Junal Gizi Dan Dietetik Indonesia Volume 2 No 3
Junal Gizi Dan Dietetik Indonesia Volume 2 No 3
Ketahanan pangan rumah tangga berhubungan dengan stunting pada anak usia 6-
23 bulan
Masrin, Hamam Hadi, Yhona Paratmanitya
Tingkat sosial ekonomi tidak berhubungan dengan kurang energi kronis (KEK) pada
ibu hamil
Indriany, Siti Helmyati, Bunga Astria P
Riwayat asupan energi dan protein yang kurang bukan faktor risiko stunting pada
anak usia 6-23 bulan
Rahmaniah, Emy Huriyati, Winda Irwanti
Pola makan dan pantangan makan tidak berhubungan dengan kekurangan energi
kronis pada ibu hamil
Oktriyani, Muhammad Juffrie, Dewi Astiti
Faktor sosiodemografi dan tinggi badan orang tua serta hubungannya dengan
kejadian stunting pada balita usia 6-23 bulan
Nur Afia Amin, Madarina Julia
Diterbitkan Oleh
Program Studi S1 Imu Gizi STIKES ALMA ATA
bekerjasama dengan
Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI)
ISSN 2303-3045
Penasehat
Ketua Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI)
Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Gizi Indonesia (AIPGI)
Pengarah
Ketua Sekolah Tinggi Kesehatan (STIKES) Alma Ata Yogyakarta
Ketua Program Studi Ilmu Gizi STIKES Alma Ata Yogyakarta
Ketua Penyunting
Prof. dr. Hamam Hadi, M.S., Sc.D.
Anggota Penyunting
Prof. dr. H. Ahmad Husain Asdie, SpPD-KEMD
Winda Irwanti, S.Gz., M.P.H.
Yhona Paratmanitya, S.Gz., Dietisien, M.P.H.
Effatul Afifah, S.ST., M.P.H.
Tony Arjuna, S.Gz., MNutDiet
Esti Nurwanti, S.Gz., Dietisien, MPH
Dewi Astiti, S.Gz., MPH
Bunga Astria Paramashanti, S.Gz., MPH
Sekretaris Penyunting
Veriani Aprilia, S.T.P., M.Sc.
Bendahara
Sari Budiarti, S.Pd.
Jurnal Gizi dan Dietetik Indonesia atau JGDI (The Indonesian Journal of Nutrition and Dietetics)
(ISSN2303-3045)merupakan jurnal berkala ilmiah yang berisi telaah-telaah ilmiah yang
merupakan hasil penelitian maupun nonpenelitian terbaru yang khusus diterbitkan bagi para
praktisi dan civitas akademika di bidang gizi dan dietetik. JGDI diterbitkan 3 kali dalam setahun
Januari, Mei, September) oleh Program Studi S1 Ilmu Gizi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
(STIKES) Alma Ata Yogyakarta bekerjasama dengan Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI).
Hak cipta jurnal ini dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh
dari jurnal ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.
Alamat sekretariat: Jl. Ringroad Barat Daya No. 1, Tamantirto, Yogyakarta 55183.
Telp. (0274) 434 2288, 434 2270. Fax. (0274) 434 2269. Email: jgdi.almaata@gmail.com,
website: www.jgdi.almaata.ac.id
ISSN 2303-3045
Jurnal Gizi dan Dietetik Indonesia September 2014, Tahun 02, Nomor 3
Indonesian Journal of Nutrition and Dietetics Halaman 121-180
121-130 Ketahanan pangan rumah tangga berhubungan dengan stunting pada anak usia 6-23
bulan
Masrin, Hamam Hadi, Yhona Paratmanitya
131-138 Tingkat sosial ekonomi tidak berhubungan dengan kurang energi kronis (KEK) pada ibu
hamil
Indriany, Siti Helmyati, Bunga Astria P
139-149 Praktik pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) bukan faktor risiko kejadian
stunting pada anak usia 6-23 bulan
Hildagardis M.E. Nai, I Made Alit Gunawan, Esti Nurwanti
150-157 Tingkat asupan energi dan ketersediaan pangan berhubungan dengan risiko kekurangan
energi kronik (KEK) pada ibu hamil
Yanuarti Petrika, Detty Siti Nurdiati
158-164 Riwayat asupan energi dan protein yang kurang bukan faktor risiko stunting pada anak
usia 6-23 bulan
Rahmaniah, Emy Huriyati, Winda Irwanti
Pola makan dan pantangan makan tidak berhubungan dengan kekurangan energi kronis
165-173
pada ibu hamil
Oktriyani, Muhammad Juffrie, Dewi Astiti
174-180 Faktor sosiodemografi dan tinggi badan orang tua serta hubungannya dengan kejadian
stunting pada balita usia 6-23 bulan
Nur Afia Amin, Madarina Julia
ISSN 2303-3045
KATA PENGANTAR
ABSTRACT
Background: Food is one of human basic needs. If it is not fullfilled, both in their number and quality in the individual
and household level will disturb the achievement of the life quality that are health, active, and sustainable and able to
rise various health and nutrition problems. Stunting in children 6-23 months was one of chronical nutrition problems that
was caused by access and afford to the food still low.
Objective: To analyze the correlation between food security of the household and stunting incidence in children aged
6-23 months in Sedayu Subdistrict, Bantul, Yogyakarta.
Method: This was an observational study with case-control design. The samples of the study were 126 children aged
6-23 months, each for case, and control group. The samples were chosen by total sampling method. Data were analyzed
by using univariate, bivariate, and multivariate. Statistic test in bivariate analysis used chi-square test and in multivariate
analysis used logistic regression test.
Result: Bivariate analysis showed that food security of the household had correlation with stunting incidence in children
aged 6-23 months (p=0.04, OR=2.70, 95% CI:0.94-8.77).The confounding variable which had significant correlation
with stunting incidence in children aged 6-23 months were mother height (p=0.00, OR=2.03, 95% CI:1.14-3.65) and
low birth weigth history (p=0.03, OR=3.02, 95% CI:0.98-11.04). Multivariate analysis by controlling mother height and
low birth weigth history in children aged 6-23 months, showed that household food security had correlation with stunting
incidence in children aged their 6-23 months (p=0.05, OR=2.62, 95% CI:0.97-7.12).
Conclusion: There was significant correlation between household food security and stunting incidence in children aged
at their 6-23 months in Sedayu Subdistrict, Bantul, Yogyakarta.
ABSTRAK
Latar belakang: Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, baik
jumlah maupun mutunya pada tingkat individu dan rumah tangga akan mengganggu tercapainya kualitas hidup sehat, aktif,
dan berkesinambungan serta dapat menimbulkan berbagai permasalahan kesehatan dan gizi. Baduta stunting merupakan
salah satu masalah gizi kronis yang disebabkan oleh akses dan keterjangkauan terhadap pangan masih rendah.
Tujuan: Menganalisis hubungan ketahanan pangan rumah tangga dengan kejadian stunting pada balita usia 6-23 bulan
di Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta.
Metode: Jenis penelitian ini adalah observasional dengan rancangan case-control. Sampel penelitian adalah baduta usia
6-23 bulan yang berjumlah 126 untuk masing-masing kelompok kasus dan kontrol dengan rasio 1:1. Teknik pengambilan
sampel menggunakan metode total sampling. Analisis data secara bertahap, yaitu analisis univariat, bivariat, dan
multivariat. Uji statistik bivariat menggunakan chi-square dan multivariat menggunakan regresi logistik.
Hasil: Hasil analisis bivariat menunjukkan ketahanan pangan rumah tangga berhubungan dengan kejadian stunting
pada baduta usia 6-23 bulan (p=0,04, OR=2,70, 95% CI:0,94-8,77). Variabel luar yang berhubungan signifikan dengan
kejadian stunting pada baduta usia 6-23 bulan yaitu tinggi badan ibu (p=0,00, OR=2,03, 95% CI:1,14-3,65) dan riwayat
BBLR (p=0,03, OR=3,02, 95% CI:0,98-11,04). Hasil analisis multivariat dengan mengendalikan variabel tinggi badan
ibu dan riwayat BBLR baduta menunjukkan ketahanan pangan rumah tangga berhubungan dengan kejadian stunting
pada baduta usia 6-23 bulan (p=0,05, OR=2,62, 95% CI:0,97-7,12).
Kesimpulan: Ada hubungan yang signifikan antara ketahanan pangan rumah tangga dengan kejadian stunting pada
baduta usia 6-23 bulan di Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta.
KATA KUNCI: ketahanan pangan rumah tangga, stunting, baduta usia 6-23 bulan
1
STIK Avicenna, Jl. D.I Panjaitan Lepo-Lepo, Kendari-Sulawesi Tenggara, e-mail: masrinupiqaqib@gmail.com
2
Magister Gizi dan Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Jl. Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta 55281,
e-mail: hamamhadi99@gmail.com
3
Program Studi S1 Ilmu Gizi, STIKES Alma Ata Yogyakarta, Jl. Ring Road Barat Daya No 1, Yogyakarta 55183, e-mail: yhona_nitya@yahoo.com
122 Masrin, Hamam Hadi, Yhona Paratmanitya
program Commcare ODK handphone Android dan diolah Tabel 1. Distribusi frekuensi karakteristik responden
secara komputerisasi. Data ketahanan pangan rumah berdasarkan sosial ekonomi dan status gizi keluarga
tangga diperoleh dengan menggunakan instrumen Kasus Kontrol
yang dikembangkan oleh Radimer et al (12). Data Variabel (n=126) (n=126) p
stunting baduta diperoleh melalui pengukuran langsung n % n %
menggunakan infantometer, data riwayat asupan energi Riwayat asupan energi
diperoleh melalui wawancara menggunakan form semi- Kurang 15 50,00 15 50,00 1,00
quantitative food frequency questionnaire (SQ-FFQ), data Baik 111 50,00 111 50,00
tinggi badan orang tua diperoleh dengan pengukuran Riwayat asupan protein
langsung menggunakan microtoise, sedangkan data Kurang 11 52,38 10 47,62 0,82
pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan Baik 115 49,78 116 50,22
Pendidikan ayah
keluarga, jumlah anggota keluarga, pengetahuan
Kurang 43 48,31 46 51,69 0,69
gizi ibu, jenis kelamin, riwayat BBLR (berat badan
Baik 83 50,92 80 49,08
lahir rendah, dan penyakit infeksi diperoleh melalui
Pendidikan ibu
wawancara menggunakan kuesioner. Analisis data
Kurang 42 47,73 46 52,27 0,59
bivariat menggunakan chi-square dan analisis multivariat Baik 84 51,22 80 48,78
menggunakan regresi logistik. Pekerjaan ayah
Uji validitas dan reliabilitas kuesioner dilakukan Kurang 86 53,42 75 46,58 0,15
terhadap 30 ibu baduta. Kuesioner yang diujicobakan Baik 40 43,96 51 56,04
adalah kuesioner penilaian ketahanan pangan dan Pekerjaan ibu
pengetahuan gizi ibu. Butir pertanyaan dinyatakan valid Kurang 106 51,21 101 48,79 0,41
apabila nilai corrected item-total correlation >0,361 dan Baik 20 44,44 25 55,56
dinyatakan reliabel apabila nilai cronbach’s alpha >0,361 Tinggi badan ayah
(13). Hasil menunjukkan kuesioner valid dan reliabel Pendek 46 54,76 38 45,24 0,28
karena nilai cronbach’s alpha >0,361. Penelitian ini sudah Normal 80 47,62 88 52,38
memperoleh surat kelayakan etik (ethical clearance) dari Tinggi badan ibu
Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Pendek 49 62,03 30 37,97 0,01*
Normal 77 44,51 96 55,49
Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan
Pendapatan keluarga
nomor Ref: KE/F/382/EC tahun 2014.
Kurang 81 48,21 87 51,79 0,42
Baik 45 53,57 39 46,43
HASIL Jumlah anggota keluarga
Kurang 71 51,82 66 48,18 0,53
Karakteristik subjek penelitian Baik 55 47,83 60 52,17
Karakteristik subjek penelitian ini dapat dilihat pada Pengetahuan gizi ibu
Tabel 1. Berdasarkan data pada Tabel 1 diketahui bahwa Kurang 70 54,26 59 45,74 0,16
riwayat BBLR dan tinggi badan ibu secara signifikan Baik 56 45,53 67 54,47
Jenis kelamin
berbeda antara kelompok kasus dan kelompok kontrol,
Laki-laki 66 47,14 74 52,86 0,31
sementara karakteristik subjek penelitian yang lain tidak
Perempuan 60 53,57 52 46,43
berbeda signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok
Riwayat BBLR
kasus dan kontrol mempunyai distribusi yang setara dalam
BBLR 14 73,68 5 26,32 0,03*
karakteristik tersebut. Normal 112 48,07 121 51,93
Penyakit infeksi
Analisis bivariat Ada infeksi 78 50,98 75 49,02 0,69
Analisis ini dilakukan untuk menguji hubungan Tidak ada infeksi 48 48,48 51 51,52
antara variabel bebas, variabel counfounding dan variabel * Signifikan (p<0,05)
luar dengan variabel bebas. Uji statistik yang digunakan
adalah chi-square (χ²) dengan p=0,05 dan confidence pangan rumah tangga merupakan faktor risiko yang
interval (CI) 95%. signifikan terhadap kejadian stunting pada baduta usia
Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa terdapat 6-23 bulan di Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta
hubungan antara ketahanan pangan rumah tangga dengan nilai OR=2,70, artinya rumah tangga yang berada
dengan kejadian stunting pada baduta usia 6-23 bulan pada kondisi rawan pangan berisiko 2,70 kali lebih besar
di Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta (p=0,04, 95% memiliki baduta stunting dibandingkan dengan rumah
CI:1,04-7,00). Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan tangga yang berada pada kondisi tahan pangan.
124 Masrin, Hamam Hadi, Yhona Paratmanitya
Tabel 2. Analisis bivariat hubungan variabel bebas, variabel antara dan variabel confounding dengan kejadian
stunting pada baduta usia 6-23 bulan di Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta tahun 2014
Menurut Tabel 3, terlihat bahwa persentase kejadian hasil analisis diperoleh nilai OR=3,02 artinya baduta yang
stunting lebih tinggi pada kelompok dengan tinggi badan terlahir dengan berat badan lahir rendah, berisiko 3,02
ibu pendek (62,03%) dibandingkan dengan kelompok kali lebih besar menderita stunting dibandingkan dengan
yang tinggi badan ibunya normal (44,51%). Hasil analisis baduta yang memiliki berat badan normal.
bivariat menunjukkan bahwa tinggi badan ibu merupakan Analisis data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa
faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian stunting 66,67% baduta pada kelompok kasus yang berasal dari
(p=0,00, 95% CI:1,14-3,65). Perhitungan nilai OR rumah tangga rawan pangan memiliki asupan energi
diperoleh 2,03 artinya ibu dengan tinggi badan pendek, kategori baik. Demikian pula pada Tabel 5 menunjukkan
berisiko 2,03 kali lebih besar memiliki baduta stunting bahwa 73,33% baduta pada kelompok kasus yang berasal
dibandingkan dengan ibu yang memiliki tinggi badan dari rumah tangga rawan pangan memiliki asupan protein
normal. Berdasarkan data ini pula diketahui bahwa kategori baik. Analisis bivariat menunjukkan tidak ada
pengaruh genetik mendukung terjadinya stunting pada hubungan antara ketahanan pangan rumah tangga dengan
baduta usia 6-23 bulan. asupan energi dan protein pada baduta.
Data dari tabel tersebut menunjukkan bahwa kejadian
BBLR pada kelompok kasus sebanyak 73,68% lebih tinggi Analisis multivariat
dari kelompok kontrol 26,32%. Hasil analisis bivariat Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui
menunjukkan riwayat BBLR merupakan faktor risiko yang hubungan ketahanan pangan rumah tangga dengan
signifikan terhadap kejadian stunting pada baduta usia kejadian stunting, dengan mengendalikan variabel luar
6-23 bulan (p=0,03, 95% CI:1,09-8,32). Berdasarkan yang memiliki nilai p<0,05 pada uji bivariat. Uji hipotesis
Ketahanan pangan rumah tangga berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan 125
Tabel 3. Analisis bivariat hubungan variabel luar dengan kejadian stunting pada baduta usia
6-23 bulan dan di Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta tahun 2014
Tabel 4. Analisis bivariat hubungan ketahanan pangan rumah tangga dengan asupan energi
pada baduta usia 6-23 bulan di Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta tahun 2014
Asupan energi
Ketahanan pangan rumah tangga Total p
Kurang Baik
Rawan pangan 5 (23,81%) 16 (76,19%) 21 (100%)
0,078
Tahan pangan 25 (10,82%) 206 (89,18%) 231 (100%)
Tabel 5. Analisis bivariat hubungan ketahanan pangan rumah tangga dengan asupan protein
pada baduta usia 6-23 bulan di Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta tahun 2014
Asupan protein
Ketahanan pangan rumah tangga Total p
Kurang Baik
Rawan pangan 4 (19,05%) 17 (80,95%) 21 (100%)
0,064
Tahan pangan 17 (7,36%) 214 (92,64%) 231 (100%)
* Signifikan (p<0,05)
yang digunakan adalah uji regresi logistik dengan tingkat rumah tangga tahan pangan. Nilai R2 (%)=0,01 sehingga
kemaknaan p=0,05 dan 95% CI. Nilai -2 log likelihood dapat diartikan bahwa ketahanan pangan rumah tangga
digunakan untuk membandingkan perbedaan model yang dapat memprediksi kejadian stunting pada baduta usia
satu dengan lainnya. Coefisien determinan atau (R2) untuk 6-23 bulan sebesar 1% sedangkan 99% disebabkan oleh
melihat kemampuan seluruh variabel dalam setiap model faktor lain.
memprediksi terjadinya stunting. Analisis model 2 untuk mengetahui adanya hubungan
Analisis model 1 untuk mengetahui adanya hubungan ketahanan pangan rumah tangga dengan kejadian stunting
ketahanan pangan rumah tangga dengan kejadian pada baduta usia 6-23 bulan dengan mengikutsertakan
stunting pada baduta usia 6-23 bulan tanpa melibatkan variabel tinggi badan ibu dalam analisis. Hasil analisis
variabel lain. Hasil analisis menunjukkan ada hubungan menunjukkan bahwa baduta yang memiliki ibu dengan
yang signifikan antara ketahanan pangan rumah tangga tinggi badan normal (>150 cm) dapat menurunkan faktor
dengan kejadian stunting (OR=2,70, 95% CI:1,01-7,21). risiko kejadian stunting sebesar 0,7 kali (OR=2,63, 95%
Berdasarkan analisis model 1 dapat dijelaskan bahwa CI:0,97-7,09). Hal ini berarti bahwa baduta pada rumah
baduta usia 6-23 bulan yang berada pada rumah tangga tangga rawan pangan memiliki risiko menderita stunting
rawan pangan memiliki risiko 2,7 kali lebih besar menderita 2,63 kali lebih besar dibandingkan dengan baduta pada
stunting dibandingkan dengan baduta yang berada pada rumah tangga tahan pangan apabila baduta memiliki tinggi
126 Masrin, Hamam Hadi, Yhona Paratmanitya
Tabel 6. Analisis regresi logistik variabel yang berhubungan dengan kejadian stunting
pada baduta usia 6-23 bulan
badan ibu normal (>150 cm). Nilai R2 (%)=0,03, sehingga berarti ketahanan pangan rumah tangga, tinggi badan ibu,
dapat diartikan secara bersama-sama ketahanan pangan dan riwayat berat badan lahir rendah secara bersama-
rumah tangga dan tinggi badan ibu dapat memprediksi sama dapat memprediksi kejadian stunting pada baduta
kejadian stunting pada baduta usia 6-23 bulan sebesar usia 6-23 bulan sebesar 4%, sedangkan sisanya 96%
3% sedangkan 97% disebabkan oleh faktor lain. disebabkan oleh faktor lain.
Analisis model 3 untuk mengetahui adanya hubungan Berdasarkan analisis pada Tabel 6, model yang
ketahanan pangan rumah tangga dengan kejadian stunting dipilih adalah model 4 sebagai model yang cukup baik
pada baduta usia 6-23 bulan dengan mengikutsertakan untuk menjelaskan hubungan ketahanan pangan rumah
variabel riwayat BBLR baduta. Hasil analisis menunjukkan tangga dengan kejadian stunting pada baduta usia 6-23
bahwa baduta yang memiliki riwayat berat badan lahir bulan. Model 4 sudah mempertimbangkan semua variabel
normal (berat badan lahir ≥2.500 gram) dapat menurunkan yang bermakna terhadap kejadian stunting, hasil R 2
faktor risiko kejadian stunting sebesar 0,1 kali (OR=2,69, merupakan yang paling besar dan memiliki nilai deviance
95% CI:1,00-7,22). Hal ini berarti bahwa baduta pada (-2 log likelihood) paling kecil.
rumah tangga rawan pangan memiliki risiko menderita Selanjutnya dilakukan analisis stratifikasi terhadap
stunting 2,69 kali lebih besar dibandingkan dengan variabel yang diduga sebagai confounding dan atau efek
baduta pada rumah tangga tahan pangan apabila baduta modifier pada hubungan ketahanan pangan rumah tangga
memiliki riwayat berat badan lahir normal. Nilai R2 (%)=0,02 dengan kejadian stunting pada baduta usia 6-23 bulan.
sehingga dapat diartikan secara bersama-sama ketahanan Variabel yang dianalisis adalah variabel yang memiliki
pangan rumah tangga dan riwayat berat badan lahir rendah hubungan yang signifikan (p<0,05) pada analisis bivariat
dapat memprediksi kejadian stunting pada baduta usia yaitu tinggi badan ibu dan riwayat BBLR baduta.
6-23 bulan sebesar 2% sedangkan 98% disebabkan oleh Hasil analisis yang diperoleh menunjukkan bahwa
faktor lain. perbedaan crude OR dengan OR hasil uji Maentel Haenzel
Analisis model 4 untuk mengetahui adanya hubungan kedua variabel tersebut tidak lebih dari 20% yaitu 4,07%
ketahanan pangan rumah tangga dengan kejadian stunting dan 0,74%, sehingga dapat disimpulkan bahwa tinggi
pada baduta usia 6-23 bulan dengan mengikutsertakan badan ibu dan riwayat BBLR baduta bukan variabel
variabel tinggi badan ibu dan riwayat BBLR baduta. confounding bagi hubungan ketahanan pangan rumah
Hasil analisis menunjukkan bahwa baduta yang memiliki tangga dengan kejadian stunting pada baduta usia 6-23
ibu dengan tinggi badan normal (TB >150 cm) dan bulan. Namun demikian, analisis pada variabel tinggi
memiliki riwayat berat badan lahir normal (berat badan badan ibu menunjukkan bahwa OR ketahanan pangan
lahir ≥2.500 gram) dapat menurunkan faktor risiko kejadian rumah tangga baduta yang memiliki tinggi badan ibu
stunting sebesar 0,8 kali (OR=2,62, 95% CI:0,97-7,12). pendek berbeda dengan OR ketahanan pangan rumah
Hal ini berarti bahwa baduta pada rumah tangga rawan tangga baduta yang memiliki tinggi badan ibu normal.
pangan memiliki risiko menderita stunting 2,62 kali lebih Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tinggi badan
besar dibandingkan dengan baduta pada rumah tangga ibu merupakan effect modifier bagi hubungan ketahanan
tahan pangan apabila baduta memiliki tinggi badan ibu pangan rumah tangga dengan kejadian stunting pada
normal dan tidak memiliki riwayat BBLR. Nilai R2 (%)=0,04 baduta usia 6-23 bulan.
Ketahanan pangan rumah tangga berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan 127
Tabel 7. Analisis stratifikasi variabel tinggi badan ibu dan riwayat BBLR baduta pada hubungan
ketahanan pangan rumah tangga dengan kejadian stunting pada baduta usia 6-23 bulan
Ketahanan pangan OR
Variabel Kasus Kontrol OR COR
rumah tangga MH
Tinggi badan ibu
Pendek Rawan pangan 28 43
1,95
Tahan pangan 2 6
2,70 2,59
Normal Rawan pangan 92 68
3,04
Tahan pangan 4 9
Riwayat BBLR baduta
BBLR Rawan pangan 5 12
~
Tahan pangan 0 2
2,70 2,72
BBLN Rawan pangan 115 99
2,51
Tahan pangan 6 13
ini menunjukkan adanya distribusi yang setara antara stunting (Tabel 2). Penelitian ini sejalan dengan penelitian
kelompok rumah tangga rawan pangan dan kelompok yang menyatakan pendidikan orang tua merupakan faktor
rumah tangga tahan pangan dalam pemenuhan kebutuhan risiko yang tidak signifikan terhadap kejadian stunting
energi dan protein baduta usia 6-23 bulan. Membaiknya (28). Pendidikan orang tua yang tinggi akan memudahkan
asupan zat gizi pada kelompok rumah tangga rawan pangan seseorang mengimplementasikan pengetahuannya dalam
dimungkinkan oleh beberapa alasan: adanya program perilaku di bidang gizi dan kesehatan (29) dan memudahkan
pemerintah yang berupaya membantu keterbatasan seseorang memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Hasil
perekonomian keluarga kurang mampu melalui program penelitian menunjukkan pendidikan ayah dan pendidikan
bantuan langsung tunai (BLT), adanya program beras ibu pada kelompok kasus sebesar 65,87% dan 66,66%
miskin (raskin) yang mampu menjangkau keluarga kurang dalam kategori baik. Meskipun pendidikan orang tua baik,
mampu untuk membeli beras dengan harga murah, status bekerja orang tua menyebabkan alokasi waktu yang
program pemerintah lainnya yang dapat meningkatkan lebih sedikit untuk mengasuh, merawat, dan mendidik
kemampuan rumah tangga dalam memberikan asupan anak-anaknya juga lebih sedikit serta kurang maksimalnya
makan kepada baduta serta adanya bantuan sumber pembinaan dan pemeliharaan anak hingga berdampak pada
energi dan protein dari sumber lain misalnya tetangga. gangguan pertumbuhan anak (30,31).
