Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Hampir semua orang dalam populasi umumnya terkena jamur yang
menyebabkan Tinea pedis. Sistem kekebalan tubuh masing-masing orang
menentukan apakah hasil infeksi dari eksposur tersebut. Sebagai orang usia
dewasa, retak kecil berkembang di kulit kaki, meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi tinea. Prevalensi Tinea pedis sekitar 10%, terutama disebabkan oleh
oklusif alas kaki. (Wolf K, 2003)
Mikosis superfisial adalah salah satu jenis infeksi terbanyak pada manusia,
diperkirakan mempengaruhi lebih dari 20-25% populasi dunia, dan insidensinya
terus meningkat. Mikosis superfisial terutama disebabkan oleh dermatofita,
sekelompok jamur keratinofilik yang dapat menginfeksi kulit, rambut dan kuku.
(Vena, 2012)
Distribusi dermatosis dan agen penyebabnya sangat bervariasi untuk tiap
daerah geografis yang berbeda dan dipengaruhi oleh berbagai jenis faktor, seperti
tipe populasi, faktor iklim, gaya hidup, migrasi penduduk, budaya setempat,
kondisi sosioekonomi penduduk, penyakit komorbid pada suatu populasi dan
penatalaksanaan. (Vena, 2012)
Tinea pedis atau athelete foot adalah infeksi jamur yang paling sering terjadi
pada sela jari dan telapak kaki. Penggunaan istilah athlete foot digunakan untuk
menunjukkan bentuk jari kaki yang terbelah. Jamur dapat tumbuh akibat berbagai
faktor, terutama faktor kelembapan seperti kaki lebih mudah berkeringat,
pemakaian sepatu tertutup, dan kaos kaki yang kurang dijaga kebersihannya.
(Budimulja, 2011)
Tinea pedis dapat ditemukan di seluruh dunia dan merupakan dermatosis
yang paling sering terjadi. Prevalensi tinea pedis di negara maju ditemukan
sebanyak 10% dari total populasi. Laki-laki dewasa memiliki risiko 20% lebih
tinggi terkena tinea pedis, sementara perempuan hanya 5%. Tinea pedis lebih
umum ditemukan pada orang dewasa daripada anak. (James WD, 2011)

3
Dengan latarbelakang inilah kelompok kami ingin membahas tentang Tinea
Pedis secara mendalam.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Bagaimana penyakit Tinea Pedis dapat menyerang manusia, gambaran
klinis dan penatalaksanaan serta pemeriksaan penunjang penyakit ini.

1.3 TUJUAN
1. Mengetahui cara penyebaran penyakit Tinea Pedis.
2. Mengetahui gambaran klinis penyakit Tinea Pedis.
3. Mengetahui cara penatalaksabaan penyakit Tinea Pedis.
4. Mengetahui pemeriksaan penunjang penyakit Tinea Pedis.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Tinea pedis adalah infeksi kulit dari jamur superfisial pada kaki. (Kumar,
2011) Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai
sela jari dan telapak kaki. (Unandar, 2007) Tinea pedis merupakan golongan
dermatofitosis pada kaki. (Wolf K, 2003)

Istilah dermatofitosis harus dibedakan dengan dermatomikosis.


Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk atau
stratum korneum pada lapisan epidermis di kulit, rambut dan kuku yang
disebabkan oleh golongan jamur dermatofita. Dermatomikosis merupakan arti
umum, yaitu semua penyakit jamur yang menyerang kulit. (Unandar, 2007)

2.2 EPIDEMIOLOGI
Pada suatu penelitian retrospektif yang diadakan di Italia dari tahun 2005
sampai 2010 dengan total sampel 6133 pasien mendapatkan bahwa tinea pedis
memiliki insidensi sebesar 20,4% dari seluruh kasus dermatosis yang ada dan
lebih sering terjadi pada dewasa muda dan dewasa dengan umur 18-40 tahun serta
jenis kelamin laki-laki. Agen kausatif tinea pedis yang paling sering ditemukan
adalah T. Rubrum, T. mentagrophytes dan E. floccosum. (Vena, 2011)

