah yang halal,
dimana dari nafkah yang halal tersebut memberikan pengaruh positif
pada tubuh dan jiwa anak.

b. Taman Muda (antara 9-12 tahun)


Ki Hadjar Dewantara menyebutkan bahwa pada periode ini
dinamakan dengan “periode hakikat”. Pada masa ini seorang anak
hendaknya diberikan pengertian tentang segala tingkah laku kebaikan
dalam kehidupannya sehari-hari masih dengan cara spontan. Namun
bagi anak-anak periode ini, tidaklah cukup jika mereka hanya
membiasakan apa yang dianjurkan oleh orang-orang tua di
sekelilingnya tanpa mengerti dasar dan tujuannya, artinya jangan
sampai mereka terikat pada syariat yang kosong. Sehingga pada kelas
tertinggi boleh diberikan jam pelajaran tertentu tentang budi pekerti.
Materi pendidikan budi pekerti (Akhlak) tidak hanya terbatas
pada pembiasaan syariat, akan tetapi mereka boleh melakukan hal-hal
yang sukar dan berat yang diperuntukkan khusus bagi anak-anak
dewasa di periode selanjutnya
Walaupun pada masa ini sudah dibolehkan pemberian pelajaran
budi pekerti, namun pada “periode hakikat” ini masih juga diperlukan
pembiasaan seperti pada periode “syariat” sebelumnya. Pemberian
pembelajaran budi pekerti ini agar mereka mengetahui maksud dan
tujuan adanya pengajaran budi pekerti yang tidak lain adalah
memelihara tata tertib dalam hidupnya guna mencapai rasa damai
dalam hidup batinnya, baik mengenai hidup dirinya pribadi maupun
masyarakat sekelilingnya.
72

c. Taman Remaja (antara 14-16 tahun)


Ki Hadjar Dewantara menyebutkan penyebutan masa ini dengan
istilah periode “tarikat”. Dimana ada masa ini, materi pendidikan budi
pekerti (Akhlak) yang diberikan adalah mulai melatih diri terhadap
hal-hal yang sukar dan berat namun dengan niat yang disengaja.
Misalnya seperti bersemedi, berpuasa, berjalan kaki ke tempat-tempat
jauh yang dianggap suci dan keramat.
Materi lain yang perlu diberikan oleh pendidik adalah gerakan
kepemudaan yang bersifat usaha sosisal, seperti pemberantasan buta
huruf, pengumpulan uang, pakaian, makanan, bacaan-bacaan dan
sebagainya untuk diberikan kepada orang-orang miskin atau orang-
orang korban bencana alam.
Pada masa ini juga seyogyanya diberikan materi kesenian dan
olahraga yang melatih dalam pendidikan watak. Namun karena bangsa
kita mempunyai adat kekeluargaan yang kental, maka perbanyaklah
materi yang berhubungan dengan kemasyarakatan pada umumnya
seperti menggerakkan anak-anak untuk membantu para petani di
sawah dan ladang, serta membantu ketua RT dan RW dalam
memelihara tertib damainya kehidupan di lingkungan sekitar.
Perlu diingat bahwa masa ini adalah masa yang berbahaya karena
masa pubertas (akil-baligh), sehingga tuntutan dari pendidik jangan
sampai menjemukan peserta didiknya, biarkan anak bekerja sendiri
dengan memberikan banyak kemerdekaan namun tetap diberikan
peraturan keras buat dan oleh dirinya sendiri yang biasa disebut
dengan sefl disiplin.
d. Masa Dewasa (antara 17-20 tahun)
Fase dewasa ini, disebut dengan periode “makrifat” yang berarti
bahwa pada masa ini mereka ada di dalam tindakan kefahaman . yakni
biasa melakukan kebaikan, menginsyafi serta menyadari akan maksud
dan tujuannya.
73

Materi yang diberikan pada masa ini adalah pembiasaan


melakukan tindakan yang sukar dan berat serta pemberian berupa ilmu
dan pengetahuan yang lebih dalam dan luas lagi. Disinilah tempat dan
waktunya peserta didik dapat pengajaran tentang apa yang disebut
“ethik” yaitu hukum kesusilaan . jadi tidak hanya tentang berbagai
bentuk bentuk atau adat kesusilaan saja, namun juga tentang dasar-
dasarnya yang berhubungan dengan hidup kebangsaan,
perikemanusiaan, keagamaan, filsafat, keilmuan, kenegaraan,
kebudayaan, adat istiadat dan lain sebagainya.
Pada fase inilah mulai kembali adanya ketenteraman jiwa,
sehingga pada fase inilah waktunya peserta didik diperdalam
kecerdasan jiwanya dengan dituntun mempelajari ilmu pengetahuan,
ilmu agama, dan ilmu adab. Ilmu pengetahuan tentang watak baik
diberikan untuk penyokong pendidikan budi pekerti dan ilmu agama
serta adab berfungsi untuk mempengaruhi pendalaman jiwa yang ada
pada peserta didik. Maka dari itu pelajaran budi pekerti perlu
dimasukan kedalam daftar pelajaran untuk diberikan pada waktu-
waktu tertentu serta diperdalam keilmuannya melalui mendengarkan
ceramah-ceramah oleh para ahli yang berguna bagi perkembangan
pendidikan akhlaknya.
Dari penjelasan mengenai materi dalam mewujudkan pendidikan
budi pekerti di atas, terdapat perbedaan gagasan dari Ki Hadjar
Dewantara dengan beberapa tokoh lain, seperti Dr. Maria Montessori
dan Frobel. Khususnya pada bagian pendidikan pada masa anak-anak.
Dr. Maria Montessori lebih mementingkan pelajaran pancaindra
dalam pendidikan jiwa anak. Dirinya mengadakan beberapa latihan
yang hanya berfokus pada pancaindra. Kesemuanya bersifat pelajaran.
Anak diberi kemerdekaan dengan luas, tetapi permainan tidak
dipentingkan olehnya.
Frobel juga memberikan pelajaran pancaindra tetapi yang
diutamakan adalah permainan anak-anak, kegembiraan anak,
74

sehingga pelajaran pancaindra juga diwujudkan menjadi sesuatu yang


menyenangkan bagi seorang anak. Tetapi anak masih diperintah.
Sedangkan Ki Hadjar Dewantara boleh dibilang memakai kedua-
duanya. Antara pelajaran pancaindra dan permainan tidak dapat
dipisahkan, yaitu dianggap satu. Beliau beranggapan bahwa tingkah
laku dan segala keadaan hidupnya anak-anak sudah diisi oleh Sang
Maha Among segala alatnya yang bersifat mendidik si anak.45
Namun dari perbedaan-perbedaan tersebut, terdapat kesamaan
dari pemikiran ketiga tokoh pendidikan di atas, yaitu ketiganya sama-
sama mencari jalan lahir untuk mendidik batin. Yaitu menggunakan
jalan pancaindra dan permainan dalam upaya mendidik jiwa seorang
anak.