Berdasarkan hal ini, dapat dijelaskan bahwa pemenuhan Hasil analisis juga menunjukkan bahwa pengetahuan
kebutuhan makanan dalam rumah tangga guna memenuhi gizi ibu tidak berhubungan dengan kejadian stunting pada
kebutuhan gizi baduta agar dapat tumbuh sesuai umurnya baduta (Tabel 3). Hal ini dapat disebabkan oleh waktu yang
tidak hanya dilihat dari kemampuan keuangan keluarga, dialokasikan ibu untuk mengasuh anak sangat terbatas,
tetapi ada peran faktor lain berupa program pemerintah karena ibu lebih banyak berada di luar rumah untuk bekerja
dalam menanggulangi kemiskinan. mencari nafkah. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak
Analisis stratifikasi menunjukkan tidak ada peran 84,13% ibu dari kelompok kasus bekerja membantu suami
variabel confounding pada hubungan ketahanan pangan mencari nafkah. Pengetahuan dasar tentang gizi yang
rumah tangga dengan kejadian stunting pada baduta cukup tanpa diikuti sikap, keterampilan, dan kemauan untuk
usia 6-23 bulan (OR tidak lebih dari 20%), namun dapat bertindak tidak akan dapat membawa perbaikan gizi balita
diketahui bahwa variabel tinggi badan ibu merupakan (32).
effect modifier pada hubungan ketahanan pangan rumah Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis kelamin
tangga dengan kejadian stunting pada baduta usia 6-23 baduta tidak berhubungan dengan kejadian stunting (Tabel
bulan. Hal ini lah yang menjelaskan alasan rumah tangga 3). Anak perempuan dianggap sebagai anak yang lemah
rawan pangan memiliki baduta dengan ukuran panjang sehingga mendapatkan perhatian ekstra dibandingkan
badan normal dan stunting (Tabel 7). dengan anak laki-laki yang dianggap lebih kuat (33).
Meskipun demikian, analisis ini memberikan gambaran
Hubungan karakteristik, sosial ekonomi, dan status perilaku orang tua yang merata dalam memberikan pola
gizi orang tua dengan kejadian stunting pada baduta asuh kepada anaknya tanpa melihat jenis kelamin. Hal
usia 6-23 bulan ini juga disebabkan oleh jumlah baduta dalam rumah
Hasil analisis menunjukkan tinggi badan ibu memiliki tangga hanya satu orang, sehingga kasih sayang lebih
hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting pada diarahkan kepadanya karena melihat usia yang masih
baduta usia 6-23 bulan (OR=2,03, 95% CI:1,14-3,65) sangat bergantung kepada orang lain dibandingkan
(Tabel 3). Ibu dengan tinggi badan <150 cm berisiko dengan saudaranya yang lebih tua.
2,03 kali memiliki anak stunting dibandingkan dengan ibu Pekerjaan orang tua tidak berhubungan dengan
yang tinggi badannya normal (TB ≥150 cm). Tinggi badan kejadian stunting pada baduta (Tabel 2). Hal ini disebabkan
merupakan salah satu bentuk ekspresi genetik dan faktor oleh kurang maksimalnya pembinaan dan pemeliharaan
yang diturunkan kepada anak, sehingga kejadian stunting anak sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan.
juga merupakan cerminan tinggi badan ibu (26). Selain itu, orang tua memiliki interval waktu lebih banyak
Riwayat BBLR baduta memiliki hubungan yang di luar untuk bekerja, sehingga tidak dapat mengontrol
signifikan dengan kejadian stunting (OR=3,02, 95% pola konsumsi makan anak dengan baik dan berimplikasi
CI:1,09-8,32) (Tabel 3). Bayi dengan berat badan terhadap asuhan gizi yang tidak berimbang (30,34).
lahir rendah mengalami retardasi pertumbuhan dalam Orang tua yang bekerja dapat berdampak positif pada
uterus baik akut maupun kronis, sehingga jika bayi telah pertambahan pendapatan, sehingga akan memiliki
mengalami kekurangan gizi sejak awal kehamilan maka kemampuan menyediakan makanan bagi anggota
akan berdampak pada berat maupun panjang badan keluarga (35).
lahirnya kurus dan pendek (27). Pendapatan keluarga tidak berhubungan dengan
Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan kejadian stunting pada baduta (Tabel 2). Orang tua
antara pendidikan ayah dan pendidikan ibu dengan kejadian dengan pekerjaan yang baik memungkinkan mereka
Ketahanan pangan rumah tangga berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan 129
memiliki pendapatan yang lebih sehingga mampu terdapat pada kelompok kasus yaitu sebesar 71,43%.
memenuhi kebutuhan ekonomi, makanan, dan gizi anak Prevalensi baduta usia 6-23 bulan stunting di Kecamatan
agar terhindar dari stunting (33). Kemampuan ekonomi Sedayu, Bantul, Yogyakarta adalah 16,17%. Ada hubungan
yang rendah berdampak pada ketidakmampuan untuk yang signifikan antara ketahanan pangan rumah tangga
mendapatkan pangan yang cukup dan berkualitas karena dengan kejadian stunting pada baduta usia 6-23 bulan di
rendahnya kemampuan daya beli (36). Hal ini disebabkan Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Baduta dengan
oleh membaiknya asupan makanan dari keluarga, kondisi rumah tangga rawan pangan berisiko 2,62 kali lebih
meskipun keluarga tersebut berasal dari rumah tangga besar menderita stunting dibandingkan dengan baduta
yang memiliki pendapatan rendah. Terjadinya hal ini dengan kondisi rumah tangga tahan pangan.
dimungkinkan oleh adanya program pemerintah seperti Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan agar
BLT, raskin, dan program lain yang serupa, yang mampu Pemerintah Kabupaten Bantul dapat meningkatkan akses
meningkatkan keterjangkauan keluarga terhadap pangan dan keterjangkauan masyarakat akan harga pangan
sehingga kebutuhan gizi baduta dapat terpenuhi (37). dengan melakukan kegiatan pasar murah secara berkala.
Jumlah anggota keluarga turut berperan terhadap Pengelola Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul dan
ketersediaan pangan dalam rumah tangga (Tabel 3). Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Bantul hendaknya
Jumlah anak dan anggota keluarga yang besar akan melakukan penyuluhan mengenai MP-ASI berbasis
mempengaruhi asupan makanan baduta dalam keluarga pangan lokal. Bagi peneliti berikutnya yang ingin mengkaji
menjadi berkurang dan distribusi makanan menjadi tidak faktor ketahanan pangan perlu mengikutsertakan program
merata (16). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak penanggulangan kemiskinan pemerintah dan program lain
ada hubungan yang signifikan antara jumlah anggota yang serupa dalam melakukan analisis.
keluarga dengan kejadian stunting pada baduta. Hal
disebabkan oleh membaiknya asupan makanan baduta RUJUKAN
meskipun jumlah anggota keluarga lebih dari 4 orang.
Membaiknya asupan makanan ini dimungkinkan oleh 1. Husaini M. Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga
peran kedua orang tua yang bekerja mencari nafkah dan tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani di
dan adanya program pemerintah seperi BLT, raskin dan Kabupaten Barito Kuala. Agrides. 2012;4(2).
program lain yang serupa, sehingga ketersediaan pangan 2. Damanik I. Strategi rumah tangga dalam memenuhi
dalam rumah tangga lebih terpenuhi (37). kebutuhan pangan (studi kasus: Desa Latuhalat
Penyakit infeksi baduta memiliki hubungan yang tidak Kecamatan Nusaniwe Kota Ambon). J Agroforestri.
signifikan dengan kejadian stunting pada baduta (Tabel 2008;3(2).
3). Infeksi pada baduta berdampak pada malabsorbsi zat 3. Adriani M, Wirjatmadi B. Peranan gizi dalam siklus
gizi, dehidrasi, dan kehilangan zat gizi. Bila kondisi ini kehidupan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group;
tidak tertangani dengan baik akan terjadi gagal tumbuh. 2012.
Tidak signifikannya hubungan ini bisa dijelaskan bahwa 4. Sari M. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerawanan
kejadian stunting menunjukkan adanya masalah gizi pangan rumah tangga miskin di Desa Wiru Kecamatan
kronis yang berdampak pada pertumbuhan panjang Bringin Kabupaten Semarang. Jejak. 2009;2(2).
badan yang tidak sesuai dengan pertumbuhan tinggi 5. Sianipar J, Hartono S, Hutapea R. Analisis ketahanan
badan anak yang normal dalam rentang usia yang sama pangan rumah tangga tani di Kabupaten Manokwari.
(38). Dalam penelitian ini, penyakit infeksi yang dianalisis Sepa. 2012;2(8):51–182.
adalah penyakit yang diderita dalam kurun waktu 2 minggu 6. Kementerian Kesehatan R. Profil data kesehatan
terakhir saat pengambilan data, sehingga tidak bisa Indonesia tahun 2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan
menggambarkan kondisi kesehatan sejak awal proses RI; 2012.
terjadinya stunting. Penyebab lain adalah infeksi seperti 7. Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul. Laporan tahunan
batuk, pilek, dan demam yang menyertainya tergolong tahun 2012 Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul.
ringan dan akan sembuh dalam waktu singkat, sehingga Bantul: Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul; 2012.
tidak akan mempengaruhi proses pertumbuhan panjang 8. Ulfani, Martianto, Baliwati. Faktor-faktor sosial ekonomi
badan. Di sisi lain dimungkinkan oleh nafsu makan anak dan kesehatan masyarakat kaitannya dengan masalah
tetap membaik meskipun menderita penyakit infeksi gizi underweight, stunted, dan wasted di Indonesia:
(34). pendekatan ekologi gizi. JGIZIPANGAN. 2011;1(6):59–
65.
KESIMPULAN DAN SARAN 9. Warnida Y. Hubungan ketahanan pangan tingkat rumah
tangga dengan status gizi anak balita di Kecamatan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan Gondomanan D.I Yogyakarta. Universitas Gadjah
bahwa rumah tangga rawan pangan sebagian besar Mada; 2007.
130 Masrin, Hamam Hadi, Yhona Paratmanitya
10. Falupi LA. Hubungan ketahanan pangan tingkat rumah tangga di daerah rawan pangan Kabupaten Indramayu.
tangga dengan status gizi anak batita usia 6-36 bulan Universitas Gadjah Mada; 2011.
di Kabupaten Purworejo. Universitas Gadjah Mada; 25. Martianto D, Riyadi H AR. Pola asuh makan pada
2009. rumah tangga yang tahan dan tidak tahan pangan serta
11. Lemeshow S, Hosmer DWJr, Klar J LS. Adequacy of kaitannya dengan status gizi anak balita di Kabupaten
sample size in health studies edisi Bahasa Indonesia. Banjarnegara. JGIZIPANGAN. 2011;6(1):51–8.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 1997. 26. Supariasa IN, Bakri F. Penilaian status gizi. Jakarta:
12. Radimer KL, Olson CM CC. Development of indicators EGC; 2010.
to assess hunger. J Nutr Community Int Nutr. 1997;120 27. Kusharisupeni. Growth faltering pada bayi di
suppl(:1544S–1548S). Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Makara Kesehat.
13. Prasetyo B, Jannah LM. Metode penelitian kuantitatif. 2002;(6):1–5.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada; 2010. 28. Kusuma KE N. Faktor risiko kejadian stunting pada
14. Murti B. Penerapan metode statistik non-parametrik anak usia 2-3 tahun (studi di Kecamatan Semarang
dalam ilmu-ilmu kesehatan. Jakarta: PT Gramedia Timur). J Nutr Coll. 2013;(2):523–30.
Pustaka Utama; 1996. 29. Atmarita FT. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan
15. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar metodologi Masyarakat. Jakarta: Widya Karya Nasional Pangan
penelitian klinis. Jakarta: Sagung Seto; 2011. dan Gizi VIII, LIPI; 2004.
16. Hellen Keller Internasional. Household food insecurity 30. Susilaningdyah A. Pola asuh sebagai faktor risiko
is highly prevalent and predicts stunting among kejadian stunting pada anak usia 6-24 bulan di Kota
preschool children and anemia among their mothers Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada; 2013.
in Baitadi District of Nepal. Nepal: Nepal Nutrition and 31. Tanziha I, Kusriadi. Faktor-faktor yang mempengaruhi
Food; 2010. kejadian stunting pada balita di Kabupaten Lombok
17. UNICEF. Tracking progress child and maternal Tengah Provinsi Nusa Tenggara Barat. J Ilm Agropolitan.
nutrition a survival and development priority. New York: 2010;3(2).
UNICEF; 2009. 32. Soekirman. Ilmu Gizi dan Aplikasinya Untuk Keluarga
18. Hayati AW, Hardinsyah, Jalal F, Madanijah S BD. Pola dan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
konsumsi pangan dan asupan energi dan zat gizi anak Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional; 2000.
stunting dan tidak stunting 0-23 bulan. JGIZIPANGAN. 33. Rosha BCh, Hardinsyah BY. Analisis determinan
2012;2(7). stunting anak 0-23 bulan Pada daerah miskin di Jawa
19. Anderson VP, Jack S, Monchy D, Hem N, Hok P, Bailey Tengah dan Jawa Timur. J Penelit Gizi dan Makanan.
KB, Gibson SB. Co-existing micronutrient deficiencies 2012;(35):34–4.
among stunted cambodian infants and toddlers. Asia 34. Astari LD, Nasution A DC. Hubungan konsumsi ASI
Pacific J Clin Nutr. 2008;17(1):72–9. dan MP-ASI serta kejadian stunting anak usia 6-12
20. Ajao KO, Ojofeitimi EO, Adebayo AA., Fatusi AO, Afolabi bulan di Kabupaten Bogor. J Media Gizi dan Kel.
OT. Influence of family size, household food security 2012;30(1):15–23.
status, and child care practices on the nutritional status 35. Linda O HD. Hubungan pendidikan dan pekerjaan
of under-five children in ile-ife, Nigeria. Afr J Reprod orang tua serta pola asuh dengan status gizi balita di
Health. 2010;14(4). Kota dan Kabupaten Tanggerang Banten. Proseding
21. Adriani M, Wirjatmadi B. Pengantar gizi masyarakat. Penelitian Bidang Ilmu dan Eksakta; 2011.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group; 2012. 36. Anugraheni HS, Kartasurya I. Faktor risiko kejadian
22. Tessema, Belachew, Ersino. Feeding patterns and stunting pada anak usia 12-36 bulan di Kecamatan
stunting during early childhood in rural communities of Pati Kabupaten Pati. J Nutr Coll. 2012;1(1):30–7.
Sidama South Ethiopia. Pan Afr Med J. 2013;2011. 37. Aries M, Hardinsyah TH. Determinan gizi kurang anak
23. Natalia LD, Rahayuning D FS. Hubungan ketahanan umur 0-36 bulan berdasarkan data program keluarga
pangan tingkat keluarga dan tingkat kecukupan zat gizi harapan (PKH) 2007. JGIZIPANGAN. 2012;7(1):19–
dengan status gizi batita di Desa Gondangwinangun. 26.
J Kesehat Masy. 2012;2(2). 38. Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM-
24. Rohaedi S. Hubungan antara tingkat ketahanan pangan UI. Gizi dan kesehatan masyarakat. Jakarta: PT Raja
rumah tangga dengan status gizi balita pada rumah Grafindo Persada; 2012.
Tingkat sosial ekonomi tidak berhubungan dengan kejadian kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil 131
JURNAL GIZI DAN DIETETIK INDONESIA
Vol. 2, No. 3, September 2014: 131-138
ABSTRACT
Background: Chronic energy deficiency (CED) has been experienced in almost all countries, especially in developing countries
such as Bangladesh, India, Indonesia, Myanmar, Nepal, Srilanka, and Thailand. There are several cause factors of CED, one
of them is socioeconomic level such as education, employment, knowledge, and family income.
Objective: To analyze the relationship between socioeconomic level and CED in Sedayu Subdistrict, Bantul, Yogyakarta.
Method: This was an observational study with cross sectional design. Population were all pregnant women in Sedayu
Subdistrict. Samples were selected by using total sampling methods with total sample 201 pregnant women. Data were
analyzed by using univariate analysis (descriptive), bivariat (chi-square), and multivariat (multiple logistic regression).
Result: There were no significant relationship between maternal education (p=0.167, RP=1.55, 95% CI:0.84-2.87), maternal
employment (p=0.360, RP=1.33, 95% CI:0.72-2.44), maternal knowledge (p=0.892, RP=0.96, 95% CI:0.49-1.85) and CED
in pregnant women at Sedayu Subdistrict. However, there was significant relationship between family income with CED in
pregnant woman (p=0.004, RP=2.73, 95% CI:1.31-5.68). Multivariat analysis showed that there was significant relationship
between family income with CED in pregnant women (R2=0.08, OR=3.22, 95% CI:1,28-8,11). Low family income had a 3.22
times higher chance to incidence of CED in pregnant women.
Conclusion: Sosioeconomic status such as education, employment, knowledge did not associate with CED in pregnant
women. However, there was significant association in family income of pregnant women with CED and non CED.
KEYWORDS: chronic energy deficiency, maternal education, employment, maternal knowledge, family income
ABSTRAK
Latar Belakang: Kurang energi kronis (KEK) dialami oleh hampir semua negara khususnya di negara-negara berkembang
seperti Bangladesh, India, Indonesia, Myanmar, Nepal, Srilanka, dan Thailand. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
KEK pada ibu hamil adalah tingkat sosial ekonomi seperti pendidikan ibu, pengetahuan ibu, pekerjaan ibu, dan pendapatan
keluarga.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara tingkat sosial ekonomi dengan kejadian KEK pada ibu hamil di Kecamatan
Sedayu, Bantul, Yogyakarta.
Metode: Jenis penelitian ini adalah observasional dengan desain cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh ibu hamil
yang ada di Kecamatan Sedayu. Pemilihan sampel menggunakan total sampling dengan jumlah sampel 201 ibu hamil. Data
dianalisis dengan menggunakan analisis univariat (deskriptif), bivariat (chi-square), dan multivariat (regresi logistik).
Hasil: Hasil analisis menunjukkan tidak ada hubungan antara pendidikan ibu (p=0,17, RP=1,55, 95% CI:0,84-2,87), pekerjaan
ibu (p=0,36, RP=1,33, 95% CI:0,72-2,44), dan pengetahuan ibu (p=0,83, RP=0,96, 95% CI:0,49-1,85) dengan kejadian KEK
pada Ibu hamil. Namun demikian, terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga dengan KEK ibu hamil
(p=0,004, RP=2,73, 95% CI:1,31-5,68). Analisis multivariat menunjukkan bahwa pendapatan keluarga mempunyai hubungan
dengan kejadian KEK pada ibu hamil (R2=0,08, OR=3,22, 95% CI:1,28-8,11), pendapatan keluarga yang rendah memiliki
peluang 3,22 kali untuk mengalami kejadian KEK pada ibu hamil.
Kesimpulan: Tingkat sosial ekonomi seperti pendidikan, pekerjaan, pengetahuan ibu tidak berhubungan dengan KEK
pada ibu hamil, namun pendapatan keluarga memiliki hubungan yang bermakna secara signifikan antara ibu hamil
KEK dan tidak KEK.
KATA KUNCI: kurang energi kronis, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, pendapatan keluarga
1
Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Gizi dan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada,
Jl. Farmako Sekip Utara Yogyakarta 55281, e-mail: indriany.ugm@gmail.com
2
Program Studi Gizi dan Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Jl. Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta 55281,
e-mail: siti_helmyati@yahoo.com
3
Program Studi S1 Ilmu Gizi, STIKES Alma Ata Yogyakarta, Jl. Ring Road Barat Daya No 1, Yogyakarta, Yogyakarta 55183,
e-mail: pshanti.bunga@gmail.com
132 Indriany, Siti Helmyati, Bunga Astria
Kehamilan merupakan permulaan suatu kehidupan Jenis penelitian ini adalah observasional analitik
baru pada periode pertumbuhan. Kondisi kesehatan di masa dengan rancangan cross sectional. Penelitian dilaksanakan
lampau sekaligus keadaan kesehatan ibu saat ini merupakan di Kecamatan Sedayu Kabupaten Bantul pada periode
landasan suatu kehidupan baru (1). Ibu hamil adalah salah bulan Maret hingga Mei 2014. Subjek penelitian adalah
satu kelompok yang paling rawan terhadap masalah gizi. seluruh ibu hamil di Kecamatan Sedayu Kabupaten Bantul
Masalah gizi yang dialami ibu hamil sebelum atau selama yang telah sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi.
kehamilan dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang Adapun kriteria inklusi adalah ibu hamil tinggal/berdomisili
sedang dikandung. Masalah gizi yang dialami ibu hamil di Kecamatan Sedayu Kabupaten Bantul, bersedia
seperti kekurangan energi kronis (KEK), anemia, dan kurang mentaati prosedur penelitian dan menandatangani formulir
yodium (2). KEK merupakan keadaan status gizi seseorang persetujuan, ibu hamil dengan kehamilan tunggal (bukan
yang buruk disebabkan kurangnya konsumsi pangan sumber janin kembar). Kriteria eksklusi dalam penelitian ini
energi yang mengandung zat gizi makro yang berlangsung adalah ibu hamil yang tidak mempunyai tangan (cacat),
lama atau menahun (3). KEK pada kehamilan telah banyak menderita penyakit penyerta yang berat, seperti gangguan
diketahui memberikan dampak negatif pada ibu hamil dan kesadaran/koma/penurunan kesadaran.
janin yang dikandungnya. Salah satu dampak negatif yang Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini
sangat menonjol adalah risiko kematian ibu saat melahirkan menggunakan teknik total sampling. Peneliti mengambil
dan bayi lahir dengan berat badan rendah (4). sampel dari seluruh ibu hamil yang berdomisili di
Prevalensi wanita yang mengalami KEK adalah 15- Kecamatan Sedayu Kabupaten Bantul. Jumlah sampel
47% di hampir semua negara khususnya negara-negara dalam penelitian ini adalah 201 ibu hamil. Variabel terikat
berkembang (5). Berdasarkan data riset kesehatan pada penelitian ini adalah KEK, sedangkan variabel bebas
dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi ibu hamil yang yaitu pekerjaan ibu, pendidikan ibu, tingkat pengetahuan
mengalami KEK sebesar 24,2% (6). Menurut data Profil ibu, dan pendapatan keluarga. Variabel luar yang juga
Kesehatan Provinsi DIY tahun 2011, prevalensi ibu hamil akan diteliti adalah umur ibu, paritas, pengeluaran pangan,
KEK sebesar 14,4%, angka ini meningkat dibandingkan pemanfaatan pelayanan antenal care (ANC), umur
tahun 2010 sebesar 14,41% (7). Profil gizi Kabupaten kehamilan, dan ketersediaan pangan. Instrumen pada
Bantul tahun 2012 menunjukkan bahwa prevalensi ibu penelitian ini adalah kuesioner, data dokumentasi berupa
hamil KEK sebesar 13,8%, sementara di Kecamatan daftar ibu hamil (dari posyandu), buku KIA (kesehatan ibu
Sedayu (I dan II) adalah 11,4% (8). dan anak), dan pita LILA (lingkar lengan atas). Kuesioner
Pendidikan merupakan salah satu ukuran yang penelitian berupa software Commcare ODK yang telah
digunakan dalam status sosial ekonomi. Pada perempuan, di-install ke dalam Handphone Android Version dengan
semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin rendah angka pemilik hak paten adalah Alma Ata Center for Healthy
kematian bayi dan ibu (9). Perempuan yang bekerja di luar Life and Food (ACHEAF) Yogyakarta. Daftar pertanyaan
rumah dan mendapatkan penghasilan akan meningkatkan dalam kuesioner dan hasil pengukuran, di-input ke dalam
pengaruhnya dalam alokasi pendapatan keluarga. software Commcare ODK tersebut, sehingga dalam
Pendapatan yang berasal dari perempuan berkorelasi pelaksanaan wawancara terhadap responden cukup
erat dengan semakin membaiknya derajat kesehatan menggunakan Handphone Android Version.
keluarga (10). Tingkat pendapatan mempunyai hubungan Data dasar responden diambil dengan cara
yang nyata positif dengan status gizi ibu hamil. Hal ini melakukan wawancara langsung kepada responden
berarti semakin tinggi tingkat pendapatan, maka status berupa umur ibu, pekerjaan ibu, tingkat pendidikan,
gizi ibu hamil semakin baik (11). Kekurangan gizi bisa pengetahuan, pendapatan keluarga, pengeluaran pangan,
terjadi akibat ketidaktahuan. Seseorang yang memiliki pemanfaatan pelayanan kesehatan (ANC), paritas, umur
kemudahan akses pangan bisa saja memilih makanan kehamilan, dan ketersediaan pangan. Daftar ibu hamil
yang kurang atau tidak bergizi karena ketidaktahuannya. diperoleh dari Puskesmas Sedayu I dan Sedayu II serta
Tingkat pengetahuan gizi seseorang akan berpengaruh dari kader posyandu di masing-masing posyandu.
terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan. Uji validitas untuk kuesioner pengetahuan, dilakukan
Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan ibu yang baik pada 42 ibu hamil di Kecamatan Sedayu pada bulan Juli
mengenai gizi dan kesehatan agar kebutuhan gizi selama 2013 sebelum penelitian berlangsung yang memenuhi
hamil bisa terpenuhi (2). Adapun tujuan dari penelitian kriteria inklusi dengan menggunakan SPSS 20. Uji validitas
ini adalah untuk melihat hubungan antara tingkat sosial menggunakan analisis corrected item-total correlation,
ekonomi (pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan dari 20 item pertanyaan kuesioner. Setelah dianalisi
pendapatan) dengan kejadian KEK pada ibu hamil di diperoleh 12 item pertanyaan yang valid untuk kuesioner
Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta. pengetahuan. Penelitian ini telah mendapat persetujuan
Tingkat sosial ekonomi tidak berhubungan dengan kejadian kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil 133
dari Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan rendah sebesar 18,81%. Jika dilihat dari persentase
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada nomor Ref: pengeluaran pangan dibandingkan dengan pengeluaran
KE/FK/382/EC tahun 2014. total menunjukkan hasil p=0,685 yang berarti bahwa tidak
terdapat perbedaan secara signifikan antara kelompok
HASIL
Tabel 1. Distribusi karakteristik responden
Karakteristik subjek penelitian
Variabel n %
Jumlah subjek pada penelitian ini adalah 201 ibu Status gizi
hamil yang tersebar di Kecamatan Sedayu I dan Sedayu II. KEK 36 17,91
Berdasarkan Tabel 1, ibu hamil yang mengalami KEK jauh Tidak KEK 165 82,09
lebih sedikit dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak KEK, Usia ibu
dengan persentase KEK sebesar 17,91%. Proporsi terbesar <20 tahun dan >35 tahun 36 17,91
20–35 tahun 165 82,09
ibu hamil berusia antara 20-35 tahun dengan persentase
Paritas
sebesar 82,09% dan untuk paritas, sebagian besar ibu hamil >1 27 13,43
memiliki ≤1 anak dengan proporsi sebesar 86,57%. ≤1 174 86,57
Sebagian besar ibu hamil di Kecamatan Sedayu Tingkat pendidikan ibu
memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dengan persentase Rendah 49 24,28
75,62%, dibandingkan ibu hamil yang berpendidikan rendah. Tinggi 152 75,62
Selain itu, tingkat pengetahuan ibu hamil sebagian besar Jenis pendidikan
Tidak tamat SD/SMP/SMA 3 1,49
kurang dengan persentase sebesar 73,63%. Jika melihat Tamat SD/sederajat/Paket A 9 4,48
distribusi pekerjaan ibu hamil pada Tabel 1, ibu hamil yang Tamat SMP/sederajat/Paket B 37 18,41
tidak bekerja lebih banyak dengan proporsi sebesar 54,23% Tamat SMA/sederajat/Paket C 107 53,23
dibandingkan dengan yang bekerja, pada kelompok yang Perguruan tinggi 45 22,39
bekerja terlihat bahwa jenis pekerjaan yang paling banyak Tingkat pengetahuan ibu
Kurang 148 73,63
adalah sebagai karyawan swasta sebesar 17,41%.
