Tugas Farmakologi Obat Emergensi Kelompok 1
Tugas Farmakologi Obat Emergensi Kelompok 1
OLEH : KELOMPOK 1
Evan Faishal Mahadinata (1410015010)
Fernando Budiarto (1410015038)
David Ivander (1410015074)
Reka Aprianti (1410015015)
Fortragina TC (1410015022)
Fairuz Sa’adah (1410015032)
Ayu Wira Oktalia (1410015042)
Imas Qurrata A’yuni (1410015048)
Yayuk Bulam Sarifati (1410015051)
Adinda Rizkia Nurdi (1410015069)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2017
1
SOAL
KASUS 1
Seorang anak bernama Udin 4 tahun dengan berat badan 12 kg datang ke UGD RSU
A. Wahab Sjahranie dibawa oleh ibunya dengan kejang – kejang dan ibu penderita sangat
panik sambil berteriak minta tolong pada petugas kesehatan yang ada di UGD. Kejang
sudah berlangsung 1 menit pada saat masuk lapangan parkir dan bersifat tonik seluruh
tubuh. Penderita sebelumnya ada demam sejak 36 jam yang lalu dantidak ada riwayat
kejang sebelumnya atau trauma kepala.
Obat – obat yang dapat digunakan untuk penanganan kejang antara lain :
Dosis kadar terapi dan sediaan obat anti kejang yang beredar di Indonesia
Obat Dosis Kadar mantap tercapai Sediaan
(hari)
DA : 3-5 mg/kgBB/hari
2
DA : 15 – 25
mg/kgBB/hari
DA : 0,01-0,03
mg/kgBB/hari (max 0,25-
0,5 mg/hari)
DA : 1,2 mg/kgBB/hari
DA : -
DA : -
Keterangan :
DA : Dosis Anak
DD : Dosis Dewasa
Farmakodinamik
3
misalnya diazepam Diazepam berikatan dengan reseptor - reseptor stereo spesifik
benzodiazepin di neuron post sinaptik GABA pada beberapa sisi di dalam Sistem Syaraf Pusat
(SSP). Diazepam meningkatkan penghambatan efektifitas GABA dalam menghasilkan
rangsangan dengan meningkatkan permeabilitas membran terhadap ion klorida. Perubahan ini
mengakibatkan ion klorida berada dalam bentuk terhiperpolarisas i(bentuk kurang aktif /
kurang memberikan rangsangan) dan stabil. Efek pada SSP adalah hipnotik, sedatif, antiansietas,
relaksasi otot dan antikonvulsi. Efek jaringan perifer antara lain dapat menimbulkan vasodilatasi
coroner pada dosis rendah dan memblokade neurotransmitter pada dosis tinggi. Dosis hipnotik
tidak berefek. Dosis preanastetik dapat menyebabkan depresi ringan ventilasi alveolar dan asidosis
respirator. Pada sistem kardiovaskuler dosis biasa menimbulkan efek yang ringan, kecuali
intoksikasi berat sedangkan dosis anastesi dapat menimbulkan efek penurunan tekanan darah dan
peningkatan frekuensi jantung. Di sistem pencernaan dapat menyembuhkan gangguan
pencernaan yang ada hubungan dengan ansietas serta menurunkan sekresi cairan lambung
pada waktu malam hari.
Farmakokinetik
1. Fenitoin merupakan obat yang bersifat asam, memiliki waktu paruh 20 – 30 jam
yang bergantung pada konsentrasi obat, obat ini dimetabolisme di hati. Obat
yang bersifat asam lainnya adalah asam valproat yang memiliki waktu paruh 8
– 15 jam tempat metabolime obat ini di hepar
2. Obat – obatan anti onvulsan yang bersifat basa diantaranya adalah Diazepam
(waktu paruh 24-48 jam) , klonazepam (waktu paruh 20-60 jam dan lebih
singkat pada anak - anak), lamotrigin (waktu paruh 24 jam) ketiga obat ini
memiliki rute eliminasi yang sama yaitu dimetabolisme di hepar.