5. Ruang Lingkup Pendidikan Budi Pekerti


Jika dilihat dari materi pendidikan budi pekerti yang telah dijelaskan
di atas, dapat dipahami bahwa materi-materi tersebut secara garis besar
dapat dikelompokkan dalam 3 lingkup bahasan pendidikan budi pekerti.
Namun ketiga lingkup nilai budi pekerti tersebut tidak secara langsung
disebutkan oleh Ki Hadjar Dewantara.
a. Budi Pekerti kepada Tuhan Yang Maha Esa
Yaitu hubungan yang baik antara manusia dengan penciptanya.
Abuddin Nata dalam bukunya yang berjudul Akhlak Tasawuf dan
Karakter Mulia menyebutkan bahwa di antara bentuk akhlak kepada
Allah salah satunya adalah selalu berdoa kepada-Nya.46 Hal ini sama
halnya dengan bentuk budi pekerti dalam konteks menurut Ki Hadjar
Dewantara yaitu masuk dalam pengajaran “keagamaan” (religius).
Hal ini dapat kita jumpai pada Lembaga Perguruan Tamansiswa
dimana semua pamong atau guru beragama, baik beragama Islam,
Nasrani, maupun agama lainnya. Para pamong selalu mengajak para

45
Ki Hadjar Dewantara, Menuju Manusia Merdeka (Yogyakarta: Leutika, 2009), Cet. I, h. 148.
46
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013),
cet. XII., h. 128
75

siswanya untuk berdoa terlebih dahulu atau mengucapkan salam


sebelum pelajaran dimulai dan setelahnya. Selain itu pada saat anak-
anak menginjak masa remaja atau beliau menyebut "Taman Remaja”,
disinilah anak-anak diajarkan hal-hal yang berat dalam beragama
seperti bersemedi dan berpuasa. Hal ini merupakan pendidikan budi
pekerti yang baik dan harus dibiasakan.47 Dari kebiasaan dan
pengajaran ini terlihat bahwa Ki Hadjar Dewantara selalu
mengupayakan terhadap semua guru agar selalu mendidik peserta
didiknya agar selalu berbudi pekerti yang luhur kepada Tuhannya.
b. Budi Pekerti terhadap Sesama Manusia
Yaitu hubungan manusia dengan manusia lainnya. Dalam hal ini
manusia dididik agar saling menghargai, menghormati, gotong-
royong, memiliki tenggang rasa dan toleransi terhadap sesama, orang
yang lebih tua, orang yang lebih muda, serta terhadap dirinya sendiri.
Itupun berlaku pula pada pendidikan yang diajarkan oleh Ki Hadjar
Dewantara, yang mana manusia dididik tentang kebangsaan dan
kemanusiaan, sehingga kelak dapat hidup damai bersama berbangsa
dan bernegara.
Ki Hadjar Dewantara dalam hal ini menyebutkan bahwa gerakan
kepemudaan yang bersifat sosial merupakan perwujudan dari budi
pekerti kita terhadap sesama manusia.
c. Budi Pekerti terhadap Lingkungan
Yaitu hubungan manusia antara lingkungan hidup dan masyarakat
disekitarnya. Dalam hal ini jika dilihat menurut perspektif Ki Hadjar
Dewantara lebih mengarah pada kebudayaan dan adat-istiadat.
Dalam hal ini Ki Hadjar Dewantara berharap agar anak-anak
mengenal dan melestarikan budaya dan adat istiadatnya masing-
masing. Misalnya pengajaran tentang kesenian yang tujuan nya agar
kebudayaan yang ada tetap dijaga. Seni yang diberikan berdasarkan
adatnya masing-masing. Beliau menganggap kesenian-kesenian

47
Zuriah, loc. cit.,
76

seperti lagu daerah yang ada di Indonesia memiliki nilai pendidikan


yang jauh lebih banyak dibanding dengan lagu-lagu dari barat,
sehingga harapannya kita selalu memperlakukan kebudayaan yang ada
dengan baik agar tidak punah.
6. Metode Pendidikan Budi Pekerti
Dalam pendidikan banyak sekali aspek yang dinilai berpengaruh pada
tercapainya suatu tujuan pendidikan. Hal yang juga sangat penting adalah
metode pendidikan. Metode pendidikan berperan besar dalam tercapainya
tujuan pendidikan yang sesungguhnya karena metode pendidikan
merupakan sesuatu yang terkait dengan proses interaksi antara pendidik
dengan peserta didik. metode ini lah cara yang digunakan dalam
pembelajaran agar tujuan pendidikan tercapai.
Menurut Ki Hadjar Dewantara secara umum metode Among
mempunyai pengertian menjaga, membina, dan mendidik anak didik
dengan kasing sayang. Metode Among berkaitan dengan kata dasar Mong
yang mencakup Momong, Among, dan Ngemong. Inilah yang disebut
dengan “Tiga Mong”. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan sebagai berikut
:48
Momong, dalam bahasa Jawa berarti merawat dengan tulus dan penuh
kasih sayang serta menyalurkan kebiasaan-kebiasaan yang baik agar
kepada peserta didik terbiasa melakukan hal-hal yang baik disertai doa dari
pendidik agar hasil didikannya menjadi pribadi yang baik dan selalu di
jalan kebenaran.
Among, dalam bahasa Jawa berarti memberi contoh tentang baik
buruk tanpa harus mengambil hak peserta didik agar peserta didik bisa
tumbuh dan berkembang dalam suasana batin yang merdeka sesuai dengan
dasarnya. Artinya dalam hal ini tidak dilakukan dengan paksaan dan
memberikan tekanan batinnya.
Ngemong, dalam bahasa Jawa berarti proses untuk mengamati,
merawat dan menjaga agar anak mampu mengembangkan dirinya,

48
Rahardjo, op. cit., h. 71.
77

bertanggung jawab dan disiplin berdasar nilai-nilai yang telah


diperolehnya sesuai dengan kodratnya.
Menurut Ki Hadjar Dewantara tujuan metode Among adalah untuk
membangun anak didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa,
merdeka lahir batin, budi pekerti luhur, cerdas dan berketerampilan, serta
sehat jasmani rohani agar menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan
bertanggung jawab. Ia juga mengatakan bahwa metode among ini
mengharamkan hukuman disiplin dengan paksaan atau kekerasan karena
itu akan menghilangkan jiwa merdeka anak. Tetapi pamong adakalanya
boleh bertindak bila perlu dengan paksaan apabila keinginan peserta didik
sebagai orang yang diamong berpotensi membahayakan keselamatannya.
Sementara itu, alat atau cara mendidik dalam metode among terdiri
dari enam, yaitu :
a. Memberi contoh : pamong memberi contoh atau teladan yang
baik dan bermoral kepada peserta didiknya.
b. Pembiasaan : setiap peserta didik dibiasakan untuk melaksanakan
kebaikan-kebaikan serta kewajibannya sebagai peserta didik,
sebagai bangsa Indonesia, dan sebagai pemeluk agama Islam.
c. Pengajaran : guru atau pamong memberikan pengajaran yang
menambahkan pengetahuan peserta didik sehingga mereka
menjadi generasi yang pintar, cerdas, benar dan berakhlak baik.
d. Perintah, paksaan, dan hukuman : diberikan kepada peserta didik
manakala dipandang perlu atau ketika peserta didik
menyalahgunakan kebebasannya dengan melanggar norma yang
berlaku sehingga ujungnya membahayakan keselamatannya.
e. Laku (perilaku) : berkaitan dengan sikap rendah hati, jujur, patuh
pada norma yang berlaku yang terwujud dalam perkataan dan
perbuatan.
f. Pengalaman lahir dan batin : pengalaman kehidupan sehari-hari
yang diresapi dan direfleksikan sehingga mencapai tataran rasa
78

