Anda di halaman 1dari 15

INISIASI 7

SOSIOLOGI FEMINIS dan POLITIK PERBEDAAN


Lahirnya Gerakan Feminis
Perjuangan kaum perempuan untuk memperoleh hak-haknya ini, awalnya seperti dikemukakan Jill
Vickers, berupa gerakan tersembunyi, sebagai gerakan bawah tanah dalam bentuk diskusi kecil, studi
artikel-artikel, lokakarya tentang metode dan penelitian feminis. Dorothy Smith, seorang sosiolog
Kanada, adalah orang yang memperjuangkan perjuangan agar kaum perempuan tampil dalam sosiologi.
Bukan sekedar menerima sosiologi yang sebelumnya disusun oleh laki-laki, akan tetapi juga
menggugatnya, serta menyusun sosiologi yang menyuarakan kepentingan kaum perempuan. Ketika hak-
hak kaum perempuan ini diterima, ketika studi perempuan masuk diperguruan tinggi, maka hal ini oleh
kaum perempuan ini dianggap sesuatu yang radikal. (Reinharz, 2005:13)
Era feminisme gelombang kedua ini, konsep gender masuk dalam agenda akademik. Pada periode
ini muncul perdebatan sengit tentang feminisme, konsekuensinya riset mengenai feminis tidak lagi
bersifat monolitik, baik dalam wacana ilmiah maupun aktivitasnya. Sylvia Walby mengemukakan adanya
teori sistem ganda (dual-system theory) pada masing-masing aliran feminis (Feminisme Liberal, Marxis,
feminis radikal, Marxis, Liberal) yang memberikan respon, mencari asal-usul ketidakadilan, serta
menawarkan solusi yang berbeda dalam menjawab apa penyabab ketidakadilan terhadap kaum
perempuan.
Feminisme gelombang ketiga melahirkan feminisme yang lebih plural, dan aliran yang muncul
tentu saja dipengaruhi oleh aliran filsafat (postmodern) yang sedang berkembang pada masa tiga
dasawarsa menjelang akhir Abad XX. Aliran feminisme yang muncul pada masa ini antara lain, feminis
postmodern, feminisme poskolonial, feminisme multicultural, ecofeminisme (feminisme lingkungan
hidup), dan feminisme global.
Teori dan Gerakan Feminis
Dalam tradisi Barat sejak Yunani dan tradisis Yahudi-Kristen sejak awal telah memuat pengertian-
pengertian atau konsep mengenai “kejantanan” (kelaki-lakian) dan “keperempuanan” yang menkonstruksi
dan mempengaruhi ide-ide tentang laki-laki dan perempuan. Ide-ide itu merupakan hasil pemikiran
manusia, dikonstruksi oleh sejarah, pengalaman, serta kebudayaannya. Dalam tradisi Barat, mulai jaman
Yunani sampai awal jaman modern para filsuf, ilmuwan, tokoh-tokoh Gereja, dan para professor di
universitas umumnya adalah laki-laki. Kaum perempuan tidak terlibat dalam membentuk perkembangan
filsafat dan ilmu pengetahuan, perempuan hanya menjadi bagian dari dunia yang dikonstruksi kaum laki-
laki (Smith & William Raeper, 2000, 228-230).
Sejak jamannya Plato, perempuan telah diposisikan sebagai warga kelas dua seperti dikemukakan
Simon de Beauvoir. Ide Plato mengenai jiwa rasional menguasai dan mengatur badan memuat di
dalamnya ide laki-laki yang mengatur perempuan. Ide bahwa laki-laki aktif dan perempuan pasif, laki-
laki rasional dan perempuan emosional telah dikembangkan sejak masa Yunani. Perempuan lalu
disimbolkan oleh sisi non-rasional dari tingkah laku manusia. Karena itu perempuan tidak perlu memiliki
akses ke dunia pendidikan dan cukup sebagai mesin produksi anak
Revolusi Amerika tahun 1776 dan Revolusi Perancis tahun 1789 yang muncul pada Zaman
Pencerahan (jaman hegemoni akal-budi), telah membangkitkan kesadaran akan persamaan hak
antarmanusia di samping perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Revolusi Amerika dengan “The
American Bill of Rights” memberikan hak-hak bagi individu; sementara semboyan revolusi
Perancis, Liberte, Fraternite, Egalite (kemerdekaan, persuadaraan, persamaan) mempunyai pengaruh
kuat bagi kemerdekaan dan hak-hak individu. Aliran rasionalisme Perancis mempunyai pengaruh besar
bagi pengangkatan hak-hak perempuan. Filsafat pencerahan menekankan lingkungan dan pendidikan
untuk mengatasi perbedaan-perbedaan antara jenis kelamin.
Pada abad ke-19 muncullah tuntutan untuk memperoleh hak bagi perempuan dalam mendapatkan
pendidikan yang lebih tinggi. Untuk memenuhi harapan ini Emily Davies mendirikan Girton College,
Cambridge, sebagai tempat pendidikan tinggi bagi kaum perempuan pada tahun 1869. Elizabeth Garett
Anderson menjadi doktor perempuan pertama pada tahun 1869. Millicent Fawcett menjadi tukang
kampanye pertama untuk pemilihan perempuan dan menyerahkan petisi pertama pada Dewan Perwakilan
tahun 1869. Tahun 1847 didirikan Universitas Queen‘s College di London, sebagai universitas untuk kaum
perempuan, dan Bedford College mengukutinya tahun 1849. Sementara Oxford baru membuka
kesempatan masuk bagi kaum perempauan tahun 1920, sedangkan Cambridge tahun 1947 (Smith &
William Raeper, 2000; 236-38).
Ada persamaan mendasar dalam semua gerakan feminis, yaitu upaya untuk menjawab dan
mengatasi masalah penindasan dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Namun ada pula perbedaan
tentang penyebab dan asal-usul ketidakadilan yang disebabkan oleh konstruksi sosial (gender) serta
bagaimana strategi untuk mengatasinya. Pemikiran yang mengemukakan tentang ketidakadilan terhadap
kaum perempuan sudah muncul sejak lama, sejak masa Yunani Kuno. Kesadaran perlunya penegakan hak
dan keadilan yang sama antara laki-laki dengan perempuan baru muncul dalam bentuk gerakan, khususnya
baru berkembang setelah zaman Pencerahan atau Modern. (Bandingkan dengan Islam yang sejak awal
kelahirannya yang membela hak kaum perempuan).

