Inisiasi 2 Filsos
Inisiasi 2 Filsos
POSITIVISME SOSIOLOGI
Positivisme & Positivisme Logis
Paradigma Positivisme
Ilmu pengetahuan sosial yang disebut Saint Simon sebagai fisika sosial harus
menggunakan metode ilmu alam, karena menurutnya dengan cara ini kemungkinan
kekacauan dalam masyarakat dapat di atasi. Fisika sosial dengan demikian harus menjelaskan
sebab-akibat terjadinya fenomena dalam masyarakat, oleh karenanya fisika sosial dapat
menguasai proses perubahan dalam masyarakat. Dalam pandangan ini, sejarah pun bukan
sekedar penyusunan kejadian-kejadian belaka, melainkan harus menjelaskan hubungan tali-
temali (sebab-akibat satu peristtiwa). Dengan demikian teori ilmiah itu harus dapat dipraktekkan
bagi perbaikan kehidupan masyarakat. Di sini, ada hubungan antara teori dengan praktek
(praxis), ini berarti ilmu itu harus mempertimbangkan nilai kegunaannya (nilai pragmatis).
Pemikiran Positivisme pada Comte dikemukakannya pada kuliah-kuliah yang dibukukan
dalam 6 jilid yang diberi judul Course de Philosophie Positive (Course in Positive
Philosophy). Tulisan Comte yang lain adalah Systeme de Politique Positive (1851-1884)
dan Catechisme Politique. Tulisan Comte ini sejalan dengan upaya Descartes dalam Discours de
la Me‘thode, L‘Esprit des Lois dari Montesqieu, dan Tableau Historique de Progre‘s de L‘esprit
Humain dari Condercet yang semuanya dijiwai untuk menemukan sintesa, dan kepastian.
Buku Comte itu menyajikan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan baru, yang berambisi besar
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan besar dalam filsafat, yaitu pertanyaan: Bagaimana
mengenali dunia? Apa itu manusia? Apa itu masyarakat? Bagaimana cara hidup bersama-sama
(di dalam masyarakat) itu? Dengan itu, Comte berkeinginan menemukan pengetahuan baru yang
dapat memerintah masyarakat.
Tahun 1824 Comte memutuskan persahabatannya dengan Saint Simon. Buku Sistem Politik
Positif yang ditulisnya mengemukakan tentang gagasan “agama humanitas”nya. Agama yang
memuja nilai-nilai kemanusiaan. Meskipun agama Humanisme Comte dengan prinsip-prinsip
humanismenya telah menggantikan posisi agama Kristen dalam masyarakat Eropa, sebagai
masyarakat yang paling maju di dunia. Semboyan Comte adalah, “love is our principle; order
is our basis; and progress is our end”. Prinsip/semboyan ini dipengaruhi oleh pertama pengaruh
Agama Kristen; kedua pengaruh ilmu pengetahuan; dan ketiga pengaruh Aufklarung.
Positivisme dilengkapi dengan cinta kasih dan konsepsi keagungan manusia menjadi agama baru
dimana “kemanusiaan” (humanity) menjadi pusatnya.
Aliran ini ditandai oleh penilaiannya yang sangat positif terhadap ilmu pengetahuan dan
peran nilai-nilai humanisme dalam pengembangan masyarakat dan kebudayaan yang diidamkan.
Terpengaruh oleh pandangan empirisme yang hanya mengakui fakta yang dapat diamati sebagai
sumber ilmu pengetahuan dan lalu menolak unsur-unsur psikologis dan metafisis memasuki
wilayah ilmu pengetahuan, Comte mencoba untuk mengosongkan klaim-klaim metafisik
memasuki ilmu pengetahuan. Fakta di sini lalu dilihat berbeda dengan nilai, fakta dapat
dipisahkan dengan nilai-nilai. Fakta fisis (physical events), sebagaimana dikemukakan
oleh Durkheim, adalah fakta yang real yang ada di luar pikiran kita, (outside of the
mind). Positivisme hanya menerima pengetahuan faktual, fakta positif yaitu fakta yang terlepas
dari kesadaran individu, yaitu an independent existence outside of the individual
consciousness (Durkheim, 1965: 30).
