Anda di halaman 1dari 97

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang PT. Pupuk Sriwidjaja


Penggunaan pupuk di Indonesia semakin tahun semakin meningkat.
Pemerintah Indonesia pada tahun 1960-an merencanakan pelaksanaan program
peningkatan produksi pertanian di dalam usaha swasembada pangan. Dengan adanya
rencana tersebut maka kebutuhan pupuk di Indonesia perlu ditingkatkan untuk
memenuhi dan mensukseskan program pemerintah.
Penggunaan pupuk sangat penting bagi tanah karena dapat membantu
kesuburan tanah. Bumi lambat laun mengalami kemunduran akhibat perilaku manusia
yang memproduksi pangan melebihi kapasitasnya. Dengan menggunakan pupuk yang
ramah lingkungan maka akan membantu bumi untuk melestarikan alamnya.
Pupuk memiliki peranan yang sangat penting pada peningkatan kualitas
produksi hasil pertanian. Salah satu jenis pupuk yang banyak digunakan oleh petani
adalah pupuk urea. Pupuk urea adalah pupuk yang memiliki fungsi sebagai sumber
nitrogen bagi suatu tanaman. Pupuk urea merupakan salah satu produk yang
memiliki kualitas baik serta memiliki peranan sebagai penunjang produksi pertanian.
Pupuk urea yang baik adalah pupuk yang memiliki komposisi kimia terkandung
sudah ditentukan menurut Standart Nasional Indonesia (SNI) dan Internasioal
Standart Organization (ISO) sehingga pupuk urea tersebut sangat baik dan aman
untuk digunakan.
PT Pupuk Sriwidjaja didirikan pada tanggal 24 Desember 1959, di
Palembang. Akta pendirian PT Pupuk Sriwidjaja bernomor 117 dengan
ditandatangani di depan notaris Eliza Pondaag dan diumumkan dalam tambahan
berita Negara RI No. 46 pada 7 Juni 1960. Perusahan ini semula merupakan Badan
Usaha Milik Negara berbentuk Perseroan Terbatas. Berdasar PP No. 20 tahun 1964
status hukumnya diubah menjadi Perusahaan Negara. Tetapi dengan PP No.20 tahun
1969 dikembalikan lagi status hukumnya menjadi Perseroan Terbatas.
PT Pupuk Sriwidjaja melalui pabrik PUSRI I berhasil memproduksi urea
pertama di Indoensia pada tanggal 16 Oktober 1963 dengan kapasitas terpasang
100.000 ton urea pertahun atau 300 ton perhari serta 180 ammonia per hari. Dan
setahun berikutnya produksi telah mencapai 100,4% dari target yang ditetapkan.
Perusahaan ini mengalami perkembangan pesat sepanjang tahun 1972 hingga
1994 dengan diabngunnya beberapa pabrik baru. Pembangunan beberapa pabrik
tersebut meningkatkan kapasitas produksi PT PUSRI hingga mencapai 2.260.000 ton
urea per tahun. Seiring dengan terus meingkatnya jumlah penduduk Indoensia,
kebutuhan beras nasional juha meningkat. Untuk mengimbangi permintaan pasar
beras yang semakin besar, pada tahun 1965 dilakukan perencanaan perluasaan pabrik
PT PUSRI. Namun, rencanaini tertunda karena terjadinya pemberontakan G-
30S/PKI. Baru pada tanggal 7 Desember 1972, berdasarkan studi kelayakan yang
dilakukan oleh John Van Der Volk & Associate (Amerika Seriakt), mulai didirikan
pabrik PUSRI II dengan kontaraktor pabrik amonia dari M. W. Kellog Overseas
Corporation (Amerika Serikat)dan kontraktor pabrik urea dari Toyo Engineering
Company (Jepang). Pabrik PUSRI II tersebut mulai beroperasi pada tanggal 8
Agustus 1974 dengan kapasitas produksi sebesar 660 MTD (metric ton per day)
amonia dan 1.150 MTPD urea.
Satu hari sebelum peresmian pabrik PUSRI I, pemerintah juga telah
menandatangani kontak pembangunan pabrik PUSRI III. Pembangunan pabrik
PUSRI III ini mulai dilakukan pada tanggal 21 Mei 1975 dengan pemancangan tiang
pertama oleh Menteri Perindutrian M. Jusuf. Kapasitas produksi dari pabrik PUSRI
III ini adalah 1000 ton amonia/hari dengan menggunakan proses Kelolog dan 1725
ton urea/hari atau 570.000 ton urea/tahun dengan proses Mitsui Toatsu Total Reacyle
(MTTR) C-Improved. Pembangunan pabrik PUSRI III ini dikerjakan oleh Kellog
Overseas Corp. dan Toyo Engineering Corporation (TEC).
Pada tanggal 7 Agustus 1975, tepat satu tahun setelah penandatangan kontrak
pembangunan PUSRI III, pemerintah kembali merencanakan pembangunan pabrik
PUSRI IV. Pembangunan pabrik ini dimulai pada tanggal 25 oktober 1975 dengan
kapasitas dan proses yang sama dengan III. Pabrik PUSRI IV selesai dibangun dan
mulai beroperasi pada tanggal 15 september 1977, tidak lama setelah PUSRI III
mulai beroperasi pada tanggal 15 September 1977.
Pada tahun 1985,dilakukan penghentian operasi terhadap pabrik PUSRI I
karena pabrik ini dinilai sudah tidak ekonomis. Sebagai penggantinya, pada tahun
1990 pabrik ini mengalami perombakan menjadi pabrik PUSRI IB yang
menggunakan teknologi Kellog untuk produksi amonia dan ACES (Advanced Cost
And Energy Saving) untuk produksi urea. Kapasitas produksi PUSRI IB ini sebesar
446.000 ton amonia per tahun dan 570.000 ton urea per tahun. Pabrik dengan
kapasitas produksi terbesar diantara pabrik-pabrik PT Pupuk Sriwidjaja lainnya ini
diresmikan pengoperasiannya pada tanggal 22 Desember 1994 oleh Presiden
Soeharto. Pabrik PUSRI-IB ini merupakan pabrik yang dibangun dengan konsep
hemat energi dan telah menggunakan sistem kendali komputer “Distributed Contol
System”.
Pada Tahun 2017, dilakukan pemberhentian pabrik PUSRI II karena dianggap
sudah tua dan boros konsumsi gasnya dan digantikan oleh pabrik PUSRI IIB yang
diresmikan pada 11 Maret 2018. Pabrik PUSRI II-B menggunakan teknologi KBR
Purifier Technology untuk Pabrik Amonia dan teknologi ACES 21 milik TOYO dan
PUSRI sebagai Co Licensor untuk Pabrik Urea. Selain ramah lingkungan juga hemat
bahan baku gas yakni dengan rasio pemakaian gas per ton produk 31,49
MMBTU/Ton Amonia dan 21,18 MMBTU/Ton Urea. Jika dibandingkan dengan
Pabrik PUSRI II (existing) yang memiliki rasio pemakaian gas per ton produk 49,24
MMBTU/Ton Amonia dan 36.05 MMBTU/Ton Urea maka akan dihemat pemakaian
gas sebesar 14,87 MMBTU perton urea. Pabrik Pusri IIB memliki kapasitas terbesar
dibandingkan pabrik lainnya, kapasitas Pabrik Amonia 2.000 ton /hari (660.000
ton/tahun) dan kapasitas Pabrik Urea 2.750 ton/hari (907.500 ton/tahun).
1.2 Rumusan Masalah
Sebagai mahasiswa Teknik Kimia, teori yang di dapatkan di bangku kuliah
terasa sangat kurang apabila tidak diimbangi dengan praktek secara langsung di
lapangan. Melalui Kerja Praktek ini diharapkan mahasiswa mengetahui secara
langsung pengoperasian, sistem pemrosesan, dan bebagai macam hal yang tidak bias
didapatkan pada saat perkuliahan.
Disamping itu, mahasiswa juga dapat mengamati, mendefenisikan, dan
menyelesaikan persoalan yang terjadi, serta mahasiswa mampu Memahami dan dapat
menggambarkan pola inti proses produksi pada PT. Pupuk Sriwidjaja Palembang,
meliputi bahan baku utama, proses yang terjadi, produk yang dihasilkan. Mahasiswa
diharapkan secara proaktif memperhatikan kasus-kasus yang terjadi pada kondisi
operasi karena tidak tertutup kemungkinan mahasiswa akan mendapatkan hal-hal
yang baru sehingga menambah pengalaman dan pola pikir baru. Pengetahuan yang
didapat selama Kerja Praktek dapat dijadikan bekal dan pengalaman untuk menjalani
profesi sebagai chemical Engineering atau Process Engineer.

1.3. Tujuan
Adapun tujuan kerja praktek ini adalah untuk :
1. Memenuhi persyaratan kurikulum Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik,
Universitas Riau.
2. Mempelajari aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang diterapkan di
PT. Pupuk Sriwidjaja.
3. Mempelajari dan memahami secara rinci berbagai macam proses dan
metode penanganan yang terjadi dalam industri serta berbagai macam
kondisi operasi yang diterapkan pada peralatan operasi di lapangan,
khususnya di PT. Pupuk Sriwidjaja.
4. Memberikan pengalaman suasana kerja pada lingkungan industri dan
mengembangkan wawasan Engineerin.
1.4 Ruang Lingkup Kerja Praktik
Kerja Praktik dilaksanakan di Unit Kerja Departemen Operasi PUSRI-IIB
mulai tanggal 4 Februari – 4 Maret 2019. Pelaksanaan kerja praktik ini meliputi
kegiatan utama, yaitu:

a. Orientasi umum
Membahas tiga sistem pabrik yang ada di PT. PUSRI yaitu pabrik Utilitas,
Amonia, dan Urea.
b. Orientasi lapangan
Membandingkan teori yang telah didapat pada orientasi umum dengan
kondisi di lapangan.

1.5 Waktu dan Tempat Kerja Praktik


1.5.1 Waktu Kerja Praktik
Kerja Praktik dilaksanakan selama 1 bulan dengan waktu efektif 21 hari. Jam
kerja praktik dilaksanakan selama 9 jam dengan alokasi kerja 8 jam untuk kerja dan 1
jam untuk istirahat, dengan jadwal:

Hari Senin-Kamis

Jam kerja : Pukul 07.30 – 16.30 WIB

Istirahat : Pukul 12.00 – 13.00 WIB

Hari Jum’at

Jam kerja : Pukul 07.30 – 17.00 WIB

Istirahat : Pukul 11.30 – 13.00 WIB

1.5.2 Tempat Kerja Praktik


Pelaksanaan kerja praktik dilakukan di PT. Pupuk Sriwidjaja Palembang
yang terletak di jalan Mayor Zen, Kalidoni, Palembang, Sumatera Selatan. Dipilihnya
PT. Pupuk Sriwidjaja sebagai tempat kerja praktik karena PT. Pupuk Sriwidjaja
Palembang merupakan industri kimia yang didalamnya meliputi proses fisika
dan/atau kimia serta berbagai macam teknik operasi, sehingga sangat tepat untuk
digunakan sebagai tempat kerja praktik jurusan teknik kimia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Bahan Baku


PT. Sriwidjaja Palembang dalam proses produksi urea menggunakan bahan
baku gas alam, udara, dan air yang diolah terlebih dahulu di unit ammonia untuk
menghasilkan NH3 dan CO2 sebagai bahan dasar pembuatan urea. Selanjutnya NH3
dan gas CO2 direaksikan dalam Unit Urea membentuk urea CO(NH2)2.

2.1.1 Bahan Baku Unit Amonia


Proses pembuatan ammonia dan urea memerlukan bahan utama dan bahan
penunjang. Baik bahan utama maupun bahan penunjang memerlukan persyaratan
minimum sehingga dapat digunakan dalam proses. Bahan baku utama pembuatan
ammonia terdiri atas gas alam, air, dan udara, sedangkan bahan baku penunjang
dalam proses pembuatan ammonia terdiri dari katalis dan bahan kimia lainnya. Pada
dasarnya, amoniak diproduksi dari energi, air, dan udara. Sumber energi diperoleh
dari hidrokarbon atau metana yang merupakan komponen utama dari gas alam. Gas
alam akan mengalami reaksi reforming dengan steam menghasilkan gas hidrogen
(H2). Steam diperoleh dari air demin yang telah mengalami suatu proses pengolahan
di unit utilitas dan pemanasan di unit amoniak. Sedangkan, udara diperoleh dari
lingkungan dan berperan sebagai penghasil gas nitrogen (N2). Pada akhirnya, akan
diperoleh gas hidrogen (H2) dan gas nitrogen (N2) yang merupakan bahan baku utama
dalam pembuatan amoniak.
a. Gas Alam
Gas alam merupakan bahan baku terpenting di PT PUSRI Palembang karena
berfungsi sebagai sumber hidrogen dalam pembuatan amoniak, sumber bahan bakar
di burner dan primary reformer, dan sumber karbon dalam proses pembuatan urea.
Gas alam memiliki sifat fisik dan sifat kimia yaitu tidak berwarna, warna nyala api
biru, baunya khas sehingga mudah dikenali dan sangat mudah sekali terbakar, serta
merupakan campuran hidrokarbon yang terdiri dari 60-90% hidrokarbon ringan dan
hidrokarbon berat serta gas pengotor (inert).
Pada Pusri P-IIB, penggunaan gas alam tidak lagi sebagai bahan bakar untuk
membangkitkan listrik seperti pabrik-pabrik yang lainnya. Gas alam akan difokuskan
untuk membuat gas sintesa yang diperlukan dalam pembuatan amoniak dan sebagai
bahan bakar di primary reformer dan peralatan lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan
bahan bakar sebagai pembangkit listrik maka Pusri P-IIB menggunakan batubara di
STG (Steam Turbin Generator). Sehingga, menjadikan P-IIB pabrik yang memiliki
tingkat efisiensi yang lebih tinggi.
Penyediaan kebutuhan gas alam PT PUSRI Palembang ini disuplai oleh
Pertagas Niaga dan Medco Energy di Sumatera Selatan melalui sistem jaringan pipa
dan kompresor. Pipa ditempatkan di bawah tanah dan berjarak  120 km. Gas
tersebut diterima PT PUSRI Palembang dan diukur kuantitasnya melalui suatu unit
pengukuran yang disebut Gas Metering Station (GMS). Komponen utama yang
terdapat dalam gas alam adalah metana (CH4). Namun, gas alam tersebut juga
mengandung berbagai kotoran berupa zat padatan, air, sulfur, karbon dioksida,
merkuri, heavy carbon, dan berbagai impurities lainnya yang dapat mengakibatkan
gangguan selama operasi berlangsung. Oleh karena itu, gas alam harus melewati
proses treatment terlebih dahulu sebelum dikirim ke proses selanjutnya.
Aliran untuk pipa gas alam dibagi menjadi dua cabang. Salah satu pipa
menuju tempat pembakaran dan berperan sebagai primary fuel gas, sedangkan aliran
satunya akan menuju ke tahap feed treating yang dinamakan sebagai gas proses. Gas
proses sebanyak 50770 kg/jam pada temperatur 30oC dan tekanan 15kg/jam awalnya
dikirim ke Feed Gas Knockout Drum 174-D dimana kondensat yang terbawa akan
dipisahkan. Pemisahan di vapor-liquid separator ini didasarkan pada perbedaan berat
jenis antara kedua fase. Separator tipe K.O
Drum ini dilengkapi dengan demister yang berfungsi untuk menangkap liquid
droplets yang mungkin masih terbawa di dalam aliran gas proses dan nozzle gas
sparger inlet untuk mendistribusikan aliran gas masuk. Kondensat yang berhasil
dipisahkan di 174-D akan mengalir ke bawah dan dikirim ke pembuangan/burning
pit. Sedangkan, gas proses selanjutnya dialirkan ke Feed Gas Compressor 102-J. Di
mana di dalam compressor ini, gas proses tersebut ditekan hingga menjadi 52 kg/cm2.
Selain sebagai gas proses, gas alam ini juga akan diambil sebanyak 10172 kg/jam
untuk digunakan sebagai fuel gas yang akan dikirim ke arch burner di Primary
Reformer 101-B, tunnel burner, superheater burner, dan burner 102-B untuk
dijadikan sebagai primary fuel gas.

Tabel 2.1. Komposisi dan Karakteristik Gas Alam Pertamina

Komponen Jumlah Specific Gravity Heat Value


(cair) (Btu/ft )
( % vol.)

CH4 82.78 0.248 911


CO2 4.91 0.815 -
C2H6 6.04 0.368 1631
C3H8 3.41 0.508 2352
n-C4H10 0.66 0.584 31013709
n-C5H12 0.14 0.631 3698
i-C5H12 0.26 0.625 4404
C6H14 0.25 0.664 -
H2O 0.00 1 -
N2 1.00 0.808 -
Mercury ≤100𝜇g/N - -
m3
S ≤15ppmV 0.790 -
(Sumber : Laboratorium Analytical Report Natural Gas PT. Pupuk Sriwidjaja)
b. Uap Air (Steam)

Air merupakan bahan baku pembuatan steam dan air pendingin di lingkungan
proses pabrik ini. Air juga dibutuhkan untuk keperluan domestik dan pemadam
kebakaran. Kebutuhan air baku untuk menjalankan pabrik PT. Pupuk Swiwidjaja
diperoleh dari sungai musi. Air tersebut diolah terlebih dahulu untuk dihilangkan ion-
ion dan gas-gas terlarut yang terdapat di dalam air, sehingga mempunyai kemurnian
H2O yang sangat tinggi atau disebut demin water guna mencegah kerusakan peralatan
seperti korosi, deposition, scalling, erosion, dan lain-lain. Sifat-sifat fisik air
diantaranya adalah:
Tabel 2.2. Sifat –Sifat Fisik Air
Sifat Nilai

Titik didih 100 oC


Titik Beku 0 oC
Temperatur Kritis 374.15 oC
Tekanan Kritis 218.4 atm
Densitas Kritis 324 kg/m3
Viskositas pada 20 oC 0,01002
poise
(Sumber : Utilitas Pusri-IIB, 2016)

Adapun sifat kimia air, yaitu :


1. Rumus molekul H2O dan mempunyai berat molekul 18 gr/mol
2. Merupakan pelarut yang paling umum digunakan
3. Tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa
4. Merupakan cairan non polar dan mempunyai sifat elektrolit yang lemah.
Tabel 2.3. Komposisi dan Karakteristik Air Sungai Musi
Parameter Satuan Jumlah
o
Temperatur C 28.5
M. Alkalinitas dalam CaCO3 ppm 19.4
P Alkalinitas dalam CaCO3 ppm -
Klorida dalam Cl- ppm 4
Sulfat dalam SO42- ppm 6.9
Calcium Hardness dalam CaCO3 ppm 11.9
Magnesium Hardness dalam CaCO2 ppm 4.7
Besi dalam Fe ppm 1.1
Silika dalam SiO2 ppm 15
Suspended Solids ppm 26.2
Total Dissolved Solids ppm 30
PH - 6.6
Turbiditas dalam SiO2 ppm 44.0
Dissolved Ammonia ppm 3.3
(Sumber : Unit Operasi P-IIB, 2016)

c. Udara
Udara pada unit amoniak sangat dibutuhkan untuk reaksi oksidasi di
Secondary Reformer. Selain itu, udara juga merupakan salah satu sumber untuk
pembakaran berupa oksigen dan sumber nitrogen dalam pembuatan amoniak, serta
penggerak peralatan yang bekerja secara pneumatic, fluida untuk flushing, fluida
untuk pengadukan, dan bahan untuk aerasi. Udara ambient diambil dari atmosfer
dengan komposisi 78 %-vol. nitrogen, 21 %-vol. oksigen dan 1 %-vol. argon dan
komponen lainnya yang kemudian masuk ke dalam Air Compressor 101-J empat
tahap dimana udara ditekan hingga menjadi 43.5 kg/cm2 dengan temperature
discharge 165.4oC. Jumlah udara yang disediakan untuk udara proses adalah 143332
kg/jam. Sebelum udara atmosfer masuk ke suction kompresor, udara melewati filter
udara 101-L terlebih dahulu dimana partikel padatan yang mungkin terbawa dalam
aliran udara akan disaring. Selanjutnya, udara disuplai ke peralatan yang
membutuhkan.

2.1.2 Bahan Baku Unit Urea


a. Amonia Cair
Amonia diperoleh dari hasil reaksi antara gas hidrogen dengan gas nitrogen
yang dilakukan pada unit amonia. Hidrogen untuk proses pembuatan amonia
diperoleh dari hidrokarbon pada gas alam, sedangkan gas nitrogen dapat diperoleh
dari udara bebas. Spesifikasi amonia cair yang diperbolehkan adalah :
- Kadar Amonia : minimal 99,5 % berat
- Kadar Air : minimal 0,5 % berat
- Minyak : maksimal 5 ppm (b/b)
- Tekanan : 20 kg/cm2.G

- Temperatur : 38 °C
(Process enggineering PT Pupuk Sriwidjaja Palembang)

b. Gas Karbondioksida (CO2)


Gas karbondioksida (CO2) diambil dari Unit Amonia karena karbondioksida
merupakan hasil samping dari pembuatan amonia. Spesifikasi dari gas
karbondioksida (CO2) yang diijinkan adalah sebagai berikut :
- Kadar CO2 : minimal 98,5% volume
- Kadar air : jenuh
- Kadar sulfur : maksimal 1,0 ppm (b/b)
- Tekanan : 1,6 kg/cm2
- Suhu : 38 °C
- Kadar penyerap : 0,01 %
(Process enggineering PT Pupuk Sriwidjaja Palembang)
2.2 Karakteristik Produk
2.2.1 Karakteristik Produk Amoniak
Amoniak memiliki sifat kimia yaitu mudah meledak dan beracun serta
menyebabkan iritasi bila dihirup. Selain itu, larutan amoniak apabila dalam air yang
bertemperatur -38oC sampai 41oC, akan membeku membentuk kristal seperti jarum.