Aliran Feminisme Barat Modern


Aliran-aliran feminis terutama berkembang setelah Renaisans dan Pencerahan yang mulai
membicarakan tentang humanisme, hak asasi, serta gerakan emansipasi yang secara pelan-pelan mulai
menuntut persamaan hak antara kaum perempuan dengan laki-laki. Studi wanita pada umumnya
menyadari adanya hubungan yang asimetris atas jenis kelamin, ras, kelas dan gender dalam suatu
masyarakat serta upaya untuk mengatasi situasi tersebut menjadi situasi yang simetris.
Hubungan itu sering mengakibatkan tumpang tindih antara kegiatan feminis (perempuan) sebagai
gerakan politik dan studi feminis sebagai kegiatan akademis. Fokus studi perempuan awalnya menganalisis
fenomena perempuan dalam berbagai negara, suku, ras yang mengalami marginalisasi dan subordinasi
serta tidak mempunyai kekuatan dalam pengambilan keputusan politik yang semua itu merugikan wanita
dalam semua bidang kehidupannya. Sejalan dengan itu, berkembanglah aliran-aliran feminis dengan teori-
teori yang dikonstruksi atas pengalaman negara, suku, ras atau (konteks) sosial-budayanya.
Teori-teori tradisional sering dimodifikasi oleh kaum feminis untuk menjelaskan penindasan
terhadap perempuan dan kemudian mencantumkan persamaan perempuan ke dalam kerangka teoritis
masa lalu itu. Dengan cara inilah, kesetaraan perempuan dengan laki-laki ditekankan (Ollenburger & Helen
A. Moore, 1996:20). Alpha Behn (seperti Mary Wollstonecraft) mengemukakan bahwa perempuan
memiliki kapasitas akal budi yang sama dengan laki-laki. Oleh karena itu, wanita harus diberikan hak–hak
yang sama dengan laki-laki. Pernyataan Woolstonecraft dan Alpha Behn ini sebagai kritik terhadap
pandangan Rosseau yang menyatakan bahwa rasionalitas laki-laki lebih unggul dari perempuan, sehingga
dengan demikian laki-laki memiliki kapasitas akal budi untuk menguasai seluruh ‘kehidupan manusia’.
Feminisme radikal melihat latar belakang penindasan dengan cara berbeda. Mereka berpendapat
bahwa ada perbedaan kepentingan laki-laki dengan kepentingan perempuan, dan menganggap bahwa
“patriarkhi” merupakan alat kontrol dan represi terhadap kaum perempuan oleh kaum laki-laki. Patriarkhi
adalah pandangan sosial-budaya yang menempatkan kaum laki-laki ke dalam posisi dan hak-hak yang
lebih tinggi dari kaum perempuan. Patriarkhi sebagai konstruksi sosial-budaya paling krusial dari
pembagian sosial maupun sebagai bentuk penindasan. Menurut faham ini, wanita ditindas oleh sistem-
sistem sosial yang patriarkis. Penindasan model ini dianggap sebagai penindasan yang paling mendasar.
Penindasan yang terjadi seperti rasisme, eksploitasi jasmaniah, heteroseksisme dan kelas-kelas sosial
terjadi secara signifikan dalam hubungannya dengan penindasan patriarkhis. Agar wanita terbebas dari
berbagai penindasan itu, maka masyarakat yang berstruktur patriarkhis harus diubah.
Simon de Beauvoir melalui The Second Sex melukiskan bagaimana kaum laki-laki telah
memposisikan dirinya sebagai diri sendiri (the self) dan kaum perempuan sebagai ‘orang lain’ (the
other). Dikotomi ini mengandung makna bukan saja perempuan berbeda dari laki-laki akan tetapi bahkan
lebih rendah lagi. Apabila wanita (sebagai the other) mengancam laki-laki (the self), dan agar laki-laki
terbebas dari ancaman itu maka konsekuensinya laki-laki harus mensubordinasikan wanita (the
other) tersebut (Tong, 1989: 202).
Fokus perhatian kaum feminis pascastrukturalis adalah pada individu, misalnya dalam masalah
diskriminasi ekonomi. Jika wanita mau berhenti untuk menjadi warga masyarakat (jenis kelamin) kelas
dua (the other), maka ia harus mengatasi keadaan lingkungan sekitarnya. Simon de Beauvoir
menganjurkan suatu strategi untuk mengatasi ketergantungan itu dengan cara pertama bahwa wanita itu
harus bekerja, sehingga hidupnya tidak tergantung lagi pada laki-laki (suami). Kedua, wanita harus
menjadi kaum intelektual dengan aktivitas berpikir, mencari dan mendefinisikan. Ini sebagai kontras dari
keadaan/posisinya yang dipikirkan, dicirikan dan didefinisikan. Ketiga, wanita harus berusaha menjadi
(lebih bersifat) sosialis yang mentransformasikan masyarakat sehingga akan mampu menanggapi dan
mengatasi konflik-konflik subyek-obyek, diri sendiri dan orang lain.
Warisan Pencerahan (proyek modern) yang secara difinitif memiliki komitmen pada pembangunan
ilmu pengetahuan obyektif, universalitas moral dan hukum, dan pemisahan ilmu pengetahuan dengan
etika, seni telah dikritik oleh pemikir postmodernis dengan bertolak dari pengalaman hidup sehari-hari
(Lihat Patricia Waugh dalam Jackson & Jones, 1998:177). Kaum feminis postmodern meyatakan bahwa
tuntutan obyektivitas, rasionalitas universal adalah pandangan maskulin (laki-laki) yang memahami
sejarah (kemajuan) sebagai grand-narrative (teori besar, terori agung). Teori agung maksudnya adalah,
jika teori seperti Teori Marx dianggap bisa menjelaskan masalah sosial atau ekonomi tanpa
mempertimbangkan perbedaan waktu dan tempat.
Feminis postmodernis (postfeminis) mendekonstruksi wacana universal (grand-
narrative), menolak dualisme maskulin-feminin yang dijadikan titik tolak selama ini untuk menganalisis
gender yang sentral dalam gerakan intelektual feminis sebelumnya. Feminis postmodern tidak bertolak
dari dualisme dan tuntutan kesetaraan (equality) akan tetapi bertolak dari perbedaan (pluralitas). Feminis
Posmodernis menolak kebenaran yang obyektif (obyektivisme), kepastian, dan universalitas ilmu
pengetahuan sebagaimana dikemukakan positivisme.
Pendekatan transdidipliner atau lintas disipliner maksudnya menjelaskan satu masalah dari
beberapa disiplin ilmu secara bersamaan. Misalnya menjelaskan masalah kekerasan dari sosiologi,
ekonomi, politik, hukum secara bersamaan, sehingga masalah kekerasan itu dapat dijelaskan dengan lebih
baik. Sedangkan pendekatan multidisipliner, menjelaskan masalah dari berbagai bidang ilmu secara
terpisah. Misalnya menjelaskan kekerasan dari perspektif kriminologi, perspektif hukum, perspektif
ekonomi dan lain-lain.
Feminisme radikal memfokuskan perhatiannya pada sistem yang patriarkis di dalam
keluarga yang telah merembes ke dalam seluruh kehidupan budaya Barat. Keluarga justru sering
dilihat sebagai ‘sang penindas’, yang menyebabkan penurunan status perempuan menuju status
seksual dan pemilikan melalui restu ‘negara’ (Ollenburger & Moore, 1996:39-41). Kiranya jelas
bahwa teori-teori feminis maupun teori-teori sosial pada dasarnya, tidak terlepas dari konsteks
sosial-budaya tempat teori itu berkembang. Teori sosial positif tentu saja tidak
memperhatikan konsteks sosial historis atau masa depan yang utopis yang terkandung dalam teori.
Feminisme posmodernis, feminisme konstruksionisme sosial menekankan perlunya
dilakukan penelitian terhadap keluarga (Chodorow, 1978) kontrol sosial dan perilaku yang
menyimpang (Jenner, 1993), pekerjaan rumah tanngga (England & Farkas, 1986) dan berbagai
bidang sub-sosial lainnya. Mereka ingin mengetahuai bagaimana cara perempuan dan laki-laki
mendefisnisikan gender dalam hal poliralitas kultural maskulinitas dan feminitas, yang kemudian
akan mereka paparkan untuk menujukkan dikhotomi, hierarkhi dan dominasi, serta subordinasi.
Feminisme postmodern dan postruktural seperti Kristeva, Irigaray, Helen Cixouxs, Flax dan Frase
menekankan perlunya melakukan penelitian tentang bagaimana wacana seperti film, tulisan, iklan
dan lain-lain distruktur oleh tema gender. Fokus utama kajian feminis adalah menunjukkan fokus
kekuasaan yang berbeda pada laki-laki dengan kaum perempuan dan kemudian bagaimana wacana
ini akhirnya dipengaruhi olehnya.
Ciri utama teori sosiologi feminis dalam upaya membangun sosiologi yang prefosional antara lain:
1. menekankan bahwa pengalaman, pekerjaan, dan kehidupan perempuan sama pentingnya dengan,
pengalaman, pekerjaan dan kehidupan kaum laki-laki.
2. penekanan di atas diiringi oleh kesadaran bahwa mereka berbicara dengan niat hendak merealisasikannya -
-dan bukan dengan nada keangkuhan obyektivisme-- karena mereka ingin menjadikan teori sosiologi laki-
laki sebagai partner bagi teori yang mereka bangun.
3. adanya kesadaran bahwa sosiologi bertujuan untuk mereformasi kehidupan sosial, di mana tujuan akhirnya
adalah untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia melalui kehidupan.
4. adanya kesadaran bahwa ketimpangan sosial sebagai masalah utama dalam upaya mencapai kemajuan,
karena itu ketimpangan dan ketidak adilan itu harus diatasi
Ada tiga faktor yang membantu terciptanya gelombang aktivitas feminis akhir akhir ini antara lain:
1. Berkembangnya pemikiran kritis pada tahun 1960-/1970an.
2. Kemarahan aktivis perempuan yang terhimpun dalam gerakan anti perang, penegakkn hak-hak sipil,
gerakan mawasiswa yang hanya bertujuan menentang sikap seksis dan liberal di dalam gerakan tersebut.
3. Pengalaman kaum perempuan dalam menghadapi prasangka dan diskriminasi yang mereka alihkan
menjadi tuntutan upah dan pendidikan yang lebih tinggi (Ritzer dan Goodman, 2004:98).
Masalah ketidakadilan, masalah ideologi, perbedaan ras, etnis, dan agama serta masalah
bagaimana memberikan pencerahan dan emansipatoris menjadi perhatian cultural studies, kajian
perempuan, studi feminis dan poskolonial teori. Media massa juga menjadi perhatan besar dalam
