Anda di halaman 1dari 40

TUGAS FARMAKOLOGI

PRAKTIKUM BLOK 19 MODUL 3


“OBAT EMERGENSI”

OLEH : KELOMPOK 1
Evan Faishal Mahadinata (1410015010)
Fernando Budiarto (1410015038)
David Ivander (1410015074)
Reka Aprianti (1410015015)
Fortragina TC (1410015022)
Fairuz Sa’adah (1410015032)
Ayu Wira Oktalia (1410015042)
Imas Qurrata A’yuni (1410015048)
Yayuk Bulam Sarifati (1410015051)
Adinda Rizkia Nurdi (1410015069)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MULAWARMAN

2017

1
SOAL

KASUS 1

Seorang anak bernama Udin 4 tahun dengan berat badan 12 kg datang ke UGD RSU
A. Wahab Sjahranie dibawa oleh ibunya dengan kejang – kejang dan ibu penderita sangat
panik sambil berteriak minta tolong pada petugas kesehatan yang ada di UGD. Kejang
sudah berlangsung 1 menit pada saat masuk lapangan parkir dan bersifat tonik seluruh
tubuh. Penderita sebelumnya ada demam sejak 36 jam yang lalu dantidak ada riwayat
kejang sebelumnya atau trauma kepala.

A. Tulislah jenis-jenis obat yang dapat digunakan untuk penanganan


kejang, bentuk sediaan obat dan dosis obat pada anak dan dewasa,
farmakodinamik dan farmakokinetiknya

Obat – obat yang dapat digunakan untuk penanganan kejang antara lain :
Dosis kadar terapi dan sediaan obat anti kejang yang beredar di Indonesia
Obat Dosis Kadar mantap tercapai Sediaan
(hari)

Asam valproat DD : 5-15 mg/kgBB/hari 1-4 Sirup 250 mg/5 ml

DA : 10-30 mg/kgBB/hari Tablet 20 mg (Na


divalproat)

Diazepam DD : 0,2 mg/kgBB/hari 1-4 jam

DA : 0,15 – 0,3 mg/kgBB

Fenitoin DD : 300 mg/hari 7-8 Kapsul 100 mg

DA : 5 mg/kgBB/hari Ampul 100mg/2 ml

Fenobarbital DD : 2-3 mg/kgBB/hari 14-21

DA : 3-5 mg/kgBB/hari

Karbamazepin DD : 1000 – 2000 mg/hari 3-4 Kaplet salut film 200 mg

2
DA : 15 – 25
mg/kgBB/hari

Klonazepam DD : 1,5 mg/hari (max 20 6 Tablet salut film 2 mg


mg/hari)

DA : 0,01-0,03
mg/kgBB/hari (max 0,25-
0,5 mg/hari)

Lamotrigin DD : 100-500 mg/hari 3-5 Tablet 50 mg, 100 mg

DA : 1,2 mg/kgBB/hari

Levetirasetam DD : 2 X 500 mg – 2 X 2 Tablet 250 mg dan 500 mg


1500 mg/hari

DA : -

Gabapentin DD : 900 mg – 2,4 gr/hari 24 jam Tablet 300 mg

DA : -

Topiramat DD : 200 – 600 mg/hari 4-8 Tablet 25 g, 50 mg, 100


mg

Keterangan :

DA : Dosis Anak

DD : Dosis Dewasa

Farmakodinamik

Obat antikonvulsi misalnya fenitoin bekerja tanpa menyebabkan depresi umum


SSP. Sifat obat ini berdasarkan pada penghambatan penjalaran dari fokus ke bagian
lain di otak. Fenitoin mempengaruhi berbagai sistem fisiologi, khususnya
konduktans Na+, K+, Ca2+ neuron, potensial membran dan neurotransmitter
norepinefrin, asetilkolin, dan GABA. Pengaruh terhadap konduktans Na+ ini juga
terjadi pada karbamazepin, lamotrigin, dan valproat. Obat antikonvulsan lainnya

3
misalnya diazepam Diazepam berikatan dengan reseptor - reseptor stereo spesifik
benzodiazepin di neuron post sinaptik GABA pada beberapa sisi di dalam Sistem Syaraf Pusat
(SSP). Diazepam meningkatkan penghambatan efektifitas GABA dalam menghasilkan
rangsangan dengan meningkatkan permeabilitas membran terhadap ion klorida. Perubahan ini
mengakibatkan ion klorida berada dalam bentuk terhiperpolarisas i(bentuk kurang aktif /
kurang memberikan rangsangan) dan stabil. Efek pada SSP adalah hipnotik, sedatif, antiansietas,
relaksasi otot dan antikonvulsi. Efek jaringan perifer antara lain dapat menimbulkan vasodilatasi
coroner pada dosis rendah dan memblokade neurotransmitter pada dosis tinggi. Dosis hipnotik
tidak berefek. Dosis preanastetik dapat menyebabkan depresi ringan ventilasi alveolar dan asidosis
respirator. Pada sistem kardiovaskuler dosis biasa menimbulkan efek yang ringan, kecuali
intoksikasi berat sedangkan dosis anastesi dapat menimbulkan efek penurunan tekanan darah dan
peningkatan frekuensi jantung. Di sistem pencernaan dapat menyembuhkan gangguan
pencernaan yang ada hubungan dengan ansietas serta menurunkan sekresi cairan lambung
pada waktu malam hari.

Farmakokinetik

1. Fenitoin merupakan obat yang bersifat asam, memiliki waktu paruh 20 – 30 jam
yang bergantung pada konsentrasi obat, obat ini dimetabolisme di hati. Obat
yang bersifat asam lainnya adalah asam valproat yang memiliki waktu paruh 8
– 15 jam tempat metabolime obat ini di hepar

2. Obat – obatan anti onvulsan yang bersifat basa diantaranya adalah Diazepam
(waktu paruh 24-48 jam) , klonazepam (waktu paruh 20-60 jam dan lebih
singkat pada anak - anak), lamotrigin (waktu paruh 24 jam) ketiga obat ini
memiliki rute eliminasi yang sama yaitu dimetabolisme di hepar.

3. Karbamazepin waktu paruhnya adalah 10 - 20 jam dimana obat ini bersifat


netral dan dimetabolisme di hepar.

4. Gabapentin waktu paruh obat ini 5 – 7 jam dan bersifat asam amino,
levetirasetam bersifat asetamid dengan waktu paruh 6 – 8 jam, topiramat
memiliki waktu paruh 20-30 jam semua obat ini dieliminasi melalui ekresi renal.

