Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN Juli 2019


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA

OLEH :
ANDIRA RATU NURRASYID
111 2018 2109

PEMBIMBING
dr. Uyuni Azis, M.Kes, Sp.KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Andira Ratu Nurrasyid

Stambuk : 111 2018 2109

Judul Refarat : Sindrom Neuroleptik Maligna

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada


bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, Juli 2019

Supervisior Pembimbing

dr. Uyuni Aziz, M.Kes. Sp.KJ

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... 1


LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... 2
DAFTAR ISI ................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................
2.1 DEFINISI .................................................................................................. 6
2.2 EPIDEMIOLOGI ....................................................................................... 6
2.3 FAKTOR RESIKO .................................................................................... 7
2.4 PATOFISIOLOGI ...................................................................................... 8
2.5 KRITERIA DIAGNOSTIK ....................................................................... 11
2.6 DIAGNOSIS BANDING ........................................................................... 12
2.7 PENATALAKSANAAN ........................................................................... 14
2.8 KOMPLIKASI ........................................................................................... 16
2.9 PROGNOSIS ............................................................................................. 16
BAB III KESIMPULAN ................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 19

3
BAB I

PENDAHULUAN

Pengenalan obat antipsikotik di pertengahan 1950-an merevolusi pengobatan


skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya. Efek samping obat anti-psikosis sangat
penting kita ketahui, mengingat penggunaan obat ini mungkin diberikan dalam
jangka panjang. Efek samping obat antipsikotik yang signifikan bagi pasien sering
tidak menyenangkan dan jarang mengancam nyawa. Satu pengecualian adalah
Sindrom Antipsikotik Maligna (SNM).

Sindrom Antipsikotik Maligna (SNM) adalah kelainan berat yang disebabkan


oleh reaksi negatif terhadap obat-obatan dengan sifat antagonis reseptor dopamin atau
penarikan obat dopaminergik secara cepat. Kasus SNM yang dilaporkan pertama kali
muncul pada tahun 1956, tak lama setelah diperkenalkannya obat antipsikotik
chlorpromazine (thorazine). Dan dalam sebuah penelitian tahun 1960, para ilmuwan
Perancis memberi sindrom ini nama saat ini ketika mereka melaporkan pada efek
samping dari haloperidol neuroleptik yang baru diperkenalkan dan ditandai sebagai ''
sindrom malin des neuro-leptiques''.1

Data yang dikumpulkan dari tahun 1966 hingga 1997 menunjukkan kejadian
NMS berkisar antara 0,2% hingga 3,2% dari pasien rawat inap psikiatri yang
menerima neuroleptik; Namun, karena dokter semakin menyadari sindrom ini dan
karena agen neuroleptik yang lebih baru telah tersedia, insiden telah menurun ini
menjadi sekitar 0,01% menjadi 0,02%.1

Pentingnya deteksi awal dan penegakan diagnosis yang cepat pada SNM
karena komplikasi dari keadaan ini adalah kematian. SNM dapat berakibat fatal dan
angka mortalitas berkisar 5-20% bila tidak ditangani dengan baik.2

4
Dibutuhkan kecurigaan klinis yang tinggi untuk diagnosis dan pengobatan
pada SNM. SNM lebih sering dianggap sindrom daripada benar-benar diagnosis, dan
ini menggaris bawahi kebutuhan untuk meningkatkan kesadaran diagnosis dan
manajemen reaksi obat secara serius.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

2.1.1. Sindroma Neuroleptik Maligna

Sindrom Neuroleptik Maligna merupakan komplikasi yang mengancam


jiwa yang dapat terjadi kapan saja selama pengobatan antipsikotik. Gejala motorik
dan gejala perilaku meliputi kekakuan otot, distonia, akinesia, bisu, obtundation, dan
agitasi. Gejala otonom termasuk demam tinggi, berkeringat, dan peningkatan denyut
nadi serta tekanan darah. Temuan Laboratorium meliputi peningkatan jumlah sel
darah putih, meningkatkan kadar kreatinin phosphokinase, enzim hati, mioglobin
plasma, dan myoglobinuria, kadang-kadang dikaitkan dengan gagal ginjal.3