kajian cutural studies, teori poskolonial dan studi perempuan. Media sering dikritik karena dianggap
mengabaikan perempuan secara simbolis (meniadakan perempuan secara simbolis) sebagaimana
dikemukakan Tuchman bahwa kalaupun media menyuarakan masalah perempuan tetapi seringkali
meremehkan kaum perempuan karena lebih menonjolkan daya tarik seksual dan mendukung pembagian
kerja seksual.
Anihilasi atau peniadaan simbolis terjadi jika sesuatu tidak direpresentasikan secara tegas dan
jelas (Srinati, 2003:208, Tuchman 1981:169). “Anihilisasi simbolis” mengandung pengertain bahwa kaum
perempuan, kehidupan maupun kepentingannya tidak tercerminkan secara akurat dalam media massa.
Perhatian yang sama ini semakin menyulitkan untuk memilah kajian feminis dengan cultural
studies secara jelas. Bahkan ada yang memasukkan studi perempuan dan poskolonial teori sebagai bagian
dari cultural studies, ada juga yang memasukkannya dalam sosiologi. Walaupun perbedaan itu ada
namun yang jelas kajian perempuan masuk dalam kelompok ilmu pengetahuan sosial.
Dalam konteks ini maka modul ini mencoba menjelaskan secara singkat bagaimana
perkembangan teori-teori dan gerakan feminisme dengan berbagai latar belakang sosial-politik, filosofis
yang melatarbelakanginya dan kemudian baru menjelaskan permasalahan epistemologi yang dijadikan
sebagai dasar untuk menkonstruksi kajian feminis (perempuan) secara ilmiah. Studi feminis telah
memanfaatkan berbagai pandangan, teori, metode (semiotika, hermeneutika, dekonstrukti,
fenomenologi) maupun konsep dan teori yang berasal dari pendekatan tersebut.
Strukturalis, psikoanalisa, Marxis, postrukturalis, Mazhab Frankfurt dan posmodernis adalah aliran
pemikiran yang banyak mempengaruhi kajian perempuan secara ilmiah, karenanya gagasan-gagasannya
akan banyak mewarnai pembahasan tentang tema ini.
Epistemologi Feminis
Evelyn Fox Keller (1989), salah seorang tokoh epistemologi feminis yang terkemuka dalam
artikel yang berjudul, The Gender/Science System: or is Sex to Gender as Nature is to Science,
mengemukakan adanya kesejajaran antara terori-teori feminis dengan ilmu pengetahuan (sains).
Kesejajaran (paralelisme) itu terdapat dalam tiga bagian atau hal yaitu:
1. kesejajaran histories, maksudnya ada kesejajaran pemahaman/pengertian “gender” pada studi
perempuan dengan istilah “alam” dalam ilmu pengetahuan. Kedua istilah itu bukanlah sesuatu yang
alamiah (kodrati) akan tetapi sebagai hasil ciptaan/ konstruksi sosial-budaya. Berbeda dengan
konsep jenis kelamin (perempuan dan laki-laki) yaitu kategori biologis yang benar-benar ada secara
kodrati. Istilah dan pengertian alam dalam ilmu pengetahuan secara historis muncul setelah Abad
Pertengahan (Jaman Modern) yang dibedakan dengan “budaya”. Jika alam (nature) mengacu pada
konsep yang ada atau yang muncul secara alami seperti konsep brute factsmenurut John Searle,
maka “budaya” (nurter) adalah sesuatu yang ada sebagai pengaruh faktor sosial budaya (instutisional
facts).
2. Kesejajaran epistemologis, yaitu munculnya epistemologi feminis serta studi feminis sejalan dengan
perkembangan epistemologi pascapositivisme, teori kritis, dan postmodernisme yang memungkinkan
mengkaitkan ilmu pengetahuan dengan kuasa, kepentingan, praksis-emansipatoris. Berkembangnya
epistemologi/padigma teori kritis, konstruktivis yang menolak teori sebagai penggambaran realitas
apa adanya, lalu mengemukakan keterkaitan teori dengan aktivitas sosial-budaya dan nilai-nilai,
pencerahan dan emansipasi menjadi dasar bagi konstruksi epistemologi feminis.
3. Kesejajaran politis, ini ada kaitan antara ilmu pengetahuan dengan politik (kekuasaan), karena ilmu
pengetahuan setelah era Renaisans dan Pencerahan (era modern) telah menyingkirkan mitos, tradisi,
dan religi. Hegemoni ilmu pengetahuan mencapai puncaknya melalui pemikiran tokoh-tokoh
Lingkaran Wina (Positivisme Logis) yang secara tegas mendudukkan verifikasi sebagai garis ilmiah
dengan non-ilmiah serta menyingkirkan hal yang metafisik dan nilai-nilai dari dunia ilmiah, karena
hal itu tidak perlu dibicarakan, katanya.
Germaine Greer adalah seorang tokoh feminis (pembebasan kaum perempuan) gelombang
kedua yang mengemukakan gagasan-gagasannya melalui bukunya The Female Eunuch. Pemikiran
Germaine bersifat radikal karena ia menyatakan bahwa kewajiban utama kaum perempuan bukanlah
terhadap suami atau anak-anaknya, akan tetapi terhadap dirinya sendiri. Ia mengajak kaum perempuan
untuk membebaskan diri dari diskriminasi yang meluas dan mendalam, membebaskan diri dari
kesewenang-wenangan dan penghinaan setiap hari, membebaskan diri dari suatu masyarakat yang
mengeksploitasinya. Kaum perempuan harus dapat membebaskan diri dari dominasi laki-laki,
membebaskan diri dari streotipe yang dikonstruiksi laki-laki, yang melihat diri mereka dari citra kaum
laki-laki, yang melihat tubuh, seksualitas, intelektual, emosi dan keseluruhan keperempuanan yang
mereka miliki dari perspektif kaum laki-laki.
Germaine menuntut adanya perubahan cara berpikir, adanya nilai-nilai baru serta cara-cara
hubungan yang sejajar (transformasi kultural) yang akan membawa pada kebebasan kaum perempauan
dari budaya yang patriarkhis. Perubahan cara berpikir terlihat nyata dari adanya gerakan sebelum tahun
1960-an/1970-an yang disebut gelombang pertama dengan gerakan feminis sesudah tahun 1960-an yang
disebut dengan gelombang kedua. Gerakan perempuan (feminis) gelombang kedua di mana hal yang paling
penting dan berdampak besar adalah berdirinya studi wanita di tingkat perguruan tinggi. Gejala ini
menunjukkan adanya keterkaitan dunia akademis dengan gerakan sosial-budaya di luar dunia akademis
itu. Adanya kaitan erat antara perkembangan sosial-budaya (postmodern) dengan permasalahan
epistemologi yang menolak gagasan epistemologi positivisme (modern). Adanya kaitan antara
permasalahan epistemologi dengan politik, antara permasalahan kuasa dengan pengetahuan, jada kaitan
antara teori dengan praxis (kepentingan emansipatoris).
Pengabaian teoritis atas pengalaman kaum wanita menunjukkan adanya aspek
ideologis/politis dari teori dan menunjukkan bahwa obyektivitas keilmiahan telah gagal untuk melihat
dan mengabsahkan pengalaman kaum wanita. Meggie Humm dalam artikelnya Feminist Literary
Theory menyatakan bahwa teori feminis berbeda dengan teori sosial-politik tradisional. Ia mengajukan
tiga gagasan/persepsi baru untuk menunjukkan perbedaan itu, pertama adalah, gender adalah
konstruksi sosial dimana perempuan lebih ditekan daripada pria; di sini patriarkhi berkerja sama
mengkonstruksi situasi itu. Pengalaman perempuan harus dijadikan dasar bagi masyarakat yang non-
seksis, (“that gender is social constructions which oppresses women more than men; that patriarchy
shapes this constructions; and that women’s experiential knowledge is a basis for a future non sexist
society”) ( Meggie Humm dalam, Jackson & Jackie Jones, 1998;194).
Kritik terhadap ilmu pengetahuan tradisional (positivisme) menjadi dasar untuk
mengkonstruksi teori-teori feminis berdasarkan pengalaman dan kepentingan kaum perempuan. Upaya
untuk mengangkat perspektif wanita dalam bidang ilmiah juga merupakan pengakuan bahwa terdapat
hubungan antara kuasa dan pengetahuan (power relation) yang inheren dalam ilmu pengetahuan.
Artinya, ada peran dari siapa yang memiliki aksesterhadap pengetahuan, bagaimana pengetahuan
diteliti, dievaluasi atau dijastifikasi. Kesadaran bahwa teori-teori ilmu sosial-humaniora yang dipakai
selama ini buta gender (gender-blind), telah melahirkan semangat untuk mengonstruksi teori dan
konsep-konsep ilmu pengetahuan sosial-humaniora yang berperspektif feminis (Robinson, 1993: 2-5).
Carolyn Merchan (feminis ekologi dan ahli sejarah ilmu pengetahuan) dalam The Death
of Nature mengeritik pandangan/konsepsi ilmu pengetahuan tradisional (khususnya Bacon) yang
menurutnya mekanistik tentang realitas, serta berorientasi laki-laki dan dominasi. Bacon sebagai tokoh
utama (di samping Descartes, Hobbes, Newton) yang mengemukakan tentang perlunya pendekatan
empiris-eksperimental terhadap ilmu pengetahuan serta peran ilmu pengetahuan sebagai alat untuk
memahami hukum-hukum alam yang dapat dimanfaatkan untuk menguasai dan mendominasi alam.
Merchan mengemukakan pandangan Bacon tentang keharusan ilmuwan untuk ‘mengejar dan
mencecar’ alam agar dapat mengemukakan rahasianya. Alam (she) harus dijadikan sebagai ‘pemenuhan
kebutuhan manusia’, dijadikan sebagai ‘budak’ (Merchan, Lihat Capra, 258). Tujuan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern (yang eksploitatif) berbeda dengan tujuan filsafat dan pengetahuan klasik yang
berupaya memahami alam, menekankan kebijaksanaan dan menjaga keselarasan alam.
Merchan mengemukakan adanya hubungan erat antara pandangan Bacon dengan keseluruhan
semangat ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Sains modern telah bertentangan dengan filsafat dan
ilmu pengetahuan kuno yang bertujuan untuk mendapatkan kebijaksanaan, yaitu memahami tata alam
demi hidup dalam alam semesta dalam keselerasan (harmoni). Eksploitasi terhadap alam, juga sejalan
dengan eksploitasi terhadap kaum perempuan serta perubahan pandangan yang mendasarinya.

