Anda di halaman 1dari 10

REFERAT

Rinitis Alergi pada Anak

Disusun oleh :
Charina Geofhany Debora (112017228)

Pembimbing :
dr. Arief Priambodo, Sp.A(K), M.Kes.

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT BAYUKARTA KARAWANG
PERIODE 20 Mei – 27 Juli 2019
KARAWANG
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Rinitis alergi adalah sebuah kelainan inflamasi dari mukosa nasal yang ditandai
dengan kongesti mukosa nasal, rinorea, dan rasa gatal, yang sering kali diikuti dengan
bersin dan inflamasi konjungtiva. Penyakit ini dikenali sebagai sebuah penyakit kronik
pada sistem respirasi yang memiliki prevalensi yang tinggi, mempengaruhi kualitas
hidup, performa sekolah, dan komorbiditasnya.1 Anak-anak dengan rinitis alergi
memiliki risiko tiga kali lipat untuk mengalami asma saat dewasa nanti.1
Prevalensi rinitis alergi menurut the Phase III Internasional Study of Astma and
Allergies in Childhood (ISAAC) adalah 0,8-14,9% pada anak usia 6-7 tahun, dan 1,4-
39,7% pada anak usia 13-14 tahun diseluruh dunia. Di Asia, penyakit ini mempengaruhi
sebuah populasi besar, berkisar 27% di Korea Selatan hingga 32% di Arab.2 Dimana
faktor lingkungan memegang peranan besar pada sensitisasi awal seseorang yang
mempunyai bakat atopi dan akan menentukan perkembangan gejala klinis serta derajat
penyakit. Manifestasi rinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi mempunyai jalur
imunopatologi yang sama. Perjalanan penyakit alergi merupakan konsep yang
memperlihatkan bahwa penyakit alergi saling berhubungan dan tampilan alergi dapat
berubah menurut umur. Rinitis alergi yang bersamaan dengan asma pada anak
diperkirakan terjadi sebesar 17-25%, sehingga menjadi perhatian dokter akhir-akhir ini.3

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi
Prevalensi rinitis alergi pada anak di negara maju berkisar 20%-40%. Dimana
gejalanya akan timbul pada masa kanak-kanan; umumnya diagnosis ditegakkan pada
saat anak mencapai usia 6 tahun.1 Dewasa ini rinitis alergi merupakan masalah
kesehatan global. Penyakit ini ditemukan di seluruh dunia dan prevalensinya terus
meningkat. Rinitis alergi lebih sering dijumpai pada anak usia sekolah, dijumpai pada
sekitar 15% anak usia 6-7 tahun, dan 40% pada usia 13-14 tahun.3,4
Sekitar 80% pasien rinitis alergi mulai timbul gejala sebelum usia 20 tahun.
Meskipun rinitis alergi lebih banyak muncul pada anak yang lebih besar, namun pajanan
alergen (sensitisasi) sudah terjadi sejak dini.4 Meskipun prevalensinya cukup tinggi,
rinitis alergi seringkali tidak terdiagnosis dan tidak diterapi secara adekuat terutama
pada populasi anak. Penyebab tidak adekuatnya terapi meliputi ketidakmampuan anak
untuk menggambarkan secara verbal gejala yang dialami, anak tidak memahami bahwa
mereka memiliki gangguan, dan seringkali rinitis alergi dikelirukan sebagai infeksi
saluran napas atas berulang.4 Walaupun bukan penyakit yang berat, tapi dapat
berdampak pada kehidupan sosial penderita dan kinerja di sekolah serta produktivitas
kerja. Disamping itu biaya untuk pengobatan rinitis alergi cukup besar.
2.2 Patogenesis
Paparan alergen terhadap sebuah host akan meningkatkan produksi IgE. Reaksi
klinis dari paparan berulang terhadap alergen telah membentuk respon alergi fase cepat
dan fase-lambat. Menjembatani dari molekul IgE pada permukaan sel mast oleh alergen
menginisiasi respon alergi fase-awal, yang ditandai oleh degranulasi sel-sel mast dan
pelepasan dari mediator-mediator inflamasi yang “preformed” dan “newly generated”
termasuk histamin, prostaglandin 2, sisteinil leukotrien. Respon alergi fase-lambat
muncul 4-8 jam setelah paparan alergi. Sel-sel inflamasi termasuk basofil, eosinofil,
neutrofil, sel mast, dan sel mononuklear, menginfiltrasi mukosa nasal.1,4
Eosinofil melepaskan mediator proinflamasi termasuk sisteinil leukotrien,
protein-protein kation, perioksidase eosinofil, dan protein mayor dasar, yang
menyediakan sebuah sumber interleukin (IL)-3, IL-5, faktor stimulasi-koloni granulosit-

