Bab Ii

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJUAN PUSTAKA

A. PLEXUS BRACHIALIS INJURY

1. Definisi

Plexus brachialis injury atau cedera plexus brachialis adalah cedera

jaringan saraf yang berasal dari C5 – T1. Plexus brachialis adalah

persarafan yang berjalan dari leher ke arah axial yang dibentuk ramus

ventral saraf vertebra C5 – T1. Cedera pada plexus brachialis dapat

mempengaruhi fungsi saraf motorik dan sensorik pada membrum

superium (Subagyo, 2013).

2. Anatomi Fisiologi Nervus Plexus Brachialis

Plexsus brachialis adalah pangkal dari serabut-serabut saraf yang

berasal dari medulla spinalis yang mempersarafi ekstremitas superior.

Plexsus brachialis merupakan serabut saraf yang berasal dari ramus

anterior radiks saraf C5 – T1. C5 dan C6 bergabung membentuk trunk

superior, C7 membentuk trunk medial, dan C8 dan T1 bergabung

membentuk trunk inferior. Trunkus berjalan melewati clavicula dan

disana membentuk divisi anterior dan posterior. Divisi posterior dari

masing-masing trunkus tadi akan membentuk fasikulus posterior. Divisi

anterior dari trunkus-trunkus superior dan media membentuk fasikulus

lateral. Divisi anterior dari trunkus inferior membentuk fasikulus medial.

Kemudian fasikulus posterior membentuk nervus radialis dan nervus


axilaris. Fasikulus lateral terbagi dua dimana cabang yang satu

membentuk nervus muskulokutaneus dan cabang lainnya bergabung

dengan fasikulus media untuk membentuk nervus medianus. Fasikulus

media terbagi dua dimana cabang pertama ikut membentuk nervus

medianus dan cabang lainnya menjadi nervus ulnaris.

Gambar 1. Anatomi Pleksus Brakhialis

3. Patologi

Pada kasus ini cedera plexus brachialis terjadi akibat benturan keras

sendi bahu yang mengakibatkan terminal plexus robek.Terjadi karena

tarikan yang kuat antara leher dengan bahu atau antara ekstremitas atas

dengan trunk. Patologi saraf muncul diantara dua titik. Pada titik

proksimal di medulla spinalis dan akar saraf (nerve root junction),

sedangkan pada titik distal ada di neuromuscular junction. Processus

coracoideus sebagai pengungkit saat hiper abduksi yang kuat pada bahu.
Selain arah gerakan yang kuat pada plexus brachialis , kecepatan tarikan

menentukan terjadinya kerusakan saraf. Sehingga terjadilah cedera pada

akar saraf C5 – T1 (Songcharoen 1995).

4. Epidemiologi

Studi epidemiologis pada trauma plexus brachialis sulit diketahui

dengan pasti dan epidemiologi dapat bervariasi di berbagai negara.

Menurut penelitian yang dilakukan di India Pusat tahun 2012

menyebutkan bahwa kecelakaan lalu lintas menyumbang 94% pasien dan

kecelakaan lalu lintas 90% melibatkan roda dua. Cedera plexus brachialis

membentuk bagian multitrauma pada 54% kelompok penelitian dan 46%

telah mengisolasi cedera plexus brachialis. Cedera terkait seperti patah

tulang, cedera vaskular dan cedera kepala jauh lebih kecil

kemungkinannya karena kecepatan kendaraan yang lebih rendah

dibandingkan dengan dunia barat.

Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab trauma pleksus brakhialis

pada kebanyakan kasus (80,7%). Dari kecelakaan lalu lintas, dibagi lagi

yaitu kecelakaan sepeda motor (63,2%) diikuti oleh kecelakaan mobil

(23,5%), kecelakaan sepeda (10,7%) dan tabrakan pejalan kaki (3,1%).

Menurut penelitian yang dilakukan di Inggris tahun 2012, dilaporkan 450

– 500 kasus cedera supraklavikular tertutup terjadi setiap tahun.

Kejadian trauma pleksus brakhialis juga sering terjadi pada bayi

makrosomia dengan shoulder dystocia. Bayi makrosomia dengan berat


badan antara 4000 gram dan 4500 gram kejadiannya 86,25% kasus dan

antara 4.500 gram dan 5000 gram kejadiannya 12,25% kasus. Semua

kasus ini terjadi saat persalinan per vaginam.