Tabel 2.5 Sifat – sifat Fisika Amoniak


Sifat Nilai
Berat molekul 17,03 gr/ mol
Titik didih -33,4 0C
Titik leleh -77,70 0C
Temperatur kritis 405,65 K
Tekanan kritis 11,30 . 10-6 Pa
Tekanan uap cairan 8,5 kg/ cm2
Spesifik volume pada 70 0C 22,7 kg/ m3
Spesifik gravity pada 0 0C 0,77 kg/ m3
Sumber : Perry, Chemical Hand’s Book,1999

2.2.2 Karakteristik Produk Urea


Produk utama dari pabrik PUSRI-1B adalah butiran-butiran urea (urea prill),
dimana memiliki sifat-sifat sebagai berikut :

Tabel 2.6 Sifat-Sifat Urea


Berat molekul 60.06 gr/mol
Specific gravity 1.335
Indeks bias 1.484
Titik leleh 132.7 oC
Bentuk kristal Tetragonal
Panas pembentukan – 47.12 kkal/mol
Panas pelarutan 58 kal/gr
Panas kristalisasi – 110 kkal/mol
Densitas curah 0.74 gr/cm3
Panas spesifik 0.397 kkal/gr oC
Kelarutan dalam air 51.6 gr / 100 gr air (20oC)
Sumber : Teknik Proses PT. PUSRI (Tahun 2015)
Kapasitas produksi yang dimiliki pabrik urea ini adalah 1725 ton per hari
dengan spesifikasi produk yang dihasilkan adalah sebagai berikut :

Tabel 2.7 Spesifikasi Urea Produk PT PUSRI


Komponen Detail Keterangan
Nitrogen 42,6%(b/b) MINIMUM
Biuret 0.5%(b/b) MAKSIMUM
Kandungan air (moisture) 0.3%(b/b) MAKSIMUM
NH3 bebas 150 ppm (b/b) MAKSIMUM
Abu 15 ppm (b/b) MAKSIMUM
Fe 1 ppm (b/b) MAKSIMUM
Ukuran (prill size) :
6 –18 US Mesh 98% MINIMUM
lewat 6 US Mesh 100% MAKSIMUM
Lewat 25 US Mesh 1%
Putih, butiran (prilled),
Penampilan Free flowing, tidak
mengandung
Kecepatan Muat 1.000 Metrik Ton/Jam Urea dalam kantong.
(Loading Rate) 3.500 Metrik Ton/Jam Urea curah.

Ukuran vessel draft


untuk pemuatan 6,5 meter.

Urea ini didistribusikan dengan dua cara, yaitu :


a) Sebagai pupuk kantongan (bagged) dengan berat 50 kg setiap kantongnya.
Kantong pupuk ini terdiri bagian dalam (inner) yang kedap air dan kedap udara
serta bagian luar (outer) yang merupakan anyaman biasa.
b) Sebagai pupuk curah (bulk). Pupuk curah ini dimasukkan ke dalam kapal
pengangkut pupuk dengan menggunakan belt conveyor untuk nantinya
dikantongi di unit-unit pengantongan daerah.

2.3 Deskripsi Umum Proses


2.3.1 Proses Produksi Amoniak
Secara garis besar proses dibagi menjadi empat unit, yaitu sebagai berikut:
a) Feed Treating Unit
Gas Alam yang masih mengandung kotoran (impurities), terutama senyawa
belerang sebelum masuk ke Reforming Unit harus dibersihkan dahulu di unit ini, agar
tidak menimbulkan keracunan pada katalisator di Reforming Unit. Untuk
menghilangkan senyawa belerang yang terkandung dalam gas alam, maka gas alam
tersebut dilewatkan dalam suatu bejana yang disebut Desulfurizer. Gas alam yang
bebas sulfur ini selanjutnya dikirim ke Reforming Unit.

b) Reforming Unit
Di reforming unit gas alam yang sudah bersih dicampur dengan uap air,
dipanaskan, kemudian direaksikan di Primary Reformer, hasil reaksi yang berupa
gas-gas hydrogen dan carbon dioxide dikirim ke Secondary Reformer dan direaksikan
dengan udara sehingga dihasilkan gas-gas seperti hidrogen, nitrogen, dan karbon
dioksida. Gas gas hasil reaksi ini dikirim ke Unit purifikasi dan Methanasi untuk
dipisahkan gas karbon dioksidanya.

c) Purifikasi & Methanasi


Karbon dioksida yang ada dalam gas hasil reaksi Reforming Unit dipisahkan
dahulu di Unit Purification, Karbon Dioksida yang telah dipisahkan dikirim sebagai
bahan baku Pabrik Urea. Sisa karbon dioksida yang terbawa dalam gas proses, akan
menimbulkan racun pada katalisator ammonia converter, oleh karena itu sebelum gas
proses ini dikirim ke Unit Synloop & Refrigeration terlebih dahulu masuk ke
Methanator.

d) Compression Synloop & Refrigeration Unit


Gas Proses yang keluar dari Methanator dengan perbandingan gas hidrogen :
nitrogen = 3 : 1, ditekan atau dimampatkan untuk mencapai tekanan yang diinginkan
oleh Ammonia Converter agar terjadi reaksi pembentukan, uap ini kemudian masuk
ke Unit Refrigerasi sehingga didapatkan amonia dalam fasa cair yang selanjutnya
digunakan sebagai bahan baku pembuatan Urea.
2.3.2 Proses Produksi Urea
Urea adalah sintesis dari reaksi karbon dioksida dan ammonia pada suhu dan
tekanan tinggi. Biasanya, reaksi dalam zona pembentukan sintesis urea atau reaktor
pada suhu dan temperatur yang sesuai untuk sintesis urea dan termasuk pada
pembentukan dan dehidrasi ammonium karbonat untuk membentuk urea, dengan
reaksi sebagai berikut

2NH3 + CO2 ↔ NH2CO3NH4 ...............................................................................(1)

NH2CO3NH4 ↔ NH2CO2HN2 + H2O ...................................................................(2)

Pembuatan pupuk urea PT. Pupuk Sriwijaya dibagi menjadi enam unit proses,
yaitu unit sintesa, unit purifikasi, unit kritaliser, unit priling, unit recovery dan unit
proses kondensat treatment Berikut ini penjelasan masing-masing unit.

a) Unit Sintesis
Unit ini merupakan bagian terpenting dari pabrik urea. Proses mensintesa urea
dengan cara mereaksikan Liquid NH3 dan gas CO2 di dalam reaktor urea. Larutan
recycle karbamat yang berasal dari bagian Unit Recovery juga dimasukkan ke dalam
reaktor ini. Reaksi reversible dan konversi ammonium karbamat menjadi urea
berlangsung pada fase cair sehingga butuh temperatur dan tekanan tinggi. Tekanan
operasi di sintesa adalah 175 kg/cm2G. Hasil sintesa urea dikirim ke bagian
purifikasi untuk dipisahkan ammonium karbamat dan kelebihan ammonianya setelah
dilakukan stripping oleh CO2.
b) Unit Purifikasi
Ammonium karbamat yang tidak terkonversi dan kelebihan ammonia di unit
sintesa diuraikan dan dipisahkan dengan cara tekanan dan pemanasan dengan dua
step penurunan tekanan yaitu pada 17 kg/cm2G dan 22,2 kg/cm2G. Hasil peruraian
berupa gas CO2 dan NH3 dikirim ke bagian recovery, sedangkan larutan ureanya
dikirim ke bagian kristaliser.
c) Unit Kristaliser
Larutan urea dari unit purifikasi dikristalisasikan dibagian ini secara vacuum.
Kemudian kristal ureanya dipisahkan di centrifuge. Panas yang diperlukan untuk
menguapkan air diambil dari panas sensibel larutan urea, maupun panas kristalisasi
urea dan panas yang diambil dari sirkulasi urea slurry ke High Pressure Absorber
(HPA) dari recovery.

d) Unit Prilling
Kristal urea keluaran centrifuge dikeringkan sampai menjadi 99,8% berat
dengan udara panas, kemudian dikirimkan ke bagian atas Prilling tower untuk
dilelehkan dan didistribusikan merata ke seluruh distributor, dan dari distributor
dijatuhkan ke bawah sambil didinginkan oleh udara dari bawah dan menghasilkan
produk urea butiran (prill). Produk urea dikirim ke bulk storage dengan belt
conveyor.

e) Unit Recovery
Gas ammonia dan gas CO2 yang dipisahkan dibagian purifikasi diambil
kembali dengan dua step absorbsi dengan menggunakan mother liquor sebagai
absorben kemudiab di recycle kembali ke bagian sintesa.

f) Proses Kondensat Treatment Unit


Uap air yang menguap dan terpisahkan dibagian kristaliser didiginkan dan
dikondensasikan. Sejumlah kecil urea, NH3, dan CO2 ikut kondensat kemudian diolah
dan dipisahkan di stripper dan hydrolizer. Gas CO2 dan gas NH3 tersebut dikirim
kembali ke bagian purifikasi untuk di recover. Sedangkan air kondensatnya dikirim
ke utilitas.
BAB III

URAIAN PROSES PABRIK

3.1 Unit Amoniak


Pabrik amoniak di PT Pupuk Sriwidjaja Palembang menggunakan teknologi
Kellog Brown Route (KBR) yang merupakan lisensi dari Amerika Serikat. Unit
amoniak ini beroperasi untuk memproduksi amoniak dan karbondioksida sebagai
produk sampingnya yang selanjutnya digunakan sebagai bahan baku pembuatan urea.
Pabrik ini dirancang dengan kapasitas produksi sebesar 2000 ton per hari. Saat
normal operasi, sebanyak 1595 ton per hari hot ammonia diproduksi sebagai bahan
baku pembuatan urea sedangkan sisanya sebanyak 405 ton per hari cool ammonia (-
33˚C) aka dikirim ke storage pada tekanan atmosfer.
Sementara itu, bahan baku untuk pembuatan amoniak ini sendiri antara lain
gas alam, udara, napta, batubara, LPG, heavy hydrocarbon, hidrokarbon elektrolisis,
dan lain-lain. Bahan baku yang berbeda-beda ini memberikan proses yang berbeda
pula dalam pembuatannya. Terdapat dua proses utama dalam mengsintensa amoniak
yaitu melalui steam reforming process dari gas alam atau melalui oksidasi sebagian
dari heavy fuel oil. Pusri P-IIB menggunakan proses Kellog yang didasarkan pada
proses steam-methane reforming. Fitur utama yang membedakan teknologi Purifier
KBR dengan pabrik ammoniak konvensional adalah sebagai berikut :
1. Pada primary reforming, beban untuk membentuk gas sintesa digeser ke
secondary reformer sehingga panas keluaran lebih rendah dan penggunaan
fuel berkurang.
2. Ekses udara diberikan pada secondary reformer untuk menangani beban yang
seharusnya dilakukan oleh primary reformer. Kelebihan metana dan nitrogen
pada proses upstream akan dikondensasikan pada proses selanjutnya di
purifier. Hal ini membuat temperatur keluaran secondary reformer akan lebih
rendah daripada proses konvensional dan meringankan kondisi di waste heat
boiler. Ringannya beban kerja di primary reformer juga menyebabkan
steam/carbon rasio menjadi lebih kecil dibandingkan dengan proses
konvensional.
3. Berlebihnya nitrogen karena ekses udara di secondary reformer akan
dikondensasi pada purifier dengan cara cryogenic. Nitrogen akan
dikondensasikan dan dhilangkan dari syngas bersama dengan metana, argon
dan pengotor lainnya. Hal ini akan membuat tekanan di synloop menjadi lebih
rendah, gas recycle yang lebih rendah, volume katalis lebih sedikit dan purge
gas yang lebih sedikit.
4. CO2 removal yang digunakan adalah teknologi BASF’s 2 stage dengan
menggunakan larutan OASE yang sudah terintegrasi dengan pabrik ammonia.
5. Seluruh komponen yang digunakan pada pabrik ini merupakan teknologi yang
sudah teruji. Semua prosesnya adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Sebagian besar dari rotating tool adalah tipe sentrifugal. Kompresor feed gas,
air process, syngas, ammonia, induced draft & forced draft semuanya
digerakkan dengan steam turbine. Sementara pompa untuk BFW, lean
solution dan semi lean solution digerakkan dengan steam turbine dan motor.
Unit amoniak merupakan tempat berlangsungnya reaksi antara H2 dan N2
dengan perbandingan 3 : 1. Gas H2 dan N2 diperoleh dari proses reforming gas alam,
steam, dan udara. Selain amoniak, juga diperoleh produk samping CO2 yang
merupakan sumber bahan baku untuk pembuatan urea. Proses pembuatan amoniak
secara umum terbagi dalam beberapa tahapan proses sebagai berikut :
A. Tahap Feed Treating
a) Desulfurisasi anorganik (pengubahan sulfur anorganik menjadi organik)
b) Desulfurisasi organik (pemisahan sulfur organik)
B. Tahap pembentukan gas sintesa (reforming)
a) Primary Reforming
b) Secondary Reforming
C. Tahap pemurnian gas sintesa (purification dan methanation)
a) High Temperature Shift Conversion (HTSC)
b) Low Temperature Shift Conversion (LTSC)
c) CO2 Removal
d) Metanasi
e) Pengeringan dengan molecular sieve (molecular sieve drying)
f) Cryogenic Purification
D. Tahap ammonia synthesis loop
a) Syngas Compression
b) Ammonia Synthesis
c) Refrigerasi dan Pemisahan Amoniak
E. Purge Gas Recovery Unit (PGRU)
a) Ammonia Recovery Unit (ARU)
b) Hydrogen Recovery Unit (HRU)

Amoniak merupakan senyawa kaustik dan dapat merusak kesehatan. Kontak


dengan amoniak berkonsentrasi tinggi dapat menyebabkan kerusakan paru-paru dan
kematian. Amoniak umumnya bersifat basa (pKb = 4,75) namun dapat juga bertindak
sebagai asam yang lemah (pKa = 9,25). Amoniak dapat berbentuk secara alami
maupun secara sintesis. Amoniak yang berada di alam merupakan hasil dekomposisi
bahan organik. Adapun sifat kimia amoniak adalah:
1. Pada suhu kamar (temperatur 25oC dan tekanan 1 atm) amoniak merupakan
gas tidak berwarna yang mempunyai bau tajam.
2. Lebih ringan dari udara
3. Senyawa kaustik
4. Sangat mudah larut dalam air (pada 710 volume NH3 larut dalam 1 volume
air)
5. Apabila terhirup dapat menimbulkan perih pada mata, dalam jumlah yang
besar dapat menyebabkan sesak nafas
6. Bersifat korosif pada tembaga dan timah

Untuk sifat fisika amoniak dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3.1. Sifat-sifat Fisika Amoniak


Sifat Nilai
Berat molekul 17,03 gr/ mol
Titik didih -33,4 0C
Titik beku -77,70 0C
Temperatur kritis 405,65 K
Tekanan kritis 11,30 . 10-6 Pa
Tekanan uap cairan 8,5 kg/ cm2
Spesifik volume pada 70 0C 22,7 kg/ m3
Spesific gravity pada 0 0C 0,77 kg/ m3
Panas pembentukan pada:
1oC -9,37 kkal/mol
25oC -11,04 kkal/mol
Kelarutan dalam air pada 1 atm
0oC 42,80
20oC 33,10
60oC 14,10
Panas Spesifik pada 1 atm
0oC 0,5009
100oC 0,5317
200oC 0,5029
(Sumber: Perry’s Chemical Engineering Hand’s Book 1996)
3.1.1 Faktor faktor yang Mempengaruhi Sintesis Amoniak
Ada banyak faktor-faktor yang mempengaruhi sintesis ammonia di dalam
ammonia converter di antaranya adalah sebagai berikut :
a) Temperatur
Sesuai dengan Azaz Le Chatelier, “jika suatu sistem berada dalam
kesetimbangan, suatu kenaikan temperatur akan menyebabkan kesetimbangan itu
bergeser ke arah yang menyerap kalor (reaksi endoterm)”. Reaksi ammonia
merupakan reaksi eksoterm :
N2 + 3 H2 ↔ 2 NH3 ∆Hro = -92,22 kJ
Sedangkan reaksi dekomposisi ammonia adalah reaksi endoterm :
2 NH3 ↔ N2 + 3 H2 ∆Hro = +92,22 Kj
b) Tekanan
Menurut Azaz Le Chatelier, kenaikan tekanan menyebabkan reaksi bergeser
ke arah mol (koefisien reaksi) yang lebih kecil (ke arah pembentukan NH3)

c) Laju Alir Gas Reaktan


Sesuai dengan Azaz Le Chatelier, jika komponen reaktan ditambah dan
produk terus-menerus diambil / dikurangi maka reaksi kesetimbangan akan bergeser
ke arah pembentukan NH3
d) Perbandingan Reaktan antara Hidrogen dan Nitrogen
Menurut reaksi kesetimbangan, pembentukan ammonia dalam memproduksi 1
mol gas NH3 membutuhkan 1/2 mol N2 dan 3/2 mol H2. Perbandingannya N2 : H2 =
1:3.
e) Jumlah Gas Inert
Jika terjadi peningkatan kadar gas inert dalam ammonia converter yang
terutama terdiri dari metana dan argon maka dapat meracuni katalis dan
mengakibatkan turunnya konversi pembentukan urea.
f) Katalis
Katalis merupakan zat yang dapat mempercepat reaksi namun tidak ikut
bereaksi. Peranan katalis adalah untuk menurunkan energi aktivasi reaksi. Katalis
yang paling baik untuk sintesis ammonia adalah magnetite promoted iron catalyst
yang terdiri dari katalis besi dengan tambahan promotor oksida aluminium,
zirkonium, ataupun silikon. Komposisi yang terbaik dari katalis tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Fe3O4 : 85 – 95%
2. Al2O3 :1–5%
3. CaO :1–3%
4. K2O : 0,1 – 1 %
5. WO3 :>1%
6. TiO2 : >1%
7. V2O5 :<1%
Penurunan aktivitas katalis dalam suatu reaksi dapat terjadi karena adanya
racun katalis seperti senyawa O2 yang terdapat dalam air, CO, CO2, senyawa
belerang, dan klorin.

3.1.2 Proses Pembuatan Amoniak


Proses produksi amoniak (NH3) menggunakan lisensi KBR (Kellog Brown
Route), yang didasarkan pada reaksi antara gas hidrogen (H2) dan gas nitrogen (N2)
dengan perbandingan rasio antar H2 dan N2 ialah 3 : 1. Proses keseluruhan di unit
amoniak digambarkan sebagai berikut:
Gambar.3.1. Blok Diagram Proses Pembuatan Amoniak

Pada unit feed treating, dapat dilakukan suatu proses pengolahan umpan awal
terhadap gas alam untuk mendapatkan gas metana (CH4) yang murni dari zat-zat
pengotor lainnya. Kandungan impurities yang terdapat di dalam gas alam ini
dihilangkan guna memperke cil mungkin gangguan yang akan diakibatkannya apabila
terbawa dalam proses. Impurities utama yang terkandung di dalam gas alam yang
berasal dari PT. Pertamina adalah Sulfur organik (R-S-R) dan sulfur anorganik (H2S).
Sulfur merupakan racun bagi semua katalis yang digunakan baik di primary reformer,
secondary reformer, LTS, ataupun methanator, serta akan mengganggu proses
sintesis di ammonia converter. Sehingga, diperlukannya suatu tahapan feed treatment
untuk menghilangkan kadar sulfur tersebut.

3.1.3 Tahap Pembentukan Gas Sintesis


Gas proses yang telah diolah di area feed treating selanjutnya diproses di area
reforming untuk mendapatkan gas sintesis yang dibutuhkan dalam pembuatan
amoniak, yaitu gas H2 dan N2. Proses pembuatan gas sintesis ini berlangsung dalam
dua unit, yaitu primary reformer dan unit secondary reformer.
a) Primary Reformer (101-B)
Pada unit primary reformer memiliki prinsip operasi untuk mengkonversi gas
alam atau metana yang telah dihilangkan kandungan sulfurnya menjadi gas sintesis
yang berupa H2, CO, dan CO2. Primary reformer 101-B merupakan gas fired, furnace
yang terdiri dari radiant dan convection section. Furnace ini terdiri atas 6 buah baris
dengan masing-masing baris berisi 48 tabung berkatalis Nickel Oxyde (NiO). Tube
High-alloy ini dipasang di radiant section 101-B dan diisi dengan katalis berbasis
nikel. Sebelum diumpankan ke primary reformer, gas proses dicampurkan dengan
uap air (medium pressured steam) dari 130-D dengan steam to carbon ratio sekitar
2,7. Rasio steam dengan carbon dijaga untuk mencegah terjadiya pembentukan
deposit carbon.
Campuran gas dan steam ini mengalir pada temperatur 350oC dan kemudian
dilewatkan di Mixed Feed Preheat Coil 101-BCX yang merupakan convection
section di primary reformer 101-B untuk dipanaskan hingga menjadi 488oC. Feed
gas yang sudah panas tersebut dialirkan ke dalam primary reformer dan
didistribusikan ke masing-masing tube katalis. Di dalam tube katalis, gas umpan akan
mengalami reaksi steam reforming dan reaksi shift uap air membentuk H2, CO dan
CO2. Hidrokarbon yang lebih berat dikonversi pertama kali menjadi metana:
HC + H2O → xCH4 + yCO2 (+Q)
Reaksi steam reforming ini berlangsung reversible pada temperatur 780 –
820oC dan secara keseluruhan bersifat endotermis. Adapun reaksi utama steam
reforming tersebut adalah:
CH4(g) + H2O(g) ↔ CO(g) + 3H2(g) (- Q)
CO(g) + H2O(g) ↔ CO2(g) + H2(g) (+ Q)
Pada Pusri P-2B, input panas untuk melangsungkan reaksi endotermis ini
disuplai oleh fuel gas yang dibakar melalui burner dari top section 101-B (top firing)
dan dipasang di antara deretan tube katalis. Berbeda dengan pabrik lainnya yang
menggunakan sistem side firing. Keunggulan dari top firing adalah keseragaman
temperatur dinding, sedikitnya volume catalyst yang dibutuhkan, kuantitas burner
yang dibutuhkan tidak banyak, dan penginstalan combustion air preheat yang mudah.
b) Secondary Reformer (103-D)
Untuk menyempurnakan reaksi steam reforming (pemecahan gas methane
menjadi CO, CO2, dan H2) diperlukan secondary reformer (103-D). Reaksi di
secondary reformer berlangsung pada temperatur sekitar 900 – 1200oC. Karena
temperatur operasi di reforming yang tidak begitu tinggi sehingga slip methane yang
dihasilkan masih cukup tinggi dari primary reformer, maka digunakan udara berlebih
(Excess O2 50%) di secondary reformer agar konversi metana dapat dimaksimalkan.
Di sini, gas proses masuk ke vessel reformer secara horizontal dari bagian upper pada
temperatur 740oC yang kemudian bercampur dengan udara proses dari Kompresor
Udara 101-J.
Sejumlah kecil steam MP ditambahkan ke udara proses yang bertujuan untuk
memastikan tetap ada aliran di line yang ke ruang pembakaran jika terjadi kehilangan
udara proses. Dalam ruang pembakaran 103-D, gas umpan dan udara proses yang
sudah dipanaskan tersebut akan mengalami reaksi oksidasi dan terbakar secara
spontan. Pembakaran ini menghasilkan temperatur tinggi sekitar 1349°C dan
terjadilah reaksi reforming antar metana dan uap yang belum terkonversi sebelumnya.
Adapun reaksi reforming yang terjadi sebagai berikut:
CH4 + H2O + heat ⇔ CO + 3 H2
CO + H2O ⇔ CO2 + H2 + Heat
Sedangkan, reaksi combustion yang terjadi adalah:
CH4 + 1/2O2 ⇔ CO + H2
2CH4 + O2 ⇔ 2CO2 + 4H2
H2 + 1/2O2 ⇔ H2O
Reaksi Shift-conversion:
CO + H2O ⇔ CO2 + H2
Parameter proses dalam secondary reformer adalah CH4 leak sebesar 1,59%.