dan menjadi kekayaan serta sumber inspirasi untuk menata


kehidupan yang membahagiakan diri sendiri dan orang lain.49
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa metode among dalam
pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah metode pengajaran
dimana guru sebagai pendidik atau pamong harus mendidik peserta
didiknya yang diamong dengan kasih sayang tanpa menggunakan
kekerasan maupun paksaan. Namun adakalanya boleh melakukan paksaan
ketika peserta didik menyalahgunakan hak nya sehingga keselamatannya
terancam. Metode Among ini dilakukan berbagai bermacam alat atau cara
yang sebenarnya begitu banyak, namun Ki Hadjar Dewantara
mengemukakan pokok-pokoknya yang terdiri dari enam alat.
C. Relevansi Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara merupakan salah satu tokoh sejarah pendidikan
bangsa Indonesia. Melalui pemikiran pendidikannya, beliau telah berupaya
membangun landasan pendidikan yang menampilkan nilai-nilai yang
melandasi kehidupan manusia di Indonesia. Namun gagasan-gagasannya
mulai dilupakan atau hanya diingat sebagai slogan semata. Hal ini dapat kita
saksikan pada fenomena-fenomena kekerasan dalam dunia pendidikan seperti
maraknya aksi tawuran antar pelajar, penganiayaan guru terhadap muridnya,
dan lain sebagainya. Maka dari itu kiblat dunia pendidikan perlu diarahkan
kembali pada nilai-nilai, antara lain, metode, isi dan lainnya yang digagas
oleh Ki Hadjar Dewantara karena gagasan-gagasannya mengenai pendidikan
adalah bagian vital dari sejarah bangsa Indonesia.50
Berhadapan dengan tantangan implementasi dari gagasan-gagasan
pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam praksis pendidikan di Indonesia,
banyak yang mengalami kesulitan dalam menemukan solusinya. Namun
Bartolomeus Samho dalam bukunya yang berjudul Visi Pendidikan Ki Hadjar
Dewantara : Tantangan dan Relevansi mencoba menganalisis mengenai visi
pendidikan Ki Hadjar Dewantara sebagai suatu jawaban atas tantangan-

49
Dewantara, op. cit., h. 11.
50
Samho, op. cit., h. 9-10.
79

tantangan praksis pendidikan di Indonesia dewasa ini, yakni Lembaga


Pendidikan, Pendidik sebagai Teladan, dan Peserta Didik sebagai Subjek
Pendidikan.51
1. Relevan dengan Al-Quran, Undang-undang No 20 Tahun 2003, dan
Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005
Mengenai lembaga pendidikan yang oleh Ki Hadjar Dewantara
sebutkan sebagai Tri Pusat Pendidikan yaitu rumah, sekolah, dan masyarakat.
Ketiganya memiliki peran yang sangat penting dalam upaya pendidikan budi
pekerti anak. Seperti pada Bab sebelumnya sudah dijelaskan bahwa seluruh
pendidikan termasuk pendidikan budi pekerti diawali dari dalam keluarga.
Karena di dalam keluarga biasanya terjadi proses meniru dalam berperilaku,
dimana orang tua sebagai pemimpin keluarga, dari tutur kata dan perilakunya
seharusnya menjadi teladan yang dapat dicontoh oleh anaknya.
Namun menurut Nurul Zuriah, kenyataan zaman sekarang sangat
memprihatinkan, keluarga yang seharusnya menjadi pusat pendidikan
tidaklah berperan sebagaimana seharusnya. Menurutnya, di Indonesia
terdapat lebih dari 11 juta anak putus sekolah dan 6 juta di antaranya adalah
menjadi pekerja anak. Dari 6 juta pekerja anak tersebut, 2 juta di antaranya
anak bekerja dalam kondisi yang sangat membahayakan dan memprihatinkan.
Dari kondisi di atas, artinya jika mereka membantu orang tua dalam urusan
ekonomi berarti mereka sendiri tidak mempunyai kesempatan belajar di
rumah, khususnya belajar penanaman nilai-nilai budi pekerti yang luhur.52
Di sisi lain, pada kondisi orangtua yang sanggup membiayai pendidikan
anaknya adalah orangtua yang bekerja. Dirinya meninggalkan anaknya di
rumah untuk bekerja dalam waktu yang cukup panjang dengan
menitipkannya kepada seorang pembantu rumah tangga yang juga sering kali
sangat rendah tingkat pendidikannya. Sehingga pada saat pulang bekerja
kondisi orang tua sudah lelah dan sang anak juga sudah tertidur ditemani
pembantu rumah tangganya. Akibatnya orangtua dan keluarga semacam ini

51
Ibid.,h. 104.
52
Nurul Zuriah. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008), Cet. 2, h. 162.
80

tidak pernah sempat menanamkan nilai-nilai positif dalam pendidikan budi


pekerti.
Dari fenomena di atas, sangatlah jelas bahwa salah satu penurunan nilai
budi pekerti seorang anak disebabkan oleh keadaan keluarga yang sangat
sibuk dalam urusan ekonomi sehingga mengabaikan perannya dalam
memberikan pendidikan dan pengajaran terhadap seorang anak. Jadi pendapat
Ki Hadjar yang menyebutkan keluarga merupakan salah satu tiga pusat
pendidikan sangatlah tepat. Gagasan tersebut alangkah baiknya apabila
diterapkan di zaman sekarang, yaitu keluarga yang dijadikan tempat belajar
anak dalam pengembangan budi pekertinya.
Selain Keluarga, ada lembaga pendidikan yang berperan dalam
pembentukan budi pekerti yaitu masyarakat atau Ki Hadjar menyebutnya
alam pemuda. Beliau mengatakan bahwa masyarakat berfungsi mengajarkan
akan kemampuan dalam penguasaan diri yang amat diperlukan dalam
pembentukan watak.
Namun kondisi sekarang tidaklah sesuai dengan apa yang diharapkan,
penanaman nilai-nilai budi pekerti di masyarakat pun menjadi sangat kurang
sebagai akibat dari himpitan ekonomi. Kebanyakan sibuk memikirkan
pemenuhan kebutuhan hidup sehingga kontrol sesama masyarakat menjadi
kurang yang ada hanya sikap acuh tak acuh alias cuek kepada sesame
masyarakat. Hal ini semakin kacau karena keluarga yang anaknya terbebas
dari hal-hal negatif seperti terlibat tawuran, narkoba, tidak peduli dengan
keluarga atau tetangga yang secara kebetulan mengalaminya, mereka berfikir
yang terpenting keluarga sendiri aman.53
Dari kenyataan tersebut, penyebutan lingkungan masyarakat sebagai
salah satu pusat pendidikan yang dikemukakan Ki Hadjar Dewanatara masih
sangat relevan dengan zaman sekarang. Hal tersebut juga dikuatkan oleh
Abdul Majid dalam bukunya Pendidikan Karakter Perspektif Islam,54 yang

