Anda di halaman 1dari 31

RESPONSI

COPD EKSASERBASI AKUT

Disusun Oleh:

Natasya Claudia Teng 17710235


Penny Sugarwati 17710222
Rifki Abdillah 17710229
Junaedi Abdillah 17710004

Pembimbing:
dr. Caecillia, Sp. P

RSUD IBNU SINA GRESIK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2018
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. Suyitno

Usia : 60 tahun

Alamat : Jl. Suci, Manyar, Gresik, Jawa Timur

Pendidikan : SD

Status : Kawin

Agama : Islam

Pekerjaan : petani

Tgl &Jam Masuk : 23 Juli 2019, 08.00 WIB

Tgl. Pemeriksaan : 23 Juli 2019, 20.00 WIB

B. ANAMNESIS

Keluhan utama : Sesak napas

Riwayat penyakit sekarang:

Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 3 hari sebelum masuk

rumah sakit , Sesak dirasakan terus menerus dan mengganggu aktivitas, napas

bertambah berat. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca dan waktu, tidak berkurang

1
dengan istirahat. Pasien juga mengeluhkan batuk sudah 1 minggu, , berdahak (+)

warna putih bening, demam (-) penurunan berat badan (+) awalnya 41 kg turun

menjadi 39 kg, keringat malam (-), penurunan nafsu makan (+), mual muntah (-),

BAB dan BAK dalam batas normal.

Riwayat penyakit dahulu :

- TB +
- HT +
- DM –
-Pernah sakit seperti ini sebelumnya, sudah 3x masuk rumah sakit dengan
gejala dan keluhan yang sama
Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada keluarga seperti ini

Riwayat Sosial :

Pada usia 50 tahun pasien merokok 1 bungkus/hari sampai tahun 20.

Sekarang 1-4 batang/hari.

C. PEMERIKSAAN FISIK

 Keadaan Umum : Lemah

 Kesadaran : Compos mentis

 GCS : 4-5-6

 Vital Sign : Tekanan Darah : 150/90 mmHg

Nadi : 81 x/menit

Respiratory rate : 22 x/menit

2
Suhu : 36,5ºC

Status Generalis

 Kepala : Konjungtiva anemis (-/-)

Sklera ikterus (-/-)

Sianosis (-)

Dispneu (+)

 Leher : Pembesaran KGB (-)

Pembesaran tiroid (-)

 Thorax :

Cor

Inspeksi : Ictus cordis tak terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V midklavikula S

Perkusi : Batas kanan jatung Parasternal line dextra

Batas kiri jantung Mid clavicular line sinistra ICS

Auskultasi : S1 S2 Tunggal, reguler, Murmur(-), Gallop (-)

Pulmo

Inspeksi : Tampak Barrel Chest, pelebaran sel iga

Palpasi : Fremitus raba +/+

Perkusi : Sonor pada paru kanan dan kiri

Auskultasi : Rhonki -/-

Wheezing +/-

3
Abdomen:

Inspeksi : Soepel

Auskultasi : Bising usus (+) 7x/menit

Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba.

Perkusi : Timpani

Ekstremitas :

Akral hangat + +

+ +

Edema - -

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Darah Lengkap Tanggal 23 Juli 2019

Nama Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

HB 15,6 L: 13,0-17 g%

P: 11,4-15,1 g%

Leukosit 6.300 4.500-11.000

Laju Endap Darah - L : 0-15

4
P : 0-20

PCV 45 L : 40-50 %

P : 37-47 %

Trombosit 219.000 150.000-450.000 /µL

MCV 88 80-94

MCH 30 26-32

MCHC 35 32-36

GDA 149 < 200 mg/dl

2. Pemeriksaan Foto Thorak 29 Maret 2018

a. Hasil pemeriksaan:

costae datar, ics melebar

5
TPL PPL Intial ASS Planning

Anamnesa  Planning diagnose:

- sesak napas sputum BTA

semakin  Planning Terapi:


memberat - Inf. RL 7 tpm/hari
- sesak tidak di - Drip
pengaruhi waktu Aminophillin 3
dan cuaca COPD COPD amp / 24 jam
- Batuk 1 minggu eksaserbasi eksaserbasi - Ventolin nebul
- Dahak warna akut akut 3x1
putih bening - Inj. Levofloxacin
kental 1 x 500 mg
- Penurunan BB - Inj.
(awalnya 41 kg, Methylprednisolo
sekarang 39 kg) n 3x1
- Nafsu makan  Planning Monitoring:
menurun Keluhan,ttv,
- Riwayat MRS

sakit paru 3

bulan yang lalu

- Riwayat Sosial :

6
merokok 1

bungkus/hari

selama 50 tahun.