Bagi banyak gerakan feminis, persoalan nasionalitas, ras, gender dan kelas tidak dapat
dipisahkan dengan penindasan terhadap kaum perempuan. Istilah feminis berkaitan erat dengan segala
bentuk studi wanita. Feminisme mengandung makna suatu faham yang memperjuangkan persamaan
hak dan keadilan bagi wanita yang sekaligus juga dapat diartikan sebagai sebuah ideologi tranformasi
sosial yang bertujuan untuk mencapai suatu masyarakat yang adil. Marilyn French mendefinisikan
feminisme dengan sederhana, yakni suatu gagasan, nilai-nilai yang bertolak dari suatu kesadaran akan
adanya ketidakadilan terhadap wanita. Rekonstruksi peran laki-laki dan konstruksi peran perempuan
menjadi agenda yang diperjuangkan gerakan feminis.
Untuk mengubah kondisi dan membebaskan kaum perempuan dari kondisi yang tidak adil ini,
maka kita harus mengubah cara berpikir dengan mengintegrasikan kembali pemikiran bawah sadar,
pemikiran subyektif, menyatukan aspek emosional dengan yang struktural, juga aspek rasional dengan
intelektual. Charlene Spretnak seorang spiritualis yang mempelajari tradisi spiritualitas dan meditasi
Budha serta pengalamannya sebagai seorang perempuan, memadukan antara feminisme, spiritualitas dan
ekologi. Perpaduan ketiga unsur itu disebutnya dengan “spiritualitas perempuan” yang menekankan
adanya kesatuan dari semua realitas. Spiritualitas perempuan ini memadukan antara spriritualitas feminis
dengan permasalahan ekologi, karena itu ia menyebutnya dengan Ekofeminisme. ‘Spiritualitas Perempuan’
adalah spiritualitas pascapatriarkal yang menekankan kasatuan semua bentuk ‘ada’ (being) yang sudah
ditemukan dalam budaya Timur dan penduduk asli Amerika.
Ilmu pengetahuan sosial yang dikonstruksi kaum laki-laki dalam pandangan kaum feminis
sangat seksis, karena terdistorsi oleh prasangka kaum laki-laki terhadap kaum perempuan. Rosi Braidoti
(1991) mengemukakan salah satu ciri distorsi, yakni bahwa pengalaman perempuan dianggap tidak dapat
dijadikan sebagai dasar yang valid untuk membangun/mengonstruksi teori. Karena itu, kehidupan
perempuan tidak dikaji. Selain itu, berbagai teori sosial, ekonomi, psikologi dan sejarah didasarkan atas
pengalaman laki-laki.
Berbagai penelitian dalam psikologi jelas dilakukan kaum laki-laki dengan obyek

penelitiannya kaum laki-laki, akan tetapi hasilnya digeneralisasi sebagai suatu yang universal. Sejarah

juga nyaris “menghilangkan” perempuan dalam perjalanan kehidupan umat manusia. Hanya ada

segelintir kecil perempuan yang diakui sebagai pelaku sejarah. Kalaupun ada pengalaman bahwa

perempuan bertindak sebagai pelaku sejarah, maka hal demikian dipandang sebagai penyimpangan

dari ‘yang umum’. Selama ini ada keyakinan bahwa ilmu pengetahuan ‘yang benar’ berdasarkan

‘kebenaran’ atas pengalaman ‘yang paling tahu’, yaitu kaum laki-laki.