DSM IV mendefiniskan sebagai gangguan rigiditas otot berat, peningkatan


temperatur dan gejala lainnya yang terkait (misalnya diaphoresis, disfagia,
inkontinensia, perubahan tingkat kesadaran dari konfusi sampai dengan koma,
mutisme, tekanan darah meningkat atau tidak stabil, peningkatan kreatin
phosphokinase (CPK) yang berkaitan dengan pengunaan pengobatan antipsikotik.3

2.1.2. Anti Psikosis 4

Obat antipsikosis juga dikenal sebagai `neuroleptik` dan secara salah diartikan
sebagai trankuiliser mayor. Obat antipsikosis pada umumnya membuat tenang tanpa
mempengaruhi kesadaran dan tanpa menyebabkan efek kegembiraan paradoksikal
(paradoxical excitement) namun tidak dapat dianggap hanya sebagai trankuiliser saja.
Untuk kondisi seperti skizofrenia, efek penenangnya merupakan hal penting nomor
dua.

6
Pada penggunaan jangka pendek, digunakan untuk menenangkan pasien yang
mengganggu apapun psikopatologi yang mendasarinya, bisa karena skizofrenia,
kerusakan otak, mania, delirium toksik, atau depresi teragitasi. Obat antipsikotik
digunakan untuk meredakan ansietas berat tetapi ini juga hanya untuk penggunaan
jangka pendek.

Obat antipsikotik meringankan gejala psikotik florid (florid psychotic


symptoms) seperti gangguan berpikir, halusinasi, dan delusi serta mencegah
kekambuhan. Walaupun seringkali efektifitasnya lebih kecil pada pasien putus obat
yang apatis, tetapi terkadang bermanfaat dalam memicu efeknya. Pasien dengan
skizofrenia akut memberikan respon yang lebih baik daripada pasien dengan gejala
kronik.

2.2. Epidemiologi

Meskipun NMS adalah efek samping yang relatif tidak umum, sejumlah besar
orang yang diobati dengan obat-obatan yang dapat menyebabkan NMS menghasilkan
banyak kasus gangguan, secara absolut. Estimasi prevalensi berkisar dari 0,167 kasus
per seribu orang hingga 32,6 kasus per seribu orang.5

Pria lebih sering terkena daripada wanita, dan pasien muda lebih sering
terkena daripada pasien lansia.

Hingga 0,02 - 3,2% orang yang terpajan antipsikotik, terutama antipsikotik


generasi pertama, telah dilaporkan mengembangkan NMS dan angka kematian
setinggi 10 - 30% telah dilaporkan di antara para korban ini.5

7
2.3. Faktor Resiko5

A. Usia, jenis kelamin bukan merupakan faktor risiko yang bermakna bagi SNM.
Studi melaporkan SNM lebih umum pada pria daripada wanita. Meskipun
SNM dilaporkan sering dewasa muda dan setengah baya, yang menggunakan
dosis tinggi antipsikotik Usia rata-rata pasien dengan NMS telah diperkirakan
sekitar 40 tahun.
B. Faktor lingkungan tidak memainkan peran utama dalam menyebabkan
sindrom ini. Hal ini tidak menghalangi kemungkinan bahwat suhu udara yang
tinggi dan kelembaban dapat menyebabkan termoregulasi disfungsi pada
pasien yang berisiko untuk SNM (Shalev et al. 1988). Faktor psikologi yang
menjadi predisposisi terhadap SNM adalah kondisi panas dan lembab, agitasi,
dehidrasi, kelelahan dan malnutrisi.
C. SNM tidak spesifik untuk setiap diagnosis neuropsikiatri. Telah dilaporkan
terjadi pada pasien yang menerima obat antipsikotik untuk beragam gangguan
neuropsikiatri. Pada studi kasus-kontrol juga menunjukkan bahwa kondisi