4. Gabapentin waktu paruh obat ini 5 – 7 jam dan bersifat asam amino,
levetirasetam bersifat asetamid dengan waktu paruh 6 – 8 jam, topiramat
memiliki waktu paruh 20-30 jam semua obat ini dieliminasi melalui ekresi renal.
4
B. Tulislah penatalaksanaan saat kejang demam dan pemberian
rumatannya (dosis dan cara pemberian) untuk penderita tersebut di
atas
5
3-5cm. kemudian rektiol dipijathingga kosongbetul dan selanjutnya untuk
beberapa menit lubang dubur ditutup dengan cara merapatkan kedua
muskulus gluteus.
-Fenobarbital :
-Difenilhidantoin:
-Jika kejang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan tersebut di atas maka
sebaiknya penderita dirawat di ruangan intensif untuk diberikan anastesi umum
dengan thiopental yang diberikan oleh dokter anastesi.
2. Pengobatan penunjang .
Semua pakian ketat dibuka. Posisi kepala sabainya miring untuk
mencegah aspirasi lambung jaga jalan nafas tetap bebas agar oksigenasi
terjamin, jika perlu lakukan intubasi atau trakeostomi. Fungsi vital seperti
kesadaran, suhu, tekanan darah, pernafasan dan fungsi jantung harus
diawasi secara ketat. Jika suhu meninggi (hiperpireksia) maka dilakukan
hibernasi dengan kompres es atau alcohol. Obat untuk hibernasi adalah
6
klorpromazin 2-4mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis; prometazin 4-
6mg’/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis secara suntikan.
Untuk mencegah edem otak, diberikan kortikosteroid, yaitu dengan
dosis 20-30mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis atau sebaiknya
glukokortikoid misalnya deksametazon 0,5-1 ampul setiap 6 jam sampai
keadaan membaik.
7
4. Mencari dan mengobati penyebab.
Penyebab dari kejang demam baik kejang demam sederhana maupun
epilepsy yang diprovokasi oleh demam biasanya infeksi traktus espiratorius
bagian atas dan otitis media akut. Pemberian antibiotic yang tepat dan
adekuat perlu untuk mengobati infeksi tersebut. Jika penderita dating
dengan kejang lama, maka pemeriksaan intensif dilakukan yaitu
pemeriksaan pungsi lumbal untuk menyingkirkan infeksi dalam otak
misalnya meningitis, kemudian dilakukan pemeriksaan darah lengkap,
misalnya gula darah, kalium, magnesium, kalsium, natrium, nitrogen dan
faal hati. Selanjutnya jika belum memberikan hasil yang diinginkan dan
untuk melengkapi data, dapat dilakukan pemeriksaan khusus yaitu X-foto
tengkorak, elektroensefalogram, ekoensefalografi, “brain scan”,
pneumoensefalografi dan arteriografi.
C. Tulislah jenis obat penurun panas yang dapat digunakan pada kejang
demam, bentuk sediaan obat dan dosis pada anak.
1.Aspirin/AsamAsetilSalisilat
Farmakokinetik
Aspirin diabsorbsi cepat dalam bentuk utuh di lambung
pada pemberian oral, tetapi sebagian besar diserap di usus halus bagian atas.
Absorbsi pada pemberian rectal lebih lambat dan tidak sempurna sehingga
cara ini tidak dianjurkan. Asam salisilat diabsorbsi cepat dari kulit sehat
terutama bila dipakai sebagai obat gosok atau salep. Kadar tertinggi dicapai
kira-kira 2 jam setelah pemberian. Kecepatan absorbsinya tergantung dari
kecepatan diintegrasi dan disolusi tablet, pH permukaan mukosa dan waktu
pengosongan lambung.
Setelah di absorbsi, salisilat segera menyebar keseluruh jaringan tubuh dan
cairan intraselular sehingga ditemukan dalam cairan synovial, cairan spinal,
cairan peritoneal, air liur, dan air susu. Obat ini mudah menembus sawar darah
8
otak dan sawar urin. Kira-kira 80-90% salisilat plasma terikat pada albumin.
