Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETES MELITUS (DM) TIPE 2

DISUSUN OLEH :
ZAINI SEPIANSAH
1811102412103

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMAQ4EDIYAH KALIMANTAN TIMUR
2019
1. Konsep Penyakit

A. PENGERTIAN
Menurut Fasquer (2010), diabetes melitus merupakan suatu kelompok
penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut
WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu yang tidak
dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum
dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang
merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin
absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.
Diabetes melitus tipe 2 – yang dahulu disebut diabetes melitus tidak
tergantung insulin (non-insulin-dependent diabetes melitus/NIDDM) atau
diabetes onset dewasa – merupakan kelainan metabolik yang ditandai dengan
kadar glukosa darah yang tinggi dalam konteks resistensi insulin dan defisiensi
insulin relatif (Kumar, 2005). Penyakit diabetes melitus jenis ini merupakan
kebalikan dari diabetes melitus tipe 1, yang mana terdapat defisiensi insulin
mutlak akibat rusaknya sel islet di pankreas (Shoback, 2011).

B. KLASIFIKASI DM
1. Diabetes Tipe 1
DM tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel b pankreas (reaksi
autoimun). Bila kerusakan sel beta telah mencapai 80--90% maka gejala
DM mulai muncul. Perusakan sel beta ini lebih cepat terjadi pada anak-
anak daripada dewasa. Sebagian besar penderita DM tipe 1 mempunyai
antibodi yang menunjukkan adanya proses autoimun, dan sebagian kecil
tidak terjadi proses autoimun. Kondisi ini digolongkan sebagai tipe 1
idiopatik. Sebagian besar (75%) kasus terjadi sebelum usia 30 tahun, tetapi
usia tidak termasuk kriteria untuk klasifikasi.
2. Diabetes Tipe 2
DM tipe 2 merupakan 90% dari kasus DM yang dulu dikenal sebagai
non insulin dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Pada diabetes ini
terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di jaringan perifer (insulin
resistance) dan disfungsi sel beta. Akibatnya, pankreas tidak mampu
memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi insulin resistan.
Kedua hal ini menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif. Gejala
minimal dan kegemukan sering berhubungan dengan kondisi ini,yang
umumnya terjadi pada usia > 40 tahun. Kadar insulin bisa normal, rendah,
maupun tinggi, sehingga penderita tidak tergantung pada pemberian
insulin.

3. DM Dalam Kehamilan,
DM dan kehamilan (Gestational Diabetes Mellitus - GDM) adalah
kehamilan normal yang disertai dengan peningkatan insulin resistan (ibu
hamil gagal mempertahankan euglycemia). Faktor risiko GDM: riwayat
keluarga DM, kegemukan, dan glikosuria. GDM ini meningkatkan
morbiditas neonatus, misalnya hipoglikemia, ikterus, polisitemia, dan
makrosomia. Hal ini terjadi karena bayi dari ibu GDM mensekresi insulin
lebih besar sehingga merangsang pertumbuhan bayi dan makrosomia.
Frekuensi GDM kira-kira 3--5% dan para ibu tersebut meningkat risikonya
untuk menjadi DM di masa mendatang.

4. Diabetes Tipe Lain


Subkelas DM di mana individu mengalami hiperglikemia akibat
kelainan spesifik (kelainan genetik fungsi sel beta), endokrinopati
(penyakit Cushing’s , akromegali), penggunaan obat yang mengganggu
fungsi sel beta (dilantin), penggunaan obat yang mengganggu kerja insulin
(b-adrenergik), dan infeksi/sindroma genetik (Down’s, Klinefelter’s).
C. ETIOLOGI & FAKTOR RISIKO
Menurut Smeltzer & Bare (2002) DM tipe II disebabkan kegagalan
relatif sel β dan resisten insulin. Resisten insulin adalah turunnya kemampuan
insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan
untuk menghambat produksi glikosa oleh hati. Sel β tidak mampu
mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defensiensi
relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin
pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan
perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami
desensitisasi terhadap glukosa.
DM tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak
penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1. Penderita DM tipe 2 mencapai
90-95% dari keseluruhan populasi penderita DM. Umumnya berusia diatas 45
tahun. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam
menyebabkan DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah
serat, serta kurang gerak badan.
Beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi DM tipe II
(Smeltzer & Bare, 2002) antara lain:
a. Kelainan genetik
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap
diabetes, karena gen yang mengakibatkan tubuh tak dapat
menghasilkan insulin dengan baik.
b. Usia
Umumnya penderita DM tipe II mengalami perubahan fisiologi
yang secara drastis, DM tipe II sering muncul setelah usia 30 tahun ke
atas dan pada mereka yang berat badannya berlebihan sehingga
tubuhnya tidak peka terhadap insulin.

