Anda di halaman 1dari 14

INISIASI 2

POSITIVISME SOSIOLOGI
Positivisme & Positivisme Logis
Paradigma Positivisme
Ilmu pengetahuan sosial yang disebut Saint Simon sebagai fisika sosial harus
menggunakan metode ilmu alam, karena menurutnya dengan cara ini kemungkinan
kekacauan dalam masyarakat dapat di atasi. Fisika sosial dengan demikian harus menjelaskan
sebab-akibat terjadinya fenomena dalam masyarakat, oleh karenanya fisika sosial dapat
menguasai proses perubahan dalam masyarakat. Dalam pandangan ini, sejarah pun bukan
sekedar penyusunan kejadian-kejadian belaka, melainkan harus menjelaskan hubungan tali-
temali (sebab-akibat satu peristtiwa). Dengan demikian teori ilmiah itu harus dapat dipraktekkan
bagi perbaikan kehidupan masyarakat. Di sini, ada hubungan antara teori dengan praktek
(praxis), ini berarti ilmu itu harus mempertimbangkan nilai kegunaannya (nilai pragmatis).
Pemikiran Positivisme pada Comte dikemukakannya pada kuliah-kuliah yang dibukukan
dalam 6 jilid yang diberi judul Course de Philosophie Positive (Course in Positive
Philosophy). Tulisan Comte yang lain adalah Systeme de Politique Positive (1851-1884)
dan Catechisme Politique. Tulisan Comte ini sejalan dengan upaya Descartes dalam Discours de
la Me‘thode, L‘Esprit des Lois dari Montesqieu, dan Tableau Historique de Progre‘s de L‘esprit
Humain dari Condercet yang semuanya dijiwai untuk menemukan sintesa, dan kepastian.
Buku Comte itu menyajikan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan baru, yang berambisi besar
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan besar dalam filsafat, yaitu pertanyaan: Bagaimana
mengenali dunia? Apa itu manusia? Apa itu masyarakat? Bagaimana cara hidup bersama-sama
(di dalam masyarakat) itu? Dengan itu, Comte berkeinginan menemukan pengetahuan baru yang
dapat memerintah masyarakat.
Tahun 1824 Comte memutuskan persahabatannya dengan Saint Simon. Buku Sistem Politik
Positif yang ditulisnya mengemukakan tentang gagasan “agama humanitas”nya. Agama yang
memuja nilai-nilai kemanusiaan. Meskipun agama Humanisme Comte dengan prinsip-prinsip
humanismenya telah menggantikan posisi agama Kristen dalam masyarakat Eropa, sebagai
masyarakat yang paling maju di dunia. Semboyan Comte adalah, “love is our principle; order
is our basis; and progress is our end”. Prinsip/semboyan ini dipengaruhi oleh pertama pengaruh
Agama Kristen; kedua pengaruh ilmu pengetahuan; dan ketiga pengaruh Aufklarung.
Positivisme dilengkapi dengan cinta kasih dan konsepsi keagungan manusia menjadi agama baru
dimana “kemanusiaan” (humanity) menjadi pusatnya.
Aliran ini ditandai oleh penilaiannya yang sangat positif terhadap ilmu pengetahuan dan
peran nilai-nilai humanisme dalam pengembangan masyarakat dan kebudayaan yang diidamkan.
Terpengaruh oleh pandangan empirisme yang hanya mengakui fakta yang dapat diamati sebagai
sumber ilmu pengetahuan dan lalu menolak unsur-unsur psikologis dan metafisis memasuki
wilayah ilmu pengetahuan, Comte mencoba untuk mengosongkan klaim-klaim metafisik
memasuki ilmu pengetahuan. Fakta di sini lalu dilihat berbeda dengan nilai, fakta dapat
dipisahkan dengan nilai-nilai. Fakta fisis (physical events), sebagaimana dikemukakan
oleh Durkheim, adalah fakta yang real yang ada di luar pikiran kita, (outside of the
mind). Positivisme hanya menerima pengetahuan faktual, fakta positif yaitu fakta yang terlepas
dari kesadaran individu, yaitu an independent existence outside of the individual
consciousness (Durkheim, 1965: 30).
Istilah “positif” sering digunakan dalam tulisannya yang maksudnya sama dengan filsafat
positivismenya. Fakta positivis adalah fakta real atau yang nyata. Hal positif (a positive
fact) adalah sesuatu yang dapat dibenarkan oleh setiap orang yang mau membuktikannya. Fakta
positivis yang diolah melalui metode ilmu-ilmu alam diterima sebagai fundasi pengetahuan yang
valid. Filsafat Sosial yang berkembang sejak dari Plato, Aristoteles dan pemikir-pemikir lain telah
berkembang lama, akan tetapi pemikiran itu dianggap bersifat normatif dan spekulatif, sehingga
tidak memenuhi syarat keilmiahan dan dianggap tidak bermanfaat oleh pendukung positivisme.
Comte lalu berdiri di garis depan mendirikan sosiologi di atas dasar metode empiris
dengan mencontoh metode ilmu-ilmu alam. Ilmu masyarakat harus dapat menjelaskan tentang
perkembangan bangsa-bangsa manusia dan dan mampu memprediksi masa depannya. Karena
itu ilmu-ilmu soaial kemasyarakatan harus dapat menemukan hukum-hukum perubahan yang
mengatur bangsa manusia. Karena itu harus dipelajari dinamika sosial (kemajuan dan perubahan
masyarakat) serta statika sosial yang menjelaskan tentang keteraturan dan stabilitas
masayarakat.
Comte juga dipengaruhi pandangan naturalisme tentang masyarakat. Ia menganggap
manusia dan masyarakat sama dengan alam yang memiliki hukum-hukumnya yang pasti
(mekanis). Ilmu yang dikembangkannya itu pada awalnya disebutnya dengan ‘Fisika Sosial’ yang
kemudian digantinya dengan istilah ‘sosiologi’, karena istilah itu dicuri (digunakan) oleh Adolphe
Quetelet ahli statistik sosial dari Belgia. Dalam penelitian empiris, kita hanya menerima fakta dan
gejala empiris saja sebagai kenyataan. Positivisme bertujuan untuk menjadikan ilmu
pengetahuan dengan fundasi yang kuat dan terpercaya. Ajaran dasar positivisme antara lain [1]
Dalam alam terdapat hukum-hukum yang dapat diketahui, [2] Penyebab adanya benda-benda
dalam alam tidak dapat diketahui, karena ilmuwan tidak dapat melihat penyebabnya (misalnya
apakah alam diciptakan atau alam terjadi dengan sendirinya dan berada di luar jangkauan
indrawi), ]3\ Setiap pernyataan yang secara prinsip tidak dapat dikembalikan pada fakta maka
pernyataan itu tidak mempunyai arti nyata dan tidak masuk akal. [4] Hanya hubungan antara
fakta-fakta saja yang dapat diketahui, [5] Perkembangan intelektual merupakan sebab utama
perubahan sosial (Osborne, 2001, 134-135). Sekarang dikatakan bahwa ilmu pengetahuan
(informasi) sebagai modal utama untuk kemajuan satu bangsa.
Prosedur penelitian empiris-eksperimental Comte dapat dirumuskan sebagai berikut [1]
Observasi, yaitu meneliti dan mencari hubungan antara fakta-fakta, lalu meninjaunya dari
hukum statika dan dinamika sosial. Dari Observasi dapat dirumuskan hipotesa yang akan
dibuktikan melalui penelitisan. [2] Eksperimen, yaitu fenomena sosial dengan cara tertentu
diintervensi dengan cara tertentu juga, sehingga dapat dijelaskan sebab-akibat fenomena
masyarakat (misalnya studi tentang patologi dan keresahan) serta mendapat pemahaman tentang
bagaimana masyarakat yang normal. [3] Perbandingan (komparasi) dan metode historis,
misalnya dalam biologi dikenal anatomi komparatif. Dalam sosiologi studi komparatif bisa
dilakukan antara dua masayarakat/kebudayaan (studi antropologi) atau antara dua periode
dalam masyaratakt tertentu (sosiologi historis). Metode historis dimaksudkan adalah
penelusuran terhadap hukum-hukum yang menguasai perkembangan pemikiran manusia.
Comte mulai mengemukakan adanya satu metode untuk keseluruhan bidang ilmiah serta
adanya hukum-hukum besar yang menentukan keadaan sosial dan kebudayaan manusia.
Pengembalian teori-teori sosial pada satu prinsip dasar ini kemudian dikenal dengan Grand
Theory (bandingkan dengan Grand-narrative nya Lyotard).