3.1.4 Tahap Pemurnian Gas Sintesa


a) High Temperature Shift Conversion (HTSC)
Komponen gas yang keluar dari secondary reformer terdiri dari dari H2, N2,
CO, CO2, Ar, dan CH4. Pada unit ini, karbon monoksida yang terbentuk dari unit
reforming akan diubah menjadi karbon dioksida. Karbon dioksida yang terbentuk
akan dikirim sebagai bahan baku pabrik urea. Pada reaksi shift conversion, karbon
monoksida bereaksi dengan steam untuk membentuk hidrogen dan CO2:
CO + H2O  CO2 + H2
Reaksi tersebut bersifat reversibel dan eksotermis. Reaksi equilibrium
menunjukkan suatu ketergantungan yang tinggi terhadap temperatur dimana
konstanta kesetimbangan menurun seiring dengan menaiknya temperatur yang mana
mengindikasikan konversi CO yang tinggi akan diperoleh pada temperatur yang
rendah dan rasio steam yang tinggi. Sebaliknya, konversi CO yang rendah akan
diperoleh pada temperatur yang tinggi. Oleh karena itu reaksi dilakukan dalam dua
tahap yaitu pertama pada high temperature shift converter dan low temperature shift
converter dimana diantara keduanya dipasang pendingin inter-stage. Konversi karbon
monoksida maksimum menghasilkan perolehan hidrogen maksimum untuk sintesis
amoniak.
Pada temperatur 371oC, gas proses dari secondary reformer dengan
kandungan 11,98% CO diumpankan ke HTS converter dari atas dan akan mengalami
reaksi shift conversion dengan steam. Reaksi akan berlangsung di bed katalis copper-
promoted iron. Setelah gas mengalir dari atas menuju unggun katalis, gas akan keluar
dari bagian bawah HTS. Sebagian besar reaksi shift ini terjadi pada tahap pertama,
HTSC. Katalis yang digunakan di HTSC relatif murah dan tahan lama dan berfungsi
untuk menekan reaksi samping yang dapat terjadi pada katalis saat rasio steam
terhadap gas rendah. Temperatur pada outlet HTSC adalah 431°C dan sekitar 70%
dari CO dalam aliran gas proses dikonversi menjadi CO2 di converter ini. Kandungan
karbon monoksida outletnya adalah sekitar 3,41 %-mol basis kering.
b) Low Temperature Shift Conversion (LTSC)
Karena tidak semua karbon monoksida pada gas proses bisa diubah menjadi
CO2 di HTSC, maka CO tersebut akan diturunkan lagi dengan kadar sekecil mungkin
pada LTSC. Sebelumnya, panas outlet HTSC dimanfaatkan untuk memanaskan
boiler feed water (BFW) dan menghasilkan high pressure steam di HTS
Effluent/BFW Preheater dan Steam Generator 103-C1/C2.
Setelah melewati HTS Effluent/BFW Preheater dan Steam Generator 103-
C1/C2, gas keluaran HTSC masuk ke bagian atas LTSC pada temperatur 205oC.
Reaksi shift disempurnakan di LTS Converter, dengan reaksi sebagai berikut:
CO + H2O ↔ H2 + CO2
Temperatur yang lebih rendah memberikan konversi keseimbangan karbon
monoksida yang lebih tinggi. LTS converter mengandung katalis copper/zinc, yang
lebih mahal daripada katalis pada HTS converter dan lebih sensitif terhadap kotoran
seperti sulfur dalam gas proses. Oleh karena itu, LTS converter dibuat dua bed yang
dirangkai secara seri dan vertikal. Hal ini akan memperpanjang umur katalis dimana
bed pertama dengan volume 36 m3 akan berperan sebagai guard bed terhadap bed di
bawahnya yang berukuran lebih besar (vol. 72 m3). Outlet dari 104-D2A/B
mengandung CO sisa sekitar 0.31%-mol basis kering. Pressure drop sepanjang HTS
dan LTS adalah 0.26 kg/cm2 dan 0,41 kg/cm2.
c) CO2 Removal
Pada unit CO2 Removal menggunakan proses OASE® lisensi BASF dua
tahap yang hemat energi. Unit ini dirancang untuk menyerap CO2 dalam gas proses
dari 18,5 %-mol ke 500 ppmv, basis kering. Unit ini beroperasi untuk menghilangkan
kadar CO2 yang terkandung di aliran gas proses dengan mengabsorpsi CO2 di kolom
absorber. CO2 merupakan racun bagi katalis di sintesis sehingga perlu dihilangkan
kandungannya dari aliran gas proses. CO2 akan bertindak sebagai inert dalam loop
yang dapat terakumulasi dan menaikkan compression cost. Dan apabila terdapat CO2
di dalam loop, maka CO2 akan cenderung bereaksi dengan NH3 membentuk
ammonium carbamate yang bersifat korosif terhadap peralatan. Maka, untuk
memisahkan CO2 tersebut digunakan larutan OASE.
OASE merupakan suatu larutan methyl diethanol amine yang telah diaktivasi
(aMDEA) menggunakan suatu aktivator berupa piperazine dan sekaligus merupakan
pelarut khusus (proprietary) lisensi BASF. Hal ini akan mempercepat reaksi antara
larutan MDEA tersebut dengan CO2. Penyerapan CO2 berlangsung pada tekanan yang
relatif tinggi dan temperatur yang cukup rendah. Sebaliknya, regenerasi larutan
berlangsung pada tekanan yang relatif rendah dan temperatur tinggi di stripping unit.
Tekanan dan temperatur operasi absorber CO2 adalah 36,7 Kg/cm2G dan 50oC (top),
85oC (bottom). Sedangkan, tekanan dan temperatur operasi di stripper adalah 1.12
Kg/cm2G dan 126 oC.
Gas proses yang berlangsung pada temperatur 70oC dan pada tekanan sebesar
36.7 kg/cm2 masuk dari bottom absorber CO2, di mana sebagian besar CO2 akan
berkontakkan secara counter-current dengan larutan OASE yang diumpankan dari
atas kolom. CO2 akan diserap oleh larutan semi-lean OASE terlebih dahulu.
Kemudian, gas akan mengalir ke bagian atas kolom, di mana sebagian besar CO2
yang tersisa diserap oleh larutan lean OASE. Untuk menghilangkan larutan OASE
yang mungkin terbawa dalam aliran gas, gas dialirkan melalui beberapa wash tray
dan demister di bagian atas kolom dan kemudian mengalir menuju CO2 Absorber
Overhead KO Drum.
Di KO Drum ini, gas proses akan dipisahkan lagi kondensatnya dari aliran
dengan cara disemprotkan sejumlah kecil kondensat pada proses di pipa atas KO
Drum untuk menghilangkan sisa OASE yang mungkin masih terjebak di dalam gas.
Gas proses ini kemudian akan keluar melalui suatu bagian upper drum dan dikirim
ke proses selanjutnya pada temperatur 50oC.
Larutan OASE rich atau yang hampir jenuh dengan CO2 dari bottom absorber
121-D diregenerasikan dengan mengalirkannya ke HP flash Drum 163-D. Di dalam
HP flash drum, larutan OASE dan gas-gas inert, seperti hidrogen, karbon monoksida
dan N2, yang terlarut dalam larutan akan terflash/terlepas terflash keluar dari larutan
akibat perbedaan tekanan. Kemudian larutan OASE dialirkan ke LP Flash Drum 122-
D1 untuk dihilangkan lagi kandungan CO2 yang masih terdapat dalam larutan.
CO2 akan terflash akibat penurunan tekanan dan dikirim ke pabrik urea
sebagai produk samping pabrik amoniak dan sisanya dibuang ke atmosfer atau
dikirim ke pabrik lain. Konsentrasi produk CO2 minimal 99%-vol. Sebagian larutan
semi lean OASE dari LP flash drum dialirkan ke CO2 stripper untuk dimurnikan lagi.
Sedangkan sebagiannya lagi akan diumpankan langsung ke bagian middle absorber
untuk berperan sebagai absorbent CO2. Pada stripper ini, sisa CO2 yang terlarut
dalam larutan semi-lean di stripping dengan steam di CO2 Stripper Reboiler. Outlet
stripper menghasilkan larutan lean yang kemudian akan dikirim kembali ke bagian
atas absorber.
d) Methanation
Gas keluaran dari unit CO2 removal masih menyisakan 0,38% CO dan 0,05%
CO2. Maka dari itu, agar tidak mengganggu proses selanjutnya kandungan CO dan
CO2 harus diubah menjadi CH4. Reaksi pembentukan kembali metana ini terjadi pada
temperatur 280–360oC dengan katalis Nikel Alumina. Sebelum masuk ke
methanator, gas proses dari KO Drum di unit CO2 removal dipanaskan dari 50 oC
o
sampai 316 C di methanator feed/effluent exchanger 114-C oleh gas outlet
methanator dan di methanator start up heater 172-C. Pemanas di 172-C
menggunakan steam jenuh bertekanan tinggi.
Gas kemudian mengalir masuk ke dalam vessel, dimana oksida karbon yang
masih tersisa akan bereaksi dengan hidrogen di katalis nikel untuk membentuk
metana dan air. Reaksi yang terjadi di dalam methanator adalah sebagai berikut:
CO2 + 4H2 ↔ CH4 + 2 H2O
CO + 3H2 ↔ CH4 + H2O
Reaksi tersebut bersifat eksotermis dan sangat aktif. Reaksi eksotermis
metanasi menyebabkan kenaikan temperatur di methanator. Sebagai perkiraan kasar,
setiap kenaikan 1% konsentrasi karbon monoksida dalam gas proses dapat
o
menghasilkan kenaikan temperatur sebesar 74 C, sedangkan kenaikan 1%
konsentrasi karbon dioksida dapat menaikkan temperatur sebesar 60 oC. Pressure
drop di sepanjang methanator 106-D adalah 0,21 kg/cm2. Jumlah CO2 total dalam gas
outlet 106-D adalah <5 ppmv, dan kandungan metana outlet pada kondisi desain
sebesar 2.20% mol. Sejumlah kecil syngas diambil dari outlet Methanator Effluent
Separator 144-D untuk keperluan hydrotreating di 101-D.
e) Molecular Sieve Drying
Proses pengubahan CO dan CO2 pada unit methanator (106-D) menghasilkan
air (H2O) sebagai produk reaksi. Kandungan air akan mengganggu proses berikutnya
yaitu cryogenic purification yang mana akan tersolidifikasi pada suhu rendah dan
menyebabkan penyumbatan pipa. Selain itu, kandungan air dalam aliran gas juga
dapat menyebabkan kompresor mengalami vibrasi hingga menyebabkan trip pada
kompresor.
Oleh karena itu, gas proses perlu dikeringkan terlebih dahulu sebelum
dimampatkan dalam kompresor sintesis. Pada pabrik amoniak PUSRI-IIB, air
dihilangkan dengan proses adsorpsi menggunakan zeolite atau dessicants. Gas proses
pada temperatur 4oC dan tekanan 18 kg/cm2 dilewatkan dalam Molecular Sieve Dryer
(109-DA/DB) dari atas ke bawah yang mana kemudian air akan diserap oleh zeolit di
dalam bed, sehingga gas keluar akan bebas dari air atau sering disebut dry gas.
Masing-masing dryer didesain untuk menghilangkan air, amoniak, dan CO2 sampai
konsentrasi total < 1 ppmv (0.5 ppmv, 0.3 ppmv, dan 0.2 ppmv). Syngas outlet dryer
ini kemudian akan mengalir melalui filter moleculer sieve dryer untuk memastikan
tidak adanya debu desiccant yang terbawa dalam aliran gas proses.
f) Cryogenic Purification
Desain proses pabrik amoniak PUSRI-IIB didasarkan pada teknologi Purifier
KBR. Purifier didesain untuk menjaga rasio molar hidrogen terhadap nitrogen 3:1
pada inlet ammonia converter 105-D. Pengontrolan dilakukan dengan mengatur kerja
yang diambil dari turbin expander 131-JX, dan dengan mengatur letdown valve di
aliran bottom 137-D. Dengan menggunakan teknologi Purifier KBR, kelebihan
nitrogen dari udara berlebih yang dimasukkan di secondary reformer akan dibuang
melalui proses pemurnian secara cryogenic. Kelebihan nitrogen diambil bersama
metana, argon dan pengotor lainnya dari syngas.
Kondisi ini akan mendapatkan tekanan yang lebih rendah di syn-loop, gas
recycle yang lebih rendah, volume katalis yang lebih sedikit, dan purge gas yang
lebih sedikit. Syngas kering dari molecular sieve dryer didinginkan sampai -129°C di
purifier feed/effluent exchanger 132-C, yang merupakan plate-fin exchanger. Gas
kemudian mengalir melalui purifier expander 131-JX, yang merupakan expander
turbo. Dalam expander ini, energi kerja diambil untuk membangkitkan refrigerasi
yang diperlukan untuk purifier. Energi yang diambil dari expander dimanfaatkan
sebagai energi listrik di purifier expander generator 131-JG. Keluaran expander
selanjutnya didinginkan dan terkondensasi sebagian di purifier feed/effluent
exchanger 132-C.
Aliran gas proses kemudian memasuki purifier rectifier 137-D, yang
merupakan kolom yang berisikan tray. Liquid dari bottom rectifier diturunkan
tekanannya (letdown) ke tekanan yang lebih rendah dan sebagian akan menguap di
sisi shell purifier rectifier condensor 134-C yang merupakan penukar panas jenis
shell and tube.
Penurunan tekanan akan mengakibatkan terjadinya penurunan temperatur.
Aliran gas dingin pada tekanan rendah akan mendinginkan bagian atas rectifier yang
mengalir di sisi tube condensor, dan menghasilkan refluks untuk rectifier. Syngas
keluar dari purifier dengan rasio H/N 3 : 1, yang diperlukan untuk sintesis amoniak.
Ekses nitrogen yang terkondensasi mengandung semua metana dan sekitar 60% argon
yang terdapat dalam syngas yang diumpankan. Sebagian cairan yang menguap keluar
dari sisi shell condensor dan dipanaskan kembali ke 1,8 °C bertukar panas dengan
syngas inlet purifier 132-C, dan kemudian meninggalkan purifier sebagai waste gas.
Waste gas digunakan untuk regenerasi molecular sieve dryer, dan kemudian
dikirim sebagai fuel ke primary reformer 101-B. Selama periode dryer tidak
regenerasi, waste gas dari purifier langsung dikirim ke fuel. Produk sisi atas dari
rectifier adalah syngas yang sudah dimurnikan. Syngas kemudian dipanaskan menjadi
1,8 °C di exchanger bertukar panas dengan syngas inlet purifier, dan kemudian
dikirim ke kompresor syngas 103-J.
Pengotor yang masih tersisa di syngas yang sudah dimurnikan adalah 0.19 %-
mol argon dan metana traces. Semua peralatan dan perpipaan purifier (kecuali 131-
JG) berada di dalam coldbox yang diisi dengan material insulasi perlite. Hal ini untuk
menjaga panas yang hilang keluar sistem kecil. Coldbox terus di-purging dengan
nitrogen, untuk mencegah masuknya titik air (moisture).

3.1.5 Tahap Sintesis Ammonia (Ammonia synthesis)


a) Tahap Kompresi Gas (Syn-Gas Compression)
Gas proses (dry gas) dengan rasio H2/N2 3:1 akan disintesis di ammonia
converter (105-D) menghasilkan amoniak. Namun, sebelum gas di sintesis, gas
terlebih dahulu akan dimampatkan di dalam kompresor gas sintesis (103-J). Hal ini
dilakukan karena konversi kesetimbangan di sintesis amoniak hanya akan diperoleh
optimal apabila berlangsung pada tekanan yang cukup tinggi. Sehingga, pemampatan
ini dilangsungkan dalam 3 tingkat (stages) yang mana menghasilkan tekanan outlet
gas proses sebesar 156.9 kg/cm2 dari 31.5 kg/cm2. Tekanan gas sintesis yang
diperoleh sama dengan tekanan operasi sintesis amoniak di ammonia converter (105-
D). Pada discharge stage ke 2 gas proses akan bergabung dengan gas proses hasil
recycle dari unitized chiller (120-C1/C2).
b) Tahap Sintesis Loop
Sintesis Loop terdiri dari ammonia converter feed/effluent exchanger (121-C),
ammonia syntesis converter (105-D), ammonia converter effluent/bfw preheater dan
steam generator (123-C1/C2), ammonia converter effluent cooler (124-C1/C2),
ammonia unitized chiller (120-C), dan ammonia separator (146-D).
Sebelum diumpankan ke ammonia converter (105-D), gas proses tekanan
tinggi keluaran kompresor sintesis gas (103-J), dipanaskan terlebih dahulu di dalam
heat exchangers (121-C). Gas proses tekanan tinggi mengalir di sisi tube heat
exchangers bertukar panas dengan gas keluaran ammonia converter (105-D) yang
terlebih dahulu panasnya dimanfaatkan untuk membangkitkan steam di steam
generator (123-C1/C2) yang mengalir di sisi shell heat exchangers.
Ammonia Converter (105-D) merupakan converter horizontal yang terdiri 3
bed berisi katalis dan dilengkapi dengan 2 interchanger (122-C1/C2). Gas proses
keluaran 121-C dibagi menjadi 3 aliran, pertama gas dialirkan ke furnace (102-B).
Fungsi dari furnace adalah memanaskan bed di dalam ammonia converter pada saat
start-up dan mereduksi katalis ammonia converter agar reaksi pembentukan amoniak
dapat berlangsung. Aliran kedua, gas proses diumpankan ke ammonia converter
melalui anulus 122-C1 menuju bed 1 dan aliran ketiga gas proses masuk melalui tube
122-C2 menuju ke tube 122-C1 kemudian bergabung dengan gas proses masuk ke
bed 1. Pembentukan amoniak berdasarkan reaksi antara hidrogen dan nitrogen
sebagai berikut:
3H2 + N2 ↔ 2 NH3 (+Q)
Reaksi terjadi secara eksotermis dengan katalis magnetite promoted iron,
pada temperatur 454 – 482 oC dan tekanan 173 – 177 kg/cm2G, serta perbandingan
antara N2 dan H2 adalah 1:3. Reaksi ini hanya menghasilkan konversi menjadi produk
ammonia sebesar 20,31 % mol (Pusri-IIB, 2016). Oleh karena itu, untuk
mendapatkan hasil yang banyak, gas yang belum bereaksi di-recycle secara terus-
menerus agar bisa bereaksi kembali.
Keluaran converter dimanfaatkan panasnya terlebih dahulu di ammonia
converter effluent/bfw preheater and steam generator (123-C1/C2) untuk
menghasilkan steam HP. Pendinginan lebih lanjut berlangsung di ammonia converter
feed/effluent exchanger (121-C). Gas proses keluaran 121-C kemudian didinginkan
menggunakan cooling water di 124-C1/C2.
c) Refrigerasi dan Pemisahan Amoniak
Amoniak harus terus-menerus dipisahkan dari recycle gas yang menuju
ammonia converter karena amoniak yang menumpuk dalam reaktor akan
mempengaruhi kesetimbangan reaksi. Hal ini dilakukan dengan mendinginkan aliran
recycle gas sintesis melalui beberapa pendingin atau chiller untuk mencairkan
amoniak yang dihasilkan. Pemurnian produk amoniak dilakukan dengan
memanfaatkan sistem refrigerasi yang mempunyai dua macam kegunaan, yaitu mem-
flash cairan amoniak secara terus-menerus pada batas tekanan yang lebih rendah
untuk melepaskan gas-gas yang terlarut dan mengambil panas dari gas sintesa dalam
loop gas sintesa pada proses pendinginan untuk mendinginkan sebagian gas recycle
guna mendapatkan pemisahan dan pengambilan hasil amoniak yang memuaskan dari
loop sintesis.
Outlet dari ammonia converter selanjutnya didinginkan dan dikondensasikan
di ammonia unitized chiller 120-C. Heat exchanger ini mendinginkan outlet
converter dengan bertukar panas dengan gas recycle yang kembali dari ammonia
separator 146-D, dan dengan titik didih amoniak cair pada empat temperatur yang
berbeda (14,6 °C, -4.5 °C, -18.5 °C dan -33,3 °C).
Secara mekanikal, unitized chiller ini terdiri dari beberapa tube konsentris, di
mana amoniak mendidih mengalir melalui kompartemen. Syngas recycle dari
ammonia separator melewati tube sisi dalam secara counter current dengan effluent
gas outlet converter yang mengalir di anulus antar tube. Jadi, gas outlet converter
didinginkan dari luar dengan menggunakan refrigeran amoniak dan dari dalam
dengan gas recycle dingin.
Outlet converter didinginkan sampai temperatur -17,2 °C. Amoniak yang
terkondensasi dipisahkan di ammonia separator dan dikirim ke ammonia letdown
drum 147-D, yang beroperasi pada tekanan 19 kg/cm2A. Di dalam 147-D, syngas
yang terlarut dalam amoniak akan terlepas. Gas yang terlepas tersebut dikirim ke LP
Ammonia Scrubber 123-D untuk dipisahkan sedikit kandungan amoniak yang terikut
dalam aliran gas, kemudian gas tersebut digunakan sebagai bahan bakar di primary
reformer. Sedangkan amoniak cair dari bottom drum dikirim ke ammonia refrigerant
receiver (149-D).
Amoniak cair dari bottom 147-D dikirim ke Ammonia Refrigerant Receiver
149-D, kemudian dialirkan ke kompartemen #4 120-CF4 dan kompartemen #1 120-
CF1 Unitized Chiller sebelum ditransfer ke tangki penyimpanan amoniak. Amoniak
panas dari 149-D langsung ditransfer ke pabrik urea menggunakan pompa 113-J/JA.
Gas dari ammonia separator dipanaskan kembali di unitized chiller dan lalu kembali
ke suction kompresor syngas 103-J.
Untuk mencegah akumulasi inert (metana dan argon) di sintesis loop, sekitar
2,7% gas dari ammonia separator di-purging. Flow gas yang dibuang diatur untuk
menjaga kandungan inert total di inlet converter sekitar 3,5 %-mol. Empat tahap
sistem refrigerasi amoniak dilakukan di sintesis loop untuk pemurnian dan
pendinginan amoniak. Selain itu, refrigerasi juga dilakukan untuk mendinginkan gas
interstage kompresor syngas. Sistem refrigerasi terdiri dari 4 tingkat kompresor
sentrifugal dengan interstage cooler 128-C, 127-C, 149-D, dan evaporator 120-CF1
sampai 120-CF4. Sistem ini dibuat untuk kontak chilling dan venting gas inert yang
terlarut dalam amoniak cair dari sintesis loop.
Seluruh flash drum unitized exchanger 120-C digunakan sebagai drum suction
kompresor refrigerasi 105-J dan sebagai drum liquid untuk setiap tahapan refrigerasi.
Ke empat vessel merupakan vessel horizontal yang bergabung bersama dalam satu
shell dengan head internal dan juga berisi seal di sekeliling heat exchanger yang
memanjang di area bawah unitized chiller. Kompresor 105-J akan menarik vapor
amoniak yang terbentuk dalam vessel 120-C agar tekanan dalam vessel tetap terjaga.
Vapor amoniak dari 120-CF1 pada suhu -33,3oC dan tekanan 1,03 kg/cm2A masuk ke
suction 105-J tingkat 1.
Discharge tingkat 1 akan bergabung dengan vapor dari 120-CF2 dengan suhu
-16,5oC dan tekanan 2,07 kg/cm2A menjadi suction tingkat 2. Vapor amoniak
discharge tingkat 2 pada suhu 61oC bergabung dengan vapor amoniak dari 120-CF3
dengan suhu -2,2oC dan tekanan 3,69 kg/cm2A menjadi suction tingkat 3. Discharge
tingkat 3 dengan suhu 79,5oC dan tekanan 7,68 kg/cm2A kemudian mengalir melalui
sisi shell interstage cooler 128-C dan didinginkan dengan cooling water hingga
mencapai 38oC sebelum masuk ke suction tingkat 4.
Discharge tingkat 3 yang telah didinginkan bergabung dengan vapor dari 120-
CF4 dengan suhu 17oC dan tekanan 7,35 kg/cm2A menjadi suction tingkat 4.
Discharge tingkat 4 mengalir ke 127-C pada tekanan 16,7 kg/cm2A dan suhu 99 oC,
dan bergabung dengan vapor dari 125-D. Discharge 105-J dikondensasi dengan
cooling water di 127-C, di mana 127-C merupakan shell and tube heat exchanger.
Amoniak akan terkondensasi di sisi shell dan dialirkan ke Ammonia refrigerant
receiver 149-D pada suhu 38oC. Liquid dari setiap flush drum di flash ke drum yang
bertekanan lebih rendah. Penurunan tekanan (flash) akan mengakibatkan terjadinya
penurunan temperatur pada amoniak. Level di setiap drum dikontrol untuk menjaga
level di drum sebelumnya.
d) Purge Gas Recovery Unit (PGRU)
PGRU merupakan unit yang berfungsi mengolah purge gas dari pabrik
ammonia, dimana purge gas tersebut masih mengandung NH3 dan H2 yang masih
dapat dimanfaatkan kembali untuk meningkatkan produksi dan efisiensi pabrik.
1. Recovery Amoniak Purge Gas
Purge gas tekanan rendah dari 149-D dan 147-D bergabung dan mengalir ke
123-D. Purge gas di-scrub dengan air untuk memulihkan amoniak sebagai
larutan aqua amoniak. Air digunakan sebagai penyerap amoniak dari purge gas
disuplai dari 125-D setelah didinginkan menjadi 46oC di Ammonia Distillation
Column Feed/Effluent Exchanger 161-C. Flow air penyerap yang masuk ke 123-
D adalah 963 kg/jam. Air penyerap masuk ke bagian atas scrubber dan mengalir
ke bawah secara counter current terhadap purge gas.
Gas outlet 123-D yang mengandung < 200 ppm amoniak dapat dialirkan
langsung ke sistem fuel 101-B ataupun dibuang ke header flare NH3. Liquid dari
123-D dengan konsentrasi amoniak yang diharapkan sebesar 7-8% berat akan
dipompakan ke Ammonia Distillation Column 125-D menggunakan pompa torak
160-J/JA. Discharge pompa akan bergabung dengan liquid dari bottom 124-D
dan dikirim ke 125-D dan melewati 161-C. 123-D mempunyai demister pada
outlet gas untuk menghilangkan liquid yang kemungkinan masih terbawa dalam
gas.
Purge gas tekanan tinggi dari 146-D dengan suhu -22oC masuk ke bagian
bawah 124-D dan mengalir ke atas melewati packed bed. Air penyerap dari
bottom 125-D pada suhu 211oC masuk ke 161-C dan mengalir di sisi tube untuk
didinginkan hingga mencapai 46oC. Air penyerap yang telah didinginkan lalu
masuk ke bagian atas 124-D dengan flow sebesar 1221 kg/jam. Tekanan operasi
124-D dikontrol pada tekanan 86,9 kg/cm2G. Temperatur gas outlet 124-D
adalah sekitar 18oC, sedangkan larutan keluar dari bottom 124-D pada
temperatur 7oC dan mengandung sekitar 19-20% amoniak.
2. Kolom Destilasi Amoniak
Larutan amoniak dari 123-D dan 124-D bergabung dan mengalir di sisi shell
161-C pada temperatur 30oC. Larutan dipanaskan sampai 161oC sebelum masuk
ke 125-D antara bed atas dan tengah. Tekanan kolom destilasi amoniak dikontrol
pada tekanan 19,9 kg/cm2A. Temperatur gas outlet pada kondisi normal adalah
sekitar 65 oC. Gas outlet 125-D mengandung 99,5% berat akan dialirkan ke 127-
C untuk dikondensasikan dan dikembalikan ke sistem refrigerasi.