Aspirin diserap dalam bentuk utuh, dihidrolisis menjadi asam salisilat
terutama dalam hati, sehingga hanya sekitar 30 menit berada dalam plasma.
Bio transformasi salisilat terjadi di banyak jaringan, tetapi terutama di
mikrosom dan mitokondria hati. Salisilat di ekskresi dalam bentuk
metabolitnya terutama melalui ginjal, sebagian kecil melalui keringat dan
empedu.
Sediaan
2.Asetaminofen/Paracetamol
Farmakodinamik
Parasetamol diabsorsi cepat dan sempurna melalui saluran
cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu setengah jam
dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Dalam plasma, 25% parasetamol
terikat protein plasma. Obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosohati.
Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glokuronat dan
sebagian kecilnya dengan asam sulfat. Salinitu, obat ini juga mengalami
9
hidroksilasi, dimana metabolit hasil hidroksilasi ini dapa tmenimbulkan
methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini di ekskresi melalui
ginjal, sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam
bentuk terkonjugasi.
Sediaan
Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500 mg
atau sirup yang mengandung 120 mg / 5mL. selain itu parasetamol terdapat
sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet ataupun cairan. Dosis
parasetamol untuk dewasa 300 mg-1 g/kali, degan maksimum 4 g/hari; untuk
anak 6-12 tahun : 150-300 mg/kali, dengan maksimum 1,2g/hari. Untuk anak
1-6 tahun :60-120 mg/kali dan bayi dibawah 1 tahun: 60mg/kali dengan dosis
maksimum keduanya 6 kali sehari.
3. Ibuprofen
Farmakokinetik
Ibuprofen diabsorpsi dengan baik melalui saluran gastrointestinal.
Obat-obat ini mempunyai waktuparuh yang singkat, tetapi tinggi berikatan
dengan protein. Jika ibuprofen dipakai bersama-sama dengan obat lain yang
juga tinggi berikatan dengan protein, maka dapat terjadi efek samping yang
berat. Obat ini di metabolism oleh hati menjadi metabolit dan disekresikan
sebagai metabolit inaktif di dalam urin.
Farmakodinamik
Ibuprofen menghambat sintesis prostaglandin sehingga dengan
demikian efektif dalam meredakan inflamasi dan nyeri. Obat-obat ini
memiliki mula kerja, waktu untuk mencapai kadar puncak dan lama kerja
yang semuanya singkat. Obat ini memerlukan waktu beberapa hari agar efek
anti inflamasinya jelas terlihat. Ada banyak interaksi obat yang menambah
efek koumarin, sulfonamid, banyak dari sefalosporin dan fenitoin. Jika
dipakai bersamaaspirin, efeknyadapatberkurang.
10
Dapatterjadihipoglikemiajika ibuprofen dipakai bersama insulin atau obat
hipoglikemik oral. Risiko terjadi toksisitas tinggi jika ibuprofen dipakai
bersama-sama dengan penghambat kalsium.
Sediaan
Ibuprofen tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 200 mg,
400 mg atau sirup yang mengandung 100 mg/5mL. Dosis ibuprofen untuk
dewasa 200mg-400 mg, dengan 4-6 dosis perhari; untuk anak dosisnya 20-
40mg/KgBB/hari.
11
meninggalsaat kejang demam pertama dengan kesepakatan
keluarga untuk memahami prognosis dari kejang.
2. Memastikan keluarga mengerti bahwa tidak ada peningkatan
resiko keterlambatan intelektual jika kejang kurang dari 30
menit.
3. Memberikan keluarga informasi tentang resiko kekambuhan
kejang berikutnya.
12
6. Berikan diazepam rektal. Dan jangan berikan bila kejang telah
berhenti
7. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit
atau lebih.