53
Ibid., h. 163.
54
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2011), h. 160.
81

menguatkan dasar akanpentingnya masyarakat dalam pembentukan budi


pekerti serta pengembangan pendidikan lain, yaitu berdasarkan 2 alasan.
Pertama, dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 2 yang menjelaskan
tentang perintah tolong menolong dalam hal berbuat baik dan takwa serta
larangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan kemungkaran.
Kedua, berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun
2003 yang masih dipakai sebagai salah satu sumber undang-undang
pendidikan pada zaman sekarang. Di dalamnya disebutkan bahwa:
“Penyelenggaraan Pendidikan merupakan hak dan tanggung jawab bersama
antara warga Negara, orangtua, masyarakat dan pemerintah.”
Lembaga pendidikan selanjutnya adalah sekolah. Sekolah merupakan
lembaga pendidikan yang memegang peranan penting dalam pembentukan
perilaku peserta didik. Karena tidak semua tugas mendidik dapat dilakukan
oleh orangtua dalam keluarga termasuk masyarakat dalam lingkungan
bertetangga. Ki Hadjar Dewantara memberikan gagasan terhadap sekolah
sebagai lembaga pendidikan agar dapat berjalan dengan baik sesuai dengan
fungsi sekolah secara penuh yaitu untuk selalu memberikan pengembangan
intelektual dan moralitas secara seimbang, senantiasa meningkatkan sarana
prasarana dan menyiapkan tenaga pendidikan yang profesional.55
Dengan demikian sekolah harus memberikan isi materi pendidikan
tidak selalu mengenai intelektual saja, serta selalu mengupayakan sarana dan
prasarana belajar yang terus mengalami pengembangan mengikuti kemajuan
teknologi. Tak lupa menyiapkan tenaga pendidikan yang kompeten yang
tidak buta akan teknologi guna mampu menghadapi kemajuan teknologi di
zaman sekarang.
Artinya gagasan Ki Hadjar Dewantara di atas juga sangatlah relevan
dengan pendidikan zaman sekarang sebagaimana yang dimuat di dalam
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005, mengenai Standar Nasional
Pendidikan yang terdiri dari 8 lingkup, meliputi : Standar Isi, Standar Proses,
Standar Kompetensi Lulusan, Standar pendidik dan Tenaga Kependidikan,

55
Samho, op. cit., h. 105.
82

Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan dan


Standar Penilaian Pendidikan.56
2. Relevan dengan Undang-undang No 14 Tahun 2005 dan
Permendiknas No 16 Tahun 2007
Mengenai Pendidik dan Peserta didik, sesuai dengan visi pendidikan Ki
Hadjar Dewantara bahwa seorang pendidik adalah seorang teladan bagi
peserta didiknya sehingga seorang pendidik diharapkan orang yang pantas
untuk diteladani. Artinya seorang teladan yang idealnya selalu menjadi model
untuk ditiru baik dari perkataan dan perbuatannya sehari-hari.57 Pendapat ini
senada dengan UU No. 14 tahun 2005 pasal 10, ayat 1 yang menyebutkan
bahwa kompetensi pendidik sebagai agen pembelajaran harus memiliki empat
kompetensi yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.58 Hal ini semakin dikuatkan
oleh Permendiknas no 16 tahun 2007 yang menyebutkan indikator
kompetensi kepribadian yaitu:
a. Bertindak sesuai norma, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional
Indonesia.
b. Pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik
dan masyarakat.
c. Pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa.
d. Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab, rasa bangga menjadi
guru dan percaya diri.
e. Menjunjung Tinggi Kode Etik Profesi Guru.59
Lebih lanjut menurut Burhanuddin Salam yang dikutip oleh Nurul
Zuriah mengatakan bahwa dalam menghadapi zaman yang terus berkembang
seperti sekarang pentingnya reformasi pendidikan yang berwawasan masa
depan yaitu seorang guru harus memiliki kode etik dan akhlak yang salah
satunya dengan selalu memberikan teladan bukan hanya berbentuk lisan atau

56
H.A.R Tilaar, Standarisasi Pendidikan Nasional: Satu Tinjauan Kritis, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2006), h. 169
57
Samho. op. cit., h. 106.
58
Tim Penyusun, “Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005, Pasal 10, ayat 1 Tentang Guru
dan Dosen,” dalam Syaiful Sagala, Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan,
(Bandung: Alfabeta, 2013), h. 30.
59
Departemen Pendidikan Nasional,Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 16
Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, h. 11-12.
83

nasihat semata, melainkan memberikan contoh perbuatan (teladan) baik yang


mudah ditiru oleh murid-muridnya.60

Selain mengharuskan seorang pendidik memiliki keteladanan, seorang


pendidik juga harus menjadikan peserta didiknya sebagai subjek pendidikan.
Yaitu seorang pendidik hendaknya memandang peserta didik seorang pribadi
yang memiliki potensi-potensi yang perlu dikembangkan. Artinya seorang
pendidik harus mampu menjadi mitra dialog yang setaraf serta membantu
peserta didik dalam membangun gagasan-gagasan baru untuk memecahkan
persoalan-persoalan yang dihadapi, juga mampu menghargai setiap perbedaan
gagasan yang terjadi antar pendidik dengan peserta didik.61

Dari gagasan Ki Hadjar Dewantara di atas mengenai pendidik atau guru


jika dihubungkan dengan berbagai macam perundang-undangan tentang
pendidikan di Indonesia serta pendapat dari para ahli pendidikan zaman
sekarang dapat ditemukan kesamaan pendapat. Yaitu untuk untuk
mewujudkan pendidikan yang baik khususnya pendidikan budi pekerti,
sebagai seorang guru selain harus memiliki kecerdasan dan kemampuan
mengaktualisasikan potensi yang dimiiki peserta didik yang ditetapkan
melalui syarat memiliki kompetensi pedagogik. Sangat penting juga memiliki
sifat keteladan yang mampu memberikan pengaruh kepada peserta didik
untuk selalu menirukan hal-hal baik dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Karena setiap peserta didik pasti akan meniru seorang pendidiknya dalam
segala tingkah lakunya.