Sekarang 1-4

bungkus/hari

Pemeriksaan fisik:

Auskultasi :

wheezing +/+

Pemeriksaan

penunjang:

Foto throrak:

Tampak costae

datar dan ics

melebar

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. DEFINISI

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan


aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau
reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau
gabungan keduanya. Bronkitis kronik ialah kelainan saluran napas yang
ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun,
sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit
lainnya. Emfisema ialah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh
pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan
dinding alveoli (GOLD, 2012 ; PDPI, 2006).

Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang biasa disebut sebagai PPOK


merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan resistensi
terhadap aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif
nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik
dan emfisema atau gabungan keduanya(PDPI, 2006 ; Prince, S & Wilson,
L, 2006).

PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung,


kanker dan penyakit serebro vaskular. Biaya yang dikeluarkan untuk
penyakit ini mencapai $ 24 milyar per tahunnya. World Health
Organization (WHO) memperkirakan bahwa menjelang 2020 prevalensi
PPOK akan meningkat (Riyanto, B.S & Hisyam, B, 2007).

Di teliti secara epidemiologi di berbagai Negara seperti di Belanda


angka insidensi PPOK ialah 10 – 15 % pria dewasa, 5 % wanita dewasa
dan 5 % anak – anak. Faktor risiko yang utama adalah rokok. Perokok
mempunyai risiko 4 kali lebih besar daripada bukan perokok, dimana faal

8
paru cepat menurun. Perbandingan penderita PPOK pada pria dan wanita
adalah 3 – 10 : 1. Pekerjaan penderita PPOK sering berhubungan erat
dengan faktor alergi dan hiperreaktifitas bronkus. (Alsagaff, H & Mukty,
A, 2008).

3.2 ETIOLOGI dan FAKTOR RISIKO


Etiologi dan faktor resiko terjadinya PPOK adalah merokok,
hiperresponsif saluran napas, infeksi saluran napas pada masa kanak-
kanak, pekerjaan, polusi udara di dalam dan di luar rumah, perokok pasif
dan faktor genetik yaitu defisiensi enzim α1-antitripsin (α1AT)
(Fishman’S, A.P, et al, 2008 ; Kasper, D.L, et al, 2008).

Merokok

Beberapa studi longitudinal memperlihatkan adanya hubungan


dosis-respon antara percepatan penurunan FEV1 (Forced expiration
volume 1 second) dengan intensitas merokok (pak per tahun) dan
prevalens PPOK pada subyek perokok lebih tinggi dengan bertambahnya
usia. Tingginya prevalens PPOK pada pria mungkin dapat dijelaskan
karena tingginya angka perokok pria. Walaupun demikian ada variabilitas
untuk timbulnya PPOK pada perokok (hanya 15% yang berhubungan
dengan berapa pak rokok per tahun). Faktor genetik dan lingkungan
berperan dalam pengaruh rokok terhadap berkembangnya obstruksi
saluran napas (Fishman’S, A.P, et al, 2008 ; Kasper, D.L, et al, 2008).

Hiperresponsif saluran napas

Banyak pasien PPOK memperlihatkan hiperresponsif saluran


napas. Beberapa studi longitudinal yang membandingkan respon saluran
napas pada awal studi dengan penurunan fungsi paru memperlihatkan
bahwa ada hubungan signifikan antara peningkatan respon saluran napas
dengan fungsi paru, sehingga hiperresponsif saluran napas adalah faktor
risiko PPOK (Fishman’S, A.P, et al, 2008 ; Kasper, D.L, et al, 2008).

9
Pekerjaan

Beberapa jenis pekerjaan dengan paparan spesifik seperti tambang


batubara, tambang emas, debu tekstil kapas adalah faktor risiko terjadinya
PPOK (Fishman’S, A.P, et al, 2008 ; Kasper, D.L, et al, 2008).