KASUS 2
Seorang penderita berumur 20 tahun datang ke UGD RSU A Wahab
Sjahranie dengan keluhan panas badan 3 hari. setelah diperiksa oleh dokter
UGD diputuskan untuk diberikan injeksi xylomidon dan delladryl = 2: 1
secara intramuskular. Satu menit kemudian penderita merasa gatal-gatal
seluruh tubuh sesak nafas dan tidak sadarkan diri. Dokter kemudian
memeriksa dan diketahui tensi 50 mmHg palpasi dan ada wheezing di kedua
paru, lalu di idagnosa anafilaktik shok dan diberikan penanganan shock
anafilasis. Setelah diberi penanganan shock anafilasis selama 3 jam
penderita tersebut diperbolehkan pulang.
A. Tulislah jenis-jenis obat-obat yang dapat menyebabkan shok
anafilaksis
Setiap obat dapat menyebabkan anafilaksis. Obat yang paling umum
adalah antibiotik beta-laktam (seperti penisilin) diikuti oleh aspirin dan
obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS). Apabila seseorang memiliki
alergi terhadap salah satu jenis OAINS, biasanya masih dapat
menggunakan jenis lainnya tanpa memicu anafilaksis. Penyebab lain
anafilaksis yang sering ditemukan di antaranya
adalah kemoterapi, vaksin, protamin, dan obat-obatan herbal. Beberapa
obat termasuk vankomisin, morfin, dan agen radiokontras,
menyebabkan anafilaksis karena degranulasi sel mast.
B. Tulislah jenis-jenis obat yang dapat digunakan untuk
penatalaksanaan shock anafilaksis, bentuk sediaan obat dan
dosis obat pada anak dan dewasa, farmakodinamik dan
farmakokinetiknya.
13
Epinefrin / Adrenalin
Epinefrin adalah pilihan obat pada syok anafilaksis dan diberikan
sesegera mungkin (TD sistolik turun < 90 MmHg).
Dosis : 0,3-0,5 ml/cc Adrenalin/Epinefrin 1 : 1000 diberikan IM.
Untuk anak-anak dosis : 0,01 ml/KgBB/.dose dengan maksimal
0,4 ml/dose.
Farmakokinetik
Obat simpatomimetik dapat mengaktifkan reseptor α dan β, namun
perbandingan relatif pacuan aktivitas reseptor α dan atau reseptorr β
bervariasi..
14
Farmakodinamik
Epinefrin adalah suatu vasokonstriktor dan pacu jantung yang poten.
Peningkatan tekanan darah sistolik yang timbul karena pelepasan epinefrin
disebabkan oleh kerja inotropik dan kronotropik positif pada jantung
(terutama perantaraan reseptor β1) dan vasokonstriksi kebanyakan daerah
vascular (reseptor α). Epinefrin mengaktifkan pula reseptor β2 pada
beberapa pembuluh darah yang menyebabkan dilatasi. Akibatnya, tahanan
perifer total akan turun yang dapat menerangkan turunnya tekanan diastolik
dan sering terjadi setelah injeksi epinefrin. Efek samping yang dapat
ditimbulkan oleh epinephrine adalah beberapa gejala negatif pada aktivitas
metabolisme organ tubuh berupa palpitasi, tremor, takikardia, aritmia,
hipertensi, pendarahan otak, dan edema akut paru (Kinnear, 2011).
Antihistamin
Pemberian antihistamin ternyata cukup efektif untuk mengontrol
keluhan yang ditimbulkan pada kulit atau membantu pengobatan hipotensi
yang terjadi. Dapat diberikan antihistamin antagonist H1 yaitu Dipenhidram
dengan
dosis 25-50 mg IV sedangkan,
untuk anak-anak 2 mg/KgBB
Selain itu juga dapat dikombinasikan dengan antagonis H2 dapat
memberikan efek yang lebih baik yaitu dengan Ranitidin dosis 1 mg/kgbb
IV atau dengan Cimetidine 4 mg/kgbb IV pemberian dilakukan secara
lambat.