3. Relevan dengan Permendikbud No 23 Tahun 2015

Mengenai materi pendidikan budi pekerti, Ki Hadjar Dewantara


membaginya dalam empat garis besar yaitu dengan sebutan istilah syariat,
hakikat, tarikat, dan makrifat. Dalam istilah-istilah tersebut, mengandung
Intisari bahwa materinya adalah mengenai melaksanakan pembiasaan dalam
melakukan hal-hal positif yang nantinya diharapkan pada terbentuknya

60
Nurul Zuriah, op. cit., h. 109.
61
Samho.op. cit., h. 107.
84

kebiasaan dalam berbuat baik oleh peserta didik di tiap jenjang pendidikan.
Menurutnya pembiasaan-pembiasaan yang diberikan pada peserta didik mulai
dari sekedar memberikan pembiasaan tanpa mengetahui dasar tujuan hingga
nantinya seorang peserta didik paham betul dengan dasar, tujuan, dan
manfaatkan dari pembiasaan yang diajarkan.

Pembiasaan yang diajarkan sangat sesuai dengan perundang-


perundangan pendidikan era sekarang ini, yaitu sesuai dengan Permendikbud
No 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti (PDB). Dalam
Permendikbud tersebut disebutkan bahwa Penumbuhan Budi Pekerti adalah
kegiatan pembiasaan sikap dan perilaku positif yang harus dilakukan oleh
siswa, guru, dan tenaga kependidikan dengan tujuan menumbuhkan kebiasaan
yang baik dan membentuk generasi berkarakter positif yang dilaksanakan
dalam bentuk kegiatan umum, harian, mingguan, bulanan, maupun tahunan.62

Bentuk kegiatan-kegiatan yang disebutkan pada Permendikbud ini


diantaranya membiasakan menunaikan ibadah bersama, membiasakan
perayaan Hari Besar Keagamaan, melaksanakan upacara bendera, memberi
salam, senyum dan sapaan kepada setiap orang di komunitas sekolah,
membiasakan peserta didik untuk berpamitan kepada orang tua ketika hendak
berangkat sekolah serta bersama-sama mengucapkan salam kepada guru
sebelum pembelajaran dimulai yang dipimpin oleh seorang peserta didik
secara bergantian.63

Kegiatan-kegiatan pembiasaan yang telah disebutkan diatas sesuai


dengan kenyataan di sekolah sekarang ini, semua sekolah hampir mempunyai
kegiatan pembiasaan setiap harinya mulai dari tadarus al-Qur’an bersama,
sholat dhuha berjamaah, dan mencium tangan setiap guru ketiga bertemu
serta berdoa sebelum pelajaran dimulai.

62
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
RI Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
63
Ibid.,
85

Jadi, berdasarkan permendikbud no 23 tahun 2015 di atas, serta


kenyataan di lapangan, menandakan bahwa gagasan tentang materi
pendidikan budi pekerti yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara
sangatlah relevan dengan pendidikan zaman sekarang. Walaupun pada
pendidikan era sekarang ini pelajaran budi pekerti tidak berdiri sendiri
sebagai mata pelajaran, melainkan berpadu pada mata pelajaran-pelajaran
tertentu hal ini setidaknya menandakan adanya itikad baik dari dunia
pendidikan untuk turut membentuk anak didik membentuk budi pekerti yang
baik.

Mengenai Metode pendidikan Budi Pekerti, Ki Hadjar Dewantara telah


menyebutkan 3 metode yaitu momong yang berarti merawat dengan tulus,
among yang berarti memberikan contoh yang baik tanpa paksaan, dan
ngemong yang berarti merawat serta berupaya mengembangkan potensi
peserta didik. Ketiga metode tersebut dirancang sebagai terobosan dalam
mengajarkan budi pekerti kepada peserta didik, yang pada akhirnya
disebutkan berbagai macam cara alatnya, yaitu: memberikan contoh,
pembiasaan, pengajaran, perintah, perilaku, dan pengalaman lahir batin.

Metode-metode diatas merupakan penjabaran yang sangat luas yang


juga disebutkan dalam Permendikbud no 23 tahun 2015, yaitu sebagai
berikut:

Metode pelaksanaan penumbuhan budi pekerti dilakukan dengan


mengamati dan meniru perilaku positif guru dan kepala sekolah sebagai
contoh langsung di dalam membiasakan keteraturan dan pengulangan.
Guru berperan juga sebagai pendamping untuk mendorong peserta
didik belajar mandiri. Pada jenjang yang lebih tinggi dilakukan dengan
kemandirian peserta didik membiasakan keteraturan dan pengulangan.64
Dari Permendikbud di atas, penulis berpendapat bahwa secara garis
besar, metode yang dirancang pemerintah mengambil 2 metode sebagai poin
penting yaitu metode keteladanan dan metode pembiasaan. Hal ini terlihat
dari kata meniru dan membiasakan keteraturan dan pengulangan. Artinya

64
Ibid.,
86

sebagai seorang pendidik harus memberikan keteladanan dalam upaya


membentuk budi pekerti yang baik serta melakukannya secara berulang-ulang
agar menjadikan sebuah kebiasaan berbuat baik.

Jadi, berdasarkan Permendikbud no 23 tahun 2015 di atas, serta


gagasan menurut Ki Hadjar Dewantara yang telah dipaparkan lebih dulu,
dapat dipahami bahwa metode yang ditetapkan pemerintah dalam membentuk
budi pekerti yang baik kepada peserta didik tidak berbeda dengan apa yang
dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara. Dengan demikian menambah
keyakinan bahwa gagasan yang dikemukakan beliau masih sangat relevan
dengan pendidikan era zaman sekarang.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya mengenai
konsep pendidikan budi pekerti menurut Ki Hadjar Dewantara, maka penulis
menyimpulkan poin-poin utama atas uraian tersebut. Di antaranya sebagai
berikut:
1. Konsep pendidikan budi pekerti menurut Ki Hadjar Dewantara dalam
menanamkan moral pada anak didik terdiri dari beberapa komponen,
yaitu:
Pertama, Pendidikan budi pekerti tidak lain artinya menyokong
perkembangan hidup anak-anak, lahir, batin dan sifat kodrati nya menuju
ke arah peradaban dalam sifatnya yang umum yang bertujuan agar anak
didik sebagai anggota masyarakat dapatlah mencari seseorang yang luhur,
beriman, bertakwa serta bermanfaat bagi masyarakat sehingga mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Dimana lingkup
pendidikan budi pekerti ini melingkup budi pekerti kepada Sang Pencipta,
sesama manusia, dan dengan lingkungan.
Kedua, pusat pendidikan budi pekerti adalah lembaga atau lingkungan
ada di sekitar manusia yang mempengaruhi perilaku peserta didik dan
berperan dalam pendidikan. Ki Hadjar menyebutnya dengan istilah
Trisentra atau Tri Pusat Pendidikan yang terdiri dari keluarga. Sekolah,
dan lingkungan masyarakat.
Ketiga, dalam pendidikan budi pekerti harus ada kerjasama antar
pendidik dan peserta didik. Pendidik diharuskan memiliki penguasaan
berbagai ilmu pendidikan agar dapat memahami bagaimana cara mendidik
peserta didiknya serta menjadi suri tauladan bagi peserta didiknya. Dalam
hal ini Ki Hadjar Dewantara merumuskannya dalam tiga semboyan yaitu,
Ing Ngarsa Sung Tuladha yang berarti di depan memberikan keteladanan,
Ing Madya Mangun Karsa yang berarti di tengah memberikan semangat,

87
88

dan Tut Wuri Handayani yang berarti di belakang memberi dukungan.