c. Gaya hidup stress


Stres kronis cenderung membuat seseorang makan makanan yang
manis-manis untuk meningkatkan kadar lemak seretonin otak.
Seretonin ini mempunyai efek penenang sementara untuk meredakan
stresnya. Tetapi gula dan lemak berbahaya bagj mereka yang beresiko
mengidap penyakit DM tipe II.
d. Pola makan yang salah
Pada penderita DM tipe II terjadi obesitas (gemuk berlebihan)
yang dapat mengakibatkan gangguan kerja insulin (resistensi insulin).
Obesitas bukan karena makanan yang manis atau kaya lemak, tetapi
lebih disebabkan jumlah konsumsi yang terlalu banyak, sehingga
cadangan gula darah yang disimpan didalam tubuh sangat berlebihan.
Sekitar 80% pasien DM tipe II adalah mereka yang tergolong gemuk.

D. PATOFISIOLOGI
Diabetes melitus tipe 2 merupakan suatu kelainan yang heterogenik
dengan karakter utama hiperglikemik kronik. Meskipun pola pewarisannya
belum jelas, faktor genetik dikatakan memiliki peranan yang penting dalam
munculnya diabetes melitus tipe 2 ini. Faktor genetik ini akan berinteraksi
dengan faktor-faktor lingkungan seperti gaya hidup, diet, rendahnya aktifitas
fisik, obesitas, dan tingginya kadar asam lemak bebas. Patofisiologi diabetes
melitus tipe 2 terdiri atas tiga mekanisme, yaitu;
1. Resistensi terhadap insulin
Resistensi terhadap insulin terjadi disebabkan oleh penurunan kemampuan
hormon insulin untuk bekerja secara efektif pada jaringan-jaringan target
perifer (terutama pada otot dan hati), ini sangat menyolok pada diabetes
melitus tipe 2. Resistensi terhadap insulin ini merupakan hal yang relatif.
Untuk mencapai kadar glukosa darah yang normal dibutuhkan kadar
insulin plasma yang lebih tinggi. Pada orang dengan diabetes melitus tipe
2, terjadi penurunan pada penggunaan maksimum insulin, yaitu lebih
rendah 30 - 60 % daripada orang normal. Resistensi terhadap kerja insulin
menyebabkan terjadinya gangguan penggunaan insulin oleh jaringan-
jaringan yang sensitif dan meningkatkan pengeluaran glukosa hati. Kedua
efek ini memberikan kontribusi terjadinya hiperglikemi pada diabetes.
Peningkatan pengeluaran glukosa hati digambarkan dengan peningkatan
FPG (Fasting Plasma Glukose) atau kadar gula puasa (BSN). Pada otot
terjadi gangguan pada penggunaan glukosa secara non oksidatif
(pembentukan glikogen) daripada metabolisme glukosa secara oksidatif
melalui glikolisis. Penggunaan glukosa pada jaringan yang independen
terhadap insulin tidak menurun pada diabetes melitus tipe 2.
Mekanisme molekular terjadinya resistensi insulin telah diketahui.
Level kadar reseptor insulin dan aktifitas tirosin kinase pada jaringan otot
menurun, hal ini merupakan defek sekunder pada hiperinsulinemia bukan
defek primer. Oleh karena itu, defek pada post reseptor diduga mempunyai
peranan yang dominan terhadap terjadinya resistensi insulin. Polimorfik
dari IRS-1 (Insulin Receptor Substrat) mungkin berhubungan dengan
intoleransi glukosa. Polimorfik dari bermacam-macam molekul post
reseptor diduga berkombinasi dalam menyebabkan keadaan resistensi
insulin.
Sekarang ini, patogenesis terjadinya resistensi insulin terfokus pada
defek PI-3 kinase (Phosphatidyl Inocytol) yang menyebabkan terjadinya
reduktasi translokasi dari GLUT-4 (Glukose Transporter) ke membran
plasma untuk mengangkut insulin. Hal ini menyebabkan insulin tidak
dapat diangkut masuk ke dalam sel dan tidak dapat digunakan untuk
metabolisme sel, sehingga kadar insulin di dalam darah terus meningkat
dan akhirnya menyebabkan terjadinya hiperglikemi. Ada teori lain
mengenai terjadinya resistesi insulin pada penderita diabetes melitus tipe
2. Teori ini mengatakan bahwa obesitas dapat mengakibatkan terjadinya
resistensi insulin melalui beberapa cara, yaitu; peningkatan asam lemak
bebas yg mengganggu penggunaan glukosa pada jaringan otot,
merangsang produksi dan gangguan fungsi sel β pankreas.
E. MANIFESTASI KLINIS
Seseorang yang menderita DM tipe II biasanya mengalami peningkatan
frekuensi buang air (poliuri), rasa lapar (polifagia), rasa haus (polidipsi),
cepat lelah, kehilangan tenaga, dan merasa tidak fit, kelelahan yang
berkepanjangan dan tidak ada penyebabnya, mudah sakit berkepanjangan,
biasanya terjadi pada usia di atas 30 tahun, tetapi prevalensinya kini semakin
tinggi pada golongan anak-anak dan remaja. Gejala-gejala tersebut sering
terabaikan karena dianggap sebagai keletihan akibat kerja, jika glukosa darah
sudah tumpah kesaluran urin dan urin tersebut tidak disiram, maka dikerubuti
oleh semut yang merupakan tanda adanya gula (Smeltzer & Bare, 2002).
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