Klasifikasi Ilmu Pengetahuan


Menurut Comte semua bidang ilmu pengetahuan mengikuti tahap perkembanag pemikiran
yang sama, akan tetapi tidak memiliki kecepatan yang sama (Laeyendecker, 1983:48-49).
Kecepatan dan urutannya ditentukan oleh sifat obyek ilmu itu. Metode positivis dapat diterapkan
lebih duhulu pada obyek-obyek yang memiliki ciri umum, sederhana, dan mandiri. Atas dasar
kriteria yang sama dapat dibuat klasifikasi ilmu pengetahuan, di mana urutan itu mengandung
urutan perkembangan historis ke arah ilmu pengetahuan positivis. Comte berpendapat bahwa di
dalam sosiologi metode positivis itu diterapkan secara mantap, dengan demikian sosiologi
dianggapnya sebagai ilmu yang paling tinggi Setiap ilmu (lihat susunan atau nomor tabel di
bawah) berkontribusi pada ilmu berikutnya yang ada di dalam susunan itu, akan tetapi tidak pada
yang mendahuluinya. Dari tata logika dan metodologinya, sosiologi berada pada urutan yang
paling tinggi (akhir) dengan tingkat kompleksitas yang paling rumit.
Hukum Kemajuan Manusia
Sejak Comte mengemukakan pemikirannya melalui karyanya itu, maka filsafat Barat abad
ke-19 sangat dipengaruhi oleh gagasan positivisme Comte. Sedemikian besar pengaruh
pemikirannya atas abad ini sampai-sampai abad ini sering juga disebut sebagai ‘Abad Positivisme’
yakni abad yang sangat dipengaruhi oleh kepercayaan akan metode dan nilai-nilai ilmiah (Koento
Wibisono, 1983) yang dianggap sebagai puncak pencapaian kebudayaan umat manusia. Comte
menganggap bahwa penginderaan dan akal budi manusia akan sama saja dimanapun itu; selain
itu perkembangannya dikuasai oleh hukum universal (melalui tahapan) yang sama pula. Proses
perkembangan akal budi ini sejajar dengan tahap perkembangan kebudayaan. Comte
mengemukakan tiga tahap perkembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan (Law of the Three
stages) (Smith: 1998:79). Tiga tahap perkembangan (stadia) pemikiran individu, masyarakat,
atau kebudayaan yang berlaku universal.
Pertama adalah tahap teologi atau fiktif. Jika kita ibaratkan dengan perkembangan
manusia, maka teologi adalah tahap anak-anak; tahap metafisik adalah tahap remaja; dan tahap
positivis tahap dewasa. Pada teologi ini manusia mencari sebab pertama atau tujuan akhir dari
segala sesuatu. Dalam semua peristiwa alam diyakini bahwa ada kekuatan
supernatural/adikodrati (kekuatan dewa-dewa) yang mengatur dan menyebabkan semua gejala
alam. Ada dewa yang mengusai laut, dewi sri yang menentukan dan menguasai padi, ada dewa
matahari, ada dewa bulan, ada kekuatan yang terdapat pada pohon, batu, keris, air, dan lain-
lain.Semua permasalahan dan jawaban terhadap pertanyaan fenomena alam dikembalikan pada
kepercayaan kekuatan fiktif itu. Tahap teologis menurut Comte sendiri meliputi tiga tahapan:
fetisisme/animisme, politeisme dan monoteisme. Tahap ini mulai mengalami krisis (mulai
redup) dengan munculnya Renaisans. Renaisans mulai menolak dan meninggalkan pemikiran
teologis Abad Pertengahan, dan mulai memasuki tahap metafisik.
Kedua, adalah tahap metafisis (abstrak). Tahap ini merupakan modifikasi dari tahap
teologis, akan tetapi kekuatan dewa-dewa, kini diganti oleh entitas metafisik (substansi, esensi,
roh, ide) yang dianggap ada pada setiap benda/alam. Pada tahap ini manusia merumuskan
jawaban atas fenomena alam dengan mencari sebab-sebab pertama dan tujuan akhir. Penjelasan
rasional/spekulatif berupa abstraksi adalah metode yang diandalkan untuk menemukan hakekat
atau substansi dari segala sesuatu yang metafisis itu. Meskipun zaman ini sudah jauh maju dari
zaman sebelumnya, akan tetapi bagi Comte ilmu pengetahuan masih terbelenggu oleh konsep-
konsep filsafat yang abstrak-universal. Tokoh idealis seperti Spinoza (1632-1677) yang dikenal
juga sebagai seorang panteisme menyatakan bahwa seluruh kenyataan atau realitas ini
merupakan satu substansi, substansi itu sama dengan Allah atau alam. Baginya pengetahuan
intuitif (scientia intuitiva) adalah pengetahuan yang paling sempurna Gottfried Wilhelm Leibniz
(1646-1716) berpemdapat bahwa kenyataan berasal dari monade-menade” atau “bagian-bagian
yang paling kecil” yang tidak terhitung banyaknya. Hegel, juga Comte menolak pandangan
abstrak sebagaimana dikemukakan tokoh idealisme dan rasionalisme ini. Antara tahun 1300-
1800 (dengan renaisans, reformasi dan revolusi Prancis) dianggap sebagai masa transisi ke tahap
positivisme (modern).
Ketiga, tahap positif, yaitu tahap berpikir real, factual, nyata yang merupakan dasar dari
(adanya) pengetahuan. Comte berpendapat bahwa tahap positivis(me) ini merupakan puncak
perkembangan tahap pemikiran umat manusia. Positivisme diartikan oleh Comte sebagai segala
sesuatu yang nyata, yang jelas, yang pasti dan bermanfaat. Positivisme adalah lawan dari yang
negatif (abstrak), yang tidak pasti dan tidak bermanfaat (Wibisono, 1983). Positivisme sebagai
paham filsafat membatasi pengetahuan yang benar pada hal-hal yang dapat diperoleh dengan
memakai metode ilmu-ilmu alam (induksi). Hal yang positif (a positive fact) adalah fenomena
yang mesti dibenarkan oleh setiap orang yang mempunyai kesempatan yang sama untuk menilai
(membuktikannya). Positivisme menerima dan membenarkan gejala empiris sebagai kenyataan
(naturalisme) dan berasumsi bahwa berpikir ilmiah yang benar adalah berpikir obyektif, sebagai
model berpikir yang tidak terikat pada individu akan tetapi berlaku untuk semua orang. Sosiologi
adalah ilmu yang memungkinkan kita untuk menemukan hukum organisasi masyarakat (statika
sosial), sekaligus hukum evolusinya (dinamika sosial). Hukum sosial itu dapat digunakan untuk
memprediksi fenomena sosial yang akan datang, bisa juga digunakan untuk mengontrol
(memecahkan\/menguasai masalah masalah sosial), savoir pour pre’voir, pre’voir pour pouvoir
Pada tahun 1847 Comte memunculkan pemikiran baru dengan mendirikan agama baru bagi
‘makhluk agung” yang baru, yaitu agama yang didasarkan atas prinsip ilmiah dan kemanusiaan.
Para imuwan bertindak sebagai pendetanya, dan teori ilmiah (khususnya sosiologi) sebagai
dogmanya. Tahun-tahun berikutnya mulai terjadi perubahan drastis pada pemikiran Comte,
terutama setelah perkenalannya dengan Clotilde yang kemudian memperdalam keyakinannya
bahwa manusia tidak cukup untuk saling memahami dan saling mencintai antarsesama.
Tulisannya Syste‘me de Politique Positive (1851-1854) dengan subjudul, “Traite‘ de Sociologie
Insttituant la regligion de l‘humanite” (Tulisan Ilmiah Sosiologi Dengan Mendirikan Agama
Kemanusiaan), Comte menjadikan Clotilde de Vaux (kekasihnya yang meninggal) sebagai Dewi
pelindung. Tahun-tahun terakhir pemikiran Comte semakin mendekati aliran mesianisme
dengan mendeklarasikan diri sebagai “pemengang kekuasaan tertinggi Keuskupan Agama
Kemanusiaan”.
Positivisme Comte jauh meninggalkan spekulasi dan pemikiran metafisik (abstrak) dan
hanya berpegang pada ilmu pengetahuan yang dikonstruksi berdasarkan pengalaman, observasi,
dan penalaran logis-matematis (kuantitatif). Comte yakin konstruksi sistem pengetahuan baru
(positivisme) dapat memberikan fundasi terpercaya bagi kepastian dan kebenaran baru ilmu
pengetahuan. Isaiah Berlinmengatakan bahwa pandangan-pandangan Auguste Comte telah
mempengaruhi kategori-kategori pemikiran dunia ilmiah dengan sangat mendalam dan melebihi
daripada yang kita sangka. Pandangan masarakat modern tentang fundasi ilmu pengetahuan,
tentang obyektivitas dan kebenaran, tentang evolusi budaya dan kemajuan, tentang sejarah
banyak dipengaruhi oleh Comte. Comte telah merintis pemikiran yang menempatkan bahwa ilmu
hanya menginventarisasi fakta-fakta bukan bergelut dengan pemikiran transendental.
Pandangan sosiologi Comte tentang negara dan tesisnya tentang kegiatan politik serta
institusi, dalam konteks dan saling keterkaitan yang lebih luas, menjadi perhatian sosiologi dan
politikus sesudahnya. Teori organiknya tentang negara dan masyarakat kemudian dikembangkan
oleh Spencer. Pandangannnya tentang tujuan ilmu pengetahuan sebagai kontrol sosial banyak
mempengaruhi perencana dan juga ilmu pengetahuan seperti psikologi behaviorisme.
Behaviorisme menerima pandangan Comte yang disebut Herbert Marcuse sebagai “dogma umum
tentang keseragaman alam” sebagai dasar untuk menjadikan psikologi sebagai ilmu. Comte
mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan yang genuine atu murni tidak memiliki tujuan selain
secara tetap membangun dan meneguhkan tatanan intelektual yang merupakan basis bagi semua
tatanan yang asli ( Marcuse, 2004; 281).