2.3 ETIOLOGI
Tinea pedis umumnya disebabkan Trichophyton rubrum (T.rubrum),
Trichophyton mentagrophytes (T.mentagrophytes), Epidermophyton floccosum
(E.floccosum). (Chamlin, 2012) Trichophyton rubrum menimbulkan lesi
hiperkeratotik dan kering menyerupai bentuk sepatu sandal (mocassinlike) pada
kaki; T. mentagrophyte seringkali menimbulkan lesi yang vesikuler dan lebih
meradang, sedangkan E. floccosum bisa menimbulkan salah satu diantara dua
morfologi diatas. (James WD, 2011)

5
2.4 PATOGENESIS
Individu dengan imun rendah seperti HIV/AIDS, kemoterapi, steroid dan
nutrisi parenteral dapat menurunkan resistensi pasien terhadap dermatofitosis.
Faktor seperti umur, obesitas, diabetes melitus juga dapat menurunkan imunitas
dan meningkatkan kejadian tinea pedis. Diabetes melitus merupakan penyebab
infeksi tersering, pasien dengan penyakit ini 50% akan terkena infeksi jamur.
(Patogenesis dermatofita memiliki 3 cara, yaitu adherence/pengikatan, penetrasi
setelah fase adherence, dan respon host. (Tainwala, 2011)
Jamur selalu mempunyai hambatan dalam prosesinfeksinya, jamur harus
resisten terhadap sinar UV, tahan terhadap berbagai temperatur dan kelembaban,
berkompetisi dengan flora normal kulit, spingosin yang di hasilkan oleh
keratinosit. Asam lemak yg diproduksi oleh glandula sebasea bersifat fungistatik
(menghambat pertumbuhan jamur). Produksi asam lemak pada anak pasca
pubertas menerangkan menurunnya kejadian tinea kapitis secara drastis.
(Tainwala, 2011)
Penetrasi setelah fase adherence, spora akan tumbuh dan memasuki stratum
korneum dengan kecepatan yang lebih cepat dari waktu deskuamasi epidermis.
Penetrasi juga didukung dengan keluarnya enzim proteinase, lipase dan
musinolitik yang juga membantu dalam pembuatan nutrisi jamur. Trauma dan
maserasi merupakan faktor penting dalam memudahkan penetrasi jamur terutama
pada kasus tinea pedis. (Tainwala, 2011)
Respon host. Proses inflamasi yang terjadi sangat tergantung sistem imun
host dan juga jenis organisme. Beberapa jamur dapat menghasilkan faktor
kemotaktik dengan berat melekul rendah seperti yang dihasilkan bakteri. Antibodi
tidak terlihat pada infeksi dermatofita, tetapi hanya menggunakan jalur reaksi
hipersensitivitas tipe IV. Infeksi yang sangat ringan menimbulkan inflamasi yang
ringan juga, pertama muncul eritem dan skuama yang menandakan terjadinya
turnoverkeratinosit. Antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis
dan dipresentasikan di nodus limpa lokal menuju ke limfosit T. Limfosit T
mengalami poliferasi dan bermigrasi ke lokasi untuk membunuh jamur dan pada
waktu ini lesi menjadi inflamasi. Oleh sebab itu, barier epidermal menjadi
permeabel terhadap transferin dan migrasi sel. (Tainwala, 2011)

6
2.5 MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis tinea pedis dibedakan berdasarkan tipe, antara lain
Moccasin, Interdigitalis, Vesikobulosa dan Ulseratif. (Bolognia, 2012)

2.5.1 Moccasin
Tinea pedis dengan tipe moccasin memliki gejala klinis berupa
hiperkeratosis difus, eritem, fisura, dan skuama pada permukaan plantar kaki dan
sela-sela jari kaki. Pada umumnya tinea pedis tipe mocassin bersifat kronik dan
sulit untuk disembuhkan. Beberapa penelitian menghubungkan defisiensi Cell
Mediated Immunity (CMI) terhadap jamur dengan tinea pedis tipe ini (Gambar
1). (Bolognia, 2012)

Gambar 1. Tinea pedis pada telapak kaki

2.5.2 Interdigital
Tinea pedis tipe interdigital merupakan jenis tinea pedis yang sering terjadi.
Gejala klinisnya berupa eritem, skuama, maserasi, dan fisura terjadi pada sela-sela
jari kaki terutama pada dua sela jari kaki bagian lateral. Lesi juga dapat
mengalami perluasan ke arah dorsum ataupun plantar. Keluhan pasien yang paling
dominan biasanya adalah gatal. Pada tinea pedis tipe interdigital dapat terjadi
infeksi sekunder bakteri biasa dikenal dengan sebutan dermatofitosis kompleks
(Gambar 2). (Bolognia, 2012)