F. PENATALAKSANAAN MEDIS
Ada lima komponen dalam penatalaksanaan diabetes mellitus :
1) Diet
Diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari
penatalaksanaan diabetes. Penatalaksanaan nutrisi pada penderita
diabetes diarahkan untuk mencapai tujuan berikut :

 Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin dan


mineral)
 Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai
 Memenuhi kebutuhan energi
 Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan
mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui
cara-cara yang aman dan praktis
 Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat

Perencanaan makan pada penderita diabetes mellitus terdiri dari :

 Perencanaan makan unsur karbohidrat: Tujuan diet ini adalah


meningkatkan konsumsi karbohidrat kompleks khususnya yang
berserat tinggi seperti : roti gandung utuh, nasi beras tumbuk,
sereal dan pasta/ mie yang berasal dari gandum. Disamping itu,
penggunaan sukrosa dengan jumlah yang sedang kini lebih banyak
diterima sepanjang pasien masih dapat mempertahankan kadar
glukosa serta lemak (mencakup kolesterol dan trigliserida) yang
adekuat dan mampu mengendalikan berat badannya.
 Perencanaan makan unsur protein: Rencana makan dapat
mencakup penggunaan beberapa makanan sumber protein nabati
untuk membantu mengurangi asupan kolesterol serta lemak jenuh.
 Perencanaan makan unsur lemak: Perencanaan makan yang
mempunyai kandungan lemak dalam diet diabetes mencakup
penurunan persentase total kalorinya yang berasal dari sumber
lemak hingga kurang 30 % total kalori dan pembatasan jumlah
lemak jenuh hingga 10 % total kalori. Selain itu juga pembatasan
asupan kolesterol hingga kurang dari 300 mg/ hari sangat
dianjurkan.
 Perencanaan makan unsur serat: Tipe diet ini berperan dalam
penurunan kadar total kolesterol dan LDL (Low Density
Lipoprotein) kolesterol dalam darah. Peningkatan kandungan serat
dalam diet dapat pula memperbaiki kadar glukosa darah sehingga
kebutuhan insulin dari luar dapat dikurangi