Positivisme Logis
Pernyataan (proposisi) ilmiah harus disusun berdasarkan data-data indrawi, karena itu
bahasa ilmiah dapat dianalisis benar tidaknya berdasarkan verifikasi faktual. Ketika saya
menyatakan “ada kucing di atas meja” sementara orang lain (B) menyatakan ‘tidak ada kucing di
atas meja”, maka benar dan salahnya pernyataan itu dapat dilakukan dengan membuktikan
(verifikasi) pada fakta/kenyataan yang sesungguhnya.. Positivisme logis mempercayai bahwa
‘obyek-obyek fisik” atau datum indrawi sebagai pola-pola dan data yang konstan, sehingga
pernyataan ilmiah nya akan sama dan dapat dikukuhkan oleh datum indrawi (fenomenalisme).
Prinsip inilah yang kemudian menjadi titik tolak filsafat analitis, ketika menyatakan verifikasi
sebagai kriteria ilmiah dan non-ilmiah. Filsafat analitis menganggap bahwa permasalahan filsafat
dapat diselesaikan melalui pengunaan bahasa yang ketat dengan menggunakan logika dan
analisis bahasa. Logika dan analisis bahasa gunanya untuk menghindarkan penggunaan bahasa
yang abstrak, kacau atau bahasa yang semu.
Dalam pandangan filsafat analitis hanya ada dua model bahasa yang rasional, maksudnya
yang bisa dibuktikan benar atau salahnya, yaitu kalimat atau proposisi analisitis dan proposisi
sintetis. Proposisi analitis adalah pernyataan logika, matematika, sedangkan proposisi sinstetis
pembenarannya berdasarkan pengalaman (fakta). Dengan menggunakan dua model bahasa ini,
filsafat menjadi ilmu yang rigorous, ilmu yang hanya berdasarkan pengalaman murni di mana
bahasa ilmu pengetahuan hanya menjelaskan bagaimana peristiwa-peristiwa berhubungan di
dalamnya. Mach, salah seorang profesor di Wiena, menempatkan pengalaman sebagai sumber
ilmu pengetahuan dan mengesampingkan unsur-unsur apriori (seperti metafisika dan etika)
masuk di dalam konstruksi ilmu pengetahuan.
Berkembangnya positivisme logis (pada psikologi, sosiologi, komunikasi) harus dilihat
dalam konteks perkembangan masyarakat di Eropa pada awal abad ke-20, saat Perang Dunia
I baru saja usai. Banyak kekuatan politik, seperti kerajaan dan pemerintahan republik yang
tumbang, sehingga peta politik Eropa berubah secara drastis. Di samping itu, perang
mengakibatkan korban yang sangat besar di kalangan generasi muda serta menimbulkan
kehancuran material yang luar biasa (Wuisman, 1996). Walaupun demikian, harus diakui
bahwa perang ini telah menimbulkan kesadaran baru terhadap ilmu pengetahuan. Diakui
secara umum bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan industri serta kekuatan ekonomi akan
sangat menentukan kalah-menang dalam peperangan. Karena itu, muncul semangat untuk
membangun kembali Eropa yang hancur itu di atas landasan ilmu pengetahuan. Di tengah-
tengah lahirnya cara pandang yang demikian, positivisme logis berdiri pada barisan terdepan
menghadapi pandangan lain yang juga ingin membangun Eropa berdasarkan landasan
teologi dan metafisik (Wuisman, 1996:4).
Kaum positivisme logis berpendapat bahwa pembangunan masyarakat perlu ditangani
secara ilmiah. Karena itu, masalah metodologi ilmu menjadi penting sebagai prinsip bagi
pengembangan individu atau masyarakat yang diidamkan. Kemudian dikembangkanlah apa yang
disebut dengan The spirit of a scientific conception of the world, yakni semangat dunia ilmiah
yang berorientasi pada ilmu-ilmu alam dan ilmu pasti yang telah mencapai tingkat
perkembangan yang tinggi dan keberhasilan yang sangat dikagumi. Untuk membentuk
masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, diperlukan kesatuan ilmu
pengetahuan (unified science). Kesatuan ilmu pengetahuan itu diwujudkan dalam bentuk
kesatuan metode dan kesatuan bahasa ilmiah, yang berlaku universal untuk semua bidang ilmu
pengetahuan. Jadi, ilmu pengetahuan dikonstruksi atas logika ilmiah (logic of science), yaitu
dalam bentuk bahasa dan metode yang verifikatif.
Asas-asas Positivisme Logis
Empirisme, sebagaimana dikembangkan oleh pemikir Renaissance dan Pencerahan, seperti
Francis Bacon, John Locke dan David Hume, menjadi asas bagi positivisme logis. Prinsipnya
adalah bahwa pengalaman (observasi) dijadikan sebagai satu-satunya sumber yang terpercaya
bagi ilmu pengetahuan (menggantikan akal sehat dan otoritas gereja). Aliran ini menonjol dalam
pandangan dan sikapnya bahwa hanya ada satu bentuk pengetahuan, yaitu yang didasarkan atas
pengalaman dan dapat dikemukakan dalam bahasa logis dan matematis. Matematika adalah
bagian dari logika dan keduanya merupakan proyeksi kemampuan kita untuk berpikir secara
jelas. Logika yang dikembangkan itu disebut Logika Modern, yaitu dengan menerapkan logika
matematik pada bahasa. Logika Bahasa (paduan matematika, logika, dan bahasa) menurut Frege
dapat digunakan untuk mengemukakan pernyataan secara ketat, bebas dari kekacauan bahasa
sehari-hari dan bahasa metafisika.
Pemikiran Positivisme Logis semuanya mendewakan logika dan penggunaan bahasa yang
verifikatif. Pengetahuan ilmiah menurut Carnap dibedakan dalam dua tingkatan, yaitu
‘pengetahuan tingkat dasar’ dan ‘pengetahuan tingkat atas’. Pengetahuan tingkat dasar adalah
pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan elementer tentang fakta atomik. Pernyataan
dasar ini selalu benar secara mutlak karena dapat diverifikasi. Pengetahuan paling dasar (rock
bottom knowledge) ini dijadikan sebagai landasan yang kokoh bagi konstruksi pengetahuan
tingkat atas. Pengetahuan tingkat atas bersifat umum atau universal dan ini sebagai hasil
konstruksi logis (metodologi induktif) murni. Pengetahuan tingkat atas berupa teori atau
generalisasi yang diperoleh melalui penelitian empiris-eksperimental.
Jadi, G. E. Moore, filsuf pertama yang disebut sebagai ordinary language Philosopher atau
‘filsuf bahasa dehar-hari’ yang merancang corak pemikiran filsafat sebagai penjelasan
penggunaan bahasa dan pikiran (filsafat analitik). Maksudnya di sini, Moore berupaya untuk
mengalihkan perhatiannya dari bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari pada
bahasa ilmiah yang jelas dan ketat. Sementara itu Bertrand Russell (murid Moore) bersama
Alfred Whitehead secara bersama menulis buku Principia Mathematica. Ludwig Wittgenstein
dalam bukunya Tractatus Logico-Philosophicus (1921) menunjukkan pengaruh atomisme logis
Russel pada Wittgenstein (dua pemikir ini dari Cambridge). Wittgenstein pertama-tama
mengatakan bahwa dunia terdiri dari kenyataan-kenyataan sederhana seperti atom-atom. Fakta
atomik itu dapat diibaratkan dengan batu-batu bata yang menyusun bangunan (rumah) maka
fakta atomik-lah yang menyusun ilmu pengetahuan (body of knowledge). Bahasa logis itu terdiri
dari “atom-atom logis” (atomic facts) dan berupa relasi subyek dan obyek. Kebenaran bahasa