3.2 Unit Urea


Pada pabrik PUSRI IIB di unit urea didesain untuk memproduksi 2750 MTPD
urea prill dengan efisiensi energi yang tinggi menggunakan proses ACES21. Pabrik
urea bisa dibagi ke dalam tujuh bagian (seksi) yang terdiri dari Kompresi Amoniak
dan CO2, Sintesa, Purifikasi, Recovery, Process Condensate Treatment dan Seksi
Prilling.

Gambar 3.2. Blok Diagram Proses Pembuatan Urea


3.2.1 Kompresi NH3 dan CO2
Proses pertama dalam unit urea dimulai dari kompresi bahan baku, dimana
bahan baku pembuatan urea ini berupa amoniak dan gas CO2 yang diperoleh dari
pabrik bagian unit amoniak. Kedua bahan baku ini kemudian dinaikkan tekannya
untuk kemudian dikirim ke Seksi Sintesa. Make-up amoniak liquid dengan
maksimum tekanan 20 kg/cm2 dan temperature 38°C yang dikirim dari unit amoniak
dan kemudian ditampung terlebih dahulu di Ammonia Reservoir (FA-104) dengan
tekanan 18 kg/cm2G, kemudian dinaikkan tekanannya hingga 25 kg/cm2G
menggunakan pompa Ammonia Boost-up Pump (GA-103A,B).
Amoniak liquid kemudian dipompakan hingga tekanan 200 kg/cm2G dengan
menggunakan Ammonia Feed Pump (GA-101A,B), dipanaskan sampai temperature
73°C di No. 1 Ammonia Preheater (EA-102) dengan menggunakan steam kondesat
tekanan rencah (SLC) dan kemudian dipanaskan kembali hingga 138°C di No. 2
Ammonia Preheater (EA-103) menggunakan steam tekanan rendah (SL), yang
selanjutnya akan dikirim ke Seksi Sintesa. Amoniak liquid dari discharge GA-
101A,B di-recycle ke FA-104 apabila dibutuhkan untuk menjaga flow suction
melebihi dari minimum flow pompa. Recyle amoniak liquid tersebut didinginkan
menjadi 38°C di Ammonia Bypass Cooler (EA-104) dengan cooling water untuk
menghindari kenaikan temperatur yang berlebih selama pengoperasian kick back GA-
101A,B.

3.2.2 Seksi Sintesa


Pada bagian ini, bisa dikatikan merupakan jantung dari pabrik urea. Pada seksi
ini terjadi pembentukkan urea dari reaksi antara NH3 liquid dan gas CO2 yang
disuplai dari pabrik amoniak dan larutan recycle carbamate yang disuplai dari Seksi
Recovery. Peralatan utama yang meliputi Reactor (DC-101), Stripper (DA-101) dan
Carbamate Condenser (EA-101) disebut dengan “Urea Synthesis Loop”. Seksi
sintesa dioperasikan pada tekanan 155 kg/cm 2G. Keunggulan synthesis loop dari
proses ACES adalah kombinasi dari konversi CO2 yang tinggi dan stripping CO2
yang efisien.
A. Reactor
Urea diproduksi melalui reaksi sangat eksotermis antara NH3 liquid dan gas
CO2 yang akan menghasilkan ammonium carbamate. Selanjutnya ammonium
carbamate secara dehidrasi endotermis akan berubah menjadi urea dan air. Reaksi
kimia yang terjadi di dalam reaktor urea (DC-101) terdiri dari dua tahap. Reaksi
tersebut adalah bolak-balik. Variabel yang mempengaruhi reaksi antara amoniak dan
gas CO2 adalah suhu, tekanan, komposisi bahan baku, dan waktu tinggal. Reaksi yang
terjadi adalah sebagai berikut:
a) Pembentukan Carbamate
2NH3+CO2→NH2COONH4 +157.5kJ
b) Dehidrasi
NH2COONH4 → NH2CONH2 + H2O -26.4kJ
Reaksi tersebut bersifat reversible, dan variabel yang mempengaruhi reaksi
adalah temperatur, tekanan, komposisi/kemurnian feed dan waktu tinggal.
Temperatur operasi yang lebih tinggi akan menaikkan rasio konversi CO2 sehingga
akan menurunkan konsumsi utilitas dan biaya konstruksi pabrik. Akan tetapi
sebaliknya, temperatur reaktor (DC-101) yang tinggi akan menaikkan laju korosi
pada material, dan juga akan menaikkan tekanan kesetimbangan.
Tekanan kesetimbangan di Reactor (DC-101) akan didapatkan dengan
sendirinya tergantung dari temperatur operasi dan molar rasio CO2 terhadap liquid
amoniak. Apabila reactor (DC-101) dioperasikan dibawah tekanan kesetimbangan,
maka konversi CO2 akan turun secara drastis. Sebaliknya, jika reactor (DC-101)
dioperasikan diatas tekanan kesetimbangan, maka konversi akan naik. Di sisi lain,
tekanan operasi yang lebih tinggi akan menurunkan efisiensi stripping dan
membutuhkan temperatur yang lebih tinggi di stripper (DA-101) untuk
mendekomposisi senyawa yang tidak terkonversi di reactor (DC-101). Semakin
tinggi temperatur maka akan meningkatkan hidrolisis urea dan pembentukan biuret.
Selain temperatur dan tekanan, kemurnian bahan baku juga berpengaruh
terhadap reaksi tersebut. Apabila kemurnian tidak bisa dijaga, maka akibat yang tidak
diinginkan bisa terjadi seperti meningkatkan load pompa amoniak GA-101,
menurunkan konversi CO2 akibat meningkatnya jumlah air yang di-recycle,
menaikkan load CO2 Compressor (GB-101) dan konsumsi power, menaikkan flow
gas inert sehingga menurunkan konversi CO2 di Reaktor (DC-101), meningkatkan
konsumsi steam dan meningkatkan jumlah vent amoniak, serta hidrogen lolos ke
dalam CO2 semakin tinggi mengakibatkan beban Dehydrogen Column (DC-151)
berlebih dan akhirnya campuran gas eksplosif akan terbentuk di Seksi Sintesa.
Waktu tinggal juga mempengaruhi konversi disamping temperatur dan
tekanan sintesa. Dengan kata lain pada temperatur dan tekanan yang lebih rendah,
dibutuhkan waktu tinggal yang lebih lama untuk mencapai konversi tertentu begitu
pula sebaliknya. Waktu tinggal di Reactor untuk Proses ACES 21 berlangsung
selama 20 menit. Mempertimbangkan kondisi tersebut, maka temperatur operasi
reaktor 182oC, dengan rasio antara H2O terhadap CO2 yaitu 0.58, rasio NH3/CO2 3.7
dan tekanan 155 kg/cm2 dipilih untuk pabrik ini dan dengan kondisi seperti ini
didapatkan konversi CO2 63%.
B. Stripper
Stripper (DA-101) berfungsi memisahkan kelebihan NH3 dan
mendekomposisikan carbamate yang tidak terkonversi dari larutan sintesa urea,
dengan menggunakan pemanasan yang bersumber dari steam dan CO2 stripping pada
tekanan operasi yang sama dengan di urea reactor (DC-101). Reaksi dekomposisi
carbamate yang terjadi adalah sebagai berikut:
NH2COONH4 (Ammonium Carbamate) → CO2 + 2NH3
Selama proses dekomposisi dan stripping di stripper (DA-101), reaksi
hidrolisa urea menjadi faktor yang penting karena mempengaruhi efisiensi sintesa
urea. Reaksi hidrolisa urea yang terjadi adalah sebagai berikut:
NH2CONH2 + H2O ↔ CO2 + 2NH3
Karena hidrolisa urea akan mengurangi jumlah urea dimana urea merupakan
produk yang diinginkan, maka kondisi ini harus dikontrol untuk mengurangi
kehilangan produk. Hidrolisa urea terjadi pada temperatur tinggi, tekanan rendah dan
waktu tinggal yang lama. Oleh karena itu desain dan kondisi operasi stripper (DA-
101) ditentukan dengan hati-hati untuk meminimalkan hidrolisa urea yang terjadi
sehingga yield produksi urea yang tinggi dapat dijaga.
Pembentukan biuret juga merupakan faktor lainnya yang harus diperhatikan
dalam mendesain dan mengoperasikan stripper (DA-101). Pada tekanan parsial NH3
yang rendah dan temperatur diatas 110oC, urea akan terkonversi menjadi NH3 dan
biuret. Reaksi dekomposisi urea bersifat reversible, dimana variabel penting yang
mempengaruhi reaksi adalah temperatur, konsentrasi NH3, dan waktu tinggal. Laju
pembentukan biuret dalam urea molten dan concentrator dengan konsentrasi NH3
rendah berlangsung sangat cepat, sedangkan di seksi sintesa pembentukan biuret kecil
karena ekses NH3 yang cukup tinggi. Reaksi pembentukan biuret adalah berikut:
2HN2COHN2 (urea) → NH2CONHCONH2 (biuret) + NH3
Faktor utama yang mempengaruhi kinerja Stripper (DA-101) adalah tekanan
operasi, tekanan steam dan komposisi larutan sintesa urea. Tekanan operasi yang
lebih tinggi akan mengakibatkan naiknya jumlah kandungan NH3 dalam larutan outlet
stripper (DA-101). Tekanan steam yang lebih rendah akan menurunkan panas yang
disuplai ke tube side dan menurunkan efisiensi stripping. Apabila panas yang disuplai
tidak mencukupi, maka kandungan amoniak akan berlebih dalam larutan outlet
stripper (DA-101), sehingga beban Seksi Recovery akan bertambah. Akibatnya
dibutuhkan jumlah air yang lebih banyak di Seksi Recovery untuk menyerap
kelebihan senyawa yang tidak bereaksi sebagai larutan ammonium carbamate.
Efisiensi stripping juga dipengaruhi oleh komposisi larutan sintesa urea. Yield
yang tinggi dari larutan sintesa karena tingginya konversi CO2 akan meningkatkan
efisiensi stripping, sehingga kebutuhan steam di pabrik urea lebih rendah. Oleh
karena itu mengontrol dengan optimum rasio molar NH3/CO2, rasio molar H2O/CO2,
dan temperature di reactor (DC-101) sangat penting untuk mendapatkan efisiensi
yang tinggi di stripper (DA-101).
Temperatur larutan outlet stripper (DA-101) tergantung dari beberapa faktor,
namun diharapkan pada kondisi operasi normal antara 170 – 180 oC. Temperatur
yang lebih tinggi mengindikasikan efisiensi stripping tidak bagus dan kandungan
NH3 di dalam larutan akan lebih tinggi. Level liquid di bottom stripper (DA-101)
harus dijaga serendah mungkin, karena apabila level liquid tinggi akan menambah
waktu tinggal di stripper sehingga mengakibatkan hidrolisa urea dan terbentuknya
biuret. Apabila level liquid terlalu rendah, kemungkinan terikutnya gas CO2 di
downstream Stripper ke Purifikasi dan Recovery bisa terjadi sehingga akan
menaikkan tekanan di Purifikasi dan Recovery dengan cepat.
C. Carbamate Condenser
Campuran gas dari top stripper (DA-101) masuk ke bottom carbamate
condenser (EA-101), dimana campuran gas tersebut dikondensasikan dan diserap
oleh larutan carbamate dan kemudian urea terbentuk dari dehidrasi larutan carbamate
di shell side carbamate condenser (EA-101). Panas yang dihasilkan dari
pembentukan carbamate dan kondensasi NH3 di carbamate condenser (EA-101)
digunakan untuk memproduksi steam tekanan rendah di tube side. Tekanan operasi di
carmabate condenser (EA-101) sama dengan tekanan sintesa urea.
Tekanan steam yang dihasilkan di tube side carbamate condenser (EA-101)
diatur sehingga temperatur top (temperatur larutan yang keluar dari carbamate
condenser EA-101) menjadi sekitar 180oC. Tekanan steam diharapkan adalah 5
kg/cm2G pada load operasi normal pabrik urea 100%. Carbamate Condenser (EA-
101) dioperasikan dengan rasio N/C 2.9, dimana akan menghasilkan tekanan uap
yang minimum pada larutan sintesa urea. Di carbamate condenser (EA-101), waktu
tinggal yang cukup (sekitar 20 menit) di shell side memungkinkan reaksi sintesa urea
mengikuti reaksi pembentukan carbamate.

3.2.3 Seksi Purifikasi


Produk dari reaksi sintesa terdiri dari urea, biuret, ammonium carbamate, air
dan ekses NH3. Selanjutnya dibutuhkan proses pemisahan urea dari produk hasil
reaksi. Umumnya proses tersebut berlangsung sebagai berikut:
NH2COONH4 (Ammonium carbamate) → CO2 + 2NH3
Ammonium carbamate, ekses NH3 dan sebagian air dipisahkan dengan proses
pemanasan bersamaan dengan penurunan tekanan. Ammonium carbamate
didekomposisi menjadi gas NH3 dan CO2. Proses dekomposisi biasanya dapat terjadi
pada temperatur 120 – 165oC. Penurunan tekanan juga akan menghasilkan proses
dekomposisi sebagaimana manaikkan temperatur.
Selama proses dekomposisi, hidrolisa urea menjadi faktor yang penting.
Karena reaksi hidrolisa ini akan mengurangi produk urea yang merupakan produk
yang diinginkan, maka kondisi ini harus benar-benar dikontrol untuk meminimalkan
kehilangan produksi. Proses hidrolisa terjadi pada temperatur tinggi, tekanan rendah
dan waktu tinggal yang lama. Proses hidrolisa terjadi dengan reaksi sebagai berikut:
NH2CONH2 (Urea) + H2O → CO2 + 2NH3
Terdapat dua tahap proses dekomposisi pada tekanan 16.5 kg/cm2 dan 2.6
kg/cm2 untuk memisahkan ammonium carbamate dan ekses NH3 dari larutan urea
sebelum dikirimkan ke Seksi Konsentrasi. Panas untuk mendekomposisi ammonium
carbamate dan mengevaporasi ekses NH3 disuplai oleh panas kondensasi steam SL
dan dari kondensat SML. Konsentrasi larutan urea oulet hp decomposer (DA-201)
adalah 60.1%, outlet lp decomposer (DA-202) 64.3% dan outlet flash separator (FA-
202) sekitar 70%.
A. HP Decomposer
Pada hp decomposer (DA-201), jumlah NH3 dan CO2 dalam larutan outlet
harus sekecil mungkin untuk meringankan beban/load di peralatan selanjutnya dan
untuk memudahkan pengoperasian sistem secara keseluruhan. Tekanan operasi
optimum yang dipilih adalah 16.5 kg/cm2G dengan mempertimbangkan faktor-faktor
tersebut. Temperatur yang tinggi dibutuhkan untuk proses dekomposisi carbamate.
Akan tetapi temperatur yang tinggi akan memicu meningkatnya laju korosi,
pembentukan biuret dan hidrolisa urea, sehingga harus ditentukan temperature yang
optimum untuk proses ini. Temperatur operasi HP Decomposer (DA-201) dikontrol
pada 152oC di outlet larutan.
B. LP Decomposer
Untuk memisahkan NH3 dan CO2 dalam larutan di LP Decomposer (DA-
202) sebanyak mungkin dibutuhkan tekanan operasi serendah mungkin. Akan tetapi
temperatur optimum di LP Decomposer perlu ditentukan dengan tepat dengan
mempertimbangkan pengoperasian LP Absorber (EA-402) dan kenyataan bahwa
hidrolisa urea lebih mudah terjadi di LP Decomposer (DA-202) dibandingkan dengan
di HP Decomposer (DA-201) karena jumlah NH3 dan CO2 jauh lebih kecil. Dengan
mempertimbangkan hal tersebut maka tekanan operasi di LP Decomposer (DA-202)
adalah 2.6 kg/cm2.
Temperatur operasi perlu ditentukan untuk meminimalkan sisa NH3 di dalam
larutan, namun perlu juga dipertimbangkan pengaruh temperatur terhadap hidrolisa
urea dan pembentukan biuret. LP decomposer (DA-202) dioperasikan pada
temperatur 138oC dengan indikasi pada outlet heater di bagian tengah lp decomposer
(DA-202).
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa laju reaksi pembentukan biuret
akan meningkat oleh naiknya temperatur dan waktu tinggal, namun akan berkurang
dengan naiknya tekanan. Peralatan dan kondisi operasi di Seksi Purifikasi ditentukan
dengan hati-hati dengan mempertimbangkan pengaruh hidrolisa urea dan
pembentukan biuret.

3.2.4 Seksi Konsentrasi


Larutan urea dari Seksi Purifikasi akan dinaikkan konsentrasinya menjadi
99.7% di Seksi Konsentrasi dan kemudian dikirim ke Seksi Prilling. Pada tahap
pertama, larutan urea dinaikkan konsentrasinya menjadi 96% (termasuk free NH3 dan
biuret) di Vacuum Concentrator (FA-202) dengan menggunakan panas kondensasi
dan absorbsi gas dari HP Decomposer (DA-201). Pada tahap akhir konsentrasi urea
dinaikkan sampai 99.7 % di Final Concentrator (EA-202) dan Final Separator (FA-
203) sebagai molten urea yang selanjutnya dikirim ke Prilling Tower (IA-301).
A. Vacuum Concentrator dan Heater Vacuum Concentrator
Tahapan di Seksi Konsentrasi terdiri dari Heater of Vacuum Concentrator dan
Vacuum Concentrator. Tekanan operasi dan temperatur harus ditentukan dengan hati-
hati sehingga dengan kondisi tersebut konsentrasi urea akan mencapai 96%. Range
operasi normal untuk tekanan adalah 210–290 mmHgA dan range operasi normal
untuk temperatur adalah 130–136oC.
Tekanan operasi yang lebih rendah akan meningkatkan penguapan air dan
menghasilkan konsentrasi urea yang lebih tinggi. Temperatur operasi yang lebih
tinggi akan menghasilkan konsentrasi urea yang lebih tinggi, akan tetapi temperatur
yang terlalu tinggi akan meningkatkan kandungan biuret dan mengakibatkan produk
urea tidak sesuai spesifikasi.
B. Final Concentrator
Tahapan ini terdiri dari final concentrator dan final separator. Tekanan operasi
di tahap ini harus lebih kecil dari 30 mmHgA, dan apabila tekanan lebih tinggi dari
30 mmHgA maka proses penguapan air tidak sempurna sehingga kandungan air
dalam urea melt akan meningkat. Range operasi normal untuk temperatur adalah 138
– 140 oC. Apabila temperatur terlalu rendah maka akan terjadi kristalisasi urea
(temperatur solidifikasi: 133 oC) dan dapat mengakibatkan kebuntuan pada line urea
molten. Apabila temperatur terlalu tinggi maka kandungan biuret dalam urea akan
meningkat. Untuk meminimalkan terbentuknya biuret di unit Evaporator, maka
kondisi operasi yang optimum didapatkan pada saat pabrik beroperasi, khususnya
untuk tahap pertama (EA-201 dan FA-202).