7
Gambar 2. Tinea pedis, Interdigitalis.

2.5.3 Inflamasi / Vesikobulosa


Tinea pedis tipe Inflamasi/ vesikobulosa memiliki gejala klinis berupa
vesikel dan bula pada bagian medial kaki. Hal ini sering dikaitkan dengan reaksi
dermatofid (Gambar 3). (Bolognia, 2012)

Gambar 3. Tinea pedis; Vesikobulosa

2.5.4 Ulseratif
Tinea pedis tipe ulseratif merupakan eksaserbasi tipe interdigital yang lebih
parah. Biasanya terdapat infeksi sekunder oleh bakteri. Gejala klinis yang dapat
diobservasi adalah terbentuknya erosi dan ulkus pada daerah sela jari kaki. Tipe
ulseratif sering ditemukan pada pasien dengan penurunan sistem imun dan
diabetes (Gambar 4). (Bolognia, 2012)
8
Gambar 4. Tinea pedis tipe Ulseratif.

Tabel 1. Klasifikasi jenis Tinea pedis dan pengobatannya


Tipe Organisme Gejala Klinis Pengobatan
Penyebab
Moccasin Trichophyton Hiperkeratosis yang Antifungal
rubrum difus, eritema dan topikal disertai
retakan pada dengan obat-
Epidermophyton permukaan telapak obatan keratolitik
floccosum kaki; pada asam salisilat,
Scytalidium umumnya sifatnya urea dan asam
hyalinum kronik dan sulit laktat untuk
disembuhkan; mengurangi
S. dimidiatum
berhubungan hiperkeratosis;
dengan defisiensi dapat juga
Cell Mediated ditambahkan
Immunity (CMI) dengan obat-
obatan oral
Interdigital T. Tipe yang paling Obat-obatan
mentagrophytes sering; eritema, topikal; bisa juga
krusta dan maserasi menggunakan
(var. interdigitale) yang terjadi pada obat-obatan oral
T. rubrum sela-sela jari kaki, dan pemberian
antibiotik jika
E. floccosum
terdapat infeksi
S. hyalinum bakteri; kronik :
S. dimidiatum ammonium
klorida
Candida spp. hexahidrate 20 %
Inflamasi / T. Vesikel dan bula Obat-obatan
Vesikobulosa mentagrophytes pada pertengahan topikal biasanya

9
(var. kaki; berhubungan cukup pada fase
mentagrophytes) dengan reaksi akut, namun
dermatofit apabila dalam
keadaan berat
maka indikasi
pemberian
glukokortikoid
Ulseratif T. rubrum Eksaserbasi pada Obat-obatan
daerah interdigital; topikal; antibiotik
T. Ulserasi dan erosi; digunakan
mentagrophytes biasanya terdapat apabila terdapat
E. floccosum infeksi sekunder infeksi sekunder
oleh bakteri;
biasanya terdapat
pada pasien
imunokompromais
dan pasien diabetes

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Diagnosis tinea pedis biasanya dilakukan secara klinis, dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis seperti kerokan kulit pada
daerah lesi dengan penambahan KOH dan biakan jamur dari daerah yang
terinfeksi. (Tainwala, 2011)

2.6.1 Pemeriksaan kerokan kulit dengan penambahan KOH 10%


Hasil preparat KOH biasanya positif di beberapa kasus dengan maserasi
pada kulit. Pemeriksaan sediaan dilakukan langsung menggunakan mikroskop,
mula-mula dengan pembesaran 10x10, kemudian dengan pembesaran 10x45. Pada
pemeriksaan mikroskop KOH dapat ditemukan hifabersepta atau
bercabang,artrospora membuktikan infeksi jamur (Gambar 5). (Sterry W, 2006)

10
Gambar 5.Tampak hifa bersepta
Untuk melihat elemen jamur lebih nyata dapat ditambahkan zat warna pada
sediaan KOH, misalnya tinta Parker superchoom blue black. Pada sediaan kulit
dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai 2 garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan
bercabang maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit lama dan/atau
sudah diobati. (James WD, 2011)