8
tertentu dari gangguan kejiwaan(Skizofrenia), akut katatonia, dan agitasi
ekstrim pada pasien menyebabkan terjadinya SNM.
D. Penggunaan antipsikotik potensi tinggi, dosis tinggi, dosis antipsikotik di
naikan dengan cepat, penggunaan antipsikotik injeksi. Beberapa studi
termasuk studi kontrol tentang faktor risiko, telah mendukung kemungkinan
bahwa dosis tinggi pada antipsikotik dan diberikan pada tingkat yang cepat,
terutama dalam bentuk parenteral, mungkin terkait dengan peningkatan risiko
SNM.
E. Penyalahgunaan zat atau komorbiditas penyakit neurologis, dan penyakit
medis akut (termasuk trauma, operasi, dan infeksi) belum dibuktikan dalam
studi kasus.
F. Faktor lain risiko potensial untuk SNM mungkin berhubungan dengan
pergantian obat, penghentian, atau mengulang pengobatan antipsikotik .
G. Pasien dengan riwayat episode SMN sebelumnya berisiko untuk rekuren.
Resiko rekurensi tersebut berhubungan dengan jarak waktu antara episode
SNM dan penggunaan antipsikotik. Apabila pasien diberikan anti psikotik
dalam 2 minggu episode SNM 63% akan rekurensi. Jika lebih dari 2 minggu,
persentasenya hanya 30% .

2.4. Patofisiologi 2

Obat neuroleptik bekerja pada reseptor dopamin. Pada jaringan otak, dopamin
mempunyai 4 jalur utama, yaitu jalur nigrostriatal, mesolimbik, mesokortikal dan
tuberoinfundibular.

 Jalur nigrostriatal mengirimkan dopamin dari substansia nigra menuju


striatum atau ganglia basalis. Jalur ini merupakan bagian dari sistem ekstra-
piramidal dan berperan pada regulasi motorik. Defisiensi dopamin pada
jalur ini dapat menimbulkan gangguan gerak seperti parkinsonism yang
ditandai dengan tremor, rigiditas dan akinesia.

9
 Jalur mesolimbik mengirimkan dopamin dari area ventral tegmental (AVT)
ke nukleus akumbens dan berperan pada motivasi, emosi, interaksi social,
dan gejala positif pada skizofrenia. Defisiensi dopamin pada jalur ini
mengakibatkan kehilangan motivasi, perasaan tidak puas, dan anhedonia.
 Jalur mesokortikal mengirimkan dopamin dari AVT ke korteks prefrontal,
dan terbagi menjadi dua, yaitu: jalur yang mengirimkan dopamin dari AVT
ke dorsolateral korteks prefrontal (DLPFC) dan jalur lainnya mengirimkan
dopamin dari AVT ke ventromedial korteks prefrontal (VMPFC). Jalur
mesokortikal berperan pada kognisi, fungsi eksekusi, emosi dan afek.
Defisiensi dopamin pada jalur ini mengakibatkan penurunan kognisi, afek
dan menimbulkan gejala negatif.
 Jalur tuberoinfundibular mengirimkan dopamin dari hipotalamus ke
hipofise anterior dan memengaruhi hormon prolaktin. Gangguan pada jalur
ini dapat mengakibatkan peningkatan sekresi prolaktin yang akan
13
menyebabkan galaktorea, amenorea, dan disfungsi seksual.