3.2.5 Seksi Prilling


Molten urea yang dikirim ke prilling tower (IA-301) di-spray sebagai tetesan
urea menggunakan prilling basket. Urea yang keluar dari prilling basket didinginkan
dan menjadi padat setelah kontak dengan udara yang mengalir dari bawah ke atas
prilling tower karena hisapan dari induced fan for prilling tower (GB-301A-G). Debu
urea yang terbawa dalam aliran udara kemudian di-scrub di dust scrubbing system
sebelum dibuang ke atmosfer.
Rata-rata ukuran diameter urea prill bisa diatur sesuai dengan range yang
diinginkan dengan mengatur kecepatan prilling device. Ukuran butiran urea yang
lebih besar didapatkan dengan kecepatan prilling basket yang lebih tinggi, dan
sebaliknya ukuran urea lebih kecil apabila kecepatan lebih rendah. Range ukuran
butiran urea dari ukuran terbesar terjadi pada kondisi kecepatan putaran yang
menyebabkan tumpahan urea normal sampai ukuran terkecil terjadi saat urea
terlempar ke dinding prilling tower akibat kecepatan putaran prilling device.
Urea di dalam udara panas diserap melalui proses kontak secara counter
current (berlawanan arah aliran) dengan larutan urea 20 wt% di packed bed for dust
recovery (FD-302). Circulation pump for dust recovery (GA-301) mensirkulasikan
urea solution dalam jumlah yang cukup untuk membasahi packed bed. Di atas packed
bed, dipasang demister for dust recovery (FD-303). Demister ini dicuci dengan proses
kondensat yang bersih yang akan menangkap debu urea yang terlewat dari packed
bed. Kemudian udara dibuang ke atmosfer oleh induced fan for prilling tower (GB-
301) setelah debu yang terkandung dalam air ditangkap oleh demister. Kandungan
debu urea dan gas amoniak yang terkandung dalam udara yang keluar di prilling
tower diharapkan lebih kecil dari 50 mg/Nm3. Urea prill dari prilling tower (IA-301)
dikirim ke product cooler (EA-801) dan kemudian didinginkan dengan menggunakan
cooling water untuk menjaga temperatur akhir produk 42oC.

3.2.6 Seksi Recovery


Pada ACES 21 digunakan proses recycle larutan. Campuran gas NH3-CO2
dari Seksi Dekomposisi diserap oleh air dan larutan carbamate di masing-masing
absorber yang berhubungan dengan decomposer, kemudian di-recycle kembali ke
carbamate condenser dan reactor.
A. LP Absorber
Kondisi operasi ditentukan berdasarkan kondisi dimana gas NH3 dan CO2 dari
LP Decomposer dapat diserap semua oleh larutan di bagian atas washing column.
Dilihat dari pengaruh temperatur dan tekanan, kelarutan NH3 dan CO2 meningkat
dengan naiknya tekanan. Gas CO2 diinjeksikan untuk menaikkan kapasitas absorbsi
karena CO2 bereaksi dengan NH3 membentuk ammonium carbamate/carbonat,
dimana akan menurunkan tekanan parsial NH3.
Dengan injeksi CO2 ini maka bisa didapatkan kandungan air yang lebih
rendah dalam larutan carbamate yang di-recycle ke reactor (DC-101). Temperatur
harus dijaga lebih rendah dari temperatur kesetimbangan dan didapatkan temperatur
optimum 45oC dengan mempertimbangkan temperatur solidifikasi dan faktor
keamanan apabila terjadi fluktuasi operasi.
B. HP Absorber System
High pressure absorber system terdiri dari HP Absorber (EA-401) dan
Washing Column (DA-401). Gas NH3 dan CO2 dari HP Decomposer diserap di shell
side Heater of Vacuum Concentrator dan kemudian mengalir ke HP Absorber.
Sekitar 70 wt% campuran gas terserap di heater of vacuum concentrator evaporator
dan HP Absorber. Sisa NH3 dan CO2 selanjutnya akan diserap di bagian bawah
washing column.
Tekanan operasi dari sistem HP absorber ditentukan 15.8 kg/cm2G pada top
washing column dengan mempertimbangkan tekanan operasi di HP Decomposer.
Temperatur operasi di HP absorber adalah 106 oC. Gas keluaran HP Absorber
mengalir ke washing column. Washing column terdiri dari sistem pendingin di bagian
bawah dan dua packed bed. Di bagian bawah dengan sistem pendingin, gas NH3 dan
CO2 diserap oleh larutan dari packed bed washing column. Sedangkan temperatur
opersi di bagian bawah adalah 71 oC. Gas NH3 dan CO2 selanjutnya diserap dalam
dua packed bed di washing column (oleh larutan LP Absorber dan proses kondensat
dari Process Condensate Tank.

3.2.7 Seksi Process Condensate Treatment


Pada proses sintesa urea, Pada proses sintesa urea, satu mol air terbentuk
bersamaan dengan satu mol urea. Air sebagai produk samping ini dipisahkan di Seksi
Konsentrasi dan kemudian digunakan sebagai absorben di Seksi Recovery. Sebagian
besar air diuapkan di Seksi Konsentrasi bersama sedikit urea, NH3 dan CO2. Uap air
ini dikondensasikan di surface condenser, dan kondensatnya digunakan sebagian
sebagai absorbent di Seksi Recovery dan sisanya diolah di Seksi Process Condensate
Treatment.
Kondensat yang sudah diolah dari stage paling bawah dari bagian atas process
condensate stripper selanjutnya diolah di urea hydrolyzer dan bagian bawah process
condensate stripper untuk menghasilkan keluaran yang bebas dari NH3 dan urea. Gas
yang keluar dari bagian atas process condensate stripper dikirim ke LP Decomposer
untuk mengembalikan NH3 dan CO2 dan juga sebagai sumber panas di seksi
dekomposisi. Laju alir steam untuk process condensate stripper diatur untuk
mendapatkan kondisi operasi yang tepat di LP Decomposer.
Di pabrik ini, kondisi operasi urea hydrolyzer (DA-502) adalah 210 OC, 23
kg/cm2G pada bottom dan waktu tinggal 45 menit untuk menghilangkan kandungan
urea sampai dibawah 1 ppm. Larutan dari stage paling bawah dari bagian atas process
condensate stripper (DA-501) yang mengandung sekitar 1.1 wt% urea dikirim ke
urea hydrolyzer (DA-502) melalui preheater for urea hydrolyzer untuk
menghidrolisa urea menjadi NH3 dan CO2 dengan reaksi berikut:
NH2CONH2 + H2O → 2NH3 + CO2
BAB IV
SISTEM UTILITAS

4.1 Unit Utilitas


Unit Utilitas merupakan unit pendukung yang mempersiapkan kebutuhan
operasional unit ammonia dan urea secara terus menerus baik yang berkaitan dengan
bahan baku maupun bahan pembantu pabrik. Unit kegiatan yang dijalankan unit
utilitas untuk mendukung pabrik ammonia dan pabrik urea meliputi:

4.1.1 River Water Intake


Sumber air sungai sungai untuk Pusri IIB berasal dari Sungai Musi. River
Water Intake Facility didukung oleh dua unit pompa River Water Intake dengan tipe
centrifugal dan vertical. Pada kondisi normal, hanya 1 unit yang beroperasi dan 1 unit
lainnya akan standby. Air sungai disuplai oleh River Water Intake Pump ke clarifier
dengan normal flowrate sebesar 1059,5 m3/jam dan beroperasi pada tekanan 4,5
kg/cm2G. Air sungai juga disuplai sebagai fire water melalui Main Fire Water Pump
dengan flowrate sebesar 455 m3/jam dan tekanan operasi sebesar 10 kg/cm2G.

4.1.2 Filter Water Treatment


Sistem pengolahan pada unit Filter Water Treatment didesain sedemikian
rupa hingga menghasilkan spesifikasi yang sesuai untuk kategori air bersih (filtered
water) yang akan digunakan pada proses selanjutnya. Sistem ini mencakup sejumlah
proses diantaranya yaitu terdiri dari proses clarifying (penjernihan) yang dimana
menggunakan clarifier dan proses filtrasi menggunakan Pressure Sand Filter (PSF)
sehingga menghasilkan air bersih (filtered water), serta ada juga proses filtrasi
menggunakan ultrafiltration unit sehingga dihasilkan air minum (potable water).
4.1.3 Demineralyzed Water Unit
Mixed Bed Polisher System digunakan untuk memproduksi demineralized
water melalui proses pertukaran ion (ion exchange). Mixed bed polisher beroperasi
pada tekanan 4,5 kg/cm2G dan temperatur 30ºC. Air demin sebagai produk akhir dari
mixed bed polisher unit mempunyai spesifikasi pH = 6-7,5; conductivity < 0,2 μs/cm;
sodium + potassium < 0,01 ppmw, chloride < 0,02 ppm, copper < 0,003 ppm; iron <
0,02 ppm; silica < 0,005 ppm, hardness as Ca = 0 ppm dan dissolved solid < 0,1
ppm. Pertama-tama, kondensat dari condensate storage tank dikirim oleh pompa ke
mixed bed polisher dari bagian atas. Pada saat kondensat melewati campuran resin
anion dan kation yang terdapat di dalam vessel, terjadilah proses ion exchange.
Selama proses ini, ion yang terdapat di kondensat proses akan berpindah ke pori-pori
resin. Hasilnya, ion yang sebelumnya berada di kondensat sekarang berada di resin
dan ion yang sebelumnya berada di resin sekarang berada di kondensat.
Proses regenerasi diperlukan untuk mengembalikan kondisi resin yang sudah
jenuh agar dihasilkan kualitas air seperti yang dipersyaratkan. Proses regenerasi
dilakukan apabila pressure drop mixed bed polisher > 1 kg/cm2G atau bila
conductivity outlet di atas batasan maksimal sebesar 0,2 μs/cm atau ketika silica
content lebih dari 0,005 ppm atau ketika service time cycle sudah mencapai 72
jam/siklus, yang mana yang lebih dulu tercapai. Tahapan regenerasi mixed bed
polisher terdiri dari backwash, settlement, chemical filling check, rinse, full drain, air
mix, settlement, water filling, final rinse dan regeneration check.

4.1.4 Cooling Water System


Cooling Tower merupakan salah satu peralatan yang digunakan untuk
melepaskan panas dari warm cooling water yang dihasilkan dari proses pabrik lain ke
atmosfer dan didesain memiliki heat transfer area yang cukup antara cooling water
yang masih panas dan udara pendingin. Cooling tower memilki dua sistem yang
terpisah untuk pabrik ammonia/utility dan untuk pabrik urea. Cooling tower jenis
natural draft ini menyuplai udara menggunakan bantuan impeller berupa dua buah
induced draft fan yang terletak di atas tower. Udara yang bergerak dari bawah ke atas
ini akan berkontakkan secara counter current dengan air panas yang disuplai dari atas
cooling tower. Air didistribusikan secara merata sehingga terbentuk water droplets
yang memiliki luas permukaan lebih besar agar perpindahan panas yang terjadi
optimal.
Air make-up disuplai ke basin cooling tower untuk mengimbangi kehilangan
akibat adanya air yang menguap (evaporation loss), drift loss water dan blow down
water. Cooling water membutuhkan beberapa perlakuan khusus untuk menjaga
kualitas seperti yang diharapkan. Karena air secara terus menerus akan hilang karena
adanya evaporation loss, air dalam jumlah tertentu harus terus ditambahkan (air
make-up). Air ini berperan dalam terjadinya peningkatan impurities hardness,
alkalinity dan silica di sistem cooling water. Karena adanya kehilangan sejumlah air
akibat terjadinya proses penguapan, sejumlah kotoran (impurities) akan tertinggal di
dalam air dan terus terakumulasi, hal ini dapat meningkatkan potensi terbentuknya
scale deposit di cooling water system.
Selama beroperasi, antara cooling water dan logam juga akan terjadi kontak.
Kontak antar keduanya akan meningkatkan potensi terjadinya korosi pada logam.
Oleh karena itu, dibutuhkan perawatan khusus secara terus menerus dengan
menggunakan bantuan bahan kimia tertentu. Injeksi yang dilakukan adalah injeksi
corrosion inhibitor, scale inhitor, dosing of chlorine, non-oxidizing biocide,
dispersant, pH control untuk H2SO4 dan untuk NaOH, dan oxidizing biocide yang
disiapkan melalui suatu coolilng tower chemical injection system.

4.1.5 Plant Air and Instrument Air System


Sumber utama untuk udara pabrik dan udara instrumen berasal dari kompresor
udara proses (101-J) di pabrik amoniak. Sebelum memasuki line distribusi, udara
pabrik harus melalui air receiver yang juga berperan sebagai holding vessel dan
instrument air dryer package sebagai dryer unit. Kapasitas air receiver dan
instrument air dryer package sebesar 1600 Nm3/jam. Tekanan operasi air receiver
adalah 7,5 kg/cm2G dan temperatur operasi adalah 30ºC. Air receiver dilengkapi
dengan drain trap untuk membuang cairan secara terus-menerus dan otomatis, juga
untuk mencegah hilangnya udara bertekanan. Balance pipe akan mengarahkan udara
yang masuk ke trap agar kembali ke air receiver.
Disediakan dua unit stand-by kompresor udara dengan masing-masing
kapasitas sebesar 2500 Nm3/jam untuk memenuhi kebutuhan udara pabrik dalam
kondisi emergency. Instrument air dryer (tipe pressure swing adsorption dengan dua
unit tower) digunakan untuk menghilangkan kandungan air di udara bertekanan
dengan menggunakan activated alumina sebagai desiccant. Selama siklus
berlangsung, udara bertekanan akan melalui desiccant yang terdapat di dalam vessel.
Dengan mengalirnya udara ke desiccant, pori-pori berukuran microscopic di
permukaan bed desiccant akan menyerap uap air dari udara dan menurunkan
humidity dan temperatur udara sampai mencapai dew point -40ºC. Adsorpsi
merupakan suatu proses pelepasan panas (eksotermis) dan panas disimpan di dalam
bed desiccant selama siklus regenerasi. Dikarenakan air melekat di desiccant,
desiccant bed akan menjadi jenuh dan memerlukan proses regenerasi.
Selama proses regenerasi, off-stream tower akan diturunkan tekanan dari
tekanan operasi 7,5 kg/cm2G menjadi tekanan atmosferik. Sejumlah udara kering
dilewatkan ke desiccant bed yang terdapat di off-stream tower. Kombinasi dari udara
kering dan panas adsorpsi dari siklus pengeringan (drying) akan menghilangkan
moisture di desiccant.

4.1.6 Gas Metering System


Gas alam digunakan sebagai bahan baku dan bahan bakar dipabrik amoniak.
Gas alam disaring terlebih dahulu untuk menangkap partikel-partikel seperti pipe
scale dan liquid hydrocarbon yang muncul karena adanya perubahan isotermal.
Peralatan yang dilewati oleh natural gas dari tie-in point adalah upstream scrubber,
Scrubber Filter, downstream scrubber dan gas metering system. Natural gas
mengalir ke inlet nozzle upstream scrubber lalu gas alam tersebut dialirkan keluar
melalui bagian atas upstream scrubber.
Scrubber ini dilengkapi dengan demister untuk menangkap cairan yang
terdapat di dalam gas alam. Hidrokarbon berat dari bagian bawah upstream scrubber
dikirim ke burning pit bersamaan dengan kondensat hidrokarbon berat dari scrubber
filter dan downstream scrubber. Cairan yang sudah terpisah akan bertahan di bagian
bawah vessel dan dikeluarkan melalui control valve. Upstream scrubber bekerja pada
tekanan operasi normal 28 kg/cm2G dan temperatur operasi 30ºC. Gas yang keluar
dari upstream scrubber selanjutkan dikirim ke scrubber filter untuk menangkap debu,
partikel padat, cairan yang masih tersisa dan juga menangkap oil traces di dalam gas
apabila ada.
Scrubber filter dapat menangkap partikel dengan ukuran ≥ 0,3 μm dengan
efisiensi sebesar 99,98% pada tekanan operasi 28 kg/cm2G dan temperatur operasi
30ºC. Gas dari scrubber filter selanjutnya dikirim ke downstream scrubber sebelum
dikirim ke pabrik amoniak untuk ditangkap cairan yang masih tersisa. Sebelum
memasuki downstream scrubber, tekanan gas alam dikurangi menggunakan letdown
valve dari 28 kg/cm2G menjadi 14 kg/cm2G. Aliran gas alam dari downstream
scrubber diukur oleh FI-4181 di gas metering system untuk mengetahui jumlah gas
alam yang dikirim ke pabrik amoniak.

4.1.7 Ammonia Storage System


Fasilitas penyimpanan amoniak digunakan untuk menyimpan kelebihan
produk ammonia di pabrik amoniak dan juga sebagai penyimpan amoniak apabila
urea plant shutdown. Tangki penyimpan amoniak dapat menyimpan amoniak pada
tekanan operasi atmosferik di sisi dalam tangki dan tekanan 0,05 kg/cm2G untuk sisi
luar tangki. Temperatur operasi pada -33ºC untuk sisi dalam tangki dan 36ºC untuk
sisi luar tangki. Terdapat dua buah sumber amoniak yang masuk ke ammonia storage
tank yaitu ammonia liquid dari pabrik amoniak dan ammonia vapor dari OEP loading
facility.
Ammonia liquid dari tangki penyimpanan amoniak pertama-tama dipanaskan
terlebih dahulu dari temperatur -33ºC hingga mencapai 38ºC dengan menggunakan
ammonia heater sebelum dikirim ke pabrik urea dengan menggunakan pompa. Pada
kondisi normal, ammonia vapor yang dihasilkan dari tangki amoniak didinginkan
dengan menggunakan ammonia refrigerant compressor 105-J di pabrik amoniak.
Ammonia Refrigerant Compressor 105-J di pabrik amoniak berfungsi
memenuhi kebutuhan pendinginan untuk mendinginkan storage hingga temperatur -
33ºC, maupun tambahan panas ke tangki dan kondensasi vapor yang kembali dari
produk amoniak di pabrik amoniak ke tangki penyimpanan termasuk juga tambahan
panas dari pengiriman amoniak yang berasal dari tangki OEP. Selama berlangsung
loading amoniak, akan ada ammonia vapor yang kembali ke storage tank. Ammonia
vapor ini perlu dikompresi dan dicairkan dengan bantuan Ammonia Refrigeration
Compressor 105-J.
Boil off gas (BOG) refrigerant compressor disiapkan untuk mendinginkan
ammonia vapor yang berasal dari tangki amoniak apabila ammonia refrigeration
compressor di pabrik amoniak shutdown. Sistem ini terdiri dari satu skid compressor
(terdiri dari ammonia KO drum, re-evaporator, oil separator, oil cooler, screw
compressor, main motor dan lubricant system) dan satu skid condenser (terdiri dari
ammonia condenser, liquid receiver dan economizer).
Amoniak dari tangki penyimpanan amoniak memasuki ammonia KO drum
untuk memisahkan ammonia vapor yang terbentuk di tangki amoniak dengan
ammonia liquid. Ammonia vapor mengalir keluar dari bagian atas vessel dan
dikompresi. Ammonia vapor dari discharge kompresor dialirkan ke 1st Stage Oil
Separator untuk memisahkan minyak yang terkandung di ammonia vapor. Kemudian
ammonia vapor dikirim ke oil separator. Ammonia vapor kemudian akan melewati
kondensor untuk dikondensasi. Amoniak yang terkondensasi dialirkan ke liquid
receiver. Ammonia liquid dari liquid receiver dikirim ke economizer dan kemudian ke
re-evaporator untuk menguapkan amoniak sedangkan ammonia liquid dikirim
kembali ke ammonia storage tank.