Istilah “positif” sering digunakan dalam tulisannya yang maksudnya sama dengan filsafat
positivismenya. Fakta positivis adalah fakta real atau yang nyata. Hal positif (a positive
fact) adalah sesuatu yang dapat dibenarkan oleh setiap orang yang mau membuktikannya. Fakta
positivis yang diolah melalui metode ilmu-ilmu alam diterima sebagai fundasi pengetahuan yang
valid. Filsafat Sosial yang berkembang sejak dari Plato, Aristoteles dan pemikir-pemikir lain telah
berkembang lama, akan tetapi pemikiran itu dianggap bersifat normatif dan spekulatif, sehingga
tidak memenuhi syarat keilmiahan dan dianggap tidak bermanfaat oleh pendukung positivisme.
Comte lalu berdiri di garis depan mendirikan sosiologi di atas dasar metode empiris
dengan mencontoh metode ilmu-ilmu alam. Ilmu masyarakat harus dapat menjelaskan tentang
perkembangan bangsa-bangsa manusia dan dan mampu memprediksi masa depannya. Karena
itu ilmu-ilmu soaial kemasyarakatan harus dapat menemukan hukum-hukum perubahan yang
mengatur bangsa manusia. Karena itu harus dipelajari dinamika sosial (kemajuan dan perubahan
masyarakat) serta statika sosial yang menjelaskan tentang keteraturan dan stabilitas
masayarakat.
Comte juga dipengaruhi pandangan naturalisme tentang masyarakat. Ia menganggap
manusia dan masyarakat sama dengan alam yang memiliki hukum-hukumnya yang pasti
(mekanis). Ilmu yang dikembangkannya itu pada awalnya disebutnya dengan ‘Fisika Sosial’ yang
kemudian digantinya dengan istilah ‘sosiologi’, karena istilah itu dicuri (digunakan) oleh Adolphe
Quetelet ahli statistik sosial dari Belgia. Dalam penelitian empiris, kita hanya menerima fakta dan
gejala empiris saja sebagai kenyataan. Positivisme bertujuan untuk menjadikan ilmu
pengetahuan dengan fundasi yang kuat dan terpercaya. Ajaran dasar positivisme antara lain [1]
Dalam alam terdapat hukum-hukum yang dapat diketahui, [2] Penyebab adanya benda-benda
dalam alam tidak dapat diketahui, karena ilmuwan tidak dapat melihat penyebabnya (misalnya
apakah alam diciptakan atau alam terjadi dengan sendirinya dan berada di luar jangkauan
indrawi), ]3\ Setiap pernyataan yang secara prinsip tidak dapat dikembalikan pada fakta maka
pernyataan itu tidak mempunyai arti nyata dan tidak masuk akal. [4] Hanya hubungan antara
fakta-fakta saja yang dapat diketahui, [5] Perkembangan intelektual merupakan sebab utama
perubahan sosial (Osborne, 2001, 134-135). Sekarang dikatakan bahwa ilmu pengetahuan
(informasi) sebagai modal utama untuk kemajuan satu bangsa.
Prosedur penelitian empiris-eksperimental Comte dapat dirumuskan sebagai berikut [1]
Observasi, yaitu meneliti dan mencari hubungan antara fakta-fakta, lalu meninjaunya dari
hukum statika dan dinamika sosial. Dari Observasi dapat dirumuskan hipotesa yang akan
dibuktikan melalui penelitisan. [2] Eksperimen, yaitu fenomena sosial dengan cara tertentu
diintervensi dengan cara tertentu juga, sehingga dapat dijelaskan sebab-akibat fenomena
masyarakat (misalnya studi tentang patologi dan keresahan) serta mendapat pemahaman tentang
bagaimana masyarakat yang normal. [3] Perbandingan (komparasi) dan metode historis,
misalnya dalam biologi dikenal anatomi komparatif. Dalam sosiologi studi komparatif bisa
dilakukan antara dua masayarakat/kebudayaan (studi antropologi) atau antara dua periode
dalam masyaratakt tertentu (sosiologi historis). Metode historis dimaksudkan adalah
penelusuran terhadap hukum-hukum yang menguasai perkembangan pemikiran manusia.