Patofisiologi SNM sebenarnya belum sepenuhnya dimengerti. Sebagian besar


pakar setuju bahwa penurunan bermakna dari aktivitas dopaminergik sentral yang
diakibatkan oleh blokade reseptor dopamin D2 pada jalur nigrostriatal,
tuberoinfundibular, dan mesolimbik/kortikal membantu menerangkan gambaran
klinis SNM termasuk rigiditas, hipertermia, dan perubahan status mental. Teori ini
didukung dengan pengamatan bahwa penyebab utama SNM ialah penggunaan obat-
obatan neuroleptik yang menghambat reseptor dopamin khususnya reseptor D2, dan
bahwa sindroma ini dapat diinduksi oleh penghentian dopamin secara mendadak.

Antagonis reseptor dopamin D2 tidak sepenuhnya menjelaskan keseluruhan


tanda dan gejala klinis SNM, dan juga tidak menjelaskan timbulnya SNM dengan
obat neuroleptik potensi rendah dan juga obat- obatan yang tidak mempunyai
aktivitas antidopaminergik. Hal ini membuat beberapa ahli mengajukan hipotesis

10
bahwa hiperaktivitas simpatoadrenal, yang diakibatkan oleh peniadaan inhibisi tonik
dalam sistem saraf simpatis, dapat berperan dalam patogenesis SNM. Abnormalitas
sistem simpatis didukung dengan seringnya timbul gejala otonom pada SNM seperti
ketidakstabilan tekanan darah, laju nadi, diaforesis, serta terdapatnya perubahan kadar
katekolamin plasma dan urin. Sistem lain yang juga diduga ikut berperan pada
timbulnya tanda dan gejala SNM ialah sistem otot skeletal perifer. Penggunaan
neuroleptik berkaitan dengan peningkatan pelepasan kalsium dari retikulum
sarkoplasma serat otot, sehingga mungkin menyebabkan peningkatan kontraktilitas
dan rigiditas otot, kerusakan otot, serta hipertermia.

11
2.5. Kriteria Diagnostik 6

Kriteria diagnosis menurut DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorders.

 Memenuhi kriteria A dua-duanya dan kriteria B minimal 2


 Kriteria A

1. Rigiditas otot

2. Demam

 Kriteria B

1. Diaphoresis (keringat berlebihan)

2. Disfagia (Sulit menelan)

3. Tremor

4. Inkontinensia

5. Perubahan kesadaran

6. Mutisme

7. Takikardi

8. Tekanan darah meningkat atau labil

9. Leukositosis

10. Hasil laboratorium menunjukkan cedera otot

 Kriteria C

Tidak ada penyebab lain (Misal: encephalitis virus)

12
 Kriteria D

Tidak ada gangguan mental

Kriteria diagnostik yang ditetapkan oleh Caroff dan Mann (sebagaimana diadaptasi
dari Waldoff) meliputi yang berikut:

1) Hipertemia (suhu,> 380C);

2) Kekakuan otot;

3) Pengobatan dengan neuroleptik dalam jangka 7 hari saat onset serangan;

4) 5 dari yang berikut: perubahan status mental,diaforesis atau sialorea, takipnea atau
hipoksia, takikardia, hipertensi atau hipotensi, inkontinensia, peningkatan kadar
kreatin kinase, mioglobinuria, leukositosis, asidosis metabolik, tremor, dan

5) Tidak adanya penyakit yang diinduksi oleh obat, sistemik, atau neuropsikiatri.6

2.6. Diagnosis Banding5

Diferensial diagnosis harus mencakup kondisi di mana kekakuan otot dan /


atau hipertermia menonjol. Dengan demikian, infeksi SSP, keracunan lithium,
sengatan panas, katatonia mematikan, sindrom antikolinergik sentral, dan hipertermia
ganas adalah beberapa kondisi yang harus dikesampingkan dalam diagnosis banding.
Tabel perbandingan disajikan untuk merinci perbedaan dan kontras kondisi ini.