4.1.8 Waste Water System


Pengolahan air limbang berfungsi untuk meyakinkan semua effluent/limbah
dari pabrik amoniak, urea dan utilitas dikelola dengan benar sebelum dibuang dengan
memenuhi standar buangan limbah. Larutan OASE dari pabrik amoniak, larutan asam
sulfat dan kaustik soda dari unit demineralisasi, mixed bed polisher, unit ultrafiltrasi,
saluran injeksi bahan kimia, NaOH, koagulan, saluran tangki H2SO4 dinetralkan
terlebih dahulu di neutralization pond pada pH berkisar 7-8 sebelum dikirim ke
pengelolahan limbah existing melalui pompa.
Air limbah lainnya seperti effluent water dari pabrik Urea dan off-spec
condensate ditampung di check pit a untuk dikelola. Air limbah dipompakan oleh
pompa ke ammonia stripper feed preheater dan selanjutnya diproses melalui metode
stripping di ammonia stripper dengan menggunakan low pressure steam. Waste
water urea yang mengandung minyak dikirim langsung ke check pit b.
Kandungan amoniak di waste water dipisahkan pada kondisi tekanan rendah
0,1 kg/cm2G dan temperatur tinggi 101,8ºC di ammonia stripper. Uap yang
dihasilkan dari proses stripping yang mengandung amoniak akan dibuang dari bagian
atas tower dan menuju atmosfer. Air limbah yang telah diolah akan mengalir ke sisi
bagian bawah ammonia stripper menuju ammonia stripper feed preheater, lalu
didinginkan di effluent cooler dari temperatur 54,2ºC menjadi 40ºC pada tekanan 0,3
kg/cm2G dan terakhir ditampung di check pit b. Air yang telah diolah dan sudah
memenuhi standar air buangan dikirim ke lokasi pengelolaan limbah existing dengan
menggunakan pompa.
BAB V
ORGANISASI PERUSAHAAN

5.1 Sejarah dan Perkembangan Perusahaan


PT. Pupuk Sriwidjaja atau lebih dikenal dengan nama PT. PUSRI merupakan
produsen pupuk urea yang pertama dan terbesar di Indonesia. Tujuan pendirian PT.
PUSRI adalah untuk mengolah bahan mentah, yang berupa gas alam, menjadi bahan
baku pembuatan pupuk urea dan berbagai bahan kimia lainnya. Tujuan lainnya adalah
memperdagangkan hasil produksi tersebut beserta barang-barang pelengkap lainnya,
serta memberikan jasa pada pembangunan proyek industri kimia lainnya. Selain itu,
pembangunan PT. PUSRI juga bertujuan untuk menyokong kegiatan pertanian yang
merupakan salah satu mata pencaharian utama penduduk Indonesia. Dengan tugas-
tugas yang diembannya itulah, PT. PUSRI tentunya turut memegang peran penting
dalam perkembangan industri pertanian di Indonesia.
Perencanaan pembangunan pabrik pupuk ureapertama di Indonesia diserahkan
kepada Biro Perancang Negara (BPN) sebagai bagian dari Rencana Pembangunan
Lima Tahun 1 (REPELITA I) periode 1956-1960. BPN kemudian melakukan studi
kelayakan pembangunan pabrik pupuk tersebut, dilanjutkan dengan pemilihan lokasi
yaitu di Sumatera Selatan, dan percobaan lapangan penggunaan pupuk urea. Proyek
pendirian pabrik pupuk urea ini kemudian dilimpahkan kepada Departemen
Perindustrian dan Pertambangan dengan nama “Proyek Pupuk Urea 1”.
PT. PUSRI resmi didirikan berdasarkan Akte Notaris Eliza Pondaag No. 177
tanggal 24 Desember 1959 dan diumumkan dalam Lembaran Berita Negara Republik
Indonesia No. 46 tanggal 7 Juni 1960. PT. PUSRI memiliki kantor pusat dan pusat
produksi berkedudukan di Palembang, Sumatera Selatan. Nama ”PT. Pupuk
Sriwidjaja” merupakan gagasan Prof. Ir. Otong Kosasih dan Ir. Rachman
Subandi.Pada saat pertama kali didirikan, perusahaan ini terdaftar sebagai Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) dengan kepemilikan saham tunggal oleh pemerintah di
bawah Departemen Keuangan RI. Namun, sejak berdiri, perusahaan ini telah
mengalami dua kali perubahan bentuk badan usaha. Perubahan pertama berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1964 yang mengubah statusnya dari Perseroan
Terbatas (PT) menjadi Perusahaan Negara (PN). Perubahan kedua terjadi berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1969 dan dengan Akte Notaris Soeleman
Ardjasasmita pada bulan Januari 1970, statusnya dikembalikan ke Perseroan Terbatas
(PT).
Bermula dengan satu unit pabrik berkapasitas 100.000 ton urea per tahun,
perusahaan ini mengalami perkembangan pesat sepanjang tahun 1972 hingga 1994
dengan dibangunnya beberapa pabrik baru. Pembangunan beberapa pabrik tersebut
meningkatkan kapasitas produksi PT. PUSRI hingga mencapai 2.260.000 ton urea per
tahun. Pabrik pupuk urea pertama PT. PUSRI diberi nama PUSRI I. Start-up pabrik
ini dimulai pada tanggal 16 Oktober 1963 dengan kapasitas produksi sebesar 180 ton
amonia/hari dan 300 ton urea/hari.
Seiring dengan terus meningkatnya jumlah penduduk Indonesia, kebutuhan
beras nasional juga meningkat. Untuk mengimbangi permintaan pasar beras yang
semakin besar, pada tahun 1965 dilakukan perencanaan perluasan pabrik PT PUSRI.
Namun, rencana ini tertunda karena terjadinya pemberontakan G-30S/PKI. Baru pada
tanggal 7 Desember 1972, berdasarkan studi kelayakan yang dilakukan oleh John
Van Der Volk & Associate (Amerika Serikat), mulai didirikan pabrik PUSRI II
dengan kontraktor pabrik amonia dari M. W. Kellog Overseas Corporation (Amerika
Serikat) dan kontraktor pabrik urea dari Toyo Engineering Company (Jepang). Pabrik
PUSRI II tersebut mulai beroperasi pada tanggal 8 Agustus 1974 dengan kapasitas
produksi sebesar 660 MTPD (metric ton per day) amonia dan 1.150 MTPD urea.
Karena kebutuhan pupuk dalam negeri meningkat sangat pesat, perluasan
pabrik kembali dilakukan dengan membangun dua pabrik baru yaitu pabrik PUSRI
III dan PUSRI IV dalam jangka waktu yang relatif hampir bersamaan. Pabrik PUSRI
III dibangun pada tanggal 21 Mei 1975 dengan kapasitas terpasang 1000 ton
ammoniak/hari dengan menggunakan proses Kellog dan kapasitas produksi urea 1725
ton/hari dengan proses Mitsui Toatsu Total Recycle (MTTR) C-Improved oleh Kellog
Overseas Corp. dan Toyo Engineering Corporation (TEC). Lima bulan setelah
pembangunan pabrik PUSRI III, pabrik PUSRI IV mulai dibangun dengan kapasitas
terpasang dan proses yang sama. Pada tahun 1985, dilakukan penghentian operasi
terhadap pabrik PUSRI I karena pabrik ini dinilai sudah tidak ekonomis dan efisien.
Sebagai penggantinya, pada tahun 1990 pabrik ini mengalami perombakan menjadi
pabrik PUSRI IB yang menggunakan teknologi Kellog untuk produksi amonia dan
ACES (Advanced Cost And Energy Savings) dari TEC untuk produksi urea.
Kapasitas produksi PUSRI IB ini sebesar 446.000 ton amonia per tahun dan
570.000 ton urea per tahun. Pabrik dengan kapasitas produksi terbesar diantara
pabrik–pabrik PT. PUSRI lainnya ini diresmikan pengoperasiannya pada tanggal 22
Desember 1994 oleh Presiden Soeharto. Pabrik PUSRI-IB ini merupakan pabrik yang
dibangun dengan konsep hemat energi dan telah menggunakan sistem kendali
komputer “Distributed Control System”.
Dalam rangka untuk peningkatan efisiensi dan penghematan bahan baku,
pada tahun 1990-an dilakukan proyek optimasi yang dikenal dengan Amoniak
Optimization Project (AOP) untuk PUSRI II, III dan IV serta Urea Optimization
Project (UOP) untuk PUSRI II. Proyek dilaksanakan oleh PT. PUSRI bekerjasama
dengan licensor proses sebagai konsultan. Dilaksanakannya proyek tersebut
menyebabkan :
a) Pabrik amoniak PUSRI II, III dan IV mengalami peningkatan produksi sebesar
20% dan penghematan gas alam hingga 10%.
b) Pabrik urea PUSRI II mengalami peningkatan produksi hingga 50% dan
penghematan pemakaian gas alam hingga 30%.

Total kapasitas produksi keempat pabrik yang dimiliki PT. PUSRI adalah
sebesar 1.149.000 ton per tahun amonia dan 2.280.000 ton per tahun urea. Pada tahun
1997 dibentuk Holding BUMN pupuk di Indonesia dan PT. PUSRI ditunjuk sebagai
induk perusahaan. Perusahaan-perusahaan yang tercakup dalam Holding tersebut
adalah :
a) PT. Pupuk Sriwijaya di Palembang, Sumatera Selatan.
b) PT. Petrokimia Gresik yang berdiri pada 31 Mei 1975 di Gresik, Jawa timur.
c) PT. Pupuk Kujang yang berdiri pada 9 Juni 1975 di Cikampek, Jawa Barat.
d) PT. Pupuk Kalimantan Timur yang berdiri pada 7 Desember 1977 di Bontang,
Kalimantan Timur.
e) PT. Pupuk Iskandar Muda yang berdiri pada 24 Februari 1982 di Lhoksemawe,
Nanggroe Aceh Darussalam.

Dari aspek pemodalan, PT. PUSRI juga mengalami perubahan. Berdasarkan


Peraturan Pemerintah No. 28 tanggal 7 Agustus 1997 ditetapkan bahwa seluruh
saham pemerintah pada industri pupuk PT. Pupuk Kujang, PT. Pupuk Iskandar Muda,
PT. Pupuk Kalimantan Timur Tbk., dan PT. Petrokimia Gresik sebesar Rp.
1.829.290.000.000 dialihkan kepemilikannya kepada PT. PUSRI (Persero). Struktur
modal PT. PUSRI diperkuat lagi dengan adanya pengalihan saham pemerintah
sebesar Rp. 6.000.000.000 di PT. Mega Eltra kepada PT. PUSRI serta tambahan
modal disetor sebesar Rp. 728.768.000.000 dari hasil rekapitalisasi laba ditahan PT.
Pupuk Kaltim Tbk. Dengan demikian, keseluruhan modal disetor dan ditempatkan di
PT. PUSRI per 31 Desember 2002 adalah sebesar Rp. 3.634.768.000.000.
5.2 Visi dan Misi Perusahaan
Setelah mengalami perubahan status menjadi anak usaha dari PT Pupuk
Indonesia (Persero) atau Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC), pada tahun
2010, PUSRI langsung melakukan kajian tentang visi, misi, dan tata nilai perusahaan
di tahun 2012. Kajian akhir berupa visi, misi, makna dan tata nilai PUSRI kemudian
disetujui oleh Dewan Komisaris dan disahkan oleh Direksi melalui Surat Keputusan
Direksi No.SK/DIR/207/2012 tanggal 11 Juni 2012. Visi dan misi tersebut telah
dikaji secara berkala dan disesuaikan dengan arah perkembangan industri melalui
penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan, serta telah menjadi acuan
yang relevan untuk penyusunan Rencana Kerja Jangka Panjang Perusahaan.
Visi:
"Menjadi Perusahaan Pupuk Terkemuka Tingkat Regional"

Misi:
"Memproduksi serta memasarkan pupuk dan produk agribisnis secara efisien,
berkualitas prima dan memuaskan pelanggan"
Tata Nilai:

Makna Perusahaan:
“PUSRI untuk Kemandirian Pangan dan Kehidupan Yang Lebih Baik”

5.3 Lokasi Perusahaan


5.3.1 Lokasi PT Pupuk Sriwidjaja
PT Pupuk Sriwidjaja Palembang terletak 7 km dari pusat kota Palembang,
Provinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan rekomendasi dari Gas Bell & Associates
(Amerika Serikat), pemilihan lokasi ini didasarkan pada ketersediaan bahan baku dan
jalur transportasi untuk pemasaran produk. Alasan pemilihan daerah tepi Sungai Musi
sebagai lokasi pabrik antara lain :
a) Gas alam merupakan salah satu komoditi andalan Sumatera Selatan pada waktu
itu. Lokasinya berdekatan dengan wilayah operasi perkilangan minyak
Pertamina termasuk sumur gas alam di Prabumulih yang sampai sekarang
menjadi sumber gas alam yang digunakan PT Pupuk Sriwidjaja Palembang.
b) Sungai Musi merupakan sumber air yang tidak pernah kering sepanjang tahun
yang menunjang bahan baku pembuatan steam dan keperluan utilitas. Nilai
tambah lainnya adalah Sungai Musi yang berujung di Samudera Hindia dan Selat
Bangka, juga dapat dilayari oleh kapal-kapal besar, sehingga memudahkan
transportasi pupuk ke daerah pemasaran dalam jumlah besar dengan
menggunakan kapal laut.
c) Letak PT PUSRI berjarak sekitar 198 km dengan tambang PT. Bukit Asam yang
tidak jauh dari Palembang, yang memiliki batubara yang dapat dijadikan sebagai
cadangan bahan baku potensial apabila persediaan gas alam menipis.

Gambar 5.1 Lokasi PT Pupuk Sriwidjaja Palembang

Saat pembangunan PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, lokasi yang sekarang


digunakan oleh PT Pupuk Sriwidjaja Palembang terletak di luar kota. Namun, akibat
perkembangan dan perluasan kota Palembang, sekarang PT Pupuk Sriwidjaja
Palembang terletak di dalam kota Palembang. Alasan pembangunan PT Pupuk
Sriwidjaja Palembang di dekat ibu kota provinsi adalah kemudahan memperoleh
sumber daya manusia pekerja dan kemudahan pengurusan administrasi pemerintah
(dekat dengan pusat administrasi). PT PUSRI berlokasi dijalan Mayor Zen yang
berbatasan dengan :
a) Sebelah utara adalah Sekojo
b) Sebelah barat adalah Lemabang
c) Sebelah timur adalah Sungai Lais
d) Sebelah selatan adalah Sungai Musi

5.3.2 Tata Letak PT. Pupuk Sriwidjaja


Pada pembangunan awal PT PUSRI Palembang, luas tanah yang
dipergunakan untuk lokasi pabrik adalah 55 ha sedangkan luas tanah yang
dipergunakan untuk lokasi pabrik adalah 20.4732 ha dan luas tanah untuk perumahan
karyawan 26.5265 ha. Di samping itu, sebagai lokasi cadangan disiapkan 41.7965 ha
yang dimaksudkan untuk persediaan perluasan kompleks pabrik. Sebelum dipakai
untuk perluasan, lokasi cadangan tersebut dipakai sebagai tempat olahraga bagi
karyawan dan penduduk sekitar.
Bagian depan kompleks industri terdapat Kantor Pusat yang merupakan
kantor staf direksi dan administrasi umum PT PUSRI Palembang. Di dalam kompleks
terdapat kompleks perumahan karyawan yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas,
seperti rumah sakit, fasilitas olahraga, gedung pertemuan, perpustakaan umum,
rumah makan, masjid, dan sebagainya. Selain itu, terdapat juga penginapan yang
diperuntukkan bagi tamu PT PUSRI Palembang.
Kompleks perumahan dan kompleks pabrik dibatasi oleh pagar dan terdapat 2
buah gerbang masuk kompleks pabrik yang dijaga oleh aparat keamanan. 4 buah
pabrik terletak berkelompok mengelilingi daerah tangki penyimpanan amonia.
Biasanya di area pabrik, setiap unit operasi pabrik berada berdekatan satu sama lain.
Hal ini bertujuan agar sistem piping tidak terlalu panjang dan komunikasi antar unit
tidak terlalu sulit. Mengingat semua unit operasi di PT PUSRI Palembang sangat
berkaitan satu sama lain, maka letak control room antar unit operasi selalu berada
dalam satu gedung, kecuali unit utilitas pabrik yang dikumpulkan menjadi satu
terpisah dari unit amonia dan urea.
Daerah yang mengarah ke Sungai Musi digunakan sebagai daerah
pengantongan dan gudang supaya pengangkutan untuk bongkar muat di pelabuhan
dan menjadi lebih mudah, serta memerlukan biaya yang lebih murah. Untuk
keperluan bongkar muat, PT PUSRI Palembang memiliki pelabuhan sendiri di tepi
Sungai Musi. PT PUSRI Palembang juga menerapkan konsep go green dalam
lingkungannya, hal ini bisa dilihat di sekeliling area perkantoran dan perumahan
karyawan banyak terdapat pepohonan dan tanaman hias.

Gambar 5.2 Tata Letak PT PUSRI

Keterangan Gambar :
A. Pos satpam 1. Primary reformer
B. Kantor Utama 2. Secondary reformer
C. Lapangan 3. Stripper
D. Perumahan 4. Absorber
E. Gedung Serba Guna 5. Methanator
F. Diklat 6. HTSC dan LTSC
G. Sekolah 7. ARU
H. Kolam 8. HRU, PGRU
I. Masjid 9. Molecular sieve
J. Rumah Makan 10. Kompresor
K. Parkir 11. Refrigeran
L. Tenik Proses 12. Reaktor amonia
M. Dinas K3 13. Seksi Recovery
N. Main Lab 14. Seksi purifikasi
O. Ammonia Storage 15. Seksi kristalisasi dan prilling
P. Kantor 16. Seksi sintesis urea
Q. Wisma 17. Sistem pembangkit listrik
R. Lapangan Olahraga 18. Package boiler
S. Pabrik II B 19. Waste heat boiler
T. Gudang 20. Kantor dan pusat kontrol
U. Dermaga 21. Cooling tower
V. PPU 22. GMS (Gas Metering Station).
W. Rumah sakit 23. Unit penukar anion, kation
X. Wisma dan penukar anion-kation
24. Filter water
25. Sand filter
26. Tangki klarifikasi
27. Kantor instrumentasi

5.4 Struktur Organisasi Perusahaan

5.4.1 Struktur Organisasi dan Manajemen Perusahaan


Kedudukan tertinggi dalam struktur organisasi yang ada di PT PUSRI

Palembang adalah dewan komisaris. Dewan komisaris memiliki tugas berupa


memberikan pembinaan dan pengawasan terhadap kelangsungan manajemen maupun

operasional pada suatu perusahaan. Tugas operasional dapat sesuai dengan surat

keputusan direksi, yaitu No.SK/DIR/251/2009, tanggal 24 November 2009, yang

dilaksanakan oleh dewan-dewan direksi yang terdiri dari Direktur Utama yang

membawahi lima orang direktur, yaitu:

1. Direktur Keuangan
2. Direktur Sumber Daya Manusia dan Umum
3. Direktur Produksi
4. Direktur Teknik & Pengembangan
5. Direktur Komersil
Tetapi terjadi suatu perubahan pada struktur organisasi di PT PUSRI Palembang

yang menuju penyempurnaan pada awal tahun 2011. Prinsip utama penyempurnaan

organisasi tersebut adalah untuk menuju suatu pembentukan organisasi PT PUSRI

yang ramping, efisien, serta fleksibel. Struktur Organisasi Perusahaan ini yang

disampaikan pada tanggal 1 Januari 2011, dalam SK Direksi. Struktur organisasi

utama pada PT PUSRI Palembang yang dilaksanakan oleh dewan direksi yang dapat

dilihat pada Gambar 2.9 dibawah ini.


DIREKTUR UTAMA

DIREKTUR TEKNIK &


DIREKTUR PRODUKSI DIREKTUR KOMERSIL DIREKTUR SDM & UMUM
PENGEMBANGAN

Kepala Satuan General Manager General Manager Riset General Manager General Manager General Manager
Pengawasan Intern Operasi & Pengembangan Pengadaan Keuangan Sumber Daya Manusia

Manager Pengawasan Manager Pengembangan Manager Pengembangan


Manager Operasi Pusri-II Manager Pengadaan Barang Manager Keuangan
Operasional Usaha & Teknologi SDM & Organisasi

Manager Pengawasan Manager Pendidikan &


Manager Operasi Pusri-III Manager Riset Manager Jasa Manager Akuntansi
Keuangan Pelatiahan

Manager Pengembangan Manager Pererencanaan


Manager Operasi Pusri-IV Manager Anggaran Manager Ketenagakerjaan
Sekretaris Perusahaan Produk & Pasar Material & Pergudangan
& Tata Kelola

Manager Operasi Pusri-IB


Manager Hubungan GM Teknik & Sistem GM Penjualan Produk
General Manager Umum
Masyarakat Informasi Komersil

Manager Operasi Pusri-IIB


Manager Tata Kelola & General Manager Manager Rancangan Manager Penjualan
Manager Sarana & Umum
Manajemen Resiko Pemeliharaan Bangun & Perekayasaan Komersil Wilayah I

Manager Operasi &


Pengantongan
Manager Teknologi Manager Penjualan
Manager Hukum Manager Mekanikal Manager Sekuriti
Informasi Komersil Wilayah II

Manager STG & Boiler Batu


Bara
Manager Program Manager Penjualan
Manager Perbengkelan Manager Pengelolaan Aset
Kemitraan & Bina Lingk. Komersil Wilayah III

General Manager Manager Rendal Kepala Kantor Perwakilan


Teknologi Pemeliharaan General Manager Plt. GM Penjualan Jakarta
Distribusi & Pemasaran Produk PSO

Manager Rendall Produksi Manager Reliability


Manager Logistik Manager Penjualan PSO
Pemasaran Wilayah I

Manager Laboratorium Manager Listrik


Manager Perencanaan & Manager Penjualan PSO
Pengendalian Pemasaran Wilayah II

Manager K3 & Lingkungan


Manager Instrumen
Hidup

Manager Inspeksi Teknik

Gambar 5.3. Struktur Organisasi PT.PUSRI


Sejak tahun 2011, terjadi penggabungan antara Direktur Keuangan dan
Direktur Pemasaran yang digabung menjadi Direktur Komersil. Jadi, sekarang ini
direktur utama hanya membawahi empat orang direktur, yaitu:
1. Direktur Produksi
2. Direktur Keuangan dan pemasaran
3. Direktur Teknik dan Pengembangan
4. Direktur SDM dan Umum
Penjenjangan karyawan yang ada di dalam perusahaan didasarkan kepada
tingkat pendidikan, keahlian dan pengalaman. Berdasarkan jabatan dalam struktur
organisasi, karyawan yang bekerja pada PT PUSRI Palembang dapat dikelompokkan
sebagai berikut :
1. Direksi
2. General Manager
3. Manager
4. Superintendent
5. Asisten Superintendent
6. Foreman senior
7. Foreman
8. Operator Lapangan
Dalam pengoperasian pabrik, direktorat yang berhubungan dengan proses atau
melaksanakan tugas operasional adalah direktorat produksi. Direktur Produksi
merupakan salah satu komponen penting dalam perusahaan karena bertanggung
jawab terhadap kelangsungan proses produksi PT PUSRI Palembang. Direktur
produksi membawahi kompartemen operasi, yaitu :
1. Manager Operasi PUSRI IB
2. Manager Operasi PUSRI IIB
3. Manager Operasi PUSRI III
4. Manager Operasi PUSRI IV
5. Manager Operasi Teknik Produksi
6. Kepala PU&A
Departemen Operasi PUSRI IB, PUSRI II, PUSRI III dan PUSRI IV bertugas
mengkoordinir jalannya kegiatan produksi pada setiap pabrik. Setiap pabrik dipimpin
oleh seorang Manager Operasi yang membawahi 3 bagian operasi yang tiap – tiap
bagian itu dikepalai oleh seorang Superintendent. Bagian itu antara lain:
1. Bagian Utilitas
2. Bagian Amoniak
3. Bagian Urea
Untuk promosi kejenjang yang lebih tinggi maupun untuk kenaikan tingkat
golongan, maka setiap tahun diadakan penilaian karyawan yang meliputi loyalitas,
dedikasi, pengetahuan, keterampilan, tingkah laku, pergaulan sesama karyawan dan
produktivitas kerja. Kenaikan jabatan terjadi apabila formasi yang kosong dan
sistemnya dari bawah keatas, sedangkan untuk mutasi jabatan dilakukan pada posisi
sejajar. Jam kerja normal bagi karyawan non shift adalah :
1. Senin – Kamis : Pukul 07.30 - 12.00 WIB dan
Pukul 13.00 - 16.30 WIB
Istirahat pukul 12.00 - 13.00 WIB
2. Jumat : Pukul 07.30 - 11.30 WIB dan
Pukul 13.00 - 17.00 WIB
Istirahat pukul 11.30 - 13.00 WIB
Dalam pengoperasian pabrik, direktorat yang berhubungan dengan proses atau
melaksanakan tugas operasional adalah direktorat produksi. Direktur produksi
membawahi beberapa divisi, yaitu :
1. Divisi operasi
2. Divisi pengendalian pabrik, keselamatan kerja, dan lingkungan
3. Divisi pemeliharaan
Divisi Operasi

Divisi ini bertanggung jawab terhadap jalannya produksi. Tugas-tugas utama


Divisi Operasi, yaitu:
1. Mengoperasikan sarana produksi secara optimal dengan mengusahakan
waktu operasi dan faktor produksi setinggi-tingginya dengan tetap
memperhatikan keselamatan peralatan, personalia dan lingkungan.
2. Menjaga kualitas produksi, bahan baku, material, dan peralatan serta bahan-
bahan penunjang sehingga sasaran produksi tercapai dengan tolak ukur
kualitas, produktivitas, dan keamanan, dan
3. Mengganti peralatan pabrik yang pemakaiannya sudah tidak tidak ekonomis.
Divisi ini membawahi beberapa departemen sebagai berikut :
a) Departemen Operasi IB, mengkoordinasikan beroperasinya PUSRI-IB.
b) Departemen Operasi IIB, mengkoordinasikan beroperasinya PUSRI IIB.
c) Departemen Operasi III, mengkoordinasikan beroperasinya PUSRI III.
d) Departemen Operasi IV, mengkoordinasikan beroperasinya PUSRI IV.
e) Departemen Operasi, Pengantongan dan Angkutan
Manajer Pabrik setiap departemen bertanggung jawab terhadap operasional
pabrik secara keseluruhan, sehingga untuk memudahkan pelaksanaan tugas
operasional, masing-masing Manajer Pabrik dibantu oleh 3 orang superintendent,
yaitu :
1. Superintendent Utilitas dan Asistennya
2. Superintendent Amoniak dan Asistennya
3. Superintendent Urea dan Asistennya.
Selain itu, masing-masing plant manajer produksi juga dibantu pelaksanaan
tugasnya oleh Kepala Seksi, Shift Supervisor, Kepala Regu, karyawan, dan operator.
Shift-supervisor bertugas mengkoordinasi kegiatan di lapangan antar unit kerja
pabrik, mengawasi kerja operator untuk setiap shift, dan sekaligus sebagai
penanggung jawab operasional pabrik pada jam kerja di luar day shift. Sedangkan,
operator bertugas mengoperasikan pabrik pada setiap bagian (amonia, urea, atau
utilitas).
Operator ini terdiri dari operator senior yang bertugas di control panel room
dan operator lapangan. Operator-operator tersebut bekerja sesuai shift yang telah
dijadwalkan dan diketuai oleh seorang Kepala Seksi. Selain itu, untuk setiap shift
dibantu oleh seorang Kepala Regu. Khusus operator lapangan dikoordinir oleh
seorang Koordinator Lapangan. Setiap shift bekerja selama delapan jam dengan
pembagian jam kerja sebagai berikut.
1. Day shift : 07.00 – 15.00
2. Swing shift : 15.00 – 23.00
3. Night shift : 23.00 – 07.00
Dalam satu siklus kerja, terdapat 4 regu operator (pegawai shift) dengan 3 regu
bertugas dan 1 regu libur secara bergantian. Pada Day Shift, Superintendent
bertanggungjawab atas operasi pabrik, dan untuk Swing Shift dan Night Shift yang
bertanggung jawab adalah shift foreman, kecuali untuk hal-hal yang sangat penting,
kembali kepada Superintendent masing-masing.