2) Latihan
Latihan sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena efeknya
dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor risiko
kardiovaskuler. Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan
meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki
pemakaian insulin. Sirkulasi darah dan tonus otot juga diperbaiki
dengan berolahraga. Latihan dengan cara melawan tahanan (resistance
training) dapat meningkatkan lean body mass dan dengan demikian
menambah laju metabolisme istirahat (resting metabolic rate). Semua
efek ini sangat bermanfaat pada diabetes karena dapat menurunkan
berat badan, mengurangi rasa stress dan mempertahankan kesegaran
tubuh. Latihan juga akan mengubah kadar lemak darah yaitu
meningkatkan kadar HDL kolesterol dan menurunkan kadar kolesterol
total serta trigliserida. Semua manfaat ini sangat penting bagi
penyandang diabetes mengingat adanya peningkatan risiko untuk
terkena penyakit kardiovaskuler pada diabetes.

Meskipun demikian, penderita diabetes dengan kadar glukosa darah


lebih dari 250 mg/ dl (14 mmol/ L) dan menunjukkan adanya keton
dalam urin tidak boleh melakukan latihan sebelum pemeriksaan keton
urin menjadi negative dan kadar glukosa darah telah mendekati normal.
Latihan dengan kadar glukosa darah yang tinggi akan meningkatkan
sekresi glukagon, growth hormone dan katekolamin. Peningkatan
hormone ini membuat hati melepas lebih banyak glukosa sehingga
terjadi kenaikan kadar glukosa darah.

Pedoman umum latihan pada diabetes :

 Gunakan alas kaki yang tepat, dan bila perlu alat pelindung kaki
lainnya
 Hindari latihan dalam udara yang sangat panas atau dingin
 Periksa kaki setiap hari sesudah melakukan latihan
 Hindari latihan pada saat pengendalian metabolik buruk
 Pemantauan Kadar Glukosa Darah

Dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri


(SMBG; Self-monitoring of blood glucose), penderita diabetes kini
dapat mengatur terapinya untuk mengendalikan kadar glukosa darah
secara optimal. Cara ini memungkinkan deteksi dan pencegahan
hipoglikemia serta hiperglikemiadan berperan dalam menentukan kadar
glukosa darah normal yang kemungkinan aka mengurangi komplikasi
diabetes jangka panjang.
4) Terapi

 Obat hipoglikemik oral (OHO) seperti sulfonylurea, biguanid,


inhibitor alfa glukosidase dan insulin sensitizing agen
 Pada diabetes tipe II, insulin mungkin diperlukan sebagai terapi
jangka panjang untuk mengendalikan kadar glukosa darah jika diet
dan obat hipoglikemia oral tidak berhasil mengontrolnya.
Disamping itu, sebagian pasien diabetes tipe II yang biasanya
mengendalikan kadar glukosa darah dengan diet atau dengan obat
oral kadang membutuhkan insulin secara temporer selama
mengalami sakit, infeksi, kehamilan, pembedahan atau beberapa
kejadian stress lainnya. Penyuntikan insulin sering dilakukan dua
kali per hari (atau bahkan lebih sering lagi) untuk mengendalikan
kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan dan pada malam
hari. Karena dosis insulin yang diperlukan masing-masing pasien
ditentukan oleh kadar glukosa darah yang akurat sangat penting.

5) Pendidikan Kesehatan
Diabetes mellitus merupakan sakit kronis yang memerlukan perilaku
penanganan mandiri yang khusus seumur hidup. Pasien bukan hanya
belajar keterampilan untuk merawat diri sendiri guna menghindari
penurunan atau kenaikan kadar glukosa darah yang mendadak, tetapi
juga harus memiliki perilaku preventif dalam gaya hidup untuk
menghindari komplikasi jangka panjang yang dapat ditimbulkan dari
penyakit diabetes mellitus.