Farmakokinetik
15
Obat ini mudah diabsorbsi setelah pemberian oral dengan puncak
konsentrasi setelah 1-2 jam. Umumnya lama kerja obat sekitar 4-6 jam.
Mudah terdistribusi ke seluruh tubuh dan masuk SSP dengan mudah.
Dimetabolisme di hepar.
Farmakodinamik
Reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi refrakter terhadap
pemberian AH1, karena disini bukan histamine saja yang berperan tetapi
autakoid lain yang dilepaskan. Efektivitas AH1 melawan beratnya reaksi
hipersensitivitas berbeda – beda, tergantung beratnya gejala akibat histamin.
Beberapa efek dari AH1 adalah sedasi, antimual dan antimuntah, efek
antiparkinsonisme, kerja antikolinoseptor, kerja menghambat adrenoseptor,
dan bekerja menghambat serotonin.
Kortikosteroid
Pemberian golongan kortikosteroid dapat diberikan walaupun bukan
first line therapy. Obat ini kurang mempunyai efek untuk jangka pendek,
lebih berefek untuk jangka panjang. Dapat diberikan Hidrokortison 250-500
mg IV atau metal prednisolon50-100 mg IV.
Farmakokinetik
Diabsorbsi dengan cepat dan lengkap pada pemberian per oral.
Dapat diekskresikan dalam bentuk bebas.
Farmakodinamik
Berefek terhadap metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein,
berefek katabolic pada jaringan limfoid, jaringan ikat, lemak, otot, dan kulit.
Efek antiinflamasi dan imunosupresi, merangsang produksi asam dan
pepsin yang berlebihan di dalam lambung.
16
Aminophylin
Bila terdapat bronkospasme yang tak respon dengan adrenalin dapat
diberikan aminophylin dengan dosis 6 mg/KgBB dalam 50 ml NaCL 0.9%
diberikan secara iv dalam 30 menit.
Farmakokinetik
Menghambat reseptor adenosine pada permukaan sel dan
meningkatkan pembebasan histamine dari menganagonis pembebasan
histamine di paru-paru.
Farmakodinamik
Rangsangan kewaspadaan dan memperlambat kelelahan pada SSP,
kegelisahan dan tremor, efek kronotropik dan inotropik pada jantung,
merangsang sekresi asam lambung dan enzim pencernaan,
bronkodilatasi, menghambat pembebasan histamine dari jaringan paru
memperbaiki kontraktilitas dan pemulihan kelelahan diafragma.
17
diperlukan
Bila respon tidak adekuat, keadaan mengancam kehidupan
atau memburuk
Ulang adrenalin 3-5menit
Bila hipotensi:
Ulangi infus NaCl fisiologis 10-20ml/kg dapat
mencapai 50ml/kg dalam 30menit
I.v. Atropine 0.02mg/kg bila bradikardi berat
I.v. Vasopresor untuk mengatasi vasodilatasi. Pada
henti jantung adrenalin dapat ditingkatkan menjadi 3-5mg setiap 2-
3menit mungkin efektif
I.v. Glucagons pada pasien yang memakai obat
penyekat beta. Dosis orang dewasa 1-5mg ug/menit
Bronkospasme:
Inhalasi sabutamol secara kontinu
I.v. Hidrokortison 5mg/kg diikuti prednison 1mg/kg
maksimal 50mg, selama 4 hari
Obat saluran napas bagian atas
Adrenalin inhalasi (5mg atau 5ml sediaan adrenalin
1:1000)
Observasi
Observasi paling tidak 4jam setelah semua gejala dan tanda
menghilang. Sebelum dipulangkan pasien diberikan penjelasan
mengenai alergen dan upaya penghindarannya. Prioritas pengobatan
ditujukan kepada system pernapasan dan kardiovaskuler. Prioritas ini
berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada anafilaksis terutama
disebabkan oleh tersumbatnya saluran napas,
System pernapasan
18
laring atau spasme bronkus. Pada kebanyakan kasus, suntikan epinefrin
sudah memadai untuk mengatasi keadaan tersebut. Tetapi pada edema laring
kadang diperlukan tindakan trakeostomi. Tindakan intubasi pasien dengan
edema laring tidak saja sulit tetapi juga sering menambah beratnya
obstruksi. Karena pipa endotrakeal akan mengiritasi dinding laring. Bila
saluran napas tertutup sama sekali hanya tersedia waktu 3 menit untuk
bertindak. Karena trakeostomi hanya dikerjakan oleh dokter ahli atau yang
berpengalaman maka tindakan yang dapat dilakukan dengan segera adalah
melakukan punksi membrane krikotiroid dengan jarum besar. Kemudian
pasien segera dirujuk ke rumah sakit.