Sandra Harding, seorang tokoh epistemologi feminis yang terkemuka, mengemukakan bahwa
wanita tidak dapat dipahami berdasarkan paradigma tradisional yang umumnya dibentuk/dikonstruksi
oleh paradigma laki-laki. Misalnya, dalam pemikiran Aristoteles, filsuf ini mengemukakan superioritas
alamiah laki-laki dalam bidang ilmu dan kehidupan politik dan sosial. Karena itu, kaum feminis seperti
Sandra Harding beranggapan bahwa tidaklah cukup hanya dengan mengkaitkan atau menghubungkan
ilmu-ilmu yang baru seperti studi wanita pada ilmu pengetahuan (tradisional) yang sesungguhnya
berperspektif laki-laki. Lebih jauh, Sandra Harding menganjurkan perlunya perumusan ulang terhadap
tradisi intelektual yang dikonstruksi berdasarkan prasangka seksis. Sandra Harding juga dengan jelas
menyatakan bahwa pendangan tentang perempuan dan perannya bukanlah sesuatu yang dibawa sejak
lahir, akan tetapi merupakan hasil konstruksi (bentukan) sosial-budaya. Karena itu kaum feminis
membedakan antara gender (konstruksi sosial budaya) tentang perempuan dengan seks atau jenis kelamin
(laki-laki dan perempuan) sebagai perbedaan biologis yang dibawa sejak lahir.
Sandra Harding menyebut epistemologi feminisnya dengan feminis standpoint. Premis utama
dari teori ini adalah bahwa di dalam posisi yang rendah dari kaum perempuan muncul harapan akan suatu
bentuk ‘ilmu pengetahuan yang lebih baik’, dengan pemahaman yang lebih lengkap terhadap realitas.
Dengan demikian, ilmu pengetahuan akan dilandasi oleh sifat-sifat universal dan perspektif feminis
(Harding, 1986). Dalam Pandangan Harding ini tersimpul adanya pemikiran teori feminis yang universal
dan monolitik, yang seolah-olah dapat mengklaim dan menghasilkan teori dengan kebenaran-kebenaran
universal. Pada hal kebenaran universal teori sebenarnya secara implisit ia tolak melalui pernyataannya
bahwa ilmu pengetahuan itu bias seksis (androsentris). Sebagaimana Harding kemukakan “sekali laki-laki
yang esensial dan universal dihancurkan, maka akan hancur pula temannya yang tersembunyi, yaitu si
perempuan itu”. (Harding, 1989:17).
Feminis standpoint dipengaruhi analisis model Marxis/neomarxis untuk mengungkapkan bias
(androsentris, klas, gender), kepentingan serta kekuasaan yang terselubung untuk disingkap dan disadari.
Kemudian bias, kepentingan dan kuasa dan relasi yang tidak humanis didekonstruksi sehingga relasi yang
lebih humanis terhadap sesama bahkan terhadap alam dapat diciptakan (dikonstruksi) secara lebih nyata
(Hartsock,1998). Ada asumsi-asumsi yang terkandung dalam konsep dan struktur epistemologi
feminis standpoint yang secara khusus bukan hanya melihat dualisme: mind-body, ideal-material, social-
natural, self-other sebagai bentuk solipsisme, akan tetapi melihatnya sebagai dua hal yang lebih dialektis
daripada dualis. Epistemologi standpoint melihat sudut pandang ploretariat dan kritik kapitalis sebagai
dua hal yang memungkinkan bagi penemuan aktivitas kehidupan itu sendiri(sensous human activity,
practice, (Harssock, 1998; 108).
Jadi pemahaman tentang struktur kehidupan material dan dualisme adalah penting serta
memiliki konsekwensi epistemologis. Pandangan tentang perubahan versus produksi mengidentifikasikan
pertumbuhan epistemologi, pembalikan dan perubahan dari faktor sosial akan menyebabkan perubahan
epistemologi. Ada pengakuan bahwa faktor realitas kekuasaan berperan dalam komunitas sosial, sehingga
ada kemungkinan kelompok yang berperan mengontrol ideologi produksi dan perubahan partisipasi dalam
produksi/kerja. Michel Faocault secara tegas menyatakan adanya hubungan antara kuasa dan
pengetahuan, dan hubungan antara kepentingan dan pengetahuan (Habermas).
Paradigma Konstruktivis dan Studi Perempuan
Paradigma Konstruktivis
‘Kita tidak melahirkan wanita, akan tetapi menjadi wanita’ begitu kata Simone de Beauvoir.
Maksud de Beauvior adalah bahwa wanita (perempuan) beserta sifat, nilai-nilai dan pandangannya serta
pandangan masyarakat tentang perempuan itu, bukanlah ada dengan begitu saja (nature, alami) akan
tetapi merupakan hasil bentukan/konstruksi masyarakat (nurture). Jadi konsep kita tentang perempuan,
sesungguhnya merupakan hasil konstruksi lingkungan sosial-budaya. Pandangan seperti ini disebut
sebagai konstruktivisme. Dalam pandangan paradigma konstruktivisme realitas sosial, (fakta) sosial
adalah fakta konstruksi. Artinya fakta yang dibentuk oleh faktor sosial-budaya. Simon de Beauvoir dan
kaum konstruktivis berpendapat bahwa realitas sosial sebagai realitas konstruksi. Kaum feminis
membedakan antara jenis kelamin (misalnya laki-laki dan perempuan) dengan gender yaitu konsep dan
pandangan kita terhadap laki-laki dan perempuan.
Teori feminis adalah sebuah generalisasi dari berbagai sistem gagasan mengenai kehidupan
sosial dan pengalaman manusia yang dikembangkan dari yang berpusat pada wanita. (Ritzer, 403). Fokus
pada wanita itu terlihat dalam tiga hal, 1) situasi dan pengalaman kaum perempuan dalam masyarakat
menjadi sasaran utama kajiannyal; 2) Mencoba mendiskripsikan dunia kehidupan sosial wanita dari
perspektif perempuan; 3) teori feminis (perempuan dikembangkan berdasarkan model berpikir kritis,
aktivis dan gerakan yang memperjuangkan hak-hak perempuan, tujuannya menciptakan kehidupan yang
lebih baik bagi kaum perempauan, dan upaya itu berarti perjuangan demi kemanusiaan (lihat Ritzer:
404).
Gender memiliki dua makna, pertama adalah kata yang berlawanan dengan jenis kelamin yang
merujuk pada konstruksi sosial, yang berlawanan dengan determinasi biologis. Kedua, konstruksi sosial
apa saja yang dipakai ketika kaum feminis menyadari bahwa masyarakat tidak hanya memnpengaruhi
kepribadian dan perilaku, akan tetapi mempengaruhi juga terhadap bagaimana cara seseorang
memandang tubuh (Ziauddin Sardarli: 138-141).
Dalam mengembangkan teorinya, pendekatan feminis tidak menerima pendekatan positivis atau
fungsionalis karena pertimbangan berikut:
1. pendekatan positivis menekankan pada penemuam kebenaran universal dengan metode verifikasi.
2. komitmennya pada obyektivitas dan netralitas peneliti.
3. klasifikasinya yang dikotomis serta penekanannya pada prinsip kausalitas.
4. pandangan-pandangannya yang ahistoris.
5. tidak melihat pemakaian bahasa sebagai medium untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran,
konsep-konsep dan teori-teori (Ollenburger & Moore, 1996: 46).
Feminis umumnya curiga terhadap modernitas dan teori politik modern, termasuk filsafat
esensialis, fundasionalis serta universalitas yang dikandungnya, sehingga cendrung kritis terhadap
modernitas. Diskursus ‘humaniora yang universal’ dengan menempatkan laki-laki sebagai paradigma
kemanusiaannya, sementara perempuan dianggap sebagai tempat penyaluran seks saja (de Beqauvoir,
1953). Karena itu teori dekonstruksi, postrukturalisme, dan postmodern yang menolak esensialisme dan
universalisme lebih tepat bagi pendekatan feminis.
Linda Hucheon (1989) menyatakan bahwa diskursus feminisme dan posmodernisme dapat
saling menguntungkan. Feminisme berhasil mendorong teori postmodern menyampaikan kritik universal
humaniora sebagai wacana dominan kaum pria, dengan cara demikian menciptakan analisa produksi
subyek dalam identitas gender yang lebih berbeda. Posmodern menekankan pada pluralitas, perbedaan,
dan yang lain (otherness).
Berbeda dengan epistemologi positivis dan fungsionalis epistemologi feminis justru
mempertimbangkan faktor, ras, etnis, sosial-budaya, dan faktor historis dalam mengkonstruksi
epistemologinya. Janet Chavetz mengemukakan beberapa unsur yang terdapat dalam teori sosiologi
feminis yang mencakup:
1. masalah jenis kelamin sentral dalam semua teori
2. hubungan jenis kelamin tidak dipandang sebagai masalah
hubungan jenis kelamin tidak dipandang sebagai alamiah dan kekal
3. kriteria teori sosiologi feminis dapat digunakan untuk menentang, meniadakan atau mengubah
suatu status quo yang merugikan atau merendahkan derajat perempuan (Olenburger & Moore, 1996:
45).
Zinn secara meyakinkan menunjukkan bahwa wanita kulit berwarna dan wanita berlatar-