2.6.2 Biakan jamur


Pemeriksaan dengan biakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan
langsung sediaanbasah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan, yang dianggap
paling baik pada waktu ini adalah medium agar dextrosa sabouraud. Pada agar
sabouraud dapat ditambahkan antibiotik (kloramfenikol) atau ditambah pula
klorheksimid. Kedua zat tersebut diperlukan untuk menghindarkan kontaminasi
bakterial maupun jamur kontaminan.2Diperlukan waktu yang berbeda-beda bagi
jamur untuk mengembangkan koloninya. Setelah dapat diobservasi, topografi
permukaan dan pigmentasi dinilai. Sampel juga dapat diambil dari kultur untuk
diperiksa di bawah mikroskop. (Chamlin, 2013)
E. floccosum memiliki bentuk koloni yang datar dan tampak berbulu
(feathery) yang memiliki lipatan tengah dengan pewarnaan pigmen kuning hingga
abu kehijauan. T. Rubrum memiliki bagian tengah koloni yang meninggi berwarna
putih dengan warna maroon pada bagian perifernya. Tes ureasenya negatif. T.
mentagrophytestampa memiliki permukaan yang lembut seperti kapas dan
meninggi dengan warna putih hingga cream. Tes ureasenya positif. (Chamlin,
2013)

2.7 DIAGNOSIS
Athlete’s foot biasanya dapat didiagnosis dengan inspeksi darikulit, tetapi
jika diagnosis tidak pasti, maka dilakukan pemeriksaan kalium hidroksida dari
kerokan kulit dan diperiksa menggunakan mikroskop (dikenal sebagai tes
KOH).Tes ini dapat membantu penegakan diagnosis dari Athlete’s foot dan
11
membantu menyingkirkan kemungkinan penyebab yang lain, seperti kandidiasis,
keratolisis, erithrasma, dermatitis kontak, eksim, atau psoriasis. Dermatofitosis
diketahui menyebabkan Athlete’s foot dan akan menunjukkan beberapa hifa
bersepta dan bercabang pada mikroskop. (Tainwala, 2011)

2.8 DIAGNOSIS BANDING


Tinea pedis harus dibedakan dari beberapa penyakit lain dikaki sebagai
diagnosis banding diantaranya adalah dermatitis kontak alergi, psoriasis pustulosa,
dan eritrasma. (Branklin, 2003)
Dermatitis kontak alergi, dermatitis dengan gejala gatal disertai eritema,
vesikel, skuama terutama pada jari-jari, punggung, dan kaki, diakibatkan oleh
kontak dengan zat yang menyebabkan alergi. (Branklin, 2003)
Psoriasis pustulosa,kelainan kulit berupa plak bersisik putih yang terdapat
pada daerah lutut, siku, dan kulit kepala. Selain itu, terdapat pada jari tangan dan
jari kaki dengan penampakan plak-plak yang licin dan merah dan permukaan yang
mengalami maserasi. (Branklin, 2003)
Eritrasma, memiliki manifestasi lesi patch berbatas tegas berwarna merah
muda hingga merah yang dilapisi dengan skuama. Seiring dengan waktu, warna
lesi yang kemerahan akan berubah menjadi kecoklatan. Daerah predileksinya
adalah area-area lipatan tubuh, seperti lipat paha, aksila, umbilikus, sela jari dan
lain-lain. Keluhan gatal minimal. (Branklin, 2003)

2.9 KOMPLIKASI
Tinea pedis yang tidak diobati atau diobati dengan tidak benar akan
menyebabkan berbagai komplikasi seperti selulitis, tinea unguium serta
dermatofid. (Bolognia, 2012)

2.9.1 Selulitis
Infeksi tinea pedis, terutama tipe interdigital dapat mengakibatkan selulitis.
Selulitis dapat terjadi pada daerah ektermitas bawah. Selulitis merupakan infeksi
bakteri pada daerah subkutaneus sebagai akibat dari infeksi sekunder pada luka.
Faktor predisposisi selulitis adalah trauma, ulserasi dan penyakit pembuluh darah
perifer. Pada keadaan lembab, kulit akan mudah terjadi maserasi dan fisura,
12
akibatnya pertahanan kulit menjadi menurun dan menjadi tempat masuknya
bakteri patogen seperti β-hemolytic streptococci (grup A, B C, F, dan G),
Staphylcoccus aureus, Streptococcus pneumoniae, dan basil gram negatif.3
Apabila terjadi selulitis maka diindikasikan pemberian antibiotik. Jika terjadi
gejala yang sifatnya sistemik seperti demam dan menggigil, maka digunakan
antibiotik intravena. Antibiotik yang dapat digunakan ampisillin, golongan beta
laktam ataupun golongan kuinolon. (Kumar V, 2011)