Cukup 53 26,37
Berdasarkan tabel distribusi tingkat pendapatan yang
Jenis pekerjaan
menggunakan nilai median didapatkan bahwa sebagian ibu Buruh/buruh tani 8 3,98
hamil memiliki pendapatan keluarga rendah dengan besar Karyawan swasta 35 17,41
proporsi yaitu 56,22%. Sementara itu, tingkat pengeluaran Pegawai negeri/TNI/Polri 8 3,98
berdasarkan nilai median juga dapat dikatakan bahwa Wiraswasta 18 8,96
Guru honorer 8 3,98
sebagian besar ibu hamil memiliki pengeluaran pangan
Penjahit 6 2,99
rendah dengan proporsi sebesar 50,25%. Hanya sebagian Tidak bekerja 109 54,23
kecil ibu hamil yang tidak memanfaatkan pelayanan ANC Dosen tetap/tidak tetap 2 1,00
dengan persentase 10,45% dan sebagian besar ibu Pedagang 3 1,49
hamil memanfaatkan pelayanan ANC dengan persentase Pegawai kontrak RS 1 0,50
Pengrajin 2 1,00
sebesar 89,55%. Untuk distribusi umur kehamilan Pembantu rumah tangga 1 0,50
sebagian besar umur kehamilan ibu adalah trimester 3 Pekerjaan ibu
dengan proporsi sebesar 69,65%. Ketersediaan pangan Tidak bekerja 109 54,23
keluarga ibu hamil sebagian besar terjamin dengan Bekerja 92 45,77
proporsi sebesar 83,58%. Tingkat pendapatan keluarga
Rendah 113 56,22
Hubungan karakteristik subjek dengan risiko KEK Tinggi 88 43,78
Tingkat pengeluaran pangan
Hasil analisis bivariat karakteristik subjek penelitian Rendah 101 50,25
dapat dilihat pada Tabel 2. Sebagian besar variabel Tinggi 100 49,75
memiliki nilai p>0,05 yang artinya tidak ada perbedaan Pemanfaatan pelayanan ANC
Tidak memanfaatkan 21 10,45
karakteristik antara ibu hamil yang KEK maupun tidak
Memanfaatkan 180 89,55
KEK. Ibu hamil yang KEK sebagian besar berusia antara Umur kehamilan
20-35 tahun dengan persentase 18,79%. Ibu hamil KEK Trimester 1 dan 2 61 30,35
proporsi paritasnya lebih banyak yang memiliki anak ≤1 Trimester 3 140 69,65
yaitu sebesar 18,97%. Ibu hamil KEK sebagian besar Ketersediaan pangan
Rawan kelaparan tingkat berat 6 2,99
tidak memanfaatkan pelayanan ANC dengan proporsi
Rawan kelaparan tingkat sedang 7 3,48
sebesar 23,81%. Proporsi terbesar ibu hamil KEK terdapat Rawan tanpa kelaparan 20 9,95
pada ibu hamil yang memiliki tingkat pengeluaran pangan Terjamin 168 83,58
134 Indriany, Siti Helmyati, Bunga Astria
KEK (52,05%±15,03) dan tidak KEK (53,21%±17,44). pengetahuan cukup dengan besar proporsi yaitu 18,52%.
Sementara itu, ibu hamil yang KEK proporsi terbesar Dari hasil uji statistik didapatkan nilai p>0,05 yang berarti
terjadi pada trimester 1 dan 2 sebesar 24,59%. Proporsi tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan
terbesar untuk ibu hamil KEK juga terdapat pada keluarga kejadian KEK pada ibu hamil dengan perbedaan prevalensi
yang ketersediaan pangan tidak terjamin dengan proporsi sebesar 0,96, 95% CI (0,49-1,85).
sebesar 33,33%. Jika dilihat dari tingkat pendapatan keluarga,
sebagian besar ibu hamil KEK memiliki tingkat pendapatan
Hubungan tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat keluarga rendah dan dari hasil uji statistik didapatkan nilai
pengetahuan, tingkat pendapatan keluarga dengan p<0,05 yang berarti ada hubungan antara pendapatan
kejadian KEK pada ibu hamil keluarga dengan kejadian KEK pada ibu hamil dengan
Berdasarkan hasil analisis bivariat antara hubungan perbandingan prevalensi sebesar 2,73 kali lebih besar,
tingkat pendidikan ibu, pekerjaan ibu, tingkat pengetahuan 95% CI (1,31-5,68). Dengan demikian, dapat dikatakan
ibu, dan tingkat pendapatan keluarga dengan kejadian bahwa ibu hamil dengan pendapatan keluarga rendah
KEK pada ibu hamil dapat dilihat pada Tabel 3. Ibu hamil mempunyai peluang sebesar 2,73 kali untuk mengalami
KEK sebagian besar berpendidikan rendah dengan KEK dibandingkan dengan ibu hamil yang memiliki
proporsi sebesar 24,49%. Hasil uji statistik menunjukkan pendapatan tinggi. Hasil analisis bivariat untuk variabel
nilai p>0,05 yang berarti tidak ada hubungan yang pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pengetahuan ibu dan
signifikan antara pendidikan ibu dengan kejadian KEK pendapatan keluarga dapat dilihat pada Tabel 3.
pada ibu hamil dengan perbandingan prevalensi 1,55,
95% CI (0,84-2,87). Analisis stratifikasi
Untuk pekerjaan ibu, sebagian besar ibu hamil KEK Analisis stratifikasi dilakukan untuk mengetahui
tidak bekerja dengan proporsi sebesar 20,18%. Dari hasil peran variabel confounding dan atau effect modifier
uji statistik didapatkan nilai p>0,05 yang berarti tidak ada pada hubungan pendapatan keluarga dengan kejadian
hubungan antara pekerjaan ibu dengan kejadian KEK pada KEK pada ibu hamil. Variabel yang distratifikasi adalah
ibu hamil dengan perbandingan prevalensi sebesar 1,33, ketersediaan pangan dan umur kehamilan, analisis
95% CI (0,72-2,44). stratifikasi ini menggunakan uji Mantel Haenzel.
Pada tingkat pengetahuan ibu, proporsi terbesar Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa selisih
ibu hamil KEK terdapat pada ibu hamil yang memiliki rasio prevalensi Mantel Haenzel (RP-MH) dan crude
Tingkat sosial ekonomi tidak berhubungan dengan kejadian kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil 135
Tabel 3. Analisis bivariat tingkat sosial ekonomi dengan kejadian KEK pada ibu hamil
Tabel 4. Analisis stratifikasi variabel ketersediaan pangan dan umur kehamilan pada hubungan
pendapatan keluarga dengan kejadian KEK pada ibu hamil
RP variabel ketersediaan pangan dan umur kehamilan untuk mengalami KEK dibandingkan dengan ibu hamil
masing-masing sebesar -11,72% dan 0,073%. Selisih pada trimester 3. Di samping itu, jika ibu hamil tersebut
nilai RP-MH dan crude RP masing-masing variabel memiliki pendapatan keluarga tinggi pada umur kehamilan
kurang dari 20%, sehingga variabel ketersediaan pangan trimester 1 dan 2 juga akan memiliki risiko yang sama untuk
dan umur kehamilan bukan confounding factor pada mengalami KEK, dengan kata lain pendapatan keluarga
hubungan antara pendapatan keluarga dengan kejadian akan memiliki risiko untuk mengalami KEK pada trimester
KEK pada ibu hamil. Pada variabel ketersediaan pangan 1 dan 2.
tidak terdapat perbedaan nilai RP antarstrata, sehingga
dapat disimpulkan bahwa ketersediaan pangan juga bukan Analisis multivariat
merupakan effect modifier.
Analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik
Pada variabel umur kehamilan didapatkan bahwa
dengan melakukan permodelan yang bertujuan untuk
ada perbedaan nilai RP antarstrata sehingga dapat
melihat pengaruh variabel luar terhadap pendidikan ibu,
dikatakan bahwa umur kehamilan merupakan effect
pekerjaan ibu, tingkat pengetahuan dan tingkat pendapatan
modifier terhadap hubungan pendapatan keluarga dengan
dengan kejadian KEK pada ibu hamil. Variabel luar yang
kejadian KEK pada ibu hamil. Dengan demikian, pada ibu
dimasukan ke dalam analisis multivariat ini adalah yang
hamil yang memiliki pendapatan rendah pada trimester
memiliki nilai p<0,25 (12) yaitu variabel umur kehamilan
1 dan 2 memiliki peluang sebesar 11,12 kali lebih besar
dan ketersediaan pangan.
136 Indriany, Siti Helmyati, Bunga Astria
Berdasarkan analisis multivariat, model 1 menunjukkan dibandingkan dengan model 1, 2, dan 3. Hal ini berarti
pengaruh variabel bebas tanpa memasukan variabel luar bahwa pada model ini adalah paling besar memprediksi
dengan nilai R2 diperoleh sebesar 0,05. Hal ini berarti kejadian KEK pada ibu hamil. Pada model 4 terlihat bahwa
variabel pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pengetahuan ibu, variabel pendapatan keluarga mempunyai pengaruh
dan pendapatan keluarga dapat memprediksi kejadian KEK paling besar terhadap kejadian KEK dengan nilai OR=3,22
pada ibu hamil sebesar 5%. Model 2 menunjukkan besarnya setelah dikontrol oleh variabel luar yaitu umur kehamilan
pengaruh variabel bebas terhadap kejadian KEK setelah dan ketersediaan pangan.
memasukan variabel umur kehamilan pada analisis dengan
menghasilkan nilai R2 (0,07) yang artinya pendidikan ibu, BAHASAN
pekerjaan ibu, pengetahuan ibu, dan pendapatan keluarga
setelah dikontrol oleh umur kehamilan dapat memprediksi Pada tabel analisis multivariat (Tabel 5) menunjukkan
kejadian KEK pada ibu hamil sebesar 7%. tidak terdapat hubungan antara pendidikan dan KEK pada
Model 3 pada analisis regresi logistik tersebut ibu hamil. Hasil ini tidak sesuai dengan hipotesis awal yang
menunjukkan pengaruh variabel bebas setelah memasukan mengatakan bahwa terdapat hubungan antara pendidikan
variabel ketersediaan pangan menghasilkan nilai R 2 ibu dengan kejadian KEK pada ibu hamil. Pada penelitian
sebesar 0,07 yang berarti variabel pendidikan ibu, ini, sebagian besar ibu hamil memiliki pendidikan rendah
pekerjaan ibu, tingkat pengetahuan ibu, dan pendapatan dan tidak KEK. Hasil yang tidak signifikan bisa disebabkan
keluarga setelah dikontrol oleh variabel ketersediaan informasi gizi tidak selalu didapatkan dari pendidikan
pangan dapat memprediksi kejadian KEK pada ibu formal, tetapi bisa didapatkan dari mana saja seperti
hamil sebesar 7%. Model 4 pada analisis regresi logistik puskesmas, bidan, sesama ibu hamil, ataupun dari media
menunjukkan besarnya pengaruh variabel bebas setelah massa.
memasukan secara bersamaan semua variabel luar Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian yang
yaitu umur kehamilan dan ketersediaan pangan dan menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang
menghasilkan nilai R2 sebesar 0,08 yang berarti variabel signifikan antara pendidikan ibu dengan kejadian KEK
pendidikan ibu, pekerjaan ibu, tingkat pengetahuan ibu, pada ibu hamil (13,14). Seseorang dengan pendidikan
dan pendapatan keluarga setelah dikontrol oleh umur rendah belum tentu kurang mampu menyusun makanan
kehamilan dan ketersediaan pangan dapat memprediksi yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan dengan
kejadian KEK sebesar 8%. yang berpendidikan tinggi. Sekalipun berpendidikan
Berdasarkan hasil uji multivariat dengan melakukan rendah, jika orang tersebut rajin mendengarkan atau
permodelan di atas, yang diambil sebagai model yang melihat informasi mengenai gizi dapat mempengaruhi
terbaik adalah model 4 karena memiliki nilai R2 yang besar kemampuannya untuk menyusun makanan yang bergizi.
Sebaliknya, seseorang yang berpendidikan tinggi belum cukup tanpa diikuti oleh sikap, keterampilan, dan kemauan
tentu bisa menyusun makan yang bergizi dengan baik untuk bertindak tidak dapat membawa perubahan perbaikan
karena aktivitas yang tinggi dan pola hidup yang tidak gizi yang baik (22).
teratur (13). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Pada penelitian di Kabupaten Jepara tahun 2013
penelitian di Kota Manado tahun 2011 dan India Selatan juga menjelaskan bahwa pengetahuan yang kurang tidak
tahun 2006 hingga 2007 yang menunjukkan hasil bahwa selalu diikuti oleh perilaku yang buruk. Adanya responden
ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu yang pengetahuannya kurang tetapi berstatus gizi baik bisa
dengan kejadian KEK pada ibu hamil (15,16). disebabkan daya beli yang tinggi terhadap makanan yang
Berdasarkan analisis multivariat menunjukkan mempunyai nilai gizi tinggi meskipun pengetahuannya
hasil yang tidak signifikan antara hubungan pekerjaan kurang (20). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian
ibu dengan KEK pada ibu hamil. Hasil penelitian ini yang dilakukan di Kabupaten Simalungun tahun 2008.
sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Kabupaten Pada penelitian tersebut, pengetahuan mempengaruhi
Gowa yang juga mengatakan bahwa tidak ada hubungan kejadian KEK pada ibu hamil (23). Hasil berbeda dengan
antara pekerjaan ibu dengan kejadian KEK (13,15). Pada penelitian ini juga dijelaskan pada suatu penelitian di
penelitian ini yang dimaksud pekerjaan adalah kegiatan Wilayah Kerja Puskesmas Cibolang yang mengatakan
untuk menghasilkan uang yang akan mempengaruhi bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan
pendapatan keluarga. Dengan kata lain, hasil yang tidak ibu dengan kejadian KEK pada ibu hamil (24).
signifikan pada penelitian ini bisa disebabkan faktor Hasil analisis multivariat untuk tingkat pendapatan
pekerjaan tidak secara langsung mempengaruhi status menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini berarti bahwa
gizi. Ibu hamil bekerja yang memiliki penghasilan di ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan
bawah rata-rata bisa memiliki status gizi yang tidak baik. kejadian KEK pada ibu hamil. Pendapatan rumah tangga
Berdasarkan analisis multivariat model 4 yang dipilih mempengaruhi status gizi ibu hamil yang berarti semakin
terlihat bahwa faktor pekerjaan memberikan hasil yang tinggi tingkat pendapatan, maka ada kecenderungan
tidak signifikan, sedangkan pada pendapatan keluarga dapat meningkatkan status gizi. Hasil penelitian ini sejalan
memberikan hasil yang signifikan dan pengaruh yang dengan penelitian yang dilakukan di India Selatan tahun
paling besar terhadap kejadian KEK pada ibu hamil. 2006 hingga 2007, India dan Pekanbaru tahun 2014 yang
Pada suatu penelitian menunjukkan hasil bahwa menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
terdapat perbedaan yang nyata yaitu prevalensi risiko antara pendapatan keluarga per bulan dengan kejadian
KEK yang lebih tinggi pada ibu hamil yang bekerja sebagai KEK pada ibu hamil dan wanita usia subur (16,25,26).
petani/buruh (24,1%), pekerja tidak menentu (25,7%), Tingkat pendapatan menentukan pola makanan
dan tidak bekerja (31,9%) (17). Hal ini juga sebelumnya yang dibeli. Semakin tinggi pendapatan, semakin
sudah dijelaskan dalam penelitian dimana proporsi ibu bertambah pula pengeluaran untuk belanja makanan. Hal
hamil yang mengalami risiko KEK lebih banyak pada ini menyangkut pemenuhan kebutuhan dalam keluarga
ibu hamil yang tidak bekerja (18). Wanita yang berperan terutama pemenuhan kebutuhan akan makanan yang
sebagai ibu rumah tangga memiliki tingkat kesehatan yang memiliki nilai gizi dengan jumlah yang cukup. Dengan
lebih rendah daripada wanita yang memiliki pekerjaan demikian, pendapatan merupakan faktor yang menentukan
serta rutinitas di luar rumah seperti wanita karir dan kualitas dan kuantitas makanan (15). Pendapatan keluarga
pekerja swasta aktif (15). Hasil yang tidak sejalan dengan berhubungan positif, yang berarti bahwa semakin tinggi
penelitian ini ditunjukan pada penelitian yang dilakukan di pendapatan keluarga maka semakin baik status kesehatan
Kota Semarang tahun 2011 yang menjelaskan bahwa ada yang dilihat berdasarkan angka indeks massa tubuh (IMT)
hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan dan LILA (25). Pada analisis multivariat terlihat jelas bahwa
kejadian KEK pada ibu hamil (14). variabel pendapatan keluarga yang memberikan pengaruh
Hasil analisis multivariat untuk pengetahuan ibu paling besar di antara variabel lain terhadap kejadian KEK
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan pada ibu hamil (OR=3,22, 95% CI:1,28-8,11). Pendapatan
dengan KEK pada ibu hamil (p>0,05). Hasil penelitian ini keluarga memiliki nilai OR=3,22 yang berarti bahwa ibu
sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Kabupaten hamil dengan pendapatan keluarga yang rendah akan
Jepara yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan meningkatkan risiko kejadian KEK pada ibu hamil sebesar
antara pengetahuan ibu dengan status gizi ibu hamil dan 3,22 kali dibandingkan dengan ibu hamil yang memiliki
KEK pada ibu hamil (19,20). Hasil yang tidak signifikan pada pendapatan keluarga yang tinggi.
penelitian ini bisa disebabkan orang yang berpengetahuan
belum tentu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari, KESIMPULAN DAN SARAN
seperti pengetahuan tentang gizi dan kesehatan kehamilan
seperti yang dijelaskan pada suatu penelitian yang dilakukan Tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan
di Semarang (21). Pengetahuan dasar mengenai gizi yang ibu, pekerjaan ibu, dan pengetahuan ibu dengan kejadian
138 Indriany, Siti Helmyati, Bunga Astria
KEK pada ibu hamil. Namun demikian, terdapat hubungan 14. Bunga Widita Kartikasari, Mifbakhuddin DNM.
yang signifikan antara pendapatan keluarga dengan Hubungan pendidikan, paritas, dan pekerjaan ibu
kejadian KEK pada ibu hamil di Kecamatan Sedayu, dengan status gizi ibu hamil trimester III di Puskesmas
Kabupaten Bantul, Provinsi DIY. Untuk meningkatkan Bangetayu Kecamatan Genuk Kota Semarang tahun
pendapatan keluarga diharapkan bisa memberikan 2011. J Kebidanan. 2011;1(1).
keterampilan kepada ibu hamil dengan cara membuat 15. Najoan J, Manampiring A. Hubungan tingkat kurang
pelatihan dalam membuat kerajinan dari barang-barang sosial ekonomi dengan kurang energi konik pada ibu
bekas, merajut tas dan dompet mengingat ada beberapa hamil di Kelurahan Kombos Barat Kecamatan Singkil
pabrik pembuat benda rajutan di sekitar Sedayu. Kota Manado. Universitas Sam Ratulangi. Manado;
2011 p. 1–44.
RUJUKAN 16. Subasinghe AK, Walker KZ, Evans RG, Srikanth V,
Arabshahi S, Kartik K, et al. Association between
1. Bobak M, Lowdermilk D, Jensen M. Buku ajar farming and chronic energy deficiency in rural South
keperawatan maternitas. Jakarta: Penerbit Buku India. PLoS One. 2014;9(1).
Kedokteran EGC; 2004. 17. Sandjaja. Risiko kurang energi kronis (KEK) pada ibu
2. Mawaddah N, Hardinsyah. Pengetahuan, sikap, dan hamil di Indonesia. Gizi Indones. 2009;32(2):128–38.
praktek gizi serta tingkat konsumsi ibu hamil di Kelurahan 18. Mulyaningrum S. Faktor-faktor yang berhubungan
Kramat Jati dan Kelurahan Ragunan Propinsi DKI dengan risiko kurang energi kronis (KEK) pada ibu
Jakarta. JGIZIPANGAN. 2008;3(1):30–42. hamil di Provinsi DKI Jakarta (analisis data Riskesdas
3. Rahmaniar A, Taslim N a, Baharuddin B. Faktor- 2007). Universitas Indonesia; 2009.
faktor yang berhubungan dengan kekurangan energi 19. Widayanti T, Meikawati W, Astuti R. Faktor-faktor yang
kronis pada ibu hamil di Tampa Padang Kabupaten berhubungan dengan kekurangan energi kronis (KEK)
Mamuju, Sulawesi Barat. Media Gizi Masy Indones. pada ibu hamil di Desa Welahan Kecamatan Welahan
2013;2:98–103. Kabupaten Jepara. Universitas Muhammadiyah
4. Departemen Kesehatan RI. Program gizi makro. Semarang; 2012.
Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan 20. Susanti A. Budaya pantang makan, status ekonomi
Masyarakat; 2002. dan pengetahuan zat gizi ibu hamil pada ibu hamil
5. World Health Organization (WHO). Adolescent trimester III dengan status gizi. JIKK. 2013;4(1):1–9.
nutrition: a review of the situation in selected South- 21. Ginting H. Hubungan tingkat konsumsi energi dan
East Asian Countries. New Delhi: WHO; 2006. protein dengan status gizi ibu hamil di Kelurahan
6. Dinas Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan Purwoyoso Kecamatan Ngaliyan. Universitas
dasar 2013. Jakarta: Badan Litbangkes RI; 2013. Muhammadiyah Semarang; 2010.
7. Dinas Kesehatan Provinsi DIY. Profil kesehatan 22. Soekirman. Ilmu gizi dan aplikasinya untuk keluarga
Provinsi DI Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Kesehatan dan masyarakat. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan
Provinsi DIY; 2011. Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional; 2000.
8. Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul. Profil gizi 23. Simarmata M. Hubungan pola asupan, ketersediaan
Kabupaten Bantul. Bantul: Dinas Kesehatan Kabupaten pangan, pengetahuan gizi dan status kesehatan
Bantul; 2012. dengan kejadian KEK pada ibu hamil di Kabupaten
9. Timmreck C. Epidemiologi suatu pengantar pekerjaan Simulungun. Universitas Sumatera Utara; 2008.
dan pendidikan sebagai karakteristik orang. Jakarta: 24. Sadli M, Banurea T. Hubungan pengetahuan,
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. penghasilan keluarga dan budaya dengan kejadian
10. Khomsan A. Pangan dan gizi untuk kesehatan. Jakarta: kekurangan energi kronis pada ibu hamil. J Kesehat.
PT. Raja Grafindo Persada; 2005. 2011;2:3–7.
11. Hermawan W. Faktor-faktor yang berpengaruh 25. Bose K, Bisai S, Das P, Dikshit S, Pradhan S.
terhadap resiko kurang energi kronis (KEK) pada ibu Relationship of income with anthropometric indicators
hamil di Kecamatan Cimalaka Kabupaten Sumedang. of chronic energy deficiency among adult female
Institut Pertanian Bogor; 2006. slum dwellers of Midnapore Town. J Hum Ecol.
12. Dahlan S. Analisis multivariat regresi logistik. Jakarta: 2007;22(2):171–6.
Epidemiologi Indonesia; 2012. 26. Wati L, Ernalia Y, Haslinda L. Hubungan pengetahuan
13. Ausa S, Jafar N, Indriasari R. Hubungan pola makan mengenai gizi, pendapatan keluarga dan infestasi soil
dan status sosial ekonomi dengan kejadian KEK pada transmitted helminths dengan kurang energi kronik
ibu hamil di Kabupaten Gowa. Universitas Hasanuddin; (KEK) pada ibu hamil di daerah pesisir Sungai Siak
2013. Pekanbaru. J Online Mhs. 2012;1(2).
JURNALPraktik
GIZI DAN DIETETIK
pemberian pendamping ASI (MP-ASI) bukan merupakan faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan 139
INDONESIA
makanan
Vol. 2, No. 3, September 2014: 139-149
ABSTRACT
Background: Stunting reflects a process of failure to reach linear growth potential as a result of suboptimal health or
nutrition conditions. One of causal factors of stunting is inadequate of quality and quantity of complementary foods.
Objective: To identify complementary feeding practices such as introduction age of complementarary foods, dietary
diversity, and meal frequency as risk factors of stunting among children aged 6-23 months in Sedayu Subdistrict, Bantul,
Yogyakarta.
Method: Study design was case-control with ratio (1:1). The study used both quantitative methods as well as case
control design and qualitative through interview. Cases were children aged 6-23 months who had length for age z-score
<-2SD. Controls were children aged 6-23 months who had length for age z-score ≥-2SD who live adjacent to the case.
Data were analyzed by using univariable (descriptive), bivariable (chi-square test), and multivariable analysis (multiple
logistic regression).
Result: The result of bivariate analysis showed that introduction age of complementary foods (OR=1,07), dietary diversity
(OR=1.17), and meal frequency (OR=1.69) were not risk factors of stunting. However, compared with high dietary
diversity score, low dietary diversity score (≤2, 3, 4 food groups) associated with increased odds of being stunted among
children aged 6-23 months (OR=2.24, 95% CI:1.00-5.01, OR=1.82, 95% CI:0.96-3.45, OR=1.66, 95% CI:0.81-3.46
respectively). The result of multivariate analysis showed that mother’s height (OR=1.86) and story of low birth weight
(OR=3.23) were risk factors of stunting.
Conclusion: Complementary feeding practices such as age introduction of complementary foods, dietary diversity, and
meal frequency were not risk factors of stunting among children aged 6-23 months. Mother’s height and story of low
birth weight were risk factors of stunting among children aged 6-23 months.
ABSTRAK
Latar belakang: Stunting merefleksikan kegagalan proses mencapai potensi pertumbuhan linear sebagai akibat dari
kondisi kesehatan dan gizi yang tidak optimal. Salah satu penyebab kejadian stunting adalah kuantitas dan kualitas
MP-ASI yang rendah.
Tujuan: Untuk mengidentifikasi risiko praktik pemberian MP-ASI seperti usia pengenalan MP-ASI, keragaman MP-
ASI, dan frekuensi MP-ASI dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di Kecamatan Sedayu, Bantul,
Yogyakarta.
Metode: Rancangan penelitian ini adalah kasus-kontrol dengan perbandingan 1:1 dan menggunakan pendekatan
kuantitatif-kualitatif model concurrent embedded. Kasus adalah anak usia 6-23 bulan yang memiliki skor-z PB/U <-2SD.
Kontrol adalah anak usia 6-23 bulan yang memiliki skor-z PB/U ≥-2SD yang tinggal berdekatan dengan kelompok
kasus. Analisis data menggunakan analisis univariat (deskriptif), bivariat (uji chi-square) dan multivariat (uji regresi
logistik berganda).
Hasil: Analisis bivariat menunjukkan usia pengenalan MP-ASI (OR=1,07), keragaman MP-ASI (OR=1,17), dan frekuensi
pemberian MP-ASI (OR=1,69) bukan faktor risiko kejadian stunting (p>0,05). Skor keragaman MP-ASI yang lebih rendah
(kelompok makanan ≤2, 3, 4) berhubungan dengan peningkatan risiko kejadian stunting berturut-turut OR=2,24, 95%
CI:1,00-5,01; OR=1,82, 95% CI:0,96-3,45; OR=1,66, 95% CI:0,81-3,46. Analisis multivariat menunjukkan faktor risiko
kejadian stunting adalah tinggi badan ibu (OR=1,86) dan riwayat berat badan lahir rendah (BBLR) (OR=3,23,).
Kesimpulan: Praktik pemberian MP-ASI seperti usia pengenalan, keragaman, dan frekuensi pemberian MP-ASI bukan
1
Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Gizi dan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada,
Jl. Farmako, Sekip Utara Yogyakarta 55281, e-mail: ni_mel@rocketmail.com
2
Program Studi Gizi dan Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Jl. Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta 55281,
e-mail: alitgunawan@gmail.com
3
Program Studi S1 Ilmu Gizi, STIKES Alma Ata Yogyakarta, Jl. Ring Road Barat Daya No 1, Yogyakarta 55183, e-mail: estinurwanti3@gmail.com
140 Hildagardis M.E. Nai, I Made Alit Gunawan, Esti Nurwanti
merupakan faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan. Faktor risiko kejadian stunting pada anak usia
6-23 bulan yang bermakna adalah tinggi badan ibu dan riwayat BBLR.
Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian pada kelompok stunting dan tidak stunting
(56,3% dan 52,4%), namun frekuensi pemberian MP-ASI anak dalam sehari menyebabkan adanya penurunan risiko
tergolong cukup (84,9% dan 90,5%). Berdasarkan hasil kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan (Tabel 3).
analisis, usia pengenalan MP-ASI, keragaman MP-ASI, Stratifikasi dilakukan untuk mengetahui OR pada
dan frekuensi pemberian MP-ASI bukan merupakan faktor setiap strata dan menduga status pemberian ASI
risiko kejadian stunting (Tabel 2) merupakan confounder factor dan atau effect modifier
Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada tren terhadap risiko kejadian stunting atau bukan. Stratifikasi
linear yang signifikan antara tingkatan usia pengenalan status pemberian ASI pada praktik pemberian MP-ASI (usia
MP-ASI dan frekuensi pemberian MP-ASI dengan risiko pengenalan MP-ASI dan keragaman MP-ASI) terhadap
kejadian stunting (p untuk uji tren >0,05). Ada tren linear kejadian stunting dianalisis berdasarkan pertimbangan
yang signifikan antara tingkatan skor keragaman MP- bahwa ASI merupakan salah satu penyumbang penting
ASI dan risiko kejadian stunting (p untuk tren OR <0,05). asupan energi dan zat gizi bagi pertumbuhan anak selain
Tren linear tersebut menunjukkan bahwa dengan adanya MP-ASI itu sendiri. Analisis stratifikasi status pemberian ASI
peningkatan jumlah kelompok makanan yang dikonsumsi pada hubungan frekuensi pemberian MP-ASI dan kejadian
Praktik pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) bukan merupakan faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan 143
Tabel 3. Tren linear risiko kejadian stunting untuk stunting tidak dilakukan karena frekuensi pemberian ASI
tingkatan praktik pemberian MP-ASI telah dibedakan antara anak yang masih ASI dan tidak
ASI. Stratifikasi menggunakan analisis Mantel Haenzel
Praktik pemberian ASI OR (95% CI) p
ditunjukkan pada Tabel 4 dan Tabel 5.
≤3 bulan 1,00 (0,36-2,81) 1,00 Tabel 4 dan Tabel 5 menunjukkan bahwa ada
6 bulan 1 perbedaan OR pada setiap strata. Hal tersebut berarti status
4 bulan 1,50 (0,58-4,00) 0,40 pemberian ASI adalah effect modifier pada hubungan antara
6 bulan 1 usia pengenalan MP-ASI dan keragaman MP-ASI dengan
5 bulan 0,71 (0,38-1,34) 0,29 kejadian stunting. Hasil stratifikasi berdasarkan status
6 bulan 1 pemberian ASI menunjukkan selisih adjusted OR (Mantel
>6 bulan 2,70 (0,67-10,57) 0.15 Haenzel OR) dan crude OR adalah sebesar 1,0% untuk
6 bulan 1 hubungan usia pengenalan MP-ASI dan kejadian stunting
Uji tren OR 0,96 dan 4,8% untuk hubungan keragaman MP-ASI dan kejadian
Skor keragaman MP-ASI stunting dan 4,8%. Dengan demikian status pemberian ASI
≤2 kelompok makanan 2,24 (1,0-5,01) 0,04 bukan counfounder factor hubungan usia pengenalan MP-
≥5 kelompok makanan 1 ASI dan keragaman MP-ASI terhadap kejadian stunting.
3 kelompok makanan 1,82 (0,96-3,45) 0,06 Analisis multivariat dilakukan dengan uji regresi
≥5 kelompok makanan 1 logistik berganda menggunakan permodelan dengan
4 kelompok makanan 1,66 (0,81-3,46) 0,16 membandingkan nilai OR usia pengenalan MP-ASI,
≥5 kelompok makanan 1 keragaman MP-ASI, dan frekuensi pemberian MP-ASI
Uji tren OR 0,02* dengan kejadian stunting. Model dibangun menggunakan
Frekuensi pemberian MP-ASI
metode enter yaitu secara manual ditentukan variabel
≤2 kali 1,82 (0,74-4,48) 0,19
lain yang akan dikeluarkan dari analisis yaitu variabel lain
>4 kali 1
yang tidak memiliki hubungan signifikan dengan kejadian
3 kali 1,13 (0,61-2,10) 0,70
stunting (nilai p>0,05) (Tabel 6).
>4 kali 1
Model yang dipilih untuk memprediksi kejadian
4 kali 1,00 (0,41-2,44) 0,99
stunting adalah model 3 karena variabel lain yang
>4 kali 1
Uji tren OR 0,27 tersisa (tinggi badan ibu dan riwayat BBLR) memiliki
hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting.
* Signifikan (p<0,05)
Model 3 menunjukkan bahwa usia pengenalan MP-ASI,
Tabel 4. Stratifikasi status pemberian ASI pada hubungan antara usia pengenalan MP-ASI dan kejadian stunting
Tabel 5. Stratifikasi status pemberian ASI pada hubungan antara keragaman MP-ASI dan kejadian stunting
Tabel 6. Model regresi logistik hubungan praktik pemberian MP-ASI dan kejadian stunting
keragaman MP-ASI, dan frekuensi pemberian MP-ASI risiko kejadian stunting setelah mengendalikan faktor tinggi
hanya mampu memprediksi kejadian stunting sebesar badan ibu dan riwayat penyakit infeksi. Berbeda dengan
6,4% setelah mengendalikan faktor tinggi badan ibu dan usia pengenalan MP-ASI dan skor keragaman MP-ASI,
riwayat penyakit infeksi. Model 3 menunjukkan tidak ada tampak ada tren linear frekuensi pemberian MP-ASI
hubungan yang signifikan antara usia pengenalan MP-ASI, terhadap kejadian stunting tetapi tidak signifikan. Jadi,
skor keragaman MP-ASI, dan frekuensi pemberian MP-ASI variabel yang memiliki hubungan yang signifikan dengan
dengan kejadian stunting. Tidak tampak tren linear usia kejadian stunting adalah tinggi badan ibu dan riwayat berat
pengenalan MP-ASI dan skor keragaman MP-ASI terhadap badan bayi lahir rendah.
Praktik pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) bukan merupakan faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan 145
Hasil wawancara dengan beberapa informan antara waktu pengenalan MP-ASI dan kejadian stunting
memberikan data kualitatif sebagai berikut. Pada setelah mengendalikan variabel umur, tinggi badan ibu,
praktiknya, usia pengenalan MP-ASI dan frekuensi dan riwayat BBLR. Selain itu, pada penelitian ini, usia
pemberian MP-ASI sudah sesuai rekomendasi kecuali pengenalan MP-ASI adalah usia anak saat pertama kali
praktik pemberian keragaman MP-ASI. Sebagian besar diberikan makanan padat atau semi-padat sedangkan
informan menyatakan bahwa MP-ASI diberikan kepada pada penelitian lain usia pengenalan MP-ASI dimulai saat
anak pada usia 6 bulan, frekuensi pemberian MP-ASI pemberian makanan padat atau semi padat atau minuman
minimal 3 kali pemberian dalam sehari, dan pemberian (susu, air, teh, dan lain-lain) (9).
MP-ASI kurang dari 4 kelompok makanan. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa
sebagian besar ibu memberikan MP-ASI kepada anak
BAHASAN mereka pada usia 6 bulan. Hasil ini mendukung hasil analisis
bivariat pada Tabel 2 yaitu usia pengenalan MP-ASI bukan
Hasil analisis bivariat pada Tabel 1 menunjukkan merupakan faktor risiko kejadian stunting pada anak usia
bahwa ada hubungan yang signifikan antara pendapatan 6-23 bulan karena sebagian besar subjek penelitian diberikan
keluarga dan kejadian stunting. Pendapatan keluarga yang makanan MP-ASI pada usia 6 bulan.
memadai akan menunjang tumbuh kembang anak karena Analisis bivariat pada Tabel 2 menunjukkan bahwa
orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak tidak ada hubungan yang signifikan antara keragaman MP-
baik yang primer seperti makanan maupun kebutuhan ASI dan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan. Tidak
sekunder. Tingkat penghasilan juga ikut menentukan jenis adanya hubungan antara keragaman MP-ASI dan kejadian
pangan yang akan dibeli dengan adanya tambahan (13). stunting diduga karena tidak ada perbedaan konsumsi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada setiap kelompok makanan antara anak stunting dan tidak
hubungan yang signifikan antara usia pengenalan MP- stunting seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 2. Hasil
ASI dan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan. penelitian lain di Nepal pada tahun 2010 menunjukkan
Pengenalan MP-ASI dini mempunyai efek yang kecil ada hubungan yang signifikan antara minimum keragaman
pada pertumbuhan anak tetapi jelas mempunyai efek makanan dengan kejadian stunting pada anak balita
negatif pada kesehatan anak (insiden penyakit diare) (10). Hasil ini dapat berbeda karena penilaian terhadap
dan kemungkinan berpengaruh pada kelangsungan hidup kelompok makanan yang dikonsumsi menggunakan
anak (14). Tidak adanya hubungan antara pengenalan formulir recall 1 x 24 jam, sedangkan pada penelitian ini
MP-ASI dan status gizi mungkin menggambarkan menggunakan formulir SQ-FFQ dengan interval waktu
anak-anak yang lebih tua yang berumur 18-23 bulan selama 3 bulan. Kurun waktu 3 bulan dianggap dapat
karena kemungkinan efek negatif pemberian MP-ASI menggambarkan kebiasaan makan anak.
dini tidak berlangsung lama dan mungkin dimodifikasi Pada analisis tren linear (Tabel 3), skor keragaman
oleh karakteristik pemberian makan lainnya (seperti makanan yang lebih rendah (kelompok makanan ≤2, 3,
keragaman MP-ASI dan frekuensi pemberian MP-ASI) dan 4) dibandingkan dengan skor keragaman yang paling
dan kejadian penyakit (15). Pada penelitian ini, penilaian tinggi (kelompok makanan ≥5) menghasilkan penurunan
terhadap riwayat penyakit infeksi hanya berdasarkan OR kejadian stunting yaitu secara berturut-turut sebesar
pada gejala-gejala yang terjadi selama 2 minggu terakhir 2,24, 1,82, dan 1,66. Hal tersebut mengindikasikan adanya
sebelum pengumpulan data penelitian sehingga efek penurunan risiko kejadian stunting dengan peningkatan
pemberian MP-ASI dini terhadap kejadian penyakit infeksi jumlah kelompok makanan yang dikonsumsi oleh anak
tidak dapat digambarkan dengan pasti. dalam sehari. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada di Bangladesh pada tahun 2010 yang menunjukkan bahwa
hubungan yang signifikan antara waktu pengenalan rendahnya keberagaman makanan merupakan prediktor
MP-ASI dan kejadian stunting setelah mengendalikan yang kuat terhadap kejadian stunting (18).
variabel umur, tinggi badan ibu, dan riwayat BBLR. Hasil Skor keragaman makanan dapat dijadikan indikator
ini berbeda dengan penelitian lain karena diduga adanya untuk menilai kecukupan asupan zat gizi makro (energi dan
faktor matching umur dalam penelitian ini. Perbedaan hasil protein) (19,20,21) dan zat gizi mikro (22,23,24) pada anak-
penelitian ini dengan penelitian lain di Kota Yogyakarta anak di negara berkembang. Penelitian di Kenya pada
(9) diduga karena faktor umur anak yang dikontrol dalam tahun 1988 (21), Afrika Selatan dan Filipina (22,23,24)
penelitian ini. Beberapa penelitian (16,17) menunjukkan menemukan hubungan positif yang kuat dan signifikan
bahwa kejadian stunting meningkat dengan bertambahnya antara skor keragaman makanan dan asupan zat gizi pada
umur. Pada penelitian ini, matching umur dilakukan pada anak-anak yang diberi ASI dan tidak ASI pada kelompok
kasus dan kontrol sedangkan pada penelitian lain (9) tidak umur yang berbeda. Rata-rata asupan zat gizi meningkat
dilakukan matching umur. Hal tersebut terlihat pada hasil dengan meningkatnya skor keragaman makanan. Zat gizi
analisis multivariat yang menunjukkan tidak ada hubungan mikro yang diteliti pada penelitian-penelitian tesebut adalah
146 Hildagardis M.E. Nai, I Made Alit Gunawan, Esti Nurwanti
vitamin A, vitamin C, tiamin, riboflavin, niasin, vitamin B6, pemberian MP-ASI dalam sehari (10). Selain perbedaan
vitamin B12, folat, seng, kalsium, dan zat besi. Penelitian cut off, tidak adanya hubungan antara frekuensi pemberian
di Filipina (22) menemukan tidak ada hubungan yang MP-ASI dan kejadian stunting diduga karena porsi yang
signifikan antara asupan kalsium dan vitamin B12 dengan tidak cukup dalam setiap kali pemberian MP-ASI. Meskipun
skor keragaman makanan karena rendahnya konsumsi pemberian MP-ASI dalam sehari sudah cukup, jumlah yang
makanan hewani yang merupakan sumber yang baik dari kecil tidak mampu memenuhi kecukupan energi dan zat gizi
kalsium dan vitamin B12. anak. Bayi memerlukan makanan tambahan selain ASI untuk
Skor keragaman makanan juga secara signifikan memenuhi asupan energi dan zat gizi yang lain. Oleh karena
berhubungan positif dengan status gizi anak berdasarkan itu, untuk mendapatkan energi atau zat gizi yang cukup, bayi
indikator PB/U. Meskipun tidak ada konsistensi dalam harus diberi makanan dengan konsentrasi energi dan zat gizi
rentang umur anak, banyak penelitian yang menunjukkan yang tinggi atau diberi makanan lebih sering. Karena lambung
hubungan positif antara keragaman makanan dan skor-z bayi kecil, maka volume setiap kali makan harus tidak
PB/U. Peningkatan keragaman makanan berhubungan terlalu besar. Jadi, bayi atau anak harus makan lebih sering
dengan skor PB/U yang lebih tinggi antara anak-anak usia daripada orang dewasa (27). Kuantitas dan jenis makanan
6-23 bulan (19,20,21,25). yang diberikan kepada anak dan frekuensi pemberian makan
Stunting disebabkan oleh efek kumulatif dari adalah faktor penting yang berhubungan dengan stunting.
rendahnya asupan zat gizi makro dan mikro selama Anak-anak yang mengonsumsi jumlah makanan yang relatif
periode yang lama ataupun hasil infeksi kronis (26). Skor besar (>600 mL/hari) mempunyai skor PB/U yang lebih tinggi
keragaman makanan menggambarkan kualitas MP-ASI dibandingkan anak-anak dengan konsumsi yang kurang
(19,20,23). Kualitas MP-ASI sama pentingnya dengan (<600 mL/hari). Anak-anak yang diberi makan <3 mangkok
kuantitas MP-ASI karena kualitas keragaman MP-ASI sedang (<200 mL) per hari mempunyai skor PB/U yang
berhubungan dengan kepadatan zat gizi mikro dalam lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak yang diberi
MP-ASI (27). Kualitas dan kuantitas MP-ASI dapat secara makan >3 mangkok sedang (>200 mL). Oleh karena itu,
positif mempengaruhi pertumbuhan linear. Meningkatkan konsumsi MP-ASI dengan jumlah yang kecil dan frekuensi
kuantitas MP-ASI tidak akan efektif bila tidak didukung yang kurang menjadi salah satu penyebab penting kejadian
oleh kualitas MP-ASI (19,28). Zat gizi mikro yang penting stunting (26).
untuk pertumbuhan dan berkaitan dengan kejadian Hasil wawancara dengan beberapa orang informan
stunting adalah zat besi, seng, tembaga, kalsium (29), memberikan data kualitatif sebagai berikut. Pemberian
dan vitamin A (3). MP-ASI kepada anak dalam sehari adalah minimal 3 kali
Hasil analisis kualitatif mendukung hasil analisis pemberian. Meskipun jumlah tersebut dirasa cukup oleh
bivariat pada Tabel 2 yaitu secara keseluruhan konsumsi sebagian besar informan, mereka menyatakan bahwa porsi
MP-ASI tidak beragam dalam sehari sehingga tidak yang mampu dihabiskan anak setiap kali pemberian makan
ada hubungan antara keragaman MP-ASI dan kejadian sangat kurang. Hasil analisis kualitatif mendukung hasil
stunting. Namun demikian, setelah mengelompokkan analisis bivariat pada Tabel 3 yaitu frekuensi pemberian
konsumsi yang tidak beragam tersebut dalam analisis MP-ASI bukan merupakan faktor risiko kejadian stunting
tren linear, nampak ada penurunan risiko kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di Kecamatan Sedayu, Bantul,
dengan meningkatnya jumlah kelompok makanan yang Yogyakarta. Ukuran porsi dan jumlah makanan yang
dikonsumsi harian. dikonsumsi anak tidak diperhitungkan dalam penelitian
Hasil analisis bivariat pada Tabel 2 menunjukkan ini.
bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara minimum Hasil analisis stratifikasi pada Tabel 4 dan Tabel 5
frekuensi pemberian MP-ASI dan kejadian stunting. Pada menunjukkan bahwa status pemberian ASI memodifikasi
analisis multivariat (Tabel 6), tampak ada tren linear frekuensi efek usia pengenalan MP-ASI terhadap kejadian stunting.
pemberian MP-ASI terhadap kejadian stunting tetapi tidak Tabel 4 menunjukkan bahwa pemberian MP-ASI pada
signifikan. Meskipun demikian hal tersebut mengindikasikan usia yang tidak sesuai pada anak yang tidak diberikan ASI
adanya penurunan kejadian stunting dengan peningkatan lagi mempunyai risiko 1,6 kali lebih besar untuk mengalami
frekuensi pemberian pemberian MP-ASI dalam sehari. kejadian stunting dibandingkan anak-anak yang diberi
Penentuan cut off untuk kategori frekuensi pemberian MP-ASI pada usia yang sesuai. Pemberian MP-ASI pada
makan dalam sehari diduga menjadi penyebab adanya usia yang tidak sesuai pada anak yang masih diberi ASI
perbedaan dalam hasil penelitian ini dan penelitian merupakan faktor proteksi bagi kejadian stunting. Anak-
sebelumnya (10,26). Pada penelitian terdahulu di Dodota- anak yang diberi MP-ASI dini mempunyai kemungkinan
Sire, Ethiopia menyebutkan frekuensi pemberian MP-ASI lebih besar untuk mengalami penyakit infeksi akibat praktik
dikategorikan menjadi <3 dan ≥3 kali pemberian MP-ASI penyiapan MP-ASI yang kurang bersih dan kekurangan gizi
dalam sehari (26). Penelitian lainnya mengategorikan akibat belum sempurnanya saluran pencernaan bayi untuk
frekuensi pemberian MP-ASI menjadi <4 dan ≥4 kali mencerna makanan. Pada kondisi tersebut, pemberian ASI
Praktik pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) bukan merupakan faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan 147
diduga dapat mengurangi risiko bayi mengalami penyakit faktor risiko kejadian stunting pada anak yang dilahirkan.