Apabila terjadi luka maka Penatalaksanaan adalah :


1) Debridemen
Debridemen merupakan eksisi pada kulit yang terdapat luka
dengan jaringan yang telah rusak. Hal tersebut dikerjakan dengan
tujuan untuk mempercepat proses penyembuhan luka dan
mempercepat pembentukan jaringan baru pada luka. Pembedahan
debridemen diindikasikan untuk klien dengan ulkus yang sangat
luas dan dalam yang disertai dengan adanya jaringan mati pada
luka, serta pada klien yang mempunyai risiko terjadinya syock
septicemia. Pembedahan debridemen dilakukan tergantung dari
luas dan kedalaman ulkus serta dengan mempertimbangkan
kemungkinan banyaknya kehilangan darah saat pembedahan.
Dokter bedah dapat melakukan debridemen diruang tindakan
ataupun diruang operasi.
2) Grafting
Grafting merupakan pencakokan atau penanaman jaringan kulit kepada
jaringan kulit lain dengan tujuan untuk menumbuhkan jaringan kulit
yang baru sehingga luka dapat menutup secara signifikan.
3) Terapi Pengobatan
Agen antibakterial topikal sering diindikasikan untuk mengontrol
pertumbuhan bakteri pada luka dengan nekrosis yang sangat luka atau
pada keadaan daya immunitas jaringan luka yang terganggu. Untuk
menghindari infeksi pada jaringan luka, penggunaan antibiotic
profilaksis biasanya dihindari karena bahaya dari perkembangan strain
bacterial yang resisten.

G. KOMPLIKASI
Diabetes tipe 2 merupakan penyakit kronik yang berhubungan
dengan harapan hidup sepuluh tahun lebih pendek.[6] Hal ini sebagian
disebabkan oleh berbagai komplikasi yang menyertai penyakit ini seperti:
dua sampai empat kali lipat risiko penyakit kardiovaskular, antara lain
penyakit jantung iskemik dan stroke, 20 kali lipat kemungkinan amputasi
tungkai bawah, dan meningkatnya angka perawatan rumah sakit. Di
negara maju, dan mulai diikuti di negara lainnya, diabetes
tipe 2 merupakan penyebab utama kebutaan non-traumatik dan gagal
ginjal (Ripsin, 2009). Penyakit ini juga banyak dihubungkan dengan
meningkatnya risiko disfungsi kognitif dan demensia melalui proses
penyakit seperti penyakit Alzheimer dan demensia vaskular (Pasquier,
2010). Komplikasi lain meliputi: akantosis nigrikans, disfungsi seksual,
dan sering mengalami infeksi.

1) Hipoglikemia
Hipoglikemia (kadar gula darah yang abnormal rendah) terjadi
apabila kadar glukosa darah turun dibawah 50 mg/ dl. Keadaan ini
dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral yang
berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau karena aktivitas
fisik yang berat. Hipoglikemia dapat terjadi setiap saat pada siang atau
malam hari. Kejadian ini dapat terjadi sebeum makan, khususnya jika
makan yang tertunda atau bila pasien lupa makan camilan.

2) Diabetes Ketoasidosis
Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau
tidak cukup jumlah insulin yang nyata. Keadaan ini mengakibatkan
gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Ada tiga
gambaran klinik yang penting pada diabetes ketoasidosis :
(1) Dehidrasi
(2) Kehilangan elektrolit
(3) Asidosis
Apabila jumlah insulin berkurang, maka jumlah glukosa yang
memasuki sel akan berkurang pula. Selain itu prroduksi glukosa oleh
hati menjadi tidak terkendali, kedua faktor tersebut akan mengakibatkan
hiperglikemia. Dalam upaya untuk menghilangkan glukosa dalam
tubuh, ginjal akan mensekresikan glukosa bersama-sama air dan
elektrolit (natriun dan kalium). Diuresis osmotik yang ditandai oleh
urinasi yang berlebihan (poliuria) ini akan menyebabkan dehidrasi dan
kehilangan elektrolit.
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
2. A1C
3. Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL,
trigliserida)
4. Kreatinin serum
5. Albuminuria
6. Keton, sedimen dan protein dalam urin
7. Elektrokardiogram
8. Foto sinar-x dada