Comte mulai mengemukakan adanya satu metode untuk keseluruhan bidang ilmiah serta
adanya hukum-hukum besar yang menentukan keadaan sosial dan kebudayaan manusia.
Pengembalian teori-teori sosial pada satu prinsip dasar ini kemudian dikenal dengan Grand
Theory (bandingkan dengan Grand-narrative nya Lyotard).
Positivisme Logis
Pernyataan (proposisi) ilmiah harus disusun berdasarkan data-data indrawi, karena itu
bahasa ilmiah dapat dianalisis benar tidaknya berdasarkan verifikasi faktual. Ketika saya
menyatakan “ada kucing di atas meja” sementara orang lain (B) menyatakan ‘tidak ada kucing di
atas meja”, maka benar dan salahnya pernyataan itu dapat dilakukan dengan membuktikan
(verifikasi) pada fakta/kenyataan yang sesungguhnya.. Positivisme logis mempercayai bahwa
‘obyek-obyek fisik” atau datum indrawi sebagai pola-pola dan data yang konstan, sehingga
pernyataan ilmiah nya akan sama dan dapat dikukuhkan oleh datum indrawi (fenomenalisme).
Prinsip inilah yang kemudian menjadi titik tolak filsafat analitis, ketika menyatakan verifikasi
sebagai kriteria ilmiah dan non-ilmiah. Filsafat analitis menganggap bahwa permasalahan filsafat
dapat diselesaikan melalui pengunaan bahasa yang ketat dengan menggunakan logika dan
analisis bahasa. Logika dan analisis bahasa gunanya untuk menghindarkan penggunaan bahasa
yang abstrak, kacau atau bahasa yang semu.
Dalam pandangan filsafat analitis hanya ada dua model bahasa yang rasional, maksudnya
yang bisa dibuktikan benar atau salahnya, yaitu kalimat atau proposisi analisitis dan proposisi
sintetis. Proposisi analitis adalah pernyataan logika, matematika, sedangkan proposisi sinstetis
pembenarannya berdasarkan pengalaman (fakta). Dengan menggunakan dua model bahasa ini,
filsafat menjadi ilmu yang rigorous, ilmu yang hanya berdasarkan pengalaman murni di mana
bahasa ilmu pengetahuan hanya menjelaskan bagaimana peristiwa-peristiwa berhubungan di
dalamnya. Mach, salah seorang profesor di Wiena, menempatkan pengalaman sebagai sumber
ilmu pengetahuan dan mengesampingkan unsur-unsur apriori (seperti metafisika dan etika)
masuk di dalam konstruksi ilmu pengetahuan.
Berkembangnya positivisme logis (pada psikologi, sosiologi, komunikasi) harus dilihat
dalam konteks perkembangan masyarakat di Eropa pada awal abad ke-20, saat Perang Dunia
I baru saja usai. Banyak kekuatan politik, seperti kerajaan dan pemerintahan republik yang
tumbang, sehingga peta politik Eropa berubah secara drastis. Di samping itu, perang
mengakibatkan korban yang sangat besar di kalangan generasi muda serta menimbulkan
kehancuran material yang luar biasa (Wuisman, 1996). Walaupun demikian, harus diakui
bahwa perang ini telah menimbulkan kesadaran baru terhadap ilmu pengetahuan. Diakui
secara umum bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan industri serta kekuatan ekonomi akan
sangat menentukan kalah-menang dalam peperangan. Karena itu, muncul semangat untuk
membangun kembali Eropa yang hancur itu di atas landasan ilmu pengetahuan. Di tengah-
tengah lahirnya cara pandang yang demikian, positivisme logis berdiri pada barisan terdepan
menghadapi pandangan lain yang juga ingin membangun Eropa berdasarkan landasan
teologi dan metafisik (Wuisman, 1996:4).