3
makrofag, dan IL-13.1 Pajanan berulang alergen pada mukosa intranasal menyebabkan
“priming” – sebuah respon yang lebih cepat bahkan dengan sebuah provokasi minimal.
Dimana sel-sel ini memiliki sebuah peranan yang secara eksklusif pada respon alergi
fase cepat, dan mempunyai sebuah fungsi penting untuk mempertahakan penyakit alergi
kronis. Alergen, autoantigen, dan komponen dari agen-agen infeksius dapat
mengaktifkan sistem imun.1,4
Respon fase cepat timbul dalam beberapa menit setelah paparan. Paparan
terhadap alergen menyebabkan migrasi sel mast dan basofil yang sudah diselaputi IgE
spesifik dari lamina propria ke permukaan epitel. Respon fase lambat ini diperkirakan
sebagai penyebab gejala kronis dan persisten dari rinitis alergi, terutama sumbatan
hidung, anosmia, hipersekresi mukus dan hiperresponsif nasal terhadap alergen yang
sama atau alergen lainnya serta iritan, yang menyebabkan keadaan inflamasi kronis.4
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Gejala rinitis alergi dapat dicetuskan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah
pajanan udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara, tinta cetak, bau masakan, bubuk
detergen, serta bau minuman beralkohol. Umumnya faktor pencetus ini berupa iritan
nonspesifik.4 Alergen penyebab pada bayi dan anak sering disebabkan oleh alergen
makanan, sedangkan alergen inhalan lebih berperan pada anak yang lebih besar.
Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe I pada telinga, hidung, dan tenggorok
pada anak sebelum usia 4 tahun jarang ditemukan.4
Faktor risiko pada anak dengan rinitis alergi adalah riwayat alergi / atopi di
keluarga dan serum IgE yang lebih tinggi dari 100 IU/mL sebelum usia 6 tahun. Pajanan
alergen sejak dini berpengaruh terhadap perkembangan fenotip alergi.1 Dimana risiko
tersebut meningkat pada anak-anak yang ibunya merupakan perokok berat (sebelum
persalinan dan terutama sebelum anak-anak mencapai usia 1 tahun), persalinan secara
cesarean section, dan riwayat atopi pada anak-anak dengan keluarga yang memiliki
riwayat asma atau alergi.1
2.4 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pada anamnesis perlu ditanyakan mengenai lama, frekuensi, waktu timbulnay
dan beratnya penyakit, persisten atau intermiten. Gejala yang perlu ditanyakan berupa
hidung berair, hidung tersumbat, post-nasal drip, gatal di hidung dan palatum, dan