logis ini ditentukan oleh kebenaran unsur-unsurnya (atom-atomnya).
Impian Wittgestein adalah menciptakan bahasa sempurna, sesempurna yang dapat
menyatakan segala sesuatu secara tepat dan pasti. Filsafat, menurutnya adalah kejelasan.
Wittgenstein mengemukakan bahwa “realitas harus diselidiki, bukan secara langsung akan tetapi
lewat bahasa”. Sebagaimana bahasa dapat diasalkan pada unsur-unsurnya (atom-atom logis),
maka realitas dapat pula direduksi pada fakta-fakta atomiknya. Berdasarkan pandangan
atomisme logis, maka metafisika disingkirkan dari bidang ilmiah. Dengan demikian maka telah
terjadi penolakan terhadap metafisika yang mana menurut Richard Boyd dianggap sebagai
doktrin yang benar, sebagaui the doctrin of true being (Boyd, 1992).
Russell menempatkan logika bahasa pada tempat yang penting dalam ilmu pengetahuan.
Suatu ucapan atomis misalnya kata “kucing’ itu “melukiskan” suatu gambaran fakta logis yang
sama dengan gambar yang memperlihatkan relasi tertentu antara benda-benda yang
digambarkan ‘kucing’ yang sesungguhnya. Jadi, bahasa seakan mencerminkan dunia/realitas.
Pandangan ini kemudian dikenal dengan picture theory (istilah yang dikemukakan
Wittgenstein) atau mirror of nature dimana bahasa dianggap mencerminkan realitas sebagai apa
adanya (Rorty, 1980).
Empirisme sebenarnya sudah tercakup dalam positivisme. Positivisme Comte ditegakkan di
atas landasan empirisme. Pengetahuan positif yang bermanfaat didasarkan atas “fakta yang dapat
diamati,” atau “apa yang benar-benar ada.” Pengetahuan positif itu, menurut Comte, “berguna,”
dan “pasti” yang ia pertentangkan dengan sesuatu yang “tidak berguna” dan “tidak tentu”
(Wibisono, 1983: 10-22). Pendukung positivisme logis melanjutkan pandangan optimisme Comte
terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai landasan pembangunan masyarakat yang
maju, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi dijadikan titik tolak untuk membangun
masyarakat yang diinginkan.
Logika Induktif dan Deduktif
Analisis logis dianggap penting dalam mengembangkan pengetahuan. Pengetahuan
merupakan analisis atas keterangan yang diperoleh melalui panca-indera. Dalam positivisme
logis, logika tidak hanya dimengerti sebagai logika induktif dan deduktif saja, akan tetapi
diperluas dengan logika bahasa seperti yang dikemukakan Wittgenstein. Logika (penalaran)
induktif adalah penarikan kesimpulan yang didasarkan atas fakta.
Falsifikasi ini adalah bentuk penalaran deduktif. Penalaran deduktif adalah penalaran yang
bertolak dari generalisasi atau teori. Misalnya pernyataan: Semua makhluk hidup mati. Jika
generalisasi ini benar, maka kita bisa menarik kesimpulan yang lebih khusus dengan benar.
Misalnya tumbuh-tumbuhan pasti mati, hewan, atau manusia pasti mati. Penalaran deduktif ini
umumnya digunakan dalam logika dan matematika, sedangkan logika induktif diterapkan pada
ilmu pengetahuan empiris. Di dalam positivisme, kedua model logika ini disatukan, karena ilmu
pengetahuan bukan saja harus berdasarkan fakta, akan tetapi fakta itu dianalisis dengan analisis
kuantitatif.
Sikap kritis merupakan salah satu unsur penting dalam positivisme logis sebagai upaya
memahami ilmu pengetahuan dalam lingkup masyarakat yang lebih luas. Kesatuan ilmu
pengetahuan dalam positivisme logis ditegakkan di atas empat asas, yaitu empirisme,
positivisme, logika ilmu, dan kritik ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan dapat dikonstruksi berdasarkan
atas keempat asas ini, hal yang demikianberlaku secara sama bagi semua ilmu pengetahuan
(sosial-budaya dan ilmu pengetahuan alam) Dengan itu, terdapat satu metode dan satu model
bahasa ilmu pengetahuan yang bersifat universal dan konsisten secara menyeluruh.
Ciri khas dari aliran filsafat analitik (filsafat bahasa) adalah kebenciannya pada metafisika
serta upayanya memperjelas penggunaan bahasa melalui analisis bahasa sebagai atomisme
logis (logical atomism). Pernyataan ilmiah itu hanyalah berupa atom-atom logis, yaitu
pernyataan yang dapat menunjukkan obyek (fakta atomis) secara langsung. Struktur logis seperti
inilah yang mendasari setiap pernyataan ilmiah, karena itu dalam ilmu pengetahuan ada
kesejajaran antara dunia (facts) dengan bahasa (picture theory). Filsafat bagi mereka adalah
kejelasan dan kejelasan dapat direduksi pada masalah sintaksis (penggunaan bahasa).
Positivisme logis menekankan kesatuan ilmu pengetahuan, menurut Patrick Suppe
(1977) tuntutan itu diterapkan dalam bentuk kesatuan metode, kesatuan bahasa, kesatuan
hukum, kesatuan obyek kajian ilmu pengetahuan. Kesatuan metode ilmiah maksudnya
adalah bahwa semua ilmu pengetahuan (sosial, budaya, ekonomi) harus menggunakan
metode yang sama dengan metode ilmu pengetahuan alam. Kesatuan obyek ilmu
pengetahuan, maksudnya adalah bahwa ilmu pengetahuan hanya mengkaji fenomena atau
objek fisis yang teramati (fisikalisme). Kesatuan bahasa maksudnya adalah bahwa semua
pernyataan atau bahasa ilmiah hanya bahasa yang faktual dan logis/matematis. Karena itu,
verifikasi oleh tokoh positivisme dijadikan kriteria keilmiahan, maksudnya ilmiah tidak
ilmiahnya satu teori atau pernyataan. Tokoh positivisme logis menyatakan “makna suatu
proposisi adalah metode verifikasinya”.
Dalam konteks ini, maka makna verfikasi meliputi [1] Satu proposisi hanya berarti bila
proposisi itu dapat dibuktikan benar-salahnya. Misalnya, kalau saya katakan, bahwa
ada tuyul di dalam kelas, atau Si Ali sakit karena santet, maka pernyataan itu dinyatakan tidak
ilmiah karena tuyul dan santet itu tidak dapat diverifikasi (tidak dapat dibuktikan). [2] Ada
bentuk-bentukkebenaran logis dan bentuk-bentuk kebenaran faktual. Kebenaran logis dan
matematis adalah kebenaran yang sifatnya rasional, sedangkan kebenaran faktual
jastifikasinya (pembenarannya) adalah verifikasi fakta yang dapat dilakukan oleh orang yang
indranya baik (normal). [3] Kebenaran faktual hanya dapat dibuktikan melalui pengalaman
indrawi (verifikasi). (bandingkan dengan Osborne, 2001; 149). Dari pembahasan di atas dapat
dirumuskan asumsi-asumsi yang terkandung dalam paradigma positivisme itu melalui tabel
berikut, (bandingkan dengan Smith, 1998; Lubis, 2001).
Asumsi Definisi Implikasi
Natural- Positivis mengakui pandangan bahwa Ilmu hanya sosial-budaya bertolak dari
fenomena alam sama (manusia secara tingkah laku, dan institusi masyarakat yang
isme
prinsip sama dengan hewan, dan alam teramati. Dalam cara yang sama manusia
fisis), karenanya metode ilmu alam dapat dapat diteliti sebagai proses kimia atau
diterapkan pada ilmu biologi. Ilmu alam menjadi model untuk
penelitian sosial-budaya
sosial-budaya (unification of method,
kesatuan metode ilmiah)