5. Etiologi

Kerusakan pada bagian teratas saraf jaringan plexus brachial

cenderung terjadi ketika bahu tertekan ke bawah sementara leher tertarik

ke atas. Bagian bawah saraf cenderung terluka ketika tangan tertarik atau

ditarik paksa di atas kepala. Etiologi pada plexus brachial bisa

disebabkan oleh beberapa hal :

a. Trauma fisik, dari kecelakaan lalu lintas, terjatuh, atau luka tembak.

b. Kotak fisik saat olahraga, seperti saat sepak bola.

c. Proses persalinan yang sulit, seperti posisi bayi sungsang atau waktu

bersalin yang lama yang menyebabkan bahu bayi tersangkut di jalur

lahir. Kerusakan bagian saraf atas disebut Erb’s palsy.

d. Peradangan yang menyebabkan kerusakan saraf plexus brachial.

Salah satunya disebabkan oleh kondisi langka yang disebut sindrom

Parsonage-Turner.

e. Tumor nonkanker atau kanker yang tumbuh di plexus brachial atau

menyebabkan tekanan pada plexus brachial atau menyebar ke

jaringan saraf tersebut, sehingga menyebabkan kerusakan.


6. Patofisiologi

Sebagian besar traction injury akibat dislokasi terjadi pada

kecelakaan lalu lintas. Korban jatuh saat mengendarai sepeda motor

dengan kepala dan bahu membentur tanah. Benturan yang terjadi dengan

posisi bahu depresi dan kepala fleksi ke arah yang berlawanan. Gerakan

yang sangat tiba – tiba tersebut juga menyebabkan cedera tarikan pada

clavicula dan struktur di bawahnya termasuk plexus brachialis dan vena

subclavia. Apabila clavicula sebagai penghubung paling kuat antara bahu

dengan kepala patah, maka semua gaya tarikan berpindah ke serabut

neurovascular. Mekanisme cedera semacam ini menyebabkan kerusakan

yang parah pada serabut saraf bagian atas. Hiperabduksi shoulder atau

tarikan yang kuat yang menyebabkan melebarnya sudut scapulohumeral

kebanyakan mempengaruhi akar saraf C8 dan T1, cedera traksi dengan

kecepatan tinggi bisa menyebabkan avulsi (robek) akar saraf dari medulla

spinalis.

7. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala pada cedera plexus brachialis adalah ditandai

dengan adanya paralisis pada otot deltoid, otot biceps, otot ekstensor

carpi radialis brevis dan ekstensor carpi radialis longus, kadang –

kandang juga otot supraspinatus dan infraspinatus yang disebabkan

karena terganggunya otot yang terdinerfasi oleh percabangan saraf plexus

brachialis. Kemudian akan menyebabkan hilangnya gerakan abduksi,


adduksi, fleksi dan ekstensi shoulder, endorotasi dan eksorotasi shoulder,

gerakan fleksi dan ekstensi elbow, gerakan dorso fleksi dan palmar fleksi,

serta kadang-kadang adanya hilang rasa sensoris di area dermaton C5 –

T1 dan atrofi bahkan kontraktur pada grup otot fleksor dan ekstensor

lengan (Kimberly, 2009).


A. ASSESMEN DAN PENGUKURAN FISIOTERAPI

Algoritma Assesmen pada Plexus Brachialis Injury


History Taking :
Mengalami fraktur humerus serta dislokasi anterior shoulder
pada lengan kiri akibat kecelakaan 1 tahun yang lalu.

Inspeksi :
Statis : Lengan kiri cenderung ekstensi dengan jari-jari fleksi.
Dinamis : Sulit menggerakkan lengan kiri.

Pemeriksaan fisik

Jika tidak Algoritma kondisi lain

Palpasi Tes sensorik MMT (region sinistra) :


Hasil : Atrofi - Pronator :2
Tes tajam/ tumpul
pada lengan kiri. - Supinator :2
Hasil : Penurunan - Fleksor bahu :1
kemampuan sensoris. - Ekstensor bahu :1
- Abduktor bahu :1
- Adduktor bahu :1
Pengukuran Body Girth - Eksorotator bahu :1
a. Arm (regio dextra) : 27 cm - Endorotator bahu :1
Arm (regio sinistra) : 25 cm - Fleksor elbow :2
- Ekstensor elbow :2
b. Forearm (regio dextra) : 23 cm - Fleksor wrist :2
Forearm (regio sinistra) : 21 cm

Diagnosa ICF :
Hypomobile Ekstremitas Superior
Sinistra et causa Plexus Brachialis Injury
Pengukuran didefinisikan sebagai penggunaan bilangan angka yang

diperuntukkan pada sebuah objek, kejadian, atau persona, atau klasifikasi

(kategori) dimana objek, kejadian atau persona diperuntukan berdasarkan

kaidah.