4
bersin-bersin. Selain itu perlu ditanyakan gejala mata merah, gatal dan berair, adakah
gangguan fungsi penciuman, tidur mengorok, dan ada/tidaknya gangguan tidur. Penting
untuk menanyakan riwayat atopi dalam keluarga (asma, dermatitis atopi, rinitis alergi)
untuk mendukung status atopi pasien.4
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan gejala gatal pada hidung, telinga,
palatum atau tenggorok, sekret bening cair, kongesti nasal, nyeri kepala sinus, disfungsi
tuba eustachius, bernafas lewat mulut atau mengorok, post nasal drip kronis, batuk
kronis non produktif, sering mendehem, dan kelelahan pagi hari. Secara khusus petanda
atopi dicari, yaitu allergic shiner, geographic tongue, Dennie Morgan’s line, dan
allergic salute. Bila disertai keluhan pada mata maka pemeriksaan palpebra dan
konjungtiva diperlukan untuk menemukan edema, sekret, dan kelainan lainnya.4
2.5 Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan hitung jenis
eosinofil, hitung total eosinofil, dan kadar IgE total serum. Pemeriksaan sitologi mukosa
menunjukkan hitung persentase eosinofil meningkat. Bila memungkinkan dilakukan uji
kulit alergen untuk menentukan status atopi serta menentukan kemungkinan alergen
penyebab. Bila disertai dengan kelainan mata, dapat dilakukan pemeriksaan eosinofil
pada sekret mata. Pada pasien yang berusia 4 tahun atau lebih dapat dilakukan foto atau
CT scan sinus paranasalis bila dicurigai komplikasi sinusitis atau adanya deviasi septum
nasi.4
Tes alergi tidak dilakukan pada seluruh kasus penyakit alergi. Tes alergi
diperlukan untuk membantu mengetahui faktor pencetus gejala alergi dan bukan untuk
menegakkan diagnosis penyakit alergi. Seringkali kurang bermakna pada anak berusia
dibawah tiga tahun. Tes alergi dibutuhkan untuk pasien dengan gejala yang dicurigai
sebagai penyakit alergi yang berat, persisten, atau berulang tanpa jelas diketahui
pencetusnya. Tes alergi juga perlu dilakukan untuk membuktikan gejala itu benar karena
alergi atau tidak.5 Insidens pada anak perempuan lebih tinggi dari anak laki-laki dengan
perbandingan 2:1 tampak pada kasus asma dan rinitis alergi.6
Namun kadangkala banyak anak didiagnosis RA oleh para klinisi tanpa suatu
konfirmasi pemeriksaan laboratorium sehingga sering mendapat pengobatan yang tidak
tepat. Pemeriksaan eosinofil mukosa hidung merupakan salah satu pemeriksaan sitologi

5
yang dapat digunakan untuk mendiagnosis rinitis alergi. Pemeriksaan ini merupakan
pemeriksaan yang relatif murah dan mudah untuk dilakukan, namun masih banyak para
klinisi yang tidak menganjurkan pemeriksaan ini dalam praktek sehari-hari sebagai
pemeriksaan penunjang dalam mendiagnosis rinitis alergi pada anak. Pada rinitis alergi,
jumlah eosinofil darah jarang sampai 10% dari total leukosit yang beredar dalam darah,
namun sebaliknya jumlah eosinofil sekret hidung, dapat mencapat 50-100% dari jumlah
total leukosit. Tingginya akumulasi sel eosinofil mukosa hidung tampaknya
berhubungan dengan beratnya gejala rinitis alergi yang timbul serta lamanya paparan
terhadap alergen inhalan.7
2.6 Klasifikasi Rinitis Alergi
The Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA) mengklasifikasikan
rinitis alergi berdasarkan lama gejala dan beratnya gejala sebagai berikut :1,4

Gambar 1. Klasifikasi rinitis alergi.4


Sumber : Buku Pegangan Pelatih Spesialis Anak FK UNAIR
Menurut klasifikasi tersebut, maka rinitis alergi dibagi berdasarkan lama gejala
menjadi intermiten dan persisten. Intermiten bila gejala ≤ 4 hari per minggu atau
lamanya ≤ 4 minggu. Persisten bila gejala > 4 hari per minggu dan lamanya > 4 minggu.
Sedangkan berdasarkan beratnya gejala, rinitis alergi dibagi menjadi ringan, sedang atau
berat. Dikatakan ringan bila anak tidur normal, aktivitas sehari-hari saat olahraga dan
santai normal, bekerja dan sekolah normal, serta tidak ada keluhan yang mengganggu.
Dikatakan sedang atau berat (jika terdapat satu atau lebih gejala) yaitu tidur terganggu