4
B. Tulislah penatalaksanaan saat kejang demam dan pemberian
rumatannya (dosis dan cara pemberian) untuk penderita tersebut di
atas

Dalam menanggulangi kejang demam terdapat 4 faktor yang perlu


dikerjakan, yaitu :
1. Memberantas kejang secepat mungkin.
-Diazepam :
Jika penderita dating dalam keadaan konvulsifus, obat pilihan utama
adalah Diazepam yang diberikan secara intravena, keberhasilan untuk
menekan kejang adalah 80%-90%. Efek trapeutiknya sangat cepat, yaitu
antara 30 detik hingga 5 menit. Dosisnya tergantung dari berat badan, yaitu:
kurang dari 10kg maka dosis yang diberikan 0,5-0,75 mg/kgBB dengan
minimal dalam semprit 2,5mg; untuk berat 10-20kg maka dosisnya
0,5mg/kgBB dengan minimal dalam semprit 7,5mg ; untuk berat lebih dari
20kgmaka dosisnya 0,5mg/kgBB. Biasanya dosis rata-rata yang terpakai
0,3mg/kgBB/kali dengan maksimum 5mg pada anak berumur kurang dari 5
tahun dan 10mg pada anak yang lebih besar.
Setelah suntikan pertama secara intravena maka ditunggu 15 menit,
jika masih terdapat kejang maka dilakukan suntikan kedua dengan dosis
yang sama juga secara intravena. Bila kejang masih berlanjut maka
dilakukan suntikan ketiga secara intramuscular dengan harapan kejang
dapat segera berhenti. Bila kejang masih tidak berhenti maka dapat
diberikan fenobarbital atau paraldehyde 4% secara intravena.
Pemberian diazepam secara intravena pada anak yang mengalami
kejang terbukti menyulitkan sehingga pemberian secara rectum akan lebih
mudah, sederhana dan efektif. Dosis tergantung dari berat badan, yaitu
kurang dari 10kg maka dosisnya 5mg dan berat yang lebih dari 10kg
mendapatkan dosis 10mg. pemberian dapat dilakukan pada anak dalam
posisi miring berbaring atau menungging dan dengan rektiol yang ujungnya
diolesi vaselin, dimasukkanlahpipa saluran keluar rektiol ke rectum sedalam

5
3-5cm. kemudian rektiol dipijathingga kosongbetul dan selanjutnya untuk
beberapa menit lubang dubur ditutup dengan cara merapatkan kedua
muskulus gluteus.

-Fenobarbital :

Jika diazepam tidak tersedia maka dapat diberikan fenobarbital secara


intramuscular dengan dosis awal untuk bayi baru lahir (neonatus) 30mg/kali, anak
usia 1 bulan-1 tahun mendapat dosis 50mg/kali, sedangkan untuk usia di atas 1
tahun 75mg/kali. Jika kejang tidak berhenti setelah ditunggu 15 menit maka dapat
diulangi suntikan fenobarbital dengan dosis untuk neonates 15mg, anak usia 1
bulan hingga 1 tahun mendapatkan dosis 30mg, dan anak diatas 1 tahun
mendapatkan dosis 50mg secara intramuskuler.

-Difenilhidantoin:

Difenilhidantoin masih digunakan hingga saat ini karena tidak


mengganggu kesadaran dan tidak menekan pusat pernafasan, namun mengganggu
frekuensi dan irama jantung. Dosisnya 18mg/kgBB dalam infuse dengan kecepatan
tidak melebihi 50mg/menit.

-Jika kejang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan tersebut di atas maka
sebaiknya penderita dirawat di ruangan intensif untuk diberikan anastesi umum
dengan thiopental yang diberikan oleh dokter anastesi.

2. Pengobatan penunjang .
Semua pakian ketat dibuka. Posisi kepala sabainya miring untuk
mencegah aspirasi lambung jaga jalan nafas tetap bebas agar oksigenasi
terjamin, jika perlu lakukan intubasi atau trakeostomi. Fungsi vital seperti
kesadaran, suhu, tekanan darah, pernafasan dan fungsi jantung harus
diawasi secara ketat. Jika suhu meninggi (hiperpireksia) maka dilakukan
hibernasi dengan kompres es atau alcohol. Obat untuk hibernasi adalah

6
klorpromazin 2-4mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis; prometazin 4-
6mg’/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis secara suntikan.
Untuk mencegah edem otak, diberikan kortikosteroid, yaitu dengan
dosis 20-30mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis atau sebaiknya
glukokortikoid misalnya deksametazon 0,5-1 ampul setiap 6 jam sampai
keadaan membaik.

3. Memberikan pengobatan rumat.


Setelah kejang dia atasi maka harus disusul dengn pengobatan rumat
karena daya kerja diazepam sangat singkat yaitu berkisar 45-60menit
sesudah disuntikan. Oleh karena itu maka harus diberikan obat antiepileptik
dengan daya kerja lebih lama misalnya fenobarbital atau difenilhidantoin.
Fenobarbital diberikan langsung setelah kejang berhenti dengan diazepam.
Dosis awal neonates 30mg; umur 1 bulan-1 tahun 50mg; dan usia lebih dari
1 tahun 75mg, semuanya secara intramuskuler. Kemudian diberikan
fenobarbital sebagai dosis rumat. Lanjutan pengobatan rumat ini tergantung
padaaaaa keadaan penderita. Pengobatan ini terbagi menjadi:
 Profilaksis intermitten
Untuk mencegah terulang kembalinya kejang di kemudian
hari maka penderita diberikan obat campuran antikonvulsan
dan antipiretk, yang diberikan jika anak demam lagi.
Antikonvulsan yang diberikan adalah fenobarbital dengan
dosis 4-5mg’kgBB/hari, sedangkan obat antipiretik yang
diberikan adalah aspirin.
 Profilaksis jangka panjang
Obat yang digunakan adalah:
-Fenobarbital dengan dosis 4-5mg/kgBB/hari.
-Asam valproat/sodium valproat dengan dosis 20-
30mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis.
-Fenitoin (Dilantin)

7
4. Mencari dan mengobati penyebab.
Penyebab dari kejang demam baik kejang demam sederhana maupun
epilepsy yang diprovokasi oleh demam biasanya infeksi traktus espiratorius
bagian atas dan otitis media akut. Pemberian antibiotic yang tepat dan
adekuat perlu untuk mengobati infeksi tersebut. Jika penderita dating
dengan kejang lama, maka pemeriksaan intensif dilakukan yaitu
pemeriksaan pungsi lumbal untuk menyingkirkan infeksi dalam otak
misalnya meningitis, kemudian dilakukan pemeriksaan darah lengkap,
misalnya gula darah, kalium, magnesium, kalsium, natrium, nitrogen dan
faal hati. Selanjutnya jika belum memberikan hasil yang diinginkan dan
untuk melengkapi data, dapat dilakukan pemeriksaan khusus yaitu X-foto
tengkorak, elektroensefalogram, ekoensefalografi, “brain scan”,
pneumoensefalografi dan arteriografi.