infeksi dan meningkatkan antibodi untuk melawan kuman Anak yang lahir dari ibu dengan tinggi badan <150 cm
penyakit di dalam tubuh. Selain itu, pemberian ASI pada usia mempunyai risiko mengalami kejadian stunting 1,9 kali
dini masih menjadi sumber utama asupan energi dan zat gizi lebih besar daripada anak yang lahir dari ibu dengan tinggi
bayi. Sebaliknya, jika pada kondisi tersebut bayi tidak diberi badan ≥150 cm. Hubungan tinggi badan ibu dan kesehatan
ASI, risiko terpapar dengan kuman penyakit semakin tinggi bayi dapat dilihat dari dua faktor yaitu faktor keturunan
dan kepadatan zat gizi dalam MP-ASI yang rendah tidak dan faktor kesehatan ibu. Salah satu atau kedua orang
mampu mencukupi kebutuhan zat gizi bayi. Kedua kondisi tua yang pendek akibat kondisi patologi (seperti defisiensi
tersebut mempengaruhi pertumbuhan bayi. hormon pertumbuhan) memiliki gen dalam kromosom yang
Tabel 5 menunjukkan bahwa pemberian MP-ASI membawa sifat pendek. Kondisi tersebut memperbesar
yang tidak beragam pada anak yang tidak diberikan ASI lagi peluang anak mewarisi gen tersebut dan tumbuh menjadi
mempunyai risiko 2 kali untuk mengalami kejadian stunting anak pendek. Akan tetapi, bila orang tua pendek akibat
dibandingkan anak-anak yang diberi MP-ASI beragam. kekurangan zat gizi atau penyakit, kemungkinan anak
Pemberian MP-ASI yang tidak beragam pada anak yang dapat tumbuh dengan tinggi badan normal selama anak
masih diberikan ASI mempunyai risiko 1,3 kali lebih besar tersebut tidak terpapar faktor risiko lain (31). Wanita
untuk mengalami kejadian stunting dibandingkan anak-anak pendek mempunyai tulang pinggul yang lebih sempit. Pada
yang yang diberi MP-ASI yang beragam. Hasil penelitian ini ibu hamil yang pendek terjadi hambatan aliran darah dalam
menunjukkan adanya penurunan risiko kejadian stunting kandungan karena kondisi tersebut sehingga pertumbuhan
dengan adanya pemberian ASI pada anak-anak yang uterus, plasenta, dan janin pun terhambat (7).
diberi MP-ASI yang tidak beragam. Penelitian terdahulu di Riwayat BBLR merupakan faktor risiko kejadian
Lima, Peru menemukan bahwa pada anak-anak berusia stunting. Bayi yang lahir dengan BBLR mempunyai risiko
12-15 bulan dengan asupan produk hewani yang rendah, mengalami kejadian stunting 3 kali lebih besar daripada
pemberian ASI berhubungan positif dan signifikan dengan bayi yang lahir dengan berat badan normal. Ibu yang
pertumbuhan linear. Salah satu penyumbang penting energi mengalami gizi kurang saat konsepsi dan selama masa
dan zat gizi untuk asupan zat gizi anak adalah ASI. Selain kehamilan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan awal
sumbangan langsung terhadap asupan energi dan zat gizi, janin dan dapat menjadi faktor risiko stunting pada bayi dan
ASI mungkin memodifikasi efek pemberian MP-ASI pada anak-anak (3). Jika janin di dalam kandungan mengalami
pertumbuhan linear dengan menyiapkan komponen zat gizi gizi kurang, janin segera merespon dengan cara
yang rendah dalam MP-ASI (30). Terkait hubungan skor menggunakan cadangan makanan untuk menghasilkan
keragaman makanan dan pertumbuhan linear, hubungan energi bagi pertumbuhannya. Jika terus mengalami gizi
yang kuat antara skor keragaman makanan dan skor-z kurang, kecepatan pertumbuhannya akan melambat. Jika
TB/U (tinggi badan/umur) ditemukan pada anak-anak zat gizi dipenuhi kembali setelah beberapa hari, kecepatan
yang tidak lagi diberikan ASI dibandingkan yang masih ASI pertumbuhan akan kembali seperti sebelumnya tetapi gizi
karena pemenuhan zat gizi dari anak-anak tersebut hanya kurang yang lama menyebabkan pertumbuhan melambat
bergantung pada pemberian MP-ASI (19). Penelitian lain secara permanen (32).
di Kenya menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang Penelitian ini memiliki beberapa kelemahan. Desain
signifikan berdasarkan status pemberian ASI antara status penelitian kasus-kontrol yang digunakan dalam penelitian
ASI dan level keragaman (20). Anak-anak yang masih ini menyebabkan perolehan data pajanan terhadap
ASI mengonsumsi makanan dengan keragaman yang faktor risiko diperoleh dengan mengandalkan daya ingat
terbatas dikarenakan lebih banyak ASI (18). Berdasarkan responden. Daya ingat responden ini menyebabkan
hasil penelitian ini, status pemberian ASI menurunkan data yang diperoleh sukar dibuktikan keakuratannya.
risiko kejadian stunting pada hubungan antara usia Penentuan minimum frekuensi pemberian MP-ASI tidak
pengenalan MP-ASI dan kejadian stunting serta hubungan memperhitungkan jumlah setiap jenis makanan yang
keragaman makanan dan kejadian stunting meskipun dikonsumsi bayi. Penilaian penyakit infeksi hanya dalam
tidak signifikan. Oleh karena itu, meskipun penelitian waktu yang singkat yaitu berdasarkan adanya gejala-gejala
terdahulu menunjukkan hasil yang beragam terhadap efek penyakit infeksi dalam dua minggu terakhir sehingga tidak
pemberian ASI pada pertumbuhan, anak-anak sebaiknya mampu menilai dampak penyakit infeksi pada anak-anak
terus diberikan ASI sampai anak berusia 2 tahun sesuai yang diberi MP-ASI dini.
rekomendasi WHO.
Hasil analisis multivariat (Tabel 6) menunjukkan KESIMPULAN DAN SARAN
bahwa tinggi badan ibu dan riwayat BBLR berhubungan
signifikan dengan kejadian stunting pada anak setelah Praktik pemberian MP-ASI bukan merupakan
mengontrol variabel praktik pemberian MP-ASI, status ASI, faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan.
dan tinggi badan ibu. Tinggi badan ibu <150 cm adalah Akan tetapi, peningkatan jumlah kelompok makanan
148 Hildagardis M.E. Nai, I Made Alit Gunawan, Esti Nurwanti
yang dikonsumsi dalam sehari dapat menurunkan risiko poverty: a case control study. BMC Public Health.
kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan. Tinggi badan 2004;4:57.
ibu dan riwayat BBLR merupakan faktor risiko kejadian 9. Yulidasari F. MP-ASI sebagai faktor risiko kejadian
stunting pada anak usia 6-23 bulan di Kecamatan Sedayu, stunting pada anak usia 6-24 bulan di Kota Yogyakarta.
Bantul, Yogyakarta. Praktik pemberian MP-ASI terkait usia Universitas Gadjah Mada; 2013.
pengenalan MP-ASI dan frekuensi pemberian MP-ASI 10. Paudel R, Pradhan B, Wagle RR, Pahari DP, Onta SR.
sudah sesuai rekomendasi kecuali praktik pemberian Risk factors for stunting among children: a community
keragaman MP-ASI. Sebagian besar informan menyatakan based case control study in Nepal. Kathmandu Univ
bahwa pemberian MP-ASI kepada anak pada usia 6 bulan, Med J (KUMJ). 2011;10:18–24.
frekuensi pemberian MP-ASI minimal 3 kali, dan pemberian 11. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk
MP-ASI kurang dari 4 kelompok makanan. pelaksanaan surveilans gizi. Jakarta: Kementerian
Pemerintah daerah setempat secara berkelanjutan Kesehatan RI; 2012.
mendorong pemberdayaan masyarakat untuk penganeka- 12. World Health Organization (WHO). Indicators for
ragaman pangan melalui program pengembangan kebun- assessing infant and young child feeding practices.
kebun keluarga. Pemerintah juga diharapkan dapat Washington DC: WHO; 2007.
membantu dalam pengadaan bibit dan pelatihan bagi 13. Adriani M, Wiratjamadi B. Pengantar gizi masyarakat.
pengelolaan lahan. Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul Jakarta: Kencana Prenada Media Group; 2012.
diharapkan dapat membuat program intervensi gizi bagi 14. Kramer MS, Kakuma R. Optimal duration of exclusive
ibu hamil risiko tinggi termasuk ibu dengan tinggi badan breastfeeding. Cochrane database of systematic
kurang dalam bentuk skrining ibu hamil risiko tinggi reviews (Online). Geneva: WHO; 2001.
untuk selanjutnya diberikan pemahaman seputar kondisi 15. Gupta N, Gehri M, Stettler N. Early introduction of
kesehatan mereka dan pemberian informasi seputar gizi water and complementary feeding and nutritional
selama masa kehamilan. Selain itu, ibu-ibu hamil risiko status of children in Nothern Senegal. Public Health
tinggi dapat diberikan suplementasi zat gizi. Intervensi Nutr. 2007;10(11):1299–304.
gizi bagi anak usia 6-23 bulan dalam bentuk sosialisasi 16. Victora C, M de O, Hallal P, Blossner M, Shrimpton R.
pedoman gizi seimbang (PGS) yang terbaru kepada ibu- Worldwide timing of growth faltering: revisiting implications
ibu pada jadwal posyandu. for interventions. Pediatrics. 2010; 125 (3).
17. Marriot P, White A, Hadden L, Davies J, Wallingford
RUJUKAN J. World Health Organization (WHO) infant and young
child feeding indicators: association with growth
1. UNICEF. Tracking progress on child and maternal measures in 14 low-income countries. Matern Child
nutrition: a survival and development priority. New Nutr. 2011;8(3):354–70.
York: UNICEF; 2009. 18. Rah J, Akhter N, Semba R, de Pee S, Bloem M, Campbell
2. De Onis M, Blossner M, Borghi E. Prevalence and A, et al. Low diversity is a predictor of child stunting in
trends of stunting among pre-school children, 1999- Rural Bangladesh. Eur J Child Nutr. 2010;64:1393–8.
2220. Public Health Nutr. 2011;32:1–7. 19. Arimond M, Ruel M. Dietary diversity is associated with
3. Allen LH, Gillespie SR. What works ? A review of the child nutritional status: evidence from 11 demographic
efficacy and effectiveness of nutrition interventions. and health surveys. J Nutr. 2004;134:2579–85.
Manila: The Asian Development Bank; 2001. 20. Onyango A, Koskia K, Tuckerb K. Food diversity versus
4. Dewey KG, Begum K. Why stunting matters [Internet]. breastfeeding choice in determining anthropometric
Alive&thrive technical brief. 2010 [cited 2013 Apr 25]. status in rural Kenyan toddlers. Int J Epidemiol.
p. 1–7. Available from: http://www.aliveandthrive.org/ 1997;27:484–9.
sites/default/files/Brief 2 Sept. 2010- Why stunting 21. Steyn N, Nel J, Nantel G, Kennedy G, Labadarios D.
matters_1.pdf Food variety and dietary diversity scores in children:
5. Badham J, Sweet L. Stunting: an overview. Sight Life. are they good indicators of dietary adequacy? Public
2010;3:40–7. Health Nutr. 2005;9(5):644–50.
6. World Health Organization (WHO). Complementary 22. Kennedy G, Pedro M, Seghieri C, Nantel G, Brouwer
feeding: report of the global consultation. Geneva; I. Dietary diversity score is a useful indicator of
2001. micronutrient intake in non-breast-feeding Filipino
7. Dewey K, Begum K. Long-term consequences of children. J Nutr. 2007;137:472–7.
stunting in early life. Matern Child Nutr. 2011;7:5–18. 23. Moursi M, Arimond M, Dewey K, Tre`che S, Ruel M,
8. Reyes H, Perez-Cuevas R, Sandoval A, Castillo R, Delpeuch F. Dietary diversity is a good predictor of the
Santos J, Doubova S, et al. The family as a determinant micronutrient density of the diet of 6- to 23-month-old
of stunting in children living in conditions of extreme children in Madagascar. J Nutr. 2007;138:2448–53.
Praktik pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) bukan merupakan faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan 149
24. Daniels M, Adair L, Popkin B, Truong Y. Dietary interventions in developing countries. Matern Child
diversity scores can be improved through the use of Nutr. 2008;4:24–85.
portion requirements: an analysis in young Filipino 29. Branca F, Ferrari M. Impact of micronutrient deficiencies
children. Eur J Clin Nutr. 2009;63:199–208. on growth: the stunting syndrome. Ann Nutr Metab.
25. Sawadago P, Martin-Pre´ vel Y, Savy M, Kameli Y, 2002;46 Suppl 1:8–17.
Traissac P, Traore´An, et al. Infant and child feeding 30. Marquis G, Habicht J, Lanata C, Blacak R, Rasmusse
index is associated with the nutritional status of 6- to K. Breastmilk or animal-productfoods improve linear
23-month-old children in rural Burkina Faso. J Nutr. growth of peruvian toddlers consuming marginal diets.
2006;136:656–63. Am J Clin Nutr. 1997;66:1102–9.
26. Umeta M, West C, Verhoef H, Haidar J, Hautvast J. 31. Amigo H, Buston P, Sun K, Akhter N, Bloem M. Is there
Factors associated with stunting in infants aged 5 – are relationship between parent’s short height and their
11 months in the Dodota-Sire district, rural Ethiopia. J children’s? social interclass epidemiologic study. Rev
Nutr. 2003;133:1064–9. Med Chil. 1997;125(8).
27. Soetjiningsih, Suandi I. Gizi untuk tumbuh kembang 32. Barker D, Godfrey K. Gizi ibu, programming janin, dan
anak. Jakarta: Sagung Seto; 2008. penyakit kronis dewasa. Gizi kesehatan masyarakat.
28. Dewey K, Adu-Afarwuah S. Systematic review of the Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. p.
efficacy and effectiveness of complementary feeding 372–90.
150
JURNALYanuarti
GIZI DAN DIETETIK
Petrika, Detty SitiINDONESIA
Nurdiati
Vol. 1, No. 3, September 2013: 150-157
ABSTRACT
Background: Chronic energy deficiency (CED) is one of nutritional problems in pregnant women. One of the causes
is inadequate energy and protein in food consumption, and low household food availability.
Objective: To know association between energy and protein intakes, food availability with CED in pregnant women in
Sedayu Subdistrict, Bantul, Yogyakarta.
Method: This was an observational study with cross sectional design. This study was conducted in Sedayu Subdistrict,
Bantul, Yogyakarta from March to May 2014 and 201 pregnant women were selected as samples by using total sampling
methods. Independent variable was the level of energy intake, protein, and food availability while the dependent
variable was the risk of CED in pregnant women. Data were collected by direct interview with questionnaire and direct
measurement of mid upper arm circumference (MUAC) with MUAC tape. Data were then analyzed by using univariable
analysis (descriptive), bivariable (chi-square), and multivariable (multiple logistic regression).
Result: Bivariable test showed a significant association between level of energy intake (OR=3, 95% CI:1.3-6.8) and
food availability (OR=2.9, 95% CI:1.1-7.1) with the risk of CED in pregnant women in Sedayu Subdistrict. However, no
significant association between level of protein intake and the risk of CED (OR=2.1, 95% CI=0.9-5.1). In multivariable
analysis, level of energy intake had the strongest association with the risk of CED.
Conclusion: There was associaton between level of energy intake and food availability with the risk of CED in pregnant
women. However, there was no association between level of protein intake and the risk of CED in pregnant women.
KEYWORDS: chronic energi deficiency, pregnant women, intake of energi intake of protein, food availability
ABSTRAK
Latar Belakang: Kekurangan energi kronis (KEK) merupakan salah satu masalah gizi yang terjadi pada ibu hamil. Salah
satu penyebab KEK adalah konsumsi makan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta ketersediaan
pangan keluarga yang kurang.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara tingkat asupan energi, tingkat asupan protein, dan ketersediaan pangan
dengan kejadian KEK pada ibu hamil di Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta.
Metode: Desain penelitian ini adalah cross sectional yang dilakukan di Kecamatan Sedayu Bantul pada bulan Maret
hingga Mei 2014. Populasi adalah seluruh ibu hamil di Kecamatan Sedayu yang diambil dengan metode total sampling
dan didapatkan 201 orang. Variabel bebas yaitu tingkat asupan energi, protein, dan ketersediaan pangan, sedangkan
variabel terikat adalah risiko KEK pada ibu hamil. Data diambil dengan wawancara langsung menggunakan software
kuesioner Commcare dan pengukuran lingkar lengan atas (LILA) dengan pita LILA. Data dianalisis dengan analisis
univariabel (deskriptif), bivariat (chi-square), dan multivariat (regresi logistik berganda).
Hasil: Analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat asupan energi (OR=3,
95% CI:1,3-6,8) dan ketersediaan pangan (OR=2,9, 95% CI:1,1-7,1) dengan risiko KEK pada ibu hamil. Tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara tingkat asupan protein dengan risiko KEK (OR=2,1, 95% CI:0,9-5,1). Pada analisis
multivariat, tingkat asupan energi memiliki hubungan paling kuat dengan risiko KEK dibandingkan dengan variabel
lainnya.
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara tingkat asupan energi dan ketersediaan pangan dengan risiko KEK pada ibu
hamil. Namun tidak terdapat hubungan antara tingkat asupan protein dengan risiko KEK pada ibu hamil.
KATA KUNCI: kekurangan energi kronis, ibu hamil, asupan energi, asupan protein, ketersediaan pangan
1
Pasca Sarjana Gizi dan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Jl. Farmako Sekip Utara Yogyakarta,
email:richa.lover87@gmail.com
2
Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP Dr. Sardjito, Jl.Kesehatan,Yogyakarta, email: dnurdiaty@yahoo.com
Tingkat asupan energi dan ketersediaan pangan berhubungan dengan risiko kekurangan energi kronik pada ibu hamil 151
pendidikan ibu, tingkat pengetahuan ibu, pekerjaan tingkat asupan protein dan ketersediaan pangan ibu hamil
ibu, paritas, tingkat pendapatan keluarga, dan tingkat pada Tabel 1 terlihat bahwa proporsi ibu hamil yang risiko
pengeluaran pangan. Selain itu, melakukan pengukuran KEK lebih sedikit yaitu sebesar 17,9% dibandingkan
antropometri langsung berupa pengukuran LILA dengan dengan ibu hamil yang tidak berisiko KEK yaitu sebesar
menggunakan pita LILA. 82,1%, namun prevalensi ini cukup tinggi jika dibandingkan
Pada penelitian ini, uji validitas menggunakan dengan prevalensi KEK di DIY dan Bantul. Proporsi tingkat
analisis corrected item-total correlation. Pada uji validitas asupan energi lebih banyak yang cukup yaitu sebesar
instrumen pengetahuan gizi, dari 20 item terdapat 12 item
yang dinyatakan valid. Uji reliabilitas pada penelitian ini Tabel 1. Distribusi frekuensi karakteristik ibu hamil
menggunakan metode cronbach’s alpha. Pada penelitian
ini, uji reliabilitas kuesioner pengetahuan gizi, diperoleh Variabel n %
nilai cronbach’s alpha sebesar 0,816 sehingga dapat Status gizi ibu hamil
Risiko KEK 36 17,9
dikatakan bahwa semua item pada kuesioner pengetahuan
Tidak berisiko KEK 165 82,1
gizi tersebut reliabel dan reliabilitasnya bisa dikatakan Tingkat asupan energi
tinggi/baik. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan Rendah 59 29,4
dari Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Cukup 142 70,7
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Tingkat asupan protein
No Ref: KE/FK/382/EC tahun 2014. Rendah 118 58,7
Cukup 83 41,3
Ketersediaan pangan
HASIL Rawan kelaparan tingkat berat 6 2,9
Rawan kelaparan tingkat sedang 7 3,5
Data gambaran distribusi frekuensi karakteristik ibu Rawan tanpa kelaparan 20 9,9
hamil yang dilihat dari status gizi, tingkat asupan energi, Terjamin 168 83,4
Tabel 2. Hubungan antara tingkat pendidikan ibu, pekerjaan ibu, tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran pangan, usia ibu,
paritas, umur kehamilan, dan tingkat pengetahuan gizi ibu dengan status gizi pada ibu hamil
Ketersediaan pangan
p
Variabel Rawan pangan Terjamin OR
(95% CI)
n % n %
Tingkat asupan energi
Rendah 13 39,4 46 27,4 1,7 0,2
Cukup 20 60,6 122 72,6 1 (0,7-3,9)
Tingkat asupan protein
Rendah 24 72,7 94 55,9 2,1 0,07
Cukup 9 27,3 74 44,1 1 (0,9-5,4)
Persentase pengeluaran pangan dibandingkan dengan total
pengeluaran (mean±SD)†† 55,1±17,2 51,7±15,1 - (-9,2-2,4)
Tingkat pendapatan per kapita †
Rendah 25 75,8 79 47,0 3,5 0,003
Tinggi 8 24,2 89 52,9 1 (1,4-9,5*)
Tingkat pengeluaran pangan per kapita †
Rendah 19 57,6 82 48,8 1,4 0,4
Tinggi 14 42,4 86 51,2 1 (0,6-3,3)
Tingkat pendidikan ibu †
Rendah 24 72,7 25 14,9 15,3 0,00
Tinggi 9 27,3 143 85,1 1 (5,9-41,1*)
Pekerjaan ibu †
Tidak bekerja 23 69,7 86 51,2 2,2 0,2
Bekerja 10 30,3 82 48,8 1 (0,7-3,9)
* Signifikan (Tidak meliputi angka 1)
† Analisis menggunakan chi-square
†† Analisis menggunakan t-test independent
70,7%, namun, tingkat asupan protein ibu hamil lebih Tabel 3 menjelaskan bahwa ibu hamil dengan
banyak rendah yaitu sebesar 58,7%. Ketersediaan pangan tingkat asupan energi rendah cenderung banyak terjadi
keluarga ibu hamil lebih banyak terjamin dengan proporsi pada kelompok rawan pangan (39,4%). Hal yang sama
83,6% dan hanya sebagian kecil dengan rawan tanpa ditunjukkan pada ibu dengan tingkat asupan protein rendah
kelaparan (9,9%), rawan kelaparan tingkat sedang (3,5%), lebih banyak terjadi pada kelompok rawan pangan (72,7%).
dan rawan kelaparan tingkat berat (2,9%). Dengan demikian, tingkat asupan energi dan protein yang
Berdasarkan hasil analisis bivariat pada Tabel 2, rendah pada ibu hamil lebih banyak berasal dari keluarga
dapat diketahui bahwa ibu hamil yang berpendidikan yang rawan pangan. Keluarga ibu hamil di Kecamatan
rendah lebih banyak pada kelompok risiko KEK (33,3%) Sedayu rata-rata yang memiliki persentase pengeluaran
dibandingkan dengan tidak berisiko KEK (22,4%). Jika pangan tinggi lebih banyak terjadi pada kelompok rawan
dilihat dari proporsi rata-rata, persentase pengeluaran pangan yaitu sebesar 55,1% dibandingkan dengan
pangan pada kelompok risiko KEK yaitu (52,1%±15,0) kelompok pangan terjamin yaitu sebesar 51,7%. Rata-
artinya 50% lebih pengeluarannya dihabiskan untuk rata persentase pengeluaran pangan pada kelompok
pangan dibandingkan dengan nonpangan. Proporsi tingkat rawan pangan ini lebih dari 50% artinya lebih dari 50%
pendapatan per kapita keluarga yang rendah lebih banyak uangnya dikeluarkan untuk pangan dibandingkan dengan
terjadi pada kelompok risiko KEK (61,1%), begitu juga nonpangan dan hal ini menandakan keluarga tersebut
dengan tingkat pengeluaran pangan per kapita keluarga kesejahteraannya kurang. Dengan demikian dapat
yang rendah lebih banyak dialami pada kelompok risiko dikatakan keluarga yang kurang sejahtera lebih banyak
KEK (55,6%) dibandingkan dengan yang tidak berisiko mengalami rawan pangan.
KEK (49,1%). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Hasil analisis pada Tabel 4, diperoleh bahwa ibu
ibu hamil risiko KEK tingkat sosioekonominya cenderung hamil dengan tingkat asupan energi rendah lebih banyak
lebih rendah. Hasil analisis pada Tabel 2 juga menunjukkan terjadi pada kelompok risiko KEK (50,0%) dibandingkan
bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dengan tidak berisiko KEK (24,9%). Hasil uji statistik
tingkat pendidikan ibu, pekerjaan ibu, tingkat pendapatan, diperoleh nilai p=0,003 (95% CI:1,3-6,8) maka dapat
tingkat pengeluaran pangan, usia ibu, paritas, umur disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara tingkat
kehamilan, dan tingkat pengetahuan gizi ibu dengan risiko asupan energi dengan KEK pada ibu hamil (p<0,05). Selain
KEK pada ibu hamil (p>0,05). itu, dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR=3 artinya ibu
154 Yanuarti Petrika, Detty Siti Nurdiati
Tabel 4. Hubungan antara tingkat asupan energi, tingkat asupan protein, dan ketersediaan pangan
dengan status gizi ibu hamil
BAHASAN
100 95,12 92,5
90 Hubungan antara tingkat asupan energi dengan
90
kejadian KEK pada ibu hamil
80
70 Ibu hamil membutuhkan asupan energi yang
70 62,5 tinggi karena adanya peningkatan metabolisme basal.