Tabel 1. Etiologi & faktor risiko PPOK (Fishman’S, A.P, et al, 2008 ;

Kasper, D.L, et al, 2008).

Faktor Risiko PPOK

Etiologi & faktor risiko Keterangan

Usia (tua) Gangguan ventilasi, primer efek


kumulatif merokok

Jenis Kelamin Laki-laki lebih beresiko dari wanita

Kebiasaan merokok Berhubungan dengan berapa batang


rokok per-hari dan berapa pak per-
tahun

Polusi udara Di luar ruangan dan di dalam ruangan


(dapur)

Pekerjaan Macam-macam debu yang


menyebabkan hipersekresi mukus :
pekerja tambang batubara, emas dan
cadmium, petani, pemanen gandum,
pekerja pabrik semen dan tekstil.

Status sosial ekonomi Lebih sering pada sosial ekonomi


rendah

10
Diet Makan ikan banyak mengurangi risiko
pada perokok

Faktor genetic Defisiensi α1-antitripsin adalah risiko


terkuat

Berat lahir dan penyakit saluran napas FEV1 rendah pada berat lahir rendah
waktu kanak-kanak dan mortalitas karena PPOK tinggi
setelah dewasa, penyakit kronik pada
masa kanak-kanak predisposisi untuk
penyakit kronik setelah dewasa.

Penyakit bronkopulmoner rekuren Menyebabkan penurunan fungsi paru

Alergi dan hiperresponsif saluran napas Peningkatan IgE darah dan eosinofil
dan hiperesponsif ditemukan pada
perokok tetapi sebagai faktor risiko
yang signifikan mungkin hanya pada
sebagian perokok

Polusi udara

Beberapa peneliti melaporkan adanya peningkatan gejala saluran


napas pada mereka yang tinggal di kota dibandingkan dengan yang tinggal
di desa yang mungkin berhubungan dengan peningkatan polusi di
perkotaan. Tetapi hubungan polusi udara dengan obstruksi saluran napas
kronik belum jelas. Di negara berkembang tingginya angka PPOK pada
wanita yang tidak merokok diduga berhubungan dengan polusi udara
dalam ruangan, khususnya berhubungan dengan memasak di dapur
(Fishman’S, A.P, et al, 2008 ; Kasper, D.L, et al, 2008).

11
Perokok pasif

Paparan rokok intra uterin secara signifikan menurunkan fungsi


paru setelah lahir dan paparan rokok terhadap anak-anak mengurangi
pertumbuhan paru. Bahkan perokok pasif berhubungan dengan penurunan
fungsi paru. Berapa besar pengaruh faktor risiko ini terhadap beratnya
penurunan fungsi paru pada PPOK masih belum jelas (Fishman’S, A.P, et
al, 2008 ; Kasper, D.L, et al, 2008).

Faktor genetik

Defisiensi berat enzim 1 antitripsin (1AT) adalah faktor risiko


genetik untuk terjadinya PPOK disamping adanya determinan genetik
yang lain. Varian lokus protease inhibitor (Pi) yang mengkode 1AT
sudah diketahui. M alel berhubungan dengan kadar 1AT normal. S alel
berhubungan dengan penurunan ringan kadar 1AT. Z alel berhubungan
dengan penurunan bermakna kadar 1AT (muncul pada lebih 1%
penduduk Kaukasia). Jumlah pasien PPOK dengan defisiensi berat 1AT
turunan hanya 1-2%, tetapi mereka memperlihatkan bahwa faktor genetik
berpengaruh besar terhadap kemungkinan berkembangnya PPOK
(Fishman’S, A.P, et al, 2008 ; Kasper, D.L, et al, 2008).

3.3. PATOFISIOLOGI
Faktor resiko utama dari PPOK ini adalah merokok. Komponen-
komponen asap rokok ini merangsang perubahan-perubahan pada sel-sel
penghasil mukus bronkus dan silia. Selain itu, silia yang melapisi bronkus
mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-
perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia ini mengganggu
sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus
kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas. Mukus
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi
dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan

12
edema dan pembengkakan jaringan. Ventilasi, terutama ekspirasi
terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan
sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan.
Komponen-komponen asap rokok tersebut juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara
progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya
elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang.
Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal
terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi.
Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan
terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (Prince, S & Wilson,
L, 2006 ; Sibernagl, S & Lang, F, 2007).