2) Pemberian oksigen 4-6 l/menit sangat penting baik pada gangguan
pernapasan maupun kardiovaskular
3) Bronkodilator diperlukan bila terjadi obstruksi saluran napas bagian bawah
seperti pada gejala asma atau status asmatikus. Dalam hal inidapat diberikan
larutan salbutamol atau agonis beta-2 lainnya 0,25 cc – 0,5 cc dalam 2-4 ml
NaCl 0,9% diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5-6 mg/kgBB yang
diencerkan dalam 20 cc dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan
perlahan-lahan sekitar 15 menit.
System kardiovaskular
1) Gejala hipotansi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian epinefrin
menandakan telah terjadi kekurangan cairan intravascular.
Pasien ini membutuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan
kristaloid (NaCl 0,9%) atau koloid (plasma, dekstran). Dianjurkan untuk
memberikan cairan koloid 0,5-1 L dan sisanya dalam bentuk cairan
kristaloid. Cairan kolid ini tidak saja mengganti cairan intravascular yang
merembes keluar pembuluh darah atau yang terkumpul di jaringan
splangnikus, tetapi juga dapat menarik cairan ekstravaskular untuk kembali
ke intravascular
19
2) Oksigen mutlak harus diberikan disamping pemantauan system
kardiovaskular dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis
metabolic\
3) Kadang-kadang diperlukan CVP central venous pressure). Pemasangan
CVP ini selain untuk memantau kebutuhan cairan dan menghindari
kelebihan pemberian cairan, juga dapat dipakai untuk pemberian obat yang
bila bocor dapat merangsang jaringan sekitarnya.
4) Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para ahli
sependapat untuk memberikan vasopresor melalui cairan infuse intravena.
Dengan cara melarutkan 1 ml epinefrin 1 : 1000 dalam 250 ml dekstrosa
(konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infuse 1-4 mg/menit atau 15-60
mikrodrip/menit (dengan infuse mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat
dinaikkan sampai maksimum 10 mg/ml.
Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaan anafilaksis yang berat,
American Heart Association, menganjurkan pemberian epinefrin secara
endotrakeal dengan dosis 10 ml epinefrin 1:10.000 diberikan melalui jarum
panjang atau kateter melalui pipa endotrakeal (dosis anak 5 ml epinefrin
1:10.000). tindakan diatas kemudian diikuti pernapasan hiperventilasi untuk
menjamin absorpsi obat yang cepat.
20
D. Edukasi apa yang harus diberikan pada penderita.
Penderita dan keluarga diedukasi bahwa mereka perlu tahu mengenai
penyuntikan apapun (inform consent)), terutama penyuntikan obat
obatan yang bersifat allergen sehingga bisa waspada terutama pada
oenderita yang memiliki riwayat atopi.
21
KASUS 3
Seorang penderita berumur 28 tahun datang ke UGD RSU A Wahab Sjahranie
dengan keluhan sesak nafas sejak 6 jam yang lalu dan hamil bulan. Penderita
memiliki riwayat astma dan sering kambuh setiap minggu dalam dua bulan
terakhir ini. Setelah diperiksa oleh dokter UGD dikketahui tanda vital dalam
batas normal dan didiagnosis menderita astma akut dalam serangan.
