Bagi banyak gerakan feminis, persoalan nasionalitas, ras, gender dan kelas tidak dapat
dipisahkan dengan penindasan terhadap kaum perempuan. Istilah feminis berkaitan erat dengan segala
bentuk studi wanita. Feminisme mengandung makna suatu faham yang memperjuangkan persamaan
hak dan keadilan bagi wanita yang sekaligus juga dapat diartikan sebagai sebuah ideologi tranformasi
sosial yang bertujuan untuk mencapai suatu masyarakat yang adil. Marilyn French mendefinisikan
feminisme dengan sederhana, yakni suatu gagasan, nilai-nilai yang bertolak dari suatu kesadaran akan
adanya ketidakadilan terhadap wanita. Rekonstruksi peran laki-laki dan konstruksi peran perempuan
menjadi agenda yang diperjuangkan gerakan feminis.
Untuk mengubah kondisi dan membebaskan kaum perempuan dari kondisi yang tidak adil ini,
maka kita harus mengubah cara berpikir dengan mengintegrasikan kembali pemikiran bawah sadar,
pemikiran subyektif, menyatukan aspek emosional dengan yang struktural, juga aspek rasional dengan
intelektual. Charlene Spretnak seorang spiritualis yang mempelajari tradisi spiritualitas dan meditasi
Budha serta pengalamannya sebagai seorang perempuan, memadukan antara feminisme, spiritualitas dan
ekologi. Perpaduan ketiga unsur itu disebutnya dengan “spiritualitas perempuan” yang menekankan
adanya kesatuan dari semua realitas. Spiritualitas perempuan ini memadukan antara spriritualitas feminis
dengan permasalahan ekologi, karena itu ia menyebutnya dengan Ekofeminisme. ‘Spiritualitas Perempuan’
adalah spiritualitas pascapatriarkal yang menekankan kasatuan semua bentuk ‘ada’ (being) yang sudah
ditemukan dalam budaya Timur dan penduduk asli Amerika.
Ilmu pengetahuan sosial yang dikonstruksi kaum laki-laki dalam pandangan kaum feminis
sangat seksis, karena terdistorsi oleh prasangka kaum laki-laki terhadap kaum perempuan. Rosi Braidoti
(1991) mengemukakan salah satu ciri distorsi, yakni bahwa pengalaman perempuan dianggap tidak dapat
dijadikan sebagai dasar yang valid untuk membangun/mengonstruksi teori. Karena itu, kehidupan
perempuan tidak dikaji. Selain itu, berbagai teori sosial, ekonomi, psikologi dan sejarah didasarkan atas
pengalaman laki-laki.
Berbagai penelitian dalam psikologi jelas dilakukan kaum laki-laki dengan obyek
penelitiannya kaum laki-laki, akan tetapi hasilnya digeneralisasi sebagai suatu yang universal. Sejarah
juga nyaris “menghilangkan” perempuan dalam perjalanan kehidupan umat manusia. Hanya ada
segelintir kecil perempuan yang diakui sebagai pelaku sejarah. Kalaupun ada pengalaman bahwa
perempuan bertindak sebagai pelaku sejarah, maka hal demikian dipandang sebagai penyimpangan
dari ‘yang umum’. Selama ini ada keyakinan bahwa ilmu pengetahuan ‘yang benar’ berdasarkan
Sumber evidensi/ Fakta yang tersingkap Pemaknaan diperoleh dari Kuasa, kontrol dan faktor-
melalui prosedur perspektif, pengalaman faktor kontekstual yang
fakta
penelitian yang dan tingkahlaku dalam dapat diketahui dari
terstandarisasi dan suatu konteks sosial- pendapat
bebas konteks budaya personal/kelompok sebagai
refleksi berbagai versi dari
realitas
Dalam perspektif cultural studies, politik budaya feminis dapat dibagi secara luas, dalam hal ini
setidaknya dalam lima kategori yang bersaing, antara lain:
1. politik liberal dan feminis liberal yang menekankan pentingnya persamaan dan kesmpatan dalam
berbagai bidang, seperti pekerjaan, akses pendidikan, perawatan anak. Dalam pandangan ini menekankan
individualitas perempuan tanpa berfokus pada perbedaan mereka dengan kaum laki-laki.
2. politik budaya yang terpusat pada perempuan, dipihak lain memusatkan perhatian pada perspektif yang
mengistimewakan kaum perempuan. Keanekaragaman politik budaya kaum perempuan ditujukan sebagai
upaya menulis ulang sejarah perempuan dari perspektif mereka.
3. Feminis Marxis melihat gender sebagai fenomena budaya. Perbedaan dalam praktek kebudayaan tidak
dilihat sebagai tanda adanya perbedaan esensial antara kedua jenis kelamin tersebut.
Perbedaan gender dilihat sebagai bagaimana perbedaan itu bermanfaat bagi kapitalisme.
Pada tiga kategori di atas perbedaan itu dipelihara, akan tetapi perbedaan itu sengaja dikaburkan pada
dua kategori berikut:
4. Dalam feminisme postmodern, perbedaan ras dan gender tidak memiliki makna yang tetap. Setiap
individu dianggap sebagai gabungan unsur berbagai mode subyektivitas di mana unsur-unsur yang
bertentangan pun bisa saja cocok pada waktu yang berbeda Feminitas dan maskulinitas dikonstruksi
secara sosial dan merupakan situs perjuangan politik tentang makna. Konstruksi sosial merupakan
relasi, karena itu feminis posmodern tidak tertarik pada autensitas. Feminisme posmodern membuka
ruang bagi perbedaan dan (beragam suara) serta interpretasi baru mengenai identitas.
5. Feminisme kulit hitam dan feminisme non Barat berkonsentrasi pada rasisme dan kolonialisme serta
memandang hal ini sebagai alat untuk memahami relasi gender. Bagi feminisme kulit hitam, masalah
ras tetap merupakan suatu bentuk penindasan yang hakiki (Sardar dan van Loon, 2001:142-145).
Feminisme Dunia Ketiga umumnya menolak pemikiran feminisme Barat sebagai tolok ukur dan
representasi dari gerakan feminis. Feminisme non Barat berakar dari rasisme dan kolonialisme, serta
pengakuan terhadap peranan negara modern dalam mengabadikan keduanya.
Teori-teori poskolonial, feminis, multikultural, atau juga cultural studies semakin membuktikan
bahwa manusia bukanlah satu jenis (mahluk) yang ideal, bukan makhluk yang melulu rasional,
melainkan makhluk yang egois dan emosional. Demikian juga dengan pemikirannya ternyata sangat
dipengaruhi oleh perkembangan sosial-budayanya.
Daftar Pustaka
Agonito, Rosemary, History of Ideas on Women, A Perigee Book, Canada, 1989.
Bas van Fraassen, The Scientific Image, , (1980), Clarendon, Oxford University Press.
Baudrillard. Jean, Seduction, London, St. Martinis Press, New York, 1975.
Binder, Leonard, Islam Liberal: Kritik terhadap Ideologi-ideologi Pembangunan, terjemahan dari Islamic
Liberalism, Pustaka Pelajar, 2001.
Chodorow, Nancy, The Reproduction Mothering, California Press, 1978.
Cristopher Norris, (1997), New Idols of The Cave: On the Limits of Anti-Realism, , Manchester University
Press