Adapun pengukuran yang dilakukan pada kasus plexus brachialis injury yaitu:

1. Manual Muscle Testing (MMT) adalah sebuah metode untuk menilai fungsi

dan kekuatan dari individual otot dan sekelompok otot berdasarkan

kemampuan dalam menghasilkan suatu gerakan terkait gaya gravitasi dan

tahanan manual melalui ROM yang ada.

2. Body Girth test adalah pengukuran keliling lingkar tubuh dengan standar

anatomical, diukur dengan peralatan pita ukur. Pengukuran ini digunakan

untuk menentukan komposisi dan ukuran tubuh, serta memonitoring

perubahannya dalam parameter ini.

B. INTERVENSI FISIOTERAPI

1. IR (Infra Red)

a. Definisi

Infra Red merupakan pancaran gelombang elektromagnetik dengan panjang

gelombang 7.700 – 4 juta Amstrong. Berdasarkan panjang gelombang maka infra red

dapat diklasifikan menjadi :

1) Gelombang panjang (non – penetrating)


Panjang gelombang di atas 12.000 A sampai dengan 150.000 A, daya penetrasi

sinar ini hanya sampai kepada lapisan superficial epidermis, yaitu sekitar 0,5

mm.

2) Gelombang Pendek

Panjang gelombang antara 7.700 – 12.000 A. daya penetrasi lebih dalam dari

yang gelombang panjang, yaitu sampai sub cutan kira – kira dapat

mempengaruhi secara langsung terhadap pembuluh darah kapiler, pembuluh

darah lymphe, ujung – ujung saraf dan struktur lain dibawah kulit.

b. Efek terapeutik

1) Relief of pain ( mengurangi rasa sakit)

Ada beberapa pendapat mengenai mekanisme pengurangan rasa nyeri, yaitu :

- Ikut terbuang sehingga rasa nyeri berkurang.

- Rasa nyeri bisa juga karena adanya pembengkakan, sehingga dengan

pengaruh pemberian mild heating, maka terjadi pengurangan nyeri

disebabkan oleh adanya efek sedative pada superficial sensory nerve

ending.

- Apabila diberi stronger heating, maka akan terjadi counter irritation yang

menimbulkan pengurangan nyeri.

- Dengan adanya sinar infra red akan memperlancar sirkulasi darah, maka

pengurangan odema (bengkak) akan berkurangan seiring dengan

pengurangan nyeri.

2) Muscle relaxation (relaksasi otot)


Relaksasi akan lebih mudah dicapai bila jaringan otot dalam keadaan hangat dan

rasa nyeri tidak ada. Oleh karena itu, suhu tubuh yang meningkatkan akan

menghilangkan spasme dan membuat rileksasi otot.

3) Meningkatkan suplai darah

Adanya kenaikan temperatur akan menimbulkan vasodilatasi sehingga terjadi

peningkatan supply darah ke jaringan setempat yang bermanfaat untuk

penyembuhan luka dan pencegahan infeksi pada jaringan superficial.

4) Menghilangkan sisa – sisa metabolism

Penyinaran di daerah yang luas akan mengaktifkan glandula gudoifera (kelanjar

keringat) di seluruh tubuh, maka akan terjadi peningkatan pembuangan sisa

metabolism melalui keringat.

c. Indikasi dan kontraindikasi

1) Indikasi dari infra red, antara lain :

- Kondisi setelah peradangan sub – akut, seperti sprain, muscle strain,

contusion.

- Arthritis seperti : Rheumatoid arthritis, osteoarthritis, myalgia, neuritis.

- Gangguan sirkulasi darah, seperti : tromboplebitis, Raynold’s disease.

- Penyakit kulit, seperti : folliculitis, wound.

- Persiapan exercise dan massage.