Fenomenalisme Ilmu pengetahuan hanya bersum Realitas dibatasi pada yang dapat dilihat
diraba, disentuh, didengar dan dicium saja.
ber dari fenomena yang dapat
Kesadaran, motivasi, tujuan
diamati (fisikalisme), hal yang hidup/kebahagiaan adalah hal yang subyektif
(ada dalam pikiran) saja.
abstrak dan metafisik berada di luar ilmu
pengetahuan

Nominal-isme Konsep universal sebagai gambaran Semua konsep dan Ide yang tidak
murni sulit diterima karena hanya
didasarkan atas pengamatan lang-
didasarkan pada fakta individual. Konsep
adalah suatu nama/sebutan kebahasa- sung tidak bermakna. Konsep:
an yang disepakati. kesadaran, keadilan, jiwa, makna/
tujuan hidup dinyatakan tidak bermakna

Atomisme Atomisme adalah pendekatan khusus Unit terkecil yang dapat diobservasi menjadi
untuk mendefinisikan obyek studi. Objek fokus riset. Dalam penelitian sosiologi ia
dapat dipecah dalam bagian-bagian kecil. bertolak dari individu; masyarakat dipandang
Objek merupakan jumlah total dari tidak lain dari kumpulan individu-individu.
komponen atomiknya.

Hukum-hukum Tujuan ilmu pengetahuan adalah Pencarian hukum ilmiah diadopsi oleh
ilmiah nememukan hukum (nomotetis). Bertolak ilmuwan sosial dengan asumsi
dari observasi terhadap fenomena alam
keteraturan empiris, misalnya:
dicari “empirical-regularity”. Hukum
ilmiah adalah merokok menyebabkan kanker
pernyataan umum yang dapat paru-paru. Biasanya dirumuskan:
menjelaskan keberaturan pengalaman jika p maka q.
pada tempat dan waktu yang berbeda

Fakta dan Nilai Fakta dan nilai dilihat sebagai dua hal Para ahi ilmu sosial-budaya yang
yang berbeda/terpisah. Fakta dapat
menerima asumsi ini menyatakan bahwa
diobservasi, diukur dan diverifikasi. Nilai-
proposisi ilmiah bebas dari nilai.
nilai termasuk penilaian subyektif,
tuntutan tentang apa yang seharusnya
tidak boleh masuk dalam wilayah ilmu
pengetahuan