Jumlah Ibu hamil
sebesar 39,4% dan keluarga rawan pangan ini cenderung tingkat asupan protein cukup. Hal ini sudah dibuktikan
memiliki tingkat pengeluaran dan pendapatan per kapita oleh penelitian lain yang menunjukkan bahwa pemberian
yang rendah dan berasal dari keluarga yang kurang makanan tambahan sumber protein terbukti dapat
sejahtera. meningkatkan kecukupan gizi pada ibu hamil (22).
Hubungan antara tingkat asupan protein dengan KEK Hubungan antara ketersediaan pangan dengan KEK
pada ibu hamil pada ibu hamil
Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa tidak ada Ketersediaan pangan dalam keluarga mempengaruhi
hubungan yang signifikan antara tingkat asupan protein banyaknya asupan makan anggota keluarga. Semakin
dengan risiko KEK pada ibu hamil (p>0,05). Beberapa baik ketersediaan pangan suatu keluarga memungkinkan
penelitian lain di Semarang tahun 2004 menunjukkan hasil terpenuhinya seluruh kebutuhan zat gizi. Jika ketersediaan
yang sama, yaitu tidak terdapat hubungan yang signifikan pangan di rumah tangga menurun, otomatis konsumsi
antara tingkat asupan protein dengan kejadian KEK Ibu makan dan konsumsi zat gizi per anggota keluarga
hamil (11,20). Hal tersebut dimungkinkan dipengaruhi oleh berkurang sehingga menyebabkan masalah gizi,
faktor lain seperti tingkat asupan energi. Walaupun asupan diantaranya kejadian KEK (11).
protein ibu kurang, jika asupan energinya mencukupi Berdasarkan proporsi ibu hamil dengan keluarga
kebutuhan, maka risiko KEK tidak dapat terjadi. Selain itu rawan pangan lebih banyak mengalami KEK. Selain itu,
KEK digunakan untuk menggambarkan keadaan kurang hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang
energi yang lebih menonjol daripada kurang protein (21). signifikan antara ketersediaan pangan dengan risiko
Hal ini sudah dijelaskan sebelumnya pada penelitian ini KEK pada ibu hamil. Hasil yang sama ditunjukkan pada
yaitu asupan energi sangat berhubungan erat dengan penelitian lain menyatakan bahwa ada hubungan yang
risiko KEK pada ibu hamil. Walaupun asupan protein signifikan antara ketersediaan pangan dengan kejadian
tidak berhubungan dengan risiko KEK pada ibu hamil, KEK (23). Jika dilihat dari risikonya, ibu dengan keluarga
namun asupan protein tetap harus dipenuhi oleh ibu hamil, rawan pangan memiliki risiko 2,6 kali lebih besar untuk
mengingat adanya peningkatan kebutuhan protein untuk terkena KEK dibandingkan dengan ketersediaan pangan
kesehatan ibu dan janin, serta protein tersebut mempunyai terjamin. Ketersediaan pangan dapat memicu terjadinya
fungsi utama yang tidak dapat digantikan dengan zat gizi risiko KEK pada ibu hamil karena dengan terbatasnya
lain yaitu sebagai zat pembangun dan pemelihara sel-sel/ ketersediaan pangan, maka ibu hamil akan mengalami
jaringan tubuh. kekurangan zat gizi terutama energi sehingga jika asupan
Meskipun secara statistik tidak berhubungan, jika energi rendah maka risiko KEK dapat terjadi. Hal ini
dilihat dari proporsi ibu hamil dengan asupan protein didukung juga dengan hasil penelitian lain yang dilakukan
rendah lebih banyak mengalami risiko KEK. Hasil di NTT menyebutkan bahwa terbatasnya ketersediaan
penelitian ini juga menunjukkan bahwa proporsi risiko makanan dan rendahnya kemampuan untuk menyediakan
KEK akan semakin menurun jika asupan protein ibu hamil makanan sumber zat gizi akan menyebabkan ibu hamil
>60,7 gram atau dengan kata lain, semakin tinggi asupan mengalami defisit energi sampai dengan 40% atau lebih
protein ibu hamil, maka proporsi risiko KEK cenderung (24).
menurun dan proporsi risiko tidak KEK cenderung
meningkat. Selain itu, perbedaan asupan protein ibu hamil
KESIMPULAN DAN SARAN
terlihat antara kelompok risiko KEK dengan kelompok
tidak berisiko KEK, yaitu median asupan protein pada Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat
kelompok risiko KEK cenderung lebih rendah 18,8 gram asupan energi dan ketersediaan pangan dengan risiko
dibandingkan kelompok tidak berisiko KEK. Penelitian KEK pada Ibu hamil di Kecamatan Sedayu. Selain itu,
lain juga menunjukkan hasil yang sama yaitu proporsi tingkat asupan energi memiliki hubungan yang paling kuat
ibu hamil yang memiliki cukup protein lebih sedikit yang dengan risiko KEK pada ibu hamil dibandingkan dengan
menderita KEK dibanding dengan ibu hamil yang kurang ketersediaan pangan. Untuk mengatasi hal tersebut,
asupan proteinnya. Hal ini berarti jika seseorang terpapar perlu adanya peningkatan program pemberian makanan
asupan protein rendah, maka ia akan memiliki peluang tambahan (PMT) pemulihan untuk ibu hamil dan tidak
lebih besar untuk menderita KEK (5). Dengan demikian, hanya memperhatikan kuantitas tetapi juga kualitasnya,
asupan protein rendah pada ibu hamil akan berpeluang serta dapat dilakukan pemantauan/monitoring pemberian
untuk terkena KEK dan hal ini juga sudah dibuktikan pada PMT agar tepat sasaran. Tidak terdapat hubungan yang
analisis bivariat yang menunjukkan bahwa ibu dengan signifikan antara tingkat asupan protein dengan risiko
tingkat asupan protein rendah memiliki risiko 2,1 kali KEK pada ibu hamil di Kecamatan Sedayu. Sebaiknya,
lebih besar untuk terkena KEK dibandingkan ibu dengan dilakukan penelitian lebih lanjut pada cakupan yang lebih
Tingkat asupan energi dan ketersediaan pangan berhubungan dengan risiko kekurangan energi kronik pada ibu hamil 157
luas dimana tidak hanya di Kecamatan Sedayu saja tapi 14. Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul. Profil gizi Kabupaten
juga dapat dilakukan di beberapa kecamatan yang ada Bantul. Bantul: Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul;
di Kabupaten Bantul sehingga jumlah sampel menjadi 2012.
lebih besar. 15. Aritonang, Evawany. Kebutuhan gizi ibu hamil. Bogor:
IPB Press; 2010.
16. Krisnawati N. Hubungan tingkat konsumsi pada ibu hamil
RUJUKAN
dengan kekurangan energi kronis ( KEK ) di Puskesmas
1. Rao KM, Balakrishna N, Arlappa N, Laxmaiah A, Wonoayu Kabupaten Sidoarjo. Surabaya: Universitas
Brahmam GN V. Diet and nutritional status of women Airlangga; 2010.
in India. J Hum Ecol 2010;29(3):165–70. 17. Hermawan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
2. Departemen Kesehatan RI. Program gizi makro. risiko kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil di
Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat Depkes; 2002. Kecamatan Cimalaka Kabupaten Sumedang. Institut
3. Kementerian Kesehatan RI. Laporan riset kesehatan Pertanian Bogor; 2006.
dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan 18. Irawan AMA, Thaha AR, Virani D. Hubungan asupan
Kesehatan Kementerian Republik Indonesia; 2013. energi dan protein dengan status IMT dan LILA ibu
4. Dinkes. Profil kesehatan Provinsi D.I.Yogyakarta tahun prakonsepsional di Kecamatan Ujung Tanah dan
2011. DIY Yogyakarta; 2012. Biringkanaya Kota Makassar. Universitas Hasanuddin;
5. Ausa ES, Jafar N, Indriasari R. Hubungan pola makan 2013.
dan status sosial ekonomi dengan kejadian KEK pada 19. Nahar S, Mascie-Taylor CGN, Begum HA. Impact of
ibu hamil di Kabupaten Gowa tahun 2013. Universitas targeted food supplementation on pregnancy weight gain
Hasanuddin; 2013. and birth weight in rural Bangladesh: an assessment of
6. Bendich A. Handbook of nutrition and pregnancy. New the Bangladesh Integrated Nutrition Program (BINP).
Jersey: Humana Press; 2008. Journal Public Health Nutrition. 2009 Aug [cited 2013
7. Almatsier S. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: Gramedia Oct 4];12(8):1205–12. Available from: http://www.ncbi.
Pustaka Utama; 2003. nlm.nih.gov/pubmed/18838027
8. Waryono. Gizi reproduksi. Yogyakarta: Pustaka 20. Ginting HM. Hubungan Tingkat asupan energi dan protein
Rihana; 2010. dengan status gizi ibu hamil di Kelurahan Purwoyoso
9. Gibson. Principle of nutrition assessment. New York: Kecamatan Ngaliyan. Universitas Muhammadiyah
Oxford University Press; 2005. Semarang; 2010.
10. Achadi E. Gizi kesehatan masyarakat. Depok: 21. Baliwati YF. Khoisan A, Dwiriani C. Pangan dan gizi.
Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat; 2007. Jakarta: Penebar Swadaya; 2004.
11. Priswanti. Hubungan ketersediaan pangan keluarga 22. Prihananto V, Sulaeman A, Riyadi H. Pengaruh pemberian
dan tingkat asupan energi protein, fe, asam folat, makanan tambahan terhadap konsumsi energi dan
vitamin B12 dengan kejadian kurang energi kronis protein ibu hamil. JGIZIPANGAN . 2007;2(1):16–21.
(KEK) dan anemia pada ibu hamil. Universitas 23. Simarmata M. Hubungan pola asupan, ketersediaan
Diponegoro; 2004. pangan, pengetahuan gizi dan status kesehatan dengan
12. Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan. Asupan kejadian kek pada ibu hamil di Kabupaten Simulungun.
dan kewaspadaan pangan [Internet]. 2013 [cited 2013 Universitas Sumatera Utara; 2008.
Sep 30]. Available from: http://bkpp.jogjaprov.go.id/ 24. Hadi H, Manongga S, Arjuna T, Irwanti W, Lada CO.
content/page/245/Bidang-Asupan-Dan-Kewaspadaan- Analisis tentang perilaku dan praktek konsumsi makanan/
Pangan diet pada anak dibawah 5 tahun, anak sekolah, ibu hamil
13. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bantul. dan ibu menyusui di Kabupaten Timor Tengah Selatan,
Rencana pembangunan jangka menengah daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Yogyakarta;
tahun 2011-2015. Bantul: Bappeda Bantul; 2011. 2013 p. 58–59.
158
JURNAL GIZI DAN
Rahmaniah, DIETETIK
Emy INDONESIA
Huriyati, Winda Irwanti
Vol. 2, No. 3, September 2014: 158-164
ABSTRACT
Background: Stunting was a chronic nutrition problem that still be a concern in the developing nations include
Indonesia. The direct cause of stunting was infectious disease and inadequate food intake such as energy and protein
deficiency. In Indonesia in 2010, the prevalence of stunting was 35.7%, in Yogyakarta as much as 22.5%, in Bantul
District in 2012 was 18.08% and in Sedayu Subdistrict was 30.51%.
Objective: To know the history of energy and protein intake as the risk factors of stunting in children of 6-23
months.
Method: This was an observational study with case-control design. The population were children aged 6-23 months
who lived in Sedayu Subdistrict, Bantul. The measurement energy and protein intake used a semi-quantitative food
frequency questionnaire and determination of stunting used the WHO standard anthro 2005. Samples were selected
by total sampling approachment. Data was analyzed by chi-square and logistic regression test.
Result: The result of bivariate analysis showed that birth weight and maternal height had significant association with
stunting (p<0.05). While energy and protein intake did not associated with stunting. However, there was a tendency
that children with less energy and protein intake had higher risk of stunting. Multivariate analysis showed that maternal
height was the dominant variable effect on the prevalence of stunting (OR=2.06).
Conclusion: Low energy and protein intakes were not risk factors of stunting in children 6-23 months. Maternal height
was dominant variable that influenced the stunting incidence.
ABSTRAK
Latar Belakang: Stunting merupakan masalah gizi kronis yang masih menjadi perhatian di negara berkembang
termasuk Indonesia. Penyebab langsung stunting adalah penyakit infeksi dan asupan makanan yang tidak memadai
seperti kurang energi dan protein. Di Indonesia pada tahun 2010 prevalensi stunting sebanyak 35,7%, di Daerah
Istimewa Yogyakarta sebanyak 22,5%, di Kabupaten Bantul tahun 2012 sebesar 18,08% dan Kecamatan Sedayu
30,51%.
Tujuan: Untuk mengetahui riwayat asupan energi dan protein sebagai faktor risiko stunting pada anak usia 6-23
bulan.
Metode: Jenis penelitian observasional dengan rancangan case-control. Populasinya seluruh anak usia 6-23
bulan yang ada di wilayah Kecamatan Sedayu Kabupaten Bantul. Pengukuran asupan energi dan protein dengan
menggunakan semi-quantitative food frequency questionnaire dan penentuan stunting dengan menggunakan baku
standar WHO anthro 2005. Cara pengambilan sampel adalah dengan total sampling. Analisis data menggunakan uji
chi-square dan regresi logistik.
Hasil: Berat bayi lahir dan tinggi badan ibu menunjukkan hubungan signifikan dengan kejadian stunting (p<0,05),
sedangkan riwayat asupan energi dan protein tidak berhubungan dengan stunting (p>0,05). Secara multivariat, tinggi
badan ibu merupakan variabel yang dominan berpengaruh terhadap stunting (OR=2,06).
Kesimpulan: Asupan energi dan protein yang kurang bukan merupakan faktor risiko kejadian stunting pada anak
usia 6-23 bulan. Tinggi badan ibu merupakan variabel yang dominan berpengaruh terhadap kejadian stunting.
1
Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Gizi dan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada,
Jl. Farmako, Sekip Utara Yogyakarta 55281, e-mail: niabdr@gmail.com
2
Program Studi Gizi dan Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Jl Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta 55281,
e-mail: emyhuriyati@yahoo.com
3
Program Studi S1 Ilmu Gizi, STIKES Alma Ata Yogyakarta, Jl. Ring Road Barat Daya No 1, Yogyakarta 55183, e-mail: winda_irwanti@yahoo.co.id
Riwayat asupan energi dan protein yang kurang bukan merupakan faktor risiko stunting pada anak usia 6-23 bulan 159
keluarga terhadap stunting (p>0,05). Terdapat hubungan Model 3 menunjukkan bahwa riwayat asupan energi
yang signifikan antara berat bayi lahir dan tinggi badan ibu dan protein dengan mengontrol variabel status menyusu
dengan kejadian stunting (p<0,05). Anak yang memiliki dapat memprediksi kejadian stunting (0,81%). Model 4
berat lahir rendah berisiko untuk stunting 3,02 kali lebih dan 5 menunjukkan besarnya pengaruh berat badan lahir
besar dibandingkan dengan anak yang lahir dengan berat dan tinggi badan (TB) ibu setelah diikutkan dalam analisis
lahir normal dan anak yang terlahir dari ibu yang memiliki dengan nilai R2 meningkat masing-masing sebesar 1,56
tinggi badan yang berkategori pendek berisiko stunting dan 2,11. Hal ini berarti bahwa riwayat asupan energi dan
2,03 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang protein dengan mengontrol berat badan lahir dan TB ibu
terlahir dari ibu yang memiliki tinggi badan normal. dapat memprediksi kejadian stunting 1,56% dan 2,11%.
Model 6 menunjukkan bahwa riwayat asupan energi
Faktor yang dominan berpengaruh terhadap kejadian dan protein dengan mengontrol LILA, status menyusu,
stunting berat bayi lahir dan TB ibu dapat memprediksi kejadian
stunting (4,44%). Variabel yang berhubungan (p<0,05) dan
Analisis regresi logistik (Tabel 5) bertujuan untuk
paling berpengaruh adalah TB ibu (95% CI:1,17-3,63 dan
menentukan variabel yang paling berpengaruh terhadap
OR=2,06). Tidak ada hubungan antara riwayat asupan
kejadian stunting. Model 1 menunjukkan variabel asupan
energi dan protein setelah dikendalikan oleh variabel LILA,
energi dan protein sebelum dikontrol dengan variabel
status menyusu, berat bayi lahir, dan TB ibu.
luar yang dapat memprediksi kejadian stunting (0,21%).
Meskipun tidak terdapat hubungan antara asupan energi
dan protein, terdapat kecenderungan bahwa anak yang BAHASAN
kekurangan energi dan protein lebih berisiko terhadap
Hubungan antara riwayat asupan energi dan protein
stunting (OR=1,09 dan OR=1,31). Model 2 menunjukkan
dengan stunting
besarnya pengaruh LILA terhadap nilai R2 yang meningkat
menjadi 0,68. Hal ini berarti bahwa riwayat asupan energi Hasil uji (Tabel 5) menunjukkan bahwa tidak terdapat
dan protein dengan mengontrol variabel LILA ibu saat hamil hubungan yang signifikan antara riwayat asupan energi
dapat memprediksi kejadian stunting senilai 0,68%. dan protein dengan kejadian stunting (p>0,05). Hal ini
162 Rahmaniah, Emy Huriyati, Winda Irwanti
karena rata-rata asupan energi dan protein anak sudah meneliti tentang analisis pengaruh perilaku keluarga sadar
tercukupi (energi >70% AKG dan protein >80% AKG) gizi terhadap stunting pada balita di Provinsi Kalimantan
(Tabel 3) dan diduga pula disebabkan anak kekurangan zat Barat yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan
gizi mikro yang juga berperan dalam proses pertumbuhan, antara konsumsi protein dan status infeksi terhadap
seperti zink dan vitamin A. Vitamin A berperan dalam kejadian stunting balita, namun terdapat hubungan antara
proses sintesis protein, sehingga berpengaruh terhadap perilaku KADARZI dengan stunting balita (21).
pertumbuhan sel. Pada anak-anak yang kekurangan Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian
vitamin A, terjadi kegagalan pertumbuhan, sedangkan zink yang dilakukan di panti sosial se-DKI dan Tangerang
berperan dalam berbagai aspek metabolisme termasuk tentang hubungan konsumsi energi dan status gizi
metabolisme vitamin A dan diantara tanda kekurangan zink anak umur 6-18 bulan. Pada penelitian tersebut, anak
adalah adanya gangguan pertumbuhan (18). Akan tetapi dengan asupan energi kurang mempunyai risiko 1,7
dalam penelitian ini tidak diteliti tentang zat gizi mikro, kali menjadi gizi kurang pada indeks TB/U dan 2,2 kali
sehingga tidak dapat dilihat hubungannya dengan kejadian pada indeks BB/U (14). Hasil penelitian di Afrika Utara
stunting pada anak di Kecamatan Sedayu. juga menyimpulkan bahwa tingginya persentase stunting
Penelitian ini sejalan dengan penelitian di Kabupaten menunjukkan bahwa terjadi kekurangan pangan secara
Cianjur tentang hubungan antara asupan gizi dan kronis dan dilaporkan pula bahwa terdapat defisiensi
tinggi badan ibu dengan status gizi anak balita, yang asupan gizi anak yang berupa energi dan beberapa
mengemukakan bahwa tidak ada hubungan signifikan asupan lainnya seperti kalsium, seng, selenium, yodium,
antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi balita niasin, vitamin B6, folat, pantotenat, biotin, vitamin C, D,
berdasarkan indikator TB/U (19). Hal ini juga sejalan dan E (8). Sementara penelitian di Kabupaten Pati tentang
dengan penelitian tentang karakteristik anak balita dengan prevalensi dan determinan kejadian gizi kurang pada
status gizi akut dan kronis di perkotaan dan pedesaan di balita mengemukakan bahwa faktor yang berhubungan
Indonesia, yang menyimpulkan bahwa variabel yang tidak dengan status gizi adalah konsumsi energi dan konsumsi
berhubungan dengan status gizi kronis di perkotaan adalah protein di samping penyakit infeksi, tingkat pengetahuan,
konsumsi energi dan konsumsi protein, sedangkan yang tingkat pendidikan, dan pendapatan (22). Hasil penelitian
berhubungan adalah pekerjaan orang tua, pendidikan di Kabupaten Bogor juga mengemukakan bahwa asupan
orang tua, status ekonomi orang tua, dan tinggi badan protein dan status gizi saat lahir mempengaruhi stunting
orang tua (20). Hal ini sejalan pula dengan penelitian yang pada anak usia 12 bulan, dikemukakan pula bahwa bayi
Riwayat asupan energi dan protein yang kurang bukan merupakan faktor risiko stunting pada anak usia 6-23 bulan 163
yang lahir dari ibu dengan konsumsi protein kurang dari terjadi karena adanya kekurangan gizi saat ibu hamil
rata-rata pada trimester kedua mempunyai risiko 1,6 kali sehingga melahirkan anak BBLR dan selanjutnya tidak
mengalami stunting pada usia 12 bulan (23). dapat mencapai pertumbuhan yang optimal. Efek berat
lahir terhadap stunting terbesar terdapat pada usia 6 bulan
Determinan stunting lainnya awal kemudian menurun hingga usia 2 tahun. Apabila
pada 6 bulan awal, balita dapat melakukan percepatan
Secara umum, terdapat dua faktor utama yang
pertumbuhan maka ada kemungkinan balita dapat tumbuh
berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak yaitu faktor
dengan tinggi badan normal (27).
genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik merupakan
modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh
kembang anak, sementara faktor lingkungan merupakan KESIMPULAN DAN SARAN
faktor yang sangat menentukan tercapai atau tidaknya
potensi bawaan. Faktor lingkungan secara garis besar Riwayat asupan energi dan protein yang kurang
terdiri atas faktor lingkungan yang mempengaruhi anak bukan merupakan faktor risiko stunting pada anak
pada waktu masih di dalam kandungan yang disebut usia 6-23 bulan di Kecamatan Sedayu. Faktor risiko
faktor pranatal dan faktor lingkungan yang mempengaruhi stunting adalah berat bayi lahir dan tinggi badan ibu,
tumbuh kembang anak setelah lahir yang disebut faktor sehingga disarankan bagi petugas kesehatan agar dapat
postnatal (24). mengoptimalkan perannya dalam melakukan pelayanan
Hasil analisis (Tabel 4) menunjukkan bahwa yang gizi berupa pemberian tablet Fe, pemberian makanan
berhubungan terhadap kejadian stunting adalah berat tambahan (PMT) ibu hamil, dan edukasi gizi terhadap
badan lahir dan tinggi badan ibu. Hasil analisis multivariat pasangan usia subur (PUS) agar dapat mempersiapkan
menghasilkan variabel yang dominan berpengaruh diri saat pranatal yang pada akhirnya akan mengurangi
terhadap stunting di Kecamatan Sedayu adalah TB ibu. risiko kejadian berat lahir rendah. Bagi peneliti yang
Hasil ini sejalan dengan penelitian di Kecamatan Semarang tertarik dengan penelitian serupa, disarankan meneliti
Timur tentang faktor risiko kejadian stunting pada anak usia asupan gizi mikro. Hal ini karena status gizi tidak hanya
2-3 tahun, yang mengemukakan bahwa tinggi badan ayah dipengaruhi oleh gizi makro tetapi terdapat beberapa jenis
tidak terbukti menjadi faktor risiko stunting (25). Selain gizi mikro yang turut berperan dalam proses pertumbuhan
pendidikan ayah, TB ibu juga berhubungan dengan status anak.
stunting dari normal menjadi stunting (26), faktor genetik
TB ayah tidak berhubungan dengan kejadian stunting, RUJUKAN
tetapi kejadian stunting berhubungan dengan TB ibu yang
pendek (27). TB ibu dapat memprediksi kejadian stunting 1. Bappenas. Laporan pencapaian tujuan pembangunan
(2,11%). Ibu yang berpostur pendek lebih berpeluang untuk milenium di Indonesia [Internet]. 2014 [cited 2014 Jan
melahirkan anak yang stunting dibandingkan ibu yang 20]. Available from: www.bappenas.go.id
berpostur normal atau dengan kata lain gen ibu punya 2. London School of Hygiene and Tropical Medicine.
kontribusi terhadap kejadian stunting. Meskipun faktor- Types of malnutrition [Internet]. 2009 [cited 2013 Jun
faktor yang berpengaruh terhadap tinggi badan ibu tidak 19]. Available from: http://conflict.lshtm.ac.uk
diteliti, namun secara sendiri maupun bersamaan variabel 3. UNICEF. Tracking progress on child and maternal
TB ibu berhubungan dengan kejadian stunting pada anak. nutrition [Internet]. 2009 [cited 2013 Jun 24]. Available
Orang tua pendek dikarenakan gen dalam kromosom from: http://www.childinfo.org
yang membawa sifat pendek akan berpeluang besar 4. Dewey K, Begum K. Long-term consequences of
untuk menurunkan sifat pendek tersebut kepada anaknya. stunting in early life. Matern Child Nutr. 2011;7(3):5–
Namun demikian, jika sifat pendek orang tua disebabkan 18.
oleh nutrisi maupun patologis, maka sifat pendek tersebut 5. Black R, Victora C, Walker S, Bhutta Z, Christian P,
tidak akan diturunkan kepada anaknya (19). de Onis M, et al. Maternal and child undernutrition
Secara umum, faktor genetik bukan sebagai and overweight in low-income and middle-income
penyebab utama kejadian stunting. Hal ini karena selain countries. Lancet. 2013;382(9890):427–51.
faktor genetik, kejadian stunting juga berhubungan dengan 6. Why stunting matters. Alive Thrive. A T Tech Br.
interaksi antara genetik dan lingkungan (27). Selain faktor 2010;2:1–7.
genetik, faktor lingkungan pranatal dan postnatal juga 7. Nurlindah A. Gizi dalam siklus daur kehidupan seri
berpengaruh dalam tumbuh kembang anak (24). Hasil baduta. Yogyakarta: Penerbit Andi; 2013.
analisis multivariat menunjukkan berat lahir anak dapat 8. Oldewage T, Dicks E, Napier C. Poverty, household
memprediksi kejadian stunting (1,56%). Jadi terdapat food insecurity and nutrition: coping strategies in an
hubungan antara berat bayi lahir dengan kejadian stunting. informal settlement in the Vaal Triangle, South Africa.