Divisi Teknologi

Divisi ini bertugas untuk mengontrol jalannya operasi pabrik, memerhatikan


keselamatan kerja dan lingkungan. Selain itu, divisi ini juga memiliki wewenang
dalam menetapkan peraturan-peraturan kerja yang berhubungan dengan operasional
pabrik serta bertanggungjawab dalam pengawasannya. Divisi ini membawahi
beberapa departemen sebagai berikut:
1. Departemen Perencanaan dan Pengendalian Produksi
Departemen ini bertugas untuk memberikan saran, masukan kepada unit
terkait dengan cara melakukan suatu analisis atau evaluasi yang akurat
terhadap suatu persoalan yang diberikan atau inisiatif sendiri, agar dapat
dijadikan bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan dan atau
melaksanakan tugas operasional sehari-hari. Departemen ini dipimpin oleh
seorang manajer serta terdiri dari beberapa kelompok. Setiap kelompok
terdiri dari process engineer dan dipimpin oleh seorang koordinator. Berikut
ini merupakan penjelasan masing-masing kelompok beserta tugasnya :
a) Kelompok Teknik Proses I
Kelompok ini bertugas untuk melakukan evaluasi terhadap efisiensi
kerja pabrik, serta mengendalikan kualitas bahan baku pembantu untuk
operasional pabrik yang dikepalai oleh koordinator Teknik Proses-I.
Bagian ini bertugas untuk melaksanakan, menganalisa, memeriksa
kelayakan dan menyarakan perbaikan pada kerusakan peralatan rotating
dan no-rotating di pabrik P-1B, P-IIB, dan ASP atau CO2 plant untuk
jaminan kelangsungan beroperasinya pabrik sesuai dengan standar dan
kode yang berlaku.
b) Kelompok Teknik Proses II
Bagian ini bertugas untuk melaksanakan, menganalisa, memeriksa
kelayakan dan memberikan rekomendasi perbaikan pada peralatan non
rotating di pabrik P-III, P-IV, dan unit pengantongan untuk menjamin
kelangsungan beroperasinya pabrik sesuai dengan standar dan mode yang
berlaku.
Masing-masing kelompok beranggotakan process engineer yang
bertanggung jawab terhadap proses dalam pabrik yang ditanganinya.
Lebih rinci lagi, Kelompok Teknik Proses-I dan II mempunyai beberapa
tugas utama, yaitu memonitor dan mengevaluasi kondisi operasi pabrik,
mengendalikan dan mengevaluasi kualitas dan kuantitas hasil-hasil
produksi, serta merencanakan Turn Around pabrik, dengan memberikan
rekomendasi penggantian katalis, resin, dan bahan sejenis.
c) Kelompok PPP (Pelapor Perencanaan Produksi)
Kelompok ini bertanggung jawab terhadap beberapa hal, yakni
pelaporan hasil produksi urea dan ammonia, jumlah pemakaian bahan
baku dan bahan penunjang lainnya, serta penyusunan RKAP.
d) Kelompok PMP (Perencanaan Material Proses)
Kelompok ini bertugas untuk menjamin ketersediaan bahan kimia, katalis,
dan bahan isian lainnya baik were house stock maupun yang akan dibeli secara
langsung guna mendukung reliability dan sustainability operasional pabrik.
Departemen Laboratorium

Laboratorium bertugas dalam analisa control hingga pengawasan mutu


bahan baku, bahan pendukung dan hasil-hasil produksi pabrik. Departemen ini
terbagi menjadi tiga orang kepala bagian yaitu, kepala bagian laboratorium
kimia analisa, kepala bagian laboratorium kontrol, serta kepala bagian
laboratorium penunjang sarana.
Departemen K3 dan LH

Departemen ini terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu bagian


pengendalian pencemaran, bagian pengendalian lingkungan hidup, bagian
penanggulangan kebakaran dan kecelakaan kerja, bagian teknik keselamatan
kerja, serta bagian hygiene dan pemeriksaan kesehatan.
Divisi Pemeliharaan

Divisi ini bertanggung jawab dalam memliharan dan merawat peralatan pabrik,
serta kendaraan yang berhubungan dengan operasional. Divis ini dikepalai oleh
seorang general manager dengan beberapa departemen yaitu departemen
pemeliharaan mekanikal, departemen pemeliharaan listrik dan instrument,
departemen perbengkelan dan umum, dan departemen rendal pemeliharaan.
2.4.1 Struktur Organisasi dan Manajemen Departemen/Unit Kerja
MANAGER OPERASI P-IIB

Andri Azmi

SUPERINTENDENT SUPERINTENDENT SUPERINTENDENT SUPERINTENDENT


AMMONIA P-IIB UREA P-IIB UREA P-IIB SHIFT P-IIB
Tryono Muhammad Haerul H Aliyanto
M. Salahuddin

Yoyok Noviantoro

Ast. SUPERINTENDENT Ast. SUPERINTENDENT Ast. SUPERINTENDENT Cecep Sumiratna H.


AMMONIA P-IIB UREA P-IIB UREA P-IIB
Pulminarso
Eko Hernandi Muhammad Riduansyah

SUPERVISOR SUPERVISOR SUPERVISOR

FOREMAN SENIOR FOREMAN SENIOR FOREMAN SENIOR

FOREMAN FOREMAN FOREMAN

OPERATOR PANEL OPERATOR PANEL OPERATOR PANEL

OPERATOR LAPANGAN OPERATOR LAPANGAN OPERATOR LAPANGAN

Gambar 2.10 Struktur Organisasi Departemen Operasi P-IIB

Peraturan-peraturan kerja yang ada di PT. Pusri dibuat dan diawasi


pelaksanaannya oleh Dinas K3. Peraturan-peraturan yang dimaksud di sini adalah
peraturan yang berkaitan langsung dengan keselamatan dan kesehatan kerja. Oleh
karena itu, peraturan yang dikeluarkan oleh dinas ini sebenarnya cenderung lebih
mengikat kepada para pekerja yang secara langsung berkaitan dengan pabrik. Namun
dalam beberapa hal seperti prosedur penanggulangan keadaan darurat yang
melibatkan seluruh elemen PT. PUSRI, peraturan-peraturan tersebut secara otomatis
juga berlaku kepada karyawan non-pabrik, bahkan kepada masyarakat luar yang ada
di lingkungan PT. PUSRI.
Dinas K3 bertujuan agar tercapainya kondisi zero accident selama
berlangsungnya proses produksi. Dalam melaksanakan tugasnya, Dinas K3 dibantu
oleh:
1. Bagian PK&K (Penanggulangan Kebakaran dan Kecelakaan Kerja)
2. Bagian Hyperkes (Hygiene Perusahaan dan Kesehatan)
3. Kelompok safety engineering
Tugas Dinas K3 antara lain:

1. Mengawasi pelaksanaan peraturan K3 di perusahaan.


2. Memberikan pelatihan K3, baik yang bersifat wajib maupun tambahan.
Pelatihan ini dapat dilakukan di dalam maupun di luar lingkungan PT. PUSRI.
3. Melakukan penanggulangan kebakaran dan kecelakaan kerja.
4. Melakukan pemantauan lingkungan kerja, seperti pada lingkungan sekitar
kompresor, temperature suatu area tertentu, atau tingkat kebisingan yang ada.
Kegiatan ini juga meliputi identifikasi masalah yang mungkin timbul untuk
dianalisa dan dicarikan jalan keluarnya (saran-saran kerja).

BAB V

URAIAN TUGAS KHUSUS

5.1 Latar Belakang dan Tujuan Tugas Khusus

Efektivitas atau performa heat exchanger didefinisikan sebagai perbandingan


antara perpindahan panas yang diharapkan (aktual) dengan perpindahan panas
maksimum (desain) yang mungkin terjadi dalam heat exchanger. Heat exchanger
dirancang sebisa mungkin agar perpindahan panas antar fluida dapat berlangsung
secara efisien.
Adapun batasan masalah dari tugas khusus Kerja Praktek ini adalah
Mengevaluasi Performa Heat Exchanger pada Cooling Water Plate 6A-128-C
(Ammonia), 6A-124-C1/C2 (Syn-gas), 6A-101-JC1 (Udara Proses) dan 6A-101-JC2
(Udara Proses) Unit Ammonia P-IIB dengan cara menganalisa data Heat Duty Aktual
dari masing-masing peralatan terhadap Heat Duty Maksimum/Desain. Hasil analisa
nilai Heat Duty .
5.2 Tinjauan Pustaka
5.2.1 Heat Exchanger

Alat penukar panas atau Heat Exchanger (HE) adalah alat yang digunakan
untuk memindahkan panas dari sistem ke sistem lain tanpa perpindahan massa dan
bisa berfungsi sebagai pemanas maupun sebagai pendingin. Biasanya, medium
pemanas dipakai adalah air yang dipanaskan sebagai fluida panas dan air biasa
sebagai air pendingin (cooling water). Penukar panas dirancang sebisa mungkin agar
perpindahan panas antar fluida dapat berlangsung secara efisien. Pertukaran panas
terjadi karena adanya kontak, baik antara fluida terdapat dinding yang
memisahkannya maupun keduanya bercampur langsung (direct contact). Penukar
panas sangat luas dipakai dalam industri seperti kilang minyak, pabrik kimia maupun
petrokimia, industri gas alam, refrigerasi, pembangkit listrik. Salah satu contoh
sederhana dari alat penukar panas adalah radiator mobil di mana cairan pendingin
memindahkan panas mesin ke udara sekitar
Proses perpindahan panas tersebut dapat dilakukan secara langsung dan tidak
langsung. Maksudnya ialah:
1. Alat Penukar Panas Kontak Langsung
Pada alat ini fluida yang panas akan bercampur secara langsung dengan fluida
dingin (tanpa adanya pemisah) dalam suatu bejana atau ruangan. Misalnya
ejector, daerator dan lain-lain.
2. Alat penukar panas kontak tak langsung.Pada alat ini fluida panas tidak
berhubungan langsung (indirect contact) dengan fluida dingin. Jadi proses
perpindahan panasnya itu mempunyai media perantara, seperti pipa, plat, atau
peralatan jenis lainnya. Misalnya kondensor, ekonomiser air preheater dan lain-
lain.

Gambar 2.18 Mekanisme Kondisi Proses Heat Exchanger


Keterangan:
T1 = Temperatur Inlet Fluida Panas
T2 = Temperatur Outlet Fluida Panas
t1 = Temperatur Inlet Fluida Dingin
t2 = Temperatur Outlet Fluida Panas
5.2.3 Fungsi Heat Exchanger
Heat Exchanger (HE) berfungsi memindahkan panas dari satu system ke
system yang lain tanpa terjadi perpindahan massa dari system yang satu kesistem
yang lain. Dalam Proses Industri , perpindahan panas diantara dua fluida biasanya
dilakukan dalam Heat Exchanger (alat penukar panas), oleh karena pada prosesnya
terjadi kontak tidak langsung antara fluida panas dengan fluida dingin yang
dipisahkan oleh dinding pipa atau permukaan lengkung dinding pipa.
Berdasarkan fungsi dari alat penukar panas dapat dibedakan:
1. Cooler: berfungsi sebagai pendingin untuk menurunkan suhu suatu fluida
proses tanpa adanya perubahan fase. Sebagai pendingin digunakan air, udara
atau fluida dingin lainnya.
2. Condensor: Berfungsi pengembunan untuk merubah fase uap menjadi fase cair
dengan bantuan fluida dingin yang suhunya sesuai titik embunnya. Dapat
dipakai air atau udara yang suhunya sesuai.
3. Heater: Berfungsi pemanasan untuk menaikkan suhu suatu fluida proses tanpa
adanya perubahan fase , sebagai pemanas digunakan steam atau fluida panas
yang lain.
4. Reboiler: Berfungsi penguapan untuk merubah fase cair menjadi fase uap
dengan bantuan fluida panas yang suhunya sesuai titik didihnya, dapat dipakai
steam terutama yang belum teruapkan pada suatu bottom product untuk
dikembalikan ke kolom fraksinasi dengan bantuan fluida panas yang sesuai
dengan suhu titik didihnya.
5. Vaporizer: Berfungsi penguapan seluruhnya menjadi uap.
6. Evaporator : Berfungsi penguapan pelarut (solvent) dari larutan dan
memperoleh larutan yang pekat.
5.2.4 Efektivitas Heat Exchanger
Menurut Incropera dan Dewitt (1981), efektivitas suatu heat exchanger
didefinisikan sebagai perbandingan antara perpindahan panas yang diharapkan
(nyata) dengan perpindahan panas maksimum yang mungkin terjadi dalam heat
exchanger tersebut. Secara umum pengertian alat penukar panas atau heat exchanger
(HE), adalah suatu alat yang memungkinkan perpindahan panas dan bisa berfungsi
sebagai pemanas maupun sebagai pendingin. Biasanya, medium pemanas dipakai uap
lewat panas (super heated steam) dan air biasa sebagai air pendingin (cooling water).
Penukar panas dirancang sebisa mungkin agar perpindahan panas antar fluida
dapat berlangsung secara efisien. Pertukaran panas terjadi karena adanya kontak, baik
antara fluida terdapat dinding yang memisahkannya maupun keduanya bercampur
langsung begitu saja. Penukar panas sangat luas dipakai dalam industri seperti kilang
minyak, pabrik kimia maupun petrokimia, industri gas alam, refrigerasi,pembangkit
listrik. Salah satu contoh sederhana dari alat penukar panas adalah radiator mobil
dimana cairan pendingin memindahkan panas mesin ke udara sekitar.
6 Permasalahan yang Terjadi pada Heat Exchanger
Penggunaan heat exchanger secara terus menerus akan menimbulkan
permasalahan. Permasalahan yang sering timbul pada heat exchanger pada umumnya
adalah sebagai berikut:
1. Masalah yang berkaitan dengan proses
- Penurunan performa karena pengotoran (fouling) sehingga target
temperatur yang diinginkan tidak tercapai.
- Perubahan distribusi aliran dalam proses sehingga dapat menyebabkan
terjadinya penyimpangan aliran pada shell atau tube.
- Perubahan physical properties fluida yang mengalir pada shell atau tube
akibat perubahan komposisi crude atau fluidanya sendiri terutama yang
langsung mempengaruhi koefisien perpindahan panasnya seperti viskositas,
thermal conductivity, dan specifications.
2. Masalah yang berkaitan dengan mekanikal
- Kerusakan pada bagian peralatan heat exchanger.
- Korosi
- Gasket bocor
- Berkurangnya luas area tube karena ada sebagian tube yang ditutup/diplug
2.4 Fouling
Fouling dapat didefinisikan sebagai pembentukan deposit pada permukaan alat
penukar panas yang dapat menghambat perpindahan panas dan meningkatkan
hambatan aliran fluida pada alat penukar panas tersebut. Lapisan fouling dapat
berasal dari partikel-partikel atau senyawa lainnya yang tersangku\\\\\\\\\\\\\\t oleh
aliran fluida. Pertumbuhan lapisan tersebut dapat meningkat apabila permukaan
deposit yang terbentuk mempunyai sifat adhesif yang cukup kuat. Gradien temperatur
yang cukup besar antara aliran dengan permukaan dapat juga meningkatkan
kecepatan pertumbuhan deposit. Pada umumnya proses pembentukan lapisan fouling
merupakan fenomena yang sangat kompleks sehingga sukar untuk dianalisa secara
analitik. Mekanisme pembentukan fouling sangat beragam dan metode-metode
pendekatannya juga berbeda-beda.
Berdasarkan proses terbentuknya endapan atau kotoran, fouling dibagi menjadi lima
jenis yaitu:
1. Precipitation fouling
Pengotoran jenis ini biasanya terjadi pada fluida yang mengandung garam-
garam yang terendapkan pada suhu tinggi seperti garam, kalsium, sulfat dll.
Akibatnya zat padat dalam larutan menjadi mengendap dan menimbulkan
kotoran.
2. Particulate fouling
Pengotoran ini terjadi akibat pengumpulan partikel-partikel padat yang terbawa
oleh fluida di atas permukaan perpindahan panas seperti debu, pasir dll.
3. Chemical reaction fouling
Pengotoran ini terjadi akibat adanya reaksi kimia di dalam fluida yang terjadi di
atas permukaan perpindahan panas dimana material bahan permukaan
perpindahan panas tidak ikut bereaksi.Contohnya adalah reaksi polimerisasi.
4. Corrosion fouling
Pengotoran ini terjadi akibat reaksi kimia antara fluida kerja dengan material
bahan permukaan perpindahan panas.
5. Biological fouling
Pengotoran ini berhubungan dengan aktifitas organisme biologis yang terdapat
atau terbawa dalam aliran fluida seperti lumut, jamur dll.
Pada umumnya mekanisme terjadinya fouling, pembentukan dan pertumbuhan
deposit, terdiri dari:
1. Initiation yaitu pada periode kritis dimana temperatur, konsentrasi, dan gradien
kecepatan dari zona deplesi oksigen dan kristal terbentuk dalam waktu yang
singkat.
2. Transport partikel ke permukaan
- Infaction : secara mekanik
- Diffusion : secara turbulen
- Thermophoresis dan Electrophoresis
3. Adhesi dan kohesi pada permukaan.
4. Migration yaitu perpindahan foulant (bahan atau senyawa penyebab fouling)
menuju ke permukaan dan berbagai mekanisme perpindahan difusi.
5. Attachment yaitu awal dari terbentuknya lapisan deposit.
6. Transformation or Aging yaitu periode kritis dimana perubahan fisik maupun
struktur kimia atau kristal dapat meningkatkan kekuatan dan ketahanan lapisan.
7. Removal or Re-entraiment yaitu perpindahan lapisan fouling dengan cara
pemutusan, erosi, dan spalling.
Penyebab terjadinya fouling pada heat exchanger adalah adanya pengotor berat
(hard deposit) yaitu kerak keras yang berasal dari hasil korosi atau coke keras dan
pengotor berpori (porous deposit) yaitu kerak lunak yang berasal dari dekomposisi
kerak keras. Terjadinya fouling dipengaruhi oleh temperatur yang tinggi, lamanya
waktu tinggal, flow velocity, dan material konstruksi. Adanya fouling dalam alat
penukar panas sangat merugikan karena dapat menurunkan efisiensi perpindahan
panas, sehingga perlu dilakukan tindakan-tindakan pencegahan seperti menggunakan
bahan konstruksi yang tahan terhadap korosi, menekan potensi fouling misalnya
dengan melakukan penyaringan, menginjeksikan anti foulant pada fluida dan
menempatkan nozzle (shell side dan tube side) di permukaan terendah atau tertinggi
pada heat exchanger untuk menghindari terjadinya kantung-kantung gas ataupun
kantung volume fluida diam.
Jika telah terjadi fouling di dalam heat exchanger maka sebaiknya dilakukan
pembersihan (cleaning). Ada 3 tipe cleaning yang mungkin dilakukan pada heat
exchanger ini, yaitu:
1. Chemical/Physical Cleaning
Chemical Cleaning adalah suatu metode pembersihan dengan mensirkulasikan
agent melalui peralatan, biasanya menggunakan HCl 5-10%.
2. Mechanical Cleaning
Ada 3 tipe mechanical cleaning yang biasa dilakukan yaitu :
- Drilling atau Turbining
Pembersihan ini dilakukan dengan mengedrill deposit yang menempel pada
dinding tube. Pembersihan ini paling dianjurkan untuk tube yang tertutup
total.
- Hydro jeting
Pembersihan ini dilakukan dengan cara menginjeksikan air ke dalam tube
pada tekanan tinggi, untuk jenis deposit yang lunak.
- Sand blasting
Pembersihan ini dilakukan dengan cara menyemprotkan campuran air
dengan pasir ke dalam tube pada tekanan tinggi.
3. Gabungan dari keduanya
Merupakan gabungan dari chemical cleaning diikuti dengan mechanical
cleaning. Pembersihan dengan cara ini pada kondisi tertentu dapat menigkatkan
efektivitas pembersihan.
Ada beberapa cara untuk mengurangi Fouling pada Heat
Exchanger, antara lain:
a. Pemilihan Heat exchanger (HE) yang Tepat.
Penggunaan beberapa tipe HE tertentu dapat mengurangi pembentukan
fouling di karenakan area dead space yang lebih sedikit dibandingkan dengan
tipe yang lainnya, seperti plate dan spiralheat exchanger, namun begitu jenis
HE tersebut hanya dapat menangani design pressure sampai 20 – 25 bar dan
designtemperature 250 ℃ (plate) dan 400 ℃ (spiral).
b. Gunakan Diameter Tube yang Lebih Besar.
STHE umumnya didesain dengan ukuran tube dari 20 mm atau 25 mm, untuk
penggunaan fluida yang kotor (fouling resistance > 0.0004 h-m2 C/kal)
gunakan tube dengan diameter (minimum) 25 mm (outside diameter, OD).
c. Kecepatan Tinggi
Seperti yang telah di jelaskan di atas bahwa pada kecepatan tinggi, fouling
dapat dikurangi, koefisien heat transfer juga akan semakin tinggi, namun
demikian mengoperasikan HE dengan kecepatan tinggi mengakibatkan
pressure drop yang tinggi pula serta terjadinya erosi, kenaikan pressure drop
lebih cepat dari pada kenaikan koefisien perpindahan panas, maka perlu dicari
kecepatan yang optimum.
d. Margin Pressure Drop yang Cukup.
Pada HE yang digunakan untuk fluida yang berpotensi membentuk fouling
yang tinggi, disarankan untuk menggunakan margin 30 – 40 % antara pressure
drop yang diijinkan (allowable) dengan pressure drop yang dihitung
(calculated) hal ini dilakukan untuk antisipasi pressure drop yang tinggi akibat
penggunakan kecepatan yang tinggi.
e. Gunakan Tube Bundle dan Heat exchanger Cadangan.
Jika penggunaan HE untuk fluida yang berpotensi membentuk fouling yang
sangat ekstrim, maka tube bundle candangan sebaiknya digunakan. Jika
fouling telah terjadi cukup cepat (setiap 2 – 3 bulan) maka sebaiknya
digunakan HE cadangan. STHE cadangan juga diperlukan untuk tipe STHE
Fixed tube sheet (pembentukan fouling yang tinggi pada tube, seperti pada
reboiler thermosiphon vertikal yang menggunakan fluida polimer seperti pada
Butadiene plant).
f. Gunakan 2 Shell yang Disusun Secara Paralel.
Dengan penggunaan STHE dimana Shell disusun secara paralel, maka jika
salah satu STHE telah terjadi penumpukan (akumulasi) fouling (dimana
STHE tersebut diservice) maka STHE yang satunya lagi dapat digunakan,
walaupun tentunya terjadi penurunan output, sebaiknya kapasitas yang
digunakan masing- masing antara 60 – 70 % dari kapasitas total.
g. Gunakan Wire Fin Tube.
Penggunaan Wire fintube dapat mengurangi terbentuknya fouling, pada
awalnya penambahan wire fintube ini digunakan untuk meningkatkan
perpindahan panas tube pada aliran laminar. Wire fin dapat menaikkan
pencampuran radial (radial mixing) dari dinding tube hingga kebagian centre
(tengah), efek gerakan pengadukan inilah yang dapat meminimalisasikan
deposit pada dinding tube.
h. Gunakan Fluidized Bed HE
HE tipe ini dapat menghandle fouling yang ekstrim. Apabila Fluida kotor
ditempatkan pada shell.
i. Gunakan U-Tube atau Floating head.
Kelemahanan penggunaan U tube adalah kesulitan pembersihan pada bagian
U.
j. Gunakan Susunan tube secara Square atau Rotate Square.
Susunan square menyediakan akses yang lebih sehingga cleaning HE secara
mechanical dengan menggunakan Rodding atau hydrojetting baik pada
susunan triangle, namun begitu tubeyang disusun secara square memberikan
koefisien heat transfer yang rendah, untuk situasi seperti ini , maka rotate
square dapat digunakan.
k. Meminimalisasikan Dead Space dengan Desain Baffle secara Optimum.
STHE lebih mudah mengalami Fouling dikarenakan adanya dead space, oleh
sebab itu , penentuan jarak antar baffle (baffle spacing) dan baffle cut
sangatlah penting, kedua variable tersebut sangat berpengaruh dalam pentuan
besar kecilnya koefisien perpindan panas pada shell. Nilai Baffle cut
sebaiknya digunakan antara 20 -30 %, dimana baffle cut sebesar 25 % adalah
nilai yang cukup baik sebagai starter. Untuk perpindahan panas yang hanya
melibatkan panas sensible (seperti heater atau cooler) disarankan tidak
menempatkan posisi baffle secara vertikal, untuk perpindahan panas yang
melibatkan panas laten atau terjadinya perubahan fase (seperti condenser,
vaporizer) disarankan untuk menempatkan posisi baffle secara vertikal.
l. Kecepatan Tinggi
Sama seperti pada tube, pengunaan kecepatan tinggi pada shell akan dapat
mengurangi pembentukan fouling, dan dapat menaikkan koefisien
perpindahan panas shell. Kecepatan pada shell umumnya (disamping faktor
lain seperti tube pitch dan lain –lain) dipengaruhi oleh diameter shell dan
baffle spacing.
m. Gunakan Tube Pitch yang Lebih Besar untuk Fouling yang Lebih Tinggi.
Umumnya tube pith yang digunakan adalah sebesar 1.25 kali dari OD untuk
triangular pitch dan 6 mm lebih dari OD untuk square.
2.5 Analisa Performance Heat Exchanger
Untuk menganalisa performance suatu heat exchanger, diperlukan
beberapaparameter yang meliputi clean overall koefisien (Uc), dirt overall coefficient
(Ud).
1. Clean Overall Coefficient (Uc)
Clean overall coefficient adalah koefisien perpindahan panas menyeluruh pada
awal heat exchanger dipakai (masih bersih). Harga Uc ditentukan oleh besarnya
tahanan konveksi ho dan hio, sedangkan tahanan konduksi diabaikan karena sangat
kecil bila dibandingkan dengan tahanan konveksi.
ℎ𝑖0 × ℎ0
𝑈𝑐 =
ℎ𝑖0 + ℎ0
2. Design Overall Coefficient (Ud)
Merupakan koefisien perpindahan panas menyeluruh setelah terjadi pengotoran
pada heat exchanger.Besarnya Ud lebih kecil dari Uc.
𝑄
𝑈𝑐 =
𝐴 × 𝐿𝑀𝑇𝐷
3. Heat Balance
Bila panas yang diterima fluida jauh lebih kecil dari pada panas yang dilepas
fluid apanas berarti kehilangan panasnya besar dan ini mengurangi performance suatu
heat exchanger.
𝑄 = 𝑀 × 𝐶𝑝ℎ × (𝑇1 − 𝑇2 )
𝑄 = 𝑀 × 𝐶𝑝ℎ × (𝑡2 − 𝑡1 )
4. Pressure Drop (ΔP)
Untuk mengetahui sejauh mana fluida dapat mempertahankan tekanan yang
dimilikinya selama fluida mengalir.Pressure drop pada suatu heat exchanger dapat
disebabkan oleh dua hal yaitu karena adanya friksi yang disebabkan oleh aliran
danpembelokan aliran.Pressure drop yang tinggi dapat disebabkan oleh jarak antar
baffle yang terlalu dekat dan tentu tidak diharapkan karena meningkatnya biaya
operasi. Kehilangantekanan yang besar dapat menyebabkan aliran fluida secara
alamiah terhambat sehingga memerlukan bantuan pompa. Namun jika pressure drop
terlalu rendah dapat mengakibatkan perpindahan panas tidak sempurna.
Tabel 2.3 Pressure Drop yang Diizinkan untuk Fluida Liquid (per shell)
Viskositas ∆P Shell yang diizinkan ∆P tube