Positivisme Dalam Ilmu Pengetahun Sosial

Positivisme dalam Sosiologi


Tokoh yang secara umum diakui sebagai pendiri sosiologi yaitu Auguste Comte, karena
Comte lah yang memberi nama sosiologi serta tuntutan agar sosiologi menggunakan metode
empiris-eksperimental sebagaimana diterapkan pada ilmu pengetahuan. Perbedaan antara teori
sosial dengan sosiologi, berakar dari tuntutan kriteria keilmiahan pada sosiologi. Jika teori sosial
lebih merupakan teori atau pemikiran eklektif (rasional) tentang masyarakat, sementara sosiologi
bersifat empiris dan harus dapat dibuktikan kebenarannya. Tuntutan keilmiahan bagi ilmu
pengetahuan sosial (sosiologi) sudah pernah dilakukan oleh Ibn Khladun. Ibn Khladun telah
mengemukakan metode yang hampir sama dengan Comte.
Khaldun menekankan pentingnya mengkaitkan antara masalah sosial dengan penelitian
sejarah. Ia melakukan studi empiris tentang masyarakat, serta meneliti sebab-sebab terjadinya
fenomena sosial. Penelitiannya sudah menyentuh lembaga-lembaga ekonomi, poltik, serta
hubungan lembaga-lembaga itu dengan masalah sosial. Ia juga melakukan studi komparatif
(perbandingan) antara masyarakat primitif dengan masyarakat di masanya. Ibn khladun telah
menghasilkan karya yang memuat berbagai pemikiran yang mirip dengan sosiologi zaman
sekarang. Penelitian tentang lembaga sosial pada Khladun sejajar dengan unit analisis sosiologi
yang dikemukakan Comte. Comte menyataklan bahwa penelitian sosial bukanlah bersifat
individu, akan tetapi ada pada kesatuan yang lebih besar (seperti keluarga, atau kelompok sosial)
karena sosiolog harus dapat menjelaskan mengenai struktur sosial dan perubahan sosial.
Gagasan Comte ini mempengaruhi pemikiran Spencer dan Parson terutama tentang ciri
sistematis masyarakat serta hubungan antar berbagai komponen masyarakat
Ada tuntutan atau syarat bahwa Sosiologi harus memperlihatkan ciri keilmuan dengan
menerapkan sistematika dan metode empiris yang menjadi pembeda utama antara sosiologi
dengan teori sosial lainnya. Pembeda ini jelas melalui definisi sosiologi yang berbunyi: “Sosiologi
adalah seperangkat proposisi yang memungkinkan untuk mensistematisasikan pengetahuan,
penjelasan dan pemahaman tentang kehidupan sosial dan merumuskan hipotesa baru” (lihat
Faia dalam Ritzer & Goodman, 2004: 5 ). Saint Simon, Comte, Durkheim, Weber, dan Simmel
yang disebut sebagai tokoh utama dalam sosiologi modern berambisi untuk membangun ilmu
pengetahuan tentang masayarakat (sosiologi) yang otonom (Ritser, George dan Douglas J.
Goodman. 2004: 8, Ibn, Khaldun, 2000). Otonom maksudnya adalah bahwa sosiologi terpisah
dari bidang ilmu lain seperti biologi, psikologi, serta harus menerapkan metode empiris-
kuantitatif dalam penelitiannya sebagaimana ilmu pengetahuan alam (fisika, biologi, kimia).
Untuk memantapkan berdirinya sosiologi sebagai ilmu yang otonom, tahun 1896 Durkheim
membuat sebuah jurnal L’Annee’ Sociologique sebagai ujung tombak dalam memasyarakatkan
sosiologi di Perancis. Di sinilah sekelompok ilmuwan seperti Durkheim, Mauss (kemanakan
Durkheim yang dikenal sebagai seorang strukturalis), dan Levy-Bruhl menuangkan gagasan-
gagasannya.
Bagi Durkheim etnografi, geografi, sejarah, demografi hanyalah aspek-aspek khusus dari
sebuah ilmu pengetahuan yang harus dipersatukan. Ia mengelompokkan ilmu ini ke dalam tiga
tingkat, Pertamamorfologi sosial, yaitu studi tentang dasar dasar geografi kependudukan
dikaitkan dengan organisasi sosial, serta studi tentang kependudukan, volume, kepadatan dan
pengaturan tanah. Kedua adalah fisiologi sosial merupakan manifestasi kehidupan sosial dan
sosiologi religius, sosiologi moral (keluarga dan pendidikan), sosiologi yuridis, sosiologi ekonomi,
sosiologi seni, kesemua ini merupakan bidang sosial. Tingkat ketiga, sosiologi umum dan ini
merupakan sintesis besar dari studi tentang bidang sosial, sintesis dari sejarah umat manusia.
Sosiologi Comte dan Durkheim berkaitan dengan keprihatinan mereka terhadap
perubahan dan kekacauan kehidupan sosial serta krisis moral yang disebabkan oleh perubahan
besar akibat Revolusi Perancis dan Revolusi Industri, serta perkembangan baru dalam dunia ilmu
pengetahuan. Mereka menerima pengaruh dari filsuf Renaisans dan Pencerahan yang
menekankan pentingnya ilmu pengetahuan bagi kemajuan, dan ilmu sebagai
kekuatan (knowledge is power) seperti kata Francis Bacon. Durkheim ingin mempelajari
sosiologi, tapi pada waktu itu belum ada bidang studi sosiologi di universitas. Ia juga, kemudian,
mempelajari metode ilmiah dan dan prinsip-prinsip moral yang diakuinya diperlukan untuk
menuntun kehidupan sosial.
Fakta Sosial
Durkheim, dalam The Rule of Sociological Method [1895] menyatakan bahwa tugas
sosiologi adalah mempelajari fakta sosial. Ia beranggapan bahwa fakta sosial adalah sebuah
kekuatan (forces) dan struktur yang bersifat eksternal yang dapat memaksa individu. Studi
tentang kekuatan dan struktur yang berskala luas dan dapat memaksa dapat dilihat pada hukum
yang melembaga, serta keyakinan moral (religius) yang pengaruhnya terhadap individu banyak
menarik perhatian peneliti sosial (termasuk Durkheim dan Parsons).
Metode penelitian sosiologi, menurut Durkheim, tidak membahas nilai (bebas nilai), seperti
perasaan, aspek psikologi, aspek heriditas (turunan); selain itu ia juga menyatakan bahwa fakta
sosial harus diperlakukan sebagai benda (Giddens, Anthoni, Bell, dan Force, 2004: 44-45). Untuk
memahami masyarakat, menurut Durhkeim, kita tidak cukup hanya dengan mempelajari cara-
cara penyebaran norma-normanya saja, akan tetapi juga mempelajari sumber norma-norma yang
membentuk kekhasan atau keunikan setiap masyarakat. Sosiologi tidak boleh meniliti sentimen
individual, akan tetapi meneliti institusi atau kolektif yang bisa diobservasi secara obyektif, jadi
bukan penjelasan psikologi individual.
Ia membedakan fakta sosial atas dua tipe, yaitu material (misalnya birokrasi, hukum), dan
nonmaterial. (kultur, instirtusi sosial). Penelitian Durkheim lebih pada fakta sosial nonmaterial.
Misalnya buku The Division of Labor in Society (1893/1964) merupakan hasil penelitiannya yang
membahas tentang analisis komparatif mengenai apa yang membuat masyarakat masih berada
pada situasi primitive dan apa pula yang modern. Ia menyatakan bahwa masyarakat
primitif masih dipersatukan oleh fakta sosial nonmaterial, khususnya kuatnya ikatan moralitas
bersama yang ia sebut dengasn kesadaran kolektif.
Masyarakat modern, menurut Durkheim, dipersatukan oleh “solidaritas organis:”
Sedangkan masyarakat tradisional (kuno) dipersatukan oleh “solidaritas mekanis”. Dalam
masyarakat organis, masyarakat diidentikkan dengan tubuh dimana bagian-bagiannya (jantung,
paru-paru, otak, dan lain-lain) saling mendukung kehidupan. Solidaritas mekanis adalah di mana
perasaan, tingkah laku masyarakat dipersatukan oleh kepercayaan, keyakinan. Di sini, solidaritas
mekanis menempatkan individu dan perbedaan (pluralitas) untuk saling membutuhkan dan
saling membantu satu sama lain. Dalam masyarakat modern, kebebasan individu dan toleransi
terhadap keyakinan individu serta kekebasan untuk menentukan hidupnya (individualisme)
semakin menonjol.
Pada masyarakat modern kekuatan kolektif itu sudah menurun. Ikatan utama dalam
masyarakat modern adalah pembagian kerja yang rumit, yang membuat hubungan antara satu
orang dengan yang lainnya memliki saling ketergantungan. Pembagian kerja sesungguhnya
tidaklah memadai untuk dijadikan landasan bagi adanya kesatuan, karena pembagian kerja
seringkali menimbulkan beberapa patologi. Untuk mengatasi masalah yang muncul dan menjaga
sistem sosial agar tetap berfungsi maka diperlukan reformasi dan bukan revolusi seperti yang
dinyatakan Marx. Oleh karenanya, perubahan hanya dimungkinkan melalui pembongkaran
sistem kapitalis (yaitu melalui revolusi). Karena pandangannya ini, maka Durkheim dikenal
sebagai sosiologi konservatif.
Dalam Bukunya yang berjudul Suicide (1897/1951), ia menunjukkan hubungan antara
perilaku individu seperti bunuh diri dengan sebab-sebab (fakta sosial). Bertolak dari argument
inilah ia lalu menyatakan betapa pentingnya disiplin (ilmu) sosiologi. Meskipun dalam
penelitiannya sesungguhnya ia tidak menunjukkan mengapa seseorang (misalnya si A)
melakukan bunuh diri (karena tinglah laku B). Maksudnya penelitian yang dilakukan Durkheim
bukan penelitian yang menguji hipotesa dan bukan penelitian kuantitatif seperti ilmu
pengetahuan alam. Penjelasan tentang sebab bunuh diri bersifat berbeda-beda di dalam rata-rata
perilaku bunuh diri di kalangan kelompok agama (Katolik, Protestan), wilayah yang berbeda,
golongan yang berbeda. Alasan dasar Durkheim adalah, sifat fakta dan perubahan
sosialmenyebabkan perbedaan rata-rata bunuh diri. Misalnya kemiskinan, atau perang
dapat meningkatkan depresi yang selanjutnya meningkatkan angka bunuh diri.
Penelitian yang juga ditulisnya di dalam Le Suicide menunjukkan bahwa masalah bunuh
diri yang selama ini dianggap sangat pribadi dan irasional dicoba dibuktikan dengan pendekatan
empiris kuantitatif (statistik). Ia ingin membuktikan bahwa bunuh diri tidak disebabkan oleh
penyakit mental, ras, keturunan, pengaruh faktor iklim, serta imitasi (peniruan). Durkheim
menyimpulkan bahwa lingkungan sosial seseorang menentukan seseorang dalam melakukan
bunuh diri. Ia meneliti konteks religius, keluarga, politik, dan ekonomi. Dari hasil penelitiannya,
Durkheim menyimpulkan bahwa orang kota lebih banyak yang melakukan bunuh diri
dibandingkan orang desa, dan ini lebih banyak terjadi pada mereka yang berstatus single dari