Serta untuk peserta didik harus adanya kemauan yang keras untuk tetap
melakukan hal-hal yang baik, serta menjadikan semua pendidik sebagai
panutannya dalam bertingkah laku.
Keempat, materi dalam pembentukan budi pekerti diberikan dari masa
kanak-kanak hingga dewasa yang berisi bukan hanya ilmu pengetahuan
melainkan juga materi tentang pembentukan pribadi seseorang agar lebih
baik.
Kelima, metode yang digagaskan Ki Hadjar dewantara dalam
pembentukan budi pekerti adalah metode Tiga Mong yang terdiri dari
Momong, Among, dan Ngemong. Dimana metode ini berarti menjaga,
membina , dan mendidik peserta didik dengan kasih sayang yang
dilakukan dengan berbagai cara seperti memberi contoh, pembiasaan,
pengajaran, perintah. Perilaku, dan pengalaman lahir batin.
2. Konsep Pendidikan Budi Pekerti yang telah dijelaskan di atas memiliki
Relevansi dengan dunia pendidikan zaman sekarang. Hal ini dapat dilihat
dari banyaknya kesamaan isi dan gagasan yang dibuat pemerintah baik
melalui sebuah Undang-Undang maupun Peraturan Menteri Pendidikan
(Permendikbud).
Pertama, Ki Hadjar Dewantara menyebut Tri Pusat yaitu keluarga,
Sekolah, dan Alam pemuda selaras dengan Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional tahun 2003 yang menyebut bahwa penyelenggaraan
pendidikan merupakan tugas bersama, keluarga, masyarakat dan
pemerintah.
Kedua, Ki Hadjar Menyatakan bahwa untuk menjadi seorang pendidik
harus memiliki syarat yang berat yaitu disamping memiliki kecerdasan
ilmu pengetahuan, juga memiliki kepribadian yang baik karena sebagai
teladan bagi peserta didiknya. Hal ini sesuai dengan kriteria guru
profesional yang disyaratkan agar dapat menjadi guru yang baik di zaman
sekarang yaitu UU No. 14 tahun 2005 dan Permendiknas No. 16 tahun
2007 yang didalamnya membahas tentang kompetensi guru profesional.
89

Ketiga, Ki Hadjar Dewantara menyebutkan bahwa materi pendidikan


di sesuaikan berdasarkan jenjang yang tempuh yang intinya materi berupa
pembiasaan baik yang tidak mengetahui dasar dan tujuannya hingga
pembiasaan yang disertai dengan mengetahui akan dasar, tujuan dan
manfaatnya. Hal ini sepadan dengan Permendikbud No 23 tahun 2015
yang didalamnya menyebutkan bentuk kegiatan penumbuhan budi pekerti
yang dilakukan baik setiap hari, minggu, bulan, maupun tahun yang
tujuannya membentuk kebiasaan baik.
Keempat, Ki Hadjar Dewantara menyebut metode pendidikan budi
pekerti dengan 3 istilah yaitu Momong, Among, dan Ngemong. Ketiganya
memiliki intisari berupa metode memberikan keteladanan dan
pembiasaan. Hal ini juga sama dengan Permendikbud No 23 tahun 2015
yang menyebutkan bahwa metode yang dipakai adalah keteladan dan
pembiasaan karena didalamnya dijelaskan seorang pendidik harus bisa
ditiru oleh peserta didik serta melakukan pembiasaan baiknya dengan
berulang-ulang. Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa gagasan
pemikiran yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara sangatlah relevan
dengan pendidikan masa kini. Sehingga diharapkan kita semua untuk tidak
melupakan gagasan-gagasan beliau terlebih tetap mengamalkan
terobosan-terobosan yang telah beliau kemukakan yang harapan
terakhirnya dapat menjadikan peserta didik masa kini dan masa mendatang
dapat memiliki kecerdasan inteektual yang tinggi serta budi pekerti yang
luhur.
B. Saran
Alhamdulillahirobbil’alamiin, berkat rahmat Allah SWT. Skripsi yang
berjudul “Konsep Pendidikan Budi Pekerti Menurut Ki Hadjar Dewantara”
telah berhasil disusun. Dari kajian-kajian yang sudah diuraikan pada bab
sebelumnya, maka secara umum saran-saran yang dapat penulis kemukakan
adalah sebagai berikut:
1. Bagi pendidik, hendaknya menanamkan budi pekerti yang luhur terhadap
peserta didik, terutama dengan memberikan suri tauladan yang baik
90

kepada peserta didik. Karena seorang pendidik dalam segala tingkah


lakunya selalu menjadi panutan oleh anak didiknya. Sehingga disamping
memberikan ilmu pengetahuan yang luas, seorang pendidik harus
memberikan ilmu pendidikan moral yang mendalam.
2. Bagi lembaga-lembaga Islam maupun umum, buku karya-karya Ki Hadjar
Dewantara sangat patut digunakan sebagai buku pendukung belajar karena
gagasan-gagasan yang ada dalam buku tersebut dapat dijadikan sebagai
landasan berfikir, dan berperilaku dalam upaya mencerminkan budi
pekerti yang luhur.
3. Bagi siswa, hendaknya lebih bersungguh-sungguh dalam kegiatan belajar-
mengajar pada materi budi pekerti dan akhlak. Serta memiliki kemauan
yang keras untuk melakukan hal-hal yang baik, serta menjadikan para
pendidik sebagai panutannya dalam berperilaku.
91

DAFTAR PUSTAKA

Adisusilo, Sutardjo. Pembelajaran Nilai Karakter Konstruktivisme dan VCT


Sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Aktif. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013.
Alamsyah, Syahdan. “Tawuran Pelajar di Sukabumi, Rayhan Tewas Terkena
Bacokan”, www.detik.com, 20 November 2017.
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Arifin, Muyazzin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. V, 2010.