belakang kelas pekerja menghadapi kendala utama dalam berpartisipasi dalam hal produksi atau dalam
melakukan monitor terhadap ilmu pengetahuan. Zinn mengkritik teori-teori feminis yang justru hampir
alpa dalam membahas ras, etnis dan kultural. Bell Hooks menegaskan adanya keharusan dan tangungjawab
untuk menanggapi karya teoritis dan praktis yang berbeda. Ia mengatakan bahwa pengabaian terhadap
karya wanita kulit-berwarna justru merupakan sifat kesarjanaan yang rasis.
Sandra Harding merumuskan metode (epistemologi) feminis sebagai alternatif. Ia merumuskan
lima macam kecenderungan penelitian interdisipliner yang perlu dikembangkan oleh kaum feminis, antara
lain:
suatu penelitian yang adil didorong oleh politik reformis liberal untuk menguji perlawanan dan
diskriminasi terhadap wanita di dalam dunia ilmiah. Pendidikan serta proses sosialisasinya
menanamkan minat dan bakat dalam ilmu pengetahuan.
penelitian terhadap penyalahgunaan ilmu-ilmu sosial, bilogi dan teknologi diperlukan
untuk menunjukkan adanya proyek-proyek sosial yang bersifat sexist, racist dan homophobic
kajian dari kaum konstruktivisme sosial diperlukan untuk mengusahakan kemungkinan adanya ilmu
pengetahuan murni.
kajian kelompok dekonstruksionis diperlukan untuk menemukan kebenaran laporannya, terutama
yang berkaitan dengan batas bahasa, struktur retoris dan lain sebagainya.
kajian epistemologis diperlukan untuk mengeksplorasi fundasi-fundasi pengetahuan dalam kaitannya
dengan relasi sosial, perwujudannya serta kaitannya dengan struktur kekuasaan.
Shulamit Reinharzt mengemukakan sepuluh tema metodologi feminis (dalam Feminst Methods In
Social Research, 1992) sebagai berikut:
1. feminisme adalah suatu perpektif bukan metode penelitian
2. feminist menggunakan bermacam-macam metode penelitian
3. penelitian femins melibatkan kritik berkelanjutan terhadap penelitian dan kegiatan ilmiah bukan
feminis
4. penelitian feminis dituntun oleh teori feminis
5. penelitian feminis bersifat interdisipliner/multididipliner
6. penelitian feminis bertujuan untuk menciptakan perubahan sosial
7. penelitian feminis berupaya untuk menampilkan keberagaman manusia.
8. penelitian feminis sering menyertakan peneliti sebagai seorang pribadi
9. penelitin fiminis sering berupaya mengemvbangkan hubungan khusus dengan orang-orang yang
diteliti (penelitian interaktif, partisipatif)
10. penelitian feminis sering menetukan hubungan khusus dengan pembaca (Shulamit, 1991; hal. 336).
Sedangkan Richardson dan Taylor menyusun lima metode feminis sebagaimana dikamukakan oleh
Judith Cook dan Mary Margaret Fonow sebagai berikut:
1. memperkenalkan tentang adanya pengaruh gender (male biased) ketimpangan gender dalam semua
kegiatan sosial manusia.
2. mengungkap hubungan gender dengan sistem lain yang mempengaruhi perbedaan adanya, seperti ras,
kelas sosial, etnis, umur dan lain sebagainya. Ada pengalaman dan harapan yang berbeda antara laki-
laki dan perempuan antarkelas, antarras, antarta ras kulit putih dengan kulit hitam dan berwarna.
3. meningkatkan dan menyebarkan kesadaran (conciuosness rising) yang diyakini dapat membantu
memperkecil atau menghilangkan ketidakadilan/penindasan terhadap kaum perempuan.
4. memikirkan dan mengubah pandangan dualisme antara si peneliti dengan obyek yang diteliti dengan
pandangan yang dialogis, partisipatif. Karena tuntutuan obyektivitas ilmiah ternyata membuat
hubungan yang tidak sejajar (tidak adil). Dialog dan sikap kritis diperlukan untuk memahami
perspektif, pengalaman dan harapan kaum perempuan.
5. Menekankan perlunya pemberdayaan dan transformasi yang secara tidak langsung telah menimbulkan
berbagai kritik.
Dalam proses pengetahuan ini yang terjadi bukanlah dualisme subyek-obyek, rasio dan emosi melainkan
proses yang menyatukan antara tangan, kepala dan hati (hand, brain, and heart). Dalam pandangan ini,
ilmu pengetahuan menjadi holistik, relasional serta bertangungjawab terhadap berbagai proses
keputusan kelompok. Di sini ada tiga pengertian analitis menuju ke suatu teori yang holistik (terpadu)
yaitu:
1. memberi tempat bagi mereka yang tertekan, sebagai cara untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan
penelitian yang adil, bertangungjawab. Subyek yang dijadikan sebagai obyek penelitiasn justru harus
diposisikan sebagai mitra dialog;
2. Ilmu dan penelitian diakui tidak netral, terdapat hubungan antara gaya kognitif dengan keterlibatan dalam
kegiatan-kegiatan sosial;
3. Ciri relasional ilmu dan penelitian mengakui dan menjalani proses, dan tidak dapat meninggalkan
sumbangan pengalaman prarasional sekalipun. (lihat tulisan J.B. Banawiratma, dalam Budi Susanto, 1994,
97).
Jadi kriteria kebenaran di sini ditentukan malalui ‘bahasa solidaritas’, bahasa yang dibangun melalui
partisipasi dan komunikasi, bukan bahasa (kebenaran) korespondensi.
Feminist Standpoint, seperti, dikemukakan Hooks (1983), sangat memungkinkan feminisme
masuk dan menjadi bagian dari ilmu pengetahuan. Akan tetapi bukan dalam arti bagaimana perempuan
membagi pengalaman tertentu dalam menghadapi penindasan patriarkhat yang diwujudkan dalam ras,
kelas dan budaya, melainkan dalam arti bersama-sama mengonstruksi resistensi terhadap semua bentuk
dominasi laki-laki.
Feminist standpoint merupakan pembangkit kisah-kisah nyata dalam kehidupan sosial
perempuan itu sendiri. Atas dasar ini berkembang studi feminis berdasarkan konteks pengalaman hidup
sosial-budaya tertentu, misalnya studi tentang wanita kulit hitam (baik di afrika atau Amerika), wanita
India atau penelitian tentang ras, gender berkaitan dengan pengalaman hidup, emosi, keprihatinan mereka
sendiri. Dengan demikian berkembang gerakan feminis dan disiplin ilmu yang sesuai dengan konteks
perkembangan zaman yang mempengaruhi perkembangan teori-teori feminis. Perkembangan itu sekaligus
mempengaruhi bagaimana para sosiolog atau pendekatan-pendekatan feminis melakukan analisis atas
kedudukan wanita di dalam masyarakat dalam studi wanita yang dilakukan.
Akibatnya, studi wanita metode analisis dan teori-teori studi wanita sangat beragam. Perspektif
tinjauannyapun sering berubah secara dramatis. E. Gross mengemukakan bahwa dalam tahun 1960-
an tujuan-tujuan studi dan politik feminis terfokus pada perbedaan derajat laki-laki dan perempuan serta
upaya untuk menyamakan kesetaraan derajat antara laki-laki dan perempuan. Ini sebagai reaksi terhadap
diabaikannya, disingkirkannya dan diremehkannya wanita oleh disiplin ilmu yang patriarkhis yang
cenderung menjadikan wanita sebagai obyek penelitian.
Dasar pemikiran bahwa adanya perbedaan stand-point masyarakat dan wanita Afrika, dengan
Eropa-Amerika, sehingga tidak mungkin dianggap sama. Professor Asante sebagai salah seorang
tokoh Afrocentric feministyang terkemuka di samping Patricia Hill Collin yang keduanya dikenal
sebagai Black Femninist Thought. Pandangan stand-point ini sejalan dengan perkembangan
multikuturalisme atau muti-cultural studies yang mengakui adanya perbedaan ras, klas, konteks sosial-
budaya (distinctive social standpoint) yang memungkinkan perbedaan teoritis. Jadi stand-point dijadikan
prinsip dalam mengkonstruksi teori-teori feminis yang sesuai dengan konteks sosial-budaya perempuan
(ras, etnis, local) seperti perempuan kulit hitam Afrika.
Dalam pandangan stand-point feminist atau feminisme kontekstual, yang disebut dengan
pengetahuan yang obyektif berbeda dengan pandangan paradigma positivisme, karena obyektif di sini tidak
difahami sebagai obyektif universal, akan tetapi obyektif yang sesuai dengan perspektif tertentu, sesuai
dengan obyek yang lokal dan kontekstual. Kebenaran dan pengetahuan bersifat plural, kebenaran terkait
dengan banyaknya informasi dan konstruksi yang secara konsensus dianggap terbaik dan tercanggih pada
saat tertentu. Dengan demikian “kebenaran” dan “pengetahuan obyektif” bukan ditemukan, akan tetapi
konstruksi manusia (subyek). Karena itu konstruktivisme menekan posisi subyek/kesadaran (dunia II
Popper), peran obyek (dunia I), serta dunia tiga (kekayaan budaya, kajian pustaka) sama-sama penting
dalam mengkonstruksi mengembangkan ilmu pengetahuan.