pada yang menikah, lebih banyak terjadi pada orang yang ateis daripada orang yang beragama.
Jumlah bunuh diri lebih sedikit terjadi pada negara yang dilanda atau mengalami krisis ekonomi
yang parah daripada di negara dengan kondisi normal. Alasan Durkheim adalah karena ikatan-
ikatan sosial ternyata terjalin kembali secara kuat ketika terjadi krisis, malapetaka, atau bencana.
Puncak analisis penelitiannya adalah upaya mencari hukum sosiologi sebagai generalisasi
dari fakta sosial yang tampaknya saling terpisah dan tidak berkaitan. Hukum umum yang ditarik
atau disimpulkan dari penelitiannya tentang bunuh diri itu adalah bahwa “Bunuh diri bervariasi
menurut kuat tidaknya tingkat integrasi kelompok sosial di mana individu menjadi
anggotanya”. Agama, masyarakat, politik, sama-sama merupkan kelompok sosial yang
mendefinisikan identitas individu. Ketika kelompok itu terlalu lemah, maka individu akan
kehilangan identitas dan tanda pengenalnya. Durkheim mencoba merumuskan bunuh diri yang
disebabkan oleh merosotnya nilai-nilai (ketiadaan afeksi, kehampaan moral) karena kurangnya
integrasi sosial yang dinyatakan sebagai obyek (benda) atau fakta yang dapat diobservasi.
Upaya menjadikan dimensi subyektif menjadi obyektif, tidak terlepas dari upaya
Durkheim mendirikan sosiologi dengan fundasi metodologis seperti ilmu pengetahuan alam.
Karena ilmu pengetahuan sosial tidak mungkin melakukan eksperimen di laboratorium
sebagaimana ilmu pengetahuan alam, maka penelitian sosiologinya menggunakan berbagai
situasi sosial untuk melakukan perbandingan. Durkheim bertolak dari metode variasi dan pada
waktu yang sama melihat berbagai korelasi yang terjadi dengan melihat rangkaian peristiwa pada
objek atau hal yang diteliti. Pada penelitiannya, ia memisahkan sejumlah variable berupa umur,
jenis kelamin (seks), situasi sipil, keanggaotaan pada agama, tingkat pendidikan, perbedaan
antara variable itu lalu dibandingkannya dengan angka kematian. Misalnya angka kematian
karena bunuh diri pada agama Protestan libih tinggi jika dibandingkan dengan penganut Katolik,
karena tingkat keyakinan dan ikatan sosial pada Katolik lebih tinggi jika dibandingkan dengan
Protestan.
Dari penelitian yang dilakukan Durkheim dapat ditarik lima aturan fundamental dalam
metodenya (lihat Giddens, Anthony, Daniel Bell, dan Michel Forse’ Cs. (2004, 47) yaitu [1]
Mendefinisikan obyek yang dikaji secara obyektif. [2] Memilih satu atau beberapa kriteria yang
obyektif. [3] Menjelaskan kenormalan patologi. [4] Menjelaskan masalah sosial secara social. [5]
Mempergunakan metode komparatif secara sistematis. Penelitian Durkheim menunjukkan
pentingnya moral dalam masyarakat, dalam masyarakat modern nilai-nilai materialisme
(ekonomi) telah menjadi nilai dan tujuan tertinggi, sehingga Negara dan agama tidak atau kurang
berperan dalam mencegah bunuh diri (dalam hal ini bunuh diri egoistik). Bunuh diri disini, dalam
pandangan Durkheim, berkaitan langsung dengan moralitas di mana hal ini ditunjukkan melalui
berbagai kasus yang terjadi.
Sosiologi Behavioristik
Behaviorisme yang berkembang luas dalam psikologi prinsip-prinsip dasarnya sangat
dipengaruhi oleh positivisme logis yang menekankan metode impirisme-eksperimental dengan
ketat. Dalam psikologi, para pemikir seperti Ivan Pavlov, J. B. Watson, Edward L. Thorndike
dikenal dengan teori pengkondisian klasik, mereka inilah yang dikenal sebagai tokoh Bevaiorisme
Psikologi. Skinner adalah tokoh behaviorisme yang menerapkan metode obyektif dengan
keketatan metode eksperimen untuk memecahkan masalah tingkahlaku yang kompleks. Skinner
menggunakan konsep stimulus dan respon untuk menjelaskan tingkalaku.
Penelitian Psikologi Behaviorisme Skinner digagas dan dikembangkan ketika berbagai
kritik terhadap pandangan Behaviorisme itu muncul terutama dari pemikiran tokoh
eksistensialisme (Sartre) dan Psikologi Humanistik. Buku Skinner yang penting adalah Science
and Human Behavior (1953), Beyond Fredom and Dignity (1971). Teori Skinner diturunkan dari
eksperimen yang eksak dengan penghargaan yang tinggi pada data yang dikontrol dengan ketat.
Skinner menekankan keteraturan tingkahlaku. Tingkahlaku individu seluruhnya merupakan
hasil dari dunia obyektif dan dapat difahami semata-mata dari dunia obyektif.
Teori Pertukaran George Caspar Homans (1918-1989) didasarkan pada sekumpulan
proposisi fundamental. Ia melakukan penelitian tentang kelompok-kelompok kecil suku Aborigin
yang akhirnya dari situ ia merumuskan suatu konsep umum. Homans menyatakan perlunya
skema konseptual sebagai titik tolak ilmu pengetahuan, namun yang diperlukan kemudian
adalah proposisi-proposisi yang menghubungkan antara satu konsep dengan konsep lainnya.
Teori saja tidak cukup apabila di dalamnya hanya mengandung beberapa proposisi saja. Teori
tentang fenomena adalah penjelasan mengenai fenomana itu.
Homan merasa teorinya benar, karena seperti pengakuannya sendiri ia telah mempelajari
buku filsafat ilmu pengetahuan. Ia memang tidak menjelaskan buku siapa dan tentang apa yang
dipelajarinya, namun kalau dilihat gagasan-gagasannya Ia terpengaruh oleh pemikiran
Positivisme Logis. Kesimpulan ini diperkuat dengan pengakuannya bahwa ia dipengaruhi oleh
Behaviorisme dalam Psikologi (Skinner). Homan menyatakan bahwa istilah Teori Pertukaran
berasal dari Psikologi Perilaku dan Ilmu Ekonomi (teori pilihan rasional), atau penerapan
psikologi perilaku pada situasi khusus. Teori perilaku ini dipengaruhi oleh penelitian Skinner
pada pengkondisian yang menggunakan merpati, seperti halnya pengkondisian (stimulus-
respons) yang dilakukan Pavlov dengan menggunakan anjing.
Dalam koteks ini, Homans mengemukakan beberapa proposisi mengenai konsep sukses,
antara lain [1] Meski umumnya benar bahwa makin sering hadiah diterima makin sering pula
tindakan dilakukan, namun peristiwa ini tidak berarti akan berlaku tanpa batas. Di satu saat
individu benar-benar tidak dapat bertindak seperti itu sesering mungkin. [2] Makin pendek jarak
waktu antara perilaku dan hadiah, makin besar kemungkinan orang mengulangi perilaku,
sebaliknya makin lama jarak waktu antara perilaku dan hadiah, makin kecil kemungkinan orang
mengulangi perilaku. [3] Pemberian hadiah yang teratur menimbulkan kebosanan, sedangkan
hadiah yang diberikan dalam waktu dan jarak yang tidak teratur sangat mungkin akan
menimbulkan pengulangan.
Konsep yang dikemukakan Teori Pertukaran (Homans dan Peter Blau), Teori Jaringan
Ronald dari Burt (1982) Miruchi (1990) dan Teori Pilihan (James S. Coleman, 1993) adalah teori
yang dipengaruhi oleh Positivisme Logis. Tetapi teorinya Coleman mendapat kritik karena teori
itu [1] tidak menyebutklan mekanisme kausal, [2] mempromosikan reduksionisme yang tidak
lengkap karenanya menyesatkan. [3] mendukung sebentuk teori umum-analisis pilihan rasional
yang selama beberapa waktu telah menarik beberapa ilmuwan sosial ke jalan gelap, dimana
mereka selalu mengembara tanpa tujuan, menjadi korban reduksionisme individual (Ritzer dan
Douglas J. Gouldman, 2004; 400).
Logika dan matematika memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan bahasa, karena
logika dan matematika dikonstruksi berdasarkan lambang, konvensi-konvensi dan aturan yang
tidak memungkinkan ambiguitas (kemenduaan) arti. Ciri matematik, antara
lain brevity (ringkas), consistency (taat azas), precise abstraction (keseksamaan abstraksi) kesemua
karakteristik itu merupakan keunggulan matematika. Karena itu konsep meaning atau
‘makna’ dan truth atau ‘kebenaran’, dan ‘certainty’ (kepastian) lebih mudah diterapkan pada
logika dan matematika daripada diterapkan pada bidang ilmu lain. Walaupun demikian, dalam
matematika dikenal juga adanya ketidakpastian yaitu dengan mengajukan tingkat
peluang (probability).
Kaum rasionalis menjadikan prinsip matematika dan logika deduktif ini ke dunia nyata
(realitas), karena asumsi adanya kesejajaran antara rasio dan realitas sebagaimana dikemukakan
Pythagoras dan Hegel. Jadi, realitas dilihat sebagai kesatuan sistem, dan bagian-bagian akan
diketahui bila prinsip yang mendasari keseluruhan itu sudah diketahui. Hegel merumuskan
prinsip ini melalui pernyataan bahwa ‘kebenaran itu adalah keseluruhan’ (das Wahre ist das
Ganze). Kelemahan teori ini adalah bahwa orang dapat saja membangun satu teori/sistem yang
koheren (konsisten) akan tetapi sebenarnya teori itu salah karena tidak didukung oleh fakta. Jadi,
kelemahannya, teori ini tidak (dapat) membedakan antara teori yang konsisten-salah dengan
teori yang konsisten-benar.
Masalahnya, dapatkan kita menganggap fakta sosial ini sama dengan fakta alam? Fakta
alam adalah fakta yang sudah ada begitu saja, fakta murni (brute fact), fakta yang relative tidah
berubah, sedangkan fakta sosial dan budaya adalah fakta institusional (institutional fact) yang
dibentuk (dikonstruksi) oleh faktor sosial-budaya, fakta yang berubah (dinamis), dan tidak
seragam. Masalahnya, dapatkah fenomena sosial (tingklah laku intensional) yang berkaitan
dengan kesadaran, subyek, perasaan, hubungan intersubyektif itu dijelaskan melalui bahasa
matematik dan obyektif? Ilmuwan pendukung paradigma Pospositivis, Teori Kritis dan
Posmodern secara kritis menyatakan kesulitan untuk menerapkan prinsip universalitas,
obyektivitas teori sebagaiman dituntut positivisme. Oleh karenanya, diperlukan paradigma
interpretative dan konstruktif dalam ilmu pengetahuan sosial dan budaya yang
mempertimbangkan masalah keanekaragaman, keunikan, dan dinamika fenomena yang diteliti.

