Obstruksi usus merupakan penyebab 15% dari kunjungan ke unit gawat darurat akibat
nyeri perut. Beberapa komplikasi yang dapat muncul dari penyakit ini adalah iskemia dan
perforasi usus yang merupakan prognosis buruk yang nyata.
Morbiditas dan mortalitas penyakit ini telah menurun dengan kemajuan teknologi
medis. Dengan peralatan medis penunjuang diagnostik yang lengkap pun, masih merupakan
perkara yang sulit untuk mendiagnosis ileus obstruktif.
Artikel ini selanjutnya akan membahas mengenai ileus obstruktif dan tatalaksananya
dalam praktik sehari-hari di fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Hal ini disebabkan oleh munculnya respon simpatis akibat stress yang diakibatkan
pada pembedahan atau trauma. Selain stress pada jaringan, keluarnya mediator inflamasi
serta efek samping dari pemberian obat analgesic dapat turut menyumbang kausa terjadinya
ileus obstruktif.
Jadi perlu diperhatikan riwayat pembedahan pada pasien yang baru saja menjalani
pembedahan atau trauma abdomen. Setelah masalah bedah berhasil ditangani, ileus biasanya
tidak kembali sampai 24 jam setelah pembedahan.
Normalnya ileus dapat muncul bahkan tiga sampai lima hari setelah pembedahan.
Monitoring munculnya kembali ileus harus ditunjukkan dari kemampuan pasien untuk kentut
dan bukan kembalinya suara usus saat pemeriksaan auskultasi.
Anamnesis juga harus meliputi kausa-kausa lain dalam ileus obstruktif. Jika pasien
baru saja mual muntah banyak, atau diare, keseimbangan elektrolit dapat terganggu dan
pemeriksaan serum elektrolit menjadi rujukan selanjutnya.
Infeksi dan inflamasi juga menjadi salah satu kausa tertinggi dari ileus obstruktif.
Anamnesis batuk dan gejala respiratorik dapat mengarah pada pneumonia. Tanda-tanda
klasik inflamasi dan infeksi seperti demam juga perlu untuk ditanyakan pada anmnesis.
Obat-obatan yang dikonsumsi juga bisa menjadi faktor penyebab ileus obstruktif.
Beberapa pasien dengan kanker yang diberikan opioid sebagai anti-nyeri dapat menyebabkan
terdepresinya pasase dari usus. Penyakit lain yang harus diwaspadai terapinya dapat
menyebabkan ileus adalah hipertensi dengan pemberian calcium channel blocker, dan depresi
dengan pembeian antidepresan triskilik.
Kausa lain yang lebih jarang adalah kanker pada abdomen, dengan angka kejadian
tertinggi pada kasus kanker kolon. Tanyakan riwayat kanker pada pasien atau jika belum
terdiagnosis dapat ditanyakan perubahan dari kebiasaan buang air besar pasien.
Walaupun begitu, setelah terapi awal, pasien yang dicurigai ileus harus dirujuk ke
fasilitas kesehatan tingkat lanjutan yang memiliki dokter bedah dan peralatan lebih canggih
untuk menegakkan diagnosis ileus.
Jika ileus telah didagnosis (di fasilitas kesehatang tingkat lanjut) kausa ileus juga
harus dihilangkan. Tatalaksana ileus yang bisa dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat primer
adalah:
4. Jika distensi abdomen berlebihan, pipa nasogastrik dapat dipasang untuk dekompresi
Jika dokter berada di tempat yang jauh dari fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, atau
pada saat perujukan tidak memungkinkan, ada tempat untuk melakukan penanganan secara
konservatif.
Jika pasien tidak stabil setelah usaha stabilisasi, maka merujuk adalah satu-satunya
opsi karena laparatomi eksploratif merupakan satu-satunya modalitas terapi. Salah satu tanda
tidak stabilnya pasien adalah shock yang berkelanjutan setelah terapi cairan karena terdapat
pendarahan intra-abdomen.
Setelah pemasangan pipa nasogastric dan pemberian cairan pasien menjadi stabil,
maka pasien kemungkinan menderita obstruksi total dan obstruksi parsial. Jika tidak bisa
merujuk, observasi pasien dalam 1-2 hari.
Jika dalam 1 sampai 2 hari ada perbaikan (pasien dapat BAB, suara usus menguat)
maka sarankan pasien untuk melakukan diet tinggi serat. Namun jika dalam 1 dan dua hari
pasien tidak mengalami perbaikan maka pasien harus segera dirujuk untuk dilakukan
laparatomi eksploratif.
Ketepatan waktu dalam merujuk serta penanganan awal pada ileus obstruktif menjadi
kunci utama dalam minimalisasi morbiditas dan mortalitas kasus ini. Saat dihadapkan pada
kasus ileus dokter umum harus memiliki pola pikir untuk sesegera mungkin merujuk pasien
ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut.
Hal ini dicerminkan dalam SKDI yang telah mengatur ileus sebagai kompetensi 2.
Kecuali disebabkan oleh kausa-kausa yang tidak memungkinan untuk rujukan, menahan
pasien di fasilitas kesehatan tingkat primer tidak disarankan.
Jika ada sebab-sebab yang tidak memungkinan rujukan terapi konservatif dapat
dicoba dengan mempuasakan pasien, memasang pipa nasogastric, terapi cairan yang agresif,
serta pemberian antibiotik. (RPG)
Referensi
1. Sabiston and Townsend, C. (2004). Sabiston textbook of surgery. Philadelphia: Elsevier
Saunders.
3. Dervisoglou, A. et al. (2005) ‘A causal factors and treatment of obstructive ileus in 369
patients’, Annali Italiani di Chirurgia, 76(5), pp. 477–480.