A. Tulislah jenis-jenis obat yang dapat digunakan untuk penatalaksanaan
astma, bentuk sediaan obat dan dosis obat, farmakodinamik dan
farmakokinetiknya. Jelaskan obat-obat astma mana yang aman untuk
wanita hamil pada trisemester 1 dan III, serta jelaskan juga mengapa
tidak aman
Jenis obat asma
22
Obat pengontrol asma
23
24
Obat pelega untuk mengatasi gejala asma
25
Obat pelega untuk mengatasi gejala asma
Kortikosteroid sistemik
26
Biotransformasi steroid terjadi di dalam dan di luar hati.Metabolitnya merupakan
senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Semua kortikosteroid yang aktif memiliki
ikatan rangkap pada atom C4,5dan gugus keton pada atom C3. Sebagian besar hasil
reduksi gugus keton pada atom C3 melalui gugus hidroksinya secara enzimatik
bergabung dengan asam sulfat atau asam glukoronat membentuk ester yang mudah
larut dan kemudian diekskresi.Reaksi ini terutama terjadi di hepar dan sebagian kecil
di ginjal.
β2 agonis
27
ditinggikan, selektivitas ini hilang. Misalnya pada pasien asma salbutamol kira-kira sama
kuat dengan isoproterenol sebagai bronkodilator (bila diberikan sebagai aerosol) tetapi
jauh lebih lemah dari isoproterenol sebagai stimulant jantung. Tetapi bila dosis salbutamol
ditinggikan 10 kali lipat, di peroleh efek stimulant jantung yang menyamai efek
isoproterenol.
Antikolinergik
28
pasien asma atau penyakit PPOK.Keuntungan lainnya obat ini sering digunakan
sebelum pemberian anastesi inhalasi guna mengurangi penumpukan sekresi trakea
dan kemungkinan kekakuan laring.
Metilsantin
Dalam keadaan perut kosong, sediaan teofilin bentuk cair atau tablet tidak
bersalut dapat menghasilkan kadar pucak plasma dalam waktu 2 jam. Pada umumnya
adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbs
teofilintetapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorbsi.
o SSP
o System kardiovaskuler
o Otot rangka
29
Dalam kadar terapi kafein dan teofilin ternyata dapat memperbaiki
kontraktilitas dan mengurangi kelelahan otot diafragma pada orang normal
maupun pada pasien COPD.
o Diuresis
Terapi yang dianggap aman pada kehamilan terutama kromolin inhalasi karena
sangat sedikit diabsorbsi dari saluran gastrointestinal.
Hampir semua obat antiasthma aman untuk digunakan dalam kehamilan dan
selama menyusui .Bahkan , undertreatment pasien hamil sering terjadi , karena pasien
tersebut khawatir tentang efek obat pada janin.
Manajemen rawat jalan asma hampir sama untuk pasien hamil. Agonis beta-
adrenergik tetap menjadi andalan dalam mengobati eksaserbasi dan penanganan
bentuk ringan asma.
Untuk asma sedang - berat, agonis beta - adrenergik dikombinasikan dengan agen
anti - inflamasi inhalasi atau kortikosteroidinhalasi direkomendasikan untuk
30
pengobatan. Dalam asma berat , kortikosteroid oral dan agonis beta direkomendasikan
.
Kortikosteroid dapat digunakan dalam menejemen akut dan rawat jalan dan telah
terbukti relatif aman pada kehamilan . Pada sediaanintravena , intramuskular , dan
sediaan oral dapat digunakan untuk eksaserbasi akut , sedangkan sediaan inhalasi
dipersiapkan untuk terapi pemeliharaan rawat jalan.
Secara historis , methylxanthines dan agonis beta oral telah digunakan untuk
mengobati asma . Keduanya telah terbukti aman pada kehamilan tetapi belum
diperuntukkan untuk dapat dijadikan obat inhalasi pada kehamilan.
Magnesium sulfat adalah obat lain yang aman untuk digunakan dalam kehamilan
. Ia bekerja sebagai relaksan otot polos jalan napas .