C. Tulislah jenis obat penurun panas yang dapat digunakan pada kejang
demam, bentuk sediaan obat dan dosis pada anak.

1.Aspirin/AsamAsetilSalisilat
Farmakokinetik
Aspirin diabsorbsi cepat dalam bentuk utuh di lambung
pada pemberian oral, tetapi sebagian besar diserap di usus halus bagian atas.
Absorbsi pada pemberian rectal lebih lambat dan tidak sempurna sehingga
cara ini tidak dianjurkan. Asam salisilat diabsorbsi cepat dari kulit sehat
terutama bila dipakai sebagai obat gosok atau salep. Kadar tertinggi dicapai
kira-kira 2 jam setelah pemberian. Kecepatan absorbsinya tergantung dari
kecepatan diintegrasi dan disolusi tablet, pH permukaan mukosa dan waktu
pengosongan lambung.
Setelah di absorbsi, salisilat segera menyebar keseluruh jaringan tubuh dan
cairan intraselular sehingga ditemukan dalam cairan synovial, cairan spinal,
cairan peritoneal, air liur, dan air susu. Obat ini mudah menembus sawar darah

8
otak dan sawar urin. Kira-kira 80-90% salisilat plasma terikat pada albumin.
Aspirin diserap dalam bentuk utuh, dihidrolisis menjadi asam salisilat
terutama dalam hati, sehingga hanya sekitar 30 menit berada dalam plasma.
Bio transformasi salisilat terjadi di banyak jaringan, tetapi terutama di
mikrosom dan mitokondria hati. Salisilat di ekskresi dalam bentuk
metabolitnya terutama melalui ginjal, sebagian kecil melalui keringat dan
empedu.

Indikasi sebagai antipiretik


Dosis orang dewasa adalah 325-650 mg, diberikan secara
oral tiap 3-4 jam. Untuk anak-anak 15-20 mg/KgBB, diberikan tiap 4-6 jam.
Berdasarkan asosiasi penggunaan aspirin dengan sindroma Reye, aspirin
dikontraindikasikan untuk anak usia< 12 tahun, atau< 16 tahun di Inggris.

Sediaan

Aspirin dan Natrium salisilat merupakan sediaan yang


paling banyak digunakan. Aspirin tersedia dalam bentuk tablet 100 mg untuk
anak-anak dan tablet 500 mg untuk dewasa. Metil salisilat hanya digunakan
sebagai obat luar dalam bentuk salep atau linimen dan dimaksudkan sebagai
counter ittitant bagi kulit. Asam salisilat berbentuk bubuk digunakan sebagai
keratolitik dengan dosis tergantung dari penyakit yang akan diobati.

2.Asetaminofen/Paracetamol
Farmakodinamik
Parasetamol diabsorsi cepat dan sempurna melalui saluran
cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu setengah jam
dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Dalam plasma, 25% parasetamol
terikat protein plasma. Obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosohati.
Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glokuronat dan
sebagian kecilnya dengan asam sulfat. Salinitu, obat ini juga mengalami

9
hidroksilasi, dimana metabolit hasil hidroksilasi ini dapa tmenimbulkan
methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini di ekskresi melalui
ginjal, sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam
bentuk terkonjugasi.

Sediaan
Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500 mg
atau sirup yang mengandung 120 mg / 5mL. selain itu parasetamol terdapat
sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet ataupun cairan. Dosis
parasetamol untuk dewasa 300 mg-1 g/kali, degan maksimum 4 g/hari; untuk
anak 6-12 tahun : 150-300 mg/kali, dengan maksimum 1,2g/hari. Untuk anak
1-6 tahun :60-120 mg/kali dan bayi dibawah 1 tahun: 60mg/kali dengan dosis
maksimum keduanya 6 kali sehari.

3. Ibuprofen
Farmakokinetik
Ibuprofen diabsorpsi dengan baik melalui saluran gastrointestinal.
Obat-obat ini mempunyai waktuparuh yang singkat, tetapi tinggi berikatan
dengan protein. Jika ibuprofen dipakai bersama-sama dengan obat lain yang
juga tinggi berikatan dengan protein, maka dapat terjadi efek samping yang
berat. Obat ini di metabolism oleh hati menjadi metabolit dan disekresikan
sebagai metabolit inaktif di dalam urin.

Farmakodinamik
Ibuprofen menghambat sintesis prostaglandin sehingga dengan
demikian efektif dalam meredakan inflamasi dan nyeri. Obat-obat ini
memiliki mula kerja, waktu untuk mencapai kadar puncak dan lama kerja
yang semuanya singkat. Obat ini memerlukan waktu beberapa hari agar efek
anti inflamasinya jelas terlihat. Ada banyak interaksi obat yang menambah
efek koumarin, sulfonamid, banyak dari sefalosporin dan fenitoin. Jika
dipakai bersamaaspirin, efeknyadapatberkurang.

10
Dapatterjadihipoglikemiajika ibuprofen dipakai bersama insulin atau obat
hipoglikemik oral. Risiko terjadi toksisitas tinggi jika ibuprofen dipakai
bersama-sama dengan penghambat kalsium.

Sediaan
Ibuprofen tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 200 mg,
400 mg atau sirup yang mengandung 100 mg/5mL. Dosis ibuprofen untuk
dewasa 200mg-400 mg, dengan 4-6 dosis perhari; untuk anak dosisnya 20-
40mg/KgBB/hari.