Diagnosis diabetes melitus ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar


glukosa darah. Diagnosis diabetes melitus tidak dapat ditegakkan atas
dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis diabetes melitus,
pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan
darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan
dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda
sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa
darah kapiler.
Diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan melalui tiga cara.
Pertama, jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa
plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis
diabetes melitus. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang
lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah,
sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis diabetes melitus.
Ketiga dengan TTGO. Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih
sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma
puasa, namun memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk
dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau
diabetes melitus, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT atau
GDPT tergantung dari hasil yang diperoleh.
TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL
(7.8-11.0 mmol/L).
GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan
glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5.6 – 6.9
mmol/L).
Gejala diabetes melitus ditambah gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dl
(11,1 mmol/l) atau glukosa darah puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/l)
atau glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa (GD 2 jam PP) ≥ 200
mg/dl (11,1 mmol/l) dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO).
TTGO: beban glukosa = 75 gr glukosa anhidrous (gula) dicairkan
dalam air TTGO tidak direkomendasikan untuk pemeriksaan rutin.
Kriteria tersebut harus dikonfirmasi pada hari berikutnya.
Kategori yang berhubungan dengan nilai GDP:
1. GDP < 110 mg (6,1 mmol/l) = normal
2. GDP ≥ 110 mg (6,1 mmol/l) dan < 126 mg/dl (7,0 mmol/l) =
Glukosa Puasa Terganggu (Impaired Fasting Glucose/IFG)
3. GDP ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/l) = DM

2. Konsep Keperawatan
A. Pengkajian
1). Data Demografi
2). Riwayat Penyakit
a). Keluhan Utama
b). Riwayat Penyakit Sekarang
c). Riwayat Penyakit Dahulu
d). Riwayat Penyakit Keluarga
3). Pola kesehatan fungsional
a). Pola Persepsi dan Manajemen Kesehatan
b). Pola Pemenuhan Nutrisi dan metabolisme
c). Pola Eliminasi
d). Pola Aktivitas
e). Pola Tidur dan Istirahat
f). Pola Perseptual dan Kognitif
g). Pola Persepsi dan Konsep Diri
a. Gambaran diri
b. Harga Diri
c. Peran
d. Ideal Diri
e. Identitas
h). Pola Peran dan Hubungan
i). Pola reproduksi dan seksualitas
j). Pola koping dan stress
k). Pola Nilai dan Kepercayaan
D. Pemeriksaan fisik

3. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b/d agen cidera fisik
2. Risiko Infeksi dengan faktor risiko penyakit kronis (diabetes melitus).
3. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan faktor biologis.
4. Risiko ketidak stabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan kurang
kepatuhan pada rencana manajemen diabetes.
5. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan gangguan sirkulasi.
Intervensi keperawatan
No Diagnosa Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
1 Nyeri akut b.d  Kontrol nyeri. Manajemen nyeri :
agen cidera  Pengetahuan: manajemen 1. Lakukan pegkajian nyeri
fisik. nyeri secara komprehensif termasuk
Setelah dilakukan askep selama lokasi, karakteristik, durasi,
3 x 24 jam tingkat frekuensi, kualitas dan
kenyamanan klien meningkat, 17ontro presipitasi.
dan dibuktikan dengan kriteria 2. Observasi reaksi nonverbal
hasil: dari ketidaknyamanan.
 klien dapat melaporkan nyeri 3. Gunakan teknik komunikasi
pada petugas, frekuensi terapeutik untuk mengetahui
nyeri, ekspresi wajah, dan pengalaman nyeri klien
menyatakan kenyamanan sebelumnya.
fisik dan psikologis 4. Kontrol 17ontro lingkungan

 tanda-tanda vital dalam batas yang mempengaruhi nyeri

normal. (TD:<120-129/80-89 seperti suhu ruangan,

mmHg, N:60-100 x/i, RR: pencahayaan, kebisingan.

16-20x/i, Temp: 36-37oC). 5. Kurangi 17ontro presipitasi

 Dapat mengontrol nyeri nyeri.

dibuktikan denganklien 6. Pilih dan lakukan penanganan


melaporkan gejala nyeri dan nyeri (farmakologis/non

control nyeri. farmakologis)..


7. Ajarkan teknik non
farmakologis (relaksasi,
distraksi dll) untuk mengetasi
nyeri..
8. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri.
9. Evaluasi tindakan pengurang
nyeri/17ontrol nyeri.
10. Kolaborasi dengan
dokter bila ada komplain
tentang pemberian analgetik
tidak berhasil.
11. Monitor penerimaan
klien tentang manajemen
nyeri.