Kaum positivisme logis berpendapat bahwa pembangunan masyarakat perlu ditangani
secara ilmiah. Karena itu, masalah metodologi ilmu menjadi penting sebagai prinsip bagi
pengembangan individu atau masyarakat yang diidamkan. Kemudian dikembangkanlah apa yang
disebut dengan The spirit of a scientific conception of the world, yakni semangat dunia ilmiah
yang berorientasi pada ilmu-ilmu alam dan ilmu pasti yang telah mencapai tingkat
perkembangan yang tinggi dan keberhasilan yang sangat dikagumi. Untuk membentuk
masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, diperlukan kesatuan ilmu
pengetahuan (unified science). Kesatuan ilmu pengetahuan itu diwujudkan dalam bentuk
kesatuan metode dan kesatuan bahasa ilmiah, yang berlaku universal untuk semua bidang ilmu
pengetahuan. Jadi, ilmu pengetahuan dikonstruksi atas logika ilmiah (logic of science), yaitu
dalam bentuk bahasa dan metode yang verifikatif.
Asas-asas Positivisme Logis
Empirisme, sebagaimana dikembangkan oleh pemikir Renaissance dan Pencerahan, seperti
Francis Bacon, John Locke dan David Hume, menjadi asas bagi positivisme logis. Prinsipnya
adalah bahwa pengalaman (observasi) dijadikan sebagai satu-satunya sumber yang terpercaya
bagi ilmu pengetahuan (menggantikan akal sehat dan otoritas gereja). Aliran ini menonjol dalam
pandangan dan sikapnya bahwa hanya ada satu bentuk pengetahuan, yaitu yang didasarkan atas
pengalaman dan dapat dikemukakan dalam bahasa logis dan matematis. Matematika adalah
bagian dari logika dan keduanya merupakan proyeksi kemampuan kita untuk berpikir secara
jelas. Logika yang dikembangkan itu disebut Logika Modern, yaitu dengan menerapkan logika
matematik pada bahasa. Logika Bahasa (paduan matematika, logika, dan bahasa) menurut Frege
dapat digunakan untuk mengemukakan pernyataan secara ketat, bebas dari kekacauan bahasa
sehari-hari dan bahasa metafisika.
Pemikiran Positivisme Logis semuanya mendewakan logika dan penggunaan bahasa yang
verifikatif. Pengetahuan ilmiah menurut Carnap dibedakan dalam dua tingkatan, yaitu
‘pengetahuan tingkat dasar’ dan ‘pengetahuan tingkat atas’. Pengetahuan tingkat dasar adalah
pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan elementer tentang fakta atomik. Pernyataan
dasar ini selalu benar secara mutlak karena dapat diverifikasi. Pengetahuan paling dasar (rock
bottom knowledge) ini dijadikan sebagai landasan yang kokoh bagi konstruksi pengetahuan
tingkat atas. Pengetahuan tingkat atas bersifat umum atau universal dan ini sebagai hasil
konstruksi logis (metodologi induktif) murni. Pengetahuan tingkat atas berupa teori atau
generalisasi yang diperoleh melalui penelitian empiris-eksperimental.
Jadi, G. E. Moore, filsuf pertama yang disebut sebagai ordinary language Philosopher atau
‘filsuf bahasa dehar-hari’ yang merancang corak pemikiran filsafat sebagai penjelasan
penggunaan bahasa dan pikiran (filsafat analitik). Maksudnya di sini, Moore berupaya untuk
mengalihkan perhatiannya dari bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari pada
bahasa ilmiah yang jelas dan ketat. Sementara itu Bertrand Russell (murid Moore) bersama
Alfred Whitehead secara bersama menulis buku Principia Mathematica. Ludwig Wittgenstein
dalam bukunya Tractatus Logico-Philosophicus (1921) menunjukkan pengaruh atomisme logis
Russel pada Wittgenstein (dua pemikir ini dari Cambridge). Wittgenstein pertama-tama
mengatakan bahwa dunia terdiri dari kenyataan-kenyataan sederhana seperti atom-atom. Fakta
atomik itu dapat diibaratkan dengan batu-batu bata yang menyusun bangunan (rumah) maka
fakta atomik-lah yang menyusun ilmu pengetahuan (body of knowledge). Bahasa logis itu terdiri
dari “atom-atom logis” (atomic facts) dan berupa relasi subyek dan obyek. Kebenaran bahasa
logis ini ditentukan oleh kebenaran unsur-unsurnya (atom-atomnya).