13
Sindrom serotonin (SS) perlu mendapat perhatian khusus sehubungan dengan
diagnosis banding. Sindrom serotonin adalah suatu kondisi yang ditandai dengan
adanya perubahan status mental, agitasi, clonus, hyperreflexia, dan hipertermia
sebagai akibat dari stimulasi serotoninergik yang beracun dan berlebihan. Seperti
pada NMS, ini adalah diagnosis klinis tanpa tes diagnostik yang tersedia. Mengingat
tingkat presentasi klinis yang tumpang tindih, tidak mengherankan kemudian bahwa
SS dapat disalahartikan sebagai NMS. Ini mungkin menjelaskan beberapa laporan
dalam literatur yang menggambarkan NMS sebagai hasil pengobatan antidepresan.
Selain itu, pemberian bersamaan antidepresan dengan obat antipsikotik dapat
meningkatkan risiko NMS karena penularan serotoninergik yang mengganggu
penularan dopaminergik. Ini bukan titik sepele karena pengobatan yang paling efektif
untuk SS adalah siproheptadin, yang merupakan antagonis reseptor serotonin, dan
tidak ada peran untuk dantrolen, biperidene, atau bromokriptin dalam manajemen
terapi SS, dan sebaliknya . Dalam hal ini, seorang individu yang mengalami demam
dan kekakuan otot, dan yang memiliki riwayat pajanan terhadap pengobatan obat
antipsikotik dan antidepresan, merupakan tantangan diagnostik yang serius dan
dilema terapi. Belum ada kriteria tertentu untuk mengatasi diagnosis diferensial
khusus ini.

14
2.7. Penatalaksanaan 1

Sindrom maligna neuroleptik pada pasien rawat inap dianggap sebagai


kedaruratan neurologis sebagai akibat keterlambatan dalam pengobatan atau
pemotongan tindakan terapeutik yang berpotensi menyebabkan morbiditas serius atau
kematian. Karena itu, lebih baik untuk mengobati NMS bahkan jika ada keraguan
tentang diagnosis. Namun, karena kelangkaannya, bagaimanapun, uji klinis sistematis
dalam NMS sulit dilakukan dan jadi tidak ada pendekatan pengobatan yang
berdasarkan “evidence”. Namun demikian, pedoman umum yang efektif telah
diperoleh dari laporan dan analisis kasus.

Pengobatan NMS bersifat individual dan berdasarkan pada presentasi klinis,


tetapi langkah pertama pada dasarnya semua kasus terdiri dari penghentian agen
farmakologis neuroleptik yang diduga sebagai penyebab. Jika sindrom muncul saat
penarikan obat dopaminergik yang tiba-tiba, maka obat ini sebaiknya diberikan
kembali secepat mungkin. Langkah kunci berikutnya dalam manajemen NMS adalah
inisiasi terapi medis suportif. Hidrasi agresif sering diperlukan, terutama jika kadar
CPK yang sangat tinggi mengancam untuk merusak ginjal, dan pengobatan
hipertermia dengan selimut pendingin atau ice pack di daerah axilla dan pangkal
paha mungkin diperlukan. Kelainan metabolik mungkin perlu diperbaiki, dan
pembebanan bikarbonat harus dipertimbangkan dalam beberapa kasus karena dapat
bermanfaat dalam mencegah gagal ginjal. Pasien dengan NMS mungkin berisiko
lebih tinggi mengalami morbiditas akibat gagal ginjal dan koagulasi intravaskular
diseminata (DIC) sekunder, trombosis vena dalam dan emboli paru akibat dehidrasi
dan imobilisasi, pneumonia aspirasi karena kesulitan menelan dikombinasikan
dengan status mental yang berubah, serta komplikasi medis lainnya termasuk gagal
jantung, kejang, aritmia, infark miokard, dan sepsis , dan banyak kasus membutuhkan
pemantauan dan dukungan perawatan intensif. Pada kasus NMS yang lebih berat,
terapi farmakologis empiris biasanya dicoba. Dua obat yang paling sering digunakan
adalah bromocriptine mesylate, agonis dopamin, dan dantrolene natrium, perelaksasi