2.9.2 Tinea Unguium


Tinea unguium merupakan infeksi jamur yang menyerang kuku dan
biasanya dihubungkan dengan tinea pedis. Seperti infeksi pada tinea pedis, T.
rubrum merupakan jamur penyebab tinea unguium. Kuku biasanya tampak
menebal, pecah-pecah, dan tidak berwarna. (Budimulja, 2011)

2.9.3 Dermatofid
Dermatofid merupakan suatu penyakit imunologik sekunder tinea pedis dan
juga penyakit tinea lainnya. Hal ini dapat menyebabkan vesikel atau erupsi
pustular di daerah infeksi sekitar palmaris dan jari-jari tangan. Reaksi dermatofid
bisa saja timbul asimptomatis dari infeksi tinea pedis. Reaksi ini akan berkurang
setelah penggunaan terapi antifungal. (James WD, 2011) Komplikasi ini biasanya
terkena pada pasien dengan edema kronik, imunosupresi, hemiplegia dan
paraplegia, dan diabetes. Tanpa perawatan profilaksis penyakit ini dapat kambuh
kembali. (Kumar V, 2011)

2.10 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tinea pedis dapat berupa farmakologi dan non-farmakologi.
Terapi non-farmakologi dengan memberi edukasi berupa penjelasan kepada
pasien mengenai pentingnya kebersihan kaki, menjaga kaki tetap kering,
membersikan kuku kaki, menggunakan sepatu yang pas dan kaos kaki kering dan
bersih, serta menggunakan sandal pada tempat mandi umum atau kolam renang
dapat mencegah terjadinya tinea pedis. (Sterry, 2006)
Untuk intervensi farmakologis umumnya digunakan agen anti jamur topikal
sebagai pengobatan pilihan tinea pedis. Agen topikal yang digunakan seperti obat
13
golongan alilamin, imidazol, siklopiroks, benzilamin dan tolnaftat. Bentuk sediaan
topikal yang optimal digunakan untuk pengobatan adalah krim atau solusio karena
setelah obat diaplikasikan pada daerah lesi, bisa dilakukan pemijatan untuk
meningkatkan kontak obat dengan jamur. Pada beberapa kasus, pengobatan tinea
pedis membutuhkan obat-obatan oral anti jamur. Pada orang dewasa, beberapa
pilihannya adalah flukonazol oral dengan dosis 150-200 mg/pekan selama 4-6
pekan, griseofulvin 500-1000 mg/hari selama 4 pekan, itrakonazol 200-400
mg/hari selama 1 pekan, atau terbinafin 250 mg/hari selama 2 pekan. Sedangkan
pada anak-anak, dosis yang digunakan adalah flukonazol 6 mg/kgBB/pekan
selama 4-6 pekan, griseofulvin 15-20 mg/kgBB/hari selama 4 pekan, dan
itrakonazol 3-5 mg/kgBB/hari selama 1 pekan. (Chamlin, 2013)
Antibiotik topikal maupun oral juga dapat ditambahkan ke dalam regimen
terapi pasien tinea pedis sesuai dengan indikasi. Agen anti bakteri topikal yang
umumnya digunakan untuk mencegah dan mengobati infeksi bakteri superfisial
adalah mupirosin, retapamulin, neomisin, gentamisin, basitrasin dan polimiksin B.
Untuk agen anti bakterial sistemik dapat digunakan hampir semua jenis golongan
antibiotik dengan golongan penisilin dan sefalosporin sebagai pilihan pertama.
Kortikosteroid seperti betametason juga mungkin diberikan. (Bolognia, 2012)
Tinea pedis tipe interdigital ringan tanpa adanya keterlibatan infeksi bakteri
ditatalaksana dengan menggunakan agen anti jamur topikal.Jika sudah terdapat
infeksi sekunder bakteri dapat diberikan antibiotik preparat topikal ataupun oral.
(Bolognia, 2012)
Tinea pedis tipe moccasin diterapi dengan menggunakan obat-obatan anti
jamur topikal dan bisa ditambahkan obat-obatan keratolitik, seperti asam salisilat,
urea dan asam laktat. Pada beberapa kasus tertentu, yang tidak respon terhadap
pengobatan konvensional ataupun memiliki gejala klinis yang berat, obat-obatan
anti jamur sistemik diperlukan. (Bolognia, 2012)
Tinea pedis tipe vesikobulosa biasa cukup untuk ditatalaksana dengan
menggunakan agen anti jamur topikal. Kortikosteroid topikal ataupun sistemik
dapat juga diberikan pada periode awal pengobatan untuk meringankan gejala
simtomatik. (Bolognia, 2012)