Asap rokok dan polusi udara Predisposisi genetik


(defisiensi alfa 1 anti
protease)
Gangguan pembersihan paru

Hilangnya septum dan


Radang bronkus dan bronkiolus jaringan ikat penunjang

Obstruksi jalan napas akibat radang

Hipoventilasi alveolar

Lemahnya dinding bronchial


Bronkiolitis kronik
dan kerusaan alveolar

Saluran nafas kecil kolaps saat


ekspirasi

Empisema sentrilobular

Empisema panlobular

13
Gambar 2. Patofisiologi PPOK (Prince, S & Wilson, L, 2006 ; Sibernagl, S &
Lang, F, 2007).
Gambar 1. Patogenesis PPOK (PDPI, 2006).

3.5. KLASIFIKASI
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) 2007, dibagi atas 4 derajat : (GOLD, 2012)
1. Derajat I: PPOK ringan
Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan
aliran udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada
derajat ini, orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi
parunya abnormal.
2. Derajat II: PPOK sedang
Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%;
50% < VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam
bernafas. Dalam tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan
oleh karena sesak nafas yang dialaminya.
3. Derajat III: PPOK berat
Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin
memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30%  VEP1 < 50% prediksi). Terjadi
sesak nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan
eksaserbasi yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien.

14
4. Derajat IV: PPOK sangat berat
Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%;
VEP1 < 30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan
adanya gagal nafas kronik dan gagal jantung kanan.

3.6. DIAGNOSIS
Penderita PPOK akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak
nafas, batuk-batuk kronis, sputum yang produktif, faktor resiko (+).
Sedangkan PPOK ringan dapat tanpa keluhan atau gejala. Dapat
ditegakkan dengan cara : (PDPI, 2006).

 Anamnesis
Anamnesis riwayat paparan dengan faktor resiko, riwayat penyakit
sebelumnya, riwayat keluarga PPOK, riwayat eksaserbasi dan
perawatan di RS sebelumnya, komorbiditas, dampak penyakit terhadap
aktivitas. (PDPI, 2006).
 Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan.
 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja.
 Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
 Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misalnya berat
badan lahir rendah (BBLR).
 Infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi
udara.
 Batuk berulang dengan atau tanpa dahak.
 Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.

 Pemeriksaan Fisik, dijumpai adanya : (PDPI, 2006).


 Inspeksi
 Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu).

15
 Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal
sebanding).
 Penggunaan otot bantu napas.
 Hipertropi otot bantu napas.
 Pelebaran sela iga.
 Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis di leher dan edema tungkai.
 Penampilan pink puffer atau blue bloater.
 Palpasi
 Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
 Perkusi
 Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.
 Auskultasi
 Suara napas vesikuler normal, atau melemah.
 Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa.
 Ekspirasi memanjang.
 Bunyi jantung terdengar jauh.
 Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit
kemerahan dan pernapasan pursed – lips breathing.

 Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis,
terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis
sentral dan perifer.

 Pursed - lips breathing


Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan
ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme

16
tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal
napas kronik.

 Pemeriksaan penunjang (PDPI, 2006).


 Pemeriksaan Foto Toraks, curiga PPOK bila dijumpai kelainan:
 Hiperinflasi.
 Hiperlusen.
 Diafragma mendatar.
 Ruang retrosternal melebar.
 Corakan bronkovaskuler meningkat.
 Bulla & jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance).
 Pemeriksaan faal paru (PDPI, 2006).
 Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP).
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP ( % ).

Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%


(VEP1/KVP) < 75 %.

VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk


menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.

 Uji bronkodilator.
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi
sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan
nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai
awal dan < 200 ml. Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK
stabil.

17
3.7. DIAGNOSIS BANDING
PPOK didiagnosis banding dengan : (PDPI, 2006).
 Asma.
 SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis).
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada
penderita pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.

 Pneumotoraks.
 Gagal jantung kronik.
 Bronkiektasis, destroyed lung.

3.8. PENATALAKSANAAN (PDPI, 2006).


Tujuan penatalaksanaan :

 Mengurangi gejala, mencegah eksaserbasi berulang.


 Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru serta meningkatkan
kualitas hidup penderita.
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :

1. Edukasi.
2. Obat – obatan.
3. Terapi oksigen.
4. Ventilasi mekanik.
5. Nutrisi.
6. Rehabilitasi.
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang
pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada
asma karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif,
inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah
kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih

18
bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah
inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.

Tujuan edukasi pada pasien PPOK :

1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan.

2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal.

3. Mencapai aktiviti optimal.

4. Meningkatkan kualitas hidup.


Pemberian edukasi berdasarkan derajat penyakit PPOK :
Ringan

 Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel.


 Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus,
antara lain berhenti merokok.
 Segera berobat bila timbul gejala.
Sedang

 Menggunakan obat dengan tepat, program latihan fisik dan pernafasan.


 Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini.
Berat

 Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi.


 Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan.
 Penggunaan oksigen di rumah.

2. Obat - obatan

a. Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis


bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit.
Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan

19
pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan
pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang
(long acting ).

Macam - macam bronkodilator :

- Golongan antikolinergik

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai


bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari).

- Golongan agonis beta 2

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah


penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan
atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.

- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta 2

Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,


karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.

- Golongan xantin

Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka


panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau
puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.

b. Anti inflamasi

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau


injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih

20
golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi
jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu
terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan
minimal 250 mg.

c. Antibiotika

Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :

- Lini I : Amoksisilin.

Makrolid.

- Lini II : Amoksisilin dan asam klavulanat.

Sefalosporin.

Kuinolon.

Makrolid baru.

Perawatan di Rumah Sakit :

- Amoksilin dan klavulanat.

- Sefalosporin generasi II & III per injeksi.

- Kuinolon per oral.

Anti pseudomonas :

- Aminoglikose per injeksi.

- Kuinolon per injeksi.

- Sefalosporin generasi IV per injeksi.

21
d. Antioksidan

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,


digunakan N-asetil-sistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan
eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.

e. Mukolitik

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan


mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK
bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.

f. Antitusif

3. Terapi Oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang


menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi
seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ
lainnya.

Manfaat oksigen :

- Mengurangi sesak.

- Memperbaiki aktiviti.

- Mengurangi hipertensi pulmonal.

- Mengurangi vasokonstriksi.

- Mengurangi hematokrit.

- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri.

- Meningkatkan kualiti hidup.

22
Indikasi terapi oksigen :

- PaO2 < 60mmHg atau Saturasi O2 < 90%.

- Pa O2 diantara 55 - 59 mmHg atau Saturasi O2> 89% disertai Kor


Pulmonal perubahan P pulmonal, Hematokrit > 55% dan tanda - tanda
gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain.

Macam – macam terapi oksigen :

- Pemberian oksigen jangka panjang.

- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti.

- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak.

- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas.


4. Ventilasi Mekanik

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan


gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada
pasien PPOK derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat
digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.

Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :

- Ventilasi mekanik dengan intubasi dan ventilasi mekanik tanpa intubasi.

5. Nutrisi

Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena


bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang
meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapnia menyebabkan
terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortalitas
PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan
perubahan analisis gas darah.

23
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :

- Penurunan berat badan, kadar albumin darah.

- Antropometri, pengukuran kekuatan otot (kekuatan otot pipi).

- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia).

6. Rehabilitasi PPOK

Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan


dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK.

Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis,


psikososial dan latihan pernapasan.

1. Tatalaksana PPOK stabil (PDPI, 2006).


 Terapi Farmakologis
a. Bronkodilator
 Secara inhalasi (MDI), kecuali preparat tak tersedia / tak
terjangkau.
 Rutin (bila gejala menetap) atau hanya bila diperlukan
(gejala intermitten).
 3 golongan :
 Agonis -2: fenopterol, salbutamol, albuterol,
terbutalin, formoterol, salmeterol.
 Antikolinergik: ipratropium bromid, oksitroprium
bromid.
 Metilxantin: teofilin lepas lambat, bila kombinasi -2
dan steroid belum memuaskan.
 Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada
meningkatkan dosis bronkodilator monoterapi.