Mekanisme kerja sebagai penurun demam

Suhu badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya


panas. Alat pengatur suhu tubuh berada di hipotalamus. Dimana peningkatan suhu
tubuh pstologik diawali pelepasan suatu zat pirogen endogen atau sitokin, misalnya
Interleukin-1 (IL-1) yang memacu pelepasan PG yang berlebihan di daerah
preoptik hipotalamus. Selain itu, PGE2 terbukti menimbulkan demam setelah
diinfuskan ke ventrikel serebral atau di injeksikan ke daerah hipotalamus. Kedua
obat diatas merupakan penghambat sintesis PG dengan cara menghambat enzim
siklooksigenase sehingga menekan efek zat pirogen endogen. Dimana khusus
parasetamol, hambatan biosintesis PG hanya terjadi bila lingkungannya rendah
kadar peroksid, yaitu di hipotalamus.

D. Edukasi apa yang hars diberikan pada keluarga penderita.


-Edukasi Keluarga perjalanan penyakit dan rekurensi

Edukasi pasien dan pendidikan keluarga merupakan bagian integral dari


pengelolaan kejang demam. Langkah-langkah yang perlu dilakukan antara lain :

1. Membantu keluarga untuk mengatasi pengalaman yang


menakutkan dan menyingkirkan asumsi bahwa anak ereka akan

11
meninggalsaat kejang demam pertama dengan kesepakatan
keluarga untuk memahami prognosis dari kejang.
2. Memastikan keluarga mengerti bahwa tidak ada peningkatan
resiko keterlambatan intelektual jika kejang kurang dari 30
menit.
3. Memberikan keluarga informasi tentang resiko kekambuhan
kejang berikutnya.

-Edukasi apa yang harus diberikan pada keluarga penderita

Edukasi pada orang tua


Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi
orang tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa
anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang
diantaranya :
1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai
prognosis baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang.
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif
tetapi harus diingat adanya efek samping.

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang


1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala
miring. Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun
kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu ke
dalam mulut
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang
5. Tetap bersama pasien selama kejang

12
6. Berikan diazepam rektal. Dan jangan berikan bila kejang telah
berhenti
7. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit
atau lebih.

KASUS 2
Seorang penderita berumur 20 tahun datang ke UGD RSU A Wahab
Sjahranie dengan keluhan panas badan 3 hari. setelah diperiksa oleh dokter
UGD diputuskan untuk diberikan injeksi xylomidon dan delladryl = 2: 1
secara intramuskular. Satu menit kemudian penderita merasa gatal-gatal
seluruh tubuh sesak nafas dan tidak sadarkan diri. Dokter kemudian
memeriksa dan diketahui tensi 50 mmHg palpasi dan ada wheezing di kedua
paru, lalu di idagnosa anafilaktik shok dan diberikan penanganan shock
anafilasis. Setelah diberi penanganan shock anafilasis selama 3 jam
penderita tersebut diperbolehkan pulang.
A. Tulislah jenis-jenis obat-obat yang dapat menyebabkan shok
anafilaksis
Setiap obat dapat menyebabkan anafilaksis. Obat yang paling umum
adalah antibiotik beta-laktam (seperti penisilin) diikuti oleh aspirin dan
obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS). Apabila seseorang memiliki
alergi terhadap salah satu jenis OAINS, biasanya masih dapat
menggunakan jenis lainnya tanpa memicu anafilaksis. Penyebab lain
anafilaksis yang sering ditemukan di antaranya
adalah kemoterapi, vaksin, protamin, dan obat-obatan herbal. Beberapa
obat termasuk vankomisin, morfin, dan agen radiokontras,
menyebabkan anafilaksis karena degranulasi sel mast.
B. Tulislah jenis-jenis obat yang dapat digunakan untuk
penatalaksanaan shock anafilaksis, bentuk sediaan obat dan
dosis obat pada anak dan dewasa, farmakodinamik dan
farmakokinetiknya.

13
 Epinefrin / Adrenalin
Epinefrin adalah pilihan obat pada syok anafilaksis dan diberikan
sesegera mungkin (TD sistolik turun < 90 MmHg).
 Dosis : 0,3-0,5 ml/cc Adrenalin/Epinefrin 1 : 1000 diberikan IM.
 Untuk anak-anak dosis : 0,01 ml/KgBB/.dose dengan maksimal
0,4 ml/dose.

Farmakokinetik
Obat simpatomimetik dapat mengaktifkan reseptor α dan β, namun
perbandingan relatif pacuan aktivitas reseptor α dan atau reseptorr β
bervariasi..

Epinephrine dalam keadaan gawat darurat sangat tepat diberikan


melalui intravena agar diperoleh reaksi yang cepat. Selain itu epinephrine
juga dapat diberikan secara subkutan, pipa endotrakeal, inhalasi, dan topikal
pada mata. Namun epinephrine tidak baik diberikan melalui oral karena
epinephrine dapat dirusak oleh enzim di dalam usus (Haritsah, 2011). Onset
dari epinephrine sangat cepat dengan durasi yang singkat didistribusikan ke
hati, limpa, beberapa jaringan glandular dan saraf adrenergic (Haritsah,
2011).

Epinephrine dapat menembus plasenta, dan diekskresikan ke ASI.


Epinephrine sebesar 50% akan menempel pada protein plasma. Onset dari
reaksi melalui intravena sangat cepat dengan waktu paruh obat kurang lebih
5-10 menit. Epinephrine dimetabolisme di hati dan jaringan melalui
deaminasi oksidatif dan dan O-metilasi diikuti dengan reduksi atau
konjugasi menggunakan asam glukoronik atau sulfat. Lebih dari 90% dari
dosis intravena akan di ekskresikan melalui urin sebagai metabolit (Deglin,
2005).

14
Farmakodinamik
Epinefrin adalah suatu vasokonstriktor dan pacu jantung yang poten.
Peningkatan tekanan darah sistolik yang timbul karena pelepasan epinefrin
disebabkan oleh kerja inotropik dan kronotropik positif pada jantung
(terutama perantaraan reseptor β1) dan vasokonstriksi kebanyakan daerah
vascular (reseptor α). Epinefrin mengaktifkan pula reseptor β2 pada
beberapa pembuluh darah yang menyebabkan dilatasi. Akibatnya, tahanan
perifer total akan turun yang dapat menerangkan turunnya tekanan diastolik
dan sering terjadi setelah injeksi epinefrin. Efek samping yang dapat
ditimbulkan oleh epinephrine adalah beberapa gejala negatif pada aktivitas
metabolisme organ tubuh berupa palpitasi, tremor, takikardia, aritmia,
hipertensi, pendarahan otak, dan edema akut paru (Kinnear, 2011).