6
(tidak normal); aktivitas sehari-hari, saat olahraga, dan santai terganggu; gangguan saat
bekerja dan sekolah; ada keluhan yang mengganggu.4
2.7 Penegakan Diagnosis
Penegakkan diagnosis dini rinitis alergi pada anak merupakan hal yang penting,
walaupun bukan termasuk penyakit yang membahayakan jiwa, tetapi gejala yang
ditimbulkannya sangat mengganggu aktivitas sehari-hari dan menurunkan kualitas
hidup. Dikarenakan penyakit ini bersifat rekuren (mudah kambuh), kronis, progresif,
reversibel pada tahap awal, dan ireversibel pada tahap lanjut.7 Riwayat atopi dalam
keluarga merupakan faktor predisposisi rinitis alergi yang terpenting pada anak. Pada
anak terdapat tanda karakteristik pada muka seperti allergic salute, allergic crease,
allergic shiner, allergic face, dan Dennie’s line tidak patognomonis.5
Pemeriksaan THT dapat menyingkirkan kelainan seperti infeksi, polip nasal atau
tumor. Pada rinitis alergi ditemukan tanda klasik berupa mukosa edema dan pucat
kebiruan dengan ingus encer. Tanda ini hanya ditemukan pada pasien yang sedang
serangan. Tanda lain mungkin ditemukan adalah otitis media serosa atau hipertrofi
adenoid. Pemeriksaan sekret hidung dilakukan untuk mendapatkan sel eosinofil yang
meningkat > 3% kecuali saat infeksi sekunder dimana sel neutrofil segmen akan lebih
dominan.5
2.8 Tatalaksana
Tatalaksana utama adalah mengindari alergen.5,8 Sedangkan pengobatan
medikamentosa tergantung dari lama dan berat-ringannya gejala. Pengobatan
medikamentosa dapat berupa pilihan tunggal maupun kombinasi dari antihistamin H1
generasi satu maupun generasi dua, kortikosteroid intranasalm dan stabilisator sel mast.
Imunoterapi spesifik dianjurkan pada semua penderita rinitis kategori berat. Tindakan
bedah hanya dilakukan pada kasus selektif misalnya sinusitis dengan air fluid level atau
deviasi septum nasi.5

7
Gambar 2. Menghindari pencetus pada anak dengan rinitis alergi.
Sumber : IDAI
Pengobatan rinitis alergi dibagi atas lama gejalanya. Pada rinitis alergi
intermiten ringan biasanya diberikan antihistamin H1 generasi satu, misalnya CTM 0,25
mg/kg/hari yang dibagi dalam tiga dosis. Bila terdapat gejala hidung tersumbat dapat
ditambah dengan dekongestan seperti pseudoefedin 1 mg/kg/dosis yang diberikan tiga
kali sehari. Pada rinitis alergi intermiten sedang/berat dapat diberikan anitihistamin H1
generasi dua, misalnya cetirizine 0,25 mg/kg/kali diberikan sekali sehari atau dua kali
sehari pada anak usia kurang dari dua tahun, atau generasi ketiga seperti desloratadine
dan levocetirizin pada anak usia diatas dua tahun. Bila tidak ada perbaikan atau
bertambah berat dapat diberikan kortikosteroid misalnya prednison 1 mg/kg/hari dibagi
3 dosis, paling lama 7 hari.5
Sementara terapi pada rinitis alergi persisten derajat ringan dapat diberikan
antihistamin generasi II (cetirizine) jangka lama. Bila tidak membaik dapat diberikan
kortikosteroid intranasal misalnya mometason furoat atau flutikason propionat.
Sementara untuk derajat sedang/berat dapat diberikan kortikosteroid intranasal jangka
lama dengan evaluasi setelah 2-4 minggu. Bila diperlukan ditambahkan pula obat-
obatan simptomatik lain seperti rinitis alergi intermiten sedang/berat.5
2.9 Komplikasi
Rinitis alergi seringkali dihubungkan dengan berbagai komplikasi dan
komorbidnya. Anak-anak dengan rinitis alergi seringkali mengalami rasa frustasi
dibandingkan penampilan mereka. Komplikasi yang umum terjadi adalah sinusitis
kronik, terkadang dihubungkan dengan infeksi purulen, tetapi sebagian besar pasien