Impian Wittgestein adalah menciptakan bahasa sempurna, sesempurna yang dapat
menyatakan segala sesuatu secara tepat dan pasti. Filsafat, menurutnya adalah kejelasan.
Wittgenstein mengemukakan bahwa “realitas harus diselidiki, bukan secara langsung akan tetapi
lewat bahasa”. Sebagaimana bahasa dapat diasalkan pada unsur-unsurnya (atom-atom logis),
maka realitas dapat pula direduksi pada fakta-fakta atomiknya. Berdasarkan pandangan
atomisme logis, maka metafisika disingkirkan dari bidang ilmiah. Dengan demikian maka telah
terjadi penolakan terhadap metafisika yang mana menurut Richard Boyd dianggap sebagai
doktrin yang benar, sebagaui the doctrin of true being (Boyd, 1992).
Russell menempatkan logika bahasa pada tempat yang penting dalam ilmu pengetahuan.
Suatu ucapan atomis misalnya kata “kucing’ itu “melukiskan” suatu gambaran fakta logis yang
sama dengan gambar yang memperlihatkan relasi tertentu antara benda-benda yang
digambarkan ‘kucing’ yang sesungguhnya. Jadi, bahasa seakan mencerminkan dunia/realitas.
Pandangan ini kemudian dikenal dengan picture theory (istilah yang dikemukakan
Wittgenstein) atau mirror of nature dimana bahasa dianggap mencerminkan realitas sebagai apa
adanya (Rorty, 1980).
Empirisme sebenarnya sudah tercakup dalam positivisme. Positivisme Comte ditegakkan di
atas landasan empirisme. Pengetahuan positif yang bermanfaat didasarkan atas “fakta yang dapat
diamati,” atau “apa yang benar-benar ada.” Pengetahuan positif itu, menurut Comte, “berguna,”
dan “pasti” yang ia pertentangkan dengan sesuatu yang “tidak berguna” dan “tidak tentu”
(Wibisono, 1983: 10-22). Pendukung positivisme logis melanjutkan pandangan optimisme Comte
terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai landasan pembangunan masyarakat yang
maju, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi dijadikan titik tolak untuk membangun
masyarakat yang diinginkan.
Logika Induktif dan Deduktif
Analisis logis dianggap penting dalam mengembangkan pengetahuan. Pengetahuan
merupakan analisis atas keterangan yang diperoleh melalui panca-indera. Dalam positivisme
logis, logika tidak hanya dimengerti sebagai logika induktif dan deduktif saja, akan tetapi
diperluas dengan logika bahasa seperti yang dikemukakan Wittgenstein. Logika (penalaran)
induktif adalah penarikan kesimpulan yang didasarkan atas fakta.
Falsifikasi ini adalah bentuk penalaran deduktif. Penalaran deduktif adalah penalaran yang
bertolak dari generalisasi atau teori. Misalnya pernyataan: Semua makhluk hidup mati. Jika
generalisasi ini benar, maka kita bisa menarik kesimpulan yang lebih khusus dengan benar.
Misalnya tumbuh-tumbuhan pasti mati, hewan, atau manusia pasti mati. Penalaran deduktif ini
umumnya digunakan dalam logika dan matematika, sedangkan logika induktif diterapkan pada
ilmu pengetahuan empiris. Di dalam positivisme, kedua model logika ini disatukan, karena ilmu
pengetahuan bukan saja harus berdasarkan fakta, akan tetapi fakta itu dianalisis dengan analisis
kuantitatif.