 Antihistamin
Pemberian antihistamin ternyata cukup efektif untuk mengontrol
keluhan yang ditimbulkan pada kulit atau membantu pengobatan hipotensi
yang terjadi. Dapat diberikan antihistamin antagonist H1 yaitu Dipenhidram
dengan
 dosis 25-50 mg IV sedangkan,
 untuk anak-anak 2 mg/KgBB
Selain itu juga dapat dikombinasikan dengan antagonis H2 dapat
memberikan efek yang lebih baik yaitu dengan Ranitidin dosis 1 mg/kgbb
IV atau dengan Cimetidine 4 mg/kgbb IV pemberian dilakukan secara
lambat.

Farmakokinetik

15
Obat ini mudah diabsorbsi setelah pemberian oral dengan puncak
konsentrasi setelah 1-2 jam. Umumnya lama kerja obat sekitar 4-6 jam.
Mudah terdistribusi ke seluruh tubuh dan masuk SSP dengan mudah.
Dimetabolisme di hepar.

Farmakodinamik
Reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi refrakter terhadap
pemberian AH1, karena disini bukan histamine saja yang berperan tetapi
autakoid lain yang dilepaskan. Efektivitas AH1 melawan beratnya reaksi
hipersensitivitas berbeda – beda, tergantung beratnya gejala akibat histamin.
Beberapa efek dari AH1 adalah sedasi, antimual dan antimuntah, efek
antiparkinsonisme, kerja antikolinoseptor, kerja menghambat adrenoseptor,
dan bekerja menghambat serotonin.

 Kortikosteroid
Pemberian golongan kortikosteroid dapat diberikan walaupun bukan
first line therapy. Obat ini kurang mempunyai efek untuk jangka pendek,
lebih berefek untuk jangka panjang. Dapat diberikan Hidrokortison 250-500
mg IV atau metal prednisolon50-100 mg IV.

Farmakokinetik
Diabsorbsi dengan cepat dan lengkap pada pemberian per oral.
Dapat diekskresikan dalam bentuk bebas.

Farmakodinamik
Berefek terhadap metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein,
berefek katabolic pada jaringan limfoid, jaringan ikat, lemak, otot, dan kulit.
Efek antiinflamasi dan imunosupresi, merangsang produksi asam dan
pepsin yang berlebihan di dalam lambung.

16
 Aminophylin
Bila terdapat bronkospasme yang tak respon dengan adrenalin dapat
diberikan aminophylin dengan dosis 6 mg/KgBB dalam 50 ml NaCL 0.9%
diberikan secara iv dalam 30 menit.

Farmakokinetik
Menghambat reseptor adenosine pada permukaan sel dan
meningkatkan pembebasan histamine dari menganagonis pembebasan
histamine di paru-paru.

Farmakodinamik
Rangsangan kewaspadaan dan memperlambat kelelahan pada SSP,
kegelisahan dan tremor, efek kronotropik dan inotropik pada jantung,
merangsang sekresi asam lambung dan enzim pencernaan,
bronkodilatasi, menghambat pembebasan histamine dari jaringan paru
memperbaiki kontraktilitas dan pemulihan kelelahan diafragma.

C. Tulislah penatalaksanaan shock anafilaksis (dosis dan cara


pemberian) untuk penderita tersebut diatas.

 Hentikan pencetus, nilai beratnya dan berikan bantuan yang


sesuai
 Berbaring rata/tinggikan posisi kaki
 Adrenalin i.m 0.01mg/kgBB boleh sampai 0.5mg
 Bila hipotensi, pasang infus NaCl fisiologis 20mL/kgBB
diberikan secepatnya
 Berikan oksigen aliran tinggi, alat bantu napas bila

17
diperlukan
 Bila respon tidak adekuat, keadaan mengancam kehidupan
atau memburuk
 Ulang adrenalin 3-5menit
 Bila hipotensi:
 Ulangi infus NaCl fisiologis 10-20ml/kg dapat
mencapai 50ml/kg dalam 30menit
 I.v. Atropine 0.02mg/kg bila bradikardi berat
 I.v. Vasopresor untuk mengatasi vasodilatasi. Pada
henti jantung adrenalin dapat ditingkatkan menjadi 3-5mg setiap 2-
3menit mungkin efektif
 I.v. Glucagons pada pasien yang memakai obat
penyekat beta. Dosis orang dewasa 1-5mg ug/menit
 Bronkospasme:
 Inhalasi sabutamol secara kontinu
 I.v. Hidrokortison 5mg/kg diikuti prednison 1mg/kg
maksimal 50mg, selama 4 hari
 Obat saluran napas bagian atas
 Adrenalin inhalasi (5mg atau 5ml sediaan adrenalin
1:1000)
 Observasi
Observasi paling tidak 4jam setelah semua gejala dan tanda
menghilang. Sebelum dipulangkan pasien diberikan penjelasan
mengenai alergen dan upaya penghindarannya. Prioritas pengobatan
ditujukan kepada system pernapasan dan kardiovaskuler. Prioritas ini
berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada anafilaksis terutama
disebabkan oleh tersumbatnya saluran napas,

System pernapasan

1) Memelihara saluran napas yang memadai. Penyebab tersering kematian


pada anafilaksis adalah tersumbatnya saluran napas baik karena edema

18
laring atau spasme bronkus. Pada kebanyakan kasus, suntikan epinefrin
sudah memadai untuk mengatasi keadaan tersebut. Tetapi pada edema laring
kadang diperlukan tindakan trakeostomi. Tindakan intubasi pasien dengan
edema laring tidak saja sulit tetapi juga sering menambah beratnya
obstruksi. Karena pipa endotrakeal akan mengiritasi dinding laring. Bila
saluran napas tertutup sama sekali hanya tersedia waktu 3 menit untuk
bertindak. Karena trakeostomi hanya dikerjakan oleh dokter ahli atau yang
berpengalaman maka tindakan yang dapat dilakukan dengan segera adalah
melakukan punksi membrane krikotiroid dengan jarum besar. Kemudian
pasien segera dirujuk ke rumah sakit.
2) Pemberian oksigen 4-6 l/menit sangat penting baik pada gangguan
pernapasan maupun kardiovaskular
3) Bronkodilator diperlukan bila terjadi obstruksi saluran napas bagian bawah
seperti pada gejala asma atau status asmatikus. Dalam hal inidapat diberikan
larutan salbutamol atau agonis beta-2 lainnya 0,25 cc – 0,5 cc dalam 2-4 ml
NaCl 0,9% diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5-6 mg/kgBB yang
diencerkan dalam 20 cc dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan
perlahan-lahan sekitar 15 menit.