15
otot yang bekerja dengan menghambat pelepasan kalsium dari retikulum
sarkoplasma. Laporan anekdotal dan metaanalisis menunjukkan agen-agen ini dapat
mempersingkat perjalanan sindrom dan mungkin mengurangi angka kematian ketika
digunakan sendiri atau dalam kombinasi. Bromocriptine diberikan untuk
membalikkan keadaan hypodopaminergic dan diberikan secara oral (atau melalui
tabung gastric), dimulai dengan 2,5 mg 2 atau 3 kali sehari dan dosis ditingkatkan
sebesar 2,5 mg setiap 24 jam hingga berespons atau hingga mencapai dosis
maksimum 45 mg / hari.

Dantrolen dapat diberikan secara intravena dimulai dengan dosis bolus awal 1
hingga 2,5 mg / kgBB diikuti oleh 1 mg / kgBB setiap 6 jam hingga dosis maksimum
10 mg / kg / hari. Oral dantrolen digunakan dalam kasus yang kurang parah atau
untuk tapering down dari bentuk intravena setelah beberapa hari dengan dosis yang
berkisar antara 50 hingga 200 mg / hari. Karena risiko hepatoksisitas, dantrolene
biasanya dihentikan begitu gejala mulai sembuh. Bromocriptine, bagaimanapun,
umumnya dipertahankan selama setidaknya 10 hari untuk NMS yang berhubungan
dengan neuroleptik oral dan 2 hingga 3 minggu untuk depot neuroleptik.

Agen dopaminergik lain selain bromokriptin telah digunakan termasuk


amantadine hidroklorida, levodopa, dan apomorphine. Agen farmakologis tambahan
yang mungkin memiliki beberapa utilitas dalam mengobati NMS adalah
benzodiazepin, yang dapat membantu dalam mengendalikan agitasi dan juga dapat
memperbaiki gejala dan mempercepat pemulihan dalam kasus yang lebih ringan,
carbamezapine, dan clonidine. Dalam kasus yang tidak berespons dengan perawatan
medis standar, terapi electroconvulsive telah dilaporkan untuk memperbaiki beberapa
gejala NMS dan mungkin efektif.

Kekambuhan NMS memang bias terjadi, terutama ketika pasien memulai kembali
pada neuroleptik dengan potensi tinggi atau terlalu cepat setelah episode awal
mereka. Sebagian besar pasien yang membutuhkan perawatan antipsikotik lanjutan,

16
dapat kembali diperkenalkan obat neuroleptik dengan tindakan pencegahan yang
tepat termasuk titrasi yang sangat lambat dan pemantauan yang cermat setelah masa
tunggu sekitar 2 minggu untuk neuroleptik oral dan setidaknya 6 minggu untuk
bentuk depot. Meskipun NMS dianggap sebagai reaksi idiosinkratik, biasanya
dirasakan sebagai bijaksana untuk menggunakan neurolepic yang berbeda dari yang
awalnya dikaitkan dengan perkembangan sindrom.

2.8. Komplikasi 5

Asal manajemen yang tepat dilakukan, NMS biasanya dapat pulih dalam 3 sampai
14 hari kecuali ada komplikasi. NMS adalah suatu kondisi yang terkait dengan
morbiditas yang signifikan, dan, sangat luar biasa, tingkat kematian 10%. Morbiditas
dan mortalitas ini disebabkan oleh komplikasi serius yang terjadi akibat NMS. Dalam
hal ini, komplikasi serius yang paling sering adalah infeksi paru, yang disebabkan
oleh aspirasi broncho, serta gagal ginjal akut yang disebabkan oleh mioglobinuria.
Koagulasi intravaskular diseminata dan kegagalan multiorgan juga telah
dideskripsikan. Akhirnya, sebagai akibat dari keterlibatan sistem saraf otonom,
miokardiopati dilatasi reversibel (juga dikenal sebagai miokardiopati Takotsubo) juga
dapat terjadi.