Administrasi analgetik :.
1. Cek program pemberian
analogetik; jenis, dosis, dan
frekuensi.
2. Cek riwayat alergi..
3. Tentukan analgetik pilihan,
rute pemberian dan dosis
optimal.
4. Monitor TTV sebelum dan
sesudah pemberian analgetik.
5. Berikan analgetik tepat waktu
terutama saat nyeri muncul.
6. Evaluasi efektifitas analgetik,
tanda dan gejala efek
samping.
2 Risiko Infeksi  Pengetahuan: Manajemen 1. Pantau tanda dan gejala
dengan faktor Infeksi. infeksi primer & sekunder
risiko penyakit  Kontrol risiko: proses 2. Bersihkan lingkungan setelah
kronis (diabetes infeksi. dipakai pasien lain.
melitus). 3. Batasi pengunjung bila perlu.
Setelah dilakukan askep selama
4. Intruksikan kepada keluarga
3 x 24 jam tidak terdapat
untuk mencuci tangan saat
tanda-tanda inferksi pada
kontak dan sesudahnya.
klien, dan dibuktikan dengan 5. Gunakan sabun anti miroba
kriteria hasil: untuk mencuci tangan.
 Klien mampu 6. Lakukan cuci tangan sebelum
mempertahankan lingkungan dan sesudah tindakan
yang bersih. keperawatan.
 Klien mampu 7. Gunakan baju dan sarung
mengidentifikasi tanda dan tangan sebagai alat pelindung.
gejala infeksi. 8. Pertahankan teknik aseptik
 Klien mampu untuk setiap tindakan.
mempraktekkan cara 9. Lakukan perawatan luka dan
mencuci tangan dengan dresing infus setiap hari.
benar. 10. Amati keadaan luka dan
sekitarnya dari tanda – tanda
meluasnya infeksi
11. Tingkatkan intake
nutrisi.dan cairan
12. Berikan antibiotik sesuai
program.
13. Monitor hitung
granulosit dan WBC.
14. Ambil kultur jika perlu
dan laporkan bila hasilnya
positip.
15. Dorong istirahat yang
cukup.
16. Dorong peningkatan
mobilitas dan latihan.
17. Ajarkan keluarga/klien
tentang tanda dan gejala
infeksi.
3 Ketidakseimban  Status Nutrisi Manajemen Nutrisi
gan nutrisi: 1. kaji pola makan klien
Setelah dilakukan askep selama
kurang dari 2. Kaji adanya alergi makanan.
3x24 jam klien menunjukan
kebutuhan tubuh 3. Kaji makanan yang disukai
status nutrisi adekuat
berhubungan oleh klien.
dibuktikan dengan indikator:
dengan faktor 4. Kolaborasi dg ahli gizi untuk
 Rasio berat badan/ tinggi
biologis. penyediaan nutrisi terpilih
badan dalam batas normal.
sesuai dengan kebutuhan
 Asupan gizi adekuat.
klien.
 Tidak terdapat penyimpangan
5. Anjurkan klien untuk
energi.
meningkatkan asupan
nutrisinya.
6. Yakinkan diet yang
dikonsumsi mengandung
cukup serat untuk mencegah
konstipasi.
7. Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi dan
pentingnya bagi tubuh klien.
Monitor Nutrisi
1. Monitor BB setiap hari jika
memungkinkan.
2. Monitor respon klien
terhadap situasi yang
mengharuskan klien makan.
3. Monitor lingkungan selama
makan.
4. Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak bersamaan
dengan waktu klien makan.
5. Monitor adanya mual
muntah.
6. Monitor adanya gangguan
dalam proses mastikasi/input
makanan misalnya
perdarahan, bengkak dsb.
7. Monitor intake nutrisi dan
kalori.
4 Risiko ketidak  Keparahan hiperglikemia. Managemen Hipoglikemia:
stabilan kadar  Risiko ketidak staabilan 1. Monitor tingkat gula darah
glukosa darah kadar glukosa darah. sesuai indikasi
berhubungan 2. Monitor tanda dan gejala
Setelah dilakukan askep 3x24
dengan kurang hipoglikemi ; kadar gula
jam diharapkan perawat akan
kepatuhan pada darah < 70 mg/dl, kulit
menangani dan meminimalkan
rencana dingin, lembab pucat,
episode hipo / hiperglikemia,
manajemen tachikardi, peka rangsang,
dibuktikan dengan indikator:
diabetes. gelisah, tidak sadar ,
 Glukosa darah dalam batas
bingung, ngantuk.
normal.
3. Jika klien dapat menelan
 Nafas klien tidak berbau
berikan jus jeruk / sejenis
keton.
jahe setiap 15 menit sampai
 Peningkatan glukosa darah,
kadar gula darah > 69 mg/dl
ringan.
4. Berikan glukosa 50 %
dalam IV sesuai protokol
5. K/P kolaborasi dengan ahli
gizi untuk dietnya.