System kardiovaskular

1) Gejala hipotansi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian epinefrin
menandakan telah terjadi kekurangan cairan intravascular.
Pasien ini membutuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan
kristaloid (NaCl 0,9%) atau koloid (plasma, dekstran). Dianjurkan untuk
memberikan cairan koloid 0,5-1 L dan sisanya dalam bentuk cairan
kristaloid. Cairan kolid ini tidak saja mengganti cairan intravascular yang
merembes keluar pembuluh darah atau yang terkumpul di jaringan
splangnikus, tetapi juga dapat menarik cairan ekstravaskular untuk kembali
ke intravascular

19
2) Oksigen mutlak harus diberikan disamping pemantauan system
kardiovaskular dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis
metabolic\
3) Kadang-kadang diperlukan CVP central venous pressure). Pemasangan
CVP ini selain untuk memantau kebutuhan cairan dan menghindari
kelebihan pemberian cairan, juga dapat dipakai untuk pemberian obat yang
bila bocor dapat merangsang jaringan sekitarnya.
4) Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para ahli
sependapat untuk memberikan vasopresor melalui cairan infuse intravena.
Dengan cara melarutkan 1 ml epinefrin 1 : 1000 dalam 250 ml dekstrosa
(konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infuse 1-4 mg/menit atau 15-60
mikrodrip/menit (dengan infuse mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat
dinaikkan sampai maksimum 10 mg/ml.

Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaan anafilaksis yang berat,
American Heart Association, menganjurkan pemberian epinefrin secara
endotrakeal dengan dosis 10 ml epinefrin 1:10.000 diberikan melalui jarum
panjang atau kateter melalui pipa endotrakeal (dosis anak 5 ml epinefrin
1:10.000). tindakan diatas kemudian diikuti pernapasan hiperventilasi untuk
menjamin absorpsi obat yang cepat.

20
D. Edukasi apa yang harus diberikan pada penderita.
Penderita dan keluarga diedukasi bahwa mereka perlu tahu mengenai
penyuntikan apapun (inform consent)), terutama penyuntikan obat
obatan yang bersifat allergen sehingga bisa waspada terutama pada
oenderita yang memiliki riwayat atopi.

21
KASUS 3
Seorang penderita berumur 28 tahun datang ke UGD RSU A Wahab Sjahranie
dengan keluhan sesak nafas sejak 6 jam yang lalu dan hamil bulan. Penderita
memiliki riwayat astma dan sering kambuh setiap minggu dalam dua bulan
terakhir ini. Setelah diperiksa oleh dokter UGD dikketahui tanda vital dalam
batas normal dan didiagnosis menderita astma akut dalam serangan.
A. Tulislah jenis-jenis obat yang dapat digunakan untuk penatalaksanaan
astma, bentuk sediaan obat dan dosis obat, farmakodinamik dan
farmakokinetiknya. Jelaskan obat-obat astma mana yang aman untuk
wanita hamil pada trisemester 1 dan III, serta jelaskan juga mengapa
tidak aman
 Jenis obat asma

22
Obat pengontrol asma

23
24
Obat pelega untuk mengatasi gejala asma

25
Obat pelega untuk mengatasi gejala asma

 Farmakodinamik dan farmakokinetik

Kortikosteroid sistemik

Farmakokinetik: kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral di absorbs


cukup baik. Untuk mencapai kadar tinggi dengan cepat dalam cairan tubuh, ester
kortisol dan derivate sintetiknya diberikan secara IV. Untuk mendapatkan efek yang
lama kortisol dan esternya diberikan secara IM.

Glukokortikoid dapat diabsorbsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang


synovial.Pada keadaan normal 90% kortiso terikat pada dua jenis protein plasma yaitu
globulin pengikat kortikosteroi dan albumin.Afinitas globulin tinggi tetapi kapasitas
ikatannya rendah, sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi kapasitas ikatannya
relative tinggi. Karena itu pada kadar rendah ataupun normal sebagian besar
kortikostroid terikat oleh globulin.

26
Biotransformasi steroid terjadi di dalam dan di luar hati.Metabolitnya merupakan
senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Semua kortikosteroid yang aktif memiliki
ikatan rangkap pada atom C4,5dan gugus keton pada atom C3. Sebagian besar hasil
reduksi gugus keton pada atom C3 melalui gugus hidroksinya secara enzimatik
bergabung dengan asam sulfat atau asam glukoronat membentuk ester yang mudah
larut dan kemudian diekskresi.Reaksi ini terutama terjadi di hepar dan sebagian kecil
di ginjal.

Farmakodinamik: mempengaruhi metabolism karbohidrat, protein, lemak dan


mempengaruhi juga system kardiovaskuler, ginjal , otot lurik, system saraf dan organ lain.

Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis, makin besar


dosis terapi makin besar efek yang didapat. Tetapi disamping itu juga ada keterkaitan
hormone-hormon lain. Peran kortikosteroid dalam kerjasama ini disebut permassive
effect yaitu kortikosteroid diperlukan supaya terjadi suatu efek hormone lain, diduga
mekanismenya adalah melalui pengauh steroid terhadap pembentukan protei yang
mengubah respon jaringan terhadap hormone lain. Misalnya otot polos bronkus tidak
akan berespon terhadap katekolamin bila tidak ada kortikosteroid, dan pemberian
kortikosteroid dosis fisiologis akan mengembalikan respon tersebut.

β2 agonis

Farmakokinetik: golongan β2 agonis selain selektif falam pemberian oral, juga di


absorbs dengan baik dan cepat pada pemberian sebagai aerosol. Obat-obat ini bukan
katekolamin, maka resisten terhadap COMT, kecuali isoetarin yang merupakan
katekolamin.Terbutalin merupakan satu-satuya β2 agonis yang mempunyai sediaan
parenteral untuk pengobatan darurat status asmatikus.Formoterol dan salmeterol
mempunyai masa kerja yang panjang (≥12jam) sehingga disebut long acting β2-agonist
(LABA)

Farmakodinamik: dalam golongan ini termasuk metaproterenol (orsiprenalin),


salbutamol (albuterol), terbutalin, fenoterol, formoterol, prokaterol, salmeterol,
pirbuterol, bitolterol, isoetarin, ritodrin. Pada dosis kecil kerja obat-obat ini pada
reseptor β2 jauh lebih kuat daripada kerjanya pada reseptor β1.Tetapi bila dosisnya

27
ditinggikan, selektivitas ini hilang. Misalnya pada pasien asma salbutamol kira-kira sama
kuat dengan isoproterenol sebagai bronkodilator (bila diberikan sebagai aerosol) tetapi
jauh lebih lemah dari isoproterenol sebagai stimulant jantung. Tetapi bila dosis salbutamol
ditinggikan 10 kali lipat, di peroleh efek stimulant jantung yang menyamai efek
isoproterenol.