Metodologi Studi Perempuan


Dalam studi perempuan, paradigma positivisme dengan metode empiris-kuantitatif secara
umum dianggap tidak tepat diterapkan sebagai metode untuk penelitian. Studi feminis lebih tepat
menggunakan metode kualitatif seperti hermeneutika dan fenomenologi dengan berbagai variannya.
Alasannya karena metode-metode ini menerima adanya peran dan pengaruh konteks sosial-budaya
terhadap ilmu pengetahuan. Sehingga hubungan antara si peneliti dengan obyek yang diteliti tidak
bersifat dualis, akan tetapi dialogis/dialektis.
Metodologi yang dialogis/dialektis yang mengakui hubungan yang dialogis antara subyek dengan
obyek yang diteliti (teks, respondens) dianggap lebih tepat untuk ilmu humaniora serta ilmu yang
mengkaitkan teori dan praksis. Matode hermeneutika dan fenomenologi memungkinkan adanya berbagai
macam konstruksi (interpretasi) terhadap obyek yang diteliti, karena adanya perbedaan obyek yang diteliti,
perbedaan subyek yang meneliti serta kemungkinan perbedaan tujuan penelitian.
Kajian/penelitian masalah-masalah perempuan tidak melihat fenomena manusia sama dengan
fenomena alam, karenanya tidak bertujuan untuk menemukan hukum-hukum yang berlaku umum, akan
tetapi mencoba untuk memahami kondisi sosial-budaya (kondisi nyata) perempuan yang diteliti. Dengan
demikian studi feminis tidak hanya bekerja seperti pandangan kaum positivisme ilmiah yang memisahkan
antara teori dan praksis, akan tetapi teori di sini dimaksudkan berperan untuk praksis emansipatoris. Jadi
ada perbedaan antara tujuan, struktur kognitif serta konfirmasi teoritis yang terdapat pada paradigma
positivisme (scientific theories) dengan paradigma teori kritis (critical theories).
Studi perempuan lebih bertujuan memahami situasi-kondisi sosial-budaya kaum perempuan,
memahami pengalaman dan harapan-harapan mereka. Dengan mengetahui realitas sosial-budaya kaum
perempuan itu, lalu diupayakan untuk memberikan pencerahan dan mengemansipasi kondisi itu ke arah
kondisi yang diharapkan. Itu berarti bahwa teori tidak lepas dari praksis, serta dari kepentingan
masyarakat. Beberapa ahli mengidentikkan paradigma konstruktivisme dengan metode interpretasi seperti
yang dilakukan Denzin dan Yvonna.
Perbedaan antara paradigma/teori konstruktivis dengan paradigma/ teori feminis, etnik, Marxis
dan studi kultural dengan paradigma positivisme tentang kriteria, bentuk teori dan tipe narasi yang lebih
rinci dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1.2. Interpretive Paradigms (Denzin & Yvonna, 1998: 27)

Paradigm/theory Kriteria Bentuk Teori Tipe Narasi


Positivist/post- Internal, validitas Logical-deductive, Laporan ilmiah
positivist eksternal ilmiah, grounded
(teori dari dasar)
Konstruktivis Keterpercayaan, Formal-substantif Interpretasi, studi
kredibilitas, dapat kasus,
ditransfer, ethnografik,fiksi
konfirmabilitas

Feminist Lokal, pengalaman Kritis, standpoint Essei, historis,


hidup, dialog, tulisan
Kepedulian, eksperimentasi
akuntabilitas, ras, klas,
gender,
reflesivitas, praxis,
perasaan, didasarkan
fakta nyata

Ethnic Afrosentris, pengalaman Standpoint, kritis, Essei, cerita,


hidup, dialog, historis drama
keprihatinan,
akuntabilitas, ras,
kelas,gender
Marxist Teori emansipatoris, historis-kultural, Historis,
dapat difalsifikasi, economis ekonomis, analisis
dialogis, ras, klas, sosial-budaya
gender
Cultural Studies Praksis budaya, Teks Kritisisme Sosial Teori budaya
(studi budaya) sosial, subjektif sebagai kritik
Dalam gerakan feminis religiuspun, perhatian pada problem transformasi moral, keadilan,
kesetaraan, persamaan, keadilan, hak asasi, dan kriteria reformasi menjadi permasalahan utama. Dalam
penggalian itu tentu bertolak dari tradisi dan ajaran-ajaran agama tanpa melupakan kondisi real kaum
perempuan itu sendiri. Pemikir feminis religius umumnya menggunakan model dialektika antara tradisi
dan ajaran agama dengan analisis pengalaman dan kondisi konkrit kaum perempuan. Masalah sosial
seperti: rasisme, meliterisme, seksisme, dan genderisme merupakan ekspresi struktur patriarkhis. Yang
berkembang dilingkungan pemeluk agama dianggap sebagai konstruksi sosial dan bukan pola-pola
ideologis dalam ajaran agama. Dalam upaya memperbaiki kondisi distortif patriarkhis yang berkembang
dalam teologi klasik, maka pengalaman wanita dan kebersamaan merupakan suatu hal yang sangat
penting. Paradigma teologis yang memberikan penghargaan bagi semua realitas (ciptaan Tuhan), yang
menghargai tubuh dan harkat-martabat kaum perempuan, paradigma yang memajukan kemanusiaan
tanpa genderisme diajukan sebagai alternatif mengatasi ketidakadilan. Konsep-konsep pembebasan ini
biasanya dikenal dan diajukan oleh gerakan teologi pembebasan yang berkembang dalam gerakan
keagamaan baik dalam agama Kristen, Islam, dan agama lainnya.
Keterkaitan ilmu pengetahuan dengan kepentingan, kekuasaan, dan nilai emansipatoris dalam
paradigma feminis dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Paradigma Positivis ParadigmaInterpretatif Paradigma Feminis

Asumsi dasar Fenomena/fakta Fenomena sosial Ada kuasa &kepentingan


sosialdapat diobservasi, dikonstruksi dari yang mengendalikan/
obyektif, bebas dari bias pemaknaan simbolik yang
mempengaruhi fenomena
peneliti dapat
sosial dan tingkahlaku
terlihat/terobservasi dari
seseorang. Realitas
tingkahlaku manusia,
bersifatterkonstruksi dan
interaksi manusia dan
“negosiable” . Perbedaannya
bahasa. Realitas beragam,
tergantung pada konsteks
kompleks, terdiri dari
sosial-budaya dan kuasa
berbagai perspektif,
subyektif.

Sumber evidensi/ Fakta yang tersingkap Pemaknaan diperoleh dari Kuasa, kontrol dan faktor-
melalui prosedur perspektif, pengalaman faktor kontekstual yang
fakta
penelitian yang dan tingkahlaku dalam dapat diketahui dari
terstandarisasi dan suatu konteks sosial- pendapat
bebas konteks budaya personal/kelompok sebagai
refleksi berbagai versi dari
realitas

Metode Cara pengumpulan data Semi structural. Observasi Observasi pertisipatoris,


yang terstruktur, terukur dan pertanyaan terbuka dialog terarah,
& terkontrol ketat memungkinkan partisipasi memungkinkan dua
untuk mengekspresikan kelompok (dominan-
Contoh: survei,
pikiran & Tingkahlaku marjinal) mengemukakan
eksperimen
secara alamiah. pendapat, pengalaman dan
laboratorium, observasi
keinginannya
terstruktur dan skala Contoh: Wawancara
rating mendalam, riset Contoh: penelitian
partisipatif, Studi kasus. partisipatoris, mendengar
aktif dan reflektif,
Mengupayakan perubahan
dan menghilangkan
hambatan personal dan
politis.