2.9. Prognosis 1

Laporan awal tingkat kematian dari kasus NMS adalah lebih dari 30%, tetapi
peningkatan kesadaran dokter dan pengenalan obat-obatan neuroepteptik yang lebih
baru selama beberapa dekade terakhir telah membantu mengurangi angkanya menjadi
lebih dekat ke 10% . Bila ditemukan lebih awal dan diobati secara agresif, NMS
biasanya tidak fatal dan mayoritas pasien akan pulih sepenuhnya antara 2 dan 14 hari.
Tetapi jika diagnosis dan pengobatan ditunda, penyelesaian dapat memerlukan
beberapa minggu atau lebih lama, dan pasien yang masih hidup mungkin memiliki
sisa katatonia atau parkinsonisme, atau morbiditas yang signifikan sekunder akibat
komplikasi ginjal atau kardiopulmoner. Ketika kematian terjadi, biasanya disebabkan

17
oleh aritmia, DIC, atau gagal jantung, pernapasan, atau gagal ginjal. Dengan
demikian, pengenalan dini dan inisiasi tindakan terapeutik oleh dokter tetap penting
untuk mengurangi jumlah kasus NMS yang parah dan membatasi sumber morbiditas
dan moralitas yang signifikan ini di antara pasien yang menerima antipsikotik.

18
BAB III

KESIMPULAN

Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah sindrom yang dapat mengancam


kehidupan dan kedarurat neurologis dengan menggunakan agen antipsikotik dan
ditandai dengan sindrom klinis yang khas.

 Diagnosis harus dicurigai bila ada dua dari empat fitur utama klinis,
perubahan status mental, kekakuan, demam, atau dysautonomia, muncul
dalam pengaturan penggunaan antipsikotik atau penarikan dopamin.

Pengobatan - Penanganan pasien dengan NMS harus didasarkan pada hirarki


keparahan klinis dan kepastian diagnostic:

 Bila ada kecurigaan dari SNM, agen antipsikotik harus dihentikan. Jika
sindrom muncul saat penarikan obat dopaminergik yang tiba-tiba, maka obat
ini sebaiknya diberikan kembali secepat mungkin

 Langkah kunci berikutnya dalam manajemen NMS adalah inisiasi terapi


medis suportif. Hidrasi agresif sering diperlukan, terutama jika kadar CPK
yang sangat tinggi mengancam untuk merusak ginjal, dan pengobatan
hipertermia dengan selimut pendingin atau ice pack di daerah axilla dan
pangkal paha mungkin diperlukan.

 Kelainan metabolik mungkin perlu diperbaiki, dan pembebanan bikarbonat


harus dipertimbangkan dalam beberapa kasus karena dapat bermanfaat dalam
mencegah gagal ginjal.

 Pada pasien dengan peningkatan kadar CK atau hipertermia , atau yang tidak
menanggapi penarikan obat dan perawatan suportif dalam hari pertama atau
dua, penggunaan dantrolene , bromocriptine , dan atau amantadine harus
dipertimbangkan.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Berman, B. D. Neuroleptic Malignant Syndrome : A Review for


Neurohospitalists. 1, 41–47 (2011).

2. Kembuan, M. A. H. N. Sidroma neuroleptik maligna patofisiologi , diagnosis ,


dan terapi. J. Biomedik 8, (2016).

3. Kaplan HI, S. B. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. (EGC, 2010).

4. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Pusat Informasi Obat Nasional.

5. Tse, L., Barr, A. M., Scarapicchia, V. & Vila-rodriguez, F. Neuroleptic


Malignant Syndrome : A Review from a Clinically Oriented Perspective. 395–
406 (2015).

6. Obayi, O., Igwe, M., Agu, C. & Ugbala, J. G. Neuroleptic malignant


syndrome : A review of the clinical / diagnostic features and report of a case
without fever. 6, (2017).

20
21

Anda mungkin juga menyukai