Melalui aktivitas reseptor β2 obat-obat ini menimbulkan relaksasi otot polos


bronkus, uterus, dan pembuluh darah otot rangka. Aktifitas reseptor β1 yang yang
menghasilkan stimulasi jantung, oleh dosis yang sama jauh lebih lemah. Obat-obat ini
yang hanya menimbulkan sedikit perubahan tekanan darah, dikembangkan terutama
untuk pengobatan asma bronkial.

Antikolinergik

Farmakokinetik: alkaloid alam dan kebanyakan obat-obat antimuskarinik tersier


diserap dengan baik dari usus dan dapat menembus membrane konjungtiva. Bila
digunakan dengan zat pembawa yang cocok seperti skopolamin malah justru dapat
menembus kulit.Kebalikannya hanya 10-30% dari suatu dosis obat antimuskarinik
kuartener diabsorbsi setelah pemberian oral, menggambarkan penurunan kelarutan
lemak pada molekul bermuatan.

Atropine dan senyawa tersier lainnya didistribusikan meluas kedalam tubuh


setelah penyerapan. Kadar tertentu dalam SSP dicapai dalam 30 menit sampai 1 jam
dan mungkin membatasi toleransi dosis bila obat digunakan untuk memperoleh efek
perifernya. Atropine cepat menghilang dari darah setelah pemberiannya dengan masa
paruh 2 jam. Kira-kira 60% dari dosis diekskresikan kedalam urin dalam bentuk utuh

Farmakodinamik: antikolinergik khususnya pada system pernafasan, baik otot


polos atau sel kelenjar sekresi pada saluran pernafasan dipersarafi oleh vagus dan
mengandung reseptor muskarinik. Bahkan pada individu normal, maka efek
bronkodilatasi dan pengurangan sekresi setelah menelan atropine dapat diukur.Efek
demikian lebih dramatik pada pasien yang saluran pernafasannya terganggu, walaupun
obat antimuskarinik ini tidak sebaik pemacu beta-adrenoreseptor pada pengobatan
asma.Namun demikian obat antimuskarinik ini cukup bermanfaat pada sebagian

28
pasien asma atau penyakit PPOK.Keuntungan lainnya obat ini sering digunakan
sebelum pemberian anastesi inhalasi guna mengurangi penumpukan sekresi trakea
dan kemungkinan kekakuan laring.

Metilsantin

Farmakokinetik: metilsantin cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rektal, atau


parenteral. Sediaan bentuk cair atau tablet tidak bersalut akan diabsorbsi secara cepat
dan lengkap. Absorbs teofilin dalam bentuk garam yang mudah larut misalnya teofilin
Na glisinat atau teofilin kolin tidak lebih baik

Dalam keadaan perut kosong, sediaan teofilin bentuk cair atau tablet tidak
bersalut dapat menghasilkan kadar pucak plasma dalam waktu 2 jam. Pada umumnya
adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbs
teofilintetapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorbsi.

Farmakodinamik: obat-obat ini menyebabkan relaksasi otot polos, terutama otot


polos bronkus, merangsang SSP, otot jantung, dan meningkatkan diuresis.

o SSP

Teofilin menyebabkan perangsangan SSP cukup dalam dan berbahaya


disbandingkan kafein. Efek samping teofilin 250mg atau lebih pada pengobatan
asma bronkial mirip dengan gejala perangsangan kafein terhadap SSP. Bila dosis
metilsantin diitnggikan akan meyebabkan gugup, gelisah, insomnia, tremor,
hiperestesia, kejang fokal atau kejang umum.

o System kardiovaskuler

Teofilin pernah digunakan untuk pengobatan darurat payah jantung berdasarkan


kemampuannya menurunkan tahanan perifer, merangsang jantung,
meninggikan perfusi berbagai organ dan menimbulkan diuresis.

o Otot rangka

29
Dalam kadar terapi kafein dan teofilin ternyata dapat memperbaiki
kontraktilitas dan mengurangi kelelahan otot diafragma pada orang normal
maupun pada pasien COPD.

o Diuresis

Semua santin meninggikan produksi urin.Teofili merupakan diuretic, tetapi


efeknya hanya sebentar. Cara kerjanya diduga melalui penghambatan
reabsorbsi elektrolit di tubuli roksimal maupun dk segmen dilusi, tanpa disertai
perubahan filtrasi glomeruli ataupun aliran darah ginjal

 Obat yang aman untuk ibu hamil

Selama bronkospasme akut, agonis β2-adrenergik inhalasi diindikasikan untuk


memperbaiki fungsi pernapasan ibu dan mencegah distress janin.Efek merugikan pada
ibu dan janin jarang terjadi bila agonis β2-adrenergik inhalasi digunakan pada dosis
yang dianjurkan.

Terapi yang dianggap aman pada kehamilan terutama kromolin inhalasi karena
sangat sedikit diabsorbsi dari saluran gastrointestinal.

Hampir semua obat antiasthma aman untuk digunakan dalam kehamilan dan
selama menyusui .Bahkan , undertreatment pasien hamil sering terjadi , karena pasien
tersebut khawatir tentang efek obat pada janin.

Manajemen rawat jalan asma hampir sama untuk pasien hamil. Agonis beta-
adrenergik tetap menjadi andalan dalam mengobati eksaserbasi dan penanganan
bentuk ringan asma.

Untuk asma sedang - berat, agonis beta - adrenergik dikombinasikan dengan agen
anti - inflamasi inhalasi atau kortikosteroidinhalasi direkomendasikan untuk

30
pengobatan. Dalam asma berat , kortikosteroid oral dan agonis beta direkomendasikan
.

Kortikosteroid dapat digunakan dalam menejemen akut dan rawat jalan dan telah
terbukti relatif aman pada kehamilan . Pada sediaanintravena , intramuskular , dan
sediaan oral dapat digunakan untuk eksaserbasi akut , sedangkan sediaan inhalasi
dipersiapkan untuk terapi pemeliharaan rawat jalan.