2) Kontra Indikasi dari infra red, antara lain :

- Daerah insufisiensi darah

- Gangguan sensibilitas

- danya kecenderungan terjadi perdarahan


2. Electrical Muscle Stimulation

a. Definisi

Electrical Muscle Stimulation merupakan electrical stimulation

yang dapat meningkatkan daya kontraksi otot. Electrical Muscle

Stimulation menggunakan arus listrik untuk merangsang otot-otot. Pulse

listrik merangsang saraf untuk menghasilkan kontraksi otot alami. Hal ini

dikenal sebagai latihan pasif. Perangkat Electrical Muscle Stimulation

menghasilkan sinyal listrik yang merangsang saraf. Impuls ini dihasilkan

oleh perangkat listrik dan disampaikan melalui elektroda yang

ditempatkan pada kulit di dekat otot yang membutuhkan stimulasi.

Dengan menempatkan bantalan di dekat kelompok otot tertentu, dan

kemudian mengirimkan impuls dengan menggunakan perangkat Electrical

Muscle Stimulation, otot-otot akan mulai berkontraksi dan berelaksasi.

Impuls meniru impuls yang dihasilkan oleh otak untuk merangsang

jaringan otot.

Kontraksi yang dihasilkan dari stimulasi jauh seperti kontraksi otot

selama latihan rutin. Tegangan untuk titik-titik tekanan yang berbeda pada

otot dapat disesuaikan sesuai dengan kebutuhan. Hasil stimulasi adalah

perbaikan dan penguatan otot.

Perangkat Electrical Muscle Stimulation akan merangsang jaringan

otot yang rusak sehingga dapat memulihkan, mengencangkan otot, dan

memperkuat jaringan yang rusak. Pulses merangsang serat jaringan


dengan derajat dan pola-pola tertentu yang menurunkan degenerasi otot

yang disebabkan oleh atrofi saraf.

b. Indikasi dan kontraindikasi

1) Indikasi Electrical Muscle Stimulation

- Penguatan otot

- Re-edukasi otot, mencegah kelemahan otot atau atrofi otot

- Pemendekan otot atau spasme otot

- Menghilangkan nyeri

- Kelemahan otot karena gangguan saraf

- Menghilangkan oedema (bengkak)

- Menyembuhkan peradangan karena suatu trauma atau sehabis operasi

- Menyembuhkan luka dan perbaikan jaringan

2) Kontraindikasi Electrical Muscle Stimulation

- Alat pacu jantung (cardiac pacemaker)

- Kelainan irama jantung/aritmia

- Menaruh elektroda stimulasi listrik pada daerah sinus karotis di

daerah depan leher bagian luar karena dapat menyebabkan penurunan

tekanan darah tiba-tiba dan menyebabkan kehilangan kesadaran.

- Pada daerah kelainan-kelainan pembuluh darah arteri maupun vena

seperti tromboflebitis atau thrombosis.

- Pada kehamilan terutama dengan menempatkan elektroda pada

daerah perut atau punggung bawah.


3. Passive ROM Exercise

a. Definisi

Passive ROM Exercise (PROMEX) adalah gerak segmen tubuh dalam

ROM yang tidak dibatasi dan dihasilkan oleh gaya eksternal, hanya ada

sedikit kontraksi otot volunter atau bahkan tidak ada. Gaya eksternal dapat

berasal dari orang lain, mesin, atau bagian tubuh yang lain.

b. Indikasi dan kontraindikasi

1) Indikasi Passive ROM Exercise

- Gerakan dihasilkan oleh sumber eksternal jika pasien tidak mampu

atau tidak diperbolehkan menggerakkan segmen tubuh, seperti tidak

sadarkan diri, lumpuh, atau tirah baring total.

- Daerah tubuh yang mengalami inflamasi jaringan akut memerlukan

gerakan pasif. Inflamasi setelah cedera atau pembedahan biasanya

berlangsung selama 2 sampai 6 hari.

2) Kontraindikasi Passive ROM Exercise

Passive ROM Exercise kontraindikasi dalam keadaan dimana gerakan

yang terjadi dapat menyebabkan distrupsi pada healing process,

immobilisasi yang mengarah kepada adhesi dan kontraktur, gangguan

sirkulasi dan pemulihan dalam waktu lama.

Anda mungkin juga menyukai