8
ditemukan kultur bakteri yang negatif meskipun ditandai dengan penebalan mukosa,
dan gambaran opak pada sinus.1
Obstruksi tuba eustachius dan efusi telinga tengah adalah komplikasi lainnya
yang sering terjadi.1 Rinitis alergi dihubungkan dengan kejadian mengorok pada anak,
hubungan antara rinitis dengan gangguan tidur dan kelelahan disiang hari telah tercatat
dengan baik. Anak-anak dengan rinitis memiliki kecemasan dan masalah fisik, sosial,
serta emosional yang mempengaruhi pembelajaran dan kemampuannya untuk
berinteraksi dengan teman sebayanya. Terdapat bukti yang menyatakan bahwa
ditemukan gangguan fungsi kognitif dan pembelajaran yang dieksaserbasi oleh efek
samping dari obat-obatan sedasi. Rinitis juga merupakan penyebab utama dari angka
absensi pada kehadiran sekolah, yang menyebabkan lebih dari dua juta hari absen di
Amerika Serikat.1
2.10 Prognosis
Rinitis alergi pada masa anak-anak akan bertambah berat dengan bertambahnya
usia. Kadangkala rinitis alergi dapat merupakan masalah pada usia tua. Dengan
mengetahui faktor penyebab, dengan menghindari alergen dapat mengurangi kekerapan
timbulnya gejala. Penggunaan beberapa jenis medikamentosa profilaksis juga dapat
mengurangi gejala yang timbul. Sehingga komunikasi dengan pasien dan orangtua
diperlukan agar pemeriksaan berkala dilakukan dan pemberian obat dapat disesuaikan
dengan fluktuasi gejala. Bila alergen diketahui, penting untuk menghindari pencetus
alergi. Pada gejala yang menetap dan berat, diperlukan penilaian menyeluruh dan
tatalaksana yang lebih lanjut, antara lain imunoterapi.5
2.11 Penutup
Rinitis alergi secara klinis merupakan gangguan fungsi hidung yang terjadi
setelah pajanan alergen melalui inflamasi yang diperantarai IgE yang spesifik terhadap
alergen tersebut pada mukosa hidung. Penyakit ini tidak mengancam jiwa, namun
merupakan masalah kesehatan global yang prevalensinya terus meningkat, karena dapat
mempengaruhi kehidupan sosial penderita, kinerja di sekolah serta produktivitas kerja,
disamping biaya pengobatan yang cukup besar. Diperlukan anamesis dan pemeriksaan
fisik yang teliti untuk menegakkan diagnosis rinitis alergi. Pemeriksaan penunjang dan
pencitraan dilakukan bila diperlukan, antara lain dalam hal mencari komplikasi/

9
penyakit penyerta. Tatalaksana utama adalah penghindaran alergen penyebab dan
kontrol lingkungan, sementara pengobatan medikamentosa tergantung dari lama dan
berat-ringannya gejala.5

DAFTAR PUSTAKA
1. Kliegman Robert M., Stanton Bonita F., St.Geme III Joseph W., Schor Nina F.
Nelson : textbook of pediatrics, 20th edition. Philadelphia : ELSEVIER ; 2016.
P.1088.
2. Chong Sher Ney, Chew Fook Tim. Epidemiology of allergic rhinitis and associated
risk factor in asia. World Allergy Organ J. 2008; 11(1) : 7. P.1. Accessed from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6091170/ .
3. Irsa Lily, Akib Arwin A.P., Siregar Syawitri P., Munasir Zakiudin. Penyakit alergi
lain yang dialami anak dengan asma. Sari Pediatri. Desember 2007; 9(4). Hal. 259-
60.
4. FK Universitas Airlangga. Buku pegangan pelatih spesialis anak unair : rinitis alergi
pada anak. Hal. 1864-71. Diakses tanggal 21 Juli 2019. Diunduh dari :
http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/AI02_Rintis-
Alergi.pdf .
5. Muktiarti Dina. Perlukan tes alergi? IDAI. 14 Juli 2015. Jakarta : Divisi Alergi-
Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak. Diakses tanggal 21 Juli 2019.
Available from : http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/perlukah-tes-
alergi .
6. Wistiani, Notoatmojo Harsoyo. Hubungan pajanan alergen terhadap kejadian alergi
pada anak. Sari Pediatri. Oktober 2011; 13(3). Hal. 188. Diunduh dari :
https://www.researchgate.net/publication/312258960_Hubungan_Pajanan_Alergen
_Terhadap_Kejadian_Alergi_pada_Anak/link/59ededc84585158fe5341b22/downlo
ad .
7. Sugiarto Johnny, S D.Takumansang, T M.Pelealu. Eosinofil mukosa hidung sebagai
uji diagnostik rinitis alergi pada anak. Sari Pediatri. Maret 2006; 7(4). Hal.194,197.
Diakses tanggal 21 Juli 2019. Diunduh dari : https://saripediatri.org/index.php/sari-
pediatri/article/view/834/768 .

10

Anda mungkin juga menyukai