Secara historis , methylxanthines dan agonis beta oral telah digunakan untuk
mengobati asma . Keduanya telah terbukti aman pada kehamilan tetapi belum
diperuntukkan untuk dapat dijadikan obat inhalasi pada kehamilan.

Magnesium sulfat adalah obat lain yang aman untuk digunakan dalam kehamilan
. Ia bekerja sebagai relaksan otot polos jalan napas .

Penggunaan epinefrin harus dihindari pada pasien hamil. Secara umum , epinefrin
hanya digunakan dalam eksaserbasi asma paling parah . Pada kehamilan , kerja obat
dapat menyebabkan kemungkinan malformasi kongenital , takikardia janin , dan
vasokonstriksi sirkulasi uteroplasenta .

B. Tulislah penatalaksanaan astma untuk penderita tersebut (dosis dan cara pemberian)

Program untuk penatalaksanaan dari asma meliputi 7 komponen yakni:

- Edukasi
- Menilai dan monitor berat asma secara berkala
- Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
- Merencanakan dan memberikan obat jangka panjang
- Menetapkan pengobatan pada serangan akut

31
- Kontrol secara teratur
- Pola hidup sehat

Pemilihan obat pada penderita hamil, dianjurkan:

- Obat Inhalasi
- Memakai obat-obat lama yang pernah dipakai pada kehamilan sebelumnya yang
sudah terdokumentasi dan terbukti aman.

Cara pemberian obat berdasarkan keparahan penyakit :

- Asma Ringan (Skor 1-5)

Bronkodilator golongan beta-2-agonis selektif

- Asma Sedang (Skor 6-8)

Kortikosteroid inhalasi dosis rendah

Bronkodilator dua kali sehari

- Asma Berat (Skor 9-12)

Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi

Bronkodilator secara teratur dengan atau tanpa teofilin.

Penatalaksanaan awal serangan asma akut

- Oksigenasi dengan kanul nasal


- Inhalasi agonis-beta 2 kerja singkat (nebulisasi) setiap 20 menit dalam 1 jam
(Salbutamol inhalasi 200 mcg)
- Bisa diberikan Kortikosteroid sistemik (prednisone oral 4 mg ), jika tidak ada
respon, segera dengan pengobatan bronkodilator

C. Edukasi apa yang harus diberikan pada penderita

 Hindari faktor penyebab yang dapat menimbulkan asma, seperti alergen dan
bahan iritan
 Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan stres fisik maupun mental
 Kurangi aktivitas fisik yang berat
 Perbanyak istirahat
 Sarankan untuk memperbanyak mengkonsumsi buah, sayur dan susu

32
 Sedangkan menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, bahan edukasi yang
diberikan adalah sebagai berikut:

33
DAFTAR PUSTAKA

Dasar farmakologi terapi volume 1 edisi 10. Penulisnya Goodman and Gilman. Penerbit EGC

Ganiswarna, S. 1981. “Farmakologi dan Terapi, edisi 2” Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.

Gunawan, S. G., Setiabudy, R., & Nafrialdi. (2007). Farmakologi UI. Jakarta: Badan Penerbit
FK UI.

Hippocrates EmergencyTeam. (2010). Prosedur Tetap.

Hornby PJ, Abrahams TP. Pulmonary pharmacology. Clin Obstet Gynecol. Mar
1996;39(1):17-35.

Katzung, Bertram G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Penerbit Salemba Medika.
Jakarta.

Mutschler, E, 1991. “Dinamika Obat (Buku ajar Farmakologi dan Toksikologi)” Edisi V. ITB.
Bandung.

Mycek, Mary J.,dkk. 1991. “Farmakologi Ulasan Bergambar, Edisi 2”. Widya Medika.
Bandung.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Asma, Pedoman diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Powell H, Murphy VE, Taylor DR, Hensley MJ, McCaffery K, Giles W, et al. Management of
asthma in pregnancy guided by measurement of fraction of exhaled nitric oxide: a double-blind,
randomised controlled trial. Lancet. Sep 10 2011;378(9795):983-90

Rey E, Boulet LP. Asthma in pregnancy. BMJ. Mar 17 2007;334(7593):582-5

Tegethoff M, Greene N, Olsen J, Schaffner E, Meinlschmidt G. Inhaled Glucocorticoids


during Pregnancy and Offspring Pediatric Diseases: A National Cohort Study. Am J Respir Crit Care
Med. Mar 1 2012;185(5):557-63.

Tjay, Tan Hoan & Kirana Rahardja. 2002. “Obat-Obat Penting, Edisi V”. PT. Elex Media
Komputindo. Jakarta,

34
35
36
37
38
DAFTAR PUSTAKA

Dasar farmakologi terapi volume 1 edisi 10. Penulisnya Goodman and Gilman. Penerbit EGC

Ganiswarna, S. 1981. “Farmakologi dan Terapi, edisi 2” Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.

Gunawan, S. G., Setiabudy, R., & Nafrialdi. (2007). Farmakologi UI. Jakarta: Badan Penerbit
FK UI.

Hippocrates EmergencyTeam. (2010). Prosedur Tetap.

Hornby PJ, Abrahams TP. Pulmonary pharmacology. Clin Obstet Gynecol. Mar
1996;39(1):17-35.

Katzung, Bertram G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Penerbit Salemba Medika.
Jakarta.

39
Mutschler, E, 1991. “Dinamika Obat (Buku ajar Farmakologi dan Toksikologi)” Edisi V. ITB.
Bandung.

Mycek, Mary J.,dkk. 1991. “Farmakologi Ulasan Bergambar, Edisi 2”. Widya Medika.
Bandung.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Asma, Pedoman diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Powell H, Murphy VE, Taylor DR, Hensley MJ, McCaffery K, Giles W, et al. Management of
asthma in pregnancy guided by measurement of fraction of exhaled nitric oxide: a double-blind,
randomised controlled trial. Lancet. Sep 10 2011;378(9795):983-90

Rey E, Boulet LP. Asthma in pregnancy. BMJ. Mar 17 2007;334(7593):582-5

Tegethoff M, Greene N, Olsen J, Schaffner E, Meinlschmidt G. Inhaled Glucocorticoids


during Pregnancy and Offspring Pediatric Diseases: A National Cohort Study. Am J Respir Crit Care
Med. Mar 1 2012;185(5):557-63.

Tjay, Tan Hoan & Kirana Rahardja. 2002. “Obat-Obat Penting, Edisi V”. PT. Elex Media
Komputindo. Jakarta,

40

Anda mungkin juga menyukai