Athiyah Al-Abrasyi, Mohd. Dasar-Dasar Pendidikan Pendidikan Islam. Jakarta:


Bulan Bintang, 1969.
Al-Baihaqi, Imam Abi Bakar Ahmad bin al-Hussaini. Sunan al-Kubro. Lahore:
Maktaba Rahmania, t.t.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. al-Jami’u Shahih, Kairo: Al-Matba’ah as-
Salafiyyah,, Juz I, 1400 H.
Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik
dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana, Cet. III, 2009.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Jumanatul Ali Art,
2005.
Dewantara, Ki Hadjar. Bagian Pertama Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan Tamansiswa, Cet. IV, 2011.
-------, Bagian Kedua Kebudayaan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan
Tamansiswa, Cet. III, 2011.
-------, Menuju Manusia Merdeka. Yogyakarta: Leutika, Cet. I, 2009.
Diansyah, Amrullah. “Tersinggung, Siswa SMP Nekat Tikam Guru 13 Kali”,
www.sindonews.com, 20 November 2017.
Emzir, Analisis Data: Metodologi penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Press,
2010.
Gunawan, Heri. Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi. Bandung:
Alfabeta, Cet. II, 2012.
Harun, Salman. Sistem Pendidikan Islam Muhammad Quthb. Bandung: Al Maarif,
Cet. II, 1988.
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2008.
Kasiram, Moh. Metodologi Penelitian. Malang: UIN-Malang Press, 2008.
92

Majid, Abdul dan Dian Andayani. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2011.
Marimba, D. Ahmad. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif,
Cet. IV, 1980.
M.D, Sagimun. Ki Hadjar Dewantara. Jakarta: Bhratara Karya Aksara, Cet. II,
1983.
Minarti, Sri. Ilmu Pendidikan Islam- Fakta Teoritis-Filosofis & Aplikatif-Normatif.
Jakarta: Amzah, Cet. I, 2013.
Moleong, J, Rexy. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya, Cet. XXVIII, 2016.
Musyafa, Haidar. Sang Guru, Novel Biografi Ki Hadjar Dewantara, Kehidupan,
Pemikiran, dan Perjuangan Pendiri Tamansiswa (1889-1959). Jakarta:
Imania, 2015.
Nasihin Ulwan, Abdullah. Pendidikan Anak Menurut Islam, Pemeliharaan
Kesehatan Jiwa Anak. Terj. dari Tarbiyatul Aulad Fil Islam oleh Khalilullah
Ahmas Masykur Hakim Jakarta: Remaja Rosydakarya, 1990.
Nata, Abuddin. Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2005.
-------, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005.
-------, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet.
XII, 2013.
Ningrum, Diah. Kemerosotan Moral di Kalangan Remaja: Sebuah Penelitian
Mengenai Parenting Styles dan Pengajaran Adab, Jurnal UNISIA, Vol.
XXXVII, 2015.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 23 Tahun 2015 tentang
Penumbuhan Budi Pekerti. Jakarta: Depdikbud.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 16 Tahun 2007 tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Jakarta: Depdiknas.
Putra Daulay, Haidar. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia. Jakarta: Kencana, Cet. III, 2012.
Purwanto, Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja
Rosdakarya, Cet. XXI, 2014.
Raharjo, Suparto. Ki Hajar Dewantara Biografi Singkat 1889-1959. Yogyakarta:
Garasi House Of Book, Cet. II, 2014.
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, Cet. XII, 2015.
93

Sagala, Syaiful. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan.


Bandung: Alfabeta, 2013.
Samho, Bartolomeus. Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta:
Kanisius, 2013.
Soeratman, Darsiti. Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1985.
S, Tatang, Ilmu Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia, Cet. I, 2012.

Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan


R&D. Bandung: Alfabeta, 2008.
-------, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta, Cet. XXI. 2014.
Sukandarrumidi. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2012.
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004.
Syaodih, Nana. Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2007.
Tilaar, H.A.R. Standarisasi Pendidikan Nasional: Satu Tinjauan Kritis. Jakarta:
Rineka Cipta, 2006.
Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, Cet. III, 2005.
Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas
RI, Cet. IV, 2008.
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
Jakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah, 2015.
Tim Penyusun, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas, Cet. I, 2003.
At-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah. al-Jami’u Tirmidzi, Riyadh:
International Ideas Home Inc, t.t.
Tim Penyusun. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia
Zubaedi, Pendidikan Berbasis Masyarakat Upaya Menawarkan Solusi Terhadap
Berbagai Problem Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Zuriah, Nurul. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan.
Jakarta: Bumi Aksara, Cet II, 2008.
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1
JUDUL BUKU : BAGIAN PERTAMA: PENDIDIKAN
PENULIS : KI HADJAR DEWANTARA
LAMPIRAN 2
JUDUL BUKU : BAGIAN KEDUA: KEBUDAYAAN
PENULIS : KI HADJAR DEWANTARA
LAMPIRAN 3
JUDUL BUKU : MENUJU MANUSIA MERDEKA
PENULIS : KI HADJAR DEWANTARA
KEMENTERIAN AGAMA No. Dokumen : FITK-FR-AKD-081
UIN JAKARTA Tgl. Terbit : 1 Maret 2010
FORM (FR)
FITK No. Revisi: : 01
Jl. lr. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 lndonesia Hal 1t1
SURAT BIMBINGAN SKRIPSI
Nomor : B-13 14lF1iKM.01.3/VIIU2018 J akarta, 20 Agustus 20 1 8
Lamp. : I
Hal : Bimbingan Skripsi

Kepada Yth.,

Drs. H. Achmad Gholib, M.Ag


Pembimbing Skripsi
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.

Assalamu'alaikum Wn Wb.

Dengan ini diharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing VII


(materi/teknis) penulisan skripsi mahasiswa:

Nama FathulMusthofa
NIM I I 1301 1000027

Jurusan Pendidikan Agama Islam

Semester IX (Sembilan)
Judul skripsi Konsep Pendidikan Budi Pekerti Menurut Ki Hadjar Dewantara
Judul tersebut telah disetujui oleh Jurusan yang bersangkutan pada tanggal 16 Juni
2Ol7 , abstrakstloutline terlampir. Saudara dapat-melakukan perubahan reda[slonal pada
judul tersebut. Apabila perubahan substansial dianggap perlu, mohon pembimbing
menghubungi Jurusan terlebih dahulu.

Birnbingan skripsi, ini diharapkan selesai dalam waktu 6 (enam) bulan, dan dapat
diperpanjang selama 6 (enam) bulan berikutnya tanpa surat perpanjangan.
' I ..

, Atas
perhatian dan ke1j4 sama Saudara, kami ucapkan terima kasih.

Was s al amu' al aikum wr.w b,

fid Khon, M.Ag

Tembusan:
l. DekanFITK
2. Mahasiswa ybs.
UJI REF'ERENSI

Nama Mahasiswa Fathul Musthofa

NIM l 1 1301 10000027

Judul Skrips Konsep Pendidikan Budi Pekerti Menurut Ki Hadjar Dewantara

DosenPembimbing Drs. H. Achmad Gholib, M.Ag

No Nama Judul Buku Tempat dan Paraf Dosen


Tahun Terbit
I Haidar Putra Daulay Pendidikan Islam dalam Jakaila: Kencana,

Sistem Pendidikan
Nasional di Indonesia
2012
v
2 Sri Minarti Ilmu Pendidikan Islam - Jakarta: A\IZALL
Fakta Teoritis-Filosofis 20t3 gn
& Aplikatif-Normatif
Nurul Zuiah Pendidikan Moral dan Jakarta: Bumi

t
3

Budi Pekerti dalam Aksara. 2008


-Y
Perspektif Perubahan

J
4 Suwendi Sejarah dan Pemikiran Jakarta: PT Raja

Pendidikan Islam Grafindo Persada,


2004.
Al-Qur'an
J
5 Departemen Agama Rl dan Bandung:

Teqemahnya Jumanatul Ali Art.