(cP) (psi) (psi)

<1 2,5 5

1–5 5 7,5

5 – 15 7,5 10

25 – 50 10 15
> 50 Consult mechanical group

5. Fouling factor (Rd)


Setelah dipakai beberapa lama, permukaan perpindahan panas suatu alat
penukar panas mungkin dilapisi oleh berbagai endapan yang biasanya terdapat sistem
cairan atau permukaan itu mungkin mengalami korosi sebagai akibat interaksi antara
fluida dengan bahan yang digunakan dalam konstruksi penukar panas. Dalam kedua
hal ini diatas, lapisan ini memberikan tahanan tambahan terhadap aliran panas, dan
hal ini menyebabkan menurunnya kemampuan kerja alat itu. Pengaruh menyeluruh
daripada hal tersebut biasa dinyatakan dengan faktor pengotoran (fouling factor) atau
tahanan pengotoran (Rd) yang harus diperhitungkan bersama tahanan thermal lainnya
dalam menghitung koefisien perpindahan panas menyeluruh.Faktor pengotoran
didapatkan dari percobaan yaitu dengan menentukan Uc dan Ud.
𝑈𝑐 − 𝑈𝑑
𝑅𝑑 =
𝑈𝑐 × 𝑈𝑑
Bila Rd (deposit) > Rd (allowed) maka alat penukar panas tersebut perlu

6.2 Pengumpulan Data


Sampel data yang akan evaluasi merupakan data bulan Oktober, November dan
Desember tahun 2018. Evaluasi yang dilakukan adalah untuk mengetahui
efektifitas/performa Heat Exchanger. Data yang akan dianalisa yaitu data Heat Duty
desain dan actual dan data Temperatur Fluida Proses desain dan actual pada Cooling
Water (6A-128-C, 6A-124-C1/C2, 6A-101-JC1, dan 6A-101-JC2) Unit Ammonia P-
IIB, seperti yang ditunjukkan pada tabel 3.1 sampai 3.4 berikut.
Tabel 5.1 Heat Duty dan Temperatur Plate HE 6A-128-C Unit Ammonia P-IIB

Temperatur Fluida Proses


Heat Duty
Bulan (℃)
(MW)
Design Aktual
Design Aktual In Out In Out
Oktober 2,10 0,005 99,8 38 66,3 35,1
November 2,10 4,57 99,8 38 65,4 35,6
Desember 2,10 3,71 99,8 38 65,3 33,2

Tabel 5.2 Heat Duty dan Temperatur Plate HE 6A-124-C1/C2 Unit Ammonia P-IIB
Temperatur Fluida Proses
Heat Duty
(℃)
Bulan (MW)
Design Aktual
Design Aktual In Out In Out
Oktober 22,40 17,75 88,3 38 77,5 35,6
November 22,40 25,26 88,3 38 77,2 35,8
Desember 22,40 27,00 88,3 38 77,3 35,2

Tabel 5.3 Heat Duty dan Temperatur Plate HE 6A-101-JC1 Unit Ammonia P-IIB

Temperatur Fluida Proses


Heat Duty
(℃)
Bulan (MW)
Design Aktual
Design Aktual In Out In Out
Oktober 8,94 -37,98 163,1 38 90,6 35,6
November 8,94 9,27 163,1 38 85,6 34,2
Desember 8,94 11,44 163,1 38 86,5 34,4

Tabel 5.4 Heat Duty dan Temperatur Plate HE 6A-101-JC2 Unit Ammonia P-IIB

Temperatur Fluida Proses


Heat Duty
Bulan (℃)
(MW)
Design Aktual
Design Aktual In Out In Out
Oktober 7,34 -25,58 166 38 38 35,1
November 7,34 7,04 166 38 98,2 38,9
Desember 7,34 6,78 166 38 98,6 38,5

6.3 Pembahasan
Mekanisme perpindahan panas yang terjadi pada Heat Exchanger berupa
konduksi dan konveksi. Pada Heat Exchanger perpindahan panas secara konduksi
terjadi pada dinding pipa atau tube yaitu dari bagian luar dinding ke bagian dalam
atau sebaliknya. Perpindahan secara konveksi adalah perpindahan energi panas dari
bagian fluida yang panas ke bagian fluida dingin dengan pencampuran, ketika fluida
dingin mulai menerima aliran panas dari fluida panas setelah aliran panas tersebut
melewati dinding-dinding pipa secara konduksi, maka didalam fluida dingin akan
terjadi perpindahan panas secara konveksi karena pencampuran sampai temperature
di fluida dingin seragam.
Heat duty digunakan untuk mengetahui besarnya panas yang dapat ditransfer
dari fluida panas ke fluida dingin pada HE. Nilai heat duty desain merupakan nilai
performa panas yang dimiliki oleh unit penukar panas (heat exchanger) yang
diperoleh dari data perancangan peralatan heat exchanger. Heat duty desain sering
juga dikenal dengan heat duty maksimum, menunjukkan nilai ambang batas
maksimum performa panas heat exchanger. Heat exchanger dapat dikatakan efisien
apabila nilai heat duty aktual tidak lebih dari nilai heat duty desain. Semakin kecil
nilai heat duty aktual yang diperoleh maka efisiensi heat exchanger semakin baik.
Heat duty dapat dihitungan dengan menggunakan rumus:
𝑄 = 𝑀 × 𝐶𝑝ℎ × (𝑇1 − 𝑇2 )
𝑄 = 𝑀 × 𝐶𝑝ℎ × (𝑡2 − 𝑡1 )
Apabila nilai heat duty aktual lebih besar dari nilai heat duty desain, bukan
berarti heat exchanger tidak layak lagi untuk digunakan, namun dilakukan
pendekatan dengan menganalisis temperature aktual inlet dan outlet fluida proses
terhadap temperature desain-nya. Performa heat exchanger yang baik akan
memberikan nilai ∆T aktual yang tidak melebihi ∆T desain fluida proses.
Fouling factor merupakan suatu parameter yang menunjukkan besarnya faktor
pengotor dalam alat penukar panas yang diakibatkan terbentuknya lapisan yang
memberikan tahanan tambahan terhadap aliran panas (mempengaruhi heat duty).
Lapisan ini dimungkinkan berasal dari korosi pada bahan konstruksi heat exchanger
atau endapan yang terdapat dalam heat exchanger setelah heat exchanger dipakai
untuk beberapa lama. Oleh karena itu peran dari dilaksanakannya Turn Around (TA)
sangatlah penting untuk membersihkan endapan endapan yang terdapat pada HE 6A-
101-JC2, 6A-101-JC3, 6A-116-C dan 6A-115-C.
6.3.3 Heat Duty HE HE 6A-128-C Unit Ammonia P-IIB
Analisa pada unit HE 6A-128-C menunjukkan bahwa performa heat
exchanger menurun pada bulan November, terjadi peningkatan nilai head duty actual.
Peningkatan nilai head duty aktual ini dikarenakan masa pakai peralatan dan
terdapatnya faktor pengotor (fouling factor) yang mempengaruhi proses perpindahan
panas didalam heat exchanger. Fouling merupakan proses terbentuknya deposit
material pada permukaan peralatan. Fouling yang terjadi pada Heat Exchanger dapat
menurunkan kinerja Heat Exchanger karena pada umumnya fouling memiliki
konduktivitas yang lebih rendah dibanding material aslinya sehingga dapat
menurunkan harga koefisien perpindahan panas (U). Efisiennya kondisi heat
exchanger dikarenakan masa penggunaannya yang masih baru, mengingat umur
pabrik yang belum lama.

6.3.4 Heat Duty HE 6A-124-C1/C2 Unit Ammonia P-IIB


Sama halnya dengan 6A-128-C, pada HE 6A-124-C1/C2 nilai heat duty
pada bulan November dan Desember meningkat melebihi ambang batas maksimum
nilai heat duty desain. Peningkatan nilai head duty ini disebabkan karena masa pakai
peralatan dan terdapatnya faktor pengotor, sama halnya dengan HE 6A-101-JC2.
Menurunnya harga koefisien perpindahan panas menyebabkan efektifitas dari heat
exchanger berkurang. Terdapatnya Biological contamination menyebabkan
terbentuknya lendir (slime) yang dapat berkembang pada hampir di seluruh bagian
dari sistem cooling water. Mikroorganisme yang tumbuh dan berkembang merupakan
deposit (foul) yang dapat mengakibatkan korosi lokal, penyumbatan dan penurunan
efisiensi perpindahan panas. Penggunaan air yang memenuhi persyaratan dapat
mencegah timbulnya masalah-masalah dalam sistem cooling water.
6.3.5 Heat Duty HE 6A-101-JC1 Unit Ammonia P-IIB
Performa HE 6A-101-JC1 masih sama halnya dengan yang sebelumnya, nilai
heat duty pada bulan November dan Desember meningkat melebihi ambang batas
maksimum nilai heat duty desain. Perbedaan nilai ΔT juga berpengaruh pada
perbedaan nilai duty antara hasil actual dengan desain. Nilai ΔT pada data actual
lebih kecil dibandingkan nilai ΔT data desain, berarti nialai ΔT pada bulan November
tidak mempengaruhi performance duty heat pada alat heat exchanger.
Perbedaan yang terdapat antara heat duty desain dengan actual ini juga
disebabkan oleh laju alir dari feed yang lebih kecil dari pada laju alir pada desain.
Hubungan antara heat duty dengan besarnya laju alir dapat dilihat pada persamaan
berikut :

Q = M . Cp . ΔT

Dari persamaan tersebut, terlihat bahwa M berbanding lurus dengan Q (heat duty),
sehingga semakin kecil laju alir umpan maka harga Q juga akan semakin kecil.
Peningkatan nilai head duty aktual ini dikarenakan masa pakai peralatan dan
terdapatnya faktor pengotor (fouling factor) yang mempengaruhi proses perpindahan
panas didalam heat exchanger. Efisiensi heat exchanger ditentukan oleh umur pakai
dari peralatan tersebut. Semakin lama umur pakainya, maka efektifitas dari heat
exchanger akan berkurang karena fouling akan menumpuk, apabila tidak dilakukan
pembersihan maka fouling akan mendominasi heat exchanger. Oleh karena itu peran
dari dilaksanakannya Turn Around (TA) sangatlah penting untuk membersihkan
endapan endapan yang terdapat pada heat exchanger.
6.3.6 Heat Duty HE HE 6A-101-JC2 Unit Ammonia P-IIB
Analisa pada unit HE 6A-101-JC2 menunjukkan bahwa performa heat
exchanger masih baik dan layak untuk digunakan. Selama tiga bulan, terjadi
peningkatan nilai head duty aktual, namun tidak ada yang melebihi nilai heat duty
desain. Meningkatnya nilai heat duty aktual menyebabkan menurunnya harga
koefisien perpindahan panas dan menyebabkan efektifitas dari heat exchanger
berkurang. Hal ini masih disebabkan karena korosi dan fouling factor yang terdapat
dalam heat exchanger. Jenis fouling yang terdapat dalam heat exchanger berupa
korosi peralatan heat exchanger, endapan yang terbawa saat proses dan juga slime
yang terbentuk akibat aktivitas mikroorganisme. Selain meninjau dari nilai heat duty
untuk menentukan performa heat exchanger, analisa nilai ∆T aktual dan ∆T desain
juga dipertimbangkan. Berdasarkan analisa, walaupun nilai heat duty meningkat dan
melewatis batas head duty desain maksimum, namun ∆T aktual masih kecil dari dari
∆T desain sehingga performa heat exchanger dikategorikan baik.
BAB VI
KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
1. Nilai Heat Duty aktual pada Heat Exchanger HE 6A-128-C selama bulan
Oktober, Desember besar dari Heat Duty desain dan terjadi peningkatan pada
bulan November, namun ∆T masih menunjukkan data yang efisien yang
menandakan bahwa Heat Exchanger HE 6A-128-C memiliki performance yang
bagus.
2. Nilai Heat Duty aktual pada Heat Exchanger 6A-124-C1/C2 selama bulan
Oktober, Desember besar dari Heat Duty desain dan terjadi peningkatan pada
bulan November, namun ∆T masih menunjukkan data yang efisien yang
menandakan bahwa Heat Exchanger 6A-124-C1/C2 memiliki performance
yang bagus.
3. Nilai Heat Duty aktual pada Heat Exchanger HE 6A-101-JC1 selama bulan
Oktober hingga Desember terus meningkat melampaui Nilai Heat Duty desain
namun ∆T masih menunjukkan data yang efisien yang menandakan bahwa
Heat Exchanger 6A-101-JC3 memiliki performance yang bagus.
4. Nilai Heat Duty aktual pada Heat Exchanger HE 6A-101-JC2 selama bulan
Oktober, November dan Desember kecil dari Heat Duty desain yang
menandakan bahwa Heat Exchanger HE 6A-101-JC2 memiliki performance
yang bagus.

5.2 Saran
Berdasarkan analisa penulis, dilaksanakannya Turn Around (TA) sangatlah
penting untuk membersihkan endapan endapan (fouling) yang terdapat pada heat
exchanger. Cleaning dianjurkan tidak menggunakan metode Chemical Cleaning
karna penambahan bahan-bahan kimia akan mengganggu proses. Untuk itu,
Mechanical Cleaning sangat dianjurkan untuk cleaning heat exchanger, seperti:
1. Drilling atau Turbining
Pembersihan ini dilakukan dengan mengedrill deposit yang menempel pada
dinding tube. Pembersihan ini paling dianjurkan untuk tube yang tertutup total.
2. Hydro jeting
Pembersihan ini dilakukan dengan cara menginjeksikan air ke dalam tube pada
tekanan tinggi, untuk jenis deposit yang lunak.
3. Sand blasting
Pembersihan ini dilakukan dengan cara menyemprotkan campuran air dengan
pasir ke dalam tube pada tekanan tinggi.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Pada bulan Oktober nilai heat duty actual lebih kecil dibandingkan nilai heat

duty desain, ini menandakan performa alat heat exchanger pada bulan

Oktober masih bagus.


2. Pada bulan November nilai heat duty actual lebih besar dibandingkan nilai

heat duty desain, ini menandakan performa alat heat exchanger yang sudah

mulai berkurang.

3. Pada bulan Desember terdapat dua alat heat exchanger yang nilai heat duty

actual lebih besar dari nilai heat duty desain dan dua alat heat exchanger

mempunyai nilai heat duty actual yang lebih kecil dari nilai heat duty desain.

4.2 Saran

Cara untuk mengurangi fouling salah satunya dengan menggunakan

mechanical cleaning, yaitu dengan menembakkan water jet ke dalam alat heat

exchanger. Cara yang lain adalah dengan chemical cleaning yaitu mensirkulasikan

bahan kimia. Bahan kimia yang sirkulasikan tergantung dari zat-zat yang

terakumulasi dalam terjadinya fouling.

Pengendalian korosi dapat dilakukan dengan cara menambahkan bahan kimia

yang berfungsi sebagai inhibitor (penghambat). Inhibitor yang umum dipakai adalah

polifosfat, kromat, dikromat, silikat, nitrat ferrosianida dan molibdat. Dosis inhibitor

yang digunakan harus tepat, karena suatu inhibitor hanya dapat bekerja efektif setelah

kadarnya mencapai harga tertentu. Kadar minimum yang dibutuhkan oleh suatu

inhibitor agar dapat bekerja secara efektif disebut batas kritis. Pemakaian inhibitor

yang melebihi batas kritis akan menambah biaya operasi. Jika kadar inhibitor turun

dibawah batas kritis, bukan saja menjadi tidak efektif, tetapi dapat pula menyebabkan

pitting.

Anda mungkin juga menyukai