Managemen Hiperglikemia
1. Monitor GDR sesuai
indikasi
2. Monitor tanda dan gejala
diabetik ketoasidosis ; gula
darah > 300 mg/dl,
pernafasan bau aseton, sakit
kepala, pernafasan kusmaul,
anoreksia, mual dan
muntah, tachikardi, TD
rendah, polyuria,
polidypsia,poliphagia,
keletihan, pandangan kabur
atau kadar Na,K,Po4
menurun.
3. Monitor v/s :TD dan nadi
sesuai indikasi
4. Berikan insulin sesuai order
5. Pertahankan akses IV
6. Berikan IV fluids sesuai
kebutuhan
7. Konsultasi dengan dokter
jika tanda dan gejala
Hiperglikemia menetap atau
memburuk
8. Dampingi/ Bantu ambulasi
jika terjadi hipotensi
9. Batasi latihan ketika gula
darah >250 mg/dl
khususnya adanya keton
pada urine
10. Pantau jantung dan sirkulasi
( frekuensi & irama, warna
kulit, waktu pengisian
kapiler, nadi perifer dan
kalium
11. Anjurkan banyak minum
12. Monitor status cairan I/O
sesuai kebutuhan
5 Kerusakan  Penyembuhan luka: Wound care
integritas sekunder 1. Catat karakteristik
jaringan luka:tentukan ukuran dan
Setelah dilakukan askep 3x24
berhubungan kedalaman luka, dan
jam Wound healing meningkat,
dengan klasifikasi pengaruh ulcers
dibuktikan dengan indikator:
gangguan 2. Catat karakteristik cairan
 Luka mengecil
sirkulasi secret yang keluar
 peningkatan granulasi
3. Bersihkan dengan cairan
jaringan
anti bakteri
 tidak terdapat nekrosis.
4. Bilas dengan cairan NaCl
0,9%
5. Lakukan nekrotomi K/P
6. Lakukan tampon yang
sesuai
7. Dressing dengan kasa steril
sesuai kebutuhan
8. Lakukan pembalutan
9. Pertahankan tehnik dressing
steril ketika melakukan
perawatan luka
10. Amati setiap perubahan
pada balutan
11. Bandingkan dan catat setiap
adanya perubahan pada luka
12. Berikan posisi terhindar dari
tekanan
DAFTAR PUSTAKA
Kumar, Vinay; Fausto, Nelson; Abbas, Abul K.; Cotran, Ramzi S. ; Robbins,
Stanley L. (2005). Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease (7th
ed.). Philadelphia, Pa.: Saunders. pp. 1194–1195.
Shoback, edited by David G. Gardner, Dolores (2011). Greenspan's basic &
clinical endocrinology (9th ed.). New York: McGraw-Hill Medical.
pp. Chapter 17.
Corwin, E. J. (2001).Patofisiologi.Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002,Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung
Waluyo...(dkk), EGC, Jakarta
Ripsin CM, Kang H, Urban RJ (January 2009). "Management of blood glucose in
type 2 diabetes melitus". Am Fam Physician 79 (1): 29–36
Pasquier, F (2010 Oct). "Diabetes and cognitive impairment: how to evaluate the
cognitive status?". Diabetes & metabolism. 36 Suppl 3: S100–5.

Anda mungkin juga menyukai