Sikap kritis merupakan salah satu unsur penting dalam positivisme logis sebagai upaya
memahami ilmu pengetahuan dalam lingkup masyarakat yang lebih luas. Kesatuan ilmu
pengetahuan dalam positivisme logis ditegakkan di atas empat asas, yaitu empirisme,
positivisme, logika ilmu, dan kritik ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan dapat dikonstruksi berdasarkan
atas keempat asas ini, hal yang demikianberlaku secara sama bagi semua ilmu pengetahuan
(sosial-budaya dan ilmu pengetahuan alam) Dengan itu, terdapat satu metode dan satu model
bahasa ilmu pengetahuan yang bersifat universal dan konsisten secara menyeluruh.
Ciri khas dari aliran filsafat analitik (filsafat bahasa) adalah kebenciannya pada metafisika
serta upayanya memperjelas penggunaan bahasa melalui analisis bahasa sebagai atomisme
logis (logical atomism). Pernyataan ilmiah itu hanyalah berupa atom-atom logis, yaitu
pernyataan yang dapat menunjukkan obyek (fakta atomis) secara langsung. Struktur logis seperti
inilah yang mendasari setiap pernyataan ilmiah, karena itu dalam ilmu pengetahuan ada
kesejajaran antara dunia (facts) dengan bahasa (picture theory). Filsafat bagi mereka adalah
kejelasan dan kejelasan dapat direduksi pada masalah sintaksis (penggunaan bahasa).
Positivisme logis menekankan kesatuan ilmu pengetahuan, menurut Patrick Suppe
(1977) tuntutan itu diterapkan dalam bentuk kesatuan metode, kesatuan bahasa, kesatuan
hukum, kesatuan obyek kajian ilmu pengetahuan. Kesatuan metode ilmiah maksudnya
adalah bahwa semua ilmu pengetahuan (sosial, budaya, ekonomi) harus menggunakan
metode yang sama dengan metode ilmu pengetahuan alam. Kesatuan obyek ilmu
pengetahuan, maksudnya adalah bahwa ilmu pengetahuan hanya mengkaji fenomena atau
objek fisis yang teramati (fisikalisme). Kesatuan bahasa maksudnya adalah bahwa semua
pernyataan atau bahasa ilmiah hanya bahasa yang faktual dan logis/matematis. Karena itu,
verifikasi oleh tokoh positivisme dijadikan kriteria keilmiahan, maksudnya ilmiah tidak
ilmiahnya satu teori atau pernyataan. Tokoh positivisme logis menyatakan “makna suatu
proposisi adalah metode verifikasinya”.
Dalam konteks ini, maka makna verfikasi meliputi [1] Satu proposisi hanya berarti bila
proposisi itu dapat dibuktikan benar-salahnya. Misalnya, kalau saya katakan, bahwa
ada tuyul di dalam kelas, atau Si Ali sakit karena santet, maka pernyataan itu dinyatakan tidak
ilmiah karena tuyul dan santet itu tidak dapat diverifikasi (tidak dapat dibuktikan). [2] Ada
bentuk-bentukkebenaran logis dan bentuk-bentuk kebenaran faktual. Kebenaran logis dan
matematis adalah kebenaran yang sifatnya rasional, sedangkan kebenaran faktual
jastifikasinya (pembenarannya) adalah verifikasi fakta yang dapat dilakukan oleh orang yang
indranya baik (normal). [3] Kebenaran faktual hanya dapat dibuktikan melalui pengalaman
indrawi (verifikasi). (bandingkan dengan Osborne, 2001; 149). Dari pembahasan di atas dapat
dirumuskan asumsi-asumsi yang terkandung dalam paradigma positivisme itu melalui tabel
berikut, (bandingkan dengan Smith, 1998; Lubis, 2001).