2005

6 Abdul Majid danDian Pendidikan Karakler Bandung: PT

Andayani Perspekif Islam f{emaja )/


Rosdakarya.20l 1
7 Haidar Musyafa Sang Guru, Novel Iakarta: Imania.

Biografi Ki Hadjar 2015

Dewantara, KehiduPan,
Pemikiran dan

Perjuangan Pendiri
Tamansiswa (1889- T
1es9)

Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama Yogyakarta:

f
8

Pendidikan MPLTS.2All.Cet.
ry
Abuddin Nata Tokoh-Tokoh Jakarta:Raja
9 f)
pembaharuan Pendidikan Grafindo Persada. y/
Islam di Indonesia 2005

10 Ramayulis Ilmu Pendidikan Islam Jakarta: Kalam

Mulia.2015. Cet.
xii v
11 Tim Penyusun Undang-Undang RI
Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem
Jakarta: Depdiknas.

2003. Cetl
I
Pendidikan Nasional

t2 Tim Penyusun Pusat Kamus Besar Bahasa Jakarta: Balai

Bahasa Indonesia Pustaka.2005


{

13 Hasbullah Dasar-Dasar Ilmu Jakarta: PT Raja

Pendidikan Grafindo Persada.


/

I
2008

t4 Tatang S. Ilmu Pendidikan Bandung: Pustaka


Setia. 2C12

15 Ahmad D. Marimba Pengantar Filsafat Bandung: Al-


Pendidikan Islam Ma'arif. 1980 -J'
l6

17
Muzayyin Arifin

Srrtardjo Adisusilo
Filsafat Pendidikan Islam

Pembelalaran Nilai
Jakarta: Bumi

Aksara.2010
Jakarta: PT Raja
I
Karakter Grafindo Persada.

Konstruktivisme
VCT Sebagai Inovasi
dan 2013
"il
Pendekatan

Pembelajaran Aktif
18 Tim Penyrsun Pusat Kamus Besar Bahasa Jakarta; Depdiknas.

Bahasa Indonesia 2008


M
19 Zubaedr Pendidikan Berbasis Yogyakarta:

Masyarakat UPaYa Pustaka Pelajar.

Menawarkan
Terhadap
Solusi
Berbagai
2006
il
Probiem Sosial

20 Abuddin Nata Akhlak Tasawuf dan Jakarta: Raja

Karakter Mulia Grafindo Persada.


201,3
J
2l Rosihon Anwar Akhlak Tasawuf Bandung: Pustaka
1)

Setia.2010 /

22 Muhammad Athiyah Dasar-Dasar Pendidikan Jakarta:Bulan

Al- Abrasyi Islam Bintang. 1969


J
23 Abdullah Nasihin Pendidikan Anak lakarta: Remaja
Ulwan Rosydakarya. 1990
Menurut Islam
Pemeliharaan Kesehatan
Jiwa Anak

24 Salman H*+ Sistem Pendidikan Islam Bandung: A1-


/)
MuhammadQuthb Ma'arif. Cet. II.
1988 /
25 Departemen Peraturan Menteri Jakarta: Depdiknas,

Pendidikan Nasional Pendidikan Nasional No.


16 Tahun 2007
2007.
il
26 Abuddin Nata Pendidikan dalam

Perspektif Al-Qur'an
Jakarta: {-IIN

Jakarta Press. 2005


p
27 Sugiono Metode Penelitian Bandung: Alfabeta.

28 RexyJ. Moleong
Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, danR&D
Metodologi penelitian
2014. Cet-X){l.

Bandung: Remaja
v
Kualitatif Rosdakarya.2016.
Cet. XXVII il
29 Tim Penyusun Pedoman Penulisan Jakarta:FITK,

Skripsi Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan
Iknr: 20t5
l /1

30 Tim Penyusun Undang-Undang Jakarta,

Republik Indonesia Kementerian

Nomor 14 tentang Guru Hukum danHak


dan Dosen Asasi Manusia,
2005.
I
31 Burhan Bungin Penelitian Kualitatif: Jakafia: Kencana,

Komunikasi, Ekonomi, 2009


,4
Kebijakan Publik dan
Ilmu Sosial Laimya
j
32 Emzir Metodologi Penelirian Jakarta: Rajawali

Kualitatif Press,2010
-l)
JJ Suparto Rahardjo Ki Hadjar Dewantara Yogyakarta: Garasi
n
Biografi Singkat House OfBook.
1889-
1/
1959 20t4
34 Darsiti Soeratman Ki Hadjar Dewantara lakarta

(//)
Departemen
Pendidikan dan /
Kebudayaan,1985

Ki Hadjar Dewantara
I
35 Sagimun. M.D. Jakarta:Bhrtara
Karya Aksara.
-{
1 983

36 Ngalim Purwanto Ilmu Pendidikan Teoritis Bandung: Remaja

dan Praktis Rosdakarya.2014.


Cet. XXI /
37 Bartolomeus Samho Visi Pendidikan Ki Yogyakarta:

Hadjar Dewantara Kanisius.2013 -l)


?a H.,4,.R Tilaar Standarisasi Pendidikan Jakarta: Rineka I
17/
Nasional: Satu Tinjauan Cipta. 2006
ty
Kritis
39 Syaiful Sagala Kemampuan Profesional Bandung: Alfabeta.

Guru dan Tenaga 2013


{
Kependidikan
40 Imam Abi Bakar Sunan Al-Kubra Lahore: Maktaba

Ahnrad bin A1- I{alirnania. t.t.


( //
Hussaini Al-Baihaqi
/1
4t Muhammad bin Ismail Ai-Jami'u Shahih Kairo:A1-
A1-Bukhari N4atba'ah As- /
Salafiyyah. 1400
H. Juz.I
Abu Isa Muhammad Jami'u Tirrnidzi Riyadh:
bin Isa bin Saurah At- International Ideas
Tirmidzi Home Inc. t.t.

Departemen Peraturan Menteri Jakarta:

Pendidikan dan Pendidikan dan Depdikbud. t.t.


Kebudayaan Kebudayaan No. 23
Tahun 2015
Departemen Peraturan Menteri Jakarta: Depdiknas.

Pendidikan Nasional Pendidikan dan t.t


Kebudayaan No 16
Tahun2007
Metode Penelitian Bandung: Alfabeta.
Pendekatan Kuantitatif, 2008

Kualitatif, danR&D

Anda mungkin juga menyukai