24
b. Steroid
- PPOK yang menunjukkan respon pada uji steroid.
- PPOK dengan VEP1 < 50% prediksi (derajat III dan IV)
- Eksaserbasi akut.

c. Obat-obat tambahan lain


 Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) : ambroksol,
karbosistein, gliserol iodida.
 Antioksidan : N-Asetil-sistein.
 Imunoregulator (imunostimulator, imunomodulator): tidak
rutin.
 Antitusif : tidak rutin.
 Vaksinasi : influenza, pneumokokus.

 Terapi Non-Farmakologis
a. Rehabilitasi : latihan fisik, latihan endurance, latihan
pernapasan, rehabilitasi psikososial.
b. Terapi oksigen jangka panjang (>15 jam sehari) : pada PPOK
derajat IV, Analisa Gas Darah :
 PaO2 < 55 mmHg, atau SaO2 < 88% dengan atau tanpa
hiperkapnia.
 PaO2 55-60 mmHg, atau SaO2 < 88% disertai hipertensi
pulmonal, edema perifer karena gagal jantung, polisitemia.
Pada pasien PPOK, harus di ingat, bahwa pemberian
oksigen harus dipantau secara ketat. Oleh karena, pada pasien
PPOK terjadi hiperkapnia kronik yang menyebabkan adaptasi
kemoreseptor-kemoreseptor central yang dalam keadaan
normal berespons terhadap karbon dioksida. Maka yang
menyebabkan pasien terus bernapas adalah rendahnya
konsentrasi oksigen di dalam darah arteri yang terus
merangsang kemoreseptor-kemoreseptor perifer yang relatif

25
kurang peka. Kemoreseptor perifer ini hanya aktif melepaskan
muatan apabila PO2 lebih dari 50 mmHg, maka dorongan untuk
bernapas yang tersisa ini akan hilang. Pengidap PPOK biasanya
memiliki kadar oksigen yang sangat rendah dan tidak dapat
diberi terapi dengan oksigen tinggi.
c. Nutrisi
d. Terapi Pembedahan
- Memperbaiki fungsi paru, memperbaiki mekanik paru.

- Meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi.

- Memperbaiki kualiti hidup.

Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu :

 Bulektomi.
 Bedah reduksi volume paru (BRVP) / lung volume
reduction surgey (LVRS) dan transplantasi paru.
Tabel 2. Penatalaksanaan menurut derajat PPOK (GOLD, 2012 ; PDPI, 2006).
DERAJAT KARAKTERISTIK REKOMENDASI PENGOBATAN
Semua  Hindari faktor pencetus
derajat  Vaksinasi influenza
Derajat I VEP1 / KVP < 70 % a. Bronkodilator kerja singkat (SABA,
(PPOK VEP1  80% antikolinergik kerja pendek) bila perlu
Ringan) Prediksi b. Pemberian antikolinergik kerja lama
sebagai terapi pemeliharaan
Derajat II VEP1 / KVP < 70 % 1. Pengobatan reguler Kortikosteroid
(PPOK 50%  VEP1  80% dengan bronkodilator: inhalasi bila
sedang) Prediksi dengan atau a. Antikolinergik uji steroid
tanpa gejala kerja lama sebagai positif
terapi pemeliharaan
b. LABA

26
c. Simptomatik
2. Rehabilitasi
Derajat III VEP1 / KVP < 70%; 1. Pengobatan reguler Kortikosteroid
(PPOK 30%  VEP1  50% dengan 1 atau lebih inhalasi bila
Berat) prediksi bronkodilator: uji steroid
Dengan atau tanpa a. Antikolinergik positif atau
gejala kerja lama sebagai eksaserbasi
terapi berulang
pemeliharaan
b. LABA
c. Simptomatik
2. Rehabilitasi

Derajat IV VEP1 / KVP < 70%; 1. Pengobatan reguler dengan 1 atau


(PPOK VEP1 < 30% prediksi lebih bronkodilator:
sangat atau gagal nafas atau a. Antikolinergik kerja lama sebagai
berat) gagal jantung kanan terapi pemeliharaan
b. LABA
c. Pengobatan komplikasi
d. Kortikosteroid inhalasi bila
memberikan respons klinis atau
eksaserbasi berulang
2. Rehabilitasi
3. Terapi oksigen jangka panjang bila
gagal nafas
4. Pertimbangkan terapi bedah