Penggunaan epinefrin harus dihindari pada pasien hamil. Secara umum , epinefrin
hanya digunakan dalam eksaserbasi asma paling parah . Pada kehamilan , kerja obat
dapat menyebabkan kemungkinan malformasi kongenital , takikardia janin , dan
vasokonstriksi sirkulasi uteroplasenta .
B. Tulislah penatalaksanaan astma untuk penderita tersebut (dosis dan cara pemberian)
- Edukasi
- Menilai dan monitor berat asma secara berkala
- Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
- Merencanakan dan memberikan obat jangka panjang
- Menetapkan pengobatan pada serangan akut
31
- Kontrol secara teratur
- Pola hidup sehat
- Obat Inhalasi
- Memakai obat-obat lama yang pernah dipakai pada kehamilan sebelumnya yang
sudah terdokumentasi dan terbukti aman.
Hindari faktor penyebab yang dapat menimbulkan asma, seperti alergen dan
bahan iritan
Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan stres fisik maupun mental
Kurangi aktivitas fisik yang berat
Perbanyak istirahat
Sarankan untuk memperbanyak mengkonsumsi buah, sayur dan susu
32
Sedangkan menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, bahan edukasi yang
diberikan adalah sebagai berikut:
33
DAFTAR PUSTAKA
Dasar farmakologi terapi volume 1 edisi 10. Penulisnya Goodman and Gilman. Penerbit EGC
Ganiswarna, S. 1981. “Farmakologi dan Terapi, edisi 2” Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.
Gunawan, S. G., Setiabudy, R., & Nafrialdi. (2007). Farmakologi UI. Jakarta: Badan Penerbit
FK UI.
Hornby PJ, Abrahams TP. Pulmonary pharmacology. Clin Obstet Gynecol. Mar
1996;39(1):17-35.
Katzung, Bertram G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Penerbit Salemba Medika.
Jakarta.
Mutschler, E, 1991. “Dinamika Obat (Buku ajar Farmakologi dan Toksikologi)” Edisi V. ITB.
Bandung.
Mycek, Mary J.,dkk. 1991. “Farmakologi Ulasan Bergambar, Edisi 2”. Widya Medika.
Bandung.
Powell H, Murphy VE, Taylor DR, Hensley MJ, McCaffery K, Giles W, et al. Management of
asthma in pregnancy guided by measurement of fraction of exhaled nitric oxide: a double-blind,
randomised controlled trial. Lancet. Sep 10 2011;378(9795):983-90
Tjay, Tan Hoan & Kirana Rahardja. 2002. “Obat-Obat Penting, Edisi V”. PT. Elex Media
Komputindo. Jakarta,
34
35
36
37
38
DAFTAR PUSTAKA
Dasar farmakologi terapi volume 1 edisi 10. Penulisnya Goodman and Gilman. Penerbit EGC
Ganiswarna, S. 1981. “Farmakologi dan Terapi, edisi 2” Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.
Gunawan, S. G., Setiabudy, R., & Nafrialdi. (2007). Farmakologi UI. Jakarta: Badan Penerbit
FK UI.
Hornby PJ, Abrahams TP. Pulmonary pharmacology. Clin Obstet Gynecol. Mar
1996;39(1):17-35.
Katzung, Bertram G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Penerbit Salemba Medika.
Jakarta.
39
Mutschler, E, 1991. “Dinamika Obat (Buku ajar Farmakologi dan Toksikologi)” Edisi V. ITB.
Bandung.
Mycek, Mary J.,dkk. 1991. “Farmakologi Ulasan Bergambar, Edisi 2”. Widya Medika.
Bandung.
Powell H, Murphy VE, Taylor DR, Hensley MJ, McCaffery K, Giles W, et al. Management of
asthma in pregnancy guided by measurement of fraction of exhaled nitric oxide: a double-blind,
randomised controlled trial. Lancet. Sep 10 2011;378(9795):983-90
Tjay, Tan Hoan & Kirana Rahardja. 2002. “Obat-Obat Penting, Edisi V”. PT. Elex Media
Komputindo. Jakarta,
40