Kecenderungan/Arah Pendekatan Studi kualitatif, Studi feminis mencari


kuantitatif,Erklaeren, memahami tingkahlaku pemahaman dari pengaruh
Penelitian
verifikasi, prediksi manusia dalam gender terhadap sikap &
tingkah-laku melalui konteksnya tingkahlaku, termasuk
hubungan kausalitas dan perbedaan kuasa dan
asosiasi. kontrol dalam kerangka
perubahan/emansipasi sosial

Tingkat Partisipasi Subyek Partisipasi, pertanyaan Partisipan memiliki


penelitian menjawab terbuka, spontan dan kebebasan dalam
pertanyaan spesifik natural mengarahkan proses
dalam bentuk respon pengumpulan data dan
yang terformat dalam menentukan tindakan
selanjutnya

Pengaruh Subyek/peneliti & Obyek Partisipan menyadari Pemberdayaan dan


yang diteliti tidak saling peran keterlibatannya emansipasi. Hasil penelitian
nya terhadap
mempengaruhi (Netral) dalam proses penelitian. mengarahkan aksi untuk
Partisipasi
Memperoleh pemahaman perubahan sosial
sesuai dengan perspektif
& tingkahlaku sesuai topik
penelitian

Dalam perspektif cultural studies, politik budaya feminis dapat dibagi secara luas, dalam hal ini
setidaknya dalam lima kategori yang bersaing, antara lain:
1. politik liberal dan feminis liberal yang menekankan pentingnya persamaan dan kesmpatan dalam
berbagai bidang, seperti pekerjaan, akses pendidikan, perawatan anak. Dalam pandangan ini menekankan
individualitas perempuan tanpa berfokus pada perbedaan mereka dengan kaum laki-laki.
2. politik budaya yang terpusat pada perempuan, dipihak lain memusatkan perhatian pada perspektif yang
mengistimewakan kaum perempuan. Keanekaragaman politik budaya kaum perempuan ditujukan sebagai
upaya menulis ulang sejarah perempuan dari perspektif mereka.
3. Feminis Marxis melihat gender sebagai fenomena budaya. Perbedaan dalam praktek kebudayaan tidak
dilihat sebagai tanda adanya perbedaan esensial antara kedua jenis kelamin tersebut.
Perbedaan gender dilihat sebagai bagaimana perbedaan itu bermanfaat bagi kapitalisme.
Pada tiga kategori di atas perbedaan itu dipelihara, akan tetapi perbedaan itu sengaja dikaburkan pada
dua kategori berikut:
4. Dalam feminisme postmodern, perbedaan ras dan gender tidak memiliki makna yang tetap. Setiap
individu dianggap sebagai gabungan unsur berbagai mode subyektivitas di mana unsur-unsur yang
bertentangan pun bisa saja cocok pada waktu yang berbeda Feminitas dan maskulinitas dikonstruksi
secara sosial dan merupakan situs perjuangan politik tentang makna. Konstruksi sosial merupakan
relasi, karena itu feminis posmodern tidak tertarik pada autensitas. Feminisme posmodern membuka
ruang bagi perbedaan dan (beragam suara) serta interpretasi baru mengenai identitas.
5. Feminisme kulit hitam dan feminisme non Barat berkonsentrasi pada rasisme dan kolonialisme serta
memandang hal ini sebagai alat untuk memahami relasi gender. Bagi feminisme kulit hitam, masalah
ras tetap merupakan suatu bentuk penindasan yang hakiki (Sardar dan van Loon, 2001:142-145).
Feminisme Dunia Ketiga umumnya menolak pemikiran feminisme Barat sebagai tolok ukur dan
representasi dari gerakan feminis. Feminisme non Barat berakar dari rasisme dan kolonialisme, serta
pengakuan terhadap peranan negara modern dalam mengabadikan keduanya.
Teori-teori poskolonial, feminis, multikultural, atau juga cultural studies semakin membuktikan
bahwa manusia bukanlah satu jenis (mahluk) yang ideal, bukan makhluk yang melulu rasional,
melainkan makhluk yang egois dan emosional. Demikian juga dengan pemikirannya ternyata sangat
dipengaruhi oleh perkembangan sosial-budayanya.

Daftar Pustaka
Agonito, Rosemary, History of Ideas on Women, A Perigee Book, Canada, 1989.
Bas van Fraassen, The Scientific Image, , (1980), Clarendon, Oxford University Press.
Baudrillard. Jean, Seduction, London, St. Martinis Press, New York, 1975.
Binder, Leonard, Islam Liberal: Kritik terhadap Ideologi-ideologi Pembangunan, terjemahan dari Islamic
Liberalism, Pustaka Pelajar, 2001.
Chodorow, Nancy, The Reproduction Mothering, California Press, 1978.
Cristopher Norris, (1997), New Idols of The Cave: On the Limits of Anti-Realism, , Manchester University
Press

Cixous, Helen, Writing the Feminin, University


Daly, Mary, Gyn/Ecology: The Metaetics of Radical Feminism, Beacon Press, Boston, 1987.
De Beauvoir, Simone, The Second Sex, Penguin Books, 1987.
Deleuze, Gilles, Anti-Oedipus: Capitalism and Szhizopherenia, Colombia University Press, New York, 1987.
Denmark, Florence L & Michell A. Paludi, (ed.). Psichology of Women, A Handbook of Issue and
Theories, Connectitute, Greenwoord Press. 1993.
Denzin, K. Norman & Yvonna S. Lincoln (Ed,)( 1994 ), Y, Handbook of Qualitative Research. London, Sage
Publications
Egon G. Guba, (1990), The Paradigm Dialog, Sage Publications,
French, Marylyn, The War Against Women, Ballantine Books, New York.
Freidan, Betty, The Feminist Mystique, Dell, New York, 1974.
Freud, Sigmund, New Introductory Lectures On Psychoanalysis, New York, Norton Company, 1965.
Fiorenza, Elizabeth Schusler, & Shawn Copeland, Concilium: The Special Nature of Women?, New York
Orbi Books. 1966.
Fonow, Mary Margareth & Judith A Cook (ed.). Beyond Methodology, Feminist Scholarship as Lived
Research, Bloomington, Indiana University Press.
Gilligan, Carrol, In A Different Voice, Harvard University Press, 1993.
Greer, Germaine, (1971), The Femael Eunuch, New York, MacGraw-Hill.
Gunew, Seneja, Feminist Knowledge: Critique & Construct. Routledge, New York, 1990.
Genew, Sneja & Yeatman., A., Feminsm and The Political Difference, Westview Press, San Francisco, 1993
Jagger, Alison M., Feminist Politics and Human Nature, Rowman & Allenheld, Ottawa, N.J,., 1983.
John R. Searle, (1995), , The Construction Social Reality, Free Press
Irigiray, Luce, Democracy Begens Between Two, Routledge, London, 2000.
Kristeva, Julia, Nations Without Nationalism,(ed,) Leon S. Roudiez, Columbia University Press.
Mezner, Ralph, , The Emercing Ecological World View” dalam Mary Evelyn Tucker and John A. Grim, 1994
Leche. J. Lima Puluh Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Postmodernisme, Yagyakarta
(terjemahan), Kanisius. 2001.
Mezner, Ralph, , The Emercing Ecological World View” dalam Mary Evelyn Tucker and John A. Grim, 1994
Mio, Toril, French Feminist Thought, A Reader, Blackwell, New York, 1987.
Millet Kate, Sexual Politics, Garden City, Doubleday, New York, 1970.
Nicolson, L., The Second Wave: A Reader in Feminist Theory, New York, Routledge. 1997.
Nye, Andrea, Philosophy and Feminism, Prentice Hall International. 1995.
Tong, Rosemarie, Feminist Thought, Westview Press, Australia, 1998.
Tuana, Nancy, Woman and History of Philosophy, Paragon Hause, NY., 1992.
Tuana, Nancy & Tong R., Feminist Philosophy, Westview Press., 1995.
Tucker, May Mary & John A. Grim (ed.), World View and Ecology: Religion, Philosophy and the
Environtment, New York, Orbis Book, 1994.
Rich, Adrianne, (1977), On Woman Born, New York, Norton.
Richarson, Laurel & Vera Taylor, Feminist Frontiers III, New York, MacGraw-Hill, Inc., 1993.
Paludi, Michele A., The Psichology of Women, Dubuque, WMC. Brown Communications, Inc., 1992.
Skeggs, Beverly, (ed), Feminst Cultural Theory, Manchester, Manchester Ubiversity Press, 1995.
Spretnak, Charles, (1981), Lost Goddeness of Early Greece. Boston; Beacon Press.
______________, (Ed.) (1981), The Politics of Woman’s Spirituality. New York; Anchor/ Doubleday.
Last modified: Monday, 13 April 2015, 9:28 AM

Anda mungkin juga menyukai