14
Tinea pedis tipe ulseratif ditatalaksana dengan kombinasi agen topikal anti
jamur dengan antibiotik topikal ataupun oral karena umumnya tinea pedis tipe
ulseratif selalu disertai dengan infeksi sekunder bakteri. (Chamlin, 2013)

2.11 PROGNOSIS
Tinea pedis pada umumnya memiliki prognosis yang baik. Beberapa pekan
setelah pengobatan dapat menyembuhkan tinea pedis. Kasus yang lebih berat
dapat diobati dengan pengobatan oral. Pencegahan harus dilakukan pada pasien
tinea pedis, karena bila tidak dilakukan pencegahan dapat terjadi reinfeksi.
(Kumar V, 2011)

15
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai
sela jari dan telapak kaki. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada laki-laki usia
dewasa dan lebih jarang pada perempuan dan anak-anak. Keadaan lembab dan
hangat pada sela jari kaki karena bersepatu dan berkaos kaki disertai berada di
daerah tropis yang lembab mengakibatkan pertumbuhan jamur makin subur.
Jamur penyebab tinea pedis yang paling umum ialah Trichophyton rubrum (paling
sering), T. mentagrophytes,dan Epidermophyton floccosum. Gambaran klinis
dapat dibedakan berdasarkan tipe interdigitalis, moccasin, vesikobulosa, dan
ulseratif. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan KOH
dan biakan jamur, pada tinea pedis ditemukan adanya hifa bersepta.
Penatalaksanaan disesuaikan berdasarkan tipe tinea pedis, baik berupa terapi
farmakologi dan non-farmakologi. Tinea pedis yang ditatalaksana dengan baik
akan memberi prognosis yang baik.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Wolf K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s dermatology in


general medicine. 6th ed. New york: McGraw-Hill; 2003.

2. Vena, Gino A, Paolo C, Filomena P, Annarita G, Anna B, Nicoletta C. 2012.


Epidemiology of Dermatophytoses: Retrospective Analysis from 2005 to
2010 and Comparison with Previous Data from 1975. New Microbiologica,
35:207-213.

3. James WD, Elston DM & Berger TG. Andrew’s Disease of the Skin: Clinical
Dermatology, ed 11th. Spain: Saunders Elsevier. 2011

4. Kumar V, Tilak R, Prakash P,Nigam C, Gupta R. Asian journal of medical


science. Tinea Pedis, 2011. p. 134- 135

5. Budimulja U. Mikosis. Dalam: Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin.


Ed 6th. Jakarta; Fk-UI,2011;p 93

6. Sterry W, Paus R, Burgdorf W. Dermatology. Tinea Pedis. Thieme Clinical


Companions, 2006. p. 109-110

7. Barankin Banjamin, Freiman Anatoli. Derm Notes. Clinical Dermatology


Pocket Guide. Tinea pedis. Philadelphia; Davis Company 2003;p.160-1

8. Tainwala, Ramdan YK Sharma. Pathogenesis of Dermatophytoses. Indian J


Dermatol. 2011; 56(3):259-261.

9. Bolognia JL, Jorizzo L, Rapini RP. Dermatology. Tinea Pedis. 3rd ed.British
Library; 2012;p19-21

10. Chamlin L Sarah, Lawley P Leslie. Fitzpatrick’s Atlas. Tinea Pedis. Ed 7th.
New York; McGraw-Hill Medicine 2013; 709-712

17

Anda mungkin juga menyukai