Dafftar Pustaka
Ackerman, R., (1965), Theories of Knowledge, A Critical Introduction. USA, Mc Graw Hill Books Company.
Ayer, A. Y., (1946), Language, truth and Logic. London, Victor Golanes.
Babbie, Earl, (2004). The Practice of Social Research, 10th Edition, Thomson Wadsworth: USA.
Beerling, (1986), Pengantar Filsafat Ilmu. (ter. Soemargono), Tiara Wcana, Yogyakarta.
Appleby, Joyce et. All., 1996, Knowledge and Postmodernism in Historical Perspective. Rotledge, New York.
Bleicher, J., 1980, Comtemporary Hermeneutics, Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique. London,
Routledge & Kegan Paul.
Bochert, Donald M. (Ed.in Chief), (1996), The Encyclopedia of Philosophy. New York, Simond & Schuster, Ma Millan.
Boyd, Richard & Philip Gasper. J. D., (ed..), (1992),The Philosophy of Science. Massachusetts Institute of Technology.
Carnap, Rudolf, (1996), Philosophical Foundation of Phisics. New York, Basic Books..
Denzin, Norman K., & Yvonna S.Lincoln, 1994, Handbook of Qualitative Research. Sage Publicatiaon, London-New
Delhi.
Foucault, Michel, 1977, Diciplin and Punish; The Birth of Prison. (Terj. Alan Seridan), London –Worcester, Billing &
Sons.
Delfgauw, Bernard, (19880, Filsafat Abad XX. (terj. Soejono Soemergono), Tiara Wcana, Yogyakarta.
Durkheim, E., (1964), The Rules of Sociological Method. New York Free Press.
_____________, 1965, Madness and Civilization. (Trans. Richard Howard, Random Hause Inc.
_____________, 1972, The Archeology of Knowledge and Discourse on Language. (Trans., Alan Sheridan)
Travistock.
____________, 1970, The Order of Things: An Archeology of the Human Science. Random House, New York.
Feyerabend, Paul, 1975, Against Method, Verso, London. Gadamer. H. G., 1975, Truth and Method, Sheed and Ward,
London.
Guba, Egon G., (ed.), 1990, The Paradigm Dialog. Sage Publications, London-New delhi.
Hawes, Leonard, (1975), Pragmatic Analoguing: The Theory and Model Construction in Communication, Reading,
Mass: Addison- Wasley Publishing Co. Inc.
Heckman, Susan, J., 1990, Gender and Knowledge: Elements of Postmodern Feminism. Cambridge, Polity Press.
Hekman, S.J., 1986, Hermeneutics and the Sociology of Knowledge. Oxford: Polity Press.
Hirsch, E., D., Jr., (1967), Validity n Interpretation. New Have; Yale University Press.
Honderich. Ted (ed.), (1995), The Oxford Companion to Philosophy. Oxford Newyork, Oxford University Press.
Khaldun, Ibn, (2000), Mukaddimah Ibn Khaldun, TerjemahanAhmadie Thoha: Pustaka Firdaus : Jakarta.
Kuhn, Thomas S., 1970, The Structure of Scientific Revolutions. Chicago University Press.
Leche, John, 1994, Fifty Key Contemporary Thinkers: From Structuralism to Postmodernism. Roudledge, London-New
York.
Lyotard, Francois, 1984, The Postmodern Condition:A Report on Knowledge. (trans. Geoff Bennington and Brian
Massumi, Minneapolis, University of Minneapolis Press.
Marcuse, Herbert (2004), Rasio dan Revolusi: menyuguhkan Kembali Doktrin Hegel Untuk
Umum, (terjemahanImam Baihaqie), Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Mises, Richard von, (1951), Positivism A Study in Human Understnading. New York, Dover Publications, Inc.
Norris, Christopher, 1997, New Idols of the Cave: On the Limits of Anti-realism,Manchester University Press.
Putnam, Hillary, 1983, Realism and Reason, Philosophical papers, Vol 3, Cambridge, Cambridge University Press.
_____________, (1989), Philosophy and the Mirror of Nature. Princeton, New Yersey, Princeton University Press.
Rorty, Richard, 1980, Philosophy and the Mirror of Nature, Princeton, New Yersey, Princeton University Press.
_____________, 1991, Objectivity, Relativism, and Truth, Vol. I, Cambridge University Press.
_____________, 1983, Consequences of Pragmatism. (Essay: 1972-1980), Minneapolis Univ. Press.
Quine, 1960, World and Object. Cambridge, MIT Press.
Sarantakos, S., 1993, Social Research. Melbourne, Macmillan Education, Australia
Searle, John, 1995, The Construction of Social Reality. Free Press
Sheridan, Alan, 1980, Michel Faucoult: The Will to Truth. London , Travistock.
Smith, Marx J., (1998), Social Science in Question. Sage Publications Inc.
Suppe, F, (1983), The Semantic Conception of the Theories and Scientific Realism, Illionis University Press.
Verhaak, C. dan Haryono Imam, (1989), Filsafat Ilmu Pengetahuan Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-ilmu, Gramedia,
Jakarta.
Wallace, Walter, L., (1990), Metode Logika Ilmu Sosial, Yayasan Solidaritas Gama Budi Aksara, Jakarta
Wittgenstein, L., (1961), Tractatus Logico Philosophicus, (Tras. By D. F. Pears & B. F.McGuinnesds, London, Routledge
& Kegan Paul.
Wooddhouse, Marx B. (2001), A Preface to Philisophy, (terjemahana, Ahmad Norma permata, P. Hardono Hadi),
Kanisius, Yokyakarta.

Anda mungkin juga menyukai