Asumsi Definisi Implikasi
Natural- Positivis mengakui pandangan bahwa Ilmu hanya sosial-budaya bertolak dari
fenomena alam sama (manusia secara tingkah laku, dan institusi masyarakat yang
isme
prinsip sama dengan hewan, dan alam teramati. Dalam cara yang sama manusia
fisis), karenanya metode ilmu alam dapat dapat diteliti sebagai proses kimia atau
diterapkan pada ilmu biologi. Ilmu alam menjadi model untuk
penelitian sosial-budaya
sosial-budaya (unification of method,
kesatuan metode ilmiah)
Fenomenalisme Ilmu pengetahuan hanya bersum Realitas dibatasi pada yang dapat dilihat
diraba, disentuh, didengar dan dicium saja.
ber dari fenomena yang dapat
Kesadaran, motivasi, tujuan
diamati (fisikalisme), hal yang hidup/kebahagiaan adalah hal yang subyektif
(ada dalam pikiran) saja.
abstrak dan metafisik berada di luar ilmu
pengetahuan
Nominal-isme Konsep universal sebagai gambaran Semua konsep dan Ide yang tidak
murni sulit diterima karena hanya
didasarkan atas pengamatan lang-
didasarkan pada fakta individual. Konsep
adalah suatu nama/sebutan kebahasa- sung tidak bermakna. Konsep:
an yang disepakati. kesadaran, keadilan, jiwa, makna/
tujuan hidup dinyatakan tidak bermakna
Atomisme Atomisme adalah pendekatan khusus Unit terkecil yang dapat diobservasi menjadi
untuk mendefinisikan obyek studi. Objek fokus riset. Dalam penelitian sosiologi ia
dapat dipecah dalam bagian-bagian kecil. bertolak dari individu; masyarakat dipandang
Objek merupakan jumlah total dari tidak lain dari kumpulan individu-individu.
komponen atomiknya.
Hukum-hukum Tujuan ilmu pengetahuan adalah Pencarian hukum ilmiah diadopsi oleh
ilmiah nememukan hukum (nomotetis). Bertolak ilmuwan sosial dengan asumsi
dari observasi terhadap fenomena alam
keteraturan empiris, misalnya:
dicari “empirical-regularity”. Hukum
ilmiah adalah merokok menyebabkan kanker
pernyataan umum yang dapat paru-paru. Biasanya dirumuskan:
menjelaskan keberaturan pengalaman jika p maka q.
pada tempat dan waktu yang berbeda
Fakta dan Nilai Fakta dan nilai dilihat sebagai dua hal Para ahi ilmu sosial-budaya yang
yang berbeda/terpisah. Fakta dapat
menerima asumsi ini menyatakan bahwa
diobservasi, diukur dan diverifikasi. Nilai-
proposisi ilmiah bebas dari nilai.
nilai termasuk penilaian subyektif,
tuntutan tentang apa yang seharusnya
tidak boleh masuk dalam wilayah ilmu
pengetahuan
Dafftar Pustaka
Ackerman, R., (1965), Theories of Knowledge, A Critical Introduction. USA, Mc Graw Hill Books Company.
Ayer, A. Y., (1946), Language, truth and Logic. London, Victor Golanes.
Babbie, Earl, (2004). The Practice of Social Research, 10th Edition, Thomson Wadsworth: USA.
Beerling, (1986), Pengantar Filsafat Ilmu. (ter. Soemargono), Tiara Wcana, Yogyakarta.
Appleby, Joyce et. All., 1996, Knowledge and Postmodernism in Historical Perspective. Rotledge, New York.
Bleicher, J., 1980, Comtemporary Hermeneutics, Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique. London,
Routledge & Kegan Paul.
Bochert, Donald M. (Ed.in Chief), (1996), The Encyclopedia of Philosophy. New York, Simond & Schuster, Ma Millan.
Boyd, Richard & Philip Gasper. J. D., (ed..), (1992),The Philosophy of Science. Massachusetts Institute of Technology.
Carnap, Rudolf, (1996), Philosophical Foundation of Phisics. New York, Basic Books..
Denzin, Norman K., & Yvonna S.Lincoln, 1994, Handbook of Qualitative Research. Sage Publicatiaon, London-New
Delhi.
Foucault, Michel, 1977, Diciplin and Punish; The Birth of Prison. (Terj. Alan Seridan), London –Worcester, Billing &
Sons.
Delfgauw, Bernard, (19880, Filsafat Abad XX. (terj. Soejono Soemergono), Tiara Wcana, Yogyakarta.