Anak yang lahir dengan berat lahir rendah umumnya J Public Heal. 2006;120(9):795–804.
164 Rahmaniah, Emy Huriyati, Winda Irwanti
9. Tessema M, Belachew T, Ersino G. Feeding patterns and 18. Almatsier S. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: Gramedia
stunting during early childhood in rural communities of Pustaka Utama; 2005.
Sidama, South Ethiopia. Pan Afr Med J. 2013;14:75. 19. Hanum F, Khomsan A, Heryatno Y. Hubungan asupan
10. Nti C. Dietary diversity is associated with nutrient gizi dan tinggi badan ibu dengan status gizi anak balita.
intakes and nutritional status of children in Ghana. JGIZIPANGAN. 2014;9(1):1–6.
AJMS. 2011;2:105–9. 20. Fuada N, Muljati S, Hidayat T. Karakteristik anak balita
11. Azwar A. Kecenderungan masalah gizi dan tantangan dengan status gizi akut dan kronis di perkotaan dan
di masa datang [Internet]. series online. 2004 [cited perdesaan, di Indonesia (RISKESDAS 2010). JEK.
2013 Jun 28]. Available from: http://gizi.depkes.go.id 2011;10(3):168–79.
12. Kemenkes RI. Riset kesehatan dasar. Jakarta: 21. Hariyadi D, Ekayanti I. Analisis pengaruh perilaku sadar
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan gizi terhadap stunting di Provinsi Kalimantan Barat. J
Kementerian Kesehatan RI; 2010. Teknol dan Kejuru. 2011;34(1):71–80.
13. Asrar M, Hadi H, Boediman D. Hubungan pola asuh, 22. Lutviani E, Budiono R. Prevalensi dan determinan
pola makan, asupan zat gizi dengan status gizi anak kejadian gizi kurang pada balita. JKM. 2010;5(2):138–
balita masyarakat Suku Naulu di Kecamatan Amahai 44.
Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku. J Gizi Klin 23. Ernawati F, Rosmalina Y, Permanasari Y. Pengaruh
Indones. 2009;6(2):84–94. asupan protein ibu hamil dan panjang badan bayi lahir
14. Rahmat M. Hubungan konsumsi dan status gizi anak terhadap kejadian stunting pada anak usia 12 bulan di
umur 6-18 bulan di panti asuhan sosial anak se- Kabupaten Bogor. PGM. 2013;36(1):1–11.
DKI Jakarta dan Tangerang. Info Pangan dan Gizi. 24. Soetjiningsih. Tumbuh kembang anak. Jakarta: EGC;
2000;11(1):15. 2012.
15. Anh V, Chompikul J, Isaranurug S. Relationship 25. Kusuma K, Nuryanto. Faktor resiko kejadian stunting
between stunting and food provided to children aged pada anak usia 2-3 tahun (studi di Kecamatan
from 6 to 24 months in Soc Son District, Hanoi, Semarang Timur). JNC. 2012;2(4):523–30.
Vietnam. J Pub Heal Dev. 2009;7(3):43–58. 26. Sri L. Hubungan tinggi badan orang tua dengan
16. Onis Md, Blo M, Borghi E. Prevalence and trends of perubahan status stunting dari usia 6-12 bulan ke usia
stunting among pre-school children 1990–2020. Public 3-4 tahun. Universitas Gadjah Mada; 2011.
Heal Nutr. 2011;1–7. 27. Yulidasari F. Makanan pendamping air susu ibu (MP-
17. Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul. Laporan ASI) sebagai faktor risiko kejadian stunting pada anak
Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul. Bantul: Dinas usia 6-24 bulan di Kota Yogyakarta. Universitas Gadjah
Kesehatan Kabupaten Bantul; 2012. Mada; 2013.
JURNALPolaGIZI
makanDAN
danDIETETIK makan tidak berhubungan dengan kekurangan energi kronis pada ibu hamil di Kecamatan Sedayu, Bantul 165
pantangan INDONESIA
Vol. 2, No. 3, September 2014: 165-173
ABSTRACT
Background: Chronic energy deficiency (CED) is a chronic malnutrition in calorie and protein that become a nutritional
problem in pregnant women. Prevalence of CED in Indonesia in 2013 is 23.4% and Sedayu Subdistrict is 11.4%. Impact of
CED in pregnant women is the risk of low birth weight and its relationship with increase chronic desease in the future. Dietary
pattern and food taboo are factor risks of nutritional problem of pregnant women.
Objective: To analyze association between dietary pattern and food taboo with chronic energy deficiencies in pregnant women
in Sedayu Subdistrict, Bantul,Yogyakarta.
Method: This was an observational study with cross sectional design with approachment in quantitative and qualitative.
Qualitative method used focus group disscussion (FGD) with 14 CED and non CED in pregnant women. Samples were
201 pregnant women in Sedayu Subdisctrict that were collected by total sampling methods. This research was held in April
until June 2014. Data were analyzed using univariate analysis (descriptive), bivariate (chi-square and Mann Whitney), and
multivariate (multiple logistic regression). Intake of energy and carbohydrate was analyzed by using nutrisurvey software.
Result: Chi-square showed that there was no significant association between dietary pattern and food taboo with CED in
pregnant women (p>0.05). A number of 17.91% pregnant women had the risk of CED, 20.99 % had less of source prime energy,
and 20.22% had food taboo. Food taboo is food that rich in protein, vitamin and mineral (fruit and vegetable) and energy.
Conclusion: There was no significant association between dietary pattern and food taboo with CED in pregnant women.
KEYWORDS: dietary pattern, food taboos, pregnant women, chronic energy deficiencies
ABSTRAK
Latar Belakang: Kekurangan energi kronis (KEK) merupakan keadaan kekurangan zat gizi terutama energi dan
protein yang masih menjadi masalah gizi pada ibu hamil. Prevalensi KEK di Indonesia tahun 2013 sebesar 23,4 % dan
Kecamatan Sedayu sebesar 11,4% masih merupakan masalah kesehatan. Ibu hamil yang KEK berisiko melahirkan
bayi dengan berat badan rendah dan meningkatkan risiko penyakit kronis di masa depan. Pola makan dan pantangan
makan merupakan salah satu faktor risiko dari masalah gizi ibu hamil.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara pola makan dan pantangan makan dengan kejadian KEK pada ibu hamil di
Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta.
Metode: Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan rancangan cross sectional dengan pendekatan
kuantitatif dan kualitatif. Sampel pada penelitian ini adalah seluruh ibu hamil yang berada di Kecamatan Sedayu
Kabupaten Bantul. Metode kualitatif dengan menggunakan focus group disscussion (FGD) kepada kelompok ibu hamil
yang KEK dan tidak KEK yang berjumlah 14 orang. Penelitian kuantitatif menggunakan metode pengambilan sampel
total sampling, yang berjumlah 201 orang ibu hamil. Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga Juni 2014. Data
dianalisis dengan menggunakan analisis univariat (deskriptif), bivariat (chi-square dan Mann Whitney) dan multivariat
(regresi logistik). Data asupan energi dan protein dianalisis dengan menggunakan software Nutrisurvey.
Hasil: Hasil uji chi-square menunjukkan tidak ada hubungan antara pola makan dan pantangan makan dengan kejadian
KEK pada ibu hamil (p>0,05). Sebanyak 17,91% ibu hamil berisiko KEK, 20,99% diantaranya mempunyai pola makan
pokok (nasi) yang kurang dan 20,22% masih mempunyai pantangan makan. Makanan yang dipantang yaitu makanan
sumber protein, sumber vitamin dan mineral (buah dan sayur), dan bahan makanan sumber energi.
Kesimpulan: Pola makan dan pantangan makan pada ibu hamil tidak berhubungan dengan kejadian KEK.
1
Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Gizi dan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada,
Jl. Farmako, Sekip UtaraYogyakarta 55281, e-mail: oktri_suprin@yahoo.co.id
2
Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito, Jl. Kesehatan No 1, Yogyakarta, e-mail: juffrie@indosat.net.id
3
Program Studi S1 Ilmu Gizi, STIKES Alma Ata Yogyakarta, Jl. Ring Road Barat Daya No 1, Yogyakarta 55183, e-mail: dewi.astiti@gmail.com
166 Oktriyani, Muhammad Juffrie, Dewi Astiti
HASIL KEK pada ibu hamil, variabel bebas yaitu pola makan dan
pantangan makan, variabel antara yaitu tingkat asupan
Karakteristik subjek penelitian
energi, tingkat asupan protein, penyakit infeksi dan variabel
Analisis univariat digunakan dalam penelitian ini luar yaitu ketersediaan pangan, tingkat pengetahuan,
untuk mendeskripsikan distribusi frekuensi dan distribusi tingkat pendapatan keluarga, dan umur kehamilan dapat
karakteristik responden. Karakteristik variabel yang dilihat pada Tabel 1.
dianalisis univariat meliputi variabel terikat yaitu risiko Berdasarkan Tabel 1 tersebut dapat dilihat bahwa
sebanyak 17,91% ibu hamil mengalami KEK. Ibu hamil
Tabel 1. Distribusi karakteristik responden yang mempunyai pola makan yang baik sejumlah 59,70%
dan tidak terdapat pantangan makan sejumlah 55,72%.
Variabel n % Sebagian besar ibu hamil mempunyai tingkat asupan
Status gizi
energi yang cukup (70,65%), tingkat asupan protein
KEK (LILA < 23,5 cm) 36 17,91
Tidak KEK (LILA ≥ 23,5 cm) 165 82,09 yang rendah (58,71%), tidak mempunyai penyakit infeksi
Pola makan (71,14%), dan berada dalam kondisi terjamin ketersediaan
Tidak baik (< 2 kali & jumlah kurang) 3 1,5 pangannya (83,58%). Tingkat pengetahuan ibu hamil
Kurang baik (≥ 2 kali & jumlah kurang atau 78 38,80 sebagian besar berada pada kategori kurang (73,63%),
<2 kali & cukup) pendapatan keluarga yang rendah (56,22%), dan berada
Baik (≥ 2 kali & cukup) 120 59,70
pada umur kehamilan trimester 3 (69,65%).
Pantangan makan
Ada 89 44,28 Gambar 1 merupakan gambaran distribusi pola
Tidak ada 112 55,72 makan subjek pada penelitian ini terkait frekuensi makan
Tingkat asupan energi (kkal) dan jumlah makanan pokok per harinya. Sebagian besar
Rendah (<70% AKG) 59 29,35 subjek memiliki pola makan yang baik yaitu dengan
Cukup (≥70% AKG) 142 70,65 frekuensi ≥2 kali per hari dan jumlah berat makanan pokok
Tingkat asupan protein (g) yang dikonsumsi ≥ nilai median (400 g). Frekuensi makan
Rendah (<90% AKG) 118 58,71
Cukup (≥90% AKG) 83 41,29 pokok subjek dalam sehari bervariasi dari 1 sampai 6 kali
Penyakit infeksi sehari, sedangkan jumlah berat makanan pokok yang
Ada 58 28,86 dikonsumsi subjek dalam sehari yang paling rendah adalah
Tidak ada 143 71,14 50 gram dan tertinggi adalah 1.000 gram.
Ketersediaan pangan Hasil analisis bivariat untuk membuktikan hubungan
Rawan kelaparan tingkat berat 6 2,99 antara pola makan dan status gizi ibu hamil dapat dilihat
Rawan kelaparan tingkat sedang 7 3,48
Rawan tanpa kelaparan 20 9,95
pada Tabel 2.
Terjamin 168 83,58 Berdasarkan Tabel 2 didapatkan bahwa pada
Tingkat pengetahuan kelompok ibu hamil yang KEK, persentasi pola makan
Kurang 148 73,63 yang kurang lebih tinggi dari pola makan yang baik masing-
Cukup 53 26,37 masing sebesar 20,99% dan 15,83%. Dari uji statistik
Tingkat pendapatan keluarga didapatkan nilai p>0,05 yang menunjukkan tidak terdapat
Rendah (≤ median, 2.000.000) 113 56,22
hubungan yang signifikan antara pola makan dengan
Tinggi (>median, 2.000.000) 88 43,78
Umur kehamilan
status gizi ibu hamil.
Trimester 1 4 2,00 Hubungan antara pantangan dan status gizi ibu hamil
Trimester 2 57 28,35 dapat dilihat pada Tabel 3.
Trimester 3 140 69,65
A B
0,50% 1,50%
2,50%
1 kali
14,90% 14,40% 40,30%
2 kali tinggi (≥ 400 gr)
4 kali
5 kali
59,70%
6 kali
66,20%
Gambar 1. Distribusi frekuensi (A) dan jumlah makan pokok ibu hamil (B)
168 Oktriyani, Muhammad Juffrie, Dewi Astiti
6,52%
6,52%
Tabel 3. Analisis bivariat pantangan makan dengan status 13,04%
13,04%
gizi ibu hamil Hewani
Hewani
Tabel 5. Alasan dan sumber informasi yang mempengaruhi ibu hamil dalam menghindari
makanan tertentu
Tabel 6. Hubungan variabel antara dan luar dengan dengan kejadian KEK pada ibu hamil
(Tabel 4). Banyak alasan ibu hamil dalam menghindari nilai R2 yang paling besar, mempunyai nilai deviance yang
keempat makanan tersebut dan sumber informasi (Tabel paling kecil dan sudah mempertimbangkan variabel yang
5). lain di dalam analisis. Dengan demikian, dapat disimpulkan
Berdasarkan Tabel 6 tersebut dapat dilihat bahwa bahwa variabel yang bisa mempengaruhi terjadinya KEK
ada tiga variabel yang mempunyai hubungan yang pada ibu hamil yaitu tingkat asupan energi dan tingkat
signifikan secara statistik terhadap variabel terikat yaitu pendapatan keluarga.
variabel tingkat asupan energi, ketersediaan pangan, dan
tingkat pendapatan. Variabel luar yang lain yaitu tingkat
BAHASAN
asupan protein, penyakit infeksi, tingkat pengetahuan,
dan umur kehamilan tidak berpengaruh secara signifikan Pola makan dengan kejadian KEK
terhadap variabel terikat.
Pola makan merupakan gambaran mengenai
Pada Tabel 7 menunjukkan hubungan antara pola
jumlah atau porsi makan, jenis makan, dan frekuensi
makan dan pantangan makan terhadap kejadian KEK pada
makan seseorang (19). Tidak adanya hubungan antara
ibu hamil setelah dikontrol oleh variabel tingkat asupan
pola makan dengan kejadian KEK dapat disebabkan
energi, tingkat asupan protein, ketersediaan pangan, tingkat
KEK tidak hanya dipengaruhi oleh pola makan saja
pendapatan dan umur kehamilan. Model terbaik yang
melainkan banyak faktor lain. Hasil penelitian didapatkan
dipilih yaitu model 7. Model ini dipilih karena mempunyai
170 Oktriyani, Muhammad Juffrie, Dewi Astiti
Status KEK
Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Model 5 Model 6 Model 7
Variabel OR OR OR OR OR OR OR
(95 % CI) (95% CI) (95% CI) (95% CI) (95% CI) (95% CI) (95% CI)
P p p p p p p
Pola makan 1,18 0,77 1,00 1,11 1,29 1,24 0,94
Kurang 0,55-2,54 0,33-1,80 0,45-2,20 0,51-2,43 0,59-2,82 0,57-2,68 0,39-2,25
Baik 0,66 0,56 0,99 0,78 0,52 0,58 0,89
Pantangan makan 1,31 1,44 1,46 1,31 1,22 1,22 1,27
Ada 0,64-2,70 0,68-3,03 0,69-3,05 0,62-2,74 0,58-2,57 0,58-2,54 0,58-2,79
Tidak ada 0,46 0,33 0,31 0,47 0,59 0,59 0,55
Tingkat asupan energi 3,37 3,05
Rendah 1,50-7,57 1,18-7,92
Cukup 0,00* 0,02*
Tingkat asupan protein 2,17 1,04
Rendah 0,95-4,92 0,39-2,80
Cukup 0,06 0,93
Ketersediaan pangan 2,83 2,00
Tidak terjamin 1,22-6,58 0,79-5,05
Terjamin 0,01* 0,14
Tingkat pendapatan 3,31 2,94
Rendah 1,42-7,74 1,19-7,25
Tinggi 0,00* 0,01*
Umur kehamilan 1,82 1,97
Berisiko 0,85-3,88 0,88-4,42
Tidak berisiko 0,12 0,09
R 2
0,004 0,050 0,023 0,033 0,050 0,016 0,120
Log likelihood -94,0909 -89,6831 -92,250 -91,353 -89,688 -92,895 -83,138
N 201 201 201 201 201 201 201
bahwa variabel lain yang mempengaruhi terjadinya pokok ≥400 gram yaitu sebesar 59,70%. Konsumsi
KEK pada ibu hamil yaitu tingkat asupan energi, tingkat makanan pokok per hari yang dianjurkan sebesar 300
ketersediaan pangan, dan tingkat pendapatan keluarga. sampai 500 gram (20).
Hasil analisis multivariat didapatkan bahwa variabel
yang mempengaruhi terjadinya KEK pada ibu hamil Pantangan makan dengan kejadian KEK
yaitu tingkat asupan energi dan tingkat pendapatan.
Makanan yang dikonsumsi manusia digunakan untuk
Hal ini sesuai teori yang menyatakan bahwa status gizi
mempertahankan kelangsungan hidupnya, tetapi ada yang
seseorang secara langsung dipengaruhi oleh asupan
beranggapan bahwa satu atau beberapa makanan dianggap
energi (13).
berbahaya bagi yang memakannya. Pantangan makan
Faktor lain yang mempengaruhi tidak adanya
merupakan perilaku seseorang untuk tidak mengonsumsi
hubungan antara pola makan dan kejadian KEK yaitu
makanan tertentu (14). Penelitian lain mendapatkan bahwa
dalam analisis tidak mempertimbangkan golongan
ada hubungan yang signifikan antara budaya pantang makan
makanan lain yang memberikan kontribusi terhadap
dengan kejadian KEK (24). Berdasarkan hasil penelitian
jumlah Kalori, sedangkan dalam perhitungan asupan
ini didapatkan bahwa pantangan makan tidak mempunyai
energi seseorang memasukan semua jenis makanan yang
hubungan yang signifikan terhadap kejadian KEK dengan
lain yang masing-masing berkontribusi terhadap jumlah
p>0,05 (p=0,44).
kalori (19,20). Frekuensi makan juga berkaitan dengan
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
pemenuhan kebutuhan zat gizi yang dibutuhkan oleh
yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang
tubuh. Pada ibu hamil, pola makan yang dianjurkan bagi
signifikan antara pantangan makan dengan kejadian
ibu hamil yaitu porsi makan yang kecil tapi sering minimal
KEK pada ibu hamil di Kabupaten Banjarnegara (25).
lima kali sehari (3,21,22,23). Jumlah atau porsi makan
Penelitian lain mengenai pola konsumsi makan ibu
yang dikonsumsi seseorang mempengaruhi zat gizi yang
hamil di Jawa Tengah mendapatkan bahwa pantangan
masuk ke dalam tubuh. Hasil penelitian menunjukkan
makan berpengaruh terhadap konsumsi bahan makanan
bahwa sebagian besar ibu hamil mengonsumsi makanan
Pola makan dan pantangan makan tidak berhubungan dengan kekurangan energi kronis pada ibu hamil di Kecamatan Sedayu, Bantul 171
sumber protein, tetapi tidak berpengaruh secara signifikan berakibat kepada pembatasan jenis makanan yang akan
terhadap zat gizi energi (26). dimakan ibu hamil dan pada akhirnya akan mempengaruhi
Tidak terdapatnya hubungan yang signifikan antara asupan gizi jika terjadi pengurangan konsumsi makan dan
pantangan makan dengan KEK pada ibu hamil disebabkan tidak punya makanan pengganti (34).
jenis makanan yang dipantang oleh ibu hamil merupakan
makanan yang mempunyai kontribusi energi yang kecil Variabel luar dengan kejadian KEK
dan tidak mempunyai zat gizi yang tinggi yang dapat Hasil analisis bivariat variabel luar pada Tabel
mempengaruhi status gizi pada ibu hamil. Makanan pokok 3 menunjukkan bahwa variabel luar yang mempunyai
yang dipantang ibu hamil yaitu roti, tape, dan mie instan. hubungan yang signifikan terhadap kejadian KEK yaitu
Makanan sumber protein yang dipantang yaitu ikan lele, tingkat asupan energi, ketersediaan pangan, dan tingkat
jeroan, daging, ikan, udang. Makanan sumber vitamin dan pendapatan. Adapun variabel yang tidak mempunyai
mineral yaitu sayuran (daun pepaya dan pare) merupakan hubungan yang signifikan terhadap kejadian KEK,
makanan yang banyak dipantang oleh ibu hamil baik yang yaitu tingkat asupan protein, penyakit infeksi, tingkat
KEK maupun yang tidak KEK. Hal lain yang menyebabkan pengetahuan, dan umur kehamilan.
perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian lain yaitu Asupan energi merupakan zat gizi yang penting
pantangan makan yang berbeda. dalam terjadinya KEK. Sesuai dengan definisi KEK itu
Jika dilihat dari jenis pantangan makan yang sendiri yaitu suatu kondisi terjadi kekurangan asupan
terdapat pada ibu hamil di daerah Sedayu, Bantul energi dibanding kebutuhan. Hal ini sejalan dengan
mempunyai korelasi jauh dengan KEK. Akan tetapi, penelitian yang menyatakan bahwa terdapat hubungan
hal ini bisa dimungkinkan karena tidak ada makanan yang signifikan antara pola makan dari asupan energi
yang lain yang tersedia di dalam rumah tangga. Hal ini dan ketersediaan pangan dengan kejadian KEK pada
menunjukkan terdapat hubungan yang erat kaitannya ibu hamil di daerah Sumatera Utara (37). Penyakit
dengan tingkat kesejahteraan. Daftar jenis makanan dan infeksi berpengaruh terhadap status gizi seseorang dan
minuman yang dipantang ibu hamil dapat dilihat pada juga sebaliknya. Pada penelitian ini penyakit infeksi
Tabel 4. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa ada yang dimaksud adalah diare, demam, dan batuk. Hasil
pantangan yang baik dan ada pantangan yang tidak baik. analisis didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
Sebagian besar makanan yang tidak baik dipantang karena signifikan antara penyakit infeksi dengan kejadian KEK
merupakan makanan yang bergizi tinggi dan baik untuk pada ibu hamil. Hal ini mungkin disebabkan penyakit
dikonsumsi ibu hamil. Adapun makanan dan minuman infeksi yang masuk pada penelitian ini pada umumnya
yang memang sebaiknya dipantang oleh ibu hamil yaitu tidak membutuhkan waktu pemulihan yang lama sehingga
makanan yang mengandung gas (durian, tape), makanan tidak begitu berpengaruh terhadap status gizi ibu hamil.
yang mengandung pengawet (mie instan, sarden kaleng), Pengetahuan merupakan hasil seseorang melakukan
dan minuman yang memberikan efek negatif (minuman pengindraan terhadap suatu objek tertentu yang diorganisir
beralkohol, bersoda, teh, kopi, jamu). Baik kopi dan teh dengan pengalaman. Pengetahuan tentang gizi akan
mengandung kafein yang bisa memberikan dampak negatif membantu seseorang dalam memilih bahan makanan yang
jika dikonsumsi berlebihan. Konsumsi teh, kopi, alkohol, akan dikonsumsinya. Pada penelitian didapatkan tidak
bersoda, dan jamu memberikan dampak negatif bagi terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan
kesehatan (27,28,29,30). dengan kejadian KEK pada ibu hamil. Hal ini dikarenakan
Pantangan makan masih banyak terdapat di berbagai pengetahuan dipengaruhi oleh berbagai hal dalam proses
belahan dunia, baik di luar negeri maupun dalam negeri. pembentukannya, seperti persepsi, pengalaman, nilai
Hal ini terjadi karena banyak kepercayaan, kebiasaan, sosial budaya, dan masyarakat (38).
dan adat istiadat yang berhubungan dengan soal makan Tingkat pendapatan mempengaruhi konsumsi
dan makanan. Setiap suku bangsa mempunyai cara-cara makanan pada keluarga. Keluarga yang mempunyai
sendiri dalam hal makanan yang dipilihnya dan memberikan pendapatan tinggi lebih mampu menyediakan pilihan
konsekuensi terhadap status gizi (31,32,33). Masalah gizi makanan yang bergizi untuk keluarganya dibanding
juga dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan yang keliru keluarga yang berpenghasilan rendah. Penelitian ini
mengenai hubungan antara makanan dengan kesehatan, mendapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
pantangan yang mencegah seseorang memanfaatkan antara tingkat pendapatan dengan kejadian KEK.
sebaik-baiknya makanan yang tersedia baginya (34,35,36). Hasil ini sejalan dengan penelitian di Bangladesh yang
Berpantang terhadap makanan tertentu tidak menjadi menunjukkan bahwa wanita usia subur yang tinggal di
masalah jika sesuai dengan kondisi kesehatan ibu hamil daerah pedalaman yang mempunyai pendapatan keluarga
dan anjuran dokter. Berbeda jika makanan yang dipantang yang rendah mempunyai status gizi yang lebih rendah
tidak berhubungan dengan kondisi ibu, dan makanan yang dibanding dengan wanita yang mempunyai pendapatan
dipantang mempunyai zat gizi yang tinggi. Hal ini bisa keluarga yang lebih tinggi (36).