27
2. Tatalaksana PPOK eksaserbasi (PDPI, 2006).
Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rumah:
bronkodilator seperti pada PPOK stabil, dosis 4-6 kali 2-4 hirup sehari.
Steroid oral dapat diberikan selama 10-14 ahri. Bila infeksi: diberikan
antibiotika spektrum luas (termasuk S.pneumonie, H influenzae, M
catarrhalis).
Terapi eksaserbasi akut di rumah sakit:
 Terapi oksigen terkontrol, melalui kanul nasal atau venturi mask.
 Bronkodilator : inhalasi agonis 2 (dosis & frekwensi ditingkatkan)
dan antikolinergik. Pada eksaserbasi akut berat : ditambahkan
aminofilin (0,5 mg/kgBB/jam).
 Steroid : prednisolon 30-40 mg PO selama 10-14 hari.
Steroid intravena: pada keadaan berat.
 Antibiotika terhadap S pneumonie, H influenza, M catarrhalis.
 Ventilasi mekanik pada: gagal akut atau kronik.

Indikasi rawat inap :


 Eksaserbasi sedang dan berat.
 Terdapat komplikasi.
 Infeksi saluran napas berat.
 Gagal napas akut pada gagal napas kronik.
 Gagal jantung kanan.

Indikasi rawat ICU :


Sesak berat setelah penanganan adekuat di ruang gawat darurat atau
ruang rawat.
 Kesadaran menurun, letargi, atau kelemahan otot-otot respirasi.
 Setelah pemberian oksigen tetapi terjadi hipoksemia atau
perburukan PaO2 > 50 mmHg memerlukan ventilasi mekanik
(invasif atau non invasif).

28
3.9. KOMPLIKASI (GOLD, 2012 ; PDPI, 2006).
1. Gagal napas
- Gagal napas kronik.

- Gagal napas akut pada gagal napas kronik.

2. Infeksi berulang (80 %)  Infeksi S. Pneumonia, H. Influenza.


(Scharschmidt, B.F, 2007).

3. Kor pulmonal.

3.10. PROGNOSIS
Dubia, tergantung dari stage / derajat, penyakit paru komorbid, penyakit
komorbid lain (GOLD, 2012).

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). PPOK (Penyakit paru


Obstruktif Kronik), pedoman praktis diagnosis dan penatalaksanaan di
Indonesia; 2011.
2. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global strategy for
diagnosis, management and prevention of chronic obstructive lung disease
updated 2012.
3. Duerden Martin. The management of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. Merec Bulletin 2006; 16:17-20.
4. Wiyono WH, Riyadi J, Yunus F, Ratnawati A, Prasetyo S. The benefit of
pulmonary rehabilitation againts quality of life alteration and functional
capacity of chronic obstructive pulmonary disease (COPD) patient assessed
using St George’s respiratory questionnaire (SGRQ) and 6 minute walking
distance test (6 MWD). Med J Indones 2005; 15: 165-72.
5. Ikalius, Yunus F, Suradi, Rachma Noer. Perubahan kualitas hidup dan
kapasitas fungsional penderita penyakit paru obstruktif kronik setelah
rehabilitasi paru. Majalah Kedokt. Indonesia 2007 : 57.
6. Seymour JM, Moore L, Jolley JC. Outpatient pulmonary rehabilitation
following acute exacerbations of COPD. Bmj 2010; 65: 423-428.
7. Soemantri S, Budiarso RL, Suhardi, Sarimawar, Bachroen C. Survei
kesehatan rumah tangga (SKRT). Jakarta: Depkes RI; 1995.96-125.
8. Yunus F. Gambaran penderita PPOK yang dirawat di bagian Pulmonologi
FKUI/SMF paru RSUP Persahabatan Jakarta. J Respir Indo 2000;20:64-8.
9. Wibisono MJ, Winariani, Hariadi s. Penyakit Paru Obstruktif Kronik.
Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya, 2010: 37-51.
10. Nanshan Z. COPD vs Asthma making a correct diagnosis. Asia Pasific
COPD Round Table Issue, 2003;5:1-2.
11. American Thoracic Society. Standards for diagnosis and care of patients
with COPD. Am J Respir Crit Care Med 1995; 152:77-120.

30

Anda mungkin juga menyukai