Durkheim, E., (1964), The Rules of Sociological Method. New York Free Press.
_____________, 1965, Madness and Civilization. (Trans. Richard Howard, Random Hause Inc.
_____________, 1972, The Archeology of Knowledge and Discourse on Language. (Trans., Alan Sheridan)
Travistock.
____________, 1970, The Order of Things: An Archeology of the Human Science. Random House, New York.
Feyerabend, Paul, 1975, Against Method, Verso, London. Gadamer. H. G., 1975, Truth and Method, Sheed and Ward,
London.
Guba, Egon G., (ed.), 1990, The Paradigm Dialog. Sage Publications, London-New delhi.
Hawes, Leonard, (1975), Pragmatic Analoguing: The Theory and Model Construction in Communication, Reading,
Mass: Addison- Wasley Publishing Co. Inc.
Heckman, Susan, J., 1990, Gender and Knowledge: Elements of Postmodern Feminism. Cambridge, Polity Press.
Hekman, S.J., 1986, Hermeneutics and the Sociology of Knowledge. Oxford: Polity Press.
Hirsch, E., D., Jr., (1967), Validity n Interpretation. New Have; Yale University Press.
Honderich. Ted (ed.), (1995), The Oxford Companion to Philosophy. Oxford Newyork, Oxford University Press.
Khaldun, Ibn, (2000), Mukaddimah Ibn Khaldun, TerjemahanAhmadie Thoha: Pustaka Firdaus : Jakarta.
Kuhn, Thomas S., 1970, The Structure of Scientific Revolutions. Chicago University Press.
Leche, John, 1994, Fifty Key Contemporary Thinkers: From Structuralism to Postmodernism. Roudledge, London-New
York.
Lyotard, Francois, 1984, The Postmodern Condition:A Report on Knowledge. (trans. Geoff Bennington and Brian
Massumi, Minneapolis, University of Minneapolis Press.
Marcuse, Herbert (2004), Rasio dan Revolusi: menyuguhkan Kembali Doktrin Hegel Untuk
Umum, (terjemahanImam Baihaqie), Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Mises, Richard von, (1951), Positivism A Study in Human Understnading. New York, Dover Publications, Inc.
Norris, Christopher, 1997, New Idols of the Cave: On the Limits of Anti-realism,Manchester University Press.
Putnam, Hillary, 1983, Realism and Reason, Philosophical papers, Vol 3, Cambridge, Cambridge University Press.
_____________, (1989), Philosophy and the Mirror of Nature. Princeton, New Yersey, Princeton University Press.
Rorty, Richard, 1980, Philosophy and the Mirror of Nature, Princeton, New Yersey, Princeton University Press.
_____________, 1991, Objectivity, Relativism, and Truth, Vol. I, Cambridge University Press.
_____________, 1983, Consequences of Pragmatism. (Essay: 1972-1980), Minneapolis Univ. Press.
Quine, 1960, World and Object. Cambridge, MIT Press.
Sarantakos, S., 1993, Social Research. Melbourne, Macmillan Education, Australia
Searle, John, 1995, The Construction of Social Reality. Free Press
Sheridan, Alan, 1980, Michel Faucoult: The Will to Truth. London , Travistock.
Smith, Marx J., (1998), Social Science in Question. Sage Publications Inc.
Suppe, F, (1983), The Semantic Conception of the Theories and Scientific Realism, Illionis University Press.
Verhaak, C. dan Haryono Imam, (1989), Filsafat Ilmu Pengetahuan Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-ilmu, Gramedia,
Jakarta.
Wallace, Walter, L., (1990), Metode Logika Ilmu Sosial, Yayasan Solidaritas Gama Budi Aksara, Jakarta
Wittgenstein, L., (1961), Tractatus Logico Philosophicus, (Tras. By D. F. Pears & B. F.McGuinnesds, London, Routledge
& Kegan Paul.
Wooddhouse, Marx B. (2001), A Preface to Philisophy, (terjemahana, Ahmad Norma permata, P. Hardono Hadi),
Kanisius, Yokyakarta.