172 Oktriyani, Muhammad Juffrie, Dewi Astiti
Pola makan ibu hamil juga dipengaruhi oleh umur 5. Shrimpton R, Kachondham Y. Analysing the causes of
kehamilan. Ibu hamil muda trimester 1 yang nafsu child stunting in DPRK. Pyongyang: DPRK; 2003.
makannya menurun cenderung untuk makan lebih sedikit. 6. Lewit E, Kerrebrock N. Population-based growth
Akibatnya, zat gizi yang masuk di dalam tubuh akan stunting. Summer fall. 1997;7(2):149–56.
sedikit. Memasuki trimester 2, kondisi ibu hamil sudah 7. Venkaiah K, Brahmam, Vijayaraghavan. Application of
mulai stabil sehingga asupan makan lebih banyak untuk factor analysis to identify dietary patterns and use of
mengejar berat badan yang turun pada trimester 1. Oleh factor scores to study their relationship with nutritional
karena itu, risiko terjadinya KEK pada ibu hamil lebih status of adult rural populations. J Heath Popul Nutr.
tinggi pada trimester 1 dan 2, dan jarang pada trimester 2011;29(4):327–38.
3. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang didapatkan 8. Rao K, Balakhrisna M, Arlappa N, Laxmaiah A,
bahwa persentase kelompok ibu hamil yang KEK berada Brahmam G. Diet and nutritional status of woman in
pada trimester 1 dan 2 lebih tinggi dibanding ibu yang India. J Hum Ecol. 2010;3:165–70.
berada pada trimester 3 masing-masing sebesar 24,59% 9. Kemenkes RI. Laporan hasil riset kesehatan dasar
dan 15%. 2013. Jakarta: Badan Litbangkes RI; 2013.
10. Dinas Kesehatan Provinsi DIY. Profil kesehatan
Provinsi DI Yogyakarta 2011. Yogyakarta: Dinas
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesehatan Yogyakarta; 2011.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa tidak terdapat 11. Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul. Profil gizi
hubungan yang signifikan antara pola makan dan Kabupaten Bantul 2012. Bantul: Dinas Kesehatan
pantangan makan dengan kejadian KEK pada ibu hamil. Kabupaten Bantul; 2012.
KEK pada ibu hamil secara bersama-sama dipengaruhi 12. Fatimah, Hadju V, Bahar B, Abdullah Z. Pola
oleh tingkat asupan energi dan tingkat pendapatan konsumsi dan kadar hemoglobin pada ibu hamil di
keluarga. Pada analisis kualitatif didapatkan bahwa masih Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Makara Kesehat.
terdapat pantangan makan pada ibu hamil yaitu perilaku 2011;15(1):31–6.
negatif yang menghindari konsumsi jenis makanan 13. Soekirman. Ilmu gizi dan aplikasinya. Jakarta:
tertentu karena pengaruh budaya yang ada di masyarakat Departemen Pendidikan Nasional; 2000.
setempat. Makanan yang dipantang yaitu makanan 14. Suhardjo. Sosio budaya gizi. Bogor: Institut Pertanian
sumber protein, sumber vitamin, mineral (buah dan sayur), Bogor; 1989.
dan bahan makanan sumber energi yang berasal dari 15. Sulistyoningsih H. Gizi untuk kesehatan ibu dan anak.
makanan pokok yaitu roti dan mie instan. Yogyakarta: Graha Ilmu; 2011.
Hasil penelitian ini merekomendasikan kepada Dinas 16. Khomsan et al. Studi tentang pengetahuan gizi
Kesehatan Kabupaten Bantul untuk melakukan pendidikan ibu dan kebiasaan makan pada rumah tangga di
gizi untuk meningkatkan pengetahuan gizi kepada ibu daerah dataran tinggi dan pantai. JGIZIPANGAN.
hamil dan kader yaitu tentang pola makan yang baik dan 2006;1(1):23–8.
menu seimbang yang dibutuhkan ibu hamil dan mengubah 17. Susilo J. Hubungan antara intake zat besi , kalsium,
persepsi yang salah mengenai pantangan makan saat tanin, fitat, dan oksalat dengan kadar Hb ibu hamil di
hamil, menjalin komunikasi yang intensif kepada para Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Universitas Gadjah
tokoh masyarakat, dan sosialisasi kepada remaja agar Mada; 2000.
mempersiapkan diri pada masa prenatal dan postnatal 18. Cresswell. Research design pendekatan kualitatif,
sehingga dapat mendeteksi dini risiko kejadian KEK. kuantitatif, dan mixed edisi ketiga. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar; 2010.
19. Sediaoetama. Ilmu gizi untuk mahasiswa dan profesi
RUJUKAN
jilid II. Jakarta: Dian Rakyat; 2004.
1. Atmarita, Tatang. Analisis situasi gizi dan kesehatan 20. Almatsier S. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: Gramedia
masyarakat. Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat, Pustaka Utama; 2009.
Departemen Kesehatan; 2004. 21. Khomsan A. Pangan dan gizi jilid I. Jakarta: Raja
2. Departemen Kesehatan RI. Program gizi makro. Grafindo Persada; 2002.
Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat Depkes; 2002. 22. Kemenkes RI. Petunjuk gizi ibu hamil. Jakarta:
3. Arisman M. Gizi dalam daur kehidupan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2011.
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009. 23. Siege-Ritz et al. Frequency of eating during pregnancy
4. Black R, Victora C, Walker S, Bhutta Z, Christian P, and its effect on preterm delivery. Am J Epidemiol.
de Onis M, et al. Maternal and child undernutrition 2001;153(7).
and overweight in low-income and middle-income 24. Susanti A, Rustono, Asiyah N. Budaya pantang makan,
countries. Lancet. 2013;382(9890):427–51. status ekonomi dan pengetahuan zat gizi ibu hamil
Pola makan dan pantangan makan tidak berhubungan dengan kekurangan energi kronis pada ibu hamil di Kecamatan Sedayu, Bantul 173
pada ibu hamil trimester III dengan status gizi. JIKK. a community-based study. Afr J Reprod Health.
2013;1:1–9. 2012;(16):3.
25. Surasih H. Faktor-faktor yang berhubungan dengan 32. Lee D, Ngai I, Ng M, Lok I, Alexander, Chung T.
keadaan kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil Antenatal taboos among Chinese women in Hong
di Kabupaten Banjarnegara. Institut Pertanian Bogor; Kong. Scienedirect Midwifeny. 2009;25:104–13.
2005. 33. Alwi Q. Tema budaya yang melatarbelakangi perilaku
26. Gunawaty A. Analisis pola konsumsi makan dan status ibu-ibu penduduk asli dalam pemeliharaan kehamilan
gizi ibu hamil di Kabupaten Dati II Purworejo Propinsi dan persalinan di Kabupaten Mimika. Bul Penelit
Jawa Tengah. Universitas Gajah Mada; 2000. Kesehat. 2007;35(3):137–47.
27. Milne E, Bailey H, Scott R, Royle J, Bower C, Kirby M, 34. Baumali M. Pemenuhan zat gizi ibu nifas dalam
et al. Maternal consumption of coffee and tea during budaya se’i pada masyarakat Suku Timor Dawan di
pregnancy and risk of childhood ALL: results from an Kecamatan Molo Selatan Kabupaten Timur Tengah
Australian case–control study. Cancer Causes Control. Selatan. Universitas Gadjah Mada; 2009.
2011;22:207–18. 35. Nadesul H. Makanan sehat untuk ibu hamil. Jakarta:
28. Ethen M, Ramadhani T, Scheuerle, Canfield M, Puspa Swara; 2009.
Wyszynski D, Druschel C, et al. Alcohol consumption 36. Hartini et al. The importance of eating rice: changing
by women before and during pregnancy. Matern Child food habits among pregnant Indonesia women during
Heal J. 2009;13:274–85. the economic crisis. Soc Sci Med. 2005;61:199–
29. Chaffin M, Cohn B, Anglemyer A, Cohen R, Christianson 210.
R. Maternal smoking, alcohol, and coffee use during 37. Simarmata M. Hubungan pola asupan, ketersediaan
pregnancy and son’s risk of testicular cancer. Alcohol pangan, pengetahuan gizi dan status kesehatan
43. 2008;241e245. dengan kejadian KEK pada ibu hamil di Kabupaten
30. Torri M. Knowledge and risk perceptions of traditional Simulungun. Universitas Sumatera Utara; 2008.
jamu medicine among urban consumers. Eur J Med 38. Ahmed S, Adams A, Chowdhury A, Bhuiya A. Chronic
Plants 3. 2010;1(25-39). energy deficiency in women from rural Bangladesh:
31. Oni O, Tukur. Identifying pregnant women who some socioeconomic determinants. J biosoc Sci.
would adhere to food taboos in a rural community: 1998;30:349–58.
174
JURNALNur GIZI
AfiaDAN
Amin,DIETETIK INDONESIA
Madarina Julia
Vol. 2, No. 3, September 2014: 174-180
ABSTRACT
Background: Stunting is linear growth disturbance indicated by the value of the z-score of TB/U less than -2 SD. There
are various factors associated with the incidence of stunting. Social demographics such as low income, low parental
education and the number of members in the household, also indirectly related to the incidence of stunting. Parental
height is also associated with the incidence of stunting. Short mothers have the possibility of having short baby. The
results of the study in Egypt showed that children born from mothers with the height of <150 cm have a higher risk to
be stunted.
Objective: To determine whether sociodemographic factors and parental height were risk factors for the incidence of
stunting in children aged 6-23 months in Sedayu Subdistrict, Bantul, Yogyakarta.
Method: The design used case-control study. The research was conducted in April-June 2014 in the Sedayu Subdistrict.
Number of samples were 252 children aged 6-23 months. The instruments were a questionnaire to determine the identity
of children, the identity of respondents, nutritional status, and sociodemographic data. Infantometer used to measure
the length of the children body and microtoise to measure the height of parents. Bivariate analysis using chi-square
and multivariate logistic regression test.
Result: The prevalence of children stunting was 16.20%. Bivariate test showed that the height of mothers significantly
associated with the incidence of stunting. Multivariate analysis showed that the most influential factors to the was maternal
height, while variables of employment, education, income, expenditure, number of family members, and height of father
did not show significant results.
Conclusion: Maternal height were the risk factor for the incidence of stunting in children aged 6-23 months in Sedayu
Subdistrict, but sociodemographic were not.
ABSTRAK
Latar Belakang: Stunting merupakan gangguan pertumbuhan linier yang ditunjukkan dengan nilai skor-z TB/U kurang
dari -2SD. Terdapat berbagai macam faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting. Faktor sosial demografi, meliputi
pendapatan yang rendah, pendidikan orang tua yang rendah, dan jumlah anggota dalam rumah tangga secara tidak
langsung juga berhubungan dengan kejadian stunting. Tinggi badan orang tua juga berkaitan dengan kejadian stunting.
Ibu yang pendek memiliki kemungkinan melahirkan bayi yang pendek pula. Hasil penelitian di Mesir menunjukkan bahwa
anak yang lahir dari ibu dengan tinggi badan <150 cm memiliki risiko lebih tinggi untuk tumbuh menjadi stunting.
Tujuan: Mengetahui faktor sosiodemografi dan tinggi badan orang tua sebagai faktor risiko kejadian stunting pada balita
usia 6–23 bulan di Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta.
Metode: Desain penelitian adalah case-control. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Juni 2014 di Kecamatan
Sedayu. Besar sampel yang diambil sebesar 252 balita usia 6-23 bulan. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner
untuk mengetahui identitas balita, identitas responden, status gizi balita, dan data sosiodemografi. Infantometer
digunakan untuk mengukur panjang badan balita dan microtoise untuk mengukur tinggi badan orang tua. Analisis bivariat
menggunakan uji chi-square dan multivariat menggunakan uji regresi logistik.
Hasil : Dalam penelitian ini diketahui prevalensi kejadian stunting di Kecamatan Sedayu sebesar 16,20%. Hasil uji
bivariat menunjukkan bahwa variabel bebas yaitu tinggi badan ibu (p=0,01) menunjukkan hubungan yang signifikan
terhadap kejadian stunting. Hasil uji multivariat membuktikan bahwa variabel yang paling berpengaruh dengan stunting
1
Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Gizi dan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Jl. Farmako, Sekip Utara
Yogyakarta 55281, e-mail: ning.afiah@gmail.com
2
Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito, e-mail: madarinajulia@yahoo.com
Faktor sosiodemografi dan tinggi badan orang tua serta hubungannya dengan kejadian stunting pada balita usia 6-23 bulan 175
yaitu tinggi badan ibu. Variabel pekerjaan, pendidikan, pendapatan dan pengeluaran, jumlah anggota keluarga, dan
tinggi badan ayah tidak menunjukkan hasil yang bermakna terhadap kejadian stunting.
Kesimpulan: Faktor sosioemografi bukan merupakan faktor risiko kejadian stunting, namun tinggi badan ibu merupakan
faktor risiko kejadian stunting pada balita usia 6-23 bulan di Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta.
sebuah keluarga memiliki anak usia 6-23 bulan lebih dari anggota keluarga) terhadap kejadian stunting menunjukkan
satu orang maka anak yang dijadikan sampel penelitian bahwa tidak ada satupun variabel sosiodemografi yang
adalah anak yang lebih tua dan anak dalam keadaan bermakna terhadap kejadian stunting (Tabel 1).
sehat. Kriteria eksklusi kasus dan kontrol adalah anak Hasil uji bivariat ini menunjukkan bahwa pekerjaan
menderita menderita penyakit kongenital atau cacat fisik, ayah tidak memiliki nilai yang signifikan. Hasil analisis
anak yang sedang mengalami pemulihan dari status gizi bivariat menunjukkan bahwa variabel bebas tinggi badan
buruk, ibu atau ayah kandung telah meninggal dunia, ibu berhubungan dengan kejadian stunting (p=0,01, 95%
anak tidak tinggal bersama orang tua atau tempat tinggal CI: 1,14–3,65). Tinggi badan ayah diketahui tidak memiliki
orang tuanya sulit dijangkau. Instrumen yang digunakan nilai yang signifikan dengan kejadian stunting dengan nilai
yaitu kuesioner untuk mengetahui karakteristik keluarga (p=0,29, 95% CI: 0,76–2,33).
subjek penelitian dan wawancara mengenai faktor Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa berat badan lahir
sosiodemografi dengan kejadian stunting balita. Microtoise merupakan faktor risiko kejadian stunting dengan nilai p
yang digunakan untuk mengukur tinggi badan orang tua sebesar 0,03 dan nilai OR sebesar 3,03. Hal ini berarti anak
subjek penelitian dan infantometer dengan ketelitian 0,1 yang lahir dengan berat badan <2.500 gram akan berpeluang
cm yang digunakan untuk mengukur panjang badan anak. stunting sebesar 3,03 kali lebih besar dibandingkan anak
Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari Komisi yang lahir dengan berat badan normal. Jenis kelamin dan
Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Fakultas penyakit infeksi diketahui tidak memiliki hasil yang bermakna
Kedokteran Universitas Gadjah Mada nomor Ref: KE/ terhadap kejadian stunting (p>0,05). Nilai pengeluaran pada
FK/382/EC tahun 2014. kuartil 1 menunjukkan hubungan yang bermakna dengan nilai
p=0,02 yang artinya bahwa rumah tangga yang pengeluaran
rumah tangganya kurang dari Rp 937.704 akan berisiko
HASIL
2,67 kali lebih besar memiliki anak yang stunting dibanding
Hasil analisis bivariat variabel bebas (pendidikan kelompok rumah tangga yang pengeluaran rumah tangganya
orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan, dan jumlah lebih dari Rp 937.704.
Faktor sosiodemografi dan tinggi badan orang tua serta hubungannya dengan kejadian stunting pada balita usia 6-23 bulan 177
Pada analisis multivariat (Tabel 3) analisis regresi pengeluaran sebagai variabel luar yang diikutsertakan
model 1 menunjukkan bahwa tinggi badan ibu mempunyai dalam analisis. Model 3 menunjukkan R2 sebesar 0,04
nilai yang bermakna terhadap kejadian stunting dengan yang artinya semua variabel bebas setelah dikontrol
nilai OR=1,98. Hal ini berarti bahwa ibu yang pendek dengan pengeluaran dapat memprediksi kejadian stunting
akan berisiko melahirkan anak yang stunting 1,98 kali sebesar 4%.
lebih besar dibandingkan ibu dengan tinggi badan yang Analisis regresi logistik model 4 untuk mengetahui
normal. kemaknaan hubungan antara variabel bebas dengan
Analisis regresi logistik model 2 untuk mengetahui mengikut sertakan semua variabel luar yang bermakna yaitu
kemaknaan hubungan antara variabel sosiodemografi dan riwayat BBLR dan pengeluaran. Model 4 ini menunjukkan nilai
tinggi badan orang tua dengan kejadian stunting serta R2 sebesar 0,05 yang artinya bahwa faktor sosiodemografi
besarnya pengaruh variabel berat badan lahir. Model 2 dan tinggi badan orang tua setelah dikontrol dengan riwayat
menunjukkan R2 mengalami peningkatan sebesar 0,01 BBLR dan pengeluaran, dapat memprediksi kejadian stunting
menjadi 0,04 yang artinya seluruh variabel bebas dapat sebesar 5%. Pada analisis model 4 ini, variabel yang paling
memprediksi kejadian stunting sebesar 4%. mempengaruhi stunting adalah tinggi badan ibu dengan
Analisis regresi logistik model 3 untuk mengetahui nilai OR=1,87, sedangkan variabel lain tidak memiliki nilai
kemaknaan hubungan antara semua variabel bebas yang bermakna setelah dikontrol dengan riwayat BBLR dan
dengan kejadian stunting serta besarnya pengaruh variabel pengeluaran rumah tangga.
178 Nur Afia Amin, Madarina Julia
BAHASAN tidak tetap, yaitu sebagai buruh. Hal ini berpengaruh pada
sedikitnya pendapatan yang masuk. Rendahnya pendapatan
Stunting atau pendek, merupakan suatu retardasi
menyebabkan kurang terpenuhinya asupan zat gizi dan dapat
pertumbuhan linear yang digunakan secara luas untuk
menyebabkan stunting.
mengukur status gizi individu ataupun kelompok.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa prevalensi
Hubungan pendapatan keluarga dengan kejadian
kejadian stunting pada balita usia 6-23 bulan di Kecamatan
stunting
Sedayu sebesar 16,20%.
Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa dari Faktor pendapatan memiliki peranan besar dalam
keseluruhan total responden, balita stunting lebih banyak persoalan gizi dan kebiasaan makan keluarga terutama
ditemukan pada kelompok laki-laki (52,38) daripada tergantung kemampuan keluarga untuk membeli pangan
perempuan (47,62). Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dibutuhkan keluarga tersebut (16). Anak-anak yang
di Maluku tahun 2004 yang menyatakan bahwa anak berasal dari keluarga yang miskin bersinergi dengan
perempuan memiliki pacu tumbuh yang lebih cepat kekurangan gizi yaitu stunting (17).
dibanding anak laki-laki (2). Namun demikian, hasil Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada
penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan hubungan yang bermakna antara pendapatan keluarga
di Semarang Timur yang menunjukkan bahwa perempuan dengan kejadian stunting (p>0,05). Hal ini dapat terjadi
lebih berisiko terkena stunting dibanding laki-laki (8), juga karena kemampuan keluarga untuk membeli bahan
penelitian yang dilakukan di daerah pedesaan Pakistan makanan tidak hanya bergantung pada besar kecilnya
yang hasil penelitiannya menunjukkan bahwa anak usia pendapatan keluarga, namun juga harga bahan makanan
sekolah lebih berisiko stunting pada anak perempuan itu sendiri dan tingkat pengelolaan sumber daya lahan
(18,3%) dibanding laki-laki (14,6%) (11). pekarangan. Rumah tangga di Kecamatan Sedayu
sebagian besar memiliki pekarangan sehingga dapat
Hubungan pendidikan orang tua dengan kejadian memenuhi kebutuhan pangan.
stunting
Hubungan jumlah anggota keluarga dengan kejadian
Hasil uji bivariat (Tabel 1) penelitian ini menunjukkan
stunting
bahwa pendidikan ayah tidak memiliki hubungan yang
bermakna dengan kejadian stunting (p>0,05). Begitu pula Jumlah anggota keluarga yang bertambah
dengan pendidikan ibu, tidak menunjukkan hasil yang menyebabkan pangan untuk setiap anak menjadi
bermakna terhadap kejadian stunting (p>0,05). berkurang dan distribusi makanan tidak merata sehingga
Pendidikan ayah dan pendidikan ibu merupakan menyebabkan balita dalam keluarga tersebut kurang gizi
faktor prediktor yang paling kuat terhadap terjadinya (18). Hasil penelitian ini menunjukkan nilai yang berbeda,
stunting pada anak balita (12). Tingkat pendidikan ibu di mana tidak ada hubungan yang bermakna antara jumlah
dengan perkembangan mental anak batita gizi kurang anggota keluarga dengan kejadian stunting (p>0,05). Hal
memiliki hubungan yang bermakna (13). Pendidikan ibu ini bisa disebabkan oleh faktor lain yang lebih signifikan
berpengaruh terhadap tingginya angka kejadian stunting yang tidak diteliti seperti pengetahuan ibu terhadap
(14). Pendidikan formal ibu memiliki pengaruh terhadap penyediaan makan di rumah.
jangka panjang status gizi anak melalui informasi nutrisi Umumnya, keluarga dengan anggota yang banyak
di Jawa Tengah (15). akan menghabiskan lebih banyak biaya untuk memenuhi
Tidak ditemukannya hubungan yang signifikan kebutuhan juga akan adanya persaingan atau keterbatasan
antara pendidikan ayah dan ibu terhadap kejadian stunting dalam menyediakan makanan yang bergizi seimbang.
di Kecamatan Sedayu menunjukkan bahwa di daerah
tersebut, akses terhadap pendidikan dan sarana sebagai Hubungan tinggi badan orang tua dengan kejadian
penunjang informasi masih terbilang mudah. Ini terlihat stunting
pada Tabel 1 dimana pendidikan ayah dan ibu terbilang
Hasil analisis bivariat dan multivariat menunjukkan
tinggi, artinya mereka menamatkan sekolahnya sampai
bahwa anak yang dilahirkan oleh ibu yang pendek
jenjang SMA.
memperbesar peluang anak tumbuh menjadi stunting.
Tinggi badan ibu merupakan salah satu faktor yang
Hubungan pekerjaan orang tua dengan kejadian
berhubungan dengan tinggi badan anak (19,20). Penelitian
stunting
di Mesir menunjukkan bahwa anak yang lahir dari
Hasil analisis bivariat pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ibu dengan tinggi badan kurang dari 150 cm lebih berisiko
tidak ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan ayah untuk tumbuh stunting. Akan tetapi banyak hal yang
terhadap kejadian stunting. Hasil penelitian ini menunjukkan mempengaruhi kejadian stunting utamanya interaksi
bahwa sebagian besar orang tua responden adalah pekerja antara genetik dan faktor lingkungan (9).
Faktor sosiodemografi dan tinggi badan orang tua serta hubungannya dengan kejadian stunting pada balita usia 6-23 bulan 179
19. Adair L, Guilkey D. Age-specific determinan of stunting 22. Kawai K, Donna S, Anuraj H, Shankar, Wafaie.
in Filipino children. J Nutr. 1997;127:314–20. Maternal multiple micronutrient supplementation and
20. Dangour A, Hill H, Ismail S. Height, weight and pregnancy outcomes in developing countries: meta-
haemoglobin status of 6 to 59 month old Kazakh analysis and meta-regression. Bull World Health
children living in Kzyl-Orda region, Kazakhstan. Eur J Organ. 2011;89(6):393–468.
Clin Nutr. 2002;6:1030–8. 23. Bonnie, Worthington R, Sue R. Nutrition Throughout
21. Akre J. Pemberian makanan untuk bayi, dasar-dasar the Life Cycle Fourth Edition. New York: Mc. Graw Hills
fisiologis. Jakarta: FKM UI; 1994. Higher Education; 2000.
Faktor pada perilaku Ibu dalam pemberian MPASI anak 6–24 bulan di Puskesmas Perumnas, Kendari 181
Redaksi Jurnal Gizi dan Dietetik Indonesia berterima kasih kepada Reviewer atas bantuan mereka pada Jurnal Gizi dan
Dietetik Indonesia
……………………….…., ………………201..
(………………………………………………..)
ISSN 2303-3045